Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia

PROGRAM MINIMALISASI CACAT (GRADE B) PRODUK
MARINASI A DAN PENINGKATAN QUALITY AWARENESS
DI PT BELFOODS INDONESIA

RINI AGUSTINI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Program Minimalisasi Cacat
(Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality Awareness di PT
Belfoods Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Rini Agustini
F24090032

ABSTRAK
RINI AGUSTINI. Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan
Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia. Dibimbing oleh BUDI
NURTAMA dan TATANG SANJAYA
Program pengendalian proses produksi produk marinasi A yang diterapkan
PT Belfoods belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari tingginya cacat produk
yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menekan persentase cacat produk
marinasi A dengan menggunakan alat bantu pada SPC, yaitu diagram Pareto,
diagram Ishikawa, dan check list serta menganalisis tingkat kesadaran karyawan
terhadap kualitas dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan interpretasi
diagram Pareto, jenis cacat yang dominan adalah pink bone dan coating lepas >2
cm2. Adapun faktor penyebab timbulnya cacat produk adalah kurangnya
kesadaran operator akan produk berkualitas dan instruksi kerja yang tidak
dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi penyimpangan. Setelah dilakukan

perbaikan dengan ketentuan semua paremeter proses yang menyimpang
disesuaikan dengan SOP perusahaan, sehingga jenis cacat yang muncul sebelum
proses pengemasan hanya pink bone dengan persentase penurunan cacat produk
sebesar 70.83%. Sedangkan berdasarkan hasil kuesioner, rata-rata tingkat
kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi pada departemen QA sebesar
85.5, departemen premix sebesar 76.00, departemen RnD sebesar 72.50,
departemen QC sebesar 71.71, departemen produksi sebesar 68.43, departemen
engineering sebesar 59.40, departemen finish goods sebesar 49.32, dan
departemen raw material warehouse sebesar 44.25. Secara keseluruhan, rata-rata
tingkat kesadaran karyawan PT Belfoods terhadap kualitas hasil produksi sebesar
60.91.
Kata kunci: pengendalian proses produksi, SPC, cacat produk, kesadaran
karyawan terhadap kualitas, kuesioner

ABSTRACT
RINI AGUSTINI. Controlling Program of Production Process Product Marinated
A and Improving Quality Awareness in PT Belfoods Indonesia. Supervised by
BUDI NURTAMA and TATANG SANJAYA
Controlling program of production process for product marinated A that
applied in PT Belfoods Indonesia still should be improved. This can be seen from

the value of defect that has been result. The objectives of this research are to
reduce the percentage of defect in product marinated A with using SPC tools, such
as Pareto diagram, Ishikawa diagram and check list and also to analyze employee
awareness of quality by using a questionnare. Based on Pareto diagram, dominant
type of defect is pink bone and coating off more than 2 cm2. It was driven by a
gap among implementation and work instruction. After the improvement has been
implemented by controlling the parameter process, pink bone defect has been

reduced until 70.83%. While based on the result of a quetionnare, the average
level of awareness employee against of the outcome of production in the
departement of QA is 85.8, departement of premix is 76.00, departement of RnD
is 72.50, departement of QC is 71.71, departement of production is 68.43,
departemen of engineering is 59.40, finish goods is 49.32, and raw material
warehouse is 44.25. Overall, the average level of awareness employess of PT
Belfoods against the quality of producing stuff 60.91.
Keyword: production process control, SPC, defective product, employee
awareness of quality, detailed questionnare.

PROGRAM MINIMALISASI CACAT (GRADE B) PRODUK
MARINASI A DAN PENINGKATAN QUALITY AWARENESS

DI PT BELFOODS INDONESIA

RINI AGUSTINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Program Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan
Peningkatan Quality Awareness di PT Belfoods Indonesia
Nama
: Rini Agustini

NIM
: F24090032

Disetujui oleh

Dr Ir Budi Nurtama, MAgr
Pembimbing I

Tatang Sanjaya, STP
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: (

)


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala
yang telah melimpahkan rahmat, berkah serta hidayah-Nya sehingga skripsi ini
berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih
gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian.
Tema yang dipilih dalam magang penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Februari 2013 sampai Juni 2013 adalah quality control, dengan judul Program
Minimalisasi Cacat (Grade B) Produk Marinasi A dan Peningkatan Quality
Awareness di PT Belfoods Indonesia. Pengendalian mutu merupakan sesuatu yang
penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. Atas dasar ini, penulis
melakukan analisa mengenai pengendalian proses produksi dan tingkat kesadaran
karyawan terhadap kualitas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Budi Nurtama, MAgr
selaku dosen pembimbing dan Bapak Tatang Sanjaya, STP selaku pembimbing
lapang, yang telah banyak memberi bimbingan dan arahan. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Marya Ulpah beserta karyawan
produksi, Ibu Felicia Ufarah Novivania beserta tim Quality Control, Bapak Luthfi
Khairu Winata beserta staff Quality Assurance, serta seluruh staff dan karyawan
PT Belfoods yang telah membantu selama kegiatan magang penelitian ini

berlangsung. Tak lupa ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Ayah, Ibu, kakak, Widi Jatnika serta seluruh keluarga tercinta
atas segala doa dan kasih sayangnya, serta dukungannya kepada penulis.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh staff dan pengajar
Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) atas ilmu yang telah diberikan selama 3 tahun
di ITP, serta untuk para sahabat (Handayani Dhiniyati, Rizki Wijayanti, Ha Phi
Ro, Ani Yati Wibawati, dan Kho Dzi Za, Rizka Wijayanti), teman satu tempat
magang (Aisya Fayrani, Irda Ratunikmatri, Ibnu Djula, dan Yora Fertilia), temanteman ITP 46, dan teman-teman Dwi Regina atas segala bentuk dukungan dan
motivasinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini
bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Rini Agustini

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


xi 

DAFTAR GAMBAR

xi 

DAFTAR LAMPIRAN

xii 

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Tujuan Penelitian




METODOLOGI PENELITIAN



Waktu dan Tempat Penelitian



Metode



Observasi Proses Produksi dan Identifikasi Masalah



Pengumpulan dan Analisis Data


3

Analisis Jenis Produk Yang Akan diteliti



Analisis Penyimpangan Mutu Produk



Perencanaan Perbaikan



Tindakan Perbaikan

4

Analisis Quality Awareness




HASIL DAN PEMBAHASAN



Identifikasi Masalah

6

Analisis Jenis Produk yang Akan Diteliti



Analisis Penyimpangan Mutu Produk

10 

Perencanaan Perbaikan

18 

Tindakan Perbaikan

21 

Analisis Quality Awareness

27 

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31 

Saran

31 

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

33 

RIWAYAT HIDUP

38 

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14
15
16
17
18

Deskripsi jenis cacat produk marinasi A
11
Jumlah, persentase, dan akumulasi jenis cacat produk marinasi A selama
proses pengemasan
13
Frekuensi ketidaksesuaian parameter proses, persentase, dan akumulasi
faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone)
16
Frekuensi ketidaksesuaian, persentase, akumulasi faktor penyebab
timbulnya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi A
17
Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya sisa darah darah pada
tulang (pink bone) produk marinasi A
19
Perencanaan proses perbaikan terhadap timbulnya coating lepas >2 cm2
produk marinasi A
21
Jumlah jenis kerusakan produk marinasi A setelah proses perbaikan
22
Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah pink bone yang
dihasilkan
23
Penyusunan frozen meat saat thawing dan jumlah pink bone yang
dihasilkan pada produk Marinasi A
24
Pengaturan suhu meat saat akan diproses dan jumlah pink bone yang
dihasilkan
25
Waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dan jumlah coating lepas >2
cm2 yang dihasilkan
26
2
Pengaturan posisi meat dan jumlah coating lepas >2 cm yang dihasilkan 26
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level manager dan
asisten manager terhadap kualitas hasil produksi di setiap departemen PT
Belfoods Indonesia
28
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman level supervisor terhadap
kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia
29
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level leader terhadap
kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia
29
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level operator terhadap
kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia
30
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pamahaman level staff terhadap
kualitas hasil produksi di setiap departemen PT Belfoods Indonesia
30
Skor rata-rata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT Belfoods
Indonesia terhadap kualitas hasil produksi berdasar jabatan (job desk) di
perusahaan
30

DAFTAR GAMBAR
1
2

Diagram alir kegiatan magang di PT Belfoods Indonesia
Perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk matang (fully
cooked) tahun 2012 ( ) dan 2013( )

5
7

3

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Perbandingan persentase tingkat kerusakan aktual produk marinasi A ( )
terhadap persentase tingkat kerusakan batas toleransi perusahaan ( )
pada satu kali ulangan
10
Jenis kerusakan produk marinasi A di PT Belfoods Indonesia
12
Diagram Pareto jenis cacat pada produk marinasi A sebelum proses
pengemasan
13
Diagram Ishikawa banyaknya jumlah pink bone pada produk marinasi A
di ruang pengemasan
14
Diagram Ishikawa banyaknya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi
A di ruang pengemasan
15
Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada
tulang (pink bone) pada produk marinasi A
17
Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2
pada produk marinasi A
18
Perbandingan persentase kerusakan produk marinasi A sebelum ( ) dan
22
sesudah perbaikan ( )
Perbandingan nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A
sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )
23
Hubungan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor dengan jumlah
pink bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )
24
Hubungan penyusunan meat saat thawing dengan jumlah pink bone yang
24
dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )
Hubungan pengaturan suhu meat sebelum tumbling dengan jumlah pink
bone yang dihasilkan sebelum ( ) dan setelah perbaikan ( )
25
Hubungan faktor penyebab dengan besarnya penurunan persentase pink
bone yang dihasilkan
25
Hubungan predust & feeding process dengan jumlah coating lepas >2 cm2
yang dihasilkan
26
Hubungan conditioning meat dengan jumlah coating lepas >2 cm2 yang
dihasilkan
27
Hubungan faktor penyebab dengan besarnya penurunan persentase jumlah
coating lepas >2 cm2 yang dihasilkan
27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Nilai coefficient of variance jenis kerusakan prroduk marinasi A sebelum
perbaikan
Nilai coefficient of variance jenis kerusakan produk marinasi A setelah
perbaikan
Frekuensi kejadian faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang
(pink bone)
Frekuensi kejadian faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2
Kuesioner Quality Awareness

33
34
34
35
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
PT Belfoods Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak
dalam bidang olahan makanan beku antara lain chicken nugget, sausage, kornet,
baso, mantau, beef dan fried chicken. Selama proses produksi, PT Belfoods
Indonesia memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan. Hal ini disebabkan
kualitas sebagai faktor penentu kelangsungan hidup suatu perusahaan untuk dapat
bersaing dengan produk perusahaan lain. Kualitas didefinisikan sebagai ukuran
kesesuaian spesifikasi suatu produk terhadap standar spesifikasi yang telah
ditetapkan (Susetyo et al 2011).
PT Belfoods Indonesia melaksanakan kegiatan pengendalian mutu dalam
mempertahankan kualitas produk yang dihasilkannya. Pengendalian yang
dilakukan perusahaan meliputi tiga tahapan, antara lain pengendalian terhadap
bahan baku, pengendalian terhadap proses produksi, dan pengendalian terhadap
produk jadi. Akan tetapi, tidak hanya bahan baku, proses produksi dan produk jadi
saja yang harus dikendalikan, kesadaran tenaga kerja juga diperlukan untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hasil produksi. Oleh sebab itu, salah
satu target pencapaian departemen QA (Quality Assurance) adalah peningkatan
kesadaran staff dan karyawan PT Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil
produksi.
Perhatian pada masalah kualitas ini akan memberikan dampak positif
kepada perusahaan melalui dua cara yaitu dampak terhadap biaya produksi dan
dampak terhadap pendapatan (Usman 2011). Dampak terhadap biaya produksi
terjadi melalui proses produksi yang memiliki pengendalian teknis yang tinggi
terhadap standar-standar sehingga bebas dari tingkat kerusakan. Dampak terhadap
pendapatan terjadi melalui peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang
berharga kompetitif. Dengan memperhatikan aspek kualitas produk, maka tujuan
perusahaan untuk memperoleh laba optimal dapat terpenuhi sekaligus memenuhi
tuntutan konsumen akan produk yang berkualitas dan harga kompetitif.
Industri pengolahan pangan yang mengutamakan kualitas akan melakukan
tindakan pengendalian proses untuk terus menjaga kualitas produk yang
dihasilkannya. Atas dasar inilah, permasalahan yang diangkat dalam praktek kerja
magang terkait pengendalian proses produksi terhadap tingkat kerusakan produk
(product defect) sampai pada tingkat kerusakan nol (zero defect) dan analisa
mengenai tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas produk yang
dihasilkannya. Salah satu prosedur pengendalian kualitas yang dapat digunakan
oleh industri pengolahan adalah pengendalian proses secara statistika (Statistical
Process Control/SPC). SPC merupakan suatu metode analisa dan pengumpulan
data secara kuantitatif, serta interpretasi dari pengukuran-pengukuran kualitas
produk selama proses untuk memenuhi kebutuhan dan ekspektasi pelanggan (Au
dan Ivan 1999). Penggunaan statistik bermanfaat sebagai alat untuk mengukur
seberapa besar tingkat kerusakan produk yang dapat diterima oleh suatu
perusahaan dengan menentukan batas toleransi cacat produk yang dihasilkan.
Kegiatan praktek kerja magang menitikberatkan pada permasalahan
kerusakan (grade B) produk marinasi A di PT Belfoods Indonesia yang melebihi

2
batas toleransi cacat produk perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa program
pengendalian mutu yang diterapkan perusahaan belum optimal. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan analisa mengenai upaya pengendalian proses produksi yang
diterapkan PT Belfoods Indonesia dengan mencari sebab terjadinya cacat produk,
mencari solusi, serta melakukan tindakan perbaikan sehingga persentase cacat
produk dapat diturunkan. Selain itu, juga dilakukan analisa terhadap tingkat
kesadaran karyawan akan kualitas hasil produksi sehingga dapat dilakukan
peningkatan.

Tujuan Penelitian
Kegiatan praktek kerja magang bertujuan untuk melakukan analisa
mengenai upaya pengendalian proses produksi produk marinasi A yang diterapkan
di PT Belfoods Indonesia dengan menentukan jenis cacat produk yang paling
dominan, mencari sebab terjadinya cacat produk, mencari solusi dan melakukan
tindakan perbaikan sehingga persentase cacat produk dapat ditekan. Selain itu,
juga dilakukan analisa mengenai tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan PT
Belfoods Indonesia terhadap kualitas hasil produksi dengan menentukan skor ratarata tingkat kesadaran dan pemahaman karyawan sehingga dapat dilakukan
peningkatan kesadaran dengan target minimal sebesar 10 %.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan praktek kerja magang dilaksanakan di PT Belfoods Indonesia,
Perum Citra Indah Kav. PA 1&2 Jl. Raya Jonggol KM 23,3 Bogor, Jawa Barat.
Kegiatan magang dilaksanakan di bawah pengawasan departemen produksi dan
QC (Quality Control) serta QA (Quality Assurance). Waktu pelaksanaan magang
selama 4 bulan terhitung mulai tanggal 25 Februari 2013 sampai dengan 25 Juni
2013. Kegiatan magang dilakukan setiap hari Senin sampai dengan Jumat sesuai
jam kerja perusahaan mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 WIB, kecuali jika
dilakukan pengambilan data di luar jam tersebut.

Metode
Observasi Proses Produksi dan Identifikasi Masalah
Observasi proses produksi berlangsung selama satu minggu. Kegiatan ini
meliputi pengamatan terhadap keseluruhan aspek proses produksi dan kondisi
produk yang dihasilkan. Observasi proses produksi bertujuan untuk
mengidentifikasi masalah yang terjadi selama proses produksi dengan mengikuti
proses produksi dan QC secara langsung. Selain itu, juga dilakukan observasi
terhadap beberapa departemen yang berkaitan dengan kualitas hasil produksi
antara lain departemen QA (Quality Assurance), QC (Quality Control), dry goods,

3
produksi, premix, RnD (Research and Development), finish goods, engineering
dan sanitasi untuk melihat tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas produk
yag dihasilkannya.
Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif.
Data kuantitatif yaitu data angka mengenai jumlah produksi dan jumlah kerusakan
produk, sedangkan data kualitatif yaitu informasi tertulis berupa informasi
mengenai jenis cacat produk, faktor penyebab timbulnya cacat produk, bahan
baku yang digunakan dan tahapan proses produksi. Teknik pengumpulan data
dilakukan melalui diskusi, wawancara, data dokumentasi perusahaan yang berupa
laporan kegiatan produksi, laporan jumlah produksi dan laporan jumlah kerusakan
produk, serta data yang diperoleh dengan mengikuti proses produksi secara
langsung di perusahaan (data primer). Jenis data yang banyak digunakan dalam
magang penelitian ini adalah data primer dengan tujuan untuk mendapatkan data
yang lebih akurat. Teknik pengumpulan data mengenai tingkat kesadaran
karyawan terhadap kualitas hasil produksi dilakukan melalui penyebaran
kuesioner berbentuk esai, sehingga diharapkan jawaban responden akan lebih
bebas dan terbuka.
Analisis Jenis Produk Yang Akan diteliti
Penentuan jenis produk yang akan diteliti dilakukan dengan melakukan
pengolahan terhadap data dokumentasi produksi selama 3 bulan terakhir di tahun
2012 dan 2013 untuk melihat rata-rata persentase kerusakan yang terjadi terhadap
berbagai jenis produk matang (fully cooked) yang paling banyak diproduksi di PT
Belfoods Indonesia. Langkah selanjutnya dilakukan tindak analisis terhadap
produk yang diteliti melalui data primer yang disesuaikan dengan kondisi lapang.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat yang dapat
dibandingkan dengan data sebelumnya.
Analisis Penyimpangan Mutu Produk
Analisis ini menggunakan penerapan teknik statistik meliputi penggunaan
diagram Pareto untuk melihat permasalahan yang paling dominan terjadi.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengumpulkan produk cacat
(grade B) sebelum proses pengemasan. Produk cacat (grade B) dipisahkan
berdasarkan jenis kerusakannya. Setelah itu, data yang sudah terkumpul
ditransformasi dalam bentuk diagram Pareto dengan menggunakan program Ms.
Excel untuk menetapkan persentase cacat produk paling dominan yang akan dikaji
lebih lanjut.
Tahap selanjutnya dilakukan dengan menggunakan penerapan diagram
sebab akibat (Diagram Ishikawa). Diagram sebab akibat merupakan alat untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpeluang menjadi penyebab masalah, bukan
mengidentifikasi penyebab masalah. Secara umum terdapat lima faktor yang
berpengaruh dalam penyusunan diagram sebab akibat yaitu: (1) lingkungan, (2)

4
manusia, (3) metode, (4) bahan, dan (5) mesin peralatan. Diagram sebab akibat
merupakan hasil interpretasi dari pengamatan secara langsung.
Setelah itu, untuk mengidentifikasi faktor penyebab yang berpengaruh
tehadap timbulnya cacat produk dilakukan dengan teknik FGD (focus group
discussion) dan hasil analisis yang diperoleh sebelumnya. FGD dilakukan dengan
beberapa pihak yang mengerti proses produksi produk terpilih. Identifikasi faktor
penyebab disusun dalam bentuk check list untuk melihat frekuensi ketidaksesuain
parameter proses yang berpengaruh terhadap jenis cacat yang diteliti. Kemudian
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cacat produk ditransformasi dalam
bentuk diagram Pareto, sehingga dapat terlihat 1 atau 2 masalah yang mempunyai
efek besar.
Perencanaan Perbaikan
Perencanaan perbaikan dilakukan terhadap beberapa masalah yang
mempunyai efek besar terhadap munculnya jenis cacat produk. Faktor-faktor yang
mempunyai efek besar terhadap timbulnya jenis cacat akan diperbaiki dengan
melihat kesesuaian kondisi aktual di lapangan terhadap SOP(Standard Operating
Procedure) yang telah ditentukan perusahaan. Perencanaan perbaikan yang
dilakukan dalam kegiatan magang penelitian ini disusun sesuai dengan data yang
diperoleh pada kondisi aktual.
Tindakan Perbaikan
Tindakan perbaikan dilakukan dengan ketentuan semua parameter yang
mempunyai efek besar disesuaikan dengan SOP(Standard Operating Procedure)
yang telah ditentukan perusahaan. Setelah itu, dilakukan kembali pengumpulan
produk cacat sebelum proses pengemasan dan dipisahkan berdasar jenis
kerusakannya. Selanjutnya penggunaan diagram Pareto yang diolah menggunakan
program Ms. Excel bertujuan untuk mengurutkan persentase jenis dan jumlah
cacat produk. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap perbandingan masingmasing jenis dan jumlah cacat produk sebelum dan sesudah perbaikan dengan
menentukan nilai rataan, simpangan baku, dan koefisien ragam (CV) sehingga
dapat dilihat adanya peningkatan atau penurunan persentase cacat produk.
Evaluasi juga dilakukan terhadap masing-masing faktor penyebab timbulnya cacat
produk sebelum proses pengemasan, sehingga didapat gambaran paremeter apa
yang mempunyai pengaruh paling besar.
Analisis Quality Awareness
Analisis tingkat kesadaran karyawan terhadap kualitas hasil produksi pada
beberapa departemen di PT Belfoods Indonesia dilakukan dengan menghitung
rata-rata kesadaran karyawan terhadap kualitas produk yang dihasilkannya. Jenis
pertanyaan pada kuesioner terbagi menjadi 2 kategori yaitu pertanyaan yang
bersifat umum dan pertanyaan terkait jabatan (job desk) karyawan di perusahaan.
Pertanyaan disusun berdasarkan SOP (Standard Operating Procedure) yang
diterapkan masing-masing departemen di PT Belfoods Indonesia. Diagram alir
kegiatan magang di PT Belfoods ditunjukkan pada Gambar 1.

5

 

Obsevasi proses produksi dan identifikasi masalah 
Pengumpulan dan analisis data 

Analisis pengendalian 
proses produksi 

Analisis Quality 
Awareness 
Kuisioner 
Kuesioner 

Pengolahan data sekunder 
Pengolahan data sekunder 

Grafik perbandingan cacat 
berbagai produk matang
Pengolahan data primer 
Pengolahan data primer 
Pengamatan jenis cacat  produk 
Pengamatan jenis cacat  produk 
Pengumpulan produk rusak 
berdasar jenis kerusakannya

Diagram Pareto 

Analisis penyimpangan mutu produk
Analisis penyimpangan mutu produk
Pengamatan 
Pengamatan 
Diagram Ishikawa
Diagram Ishikawa
FGD
FGD
Check list
Diagram Pareto 
Diagram Pareto 
Perencanaan
Perencanaan
Perbaikan
Perbaikan
Tindakan Perbaikan
Tindakan Perbaikan
Evaluasi

Gambar 1 Diagram alir kegiatan magang di PT Belfoods Indonesia

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah
PT Belfoods Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak
dalam bidang pengolahan daging. Berdasarkan teknik pemasakannya, produk di
PT Belfoods terbagi ke dalam 2 kategori yaitu produk matang (fully cooked) dan
produk setengah matang (half cooked). Jenis produk yang diproduksi PT Belfoods
antara lain produk marinasi, naget, sosis, beef, baso, kornet, dan mantau. Produk
yang dihasilkan PT Belfoods Indonesia sudah memenuhi standar keamanan
pangan sehingga sudah memenuhi standar HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point) dan GMP (Good Manufacturing Practices).
Setiap jenis produk memiliki titik kontrol kritis yang harus dikendalikan
untuk mencegah atau menghilangkan bahaya terhadap keamanan pangan serta
mengurangi bahaya hingga tingkat yang dapat diterima. Adapun titik kontrol kritis
pada proses produksi naget, produk marinasi, baso, kornet, mantau, dan sosis
adalah pada proses pematangan produk dan proses pendeteksian logam setelah
produk dikemas. Sedangkan titik kontrol kritis pada proses produksi beef adalah
pada proses persiapan bahan baku sehingga terbebas dari kontaminasi tulang dan
proses pendeteksian logam setelah produk dikemas.
Produk yang sering diproduksi di PT Belfoods Indonesia adalah produk
matang (fully cooked). Oleh sebab itu, dilakukan pengamatan terhadap proses
pengolahan produk matang (fully cooked) mulai dari tahap persiapan bahan baku,
pencampuran bahan baku, pencetakan dan pelapisan(forming), penggorengan
(frying), pemasakan (cooking), pembekuan (freezing), dan proses pengemasan
(packaging). PT Belfoods Indonesia menerapkan pengendalian mutu secara
statistik untuk mempertahankan, mengukur dan melakukan tindakan perbaikan
terhadap kualitas hasil produksi. Akan tetapi, meskipun sudah dilakukan
pengendalian seringkali masih terjadi ketidaksesuaian yang tidak dikehendaki
oleh perusahaan, sehingga menghasilkan produk cacat yang akan merugikan
perusahaan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hasil produksi adalah
kesadaran tenaga kerja terhadap kualitas produk yang dihasilkannya. Kesadaran
tenaga kerja berkaitan dengan keselamatan kerja dan keamanan produk yang
dihasilkan. Seperti pada proses racking di area finish goods tidak diperbolehkan
untuk menggunakan palet yang rusak karena berbahaya untuk keselamatan
operator saat mengambil finish product dan keamanan produk yang dihasilkan.
Setiap bahan baku dan finish product harus diberi identifikasi pelabelan yang jelas
agar sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out) dapat
berjalan dengan baik serta memudahkan dalam proses penelusuran. Penomoran
seragam dilakukan dengan tujuan agar seragam yang digunakan selalu bersih dan
menghindari terjadinya kontaminasi pada produk. Sebelum masuk ke area proses
tidak diperbolehkan menggunakan aksesoris, berkuku panjang, berkumis, maupun
berjenggot yang juga bertujuan untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada
produk.
Berdasarkan hasil pengamatan proses produksi, teridentifikasi bahwa
jumlah kerusakan produk beberapa jenis produk matang (fully cooked) melebihi

7
batas toleransi cacat produk perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengendalian mutu yang diterapkan perusahaan belum optimal. Atas dasar ini,
dilakukan pengumpulan beberapa data yang berkaitan dengan kerusakan (grade
B) produk marinasi A dengan menggunakan metode statistik dan analisa terhadap
tingkat kesadaran karyawan akan kualitas hasil produksi sehingga dapat dilakukan
peningkatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat dihasilkan produk
berkualitas, aman, dan bermutu tinggi dengan melibatkan partisipasi dan
kesadaran semua pihak.

Analisis Jenis Produk yang Akan Diteliti
Penentuan satu jenis produk yang akan diteliti dilakukan dengan
pengolahan data dokumentasi produksi selama 3 bulan terakhir di tahun 2012 dan
2013 untuk melihat perbandingan persentase kerusakan produk terhadap 5 jenis
produk matang (fully cooked) yang sering diproduksi PT. Belfoods Indonesia.
Grafik perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk matang (fully
cooked) tahun 2012 dan 2013 ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2

Perbandingan persentase tingkat kerusakan 5 jenis produk
matang (fully cooked) tahun 2012 ( ) dan 2013( )

Produk marinasi A dipilih sebagai produk yang akan dikaji lebih lanjut
karena mengalami peningkatan persentase cacat produk paling tinggi dibanding
produk lainnya serta jumlahnya melebihi batas toleransi cacat produk yang
ditetapkan perusahaan (>0.5 %). Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian proses
produksi produk marinasi A masih perlu dilakukan perbaikan. Selain itu, produk
marinasi A dipilih untuk memperkenalkan varian jenis produk PT Belfoods
Indonesia.
Chicken nugget A mengalami penurunan persentase kerusakan produk
karena dilakukan penggantian papan pencetak (moldplate) pada proses
pencetakannya, sehingga mengurangi jumlah cacat produk dengan bentuk yang
menyimpang. Pengendalian proses produksi produk marinasi B dan chicken
nugget C dianggap sudah berjalan secara optimal. Hal ini dibuktikan oleh jumlah
persentase cacat produk yang dihasilkan lebih kecil dari batas toleransi cacat

8
produk. Chicken nugget C mengalami peningkatan persentase kerusakan produk,
tetapi peningkatannya lebih kecil dari produk marinasi A.
Produk marinasi A adalah salah satu bentuk produk beku siap saji berasal
dari olahan daging ayam yang melewati proses pelayuan (thawing), marinade,
penepungan, penggorengan dan pembekuan. Bahan baku utama yang digunakan
untuk memproduksi produk marinasi A adalah potongan bagian karkas ayam yang
didominasi oleh bagian paha. Bahan baku produk marinasi A merupakan
campuran dari potongan bagian karkas ayam segar dan beku. Proses pelayuan
(thawing) dilakukan terhadap potongan karkas ayam beku maksimal selama 24
jam pada suhu lebih kecil dari suhu ruang. Mekanisme yang terjadi selama proses
pelayuan (thawing) adalah penghambatan pertumbuhan mikroorganisme karena
adanya penurunan pH daging dan peningkatan keempukan daging (Sunarlim dan
Setiyanto 2001). Selain itu, proses thawing juga mengakibatkan pengeluaran
darah menjadi lebih sempurna dan kehilangan bobot yang disertai dengan
kehilangan sari rasa (juiceness) dari dalam daging.
Saat hewan disembelih dagingnya masih lunak (pre rigor). Namun, akibat
terjadinya proses kekakuan otot selama fase rigor mortis, daging akan mengeras
selama 12-24 jam setelah mati. Pada fase post rigor daging akan kembali menjadi
empuk (Antara 2011). Setelah hewan disembelih, metabolisme yang terjadi tidak
lagi metabolisme aerobik, tetapi metabolisme anaerobik karena tidak terjadi
sirkulasi darah ke jaringan otot. Metabolisme anaerobik menyebabkan perubahan
pH daging, sehingga ion hidrogen yang dilepas pada proses glikolisis tidak dapat
diikat oleh oksigen akibatnya terjadi akumulasi hidrogen. Glikolisis adalah proses
pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa dengan degradasi glikogen
secara enzimatik. Ion hidrogen dalam otot dipergunakan untuk merubah asam
piruvat menjadi asam laktat (Nurwantoro dan Mulyani 2003). Hal ini
mengakibatkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk
sehingga pH jaringan otot menurun dengan cepat. Penurunan pH mengakibatkan
struktur protein mengkerut dan menyebabkan kadar air dalam daging berkurang
karena protein kehilangan kemampuannya untuk mengikat air sehingga meningkat
susut bobotnya (Suradi 2006).
Peningkatan keempukan daging terjadi melalui pemecahan protein
miofibrilar daging oleh aktivitas enzim endogenus yang disebut sebagai proses
proteolisis postmortem. Proses ini melibatkan calpain proteolityc system yang
terdiri dari 3 komponen yaitu µ-calpain (low calcium requiring enzyme), mcalpain (high calcium requiring enzyme), dan calpastatin yang spesifik
menghambat aktivitas calpain. Aktivitas calpain sangat tergantung pada
keberadaan kalsium (Antara 2011). Tingginya aktivitas calpastatin akan
menurunkan tingkat keempukan daging. Hal ini disebakan calpastatin akan
mengurangi aktivitas µ-calpain untuk mendegradasi protein miofibril (Morgan et
al 1993).
Selanjutnya proses pengolahan daging dalam larutan berbumbu
(marinade) bertujuan untuk meningkatkan cita rasa, bersifat sebagai antibakteri,
dan memperbaiki sifat fisik daging (Nurwantoro et al 2012). Proses penyerapan
larutan bumbu dilakukan dalam sebuah mesin marinator yang berputar secara
perlahan (tumbling). Gerakan perputaran akan mempermudah penyerapan larutan
bumbu (marinade) (Tan dan Ockerman 2006). Larutan marinasi terdiri dari
campuran garam fosfat dan asam, serta bumbu yang dapat dikombinasi dengan

9
gula, NaCl, dan asam organik. Selanjutnya daging yang telah dimarinasi dilapisi
oleh bahan pelapis kering yaitu tepung predust yang bertujuan untuk
mempermudah penempelan adonan batter. Lapisan batter berfungsi untuk
memudahkan pelekatan tepung breader serta tepung breader berfungsi untuk
menghasilkan tekstur yang renyah pada produk. Proses pelapisan ini bertujuan
untuk menutupi seluruh permukaan bahan dengan menciptakan lapisan yang
homogen.
Setelah meat dilapisi oleh tepung dilakukan proses penggorengan dengan
menggunakan metode deep fat frying. Deep fat frying adalah metode
penggorengan dengan menggunakan minyak yang banyak sehingga bahan pangan
yang digoreng terendam seluruhnya. Proses penggorengan berlangsung dalam
sistem kontinyu yaitu bahan pangan yang digoreng dalam keadaan bergerak atau
mengalami sistem transportasi sepanjang jalur mesin penggorengan. Waktu
penggorengan diatur dengan mengatur kecepatan konveyor dan disesuaikan
dengan suhu yang digunakan untuk menggoreng (Muchtadi dan Ayustaningwarno
2010). Biasanya suhu penggorengan yang dipakai adalah 163-190 oC (Dunford
[tahun terbit tidak diketahui])
Produk akan mengalami perubahan warna, aroma, rasa dan tekstur. Pada
penggorengan metode deep fat frying terjadi perpindahan panas sevara konveksi
yang terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Proses penggorengan
menghasilkan produk setengah matang. Selanjutnya untuk mematangkan bagian
dalam produk dan mematikan mikroba dilakukan pemanasan dengan
menggunakan uap panas (hot air). Sumber uap panas berasal dari hasil proses
pemanasan air dalam suatu bejana tertutup sampai terbentuk air panas atau steam.
Proses pindah panas yang terjadi adalah konduksi dan radiasi. Perpindahan panas
secara konduksi adalah perpindahan panas dari suatu bagian benda padat ke
bagian benda lain karena adanya kontak fisik atau menempel. Sedangkan
perpindahan panas secara radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi melalui
gelombang elektromagnetik atau tanpa ada media perantara.
Proses selanjutnya produk dibekukan dengan menggunakan mesin
pembeku individual quick freezing (IQF). Pembekuan merupakan salah satu
metode pengawetan bahan pangan untuk memperpanjang masa simpan. Hal ini
disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan
menghambat pertumbuhan mikroba. Pembekuan cepat dilakukan pada suhu -24
sampai -40 oC. Pembekuan cepat dilakukan dengan tujuan untuk mencegah
kerusakan karena bakteri, menjamin penanganan yang cepat, menghasilkan
penampilan yang lebih baik dan pemanfaatan freezer secara optimum (Muchtadi
dan Ayustaningwarno 2010). PT Belfoods Indonesia menggunakan mesin
pembeku dengan sistem berbentuk spiral dimana waktu pembekuannya tergantung
pada suhu refrigerasi yang digunakan. Setelah produk keluar dari IQF, produk
marinasi A siap untuk dikemas.

10
Selanjutnya untuk mendapat data yang lebih akurat terkait persentase cacat
(grade B) produk marinasi A diambil data aktual di lapangan pada satu kali
running produksi (1 batch). Berdasarkan grafik perbandingan persentase grade B
produk marinasi A pada satu kali running produksi (1 batch) terhadap batas
toleransi cacat produk perusahaan yang ditunjukkan oleh Gambar 3, terlihat
bahwa jumlah kerusakan (grade B) produk marinasi A melebihi batas toleransi
cacat produk perusahaan (>0.5%).

Gambar 3

Perbandingan persentase tingkat kerusakan aktual produk
marinasiA ( ) terhadap persentase tingkat kerusakan batas
toleransi perusahaan ( ) pada satu kali ulangan

Analisis Penyimpangan Mutu Produk
Analisis jenis dan jumlah penyimpangan mutu produk marinasi A di ruang
pengemasan dilakukan dengan memisahkan produk rusak (grade B) berdasar
jenis kerusakannya selama 15 kali running produksi (15 batch) yang kemudian
data yang sudah terkumpul ditransformasi ke dalam bentuk diagram Pareto.
Pengolahan data untuk analisis ini menggunakan program Ms. Excel.
Penyimpangan mutu produk marinasi A terdiri dari beberapa kriteria dengan titik
proses yang berbeda. Secara umum kriteria produk marinasi A yang berkualitas
adalah produk berwarna coklat keemasan, tidak mengalami pengelupasan bahan
pelapis atau coating, tidak mengalami kerusakan fisik, tidak terkontaminasi oleh
benda asing, dan bercak darah berwarna hitam pada bagian tulang. Adapun
kriteria produk yang tidak sesuai dengan standar ditunjukkan pada Tabel 1.

11
Tabel 1

Deskripsi jenis cacat produk marinasi A
Jenis Cacat

Deskripsi
Selama proses pengemasan terdapat 2 kriteria
sisa darah pada tulang yaitu produk dengan
kriteria bercak darah yang berwarna hitam pada
bagian tulang diklasifikasikan sebagai grade A
Terdapat sisa darah pada dan produk dengan kriteria bercak darah yang
berwarna merah segar diklasifikasikan sebagai
tulang (pink bone)
grade B. Meskipun suhu internal produk sudah
mencapai suhu internal standar yang ditetapkan
perusahaan, tetapi secara visual produk terlihat
belum matang
Coating lepas >2 cm2

Produk yang mengalami pengelupasan bahan
pelapis atau coating lebih dari 2 cm2

Ayam kurang matang

Produk dengan kriteria daging masih mentah
dan berwarna merah, serta darah masih mengalir

Tulang patah

Produk yang mengalami kerusakan secara fisik,
biasanya pada bagian sayap. Sayap ayam terdiri
dari 3 bagian yaitu wing stick (sayap dari
pemotongan pertengahan), middle wing (sendi
sayap bagian tengah), dan wing tip (sendi sayap
bagian atas). Bagian sayap yang patah adalah
bagian wing tip

Ada benda asing

Produk yang terkontaminasi oleh cemaran fisik
seperti plastik dan kontaminasi logam

Berdasarkan hasil pengamatan di ruang pengemasan, terdapat 4 jenis
kerusakan produk marinasi A yaitu terdapat sisa darah pada tulang (pink bone),
coating lepas >2 cm2, ada benda asing yaitu bercak hitam yang bersumber dari oli
food grade yang mengenai produk, dan warna yang lebih gelap dari produk
standar atau mendekati gosong. Warna lebih gelap dari produk standar belum
dicantumkan secara tertulis sebagai kriteria penyimpangan mutu. Akan tetapi,
apabila produk dengan kriteria tersebut digoreng kembali akan menimbulkan rasa
pahit. Oleh sebab itu, produk dengan kriteria warna lebih gelap dari standar
diklasifikasikan sebagai grade B. Tulang patah tidak ditemukan pada saat
pengambilan data primer. Hal ini disebabkan bagian potongan ayam yang diolah
pada proses produksi produk marinasi A didominasi oleh bagian paha dan tidak
ditemukan bagian sayap.

12

(a)

(b)

Standar
(c)

(d)

Keterangan :

(a) terdapat sisa darah pada tulang (pink bone), (b) coating lepas
>2 cm2, (c) warna lebih gelap dari standar, (d) ada benda asing
(bercak hitam)

Gambar 4

Jenis kerusakan produk marinasi A di PT Belfoods
Indonesia

Diagram Pareto menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data
terhadap keseluruhan, terdiri atas grafik balok dan grafik garis. Diagram Pareto
memperlihatkan masalah mana yang dominan (vital view) dan masalah yang
banyak tetapi kurang dominan (trivial view) (Muhandri dan Kadarisman 2012).
Jenis cacat diurutkan berdasarkan jumlah cacatnya mulai dari yang terbesar
hingga terkecil sehingga dapat dihitung persentase kumulatifnya. Persentase
kumulatif berguna untuk menyatakan seberapa besar perbedaan permasalahan
yang ada dalam frekuensi kejadian di antara beberapa permasalahan yang
dominan. Jumlah, persentase, dan akumulasi jenis cacat produk marinasi A
sebelum proses pengemasan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut ini.

13
Tabel 2

Jumlah, persentase, dan akumulasi jenis cacat produk
marinasi A selama proses pengemasan
Jenis cacat

Terdapat sisa darah pada tulang
(pink bone)
Coating lepas > 2 cm2
Warna lebih gelap dari standar
Ada benda asing (bercak hitam)
Tulang patah
Ayam kurang matang
Total

Jumlah
(kilogram)

%

Akumulasi

43.33

69.73

69.73

14.92
3.63
0.25
0.00
0.00
62.14

24.01
5.84
0.41
0.00
0.00
100.00

93.74
99.58
100.00
100.00
100.00

Berdasarkan data di atas dapat disusun diagram Pareto jenis cacat produk
marinasi A sebelum proses pengemasan yang ditunjukkan pada Gambar 5 dengan
menggunakan aturan pengelompokkan 80/20, sehingga dapat terlihat bahwa jenis
cacat yang dominan adalah terdapat sisa darah pada tulang (pink bone) sebesar
69.73 % dan coating lepas >2 cm2 sebesar 24.01 %.

Gambar 5

Diagram Pareto jenis cacat pada produk marinasi A
sebelum proses pengemasan

Analisis selanjutnya adalah penentuan berbagai faktor penyebab timbulnya
sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating lepas >2 cm2 dengan menggunakan
diagram sebab akibat (diagram Ishikawa). Diagram sebab akibat berguna untuk
mengetahui semua faktor yang mungkin terjadi untuk suatu masalah (Muhandri
dan Kadarisman 2012). Penyusunan diagram sebab akibat ini didasarkan pada
pengamatan secara langsung dan wawancara dengan operator produksi dan QC.
Penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) berhubungan dengan
faktor material, metode, dan manusia.
a. Material
Faktor material meliputi potongan karkas ayam beku yang diduga sebelum
diproses kondisinya masih dalam keadaan beku sehingga pengeluaran darah tidak

14
sempurna. Faktor ini dianggap cukup mempengaruhi. Hal ini disebabkan dengan
kondisi potongan karkas ayam yang masih beku akan menurunkan suhu minyak
goreng pada saat proses penggorengan sehingga proses pematangan produk
menjadi tidak optimal dan pengeluaran darah baru akan terjadi setelah dilakukan
pemasakan dengan menggunakan uap panas (hot air).
b. Metode
Faktor yang mempengaruhi timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone)
adalah adanya penumpukkan frozen meat di atas palet yang mengakibatkan meat
tidak secara langsung kontak dengan udara dan membutuhkan waktu lebih lama
untuk mencairkan meat atau proses pelayuan tidak terjadi secara merata. Selain
itu, masih adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor
mengakibatkan terjadinya penumpukkan jumlah meat pada saat proses
pematangan produk. Hal ini diduga mengakibatkan penyerapan minyak selama
proses penggorengan menjadi kurang optimal karena produk saling menumpuk
dan menempel satu sama lain atau dengan kata lain ada sebagian permukaan
produk yang tidak kontak secara langsung dengan minyak. Selain itu, suhu dan
waktu penggorengan yang tidak sesuai standar juga dapat mempengaruhi
timbulnya cacat produk. Penggunaan suhu minyak yang terlalu tinggi
menyebabkan pembentukan warna coklat dan crust pada permukaan bahan
makanan tidak sempurna. Apabila suhu yang digunakan terlalu rendah, produk
memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat yang dikehendaki
dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin banyak minyak
yang terabsorbsi.
c. Manusia
Faktor manusia (tenaga kerja) yang dapat mempengaruhi timbulnya cacat
produk ini adalah ketidakkonsitenan operator dalam memasukkan meat ke dalam
konveyor. Hal ini disebabkan masih adanya varian jumlah dan waktu
memasukkan meat, sehingga terjadi penumpukkan meat pada saat proses
pematangan
produk.
 
Metode
Bahan
M t d
B h
Waktu thawing tidak sesuai standar
Ada varian jumlah dan
Kondisi meat masih beku 
Pengaturan suhu meat
waktu memasukkan meat  
kurang dari standar
Kondisi meat dengan
Adanya penumpukan meat saat
pengeluaran darah tidak
Penumpukan jumlah
 
thawing
tuntas
meat yang meat yang
Suhu tidak sesuai standar
dimasukkan
Penggorengan tidak optimal
Banyaknya
jumlah pink bone
Waktu tidak sesuai standar
pada produk
Marinasi A
sebelum proses
pengemasan
Ada varian jumlah dan waktu
Ada varian
standar jumlah
meat dan
memasukkan
k
kk
Ketidakkonsistenan
Ketidakkonsistenan
memasukkan meat

Manusia

Gambar 6

Diagram Ishikawa banyaknya jumlah pink bone pada
produk marinasi A di ruang pengemasan

15
Adapun faktor penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 berhubungan
dengan faktor manusia, metode dan mesin.
a. Manusia
Faktor manusia (tenaga kerja) yang mempengaruhi timbulnya cacat produk
ini adalah ketidakkonsistenan operator memasukkan jumlah meat ke dalam
konveyor. Hal ini mengakibatkan proses coating tidak berjalan secara optimal dan
ketika produk mengalami proses, produk akan saling menempel satu sama lain
sehingga coating dapat terlepas selama pergerakan dalam konveyor maupun
setelah keluar dari IQF. Selain itu, metode penyortiran kurang efektif sehingga
penyortiran tidak dilakukan secara ketat. Hal ini diduga karena briefing yang
sudah dilakukan belum optimal.
b. Metode
Faktor yang mempengaruhi timbulnya cacat produk adalah sistem coating
yang belum optimal. Adanya varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke
dalam konveyor mengakibatkan meat saling menempel dan menumpuk satu sama
lain. Saat meat yang menempel dan menumpuk ini ditaburi oleh tepung predust,
dicelupkan ke dalam adonan batter, dan ditaburi kembali oleh tepung breader ada
sebagian permukaan meat yang tidak terlapisi bahan pelapis. Selain itu, faktor
penyebab timbulnya coating lepas >2 cm2 adalah adanya pengaturan suhu dan
viskositas batter yang tidak sesuai standar. Hal ini menyebabkan adonan batter
tidak menempel dengan sempurna. Adanya kegiatan perapihan sebelum masuk
breader process juga mengakibatkan coating dapat terlepas. Tepung breader yang
terkena adonan batter akan membentuk gumpalan, sehingga tidak dapat menutupi
permukaan meat secara homogen.
c. Mesin
Faktor mesin yang mempengaruhi timbulnya coating lepas >2 cm2 adalah
sirkuasi mesin breader yang tidak dapat berjalan normal karena breader yang
membentuk gumpalan macet di cerobong, saluran tempat mengalirkan tepung
breader ke permukaan meat. Oleh sebab itu, terjadi ketidakmerataan breader.
 

Metode
Ada varian jumlah dan
waktu memasukkan meat
Penumpukan jumlah
meat yang dimasukkan 
Suhu tidak sesuai standar  

Ada breader yang menggumpal
Ketidakmerataan breader 

Ketidakmerataan batter 
Viskositas tidak sesuai standar

Ketidakmerataan predust 

Adanya coating yang terlepas akibat kegiatan
perapihan 

Ada varian jumlah dan
waktu memasukkan meat
Ketidakkonsistenan
memasukkan meat

Manusia

Gambar 7

Briefing karyawan belum
optimal 
Penyortiran kurang
ketat dan selektif

Ada breader
yang menggumpal 

Banyaknya
jumlah coating
lepas > 2 cm2
pada produk
Marinasi A
selama proses
pengemasan

Breader macet di
cerobong 
Sirkulasi breader
tidak berjalan normal 

Mesin

Diagram Ishikawa banyaknya coating lepas >2 cm2 pada
produk marinasi A di ruang pengemasan

16
Penentuan faktor yang berpengaruh dari semua faktor yang memungkinkan
untuk menjadi penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) dan coating
lepas >2 cm2 diidentifikasi dengan melakukan FGD dan hasil analisis yang ada.
Focus group discussion (FGD) dilakukan dengan beberapa pihak yang mengerti
proses produksi marinasi A yaitu supervisor produksi, leader QC (Quality
Control), dan RnD (Research and Development) yang menentukan parameter
proses. Semua faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya cacat produk disusun
dalam bentuk check list untuk melihat frekuensi ketidaksesuaian parameter proses
melalui 10 kali running produksi (10 batch). Frekuensi ketidaksesuaian parameter
proses, persentase, dan akumulasi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada
tulang (pink bone) ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3 Frekuensi ketidaksesuaian parameter proses, persentase, dan
akumulasi faktor penyebab timbulnya sisa darah pada tulang (pink
bone)
Faktor penyebab
Masih ada varian jumlah dan waktu
memasukkan meat ke dalam konveyor
Adanya penumpukkan meat saat
thawing
Kondisi meat masih beku (sukar
dipisahkan satu sama lain) saat akan
diproses
Ketidaksesuaian lama thawing dengan
suhu meat
Ketidaksesuaian suhu frying
Ketidaksesuaian waktu frying
Total

Frekuensi
kejadian

%

Akumulasi

8

34.78

34.78

7

30.43

65.21

6

26.09

91.30

2

8.70

100.00

0
0
23

0.00
0.00
100.00

100.00
100.00

Data yang sudah terkumpul ditransformasi ke dalam bentuk diagram Pareto
untuk menentukan 1 atau 2 masalah yang mempunyai efek besar dengan aturan
pengelompokkan 80/20. Diagram Pareto faktor penyebab timbulnya sisa darah
darah pada tulang (pink bone) ditunjukkkan oleh Gambar 8.

17

Keterangan:
a : Masih ada varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor
b : Adanya penumpukkan meat saat thawing
c : Kondisi meat masih beku (sukar dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses
d : Ketidaksesuaian lama thawing dengan suhu meat
e : Ketidaksesuaian suhu frying
f : Ketidaksesuaian waktu frying

Gambar 8

Diagram Pareto frekuensi faktor penyebab timbulnya sisa
darah pada tulang (pink bone) pada produk marinasi A

Berdasarkan interpretasi diagram Pareto, terdapat 3 faktor yang mempunyai
efek besar terhadap timbulnya sisa darah pada tulang (pink bone) yaitu masih ada
varian jumlah dan waktu memasukkan meat ke dalam konveyor, adanya
penumpukkan meat saat pelayuan (thawing) dan kondisi meat masih beku (sukar
dipisahkan satu sama lain) saat akan diproses dengan akumulasi serbesar 91.30.
Adapun frekuensi, persentase, dan akumulasi faktor penyebab timbulnya coating
lepas >2 cm2 ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4

Frekuensi ketidaksesuaian, persentase, akumulasi faktor penyebab
timbulnya coating lepas >2 cm2 pada produk marinasi A
Faktor penyebab

Ketidakmerataan
tepung predust
Adanya coating yang
Batter process
terlepas akibat
kegiatan perapihan
Masih ada varian
jumlah dan waktu
Feeding process
memasukkan meat ke
dalam konveyor
Adanya br