Life Cycle and Demography of Phytophagous Ladybird Beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) on Different Host Plants

SIKLUS HIDUP DAN DEMOGRAFI KUMBANG LEMBING
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (COLEOPTERA:
COCCINELLIDAE) PADA TANAMAN INANG YANG BERBEDA

ADI WASKITO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Siklus Hidup dan
Demografi Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius
(Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman Inang yang Berbeda adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013
Adi Waskito
NIM G352090121

RINGKASAN
ADI WASKITO. Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) Pada
Tanaman Inang yang Berbeda. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan SIH
KAHONO.
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius merupakan spesies
kumbang. Kumbang ini merupakan salah satu spesies kumbang yang tersebar
luas di Indonesia. Selain itu kumbang ini disebut juga sebagai kumbang koksi
(famili Coccinellidae). Dua subfamili yang paling populer dari famili ini ialah
Coccinellinae dan Epilachninae. Kumbang H. vigintioctopunctata mudah dikenali
karena warna dan bentuknya menarik, bentuk membulat, berwarna merah, dan
mempunyai pola bercak (spot pattern) berwarna hitam pada elytra-nya. Pola dan
jumlah bercak ini merupakan salah satu karakter penting untuk menentukan nama

spesies. Jenis kumbang lembing ini secara umum merupakan serangga pemakan
herbivor yang spesialis pada famili tertentu, karena memakan tumbuhan yang
termasuk famili Solanaceae, misalnya terung (Solanum melongena), takokak (S.
torvum), leunca (S. nigrum), tomat (Lycopersicum esculentum), kecubung (Datura
metel), dan kentang (S. tuberosum). Banyak jenis diantaranya merupakan tanaman
budidaya penting yang dirusak oleh jenis kumbang ini. Informasi tentang siklus
hidup, demografi, dan perkembangan dari kumbang H. vigintioctopunctata ini
perlu diteliti. Penelitian ini mempelajari mortalitas dan survival dari seluruh
tingkatan perkembangan kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi pakan daun
takokak (S. torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena), dan kecubung
hutan (Brugmansia suaveolens). Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
strategi pengendalian kumbang lembing ini di alam. Penelitian siklus hidup dan
demografi kumbang H. vigintioctopunctata dilakukan mulai bulan Oktober 2011
sampai Februari 2012 di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Puslit
Biologi LIPI, Cibinong dan Bagian Biosistematika & Ekologi Hewan,
Departemen Biologi, FMIPA IPB.
Penelitian diawali dengan koleksi imago kumbang H. vigintioctopunctata
yang diambil dari tanaman takokak di desa Jabon Mekar, kecamatan Parung,
kabupaten Bogor. Imago-imago ditampung dalam empat kotak plastik, kotak
pertama diisi dengan daun S. torvum, kotak kedua diisi daun S. nigrum, kotak

ketiga diisi daun S. melongena, dan kotak terakhir diisi daun B. suaveolens.
Imago-imago tersebut dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah massa telur yang
dipakai sebagai bahan pengamatan. Pengamatan untuk analisis perkembangan,
siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata dilakukan setiap
hari mulai massa telur dikeluarkan sampai imago mati. Analisis demografi
meliputi penghitungan nilai-nilai G (laju reproduksi kasar), Ro (laju reproduksi
bersih), T (waktu generasi), dan r (laju pertumbuhan intrinsik). Selain itu,
dihitung nilai peluang hidup dari setiap fase atau tingkatan umur. Nilai lx
(proporsi hidup) dan nilai x (lamanya hari pengamatan) diplotkan kedalam kurva
ketahanan hidup.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan fase telur
kumbang H. vigintioctopunctata paling lama pada perlakuan dengan daun B.
suaveolens (rata-rata 3,9 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan

daun S. melongena (rata-rata 3,4 hari). Fase umur larva memerlukan waktu paling
lama pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (rata-rata 16,8 hari) dan yang
paling singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (rata-rata 11,6 hari).
Fase umur pupa memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun S.
nigrum (rata-rata 3,6 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun S.
melongena (rata-rata 0,6 hari). Fase umur imago jantan memerlukan waktu paling

lama pada perlakuan dengan daun S. nigrum (rata-rata 68,7 hari) dan yang paling
singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (rata-rata 0,2 hari). Fase umur
imago betina memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun S.
nigrum (rata-rata 79,0 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun
B. suaveolens (rata-rata 0,5 hari). Rata-rata jumlah telur per massa telur dari
kumbang H. vigintioctopunctata tertinggi terjadi pada perlakuan daun S. nigrum
(26,2 butir/massa telur) dan yang terendah pada perlakuan dengan daun B.
suaveolens (19,8 butir/massa telur).
Dari analisis demografi diperoleh nilai G (laju reproduksi kasar) tertinggi
pada perlakuan dengan daun S. torvum (5,5 individu betina) dan nilai terendah
pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (0,3 inividu betina). Nilai Ro (laju
reproduksi bersih) tertinggi juga pada perlakuan dengan daun S. torvum (2,11
individu beina) dan nilai terendah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens
(0,02 individu betina). Nilai T (waktu generasi) terlama pada perlakuan dengan
daun S. nigrum (29,33 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun
S. melongena (5,9 hari). Nilai r (laju pertumbuhan intrinsik) tertinggi pada dua
perlakuan dengan daun S. torvum maupun S. nigrum (masing-masing 0,04) dan
yang terendah pada dua perlakuan dengan daun S. melongena maupun B.
suaveolens (masing-masing 0,01).
Hasil analisis neraca kehidupan kumbang H. vigintioctopunctata diketahui

bahwa nilai harapan hidup (ex) tertinggi pada fase umur telur dengan perlakuan
daun S. torvum (4,45) dan yang terendah dengan perlakuan daun S. melongena
(1,74). Nilai harapan hidup pada fase umur larva empat yang tertinggi terjadi pada
perlakuan dengan daun S. torvum (2,74) dan yang terendah pada perlakuan
dengan daun B. suaveolens (1,19). Nilai harapan hidup fase umur pupa yang
tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daun S. melongena (1,50) dan yang
terendah terjadi pada perlakuan dengan daun S. nigrum (1,17). Mortalitas imago
tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daun S. nigrum (32,86 %) dan yang
terendah pada perlakuan dengan daun S. melongena (16,67 %). Pada umumnya
nilai peluang hidup dari kumbang H. vigintioctopunctata pada keempat perlakuan
pakan menunjukkan nilai tertinggi pada fase umur telur, kecuali pada fase umur
prepupa dengan perlakuan daun S. melongena. Peluang hidup terendah terjadi
pada fase umur imago dari seluruh perlakuan.
Kata kunci: Siklus hidup, demografi, kurva kehidupan, Henosepilachna
vigintioctopunctata, Solanum torvum, S. nigrum, S. melongena,
Brugmansia suaveolens.

SUMMARY
ADI WASKITO. Life Cycle and Demography of Phytophagous Ladybird Beetle
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) on

Different Host Plants. Supervised by TRI ATMOWIDI and SIH KAHONO.
Phytophagous lady beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius is
a serious pest of solanaceous crops, such as eggplants and potatoes. The beetles
distributes from sub temperate of Asia to the tropics of Indonesia. The beetle
feeds on several species of agricultural plants as well as wild solanaceous plants.
Their life cycle has been known in a certain species of plant, however none
comparing both their life cycle and demography on different host plants. It has
been well known that the species of insect responds physiologically different to
the different of food plants. This research aimed to study the respons of H.
vigintioctopunctata to the different of given food plants of S. torvum, S. nigrum, S.
melongena, and Brugmansia suaveolens. Life cycle, demography, life table, and
survivorship curve of the beetle were studied.
Results showed that the longest time in life-cycle of H. vigintioctopunctata
fed with S.nigrum (93,8 days, male and 104,1 days, female), respectively. The
shortest time in life-cycle of H.vigintioctopunctata fed with S.melongena (16,5
days,male and 16,9 days, female), respectively. Highest number of eggs per egg
mass occurred in H. vigintioctopunctata fed by S. nigrum (26,20 eggs per egg
mass) and the lowest number occurred ini beetle fed by B. suaveolens (19,80 eggs
per egg mass).
Statistic demography of H.vigintioctopunctata showed that the highest

value of gross reproductive rate was in S. torvum (5,5 individu) and the lowest
value was in B. suaveolens (0,3 individu). The highest value of net reproductive
Rrate was in S. torvum (2,11) and the lowest value was in B.suaveolens (0,02).
The shortest of generation time was in S. melongena (5,9 days) and the longest of
generation time was in S.nigrum (29,33 days). The higher value of intrinsic
growth rate were in S.torvum (0,04) and S.nigrum (0,04), respectively and the
lower value were in S. melongena (0,01) and B.suaveolens (0,01), respectively.
Life-table analysis showed that the highest value of life expectation of
egg and larval stages found on treatment with foliage of S. torvum. The highest
value of mortality was found on S. nigrum (32,86%) and the lowest was found in
S. melongena (16,67%). Based on value of its life-table, the most suitable host for
development of H. vigintioctopunctata were S. torvum and S. nigrum.
Survivorship curve of H. vigintioctopunctata showed that the highest number of
mortality occurred in egg and larval stage.
Keywords: Life cycle, demography, survivorship curve, H. vigintioctopunctata,
Solanum torvum, S. nigrum, S. melongena, Brugmansia suaveolens

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

SIKLUS HIDUP DAN DEMOGRAFI KUMBANG LEMBING
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (COLEOPTERA:
COCCINELLIDAE) PADA TANAMAN INANG YANG BERBEDA

ADI WASKITO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sulistijorini, M.Si

Judul Tesis

Nama
NlM

: Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius
(Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman lnang yang
Berbeda
: Adi Waskito
: 0352090121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


l--

Dr. Trl Atmowidi
Ketua

dセ@

セ@
Anggota

KetuaMayor
Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Tanggal Ujian: 19 Juli 2013

Tanggal Ltiius: 2"


AUG 2013

Judul Tesis

Nama
NIM

: Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius
(Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman Inang yang
Berbeda
: Adi Waskito
: G352090121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Tri Atmowidi
Ketua

Dr. Sih Kahono
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Mayor
Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Tanggal Ujian: 19 Juli 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Siklus Hidup dan Demografi
Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera:
Coccinellidae) Pada Beberapa Tanaman Inangnya” ini dapat selesai dengan baik.
Perasaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Dr. Tri Atmowidi dan Dr. Sih Kahono, sebagai komisi
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan bantuan
materielnya selama penelitian dan menempuh studi S2 di IPB ini. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi Biosains
Hewan yang telah banyak memberikan ilmunya dan juga kepada seluruh staf
administrasi Departemen Biologi atas banyak bantuan dan sarannya selama
penulis menempuh kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada
Universitas Terbuka (UT) yang telah memberikan beasiswa Pascasarjana dan
FMIPA-UT atas arahan dan saran-sarannya; anak, istri, orang tua, dan keluarga
tercinta atas seluruh do’a, dukungan, dan dorongan semangatnya selama saya
menyelesaikan studi. Juga disampaikan banyak terimakasih atas dukungan,
bantuan, dan do’anya kepada semua teman-teman Biosains Hewan angkatan
2009.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak lepas dari kekurangan, oleh
karena itu sangat diharapkan saran dan kritik untuk tulisan tesis ini. Semoga
tulisan karya ilmiah ini dapat lebih meningkatkan informasi dalam bidang
entomologi dan bermanfaat bagi pembaca.

Bogor,

Agustus 2013
Adi Waskito

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

xii
xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Kumbang Lembing Subfamili Epilachninae
Klasifikasi dan Biologi Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius
Siklus Hidup Kumbang H. vigintioctopunctata
Tanaman Inang H. vigintioctopunctata
Neraca Kehidupan (Life Table) dan Demografi

3
4
5
7
9

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Penyediaan Stok Telur H. vigintioctopunctata
Pengamatan Perkembangan Telur sampai Imago
Penghitungan Statistik Demografi
Penyusunan Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup

10
10
10
10
11
11

HASIL
Kondisi Lingkungan Ruangan Pemeliharaan H. vigintioctopunctata
Perkembangan Telur – Imago H. vigintioctopunctata
Statistik Demografi H. vigintioctopunctata
Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup
H. vigintioctopunctata

14

PEMBAHASAN

17

SIMPULAN DAN SARAN

20

DAFTAR PUSTAKA

21

12
12
13

DAFTAR TABEL
1.Rata-rata suhu dan kelembaban relatif ruangan
2. Rata-rata waktu (hari) yang diperlukan tiap fase perkembangan
H.vigintioctopunctata pada keempat tanaman perlakuan
3. Statistik demografi H. vigintioctopunctata
4. Neraca kehidupan H. vigintioctopunctata

Halaman
12
13
14
15

DAFTAR GAMBAR
1. Beberapa tanaman inang untuk perlakuan
2. Kurva ketahanan hidup (Survivorship) H. vigintioctopunctata

Halaman
9
16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius merupakan salah satu
spesies kumbang lembing (Indonesia) atau cacantel (Sunda), kecukuk (Jawa),
oteng-oteng (Betawi), boleng-boleng (Minang), dan ladybird beetle (Inggris).
Oleh karena nama kumbang lembing dapat mewakili spesies-spesies kumbang
dalam kelompok famili Coccinellidae, maka kumbang lembing sering disebut juga
sebagai kumbang koksi.
Kumbang lembing (famili Coccinellidae) ini mudah ditemukan dan
termasuk kelompok serangga cantik dari keindahan, bentuk dan pola warnanya.
Dari arah samping, kumbang lembing berbentuk cembung (convex), dari atas
terlihat membulat, dan permukaan bawah tubuhnya mendatar, sehingga berbentuk
seperti kura-kura. Warna dasar elytra dan bagian atas tubuhnya merupakan
kombinasi dari warna merah dan hitam. Famili Coccinellidae mempunyai empat
kelompok, pemakan kutu daun (Aphis), pemakan kutu perisai (Aspidiotus
destructor) sebagai hama tanaman kelapa, pemakan bermacam-macam materi
(omnivora), dan pemakan daun (herbivora) (Pracaya 2008, Kalshoven 1981). Di
dunia, famili Coccinellidae mempunyai lima subfamili dan dua subfamili paling
populer di Indonesia ialah Coccinellinae dan Epilachninae (Sasaji 1971).
Kumbang lembing subfamili Coccinellinae pada umumnya memiliki
bentuk tubuh membulat, permukaan elytra dan tubuh bagian atas tampak berkilau,
bersifat predator (pemangsa serangga kecil), dan berperan sebagai musuh alami
(natural enemies) dari berbagai spesies serangga. Peran kumbang tersebut
sebagai musuh alami dapat mengontrol populasi serangga yang dimangsanya,
sehingga kelompok kumbang ini menjadi bagian penting dalam keseimbangan
alam (balance of nature). Peranan kelompok kumbang ini sebagai predator
serangga hama, menjadikan sangat penting dalam pengelolaan pertanian organik.
Dalam sistem pengendalian hama terpadu (integrated pest control), kumbang
lembing predator menjadi salah satu bagian penting untuk menjaga populasi
serangga hama, agar tetap di bawah garis batas nilai ambang ekonomi.
Kelompok subfamili penting lainnya adalah Epilachninae. Bentuk
kumbang ini dari sisi atas berbentuk membulat (oval) yang mengecil pada bagian
belakangnya. Bila dibandingkan dengan spesies-spesies kumbang dari subfamili
Coccinellinae, spesies dari subfamili Epilachninae memiliki elytra dan permukaan
tubuh lebih cembung, kurang licin, dan beberapa spesies cenderung kusam. Pada
elytra terdapat bercak-bercak (spot) berwarna hitam. Selain bentuk struktur organ
kelamin jantan, jumlah dan pola bercak (spot pattern) tersebut merupakan
karakter penting dalam mendiskripsi spesiesnya (Richards 1983).
Spesies-spesies dari subfamili Epilachninae berperan sebagai pemakan
daun pada tumbuhan liar dan tanaman budidaya. Kumbang ini dikenal sebagai
kumbang lembing herbivora (herbivorous ladybird beetles). Kumbang lembing
herbivora mempunyai sebaran geografi yang luas, yaitu dari daerah beriklim
sedang (temperate) sampai tropis (Katakura et al. 2001), dari dataran rendah
sampai dataran tinggi pegunungan. Keanekaragaman kumbang lembing herbivora
di dunia sekitar 90 spesies (Dieke 1947; Gordon 1987).

2

Perkembangan, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H.
vigintioctopunctata belum diketahui secara utuh pada sebagian besar spesies
tumbuhan inangnya. Padahal, banyak spesies tumbuhan inang dari kumbang
lembing tersebut merupakan tumbuhan penting dalam pertanian, industri, dan
banyak fungsi penting lain dari tumbuhan liar. Penelitian ekologi populasi
kumbang H. vigintioctopunctata memerlukan informasi penting dari biologi,
perilaku, asosiasi antara kumbang dengan tumbuhan inangnya, karakter siklus
hidup, demografi, dan sifat lain yang dimiliki oleh kumbang dan inangnya, untuk
strategi dalam pengembangan lebih lanjut.
Dipilih empat jenis tumbuhan inang dari H. vigintioctopunctata terdiri dari
tiga spesies tanaman budidaya (S. torvum, S. nigrum , S. melongena), dan dan satu
spesies tanaman hias atau tanaman obat, yaitu bunga terompet (B. suaveolens)
untuk dipelajari pengaruhnya terhadap perkembangan setiap fase umur, siklus
hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan setiap fase
umur, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata yang
diberi pakan empat spesies tanaman inang, yaitu takokak (S. torvum), leunca (S.
nigrum), terong (S. melongena), dan bunga terompet (B. suaveolens).
Manfaat Penelitian
Data penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dan sumber
informasi bagi pengambil kebijakan pengelola pertanian dan bagi petani, dalam
upaya mengetahui karakter kumbang H. vigintioctopunctata dalam pengembangan
tanaman pertanian, khususnya takokak (S. torvum), leunca (S. nigrum), terong (S.
melongena), dan bunga terompet (B. suaveolens). Data penelitian ini juga dapat
menjadi sumber informasi bagi para peneliti lainnya yang tertarik dalam bidang
hama dan pengendalian hayati.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Kumbang Lembing Subfamili Epilachninae
Kumbang lembing subfamili Epilachninae merupakan salah satu dari lima
subfamili lainnya dari famili Coccinellidae yang sudah diketahui, yaitu
Sticholotidinae, Achilocorinae, Coccidulinae, Scymninae, dan Coccinellinae
(Sasaji 1971; Kovář 1996; Jadwiszczak dan Wegrzynowicz 2003; Giorgi et
al.2009; Shunxiang et al. 2009). Di dalam subfamili Epilachninae terdapat 22
genus, yaitu Adira Gordon et Almeida, Afidenta Dieke, Afidentula Kapur, Afissula
Kapur, Chnootriba Chevrolat in Dejean, Epilachna Chevrolat in Dejean,
Henosepilachna Li in Li et Cook, Macrolasia Weise, Subafissa Bielawski,
Subcoccinella Agassiz et Erichon, Toxotoma Weise, Bambusicola Fürsch,
Cynegetis Chevrolat in Dejean, Damatula Gordon, Lorma Gordon, Mada Mulsan,
Malata Gordon, Megaleta Weise, Merma Weise, Pseudodira Gordon, Tropha
Weise, Epiverta Dieke, dan Eremochilus Weise (Jadwiszczak dan Wegrzynowicz
2003; Shunxiang et al. 2009). Beberapa spesies kumbang lembing dinyatakan
berstatus kompleks, karena nama spesiesnya tidak diakui oleh banyak entomolog.
Ciri morfologi yang terdapat pada suatu spesies menjadikan suatu nama untuk
suatu spesies, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa ciri morfologi tersebut
tidak dipakai sebagai ciri untuk nama spesies. Kumbang lembing herbivora dapat
ditemukan di berbagai tipe lingkungan, misalnya hutan alam, hutan sekunder,
lingkungan semi rural, rural dan ditemukan di berbagai daerah ketinggian,
misalnya pantai, dataran rendah, dataran tinggi, pegunungan dan sebagainya.
Di Indonesia, kumbang lembing herbivora yang sudah diketahui sekitar 25
spesies. Beberapa spesies diantaranya masih dalam status kompleks-spesies
(species complex) (Katakura et al. 2001; Kobayashi et al. 2009; Ohta 2010;
Fujiyama et al. 2010; Matsubayashi et al. 2010). Kumbang lembing herbivora
yang paling terkenal di Indonesia adalah spesies yang termasuk dalam genus
Afidenta Dieke, Epilachna Chevrolat in Dejean, dan Henosepilachna Li in Li et
Cook (Kahono 1999; Katakura et al. 2001). Beberapa spesies diantaranya
berpotensi sebagai hama tanaman pertanian, misalnya Henosepilachna
vigintioctopunctata (Fabricius) pada tanaman terung (Solanum melongena), H.
pusillanima (Mulsant) pada tanaman labu-labuan, H. septima (Dieke) pada
tanaman paria (Momordica charantia), dan Afidenta misera (Weise) pada
tanaman kacang panjang (Vigna unguiculata) (Iskandar 1978; Kalshoven 1981;
Kahono 1999, 2006). Beberapa spesies kumbang lembing herbivora memiliki
potensi yang dapat dikembangkan menjadi agen pengontrol biologi dari tumbuhan
gulma penting di Indonesia (Kahono 2012). Asosiasi antara kumbang herbivora
dengan tumbuhan inangnya pada suatu lingkungan merupakan bentuk interaksi
antara kumbang dengan tumbuhan inang dan lingkungannya. Keterbatasan salah
satu komponen akan menyebabkan terbatasnya komponen lain yang berasosiasi.
Tidak ada serangga yang mampu hidup pada semua tipe lingkungan, termasuk
spesies tumbuhan (Back dan Schoonhoven 1980). Pada umumnya, spesies
kumbang lembing herbivora memiliki tumbuhan inang yang spesifik, paling tidak
pada taksa tertentu, misalnya famili dan genus (Kalshoven 1981; Kahono 1999,
2010; Katakura et al. 2001), walaupun dalam penelitian terbaru menyimpulkan

4

bahwa beberapa spesies kumbang melakukan invasi dan adaptasi pada tumbuhan
dari famili yang berbeda (Fujiyama et al. 2010; Matsubayashi et al. 2010; Kahono
2012).
Asosiasi antara serangga herbivora dengan tumbuhan inangnya merupakan
topik yang menarik karena mengkaji kaitan antara herbivor dengan pakannya
yang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Karakter fisik, lingkungan, dan
kandungan nutrisi atau bahan tertentu dapat mempengaruhi konsumsi dan fidelitas
serangga yang memakannya. Kumbang lembing H. vigintioctopunctata dilaporkan
memakan 24 spesies tumbuhan inang (Kahono 1999). Kumbang lembing ini
terutama memakan daun spesies tanaman yang tergolong famili Solanaceae yang
hidup liar (misalnya Solanum erianthum), ditanam sebagai tanaman hias
(misalnya Brugmansia suaveolens), tanaman obat (misalnya Datura metel), dan
tanaman budidaya (misalnya Solanum torvum, S. melongena , S. tuberosum).
Hanya ada satu spesies lain di luar famili Solanaceae yang dimakan oleh H.
vigintioctopunctata, yaitu tumbuhan gulma invasif Centrosema pubescens (famili
Leguminosae). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh pemberian
jenis pakan terhadap perkembangan, siklus hidup, dan demografi dari kumbang
lembing herbivora. Penelitian ini mempelajari perkembangan telur, larva, pupa,
imago, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata yang
diberi empat spesies tanaman pakan yang berbeda, yaitu takokak (Solanun
torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena ), dan bunga terompet
(Brugmansia suaveolens).
Klasifikasi dan Biologi H. vigintioctopunctata Fabricius
Dalam klasifikasi, kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata
Fabricius ditempatkan dalam posisi sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Mandibulata
Kelas
: Insecta
Subkelas
: Dicondylia
Ordo
: Coleoptera
Subordo
: Polyphaga
Familia
: Coccinellidae
Subfamilia
: Epilachninae (Borror et al. 2005)
Genus
: Henosepilachna
Spesies
: Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius
(Richard 1983).
Kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata merupakan spesies
yang bersifat herbivor, olifag, dan dapat berperan sebagai hama (Pracaya 2008)
dari beberapa tanaman yang termasuk famili Solanaceae, seperti takokak
(Solanum torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena), kentang (S.
esculentum), dan tomat (S. lycopersicum). Kumbang lembing ini dapat memakan
beberapa spesies tumbuhan liar, seperti Centrosema pubescen (Leguminosae),
kecubung (Datura metel), ciplukan (Physalis angulata Linn) (Kalshoven 1981),
dan S. capsicoides (Solanaceae) (Kahono 2010). Peranan kumbang lembing ini
sebagai hama ditentukan oleh ukuran populasinya yang tinggi di alam serta besar

5

dampak kerusakan yang ditimbulkannya pada tanaman pertanian atau budidaya
(Tarumingkeng 1994).
Siklus Hidup Kumbang H. vigintioctopunctata
Kumbang H. vigintioctopunctata mengalami perkembangan dan
perubahan bentuk yang disebut dengan metamorfosis sempurna atau
holometabola. Perkembangan tersebut terjadi melalui empat perubahan bentuk
(fase atau tingkatan umur), yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Larva memiliki
empat kali perkembangan (larva instar 1, 2, 3, dan 4). Telur dan pupa merupakan
fase yang tidak makan (pasif), sebaliknya larva dan imago sangat aktif melakukan
kegiatan makan. Fase larva merupakan periode yang sangat aktif bergerak dan
makan, terjadi perkembangan tubuh yang paling spektakuler sampai menjadi ulat
yang berukuran besar dan siap menjadi pupa. Imago kumbang melakukan makan
untuk keperluan biologi, reproduksi, dan perkembangan (Borror et al. 1996;
Partosoedjono 1985).
Telur kumbang H. vigintioctopunctata yang baru diletakkan berwarna
kuning cerah, yang kemudian dengan cepat berubah menjadi kuning agak gelap,
berbentuk lonjong, dan panjang sekitar 1,50 mm. Telur diletakkan dengan posisi
tegak, diletakkan saling berhimpitan dalam berkelompok atau massa telur (egg
mass). Biasanya, massa telur tersebut diletakkan pada permukaan bagian bawah
daun, sekitar 15 telur per massa telurnya. Kumbang betina H. vigintioctopunctata
dapat menghasilkan 800 telur selama hidupnya, dengan rata-rata per harinya
sekitar 30 butir (Pracaya 2008). Telur yang dihasilkan H. vigintioctopunctata yang
hidup di dataran rendah, lebih banyak dan letaknya lebih beraturan daripada di
dataran tinggi (Kalshoven 1981). Pada bagian ujung permukaan telur terdapat
seperti rajutan yang berbentuk heksagonal. Masa inkubasi telur pada umumnya
berlangsung sekitar 4 hari sebelum menetas menjadi larva (Suprijantoro 1983).
Larva dari kumbang H. vigintioctopunctata berbentuk memanjang, tungkai
tiga pasang, berwarna kuning tua agak kelabu, dan tertutup oleh banyak struktur
sebagai tonjolan dari epidermis di seluruh tubuhnya. Struktur ini bercabang dua
dengan ujung berwarna coklat gelap. Larva kumbang ini berkelompok di
permukaan bawah daun dari tanaman inangnya. Dalam perkembangannya, larva
ini mengalami pergantian kulit beberapa kali. Dalam proses pergantian kulit,
bagian kutikula lama dilepaskan dan larva instar baru akan keluar dengan kutikula
yang baru yang terbentuk di bawah kutikula lama. Warna larva semakin lama
semakin pucat, dengan ukuran yang semakin besar dan panjang. Larva instar
pertama yang baru menetas gerakannya lambat. Pada hari-hari berikutnya,
gerakannya semakin gesit. Pada hari ke-5 atau 6, larva memasuki instar kedua,
yang ditandai dengan warna tubuhnya yang mulai berwarna kuning gelap
(Pracaya 2008), bulu hitam dan memendek, tubuhnya memanjang, dan dapat
berjalan lambat. Larva instar kedua berlangsung selama 3–4 hari. Larva instar
ketiga ditandai dengan bulu-bulu tubuh yang lebih panjang, abdomen semakin
menggembung, ukuran tubuh semakin panjang, gerakannya lebih gesit, dan
makan semakin banyak. Larva instar ketiga berlangsung antara 2–3 hari.
Konsumsi makan dari larva instar keempat lebih banyak daripada instar-instar
larva sebelumnya. Warna tubuhnya semakin pucat, bulu-bulu tubuhnya semakin
tebal dan panjang (Kalshoven 1981). Gerakan larva instar empat semakin tua
semakin melambat, terjadi pelebaran dan pemendekan tubuh, dan akhirnya larva

6

tidak makan lagi. Larva ini mencari tempat aman sebelum memasuki fase pupa.
Larva instar keempat berlangsung sekitar 2–6 hari. Secara keseluruhan, larva H.
vigintioctopunctata berlangsung selama 14–20 hari. Tahapan prepupa merupakan
kondisi larva yang sudah tidak makan lagi, yang diawali larva empat yang
mengeluarkan zat perekat pada ujung ventral belakang abdomennya untuk
melekatkan diri pada daun, tangkai daun, atau tempat lainnya yang memasuki
masa prepupa (Suprijantoro 1983), sebelum menjadi pupa. Masa prepupa ini
berlangsung sekitar 2–3 hari dengan panjang tubuh sekitar 6,50 mm dan lebar
sekitar 3 mm.
Setelah mengalami masa prepupa, kemudian kumbang lembing memasuki
stadium pupa, yang ditandai dengan warna menjadi coklat muda atau warna gelap
dan agak segi empat (Pracaya 2008). Pada bagian dorsal terlihat bintik berwarna
coklat dan pada sisi lateralnya terdapat tonjolan panjang kaku dan berwarna
kehitaman. Pada bagian thorax terdapat warna coklat dan melekat pada
permukaan bawah daun atau percabangan pada ujung posteriornya. Pada bagian
posterior abdomen pupa ini masih terlihat sisa duri yang keras. Tubuh berbentuk
hampir membulat dengan panjang sekitar 5,50 mm dan lebar sekitar 3–4,50 mm.
Masa pupa ini berlangsung sekitar 3,70 hari. Pada akhir dari stadium pupa, terlihat
bagian dorsalnya merobek sebagai tempat keluarnya imago. Waktu yang
diperlukan kumbang H. vigintioctopunctata dari telur sampai munculnya imago
sekitar 29–30 hari.
Tubuh imago kumbang lembing H. vigintioctopunctata berbentuk oval
dengan panjang sekitar 6–7 mm dan lebar sekitar 4,50 mm dan tertutup oleh
struktur menyerupai bulu-bulu halus, mempunyai sepasang elytra berwarna coklat
kemerah-merahan, dan permukaan bagian bawah tubuhnya mendatar. Pada elytra
kumbang lembing H. vigintioctopunctata yang pertama dideskripsi terdapat 28
bercak dengan 14 bercak pada setiap sisi bilateralnya, namun jumlah bercak dan
polanya dapat berubah-ubah berdasarkan sebaran geografinya (Katakura et al.
1988). Pada saat terbang, kumbang mengepakkan sayap belakangnya secara cepat,
sedangkan elytra yang kaku tidak dapat dikepakkan, tetapi hanya direntangkan
saja untuk menambah daya angkatnya. Disamping itu, elytra dapat juga berfungsi
sebagai perisai atau pelindung diri (Borror et al. 2005).
Imago memiliki tungkai yang pendek dengan posisi kepala membungkuk
(hypognatus) yang membantu aktivitas makan. Pada tungkai imago yang
berbentuk sendok, terdapat bulu-bulu halus. Bulu-bulu menghasilkan bahan
berminyak yang lengket, sehingga imago ini mampu berjalan dan menempel pada
tempat-tempat yang sulit, seperti pada kaca ataupun langit-langit. Imago juga
meninggalkan jejak yang khas pada daun yang dimakannya. Kumbang tidak
memakan tulang daun, tetapi memakan bagian mesofil daun tanaman inangnya
(Pracaya 2008). Individu betina mempunyai ukuran yang lebih besar daripada
individu jantan. Pada saat imago diganggu, akan menjatuhkan diri seolah-olah
mati dengan merapatkan kaki-kakinya, sehingga rata dengan permukaan
abdomen. Imago juga mengeluarkan cairan kuning dengan bau tajam dari lipatan
antara femur dan tibia, yang berfungsi untuk pertahanan diri.
Kumbang lembing H. vigintioctopunctata mempunyai musuh alami,
diantaranya adalah tawon parasitoid Tetrastichus sp (Hymenoptera) yang
memarasit telur dan dan tawon parasitoid Pediobius sp (Hymenoptera) yang
memarasit larva (Kalshoven 1981). Di Australia, dilaporkan bahwa tawon

7

Stomatoceras colliscutellum Gir (Hymenoptera, Chalcididae) juga memarasit H.
vigintioctopunctata (Temperely 1928).
Tanaman Inang H. vigintioctopunctata
Takokak (S. torvum) (Gambar 1a) merupakan tumbuhan perdu tahunan,
memiliki ketahanan terhadap penyakit layu, berumur panjang, dan banyak
ditemukan di tepi-tepi jalan atau ladang. Tanaman ini mampu hidup pada
ketinggian 0–1.500 m di atas permukaan air laut (dpl). Daunnya meruncing pada
bagian pangkal dan ujungnya, panjang 25–30 cm, lebar 20–24 cm, dan
pertulangan daunnya menyirip. Bunganya merupakan bunga majemuk, berbentuk
bintang, bertaju dan pada waktu masih kuncup berbintik ungu, dan memiliki
kelopaknya berbulu. Buah takokak mengandung unsur perak nitrat nano partikel
yang dapat berperan sebagai anti mikrobia penyakit dan jamur (Govindaraju et al.
2010). Karena sifatnya yang tahan terhadap penyakit layu, maka tumbuhan ini
sering dipakai sebagai batang bawah dalam proses okulasi (penyambungan) untuk
memperbanyak tanaman. Tanaman ini mengandung senyawa sterol karpesterol
yang dapat digunakan sebagai anti radang. Daging buah dan daun takokak
mengandung alkaloid steroid dari jenis solasodin (Jasmine et al. 2011). Di pulau
Jawa, tanaman ini merupakan tanaman liar yang menjadi tanaman inang utama
bagi kumbang H. vigintioctopunctata. Tanaman ini umum dijumpai di dataran
rendah maupun dataran tinggi (Kalshoven 1981). Tanaman yang terserang
kumbang ini daunnya berlubang-lubang, pada serangan yang hebat maka daun
akan rusak berat sehingga berwarna coklat (Pracaya 2008).
Tumbuhan Solanum nigrum (Gambar 1b) di beberapa tempat memiliki
nama lokal leunca (Sunda), ranti atau rampi (Jawa), bobosa (Maluku), long kui
(Tionghoa), dan euro black nightshade (Inggris). Tanaman S. nigrum ini
merupakan semak semusim dengan tinggi 30–175 cm dan bercabang banyak.
Tanaman ini mempunyai akar tunggang, berwarna putih kecoklatan. Batangnya
tegak, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau. Letak daun berseling,
berkelompok, berbentuk bulat telur dengan ujung dan pangkal meruncing, dengan
tepi daun berombak hingga merata. Pertulangan daunnya menyirip, daunnya
mempunyai tangkai dengan panjang sekitar 1 cm dan berwarna hijau. Luka atau
bekas daun leunca yang dimakan kumbang H. vigintioctopunctata meninggalkan
jejak yang khas (Kahono 2010). Kandungan mineral yang terdapat pada daun S.
nigrum adalah Na (Natrium), K (Kalium), Ca (Kalsium), Mg (Magnesium), Fe
(Besi), Zn (Seng), dan P (Fosfor). Pada daun S. nigrum juga mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, fenol, asam hidrosianik (HCN), dan asam
fitik (Akubugwo et al. 2008). Senyawa saponin merupakan suatu glikoalkaloid
yang dapat menyebabkan berbagai tingkat keracunan bagi orang-orang tertentu
yang terkena mulai dari yang berkonsentarsi rendah sampai tinggi (Sikdar & Dutta
2011). Bunganya merupakan bunga majemuk (malai) dengan mahkota kecil,
berbentuk seperti bintang. Setiap malai terdapat 2–10 kuntum, berwarna
lembayung atau putih. Benangsari berjumlah 5, berwarna kehijauan. Buah berupa
buah buni, kecil, berbentuk bulat dengan diameter 0,8–1 cm. Buah muda berwarna
hijau yang bila masak akan berubah menjadi ungu kehitaman atau hitam
mengkilap dan berisi banyak biji. Bijinya berbentuk bulat pipih, kecil, dan
berwarna putih. Buah leunca tersusun dalam tandan, dengan rasa renyah dan
sedikit langu (Wijayakusuma 2005).

8

Tanaman terung (S. melongena) (Gambar 1c) merupakan tanaman
semusim di daerah tropis. Di Eropa, tanaman ini dikenal dengan nama eggplant.
Terung ini merupakan tumbuhan pangan penghasil buah yang dijadikan sayursayuran (Doijode 2001). Tanaman ini tingginya dapat mencapai 40–150 cm,
umumnya bercabang dengan batang atau tangkai berbulu dan biasanya berduri.
Tangkai yang sudah tua mengalami lignifikasi (berkayu). Daunnya tebal, besar,
dengan lobus yang kasar, berbulu, letaknya berselang-seling. Setelah tua, tangkai
daun berubah warna menjadi agak coklat, berukuran panjang 10–20 cm dan lebar
5–10 cm. Bagian permukaan bawah daun berbulu. Bunga berwarna putih hingga
ungu dengan mahkota yang mempunyai 5 lobus. Bunganya merupakan bunga
sempurna yang muncul dengan posisi yang berlawanan atau satu posisi dengan
tempat duduknya daun. Bunga dapat tetap bertahan tetap mekar selama 2–3 hari
dengan benang sari berwarna kuning (Doijode 2001).
Kecubung hutan B. suaveolens (Gambar 1d) merupakan tanaman
berbunga dengan bunga menyerupai terompet, terlihat menarik, berukuran besar
dan harum. Pada waktu sedang mengembang sempurna, panjang bunga dapat
mencapai 14–50 cm dan lebarnya 10–35 cm. Di tempat yang teduh, bunga
terompet mempunyai bermacam-macam warna, seperti putih, kuning muda, merah
jambu, oranye, hijau, ataupun kemerahan. Bunganya dapat berupa bunga tunggal
atau berkelompok. Kebanyakan bunga terompet ini berbau harum yang kuat
terutama pada petang atau malam hari. Karena sebagian besar bunga B.
suaveolens mempunyai aroma kuat, sehingga dapat menarik bagi ngengat-ngengat
penyerbuk (Partosoedjono 1985). Tanaman B. suaveolens berbentuk perdu agak
berkayu, tegak, dan bercabang-cabang dengan ujung-ujung ranting berambut
pendek dan sangat rapat. Tanaman ini dapat tumbuh mencapai ketinggian sekitar
3–5 m. Daunnya berbentuk oval dan tersusun berseling di sepanjang batangnya.
Panjang daunnya dapat mencapai 25 cm dan lebar 15 cm. Di tempat yang teduh,
daunnya dapat menjadi lebih lebar. Pangkal daunnya meruncing, umumnya tidak
sama sisi, tepi daunnya berlekuk atau bergerigi, pertulangan daunnya menyirip.
Pada permukaan daunnya terdapat bulu-bulu tidak rapat. Pada permukaan bawah
daun berambut halus. Pangkal daun berukuran panjang 9–35 cm dan lebar 4–17
cm. Daun bunga terompet merupakan makanan utama bagi larva dari kupu-kupu
Placidula euryanassa dan kumbang H. vigintioctopunctata (Richards 1988).
Daun B. suaveolens mengandung banyak senyawa alkaloid tropan yang
dibutuhkan untuk adaptasi terhadap lingkungannya ataupun untuk interaksi
dengan hewan atau mikroorganisme yang menyerang bagian tanaman (Kener &
Drayer 2000).

9

a

b

c

d

Gambar 1 Tanaman pakan larva kumbang yang digunakan dalam penelitian:
daun dan buah S. nigrum (a), daun dan buah S. torvum (b), tanaman
S. melongena (c), daun dan bunga B. suaveolens (d).
Neraca Kehidupan (Life-Table) dan Demografi
Neraca kehidupan merupakan sarana (tool) analisis yang penting dalam
studi ekologi yang dapat memberikan informasi lebih terperinci tentang penelitian
dinamika populasi. Perlu diketahui demografi dari suatu spesies yang akan diteliti.
Komponen dalam studi demografi meliputi nilai laju reproduksi kasar (G) dengan
satuan individu per generasi, laju reproduksi bersih (R o ) dengan satuan individu
per induk per generasi, laju pertumbuhan intrinsik (r) dengan satuan individu per
induk per hari, dan waktu generasinya (T) dengan satuan per hari. Waktu generasi
adalah waktu mulai diletakkan telur sampai imago betina menghasilkan separuh
keturunannya. Laju reproduksi kasar merupakan pendugaan jumlah total
keturunan (Price 1997), sedangkan laju reproduksi bersih (R o ) merupakan jumlah
keturunan betina yang menggantikan induk betina dalam satu generasi
(Southwood 1978). Laju pertumbuhan intrinsik merupakan tingkat kenaikan
pertumbuhan populasi dalam keadaan konstan. Waktu generasi adalah waktu yang
dibutuhkan untuk dapat menghasilkan keturunan (Young 1982). Dalam neraca
kehidupan dapat diketahui secara lengkap nilai mortalitas, fekunditas, dan
persentase telur yang menetas dan persentase setiap stadium yang terbentuk.
Berdasarkan neraca kehidupan, dapat dibuat kurva ketahanan hidup (kurva
survivorship) yang menggambarkan pola kelangsungan hidup. Dalam pembuatan
kurva survivorship diperlukan nilai rata-rata proporsi hidup dan waktu mulai telur
sampai imago mati (Price 1997).

10

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi LIPI Cibinong, Bogor
dan di Bagian Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi FMIPAIPB. Penelitian dilakukan mulai Oktober 2011 - Februari 2012.
Metode Penelitian
Spesies kumbang lembing herbivor yang diteliti adalah Henosepilachna
vigintioctopunctata Fabricius. Pakan yang diberikan kepada kumbang lembing
adalah daun takokak (Solanum torvum), leunca (S. nigrum), terong (S.
melongena), dan bunga terompet (Brugmansia suaveolens). Dalam penelitian ini
dilakukan beberapa tahap kegiatan, yaitu penyediaan stok imago dan telur,
pengamatan perkembangan telur, dan mortalitas atau survivorshipnya, perubahan
dan perkembangan pada fase larva, prepupa, pupa, dan imago. Pencatatan waktu
terjadinya perubahan setiap fase umur dan instar larva, studi demografi,
penyusunan life table, dan penyusunan kurva ketahanan hidup.
1. Penyediaan Stok Telur H. vigintioctopunctata
Pengambilan imago H. vigintioctopunctata sebagai stok dilakukan di desa
Jabon Mekar, Parung, Bogor. Disiapkan 4 buah wadah stok imago dengan tinggi
4,50 cm dan diameter 9 cm. Pada keempat wadah tersebut, masing-masing diisi
dengan daun tanaman sebagai perlakuan, yaitu: wadah I diisi dengan setengah
lembar daun takokak, wadah II diisi dengan satu lembar daun leunca, wadah III
diisi dengan setengah lembar daun terong, dan wadah IV diisi dengan setengah
lembar daun kecubung hutan. Ke dalam keempat wadah-wadah tersebut masingmasing diisi beberapa imago H. vigintioctopunctata yang diperoleh dari lapangan
untuk pengamatan lebih lanjut. Telur ataupun massa telur yang diletakkan oleh
imago-mago tersebut diamati. Telur ataupun massa telur yang dihasilkan
kemudian diambil untuk pengamatan perkembangan telur sampai imago. Dalam
pengadaan stok telur ini, imago diberi pakan yang cukup. Dilakukan juga
pencatatan data lingkungan, yaitu suhu dan kelembaban ruang tempat
pemeliharaan dengan menggunakan thermometer basah-kering. Massa telur yang
ada pada daun, tissue, atau pada wadahnya, diambil dengan cara memotong daun
atau tissue dengan menggunakan gunting. Telur yang lepas dari tempat
peletakannya, diambil dengan memakai kuas halus.
2. Pengamatan Perkembangan Telur Sampai Imago
Setiap massa telur yang diletakkan oleh kumbang lembing H.
vigintioctopunctata yang diberi masing-masing jenis pakan, diambil dan
diletakkan pada wadah kotak plastik kecil (diameter 9 cm dan tinggi 4,50 cm)
yang alasnya sudah diberi kertas tissue yang dibasahi air. Empat kelompok telur
yang diamati, yaitu kelompok telur yang diberi pakan daun S. torvum, S. nigrum,
S. melongena dan B. suaveolens. Jumlah telur dari setiap massa telur tersebut
diamati. Disamping itu, juga diamati perubahan yang terjadi pada telur, mortalitas
atau survival dari telur-telur tersebut. Setelah telur menetas, larva yang baru
menetas dipindahkan ke atas potongan daun-daun yang masih segar dari spesies
tanaman pakan yang telah ditentukan, kemudian daun-daun tersebut diganti

11

dengan daun spesies yang sama setiap hari atau setiap dua hari bila kondisi daun
masih segar. Cara pemberian daun ini sama pada fase larva dan imago.
Pengamatan perkembangan larva dimulai setelah larva menetas dari telur atau
larva instar 1-4. Dicatat tanggal dan terjadinya setiap perubahan atau
perkembangannya menjadi larva instar 2, larva instar 3, dan larva instar 4,
sebelum masuk ke dalam periode prepupa dan pupa. Pencatatan secara intensif
dilakukan terhadap jumlah individu yang hidup dan yang mati. Dilakukan
pencatatan secara intensif pada setiap perubahan yang terjadi pada larva kumbang
lembing ini. Periode prepupa merupakan transisi dari larva instar 4 dan pupa,
dimana pada periode tersebut larva tidak makan dan ujung abdomen menempel
pada daun atau benda lainnya. Bentuk tubuh prepupa pada umumnya cenderung
menjadi agak membulat dan warnanya memutih atau lebih terang. Fase pupa
memiliki dengan bentuk khas yang ada pada umumnya pupa kumbang.
Pengamatan prepupa dan pupa dilakukan dengan mencatat setiap terjadinya
perubahan menjadi imago atau pupa mati.
3. Penghitungan Statistik Demografi
Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan telur sampai imago,
kemudian dihitung statistik demografi yang meliputi laju reproduksi kasar (G),
laju reproduksi bersih (R o ), laju pertumbuhan intrinsik (r), dan waktu generasi
(T). Nilai laju reproduksi kasar adalah nilai pendugaan jumlah total keturunan
betina (Price 1997). Nilai G dihitung dengan rumus: G = Σ total m x . Nilai m x
adalah banyaknya keturunan betina yang dihasilkan. Nilai laju reproduksi bersih
merupakan nilai jumlah keturunan betina yang akan menggantikan induk
betinanya dalam satu generasi (Southwood 1978). Nilai laju reproduksi bersih
dihitung dengan rumus: Ro = Σ total l x m x . Nilai l x adalah proporsi hidup, yaitu
nilai perbandingan antara jumlah individu suatu fase yang hidup terhadap jumlah
awal (dalam hal ini adalah jumlah telur).( l x = a x / a o X 100 % ). a x = jumlah
individu hidup. a o = jumlah semua a x . Nilai Ro yang lebih besar dari 1,
menunjukkan adanya peningkatan populasi; nilai R o sama dengan 0, berarti
populasi tetap; nilai R o lebih kecil dari 1, berarti terjadi penurunan populasi. Nilai
laju pertumbuhan intrinsik yaitu tingkat kenaikan pertumbuhan populasi dalam
keadaan konstan (Carey 1993). Nilai ini dihitung dengan rumus: r = (ln.R o )/T.
Nilai T adalah waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu organisme
untuk perkembangannya mulai dari telur sampai terbentuk kembali keturunan
(Young 1982). Nilai waktu generasi dihitung dengan rumus: T = Σ x l x .m x /Σ
l x .m x .
4. Penyusunan Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup
Neraca kehidupan (life table) disusun berdasarkan jumlah individu yang
hidup (a x ), jumlah seluruh individu yang hidup (a o ), jumlah individu yang mati
(d x ), proporsi yang hidup (l x ), proporsi yang mati (q x ), dan harapan hidup (e x ).
Kurva ketahanan hidup menggambarkan pola bertahan hidup dari H.
vigintioctopunctata. Komponen yang diperlukan dalam pembuatan kurva
ketahanan hidup adalah nilai rata-rata proporsi hidup (l x ) dan waktu (T x ) sejak
telur sampai menjadi imago. Price (1997) melaporkan terdapat 3 tipe kurva
ketahanan hidup yaitu type I, II, dan III. Kurva ketahanan hidup H.

12

vigintioctopunctata dibuat pada masing-masing spesies tanaman pakan S. torvum,
S. nigrum, S. melongena, dan B. suaveolens.

HASIL
Kondisi Lingkungan Ruangan Pemeliharaan H. vigintioctopunctata
Rata-rata suhu ruangan tempat pemeliharaan kumbang pada pagi, siang
dan sore, berturut-turut ialah 27,57 ⁰C, 31,84 ⁰C dan 29,93 ⁰C. Kelembaban
relatif ruangan pada pagi, siang dan sore berturut-turut adalah 67,35, 65,83, dan
64,92 % (Tabel 1).
Tabel 1 Rata-rata suhu dan kelembaban relatif ruangan pada pagi, siang dan
sore hari.
Kondisi Ruangan
Suhu udara (⁰C)
Kelembaban relatif (%)

Pagi
27,57 (22-34)
67,35 (35-85)

Siang
31,84 (26-36,5)
65,83 (39-100)

Sore
29,93 (23-33,5)
64,92 (38-89)

Perkembangan Telur - Imago H. vigintioctopunctata
Rata-rata jumlah telur per massa telur adalah 22,24 butir (5-58 butir,
n=130 massa telur). Lama stadium telur pada kumbang lembing H.
vigintioctopunctata tersebut rata-rata 3,60 hari (1,00-5,00 hari) (Tabel 2). Waktu
yang diperlukan untuk perkembangan larva-1 sampai larva-4 dari kumbang
lembing H. vigintioctopunctata yang paling lama adalah pada perlakuan dengan
daun B. suaveolens (16,60 hari), diikuti berturut-turut oleh perlakuan dengan
daun S. torvum (16,20 hari), S. nigrum (15,90 hari), dan S. melongena (11,60 hari)
(Tabel 2). Waktu yang dibutuhkan kumbang lembing H. vigintioctopunctata dari
stadium telur sampai stadium pupa yang paling lama adalah pada perlakuan
dengan daun. S. nigrum, yaitu rata-rata 25,40 hari (16-37 hari), kemudian diikuti
berturut-turut oleh perlakuan dengan daun B. suaveolens 24,30 hari (17-37 hari),
S. torvum 23,40 hari (14-35 hari), dan S. melongena 16,30 (12-33 hari).
Waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari telur sampai menjadi
imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun S. torvum, S.
nigrum, S. melongena dan B. suaveolens adalah berkisar 39,90 - 104,10 hari. Pada
tahap dewasa, lama hidup imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan
daun tanaman S. torvum (16,50 hari pada jantan dan 31,70 hari pada betina) dan
daun tanaman S. nigrum (68,70 hari pada jantan dan 79,00 hari pada betina) lebih
lama dibandingkan lama hidup imago yang diberi pakan dengan daun tanaman S.
melongena (0,20 hari pada jantan dan 0,60 pada betina), kecuali dengan perlakuan
daun tanaman B. suaveolens (0,70 hari pada jantan dan 0,50 hari pada betina).
Total waktu yang diperlukan dari fase telur sampai imago H. vigintioctopunctata
mati pada tanaman S. torvum (39,90 hari pada jantan dan 55,10 hari pada betina)
dan S. nigrum (93,80 hari pada jantan dan 104,10 hari pada betina) lebih lama
dibandingkan pada tanaman S. melongena (16,50 hari pada jantan dan 16,90 hari
pada betina) dan B. suaveolens (25,00 hari pada jantan dan 24,80 hari pada
betina). Lama hidup imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan tanaman S.
torvum (39,90 hari pada jantan dan 55,10 hari pada betina) dan daun tanaman S.
nigrum (93,80 hari pada jantan dan 104,10 hari pada betina) lebih lama

13

dibandingkan imago yang diberi pakan dengan daun tanaman S. melongena (16,50
hari pada jantan dan 16,90 pada betina) dan dengan daun tanaman B. suaveolens
(25,00 hari pada jantan dan 24,80 hari pada betina). Secara umum pada keempat
perlakuan tanaman inang, lama hidup imago H. vigintioctopunctata betina (16,90104,10 hari) lebih panjang daripada jantan (16,50-93,80 hari) (Tabel 2).
Tabel 2 Rata-rata waktu (hari) yang diperlukan setiap fase perkembangan
kumbang lemb