Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta (2005-Desember 2010)
ABSTRAK
Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana,
M.Si.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di
Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya.
Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011
dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis
positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian
dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin,
usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang
terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita
skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut
adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing
jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat
kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil
adalah 92,31%.
Kata kunci : anjing, skabies, Rumah Sakit Hewan Jakarta.
STUDI KASUS SKABIES ANJING
DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA
(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)
SKRIPSI
Cholillurrahman
B04070165
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
STUDI KASUS SKABIES ANJING
DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA
(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)
SKRIPSI
Cholillurrahman
B04070165
Disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Judul :
Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(2005-Desember 2010)
Nama :
Cholillurrahman
NIM
B04070165
:
Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing
Dr. drh. Susi Soviana, M.Si
NIP 19581023 198403 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
NIP 19621205 198703 2 001
Disetujui tanggal :
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Kasus
Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010)
adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Cholillurrahman
B04070165
ABSTRACT
Cholillurrahman. A Case Study of Canine Scabies at Jakarta Animal Hospital
(January 2005-December 2010). Under direction of Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.
The objectives of this study was to know the prevalence, the treatment of canine
scabies in Jakarta Animal Hospital and the treatment effectiveness. This research
was conducted in September to October 2011 by collecting the medical record of
dog patients that positively diagnosed scabies. The data were analyzed
descriptively with several categories such as race, haircoat, sex, age, and the
treatment effectiveness. The results showed that there were 187 from 30.659 dogs
infested by scabies (0.66%), and consisted of 36 races. The highest dogs that
infested by scabies were local dogs (17.6%), short-haired dogs (65.24%), male
dogs (60.43%), and adult dogs (77.54%). There were two drugs that usually used
for scabies treatment at Jakarta Animal Hospital, ivermectin and fipronil. The
effectiveness of ivemerctin was 93,67% and fipronil was 92,31%.
Keywords: dogs, scabies, Jakarta Animal Hospital.
ABSTRAK
Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana,
M.Si.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di
Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya.
Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011
dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis
positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian
dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin,
usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang
terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita
skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut
adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing
jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat
kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil
adalah 92,31%.
Kata kunci : anjing, skabies, Rumah Sakit Hewan Jakarta.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan September 2011 ini ialah skabies pada anjing, dengan
judul Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005Desember 2010).
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
perhatian, arahan, nasihat, kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis
selama penyusunan skripsi. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan
kepada Bapak drh. Chusnul Choliq, MS. MM. yang telah membimbing penulis
selama dalam masa perkuliahan. Terimakasih pula kepada Ibu Dr. drh. Dwi
Jayanti Gunandini, M.Si, Bapak Prof. Dr. drh. Iman Supriyatna, dan Dr. drh. I
Ketut Mudite Adnyane, M.Si yang telah memberikan arahan dan nasihat kepada
penulis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ucapan terimakasih pula penulis ucapkan kepada Ayahanda H. Caca
Priyatna, Ibunda Hj. Hamidah, dan kedua adik penulis Robi’atul Adawiyah dan
Nabilah yang telah mendukung dan menyemangati penulis. Ucapan terimakasih
juga penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai Laboratorium
Entomologi FKH-IPB, atas dukungan dan bantuannya.
Terima kasih pula penulis ucpakan kepada pihak RSHJ Ragunan, drh.
Erdwin dan Mas Aini. Kepada teman-teman GIANUZZI 44, Pondok SUZU-RUN,
Madu, Rio, Ablay, Antok, Kiki, Daud, Rissar, Danang, Fakhri, Wentil, dan juga
personil Wisma Geulis, Uji, Eka, Nyitong dan terutama Kenyo Palupi yang telah
banyak mendukung serta mengisi keseharian penulis. Terimakasih juga kepada
semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pribadi, pihak lain, dan dunia pendidikan Indonesia.
Bogor, Februari 2012
Cholillurrahman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 28 Maret 1990 dari
Ayahanda H. Caca Priyatna dan Ibunda Hj. Hamidah. Penulis merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta, lalu melanjutkan ke SMPN 48 Jakarta dan lulus
pada tahun 2004, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 29 Jakarta
dan lulus pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB/SNMPTN.
Selama duduk di bangku perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi
diantaranya Forum Silaturahmi Alumni 29 (FORSA 29) sebagai ketua pada tahun
2009-2010, Ikatan Alumni SMA sekecamatan Kebayoran Lama,Ciledung, dan
Sekitarnya (IAS3) pada tahun 2009-2010 sebagai wakil ketua. Penulis juga aktif
dalam Komunitas Seni Steril FKH-IPB dalam divisi Event Organizer pada tahun
2009-2010, dan Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan
Satwa Akuatik (HKSA) sebagai anggota divisi Hewan Kecil pada tahun 20082010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
Skabies dan Penyebabnya ................................................................................... 3
Patogenesis .......................................................................................................... 7
Gejala klinis ........................................................................................................ 8
Diagnosis ........................................................................................................... 11
Pengobatan dan Pencegahan ............................................................................. 13
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 17
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 17
Metode Penelitian.............................................................................................. 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 18
Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ....................................... 18
Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta ..................... 19
Penderita Skabies Berdasarkan Ras .................................................................. 20
Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut................................................... 21
Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin .................................................. 22
Penderita Skabies Berdasarkan Usia ................................................................. 23
Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ...................... 25
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 28
Kesimpulan ....................................................................................................... 28
Saran .................................................................................................................. 28
LAMPIRAN .......................................................................................................... 29
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot badan anjing
pada aplikasi spot-on.…...……………………………………………....15
Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun,
dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan
Jakarta dari tahun 2005-2010……………………………………….......20
Tabel 3 Frekuensi kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta pada Januari 2005-Desember 2010………..……………………21
Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah
Sakit Hewan Jakarta dan persentase kesembuhannya..………...…….....26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Tungau Sarcoptes scabiei var. canis tampak dorsal...........
3
Gambar 2
Tungau Sarcoptes scabiei var.canis tampak ventral...........
4
Gambar 3
Bagian tubuh tungau ..........................................................
5
Gambar 4
Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau...
6
Gambar 5
Papulae pada gejala awal skabies.......................................
8
Gambar 6
Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing................
9
Gambar 7
Anjing yang terjangkit skabies...........................................
10
Gambar 8
Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau.....
11
Gambar 9
Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit
Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.............
19
Gambar 10
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta berdasarkan jenis rambut pada tahun 20052010......................................................
22
Gambar 11
Gambar 12
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010..
23
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta anjing pada tahun 2005-2010 berdasarkan
kategori usia anjing ..........................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Contoh data rekam medis pasien di Rumah Sakit Hewan Jakarta……………….32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan yang sudah sejak lama didomestikasi oleh
manusia. Pada zaman dahulu hewan ini digunakan untuk membantu manusia
dalam berburu binatang liar, dan juga untuk menjaga hewan ternak dari ancaman
binatang buas. Ada ungkapan yang berbunyi “Dogs are men’s best friends”
(Anjing adalah sahabat terbaik manusia). Di masa kini, manusia tidak hanya
memelihara anjing untuk berburu dan mencari makan, tetapi juga sebagai hewan
kesayangan, penjaga rumah dan perkebunan, hiburan, pelacak, dan bahkan
menjadi aktor film, serta masih banyak kegunaan anjing lainnya dalam kehidupan
manusia.
Dalam aspek pemeliharaan hewan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, satu diantaranya adalah kesehatan. Hal ini menjadi sangat penting
karena kesehatan yang baik akan membuat hewan peliharaan menunjukkan
penampilan dan kondisi yang prima. Sayangnya aspek kesehatan hewan terkadang
kurang diperhatikan oleh pemilik. Misalnya masalah pada kulit dan rambut anjing
yang tanpa disadari oleh pemilik telah merubah perilaku hewan kesayangannya
tersebut. Penyakit itu antara lain penyakit ektoparasitik seperti skabies.
Skabies atau kudis adalah suatu penyakit kulit pada hewan dan manusia
yang disebabkan oleh infestasi tungau dari spesies Sarcoptes scabiei pada lapisan
korneum kulit. Penyakit ini bersifat zoonotik, dapat menular dari hewan ke
manusia atau sebaliknya. Skabies pada anjing disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var.canis (Soulsby 1982).
Gejala awal dari penyakit ini ditandai dengan adanya eritema, makula, dan
papula pada kulit (Jubb et al. 1993). Biasanya tungau akan menyerang daerah
yang berambut jarang seperti telinga, wajah, siku, jari, dan sekitar kelamin. Akibat
yang ditimbulkan yaitu berupa kebotakan (alopesia) dan lesio pada kulit yang
mengering dan mengeras dan menjadi keropeng, lesio ini akan cepat menyebar ke
seluruh tubuh seiring dengan derajat infestasi tungau (Kelly 1984).
Skabies pada beberapa anjing seringkali tidak menunjukkan lesi kulit,
terkadang hanya berupa kegatalan saja. Hal ini seringkali dikelirukan oleh pemilik
sebagai penyakit alergi.
Frekuensi kasus skabies pada anjing sering terjadi tetapi dipandang
sebelah mata oleh para pemilik anjing. Karena berbagai hal, pemilik kurang
memperhatikan anjingnya, bahkan penanganan yang dilakukan terhadap penyakit
ini seringkali terlambat, sehingga menyebabkan anjing telah berada dalam kondisi
yang buruk saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Kejadian skabies pada
anjing di rumah sakit hewan merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dan
bersifat kambuhan. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999-Juni
2000 terjadi 70 kasus skabies dari 12.362 ekor pasien anjing di Rumah Sakit
Hewan Jakarta pada kurun waktu yang sama. Untuk mengetahui frekuensi kasus
skabies pada kurun waktu berikutnya, tentu saja diperlukan penelitian lanjutan
mengenai kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta. Selain itu perlu diketahui
juga tentang tindak penanganan skabies dan hubungannya dengan frekuensi kasus
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui berbagai tindak penanganan yang dilakukan terhadap
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.
2. Mengetahui prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari
Januari 2005-Desember 2010.
3. Mengetahui efektivitas pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit
Hewan Jakarta.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang skabies
pada anjing di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya, juga sebagai evaluasi kinerja
Rumah Sakit Hewan Jakarta terhadap penanganan skabies pada anjing.
TINJAUAN PUSTAKA
Skabies dan Penyebabnya
Menurut Paradis et al. (1997), skabies pada anjing adalah penyakit kulit
non musim yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Penyakit ini
sangat mudah menular dan bersifat zoonosis.
Klasifikasi dari tungau ini menurut Taylor et al. (2007) adalah sebagai
berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Arachnida
Subkelas
: Acari
Ordo
: Acariformes
Subordo
: Sarcoptiformes (Astigmata)
Famili
: Sarcoptidae
Genus
: Sarcoptes
Spesies
: Sarcoptes scabiei var.canis
(b)
(a)
(d)
(d)
(d)
(d)
(c)
1 mm
Gambar 1 Tungau Sarcoptes scabiei var. canis jantan tampak dorsal
(a) kepala (b) pulvilli (c) duri (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010 )
(b)
(d)
(a)
(c)
0.5 mm
Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral
(a) kelisera (b) pulvilli (c) lubang kelamin (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010)
Tungau ini berbentuk bulat atau oval, cembung pada bagian punggung dan
rata pada bagian perut serta berwarna transparan dan agak kehitaman. Tungau
betina berukuran panjang 0.3–0.6 mm, dan lebar 0.25–0.4 mm. Tungau jantan
berukuran lebih kecil yakni 0.2–0.3 mm panjangnya, dan lebar 0.1–0.2 mm
(Taylor et al. 2007). Gambaran S.scabiei var. canis sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 dan 2.
Secara umum, bagian tubuh dari tungau terbagi menjadi dua, yaitu
gnathosoma (anterior) atau capitulum, dan idiosoma (posterior). Gnathosoma
hanya terdiri atas mulut, sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada
bagian idiosoma. Bagian idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang
memiliki kaki disebut podosoma, dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki
disebut opisthosoma. Tungau dewasa memiliki delapan kaki, sedangkan larvanya
hanya memiliki enam kaki. Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk
lebih ramping dan termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu
pergerakan dan makan (Wall & Shearer 2001). Pembagian tubuh tungau lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Bagian tubuh tungau
(Sumber : Krantz 1975)
Kaki tungau, terdiri atas enam bagian. Bagian kaki yang bertaut pada
tubuh, disebut koksa atau epimere, yang diikuti oleh trokanter, femur, genu, tibia,
dan tarsus. Pada ujung tarsus, terdapat pretarsus yang ujungnya disebut
ambulacrum. Bagian ambulacrum terdiri atas sepasang cakar, yang pada bagian
tengahnya terdapat struktur yang bernama empodium. Bagian ini memiliki bentuk
yang bervariasi pada setiap tungau,terkadang menyerupai filamen rambut,
penebalan, cakar, dan sucker (alat pengisap). Pada Sarcoptes scabiei var. canis,
cakar di bagian ambulacrum hilang, dan berubah menjadi sebuah struktur ramping
yang dinamakan pulvilli. Pada tungau jantan, pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga, sedangkan pada tungau betina pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga dan keempat. Pulvilli tersebut digunakan tungau untuk membantu
pergerakannya (Wall & Shearer 2001). Segmentasi kaki dan bentuk kaki pada
tungau dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau
(Sumber : Wall & Shearer 2001)
Mulut tungau ini berbentuk bulat dan lebar. Bagian permukaan dorsal
tungau ini ditumbuhi oleh seta yang kuat dan menyerupai duri. Anusnya terdapat
di terminal, dan tungau ini tidak mempunyai mata atau disebut juga astigmata
(Taylor et al. 2007).
Siklus hidup tungau terdiri atas lima fase, yaitu telur, larva, protonimfa,
tritonimfa, dan dewasa. Semua fase tadi berlangsung pada tubuh inangnya.Tungau
jantan akan bertemu dan kawin dengan tungau betina di permukaan kulit dan
kemudian tungau betina akan menggali terowongan kira–kira sedalam 1 mm pada
permukaan kulit dengan menggunakan kelisera dan empodium yang berbentuk
seperti cakar pada dua pasang kaki depannya. Dalam terowongan tersebut hanya
berisi satu tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall & Shearer 2001). Setiap
hari tungau betina akan meletakkan telur sebanyak 3-4 butir (Grant 1986). Dalam
satu terowongan tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak 30–40 butir
(Soulsby 1982).
Telur–telur tadi akan matang dan menetas setelah 3–8 hari, dan
menghasilkan larva tungau yang berkaki enam. Larva akan keluar dari
terowongan menuju permukaan kulit untuk mencari makan. Dua sampai tiga hari
kemudian larva akan berganti kulit (moulting) menjadi protonimfa. Selama fase
tersebut larva dan nimfa akan tinggal dan memakan folikel rambut. Protonimfa
kemudian akan berganti kulit kembali menjadi tritonimfa, dan beberapa hari
kemudian akan menjadi dewasa. Baik tungau jantan maupun betina dewasa akan
mencari makan dan kawin di permukaan kulit dan siklus hidup berulang kembali
(Wall & Shearer 2001).
Stadium telur menjadi dewasa berlangsung pada waktu yang singkat kirakira selama 17–21 hari, walaupun singkat tetapi tingkat mortalitas dari periode ini
cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10% dari total telur yang dihasilkan berhasil
menjadi tungau dewasa (Wall & Shearer 2001).
Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal
ukuran, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan (Wardhana et al. 2006)
Patogenesis
Skabies merupakan penyakit kulit yang sangat menular, baik pada sesama
anjing dan dapat pula menulari spesies lain bahkan manusia (Nahm & Corwin
1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam
genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian akibat terjadinya interbreeding
yang terus menerus antarpopulasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan
(Fain 1978 dalam Wardhana et al. 2006).
Wall & Shearer (2001) menyatakan bahwa, landak yang terinfestasi oleh
tungau Sarcoptes scabiei dapat menjadi reservoir skabies bagi hewan peliharaan
dan ruminansia.
Tungau yang ada pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia
namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al. 1987,
Meinking & Taplin 1990 dalam Wardhana et al. 2006). Banyak hewan yang
menderita skabies dilaporkan menjadi sumber penularan bagi manusia. Penularan
dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi wabah pada
populasi manusia (Estes et al. 1983, Schwartzman 1983 dalam Wardhana et al.
2006). Pernah juga dilaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing
penderita skabies 30 orang diantaranya positif tertular skabies (Chakrabarti 1986
dalam Wardhana et al. 2006).
Ruiz-Maldonado et al. (1977 dalam Wardhana et al. 2006) melaporkan
bahwa pernah terjadi kasus skabies pada gadis berusia empat belas tahun yang
tertular Sarcoptes scabiei var. canis. Gadis tersebut hidup bersama dengan anjing
yang menderita skabies. Bahkan dilaporkan juga anjing yang sehat tertular skabies
dari gadis tersebut.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau
kontak tidak langsung dengan berbagai objek yang digunakan oleh penderita,
seperti handuk, kasur, selimut, dan tempat tinggal yang terkontaminasi oleh
tungau (Goldsmid & Melrose 2005).
Infestasi awal tungau biasanya terjadi pada daerah yang jarang ditumbuhi
oleh rambut seperti daerah kepala, meliputi daerah sekitar mata, dan telinga,
daerah ventral tubuh meliputi bagian abdomen, dan daerah sekitar kelamin. Pada
kaki biasanya di bagian siku, lutut, lipatan paha, dan bahkan sela-sela jari (Kelly
1977). Tungau akan menembus lapisan korneum epidermis kulit, mengisap cairan
limfe dan juga memakan sel–sel epitel (Soulsby 1982).
Gejala klinis
Gejala klinis yang muncul akibat infestasi tungau ini bervariasi bergantung
kepada waktu berjalannya penyakit. Pada tahap awal infestasi, kegatalan belum
terlihat, dan kondisi ini akan terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu
ketiga. Sejalan dengan berlanjutnya infestasi dan aktivitas tungau, mulai terlihat
adanya lesio
papula pada bagian tubuh penderita sebagaimana terlihat pada
Gambar 5. Biasanya lesio ini akan terlihat jelas pada bagian tubuh penderita yang
jarang ditumbuhi rambut (Bentley 2001).
papula
papula
Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies
(Sumber : Bentley 2001)
Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing
(Sumber : Muller & Kirk 1976 dalam Latif 2001)
Bagian yang dilingkari pada Gambar 6 menunjukkan bagian tubuh yang
paling sering memperlihatkan adanya gejala awal berupa papula pada anjing yang
menderita skabies. Seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas tungau akan
meningkat misalnya pada saat tungau betina kawin dan menggali terowongan
untuk meletakkan telurnya, anjing akan memperlihatkan gejala klinis berupa
kegatalan yang hebat. Biasanya hal ini akan terjadi pada minggu ketiga dan
keempat (Nahm & Corwin 1997).
Tungau Sarcoptes scabiei tidak mengisap darah, tetapi mengisap cairan
diantara sel kulit. Selama aktivitas tersebut tungau betina akan mengeluarkan
sekreta dan ekskreta yang menyebabkan terjadinya iritasi dan peradangan pada
inangnya (Wall & Shearer 2001).
Rasa gatal yang ditimbulkan oleh aktivitas tungau akan membuat anjing
menggaruk dan akan menyebabkan iritasi yang lebih hebat. Kulit akan
mengeluarkan cairan eksudat bening yang bilamana kering akan membuat kulit
menebal dan menjadi keropeng atau pecah–pecah. Selain itu, akan terlihat
kerontokan rambut pada daerah yang terinfestasi dan berakhir dengan kebotakan
(Nahm & Corwin 1997) sebagaimana terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Anjing yang terjangkit Skabies.
Sumber : (Bentley 2001)
Apabila keadaan lebih parah, anjing akan menggaruk hingga berdarah.
Darah yang keluar
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Bakteri kemudian akan berkembang dan menyebabkan infeksi yang akan
menyebabkan adanya nanah, sehingga menimbulkan kondisi pyoderma. Bila tidak
segera ditangani, akan berakibat fatal pada anjing (Grant 1986). Goldsmid &
Melrose (2005) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak menyebabkan
infeksi sekunder pada skabies adalah Staphylococcus pyogenes.
Secara histopatologi, skabies ditandai dengan adanya lesio berupa fokal
hiperkeratosis, epidermal hiperplasia (penebalan kulit), dan ditemukan tungau
Sarcoptes scabiei yang membentuk sarang pada lapisan korneum kulit yang
menebal tersebut (Grant 1986). Gambaran histopatologi lainnya adalah
ditemukannya perubahan berupa lesio infiltrasi sel–sel radang yang terdiri atas
neutrofil, makrofag, dan sel–sel mononuklear. Antigen yang diekskresikan tungau
masuk ke bagian lapisan epidermis dan dermis kulit. Aktivitas ini menginduksi
sirkulasi antibodi dan respon imun sel media di sekitar lesio, sebagai reaksi
pertahanan tubuh inang (Arlian et al. 1996)
Tungau Sarcoptes scabiei
Epidermis
Dermis
Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau
(Sumber : Sarma et al. 2009)
Ada beberapa penyakit kulit yang memiliki gejala klinis yang hampir sama
dengan skabies yang menjadi diagnosis pembanding skabies. Beberapa penyakit
kulit tersebut diantaranya adalah dermatitis alergi karena makanan atau udara,
yang pada tahap awal menyerupai skabies dengan terbentuknya pustulae, tetapi
akan berlanjut menjadi berminyak. Penyakit lain seperti ringworm juga
membentuk lesio yang hampir sama dengan skabies, perbedaannya adalah pada
ringworm lesio yang terjadi lebih sedikit dan terlokalisasi pada satu tempat saja
(Muller & Kirk 1976). Selain itu ada pula penyakit demodekosis yang juga
disebabkan oleh tungau Demodex canis. Tungau Demodex canis merupakan
parasit alami yang ada pada tubuh anjing. Anjing yang terjangkit demodekosis
akan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan skabies tetapi dengan aspek
yang lebih basah. Demodekosis biasanya berhubungan dengan kondisi
imunosupresi (Wall & Shearer 2001). Agar tidak terkecoh dengan penyakit –
penyakit yang menyerupai skabies tadi, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk
menghindari kesalahan penanganan skabies.
Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa
jenis tungau seperti demodekosis, skabies, dan penyakit kulit lain seperti
ringworm, biasanya dilakukan pengerokan kulit. Metode ini bertujuan untuk
menemukan dan mengidentifikasi jenis parasit dengan memeriksa di bawah
mikroskop. Tungau sangat sulit untuk ditemukan pada hewan, terutama pada
hewan yang sudah cukup lama terinfestasi atau hewan yang baru saja dimandikan
dengan metode dipping (Hammet 1999).
Menurut Hammet (1999), ada dua metode yang biasa digunakan untuk
penegakan diagnosis, yaitu kerokan kulit (skin scraping) dan flotasi sentrifugasi.
Proses dari kedua metode diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Preparat natif / kerokan kulit
Sampel diambil dengan cara membuat luka kerokan pada kulit hewan yang
terserang (pada lokasi yang menunjukkan lesio) dengan menggunakan skalpel.
Hasil kerokan kulit tadi kemudian diletakkan pada kaca objek yang kemudian
ditetesi NaOH atau KOH 10% sebanyak beberapa tetes dan ditunggu beberapa
detik hingga jaringan kulit lisis.
Kaca objek tadi kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di
bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali. Hasil positif akan
memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop (Hammet 1999)
2. Metode Flotasi Sentrifugasi
Sampel kerokan kulit diambil dengan cara yang sama pada metode
pertama, kemudian diletakkan pada tabung sentrifugasi. KOH dan NaOH
ditambahkan sebanyak 3-5 ml pada tabung tadi, kemudian dilakukan pemanasan
dengan Bunsen selama beberapa menit (Hammet 1999).
Sampel tadi akan menjalani proses selanjutnya yaitu dengan dilakukannya
sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Proses sentrifugasi
tersebut akan membentuk endapan pada dasar tabung. Endapan diambil dengan
pipet pastur, kemudian diletakkan pada kaca objek, selanjutnya ditutup dengan
kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali.
Hasil positif akan memperlihatkan tungau pada
lapang pandang mikroskop
(Hammet 1999).
Selain dari dua metode diatas, dapat juga dilakukan metode pemeriksaan
sel hidup (biopsi), yang kemudian diperiksa gambaran histopatologinya. Cara ini
memang tidak berguna secara langsung, tetapi dengan cara ini dapat diketahui
perubahan–perubahan yang terjadi akibat adanya infestasi dari beberapa
ektoparasit. Menurut Wall & Shearer (2001), beberapa perubahan histopalogi
yang dapat terlihat pada kulit karena infestasi tungau Sarcoptes antara lain
infiltrasi sel eosinofil pada jaringan kulit yang biasanya disertai oleh degenerasi
kolagen dan pembentukan formasi pustula oleh sel–sel eosinofil.
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan skabies berfokus pada eradikasi agen penyakitnya, yaitu
tungau Sarcoptes scabiei. Banyak sekali jenis obat yang bersifat akarisidal yang
dapat digunakan untuk pengobatan skabies. Obat-obat tersebut dapat diaplikasikan
dalam berbagai rute baik secara oral, subkutan, semprot, atau topikal.
Penanganan penyakit skabies cukup sederhana, tetapi ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan. Selain berfokus pada eradikasi tungau parasit, nutrisi,
dan manejemen pemeliharaan harus diperhatikan. Nutrisi dan manejemen
pemeliharaan yang buruk akan menyebabkan hewan menjadi stress dan
menurunkan imunitas hewan, sehingga akan menyebabkan hewan rentan terhadap
penyakit lainnya (Huang et al. 1998). Beberapa akarisida yang biasa digunakan
oleh praktisi di Ingggris untuk pengobatan skabies pada anjing adalah amitraz,
ivermectin dan turunannya ,serta fipronil (British Veterinary Association 2005).
Sediaan–sediaan tersebut juga telah digunakan oleh praktisi di seluruh dunia
sebagai obat pilihan untuk mengobati skabies.
Amitraz adalah salah satu jenis obat yang berasal dari golongan Amidin.
Amitraz bekerja pada reseptor oktopamin pada tungau yang akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf (British Veterinary Association 2005). Aplikasi obat ini
pada anjing yaitu dengan cara memandikan anjing dengan amitraz berkonsentrasi
0,05%. Amitraz juga tidak boleh digunakan untuk anjing ras cihuahua, anjing
yang sedang bunting atau menyusui, serta anak anjing yang berusia kurang dari 12
minggu, karena amitraz dapat menurunkan motilitas dari organ gastro-intestinal
yang mengakibatkan hipomotilitas pada usus besar (British Veterinary
Association 2005). Menurut Paradis et al. (1997), penggunaan amitraz berpotensi
meracuni orang yang memandikan pasien skabies. Efek samping lain yang dapat
terjadi dari penggunaan obat ini adalah lethargia, bradikardia, depresi sistem saraf
pusat, dan efek sedasi sementara (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin dan turunannya termasuk avermectin, abamectin, doramectin,
eprinomectin, dan selamectin adalah senyawa lakton makrosiklik alami dan semi
alami yang diisolasi dari kapang Streptomyces avermitilis yang ditemukan di
Jepang. Tidak hanya dapat membunuh ektoparasit, ivermectin juga dapat
digunakan sebagai obat pilihan pada beberapa penyakit yang disebabkan oleh
beberapa jenis Nematoda (Praag 2003).
Obat ini bekerja dengan cara mengatur jumlah ion klorida (Cl-) yang
masuk ke dalam sel ektoparasit. Ketika ion–ion klorida tadi masuk ke dalam sel,
membran sel akan mengalami hiperpolarisasi, sehingga sinyal saraf tidak dapat
ditransmisikan. Setelah itu ektoparasit akan mati perlahan–lahan karena
mengalami paralisis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi ivermectin akan bekerja
antagonis dengan neutotransmitter GABA (asam γ–aminobutirat). Pada Nematoda
dan ektoparasit, reseptor GABA terdapat pada sistem saraf tepi, sedangkan pada
mamalia terdapat pada sistem saraf pusat (Praag 2003).
Ivermectin dapat diaplikasikan secara oral, topikal, ataupun sistemik.
Dosis tunggal yang dianjurkan untuk Sarcoptes scabiei var.canis adalah 200
µg/kg berat badan, dan dosis untuk aplikasi sistemik maupun oral adalah 200–400
µg /kg berat badan (Curtis 2004). Obat ini memiliki efek samping berupa edema
kulit pada kuda. Efek samping tersebut terjadi karena toksin yang dikeluarkan
oleh ektoparasit yang mati, dan efek ini berlangsung sekitar 5 hari (Praag 2003).
Selain itu, obat ini memberikan efek samping berupa batuk–batuk setelah
diberikan secara oral pada domba (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin tidak boleh diberikan kepada anjing ras Collie, Australian
sheepdog, Old English sheepdog, Shetland sheepdog dan anjing persilangan dari
beberapa jenis anjing tadi. Ivermectin juga tidak boleh diberikan pada anjing–
anjing muda yang berusia kurang dari 8 bulan, anjing yang sedang bunting dan
menyusui (British Veterinary Association 2005).
Menurut Praag (2003) anjing–anjing ras tersebut memiliki gen yang sangat
sensitif terhadap cara kerja ivermectin. Reaksi hipersensitivitas pada ras anjing
tersebut disebabkan oleh gen mdr1-1Δ yang berasal dari mutasi gen MDR1. Gen
MDR1 adalah gen yang mensintesa asam amino yang dapat menghambat
ivermectin untuk masuk ke dalam blood brain barrier. Ketika gen tersebut
bermutasi menjadi Gen mdr1-1Δ ivermectin akan dapat menembus blood brain
barrier (Neff et al. 2004). Anjing yang keracunan ivermectin akan menunjukkan
gejala klinis seperti ataksia dan depresi. Setelah beberapa lama kemudian anjing
akan memperlihatkan gejala seperti dilatasi pupil (mydriasis), stupor, tremor,
emesis, hipersalivasi, koma, dan akan berujung pada kematian. Biasanya
pertolongan pertama pada keracunan ivermectin adalah pemberian arang aktif dan
pemberian cairan elektolit secara intravena.
Fipronil adalah insektisida dari golongan phenylprazole yang bekerja
dengan cara menghambat kerja dari neurotransmitter asam γ–butirat (GABA)
ektoparasit, yang menyebabkan ektoparasit akan mati karena paralisis (Ghubash
2006). Obat ini diaplikasikan secara spot–on atau topical pada tubuh anjing yang
terinfestasi tungau. Untuk aplikasi spot-on dosis yang digunakan berbeda–beda
tergantung bobot anjing. Dosis yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot anjing pada aplikasi spot–on.
Bobot badan anjing
Dosis yang diberikan
1–10 kg
0,67 ml
10–20 kg
1,34 ml
20–40 kg
2,68 ml
Diatas 40 kg
4,02 ml
(Sumber : British Veterinary Association 2005)
Fipronil juga dapat diaplikasikan secara disemprotkan (spray). Jika
diaplikasikan secara spray, konsentrasi fipronil yang dianjurkan adalah 0,25 %
dari larutan (Ghubash 2006). Apabila obat lain menjadi kontra indikasi dari
penderita skabies, fipronil merupakan obat pilihan yang efektif untuk pengobatan
skabies (Curtis 1996 ).
Kontra indikasi dari obat ini adalah anak anjing yang berusia kurang dari 8
minggu. Pengobatan untuk anak anjing yang berusia kurang dari 8 minggu,
biasanya digunakan collar agar anak anjing tidak menjilati lokasi obat
diaplikasikan. Jika ini terjadi, maka akan timbul efek samping yang berupa
hipersalivasi (British Veterinary Association 2005).
Dalam penanganan skabies perlu juga diperhatikan terapi suportif untuk
mengurangi lesio yang diakibatkan oleh tungau, diantaranya keratolitik, untuk
mengikis kulit yang keropeng. Antibiotik, untuk mengobati infeksi sekunder
akibat bakteri. Asupan vitamin juga dibutuhkan untuk perawatan jaringan tubuh
pasien (Curtis 1996).
Agar tidak menulari hewan lain atau manusia di sekitarnya, anjing yang
terjangkit skabies hendaknya dipisahkan selama masa pengobatan. Selain itu
kandang, perlatan bermain, peralatan makan, dan alat-alat grooming hendaknya
dibersihkan setiap hari untuk mencegah penularan skabies. Lingkungan sekitar
rumah tempat anjing bermain juga sebaiknya dibersihkan. Kebersihan personal
pemilik juga merupakan salah satu hal wajib yang harus diperhatikan mengingat
penyakit ini bersifat zoonotik (Wall & Shearer 2001).
Pengembangan vaksin skabies hingga saat ini masih mengalami kendala.
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) bekerja sama dengan DFID (Department for
International Development) Inggris telah melakukan penelitian pengembangan
vaksin skabies untuk kambing, namun hasilnya belum memuaskan (Wardhana et
al. 2006).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hewan Jakarta yang beralamat di
jalan Harsono RM. 28, Ragunan, Jakarta Selatan, sebagai sumber data penelitian.
Rumah sakit ini banyak menjadi tempat rujukan bagi dokter–dokter hewan praktik
yang ada di Jakarta. Adapun waktu pengumpulan data dilakukan sejak bulan
September – Oktober 2011.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data pasien anjing melalui
data rekam medik pasien sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan
Desember 2010. Data pasien yang diambil merupakan data penderita pasien
penyakit skabies yang terdiagnosa positif secara klinis maupun laboratorium, serta
data penanganan pasien tersebut. Data yang diambil kemudian dianalisis dengan
menggunakan statistika deskriptif, dengan demikian dapat diketahui nilai
parameter yang diamati, diantaranya adalah frekuensi kejadian penyakit
berdasarkan ras, jenis rambut, umur, jenis kelamin, dan penanganan yang
dilakukan terhadap pasien.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta
Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992,
atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat itu yaitu Ibu
Tien Soeharto. Rumah Sakit ini merupakan rujukan bagi pasien yang memerlukan
diagnosis, penanganan, dan pengobatan yang lebih intensif karena di rumah sakit
ini terdapat beberapa fasilitas penunjang diagnosis seperti instalasi radiologi dan
ultrasonografi, laboratorium, bahkan terapi alternatif untuk hewan seperti
akupuntur.
Di Rumah Sakit Hewan Jakarta, skabies digolongkan kedalam penyakit
zoonosis yang memerlukan diagnosis lanjutan seperti pengambilan kerokan kulit.
Pasien yang datang dan positif terdiagnosis skabies setelah pemeriksaan klinis dan
laboratorium akan langsung diobati dengan menggunakan sediaan-sediaan
akarisidal seperti ivermectin dan fipronil. Pengobatan didasarkan kepada ras
anjing, kondisi anjing, dan tingkat keparahan penyakit. Selain itu juga diberikan
antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder, kemudian diberikan
juga vitamin E untuk mempercepat perbaikan kulit anjing. Bila tingkat keparahan
penyakit masih ringan, biasanya pasien boleh dibawa pulang dan diharuskan
datang 2 minggu kemudian untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan ulang
sampai pasien sembuh.
Jika pasien datang dengan keadaan yang buruk, maka dokter-dokter hewan
di Rumah Sakit Hewan Jakarta akan mengharuskan pemilik untuk merawat inap
agar anjing selalu berada dalam pengawasan dokter hewan. Pasien yang dirawat
inap akan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ruang isolasi agar tidak menulari
anjing lainnya. Setelah sembuh total, pihak rumah sakit akan menghubungi
pemilik bahwa hewan peliharaannya sudah diperbolehkan untuk pulang.
Para dokter hewan praktisi di Amerika Serikat, sudah mulai menggunakan
jenis akarisidal untuk mengobati skabies, yang paling sering digunakan adalah
mylbemicin oxime dan selamectin. Kedua sediaan tadi merupakan modifikasi
dari ivermectin. Keduanya diaplikasikan secara Spot-on dengan dosis 2 mg/kg BB
untuk mylbemicin oxime dan 6-12 mg/Kg BB untuk selamectin. Beberapa praktisi
di Amerika melaporkan bahwa efisiensi pengobatan dengan kedua obat tersebut
mencapai 98% dan aman untuk ras anjing yang merupakan kontraindikasi dari
ivermectin. Tindakan isolasi terhadap pasien juga dilakukan dalam penanganan
penyakit-penyakit zoonosis oleh praktisi kesehatan hewan di Amerika Serikat
(Curtis 2004).
Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
Selain skabies ada beberapa penyakit lain yang bersifat zoonosis yang
mendapatkan perhatian khusus dari pihak Rumah Sakit Hewan Jakarta,
diantaranya brucellosis, leptospirosis, visceral larva migrans, toxoplasmosis,
salmonellosis, dan ringworm.
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari
2005-Desember 2010, skabies menempati posisi kedua dengan persentase 28,47%
dari seluruh kasus zoonosis pada kurun waktu tersebut, sebagaimana terlihat pada
Gambar 9.
28.47%
3.05%
0.76%
35.15%
24.96%
4.10%
3.51%
Skabies
Brucellosis
Salmonellosis
Ringworm
Leptospirosis
Visceral larva migrans
Toxoplasmosis
Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari
Januari 2005-Desember 2010.
Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta
pada bulan Januari 2005–Desember 2010 menunjukkan bahwa terdapat 187 kasus
skabies pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi, jumlah pasien anjing tiap
tahun, dan prevalensi skabies tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta
cukup fluktuatif. Sejak tahun 2005-2008 prevalensinya meningkat hingga 0,92%,
lalu kemudian menurun kembali pada 2009. Dua tahun terakhir (2009-2010)
kembali terjadi peningkatan menjadi 0,78%.
Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun, dan prevalensi
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005-2010.
Tahun
Pasien anjing total
(ekor)
Prevalensi
(%)
2005
Jumlah
pasien skabies
(ekor)
26
5.521
0,47%
2006
27
4.912
0,55%
2007
33
5.009
0,66%
2008
40
4.351
0,92%
2009
29
5.079
0,57%
2010
45
5.787
0,78%
Rata-rata
33,3
5.109,8
0,66%
Penderita Skabies Berdasarkan Ras
Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Latif (2001) dari bulan Januari
1999-Desember 2001 melaporkan bahwa terdapat 70 kasus (0,57%) dari 12.632
ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai
dengan Juli 2000. Anjing–anjing tersebut terdiri atas 17 ras yang berbeda.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa anjing lokal merupakan pasien yang paling
banyak terjangkit skabies dengan jumlah sebanyak 33 ekor (17,6%) dibanding
anjing ras lainnya. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999
sampai dengan bulan Juni 2000 kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta didominasi oleh anjing ras Chow-chow sebanyak 14 ekor dengan
persentase 20% dari total kasus yaitu sebanyak 70 kasus.
Tingginya kasus skabies pada anjing tidak dipengaruhi oleh ras anjing dan
pada umumnya disebabkan karena pemilik kurang memperhatikan aspek
pemeliharaan dan kesehatan hewan peliharaanya, sehingga ektoparasit dapat
berkembang dengan baik (Muller & Kirk 1976).
Tabel 3. Frekuensi kasus Skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010.
No
Ras Anjing
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Basset Hound
Beagle
Boxer
Bulldog
Chow-chow
Cihuahua
Collie
Dalmatian
Daschund
Dobermann
Fox Terrier
German Shepherd
Golden Retriever
Great Dane
Jack Russel Terier
Kintamani
Labrador
Lokal
Mallinois
Maltese
Mini Pincsher
Pekingese
Pitbull
Pomeranian
Poodle
Pug
Rotweiller
Saint Bernard
Samoyed
Schnauzer
Shiba
Shihtzu
Siberian Husky
Welsh Corgi
Yorkshire
Mix / Campuran
Jumlah
Jenis Kelamin
Jantan Betina
1
1
3
2
4
0
2
1
0
2
4
3
2
1
4
0
3
1
6
0
1
1
3
2
5
2
1
0
2
1
2
1
15
0
15
18
1
0
2
2
3
2
1
1
2
4
2
6
2
2
3
2
2
2
0
1
1
0
1
1
2
0
0
3
6
1
0
1
2
1
10
10
113
74
Jenis
rambut
Pendek
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Panjang
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Lain-lain
Jumlah
2
5
4
3
2
7
3
4
4
6
2
5
7
1
3
3
15
33
1
4
5
2
6
8
4
5
4
1
1
2
2
3
7
1
3
20
187
Persentase
(%)
1,06
2,67
2,1
1,6
1,06
3,74
1,6
2,13
2,13
3,02
1,06
2,67
3,74
0,53
1,6
1,6
8,02
17,6
0,53
2,13
2,67
1,06
3,2
4,3
2,13
2,67
2,13
0,53
0,53
1,06
1,06
1,6
3,74
0,53
1,6
10,7
100
Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut
Skabies berhubungan dengan jenis rambut anjing. Kasus skabies pada
anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing dapat
dilihat pada Gambar 10.
10.70%
24.06%
Panjang
Pendek
Lain-lain
65.24%
Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
berdasarkan jenis rambut anjing pada tahun 2005–2010.
Sejak tahun 2005–2010 di Rumah Sakit Hewan Jakarta, 122 ekor
(65,24%) anjing yang terjangkit skabies merupakan anjing dengan jenis rambut
pendek, dan 45 ekor (24,06%) anjing dengan jenis rambut panjang. Sisanya
sebanyak 20 ekor (10,7%) tidak dapat diketahui jenis rambutnya karena
merupakan anjing ras campuran.
Menurut Witjaksono & Sungkar (1996), anjing dengan rambut panjang
lebih mudah terjangkit skabies karena debu, kotoran, dan bahkan arthropoda yang
berukuran mikroskopik lebih mudah menempel pada rambut anjing, sedangkan
data di atas menunjukkan bahwa anjing dengan jenis rambut pendek di Rumah
Sakit Hewan Jakarta lebih banyak terjangkit skabies. Faktor yang menyebabkan
anjing dengan jenis rambut pendek lebih banyak terjangkit skabies adalah karena
pemilik anjing kurang memperhatikan dan merawat kesehatan kulit anjingnya.
Karena anjing dengan rambut pendek membutuhkan perawatan relatif yang lebih
mudah dibandingkan dengan anjing rambut panjang, sehingga kesehatan rambut
dan kulitnya kurang diperhatikan.
Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, kejadian skabies pada anjing di Rumah Sakit
Hewan Jakarta pada tahun 2005–2010 didominasi oleh anjing jantan dengan
jumlah 113 ekor (60,43%) dan anjing betina hanya (39,57%). Data tersebut dapat
dilihat pada Gambar 11. Menurut Muller & Kirk (1976), skabies tidak berkaitan
dengan jenis kelamin. Anjing jantan maupun betina memiliki risiko yang sama
untuk terjangkit skabies .
39.57%
0
Jantan
Betina
60.43%
Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010.
Faktor yang menyebabkan anjing jantan lebih banyak terjangkit skabies
adalah karena anjing jantan lebih sering digunakan oleh pemiliknya sebagai anjing
pemacak. Anjing jantan yang digunakan sebagai pemacak akan lebih sering
melakukan kontak langsung dengan anjing lain yang kemungkinan telah terjangkit
skabies baik secara klinis maupun subklinis.
Selain itu anjing jantan cenderung lebih dominan dibanding anjing betina
dalam kehidupan sosialnya. Menurut Broom & Fraser (2007) hewan jantan
memiliki sifat yang lebih dominan daripada hewan betina, dominasi ini
ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melakukan mounting, mengendusendus, dan berkelahi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Interaksi anjing
jantan yang menunjukkan dominasi inilah yang memungkinkan anjing jantan
melakukan kontak langsung yang lebih sering dengan anjing lain, sehingga
kemungkinan tertular skabies oleh anjing lain lebih besar.
Penderita Skabies Berdasarkan Usia
Anjing diklasifikasikan menurut usia oleh Federation Cynologue
International (FCI) menjadi tiga kelas. Kelas yang pertama adalah anakan
(puppies) yang berusia dari 3–9 bulan, yang kedua adalah remaja (teenage)
dengan usia 10-18 bulan, dan dewasa (adult)
yang berusia diatas 2 tahun.
(Verhoef–Verhaellen 1996). Berdasarkan pembagian kelompok umur tersebut,
anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005–
2010 didominasi oleh anjing dewasa dengan jumlah sebanyak 145 ekor (77,54%),
berikutnya adalah anjing dari usia remaja sebanyak 27 ekor (
Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana,
M.Si.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di
Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya.
Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011
dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis
positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian
dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin,
usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang
terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita
skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut
adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing
jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat
kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil
adalah 92,31%.
Kata kunci : anjing, skabies, Rumah Sakit Hewan Jakarta.
STUDI KASUS SKABIES ANJING
DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA
(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)
SKRIPSI
Cholillurrahman
B04070165
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
STUDI KASUS SKABIES ANJING
DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA
(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)
SKRIPSI
Cholillurrahman
B04070165
Disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Judul :
Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(2005-Desember 2010)
Nama :
Cholillurrahman
NIM
B04070165
:
Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing
Dr. drh. Susi Soviana, M.Si
NIP 19581023 198403 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
NIP 19621205 198703 2 001
Disetujui tanggal :
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Kasus
Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010)
adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Cholillurrahman
B04070165
ABSTRACT
Cholillurrahman. A Case Study of Canine Scabies at Jakarta Animal Hospital
(January 2005-December 2010). Under direction of Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.
The objectives of this study was to know the prevalence, the treatment of canine
scabies in Jakarta Animal Hospital and the treatment effectiveness. This research
was conducted in September to October 2011 by collecting the medical record of
dog patients that positively diagnosed scabies. The data were analyzed
descriptively with several categories such as race, haircoat, sex, age, and the
treatment effectiveness. The results showed that there were 187 from 30.659 dogs
infested by scabies (0.66%), and consisted of 36 races. The highest dogs that
infested by scabies were local dogs (17.6%), short-haired dogs (65.24%), male
dogs (60.43%), and adult dogs (77.54%). There were two drugs that usually used
for scabies treatment at Jakarta Animal Hospital, ivermectin and fipronil. The
effectiveness of ivemerctin was 93,67% and fipronil was 92,31%.
Keywords: dogs, scabies, Jakarta Animal Hospital.
ABSTRAK
Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
(Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana,
M.Si.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di
Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya.
Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011
dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis
positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian
dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin,
usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang
terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita
skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut
adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing
jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat
kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil
adalah 92,31%.
Kata kunci : anjing, skabies, Rumah Sakit Hewan Jakarta.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan September 2011 ini ialah skabies pada anjing, dengan
judul Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005Desember 2010).
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
perhatian, arahan, nasihat, kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis
selama penyusunan skripsi. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan
kepada Bapak drh. Chusnul Choliq, MS. MM. yang telah membimbing penulis
selama dalam masa perkuliahan. Terimakasih pula kepada Ibu Dr. drh. Dwi
Jayanti Gunandini, M.Si, Bapak Prof. Dr. drh. Iman Supriyatna, dan Dr. drh. I
Ketut Mudite Adnyane, M.Si yang telah memberikan arahan dan nasihat kepada
penulis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik.
Ucapan terimakasih pula penulis ucapkan kepada Ayahanda H. Caca
Priyatna, Ibunda Hj. Hamidah, dan kedua adik penulis Robi’atul Adawiyah dan
Nabilah yang telah mendukung dan menyemangati penulis. Ucapan terimakasih
juga penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai Laboratorium
Entomologi FKH-IPB, atas dukungan dan bantuannya.
Terima kasih pula penulis ucpakan kepada pihak RSHJ Ragunan, drh.
Erdwin dan Mas Aini. Kepada teman-teman GIANUZZI 44, Pondok SUZU-RUN,
Madu, Rio, Ablay, Antok, Kiki, Daud, Rissar, Danang, Fakhri, Wentil, dan juga
personil Wisma Geulis, Uji, Eka, Nyitong dan terutama Kenyo Palupi yang telah
banyak mendukung serta mengisi keseharian penulis. Terimakasih juga kepada
semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pribadi, pihak lain, dan dunia pendidikan Indonesia.
Bogor, Februari 2012
Cholillurrahman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 28 Maret 1990 dari
Ayahanda H. Caca Priyatna dan Ibunda Hj. Hamidah. Penulis merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta, lalu melanjutkan ke SMPN 48 Jakarta dan lulus
pada tahun 2004, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 29 Jakarta
dan lulus pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB/SNMPTN.
Selama duduk di bangku perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi
diantaranya Forum Silaturahmi Alumni 29 (FORSA 29) sebagai ketua pada tahun
2009-2010, Ikatan Alumni SMA sekecamatan Kebayoran Lama,Ciledung, dan
Sekitarnya (IAS3) pada tahun 2009-2010 sebagai wakil ketua. Penulis juga aktif
dalam Komunitas Seni Steril FKH-IPB dalam divisi Event Organizer pada tahun
2009-2010, dan Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan
Satwa Akuatik (HKSA) sebagai anggota divisi Hewan Kecil pada tahun 20082010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
Skabies dan Penyebabnya ................................................................................... 3
Patogenesis .......................................................................................................... 7
Gejala klinis ........................................................................................................ 8
Diagnosis ........................................................................................................... 11
Pengobatan dan Pencegahan ............................................................................. 13
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 17
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 17
Metode Penelitian.............................................................................................. 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 18
Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ....................................... 18
Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta ..................... 19
Penderita Skabies Berdasarkan Ras .................................................................. 20
Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut................................................... 21
Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin .................................................. 22
Penderita Skabies Berdasarkan Usia ................................................................. 23
Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ...................... 25
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 28
Kesimpulan ....................................................................................................... 28
Saran .................................................................................................................. 28
LAMPIRAN .......................................................................................................... 29
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot badan anjing
pada aplikasi spot-on.…...……………………………………………....15
Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun,
dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan
Jakarta dari tahun 2005-2010……………………………………….......20
Tabel 3 Frekuensi kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta pada Januari 2005-Desember 2010………..……………………21
Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah
Sakit Hewan Jakarta dan persentase kesembuhannya..………...…….....26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Tungau Sarcoptes scabiei var. canis tampak dorsal...........
3
Gambar 2
Tungau Sarcoptes scabiei var.canis tampak ventral...........
4
Gambar 3
Bagian tubuh tungau ..........................................................
5
Gambar 4
Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau...
6
Gambar 5
Papulae pada gejala awal skabies.......................................
8
Gambar 6
Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing................
9
Gambar 7
Anjing yang terjangkit skabies...........................................
10
Gambar 8
Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau.....
11
Gambar 9
Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit
Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.............
19
Gambar 10
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta berdasarkan jenis rambut pada tahun 20052010......................................................
22
Gambar 11
Gambar 12
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010..
23
Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta anjing pada tahun 2005-2010 berdasarkan
kategori usia anjing ..........................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Contoh data rekam medis pasien di Rumah Sakit Hewan Jakarta……………….32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan yang sudah sejak lama didomestikasi oleh
manusia. Pada zaman dahulu hewan ini digunakan untuk membantu manusia
dalam berburu binatang liar, dan juga untuk menjaga hewan ternak dari ancaman
binatang buas. Ada ungkapan yang berbunyi “Dogs are men’s best friends”
(Anjing adalah sahabat terbaik manusia). Di masa kini, manusia tidak hanya
memelihara anjing untuk berburu dan mencari makan, tetapi juga sebagai hewan
kesayangan, penjaga rumah dan perkebunan, hiburan, pelacak, dan bahkan
menjadi aktor film, serta masih banyak kegunaan anjing lainnya dalam kehidupan
manusia.
Dalam aspek pemeliharaan hewan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, satu diantaranya adalah kesehatan. Hal ini menjadi sangat penting
karena kesehatan yang baik akan membuat hewan peliharaan menunjukkan
penampilan dan kondisi yang prima. Sayangnya aspek kesehatan hewan terkadang
kurang diperhatikan oleh pemilik. Misalnya masalah pada kulit dan rambut anjing
yang tanpa disadari oleh pemilik telah merubah perilaku hewan kesayangannya
tersebut. Penyakit itu antara lain penyakit ektoparasitik seperti skabies.
Skabies atau kudis adalah suatu penyakit kulit pada hewan dan manusia
yang disebabkan oleh infestasi tungau dari spesies Sarcoptes scabiei pada lapisan
korneum kulit. Penyakit ini bersifat zoonotik, dapat menular dari hewan ke
manusia atau sebaliknya. Skabies pada anjing disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var.canis (Soulsby 1982).
Gejala awal dari penyakit ini ditandai dengan adanya eritema, makula, dan
papula pada kulit (Jubb et al. 1993). Biasanya tungau akan menyerang daerah
yang berambut jarang seperti telinga, wajah, siku, jari, dan sekitar kelamin. Akibat
yang ditimbulkan yaitu berupa kebotakan (alopesia) dan lesio pada kulit yang
mengering dan mengeras dan menjadi keropeng, lesio ini akan cepat menyebar ke
seluruh tubuh seiring dengan derajat infestasi tungau (Kelly 1984).
Skabies pada beberapa anjing seringkali tidak menunjukkan lesi kulit,
terkadang hanya berupa kegatalan saja. Hal ini seringkali dikelirukan oleh pemilik
sebagai penyakit alergi.
Frekuensi kasus skabies pada anjing sering terjadi tetapi dipandang
sebelah mata oleh para pemilik anjing. Karena berbagai hal, pemilik kurang
memperhatikan anjingnya, bahkan penanganan yang dilakukan terhadap penyakit
ini seringkali terlambat, sehingga menyebabkan anjing telah berada dalam kondisi
yang buruk saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Kejadian skabies pada
anjing di rumah sakit hewan merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dan
bersifat kambuhan. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999-Juni
2000 terjadi 70 kasus skabies dari 12.362 ekor pasien anjing di Rumah Sakit
Hewan Jakarta pada kurun waktu yang sama. Untuk mengetahui frekuensi kasus
skabies pada kurun waktu berikutnya, tentu saja diperlukan penelitian lanjutan
mengenai kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta. Selain itu perlu diketahui
juga tentang tindak penanganan skabies dan hubungannya dengan frekuensi kasus
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui berbagai tindak penanganan yang dilakukan terhadap
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.
2. Mengetahui prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari
Januari 2005-Desember 2010.
3. Mengetahui efektivitas pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit
Hewan Jakarta.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang skabies
pada anjing di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya, juga sebagai evaluasi kinerja
Rumah Sakit Hewan Jakarta terhadap penanganan skabies pada anjing.
TINJAUAN PUSTAKA
Skabies dan Penyebabnya
Menurut Paradis et al. (1997), skabies pada anjing adalah penyakit kulit
non musim yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Penyakit ini
sangat mudah menular dan bersifat zoonosis.
Klasifikasi dari tungau ini menurut Taylor et al. (2007) adalah sebagai
berikut:
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Arachnida
Subkelas
: Acari
Ordo
: Acariformes
Subordo
: Sarcoptiformes (Astigmata)
Famili
: Sarcoptidae
Genus
: Sarcoptes
Spesies
: Sarcoptes scabiei var.canis
(b)
(a)
(d)
(d)
(d)
(d)
(c)
1 mm
Gambar 1 Tungau Sarcoptes scabiei var. canis jantan tampak dorsal
(a) kepala (b) pulvilli (c) duri (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010 )
(b)
(d)
(a)
(c)
0.5 mm
Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral
(a) kelisera (b) pulvilli (c) lubang kelamin (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010)
Tungau ini berbentuk bulat atau oval, cembung pada bagian punggung dan
rata pada bagian perut serta berwarna transparan dan agak kehitaman. Tungau
betina berukuran panjang 0.3–0.6 mm, dan lebar 0.25–0.4 mm. Tungau jantan
berukuran lebih kecil yakni 0.2–0.3 mm panjangnya, dan lebar 0.1–0.2 mm
(Taylor et al. 2007). Gambaran S.scabiei var. canis sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 dan 2.
Secara umum, bagian tubuh dari tungau terbagi menjadi dua, yaitu
gnathosoma (anterior) atau capitulum, dan idiosoma (posterior). Gnathosoma
hanya terdiri atas mulut, sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada
bagian idiosoma. Bagian idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang
memiliki kaki disebut podosoma, dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki
disebut opisthosoma. Tungau dewasa memiliki delapan kaki, sedangkan larvanya
hanya memiliki enam kaki. Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk
lebih ramping dan termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu
pergerakan dan makan (Wall & Shearer 2001). Pembagian tubuh tungau lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Bagian tubuh tungau
(Sumber : Krantz 1975)
Kaki tungau, terdiri atas enam bagian. Bagian kaki yang bertaut pada
tubuh, disebut koksa atau epimere, yang diikuti oleh trokanter, femur, genu, tibia,
dan tarsus. Pada ujung tarsus, terdapat pretarsus yang ujungnya disebut
ambulacrum. Bagian ambulacrum terdiri atas sepasang cakar, yang pada bagian
tengahnya terdapat struktur yang bernama empodium. Bagian ini memiliki bentuk
yang bervariasi pada setiap tungau,terkadang menyerupai filamen rambut,
penebalan, cakar, dan sucker (alat pengisap). Pada Sarcoptes scabiei var. canis,
cakar di bagian ambulacrum hilang, dan berubah menjadi sebuah struktur ramping
yang dinamakan pulvilli. Pada tungau jantan, pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga, sedangkan pada tungau betina pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga dan keempat. Pulvilli tersebut digunakan tungau untuk membantu
pergerakannya (Wall & Shearer 2001). Segmentasi kaki dan bentuk kaki pada
tungau dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau
(Sumber : Wall & Shearer 2001)
Mulut tungau ini berbentuk bulat dan lebar. Bagian permukaan dorsal
tungau ini ditumbuhi oleh seta yang kuat dan menyerupai duri. Anusnya terdapat
di terminal, dan tungau ini tidak mempunyai mata atau disebut juga astigmata
(Taylor et al. 2007).
Siklus hidup tungau terdiri atas lima fase, yaitu telur, larva, protonimfa,
tritonimfa, dan dewasa. Semua fase tadi berlangsung pada tubuh inangnya.Tungau
jantan akan bertemu dan kawin dengan tungau betina di permukaan kulit dan
kemudian tungau betina akan menggali terowongan kira–kira sedalam 1 mm pada
permukaan kulit dengan menggunakan kelisera dan empodium yang berbentuk
seperti cakar pada dua pasang kaki depannya. Dalam terowongan tersebut hanya
berisi satu tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall & Shearer 2001). Setiap
hari tungau betina akan meletakkan telur sebanyak 3-4 butir (Grant 1986). Dalam
satu terowongan tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak 30–40 butir
(Soulsby 1982).
Telur–telur tadi akan matang dan menetas setelah 3–8 hari, dan
menghasilkan larva tungau yang berkaki enam. Larva akan keluar dari
terowongan menuju permukaan kulit untuk mencari makan. Dua sampai tiga hari
kemudian larva akan berganti kulit (moulting) menjadi protonimfa. Selama fase
tersebut larva dan nimfa akan tinggal dan memakan folikel rambut. Protonimfa
kemudian akan berganti kulit kembali menjadi tritonimfa, dan beberapa hari
kemudian akan menjadi dewasa. Baik tungau jantan maupun betina dewasa akan
mencari makan dan kawin di permukaan kulit dan siklus hidup berulang kembali
(Wall & Shearer 2001).
Stadium telur menjadi dewasa berlangsung pada waktu yang singkat kirakira selama 17–21 hari, walaupun singkat tetapi tingkat mortalitas dari periode ini
cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10% dari total telur yang dihasilkan berhasil
menjadi tungau dewasa (Wall & Shearer 2001).
Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal
ukuran, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan (Wardhana et al. 2006)
Patogenesis
Skabies merupakan penyakit kulit yang sangat menular, baik pada sesama
anjing dan dapat pula menulari spesies lain bahkan manusia (Nahm & Corwin
1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam
genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian akibat terjadinya interbreeding
yang terus menerus antarpopulasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan
(Fain 1978 dalam Wardhana et al. 2006).
Wall & Shearer (2001) menyatakan bahwa, landak yang terinfestasi oleh
tungau Sarcoptes scabiei dapat menjadi reservoir skabies bagi hewan peliharaan
dan ruminansia.
Tungau yang ada pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia
namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al. 1987,
Meinking & Taplin 1990 dalam Wardhana et al. 2006). Banyak hewan yang
menderita skabies dilaporkan menjadi sumber penularan bagi manusia. Penularan
dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi wabah pada
populasi manusia (Estes et al. 1983, Schwartzman 1983 dalam Wardhana et al.
2006). Pernah juga dilaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing
penderita skabies 30 orang diantaranya positif tertular skabies (Chakrabarti 1986
dalam Wardhana et al. 2006).
Ruiz-Maldonado et al. (1977 dalam Wardhana et al. 2006) melaporkan
bahwa pernah terjadi kasus skabies pada gadis berusia empat belas tahun yang
tertular Sarcoptes scabiei var. canis. Gadis tersebut hidup bersama dengan anjing
yang menderita skabies. Bahkan dilaporkan juga anjing yang sehat tertular skabies
dari gadis tersebut.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau
kontak tidak langsung dengan berbagai objek yang digunakan oleh penderita,
seperti handuk, kasur, selimut, dan tempat tinggal yang terkontaminasi oleh
tungau (Goldsmid & Melrose 2005).
Infestasi awal tungau biasanya terjadi pada daerah yang jarang ditumbuhi
oleh rambut seperti daerah kepala, meliputi daerah sekitar mata, dan telinga,
daerah ventral tubuh meliputi bagian abdomen, dan daerah sekitar kelamin. Pada
kaki biasanya di bagian siku, lutut, lipatan paha, dan bahkan sela-sela jari (Kelly
1977). Tungau akan menembus lapisan korneum epidermis kulit, mengisap cairan
limfe dan juga memakan sel–sel epitel (Soulsby 1982).
Gejala klinis
Gejala klinis yang muncul akibat infestasi tungau ini bervariasi bergantung
kepada waktu berjalannya penyakit. Pada tahap awal infestasi, kegatalan belum
terlihat, dan kondisi ini akan terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu
ketiga. Sejalan dengan berlanjutnya infestasi dan aktivitas tungau, mulai terlihat
adanya lesio
papula pada bagian tubuh penderita sebagaimana terlihat pada
Gambar 5. Biasanya lesio ini akan terlihat jelas pada bagian tubuh penderita yang
jarang ditumbuhi rambut (Bentley 2001).
papula
papula
Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies
(Sumber : Bentley 2001)
Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing
(Sumber : Muller & Kirk 1976 dalam Latif 2001)
Bagian yang dilingkari pada Gambar 6 menunjukkan bagian tubuh yang
paling sering memperlihatkan adanya gejala awal berupa papula pada anjing yang
menderita skabies. Seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas tungau akan
meningkat misalnya pada saat tungau betina kawin dan menggali terowongan
untuk meletakkan telurnya, anjing akan memperlihatkan gejala klinis berupa
kegatalan yang hebat. Biasanya hal ini akan terjadi pada minggu ketiga dan
keempat (Nahm & Corwin 1997).
Tungau Sarcoptes scabiei tidak mengisap darah, tetapi mengisap cairan
diantara sel kulit. Selama aktivitas tersebut tungau betina akan mengeluarkan
sekreta dan ekskreta yang menyebabkan terjadinya iritasi dan peradangan pada
inangnya (Wall & Shearer 2001).
Rasa gatal yang ditimbulkan oleh aktivitas tungau akan membuat anjing
menggaruk dan akan menyebabkan iritasi yang lebih hebat. Kulit akan
mengeluarkan cairan eksudat bening yang bilamana kering akan membuat kulit
menebal dan menjadi keropeng atau pecah–pecah. Selain itu, akan terlihat
kerontokan rambut pada daerah yang terinfestasi dan berakhir dengan kebotakan
(Nahm & Corwin 1997) sebagaimana terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Anjing yang terjangkit Skabies.
Sumber : (Bentley 2001)
Apabila keadaan lebih parah, anjing akan menggaruk hingga berdarah.
Darah yang keluar
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Bakteri kemudian akan berkembang dan menyebabkan infeksi yang akan
menyebabkan adanya nanah, sehingga menimbulkan kondisi pyoderma. Bila tidak
segera ditangani, akan berakibat fatal pada anjing (Grant 1986). Goldsmid &
Melrose (2005) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak menyebabkan
infeksi sekunder pada skabies adalah Staphylococcus pyogenes.
Secara histopatologi, skabies ditandai dengan adanya lesio berupa fokal
hiperkeratosis, epidermal hiperplasia (penebalan kulit), dan ditemukan tungau
Sarcoptes scabiei yang membentuk sarang pada lapisan korneum kulit yang
menebal tersebut (Grant 1986). Gambaran histopatologi lainnya adalah
ditemukannya perubahan berupa lesio infiltrasi sel–sel radang yang terdiri atas
neutrofil, makrofag, dan sel–sel mononuklear. Antigen yang diekskresikan tungau
masuk ke bagian lapisan epidermis dan dermis kulit. Aktivitas ini menginduksi
sirkulasi antibodi dan respon imun sel media di sekitar lesio, sebagai reaksi
pertahanan tubuh inang (Arlian et al. 1996)
Tungau Sarcoptes scabiei
Epidermis
Dermis
Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau
(Sumber : Sarma et al. 2009)
Ada beberapa penyakit kulit yang memiliki gejala klinis yang hampir sama
dengan skabies yang menjadi diagnosis pembanding skabies. Beberapa penyakit
kulit tersebut diantaranya adalah dermatitis alergi karena makanan atau udara,
yang pada tahap awal menyerupai skabies dengan terbentuknya pustulae, tetapi
akan berlanjut menjadi berminyak. Penyakit lain seperti ringworm juga
membentuk lesio yang hampir sama dengan skabies, perbedaannya adalah pada
ringworm lesio yang terjadi lebih sedikit dan terlokalisasi pada satu tempat saja
(Muller & Kirk 1976). Selain itu ada pula penyakit demodekosis yang juga
disebabkan oleh tungau Demodex canis. Tungau Demodex canis merupakan
parasit alami yang ada pada tubuh anjing. Anjing yang terjangkit demodekosis
akan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan skabies tetapi dengan aspek
yang lebih basah. Demodekosis biasanya berhubungan dengan kondisi
imunosupresi (Wall & Shearer 2001). Agar tidak terkecoh dengan penyakit –
penyakit yang menyerupai skabies tadi, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk
menghindari kesalahan penanganan skabies.
Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa
jenis tungau seperti demodekosis, skabies, dan penyakit kulit lain seperti
ringworm, biasanya dilakukan pengerokan kulit. Metode ini bertujuan untuk
menemukan dan mengidentifikasi jenis parasit dengan memeriksa di bawah
mikroskop. Tungau sangat sulit untuk ditemukan pada hewan, terutama pada
hewan yang sudah cukup lama terinfestasi atau hewan yang baru saja dimandikan
dengan metode dipping (Hammet 1999).
Menurut Hammet (1999), ada dua metode yang biasa digunakan untuk
penegakan diagnosis, yaitu kerokan kulit (skin scraping) dan flotasi sentrifugasi.
Proses dari kedua metode diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Preparat natif / kerokan kulit
Sampel diambil dengan cara membuat luka kerokan pada kulit hewan yang
terserang (pada lokasi yang menunjukkan lesio) dengan menggunakan skalpel.
Hasil kerokan kulit tadi kemudian diletakkan pada kaca objek yang kemudian
ditetesi NaOH atau KOH 10% sebanyak beberapa tetes dan ditunggu beberapa
detik hingga jaringan kulit lisis.
Kaca objek tadi kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di
bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali. Hasil positif akan
memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop (Hammet 1999)
2. Metode Flotasi Sentrifugasi
Sampel kerokan kulit diambil dengan cara yang sama pada metode
pertama, kemudian diletakkan pada tabung sentrifugasi. KOH dan NaOH
ditambahkan sebanyak 3-5 ml pada tabung tadi, kemudian dilakukan pemanasan
dengan Bunsen selama beberapa menit (Hammet 1999).
Sampel tadi akan menjalani proses selanjutnya yaitu dengan dilakukannya
sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Proses sentrifugasi
tersebut akan membentuk endapan pada dasar tabung. Endapan diambil dengan
pipet pastur, kemudian diletakkan pada kaca objek, selanjutnya ditutup dengan
kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali.
Hasil positif akan memperlihatkan tungau pada
lapang pandang mikroskop
(Hammet 1999).
Selain dari dua metode diatas, dapat juga dilakukan metode pemeriksaan
sel hidup (biopsi), yang kemudian diperiksa gambaran histopatologinya. Cara ini
memang tidak berguna secara langsung, tetapi dengan cara ini dapat diketahui
perubahan–perubahan yang terjadi akibat adanya infestasi dari beberapa
ektoparasit. Menurut Wall & Shearer (2001), beberapa perubahan histopalogi
yang dapat terlihat pada kulit karena infestasi tungau Sarcoptes antara lain
infiltrasi sel eosinofil pada jaringan kulit yang biasanya disertai oleh degenerasi
kolagen dan pembentukan formasi pustula oleh sel–sel eosinofil.
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan skabies berfokus pada eradikasi agen penyakitnya, yaitu
tungau Sarcoptes scabiei. Banyak sekali jenis obat yang bersifat akarisidal yang
dapat digunakan untuk pengobatan skabies. Obat-obat tersebut dapat diaplikasikan
dalam berbagai rute baik secara oral, subkutan, semprot, atau topikal.
Penanganan penyakit skabies cukup sederhana, tetapi ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan. Selain berfokus pada eradikasi tungau parasit, nutrisi,
dan manejemen pemeliharaan harus diperhatikan. Nutrisi dan manejemen
pemeliharaan yang buruk akan menyebabkan hewan menjadi stress dan
menurunkan imunitas hewan, sehingga akan menyebabkan hewan rentan terhadap
penyakit lainnya (Huang et al. 1998). Beberapa akarisida yang biasa digunakan
oleh praktisi di Ingggris untuk pengobatan skabies pada anjing adalah amitraz,
ivermectin dan turunannya ,serta fipronil (British Veterinary Association 2005).
Sediaan–sediaan tersebut juga telah digunakan oleh praktisi di seluruh dunia
sebagai obat pilihan untuk mengobati skabies.
Amitraz adalah salah satu jenis obat yang berasal dari golongan Amidin.
Amitraz bekerja pada reseptor oktopamin pada tungau yang akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf (British Veterinary Association 2005). Aplikasi obat ini
pada anjing yaitu dengan cara memandikan anjing dengan amitraz berkonsentrasi
0,05%. Amitraz juga tidak boleh digunakan untuk anjing ras cihuahua, anjing
yang sedang bunting atau menyusui, serta anak anjing yang berusia kurang dari 12
minggu, karena amitraz dapat menurunkan motilitas dari organ gastro-intestinal
yang mengakibatkan hipomotilitas pada usus besar (British Veterinary
Association 2005). Menurut Paradis et al. (1997), penggunaan amitraz berpotensi
meracuni orang yang memandikan pasien skabies. Efek samping lain yang dapat
terjadi dari penggunaan obat ini adalah lethargia, bradikardia, depresi sistem saraf
pusat, dan efek sedasi sementara (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin dan turunannya termasuk avermectin, abamectin, doramectin,
eprinomectin, dan selamectin adalah senyawa lakton makrosiklik alami dan semi
alami yang diisolasi dari kapang Streptomyces avermitilis yang ditemukan di
Jepang. Tidak hanya dapat membunuh ektoparasit, ivermectin juga dapat
digunakan sebagai obat pilihan pada beberapa penyakit yang disebabkan oleh
beberapa jenis Nematoda (Praag 2003).
Obat ini bekerja dengan cara mengatur jumlah ion klorida (Cl-) yang
masuk ke dalam sel ektoparasit. Ketika ion–ion klorida tadi masuk ke dalam sel,
membran sel akan mengalami hiperpolarisasi, sehingga sinyal saraf tidak dapat
ditransmisikan. Setelah itu ektoparasit akan mati perlahan–lahan karena
mengalami paralisis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi ivermectin akan bekerja
antagonis dengan neutotransmitter GABA (asam γ–aminobutirat). Pada Nematoda
dan ektoparasit, reseptor GABA terdapat pada sistem saraf tepi, sedangkan pada
mamalia terdapat pada sistem saraf pusat (Praag 2003).
Ivermectin dapat diaplikasikan secara oral, topikal, ataupun sistemik.
Dosis tunggal yang dianjurkan untuk Sarcoptes scabiei var.canis adalah 200
µg/kg berat badan, dan dosis untuk aplikasi sistemik maupun oral adalah 200–400
µg /kg berat badan (Curtis 2004). Obat ini memiliki efek samping berupa edema
kulit pada kuda. Efek samping tersebut terjadi karena toksin yang dikeluarkan
oleh ektoparasit yang mati, dan efek ini berlangsung sekitar 5 hari (Praag 2003).
Selain itu, obat ini memberikan efek samping berupa batuk–batuk setelah
diberikan secara oral pada domba (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin tidak boleh diberikan kepada anjing ras Collie, Australian
sheepdog, Old English sheepdog, Shetland sheepdog dan anjing persilangan dari
beberapa jenis anjing tadi. Ivermectin juga tidak boleh diberikan pada anjing–
anjing muda yang berusia kurang dari 8 bulan, anjing yang sedang bunting dan
menyusui (British Veterinary Association 2005).
Menurut Praag (2003) anjing–anjing ras tersebut memiliki gen yang sangat
sensitif terhadap cara kerja ivermectin. Reaksi hipersensitivitas pada ras anjing
tersebut disebabkan oleh gen mdr1-1Δ yang berasal dari mutasi gen MDR1. Gen
MDR1 adalah gen yang mensintesa asam amino yang dapat menghambat
ivermectin untuk masuk ke dalam blood brain barrier. Ketika gen tersebut
bermutasi menjadi Gen mdr1-1Δ ivermectin akan dapat menembus blood brain
barrier (Neff et al. 2004). Anjing yang keracunan ivermectin akan menunjukkan
gejala klinis seperti ataksia dan depresi. Setelah beberapa lama kemudian anjing
akan memperlihatkan gejala seperti dilatasi pupil (mydriasis), stupor, tremor,
emesis, hipersalivasi, koma, dan akan berujung pada kematian. Biasanya
pertolongan pertama pada keracunan ivermectin adalah pemberian arang aktif dan
pemberian cairan elektolit secara intravena.
Fipronil adalah insektisida dari golongan phenylprazole yang bekerja
dengan cara menghambat kerja dari neurotransmitter asam γ–butirat (GABA)
ektoparasit, yang menyebabkan ektoparasit akan mati karena paralisis (Ghubash
2006). Obat ini diaplikasikan secara spot–on atau topical pada tubuh anjing yang
terinfestasi tungau. Untuk aplikasi spot-on dosis yang digunakan berbeda–beda
tergantung bobot anjing. Dosis yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot anjing pada aplikasi spot–on.
Bobot badan anjing
Dosis yang diberikan
1–10 kg
0,67 ml
10–20 kg
1,34 ml
20–40 kg
2,68 ml
Diatas 40 kg
4,02 ml
(Sumber : British Veterinary Association 2005)
Fipronil juga dapat diaplikasikan secara disemprotkan (spray). Jika
diaplikasikan secara spray, konsentrasi fipronil yang dianjurkan adalah 0,25 %
dari larutan (Ghubash 2006). Apabila obat lain menjadi kontra indikasi dari
penderita skabies, fipronil merupakan obat pilihan yang efektif untuk pengobatan
skabies (Curtis 1996 ).
Kontra indikasi dari obat ini adalah anak anjing yang berusia kurang dari 8
minggu. Pengobatan untuk anak anjing yang berusia kurang dari 8 minggu,
biasanya digunakan collar agar anak anjing tidak menjilati lokasi obat
diaplikasikan. Jika ini terjadi, maka akan timbul efek samping yang berupa
hipersalivasi (British Veterinary Association 2005).
Dalam penanganan skabies perlu juga diperhatikan terapi suportif untuk
mengurangi lesio yang diakibatkan oleh tungau, diantaranya keratolitik, untuk
mengikis kulit yang keropeng. Antibiotik, untuk mengobati infeksi sekunder
akibat bakteri. Asupan vitamin juga dibutuhkan untuk perawatan jaringan tubuh
pasien (Curtis 1996).
Agar tidak menulari hewan lain atau manusia di sekitarnya, anjing yang
terjangkit skabies hendaknya dipisahkan selama masa pengobatan. Selain itu
kandang, perlatan bermain, peralatan makan, dan alat-alat grooming hendaknya
dibersihkan setiap hari untuk mencegah penularan skabies. Lingkungan sekitar
rumah tempat anjing bermain juga sebaiknya dibersihkan. Kebersihan personal
pemilik juga merupakan salah satu hal wajib yang harus diperhatikan mengingat
penyakit ini bersifat zoonotik (Wall & Shearer 2001).
Pengembangan vaksin skabies hingga saat ini masih mengalami kendala.
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) bekerja sama dengan DFID (Department for
International Development) Inggris telah melakukan penelitian pengembangan
vaksin skabies untuk kambing, namun hasilnya belum memuaskan (Wardhana et
al. 2006).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hewan Jakarta yang beralamat di
jalan Harsono RM. 28, Ragunan, Jakarta Selatan, sebagai sumber data penelitian.
Rumah sakit ini banyak menjadi tempat rujukan bagi dokter–dokter hewan praktik
yang ada di Jakarta. Adapun waktu pengumpulan data dilakukan sejak bulan
September – Oktober 2011.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data pasien anjing melalui
data rekam medik pasien sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan
Desember 2010. Data pasien yang diambil merupakan data penderita pasien
penyakit skabies yang terdiagnosa positif secara klinis maupun laboratorium, serta
data penanganan pasien tersebut. Data yang diambil kemudian dianalisis dengan
menggunakan statistika deskriptif, dengan demikian dapat diketahui nilai
parameter yang diamati, diantaranya adalah frekuensi kejadian penyakit
berdasarkan ras, jenis rambut, umur, jenis kelamin, dan penanganan yang
dilakukan terhadap pasien.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta
Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992,
atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat itu yaitu Ibu
Tien Soeharto. Rumah Sakit ini merupakan rujukan bagi pasien yang memerlukan
diagnosis, penanganan, dan pengobatan yang lebih intensif karena di rumah sakit
ini terdapat beberapa fasilitas penunjang diagnosis seperti instalasi radiologi dan
ultrasonografi, laboratorium, bahkan terapi alternatif untuk hewan seperti
akupuntur.
Di Rumah Sakit Hewan Jakarta, skabies digolongkan kedalam penyakit
zoonosis yang memerlukan diagnosis lanjutan seperti pengambilan kerokan kulit.
Pasien yang datang dan positif terdiagnosis skabies setelah pemeriksaan klinis dan
laboratorium akan langsung diobati dengan menggunakan sediaan-sediaan
akarisidal seperti ivermectin dan fipronil. Pengobatan didasarkan kepada ras
anjing, kondisi anjing, dan tingkat keparahan penyakit. Selain itu juga diberikan
antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder, kemudian diberikan
juga vitamin E untuk mempercepat perbaikan kulit anjing. Bila tingkat keparahan
penyakit masih ringan, biasanya pasien boleh dibawa pulang dan diharuskan
datang 2 minggu kemudian untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan ulang
sampai pasien sembuh.
Jika pasien datang dengan keadaan yang buruk, maka dokter-dokter hewan
di Rumah Sakit Hewan Jakarta akan mengharuskan pemilik untuk merawat inap
agar anjing selalu berada dalam pengawasan dokter hewan. Pasien yang dirawat
inap akan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ruang isolasi agar tidak menulari
anjing lainnya. Setelah sembuh total, pihak rumah sakit akan menghubungi
pemilik bahwa hewan peliharaannya sudah diperbolehkan untuk pulang.
Para dokter hewan praktisi di Amerika Serikat, sudah mulai menggunakan
jenis akarisidal untuk mengobati skabies, yang paling sering digunakan adalah
mylbemicin oxime dan selamectin. Kedua sediaan tadi merupakan modifikasi
dari ivermectin. Keduanya diaplikasikan secara Spot-on dengan dosis 2 mg/kg BB
untuk mylbemicin oxime dan 6-12 mg/Kg BB untuk selamectin. Beberapa praktisi
di Amerika melaporkan bahwa efisiensi pengobatan dengan kedua obat tersebut
mencapai 98% dan aman untuk ras anjing yang merupakan kontraindikasi dari
ivermectin. Tindakan isolasi terhadap pasien juga dilakukan dalam penanganan
penyakit-penyakit zoonosis oleh praktisi kesehatan hewan di Amerika Serikat
(Curtis 2004).
Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
Selain skabies ada beberapa penyakit lain yang bersifat zoonosis yang
mendapatkan perhatian khusus dari pihak Rumah Sakit Hewan Jakarta,
diantaranya brucellosis, leptospirosis, visceral larva migrans, toxoplasmosis,
salmonellosis, dan ringworm.
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari
2005-Desember 2010, skabies menempati posisi kedua dengan persentase 28,47%
dari seluruh kasus zoonosis pada kurun waktu tersebut, sebagaimana terlihat pada
Gambar 9.
28.47%
3.05%
0.76%
35.15%
24.96%
4.10%
3.51%
Skabies
Brucellosis
Salmonellosis
Ringworm
Leptospirosis
Visceral larva migrans
Toxoplasmosis
Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari
Januari 2005-Desember 2010.
Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta
pada bulan Januari 2005–Desember 2010 menunjukkan bahwa terdapat 187 kasus
skabies pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi, jumlah pasien anjing tiap
tahun, dan prevalensi skabies tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta
cukup fluktuatif. Sejak tahun 2005-2008 prevalensinya meningkat hingga 0,92%,
lalu kemudian menurun kembali pada 2009. Dua tahun terakhir (2009-2010)
kembali terjadi peningkatan menjadi 0,78%.
Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun, dan prevalensi
skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005-2010.
Tahun
Pasien anjing total
(ekor)
Prevalensi
(%)
2005
Jumlah
pasien skabies
(ekor)
26
5.521
0,47%
2006
27
4.912
0,55%
2007
33
5.009
0,66%
2008
40
4.351
0,92%
2009
29
5.079
0,57%
2010
45
5.787
0,78%
Rata-rata
33,3
5.109,8
0,66%
Penderita Skabies Berdasarkan Ras
Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Latif (2001) dari bulan Januari
1999-Desember 2001 melaporkan bahwa terdapat 70 kasus (0,57%) dari 12.632
ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai
dengan Juli 2000. Anjing–anjing tersebut terdiri atas 17 ras yang berbeda.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa anjing lokal merupakan pasien yang paling
banyak terjangkit skabies dengan jumlah sebanyak 33 ekor (17,6%) dibanding
anjing ras lainnya. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999
sampai dengan bulan Juni 2000 kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta didominasi oleh anjing ras Chow-chow sebanyak 14 ekor dengan
persentase 20% dari total kasus yaitu sebanyak 70 kasus.
Tingginya kasus skabies pada anjing tidak dipengaruhi oleh ras anjing dan
pada umumnya disebabkan karena pemilik kurang memperhatikan aspek
pemeliharaan dan kesehatan hewan peliharaanya, sehingga ektoparasit dapat
berkembang dengan baik (Muller & Kirk 1976).
Tabel 3. Frekuensi kasus Skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010.
No
Ras Anjing
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Basset Hound
Beagle
Boxer
Bulldog
Chow-chow
Cihuahua
Collie
Dalmatian
Daschund
Dobermann
Fox Terrier
German Shepherd
Golden Retriever
Great Dane
Jack Russel Terier
Kintamani
Labrador
Lokal
Mallinois
Maltese
Mini Pincsher
Pekingese
Pitbull
Pomeranian
Poodle
Pug
Rotweiller
Saint Bernard
Samoyed
Schnauzer
Shiba
Shihtzu
Siberian Husky
Welsh Corgi
Yorkshire
Mix / Campuran
Jumlah
Jenis Kelamin
Jantan Betina
1
1
3
2
4
0
2
1
0
2
4
3
2
1
4
0
3
1
6
0
1
1
3
2
5
2
1
0
2
1
2
1
15
0
15
18
1
0
2
2
3
2
1
1
2
4
2
6
2
2
3
2
2
2
0
1
1
0
1
1
2
0
0
3
6
1
0
1
2
1
10
10
113
74
Jenis
rambut
Pendek
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Panjang
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Panjang
Panjang
Pendek
Panjang
Pendek
Pendek
Panjang
Lain-lain
Jumlah
2
5
4
3
2
7
3
4
4
6
2
5
7
1
3
3
15
33
1
4
5
2
6
8
4
5
4
1
1
2
2
3
7
1
3
20
187
Persentase
(%)
1,06
2,67
2,1
1,6
1,06
3,74
1,6
2,13
2,13
3,02
1,06
2,67
3,74
0,53
1,6
1,6
8,02
17,6
0,53
2,13
2,67
1,06
3,2
4,3
2,13
2,67
2,13
0,53
0,53
1,06
1,06
1,6
3,74
0,53
1,6
10,7
100
Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut
Skabies berhubungan dengan jenis rambut anjing. Kasus skabies pada
anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing dapat
dilihat pada Gambar 10.
10.70%
24.06%
Panjang
Pendek
Lain-lain
65.24%
Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
berdasarkan jenis rambut anjing pada tahun 2005–2010.
Sejak tahun 2005–2010 di Rumah Sakit Hewan Jakarta, 122 ekor
(65,24%) anjing yang terjangkit skabies merupakan anjing dengan jenis rambut
pendek, dan 45 ekor (24,06%) anjing dengan jenis rambut panjang. Sisanya
sebanyak 20 ekor (10,7%) tidak dapat diketahui jenis rambutnya karena
merupakan anjing ras campuran.
Menurut Witjaksono & Sungkar (1996), anjing dengan rambut panjang
lebih mudah terjangkit skabies karena debu, kotoran, dan bahkan arthropoda yang
berukuran mikroskopik lebih mudah menempel pada rambut anjing, sedangkan
data di atas menunjukkan bahwa anjing dengan jenis rambut pendek di Rumah
Sakit Hewan Jakarta lebih banyak terjangkit skabies. Faktor yang menyebabkan
anjing dengan jenis rambut pendek lebih banyak terjangkit skabies adalah karena
pemilik anjing kurang memperhatikan dan merawat kesehatan kulit anjingnya.
Karena anjing dengan rambut pendek membutuhkan perawatan relatif yang lebih
mudah dibandingkan dengan anjing rambut panjang, sehingga kesehatan rambut
dan kulitnya kurang diperhatikan.
Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, kejadian skabies pada anjing di Rumah Sakit
Hewan Jakarta pada tahun 2005–2010 didominasi oleh anjing jantan dengan
jumlah 113 ekor (60,43%) dan anjing betina hanya (39,57%). Data tersebut dapat
dilihat pada Gambar 11. Menurut Muller & Kirk (1976), skabies tidak berkaitan
dengan jenis kelamin. Anjing jantan maupun betina memiliki risiko yang sama
untuk terjangkit skabies .
39.57%
0
Jantan
Betina
60.43%
Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta
berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010.
Faktor yang menyebabkan anjing jantan lebih banyak terjangkit skabies
adalah karena anjing jantan lebih sering digunakan oleh pemiliknya sebagai anjing
pemacak. Anjing jantan yang digunakan sebagai pemacak akan lebih sering
melakukan kontak langsung dengan anjing lain yang kemungkinan telah terjangkit
skabies baik secara klinis maupun subklinis.
Selain itu anjing jantan cenderung lebih dominan dibanding anjing betina
dalam kehidupan sosialnya. Menurut Broom & Fraser (2007) hewan jantan
memiliki sifat yang lebih dominan daripada hewan betina, dominasi ini
ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melakukan mounting, mengendusendus, dan berkelahi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Interaksi anjing
jantan yang menunjukkan dominasi inilah yang memungkinkan anjing jantan
melakukan kontak langsung yang lebih sering dengan anjing lain, sehingga
kemungkinan tertular skabies oleh anjing lain lebih besar.
Penderita Skabies Berdasarkan Usia
Anjing diklasifikasikan menurut usia oleh Federation Cynologue
International (FCI) menjadi tiga kelas. Kelas yang pertama adalah anakan
(puppies) yang berusia dari 3–9 bulan, yang kedua adalah remaja (teenage)
dengan usia 10-18 bulan, dan dewasa (adult)
yang berusia diatas 2 tahun.
(Verhoef–Verhaellen 1996). Berdasarkan pembagian kelompok umur tersebut,
anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005–
2010 didominasi oleh anjing dewasa dengan jumlah sebanyak 145 ekor (77,54%),
berikutnya adalah anjing dari usia remaja sebanyak 27 ekor (