Modal Sosial dan Lembaga Legislatif di Indonesia (Teori Social Capital, Robert Putnam)

Modal Sosial dan Lembaga Legislatif di Indonesia
(Teori Social Capital, Robert Putnam)
Muryanto Amin
BAHAN BACAAN BIROKRASI DAN POLITIK DI INDONESIA
DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA JULI 2014
Universitas Sumatera Utara

Latar Belakang Masalah Selama terjadi proses peralihan dari kekuasaan otoriter ke pemerintahan sipil yang
demokratis, politisi dan aktivis reformasi di Indonesia berpaling kepada teori-teori demokrasi sebagai cara untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan perubahanperubahan yang diinginkan. Peranan legislatif dianggap amat penting karena pengalaman di masa lalu kekuasaan terpusat pada eksekutif. Namun satu unsur dari pemahaman terbaru mengenai teori demokrasi adalah pentingnya modal sosial, yaitu sekumpulan nilai, jaringan struktur kekuasaan, dan kondisi pembatas, yang mempersatukan orang dalam sebuah komunitas dan mempromosikan kerjasama dan kegiatan yang bertanggungjawab sosial, sebagai dasar demokrasi.
Karya Robert Putnam1 dan lain-lain menekankan pentingnya modal sosial untuk berfungsinya demokrasi. Namun sayangnya, justru hal itulah yang telah rusak berat dalam 40 tahun terakhir. Indonesia memiliki modal sosial negatif yang melimpah, seperti korupsi dan separatisme regional. Sedangkan modal sosial positif, seperti nilai-nilai bagi penyelesaian konflik secara damai dan jaringan kerjasama di antara lembaga-lembaga kemasyarakatan, amatlah terbatas.
Warisan puluhan tahun kekuasaan otoriter, dampak negatif dari krisis perekonomian Asia, konflik komunal, dan separatisme yang menghinggapi beberapa provinsi adalah tantangan-tantangan besar yang dihadapi pemerintah Indonesia. Tantangan-tantangan inilah yang menyebabkan negara lemah, dengan tiadanya nilai-nilai dan kelembagaan yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan.
Unsur utama demi keberhasilan konsolidasi demokrasi di Indonesia dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai tantangan lainnya adalah modal sosial. Ini mencakup nilai-nilai untuk partisipasi sosial dan keterlibatan warga, jaringan untuk membangun kepercayaan, penyelesaian konflik, penggalangan koalisi; struktur kekuasaan yang dipercaya dan diandalkan oleh masyarakat; dan kondisi pembatas fungsional yang memungkinkan penyelesaian masalah secara inklusif dan penggalangan koalisi. Dalam
1 Sebagai contoh, lihat Robert D. Putnam. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy Princeton: Princeton University Press; Bowling Alone. 2000. The Collapse and Revival of American Community New York: Simon & Schuster; Bowling Alone “America’s Declining Social Capital” Journal of Democracy. 6. 1995: 65-78; “Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in America.” Politics and Society 28, December 1994: 664-683; dan “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life.” The American Prospect. 13, 1993 [ONLINE]. http://www.prospect.org/archives/13/13putn.html diakses pada 3 November 2008.
Universitas Sumatera Utara

ketidakmenentuan transisi, pengembangan modal sosial secara sadar dapat mendukung perubahan yang teratur dan diterima semua pihak. Argumentasinya adalah modal sosial positif harus dibangkitkan pada semua tingkatan pemerintahan dan di dalam lembaga individual (seperti, lembaga legislatif Indonesia) untuk memastikan transisi Indonesia menjauhi kekuasaan otoriter dan diarahkan menuju konsolidasi demokrasi, serta reformasi di semua bidang dapat dimulai dan dipertahankan. Lebih lanjut, modal sosial dalam bentuk kepercayaan, dapat merupakan barang publik yang memungkinkan para pemimpin mengarahkan negara dengan mengerahkan rakyat, dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Membangun modal sosial positif, dalam lingkungan politik Indonesia yang sangat personalistik, membutuhkan kepemimpinan dari eksekutif, legislatif, militer dan masyarakat sipil. Dalam konteks transisi di Indonesia, tantangannya beragam yaitu memperbaiki perekonomian, menghadapi separatisme daerah, dan membangun sebuah sistem politik yang berusaha mengatasi warisan dari 40 tahun pemerintahan otoriter.
Kebutuhan modal sosial pada tingkat nasional di Indonesia, harus dilihat baik bentuk positif maupun negatif. Demikian pula, lembaga-lembaga legislatif nasional Indonesia, MPR, DPD dan DPR, bekerja sebagai layaknya komunitas yang dibentuk untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai komunitas-komunitas di dalam elite politik nasional, lembaga-lembaga legislatif mencerminkan beraneka ragam contoh, baik positif maupun negatif, dari seperangkat modal sosial yang diteliti di tingkat nasional.
Selain mencerminkan modal sosial yang ada di tingkat nasional, lembaga-lembaga legislatif dengan sejarah, budaya dan komposisi tertentu, mempunyai beberapa ciri yang membuat mereka unik. Atas dasar itu penting diciptakan modal sosial di tingkat nasional. Juga amat diperlukan untuk menciptakannya di tingkat lembaga-lembaga individual. Agar legislatif dapat menangani reformasi yang luas dan – yang tak kalah pentingnya – mempertahankan reformasi tersebut, mereka harus membantu pertumbuhan modal sosial dalam lembaga masing-masing dan antara mereka dengan rakyat.
Diantara kegunaannya adalah untuk menghindari persepsi statis atau mandeg dan inefisien, yang melekat pada lembaga legislatif misalnya yang pernah terjadi pada tahun 1950-an, agar konsolidasi demokrasi saat ini bisa berhasil. Lebih-lebih lagi, waktu untuk bertindak adalah sekarang, selagi kesibukan parlemen dalam mengawasi presiden

Universitas Sumatera Utara

mengancam reputasi, baik lembaga-lembaga legislatif maupun eksekutif, dari rezim demokratis yang baru didirikan.
Karena berada pada tingkat nasional, lembaga-lembaga legislatif mau tak mau harus bekerja pada era reformasi yang tiap saat petanya dapat berubah. Dalam banyak peristiwa, bekerja dengan para pemain yang sama kuat dalam proses politik, para anggota legislatif haruslah belajar saling mempercayai, karena banyak di antara mereka bertentangan di masa lalu, dan terus menjadi saingan di masa kini. Iklim politik yang tidak pasti dengan adanya usaha-usaha untuk memberhentikan presiden (baik itu benar atau salah), tampaknya lebih membuang-buang waktu daripada menjalankan fungsi-fungsi legislatif itu sendiri.
Karena nilai-nilai sementara ini masih sedang dibangun, terjadilah situasi tanpa hukum selagi para partai sedang meraba-raba dalam lingkungan mereka yang baru. Dalam legislatif, ini berarti mereka masih mencoba-coba cara alternatif dalam pengambilan keputusan, belajar bernegosiasi dengan pihak lain, dan mencari tahu apakah persetujuanpersetujuan yang dibuat akan ditaati.
Money politics, jual-beli suara, yang dilakukan secara terus-menerus memusingkan kepala para reformis Indonesia. Apakah ini sudah terjadi dalam skala yang luas pada tingkat nasional sejak 1999? Belum dapat dibuktikan. Namun gejala korupsi dengan kasuskasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan oleh sebagian anggota legislatf, telah diketahui secara luas oleh publik.
Dalam parlemen, seperti dalam negara secara keseluruhan, kepemimpinan dan jaringan cenderung pada pribadi. Budaya tokoh, atau orang besar, masih sangat penting dalam politik Indonesia. Jaringan-jaringan pribadi ini pada masa lalu seringkali digunakan untuk maksud-maksud korup (pribadi maupun untuk partai). Ini adalah alasan penting dalam hal turunnya rasa hormat terhadap parlemen di tahun 1950-an, dan harus diatasi demi konsolidasi demokrasi saat ini.
Musyawarah untuk mufakat seharusnya merupakan cara yang dipilih dalam pengambilan keputusan dalam parlemen Indonesia, di mana pemungutan suara hanya dilakukan apabila konsensus tidak dapat dicapai. Keuntungan musyawarah untuk mufakat ialah ia amat menganjurkan, untuk memperhatikan aspirasi partai terkecil sekalipun. Namun musyawarah untuk mufakat seringkali dimanipulasi, sebab konsensus sudah direkayasa oleh para pimpinan parlemen (hal ini sangat sukses dilakukan di zaman
Universitas Sumatera Utara

Sukarno dan Suharto). Kecenderungan pengambilan keputusan yang dikontrol elit diperburuk oleh partai politik kuat, yang mempunyai kemampuan me-recall wakil rakyat yang tidak mengikuti garis partai.
Lebih jauh, pegawai di parlemen amat kurang jumlahnya untuk mendukung profesionalisme badan tersebut. Staf parlemen juga tidak di bawah pengawasan langsung parlemen – pengawasan dibagi bersama Departemen Dalam Negeri – padahal supervisi parlemen atas stafnya sendiri mutlak diperlukan untuk otonomi parlemen. Parlemen hanya sedikit mengalami pergantian staf secara sistematis sejak zaman Orde Baru. Banyak contoh yang menggambarkan, para pegawai parlemen masih bertindak sesuai dengan paradigma tertutup untuk umum, yang dominan pada zaman Orde Baru.
Seperti ditekankan pada tingkat nasional, informasi penting mengalir melalui jalur tertutup yang seringkali bersifat pribadi, ini menghambat beberapa prinsip paling utama dalam demokrasi. Pertama, demokrasi menghendaki agar informasi terbuka bagi publik; hal ini menumbuhkan akuntabilitas wakil rakyat kepada pemilihnya. Kedua, dalam demokrasi partisipatif sebagai lawan dari demokrasi elit, rakyat harus memiliki informasi untuk berpartisipasi dengan para pemimpin pollitik dalam menetapkan agenda, perumusan kebijakan, dan implementasi. Kurangnya atau tidak adanya informasi menghalangi keterlibatan publik yang aktif dan mengetahui permasalahan. Pengambilan keputusan sekitar amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebuah contoh. Prosesnya relatif tertutup, walaupun pentingnya perubahan mendasar ini untuk berfungsinya demokrasi Indonesia di masa mendatang.
Memahami sisi positif maupun negatif dalam kecenderungan tersebut, dapat dilihat bahwa gaya akomodasi elit dapat mencegah aspirasi populer meledak terhadap masalahmasalah konstitusional yang sensitif, seperti peranan Islam dalam negara. Meskipun demikian, dalam jangka panjang, skenario yang paling baik dari proses pengambilan keputusan tertutup adalah demokrasi elit, yang merupakan kasus terbaik. Ada beberapa kemungkinan terburuk yang dapat terjadi sebagai hasil dari proses ini.
Kepercayaan pada parlemen relatif tinggi. Ini merupakan salah satu dasar untuk perubahan demokratis. Namun dalam sistem Indonesia, sulit bagi parlemen dalam menggalang inisiatif untuk memanfaatkan kepercayaan tersebut guna melakukan
Universitas Sumatera Utara

perubahan. Pemerintah Indonesia, walaupun dengan perubahan-perubahan konstitusional sejak jatuhnya Suharto, secara eksekutif gembira.2
Kondisi batas yang memisahkan parlemen dari bangsa cukup ketat. Pada saat parlemen sering menjadi sasaran protes mahasiswa dan petisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, budaya menganggap diri penting – yang menghinggapi para wakil rakyat –telah menarik garis batas antara yang dipilih dan yang memilih. Sebagai contoh, para wakil rakyat terkenal amat sulit dihubungi. Ini secara langsung berakibat pada kesulitan warganegara untuk didengar oleh para wakilnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan cara-cara yang baik untuk menyediakan saluransaluran informasi di dalam sebuah komunitas seperti modal sosial. Media itu berfungsi sebagai jaringan penting bagi pertukaran ide, komunikasi perasaan dan aspirasi di antara sesama. Dengan menyediakan hubungan yang lebih dekat dan aliran informasi yang lebih lancar, modal sosial membantu mengurangi risiko ketidakpastian dalam transaksi yang bersifat pribadi dan organisasional.

Modal sosial juga dimanifestasikan dalam struktur otoritas. Legitimasi hubungan kekuasaan dan struktur otoritas penting untuk memelihara ketertiban dan stabilitas dalam masyarakat. Banyak komunitas dan organisasi yang memiliki sistem modern dalam memberikan penghargaan dan sanksi terhadap para anggotanya. Ini dijalankan dalam rangka untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan para anggota, dan biasanya ini didukung oleh kekuasaan dan sumberdaya resmi.
Tidaklah cukup hanya mengadakan pemilihan umum yang bebas dan jujur, dengan harapan lembaga-lembaga demokrasi akan bekerja tanpa cacat. Lembaga-lembaga diisi dan dijalankan oleh manusia, dan di sinilah modal sosial dapat berlaku sebagai penggerak, pelumas untuk roda perubahan yang berderit. Apabila demokrasi sebagai bentuk baru dari pemerintahan dan cara hidup di Indonesia tidak diikuti oleh pembentukan modal sosial positif, sekedar parlementarisme saja dan formalitas-formalitas partisipasi politik tidak akan mempertahankannya. Permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini memperlihatkan adanya kelemahan dari sumberdaya modal sosial di Indonesia. Proses transisi demokratis membutuhkan para pemimpin dan warganegara Indonesia, untuk memikirkan kembali jaringan-jaringan, nilai-nilai, kepercayaan, dan pranata yang dibutuhkan. Seperangkat
2 Partai Buruh Nasional (PBN) menggunakan kalimat ini untuk menggambarkan eksekutif pada era Suharto. Ia tampaknya masih bisa berlaku sekarang. API. Almanak Parpol Indonesia. Jakarta: API Foundation, 1999. hal. 174.
Universitas Sumatera Utara

dimensi dalam modal sosial itu penting untuk memastikan bahwa demokrasi dapat bekerja dengan baik. Tulisan ini juga merupakan usaha awal untuk memahami modal sosial dalam konteks Indonesia.
Modal Sosial dalam Perspektif Teoritik Modal sosial adalah seperangkat nilai, jaringan, struktur kekuasaan dan kondisi
pembatas yang mempersatukan orang dalam sebuah komunitas. Ia dimanifestasikan dalam ikatan-ikatan yang membangkitkan kepercayaan dan sebagai rasa memiliki dan kemauan baik, yang membuat orang mau bertanggungjawab secara kolektif dan sepakat untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial. Modal sosial berkembang dari jaringan manusia yang saling bertemu dan berkomunikasi, dan dalam proses tersebut mereka membentuk dan mengubah hubungan-hubungan. Ia terkandung dalam faktor sosiabilitas antara para aktor dalam sebuah setting atau lingkungan sosial. Sebagai sumber, ia memfasilitasi hubungan-hubungan dan pertukaran, mengkoordinasi harapan-harapan, dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Modal sosial ini pertama dikembangkan oleh Pierre Bordieu, seorang sosiolog Prancis, dan James Coleman, seorang sosiolog Jerman. Coleman mendefenisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antara individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru.3 Coleman lebih lanjut mengembangkan teori modal sosial dengan meneliti bentuk turunannya, kewajiban dan harapan, nilai-nilai, sanksi, saluran informasi, dan hubungan kekuasaan. Dalam tulisannya ini, ia menjadi ilmuwan pertama yang berteori tentang mekanisme penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran modal sosial.
Dalam pengertian yang baru, dan yang digunakan dalam tulisan ini, ilmuwan politik Robert Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama.4 Dalam kerangka Putnam, modal sosial tumbuh ketika para individu belajar mempercayai satu sama lain, membuat kesepakatan yang dapat diandalkan, dan terlibat dalam usaha bersama.
3 James Coleman. 1990. The Foundations of Social Theory Cambridge: Harvard University Press, terutama Bab 12 mengenai “Social Capital,” hal. 301. 4 Putnam. op.cit. hal. 171.
Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitiannya yang terkenal mengenai pemerintahan regional di Italia, (Making Democracy Work), ia mendapatkan bahwa lembaga-lembaga administratif serupa yang didirikan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda menghasilkan kinerja pemerintahan yang berbeda pula. Beberapa di antara pemerintahan tersebut inefisien, lamban, dan korup, sedangkan yang lainnya efektif, inovatif, dan dapat dipertangungjawabkan. Putnam menyimpulkan, kunci atas perbedaan kinerja publik ini adalah perbedaaan sumber modal sosial daerah-daerah tersebut dan norma keterlibatan warga negara yang kuat.5
Sumbangan penting karya Putnam adalah ide bahwa modal sosial dapat berwujud positif maupun negatif. Dalam bentuknya yang negatif, modal sosial memanifestasikan diri pada kelompok-kelompok eksklusif dan praktek-praktek diskiriminasi dalam organisasiorganisasi dengan kesetiaan in-group dan antipati out-group yang kuat. Nilai-nilai yang kuat dalam jaringan pribadi biasanya didukung oleh sanksi sosial informal dan tekanan sejawat (peer pressure). Mereka dapat pula menyebabkan ketergantungan, pengecualian dan pilih kasih, dan dapat mengurangi kreativitas dan inovasi. Bentuk-bentuk kontrol sosial semacam ini pada umumnya membatasi otonomi individual.
Wacana ilmiah dan penelitian terakhir tentang modal sosial telah memperluas definisinya sehingga mencakup saluran informasi, struktur kekuasaan, dan kondisi batas.6 Sementara konsep ini masih menjadi bahan perdebatan akademis, beberapa peneliti mulai menggunakan modal sosial sebagai sesuatu yang tertanam dalam struktur sosial, yang memberikan rasa kesadaran kolektif pada suatu kelompok. Dalam hal ini, saluran-saluran komunikasi, struktur kekuasaan, dan kondisi batas adalah kosep-konsep yang melandasi ketergantungan konteks modal sosial. Mereka menggunakannya sebagai sumber-sumber sosial yang berfungsi sebagai perekat kohesi sosial dan kesepakatan, serta sebagai pelumas dari keterlibatan politik dan perserikatan-perserikatan komersial. Modal sosial ada di
5 Ibid., hal. 163-185. 6 Bob Edwards dan Michael Foley berpendapat bahwa konsep modal sosial terbuka pada "oportunisme operasional" , terutama oleh para peneliti fokusnya pada definisi dan ukuran mereka sendiri. Lihat Bob Edwards dan Michael W. Foley, “Social Capital and the Political Economy of Our Discontent” dalam American Behavioral Scientist Vol. 40, No. 5, March- April 1997, hal. 669-678. Untuk diskusi mengenai definisi lihat, Ellen Gabriele Ferrazzi Wall dan Frans Schryer, “Getting the Goods on Social Capital”, dalam Rural Sociology, Vol. 63, No. 2, 1998, hal. 300-322; Andrew M. Greeley, “Coleman Revisited: Religious Structures as a Source of Social Capital”, dalam American Behavioral Scientist, Vol. 40, No. 5, March-April 1997,hal. 587(8); dan Anirudh Krishna dan Elizabeth Shrader, “Social Capital Assessment Tool,” Makalah disiapkan untuk Konferensi Modal Sosial dan Pengurangan Kemiskinan, The World Bank, Washington, D.C., June 22-24, 1999.
Universitas Sumatera Utara

dalam struktur hubungan-hubungan manusia, dan karena itu mempunyai pengakaran sosial dan budaya.

Modal sosial meliputi saluran-saluran informasi di dalam sebuah komunitas. Hal ini berfungsi sebagai jaringan penting bagi pertukaran ide dan teknologi, komunikasi perasaan dan aspirasi di antara sesama. Dengan menyediakan hubungan yang lebih dekat dan aliran informasi yang lebih lancar, modal sosial membantu mengurangi risiko ketidakpastian dalam transaksi yang bersifat pribadi dan organisasional.
Modal sosial juga dimanifestasikan dalam struktur otoritas. Legitimasi hubungan kekuasaan dan struktur otoritas penting untuk memelihara ketertiban dan stabilitas dalam masyarakat. Banyak komunitas dan organisasi yang memiliki sistem modern dalam memberikan penghargaan dan sanksi terhadap para anggotanya. Ini dijalankan dalam rangka untuk, mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan para anggota, dan biasanya ini didukung oleh kekuasaan dan sumberdaya resmi.
Dengan menerapkan dan melaksanakan kebijakan penghargaan dan sanksi, struktur otoritas dapat menjaga agar tindakan para anggota sesuai dengan tujuan, nilai-nilai dan kepentingan kelompok. Masyarakat dan organisasi juga berfungsi lebih efisien ketika mereka telah mendirikan struktur atau proses yang efektif untuk melaksanakan kontrak, mengukur kinerja, menghitung nilai, dan menengahi konflik. Jadi, kebanyakan kelompok menciptakan hierarki wewenang dan struktur otoritas yang dapat membantu disiplin dan pengawasan.
Unsur terakhir dari modal sosial adalah kondisi batas. Tapal batas, pada suatu kelompok, memperjelas tempat di mana mereka dapat mengekspresikan loyalitas dan kesepakatan. Bentuknya dapat berupa fisik, dilaksanakan dalam batas-batas isolasi geografis, atau batas-batas kultural dan sosial dalam bentuk simbol-simbol dan praktekpraktek yang membedakannya dari yang lain. Negara dan bangsa mempunyai visi, ideologi, ritual dan institusi yang digunakan bersama oleh para anggota, yang membedakan mereka dari negara dan bangsa lain.
Bagi anggota perseorangan, struktur-struktur batas mendefinisikan siapa yang termasuk dan tidak dalam kelompok, dan dengan demikian secara tidak langsung membatasi akses pada keistimewaan dan sumberdaya yang diperoleh dengan keanggotaan. Kondisi batas ini mengatur interaksi dan informasi dengan lingkungan eksternal maupun internal. Dalam hal ini kondisi batas tersebut juga termasuk peraturan dan tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara

keanggotaan, praktek-praktek luar biasa, dan pemberlakuan kebiasaan dan simbol yang mendefinisikan peserta orang dalam dan memisahkannya dari orang luar.
Untuk menggerakkan masyarakat atau bangsa dalam menyelesaikan konflik dan masalah yang mereka hadapi, para pemimpin harus membantu para anggota untuk mempertegas visi dan tujuan mereka, menentukan prioritas dan waktu, mengakses pilihan dan alternatif dan menuntaskan nilai-nilai yang bersaing dan bertindak. Terutama bagi bangsa yang sedang menjalani transisi demokratis, kerja keras dalam mengelola perubahan dan menyelesaikan masalah-masalah sulit harus dilakukan, dan ini termasuk menilai semua kepentingan yang berbeda-beda, membangun konsensus, dan memobilisasi rakyat agar belajar dan beradaptasi dengan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.
Adaptasi semacam itu membutuhkan perubahan nilai, keyakinan, dan perilaku. Di sinilah modal sosial berfungsi sebagai penggerak dan fasilitator perubahan. Transisi ini dibangun atas bangsa dan institusi yang bekerjasama menciptakan nilai-nilai baru, untuk partisipasi politik berdasarkan transparansi, akuntabilitas, dan inklusifitas. Modal sosial juga diasumsikan terdapat pada kemampuan beragam kelompok dalam bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan penderitaan masa lalu dan perbedaan yang ada, dalam rangka untuk menciptakan koalisi bagi kepentingan bersama.
Tanpa pemimpin yang berorientasi pada perubahan, rakyat cenderung beralih pada strategi negatif untuk melindungi atau memperjuangkan kepentingannya, seperti penggunaan propaganda, disinformasi, penekanan, bahkan teror. Dalam peristiwa ini, bukannya menerima dan menganut perubahan yang diingini dan diperlukan, rakyat akan tergoda untuk bertahan dengan asumsi-asumsi dan cara-cara lama, menciptakan peralihan perhatian, berkelit, dan mencari kambing hitam, menipu diri sendiri, dan berbagai cara menghindari perubahan.
Bank Dunia telah mendirikan sebuah Social Capital Initiative7 untuk menyebarluaskan konsep dan meningkatkan minat penelitian mengenai modal sosial, sebagai sumberdaya penting untuk pemberantasan kemiskinan, pembangunan manusia dan ekonomi. Modal sosial semakin dipandang sebagai fasilitator perubahan dan unsur mutlak dari keamanan dan stabilitas. Modal sosial merupakan salah satu kunci penting ke penyelesaian beberapa masalah persistensi dalam pemerintahan, dan juga dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
7 Lihat perpustakaan web World Bank yang mengesankan dan pesat mengenai modal sosial di http://www.worldbank.org/poverty/scapital/index.htm.
Universitas Sumatera Utara

Modal sosial negatif dapat juga menimbulkan akibat yang besar bagi transisi demokrasi. Bentuknya ada tiga yaitu eksklusivitas, korupsi, dan penindasan. Norma eksklusivitas kondisi batas – berdasarkan bangsa, jenis kelamin, umur, kasta, etnis, kelas atau pendapatan – dapat mengasingkan, merampas, atau menyingkirkan kelompok yang tidak termasuk persyaratan di atas. Pihak yang bertindak eksklusif membuang kesempatan untuk bekerjasama, membangun koalisi, dan persekutuan yang merupakan kunci dari politik pluralistik.
Korupsi dan berbagai bentuk perlindungan – kronisme, nepotisme, penyalahgunaan wewenang – dapat timbul dari modal sosial yang berorientasi pada dukungan dan kepentingan kelompok tertentu. Jaringan pelindung, klien yang berdasarkan eksploitasi koneksi yang memanfaatkan struktur otorita dan sumberdaya publik, dapat melunturkan kepercayaan pada efektivitas dan ketidakberpihakan lembaga-lembaga publik. Ini akan mengakibatkan hilangnya legitimasi, keadilan sosial dan rasa memiliki publik, yakni halhal yang penting bagi pembangunan budaya demokratis. Akhirnya, penindasan adalah manifestasi lain dari modal sosial negatif yang bertentangan dengan demokrasi. Bentukbentuk kontrol sosial, ketaatan berlebihan dan groupthink dari kohesi sosial yang amat kuat, menghalangi orang untuk melakukan pilihan independen, untuk berpartisipasi dalam kehidupan komunitas, dan membangun masa depan yang mereka inginkan.
Skema Penggunaan Teori Modal Sosial (Putnam) Meskipun kajian sebagaimana yang ditulis oleh Putnam (Making Democracy Work)
belum dilakukan di Indonesia, tapi belajar dari pengalaman negara lain dalam transisi mereka dari pemerintahan otoriter, kemudian jajak pendapat publik di Indonesia,8 dan membaca dengan teliti perkembangan politik Indonesia mutakhir, maka dapat dibuat pengamatan sementara mengenai sifat dari modal sosial Indonesia. Gejala organisasi dan
8 Jajak pendapat publik di negara yang keluar dari periode kekuasaan otoriter bermasalah pada berbagai lapisan. Apakah petugas jajak pendapat mempunyai pengalaman yang cukup? Apakah responden akan menjawab dengan jujur, atau terbiasa dengan cara lama, berusaha untuk memberikan "jawaban yang benar?" Apakah survai benar -benar nasional atau hanya mencerminkan pendapat dari mereka yang memiliki telefon di kota besar (sebuah kelompok yang berbeda jauh dari kebanyakan penduduk)? Studi ini akan bergantung pada beberapa jajak pendapat tingkat nasional yang secara metodologis kuat yang dilaksanakan oleh International Foundation for Election Systems (IFES), The Clearing House - Pendidikan Pemberi Suara, dan Polling Center; jajak pendapat-jajak pendapat ini sangat konsisten dalam temuan-temuan yang seringkali mengejutkan. Menyadari bahwa jajak pendapat mempunyai kelemahan namun, dengan tidak adanya sarana lain dalam memperkirakan persepsi publik, studi ini akan mengambil sumber jajak pendapat sebagai salah satu indikator modal sosial.

Universitas Sumatera Utara

sosial yang sama dapat menghasilkan akibat yang berbeda dari satu negara ke negara yang lain.
Modal sosial ini mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, normanorma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerja sama dalam komunitas masyarakat sehingga tercipta suatu kerja sama yang saling menguntungkan. Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja dari lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang tercipta tersebut menghasilkan mutu sekolah yang semakin baik, pembangunan ekonomi yang pesat, menurunnya tingkat kejahatan, dan bahkan berpengaruh positip terhadap kinerja pemerintahannya sendiri sebagai representasi dari komunitas masyarakatnya. Berdasarkan itu, hipotesis yang diajukan adalah bahwa modal sosial berkorelasi positip atau sebagai syarat untuk kehidupan demokrasi yang efektif. Hipotesis itu kemudian akan dilihat dari data-data kuantitatif dan kualitatif yang ditemukan di lembaga legislatif di Indonesia.
Berdasarkan teori dan hipotesa tersebut, ada tiga dimensi dalam modal sosial, dimana dimensi ini terdiri dari beberapa indikator sebagai berikut: 1. Kepercayaan dengan indikator kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi dan
kemurahan hati. 2. Jaringan sosial dengan indikator partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerja
sama, dan keadilan. 3. Pranata atau nilai-nilai sosial dengan indikator nilai bersama, norma-norma dan sanksi
serta aturan-aturan.

Tabel 1. Dimensi, Indikator dan Item Pertanyaan tentang Modal Sosial, dari teori Robert Putnam

No. Dimensi 1. Kepercayaan/Saling Percaya

Indikator Kejujuran Kewajaran Sikap Egaliter Toleransi Kemurahan Hati

Item Pertanyaan Penelitian a. Transparansi dalam pengelolaan b. Keterbukaan antar sesama anggota
legislatif c. Kepercayaan dari anggota d. Tanggung jawab e. Kesadaran akan hak dan kewajiban f. Kesadaran anggota legislatif akan
peran dlm masyarakat g. Saling terbuka di antara anggota demi
kebaikan h. Kebebasan pihak pengelola i. Anggota dan calon anggota yang


Universitas Sumatera Utara

2. Jaringan Sosial 3. Pranata

terbuka j. Penerimaan dan sikap terbuka thdp
kel. lain k. Saling menghormati l. Kontribusi anggota thdp kepentingan
seluruh warga m. Kepatuhan anggota thd peraturan dan
nilai sosbud n. Kelonggaran bagi warga yang lemah o. Keringanan untuk memaafkan p. Pengorbanan dan kontribusi para
pengurus/tokoh pembangunan q. Pengorbanan anggota dalam rangka
pembangunan r. Loyalitas anggota legislatif dan warga
dalam melaksanakan pembangunan

Partisipasi Pertukaran Timbalbalik Solidaritas Kerjasama Keadilan

a. Keikutsertaan seluruh anggota dalam penerapan nilai-nilai sosbud
b. Partisipasi anggota setempat c. Partisipasi anggota yang ada di
perantauan d. Saling tolong-menolong e. Kepanitiaan kegiatan diisi oleh orang
tua dan muda (regenerasi). f. Anggota membantu kepentingan
umum secara suka rela g. Ikatan kekerabatan yang kuat sebagai
pemersatu h. Rasa memiliki anggota terhadap

seluruh pasilitas umum i. Dukungan semua anggota terhadap
pembangunan j. Kesukarelaan anggota dalam
membantu k. Semangat anggota dalam
menegakkan nilai-nilai kebenaran l. Kerjasama antar anggota m. Kerjasama anggota legislative dengan
warga n. Musyawarah anggota dalam
memutuskan sesuatu o. Kebebasan bagi semua anggota
legislatif untuk membentuk dan memasuki lembaga tertentu. p. Akses masyarakat dalam memberikan kritik dan saran terhadap anggota

Nilai-nilai bersama, Norma-norma, dan Sanksi-sanksi Aturan-aturan

a. Arti penting gotong-royong bagi seluruh anggota
b. Keyakinan bahwa menolong sesama merupakan perbuatan baik
c. Kesadaran akan arti penting pendidikan bagi generasi selanjutnya
d. Pentingnya sebuah institusi/lembaga pendidikan untuk kemajuan
e. Menolong keluarga dan kaum kerabat adalah sebuah kewajiban

Universitas Sumatera Utara

f. Sanksi sosial dan sanksi organisasi bagi anggota dan pengurus/tokoh menyeleweng dari nilai-nilai sosial budaya
g. Menolong sesama warga dan umat manusia adalah kewajiban bagi setiap manusia

h. Aturan-aturan dalam masyarakat tentang hidup bermasyarakat yang bersifat tradisional
i. Aturan-aturan formal dari pemerintah j. Pertanggung jawaban warga dalam
setiap tindakan yang mereka lakukan
Universitas Sumatera Utara

Skema 1. Dimensi, Indikator dan Item Pertanyaan tentang Modal Sosial,

K O

Hipotesa

N S

Modal Sosial

berkorelasi positip atau sebagai syarat dalam kehidupan demokrasi

E P

yang efektif.


D I M Kepercayaan/Saling E Percaya N S I
Kejujuran I N Kewajaran D I K Sikap Egaliter A T Toleransi O R
Kemurahan Hati

• Transparansi dalam

pengelolaan

I T

• Keterbukaan antar sesama anggota
• Kepercayaan dari anggota

E • Tanggung jawab

M • Kesadaran akan hak dan

kewajiban


P • Kesadaran anggota akan

E peran dlm masyarakat

R • Saling terbuka di antara

T anggota demi kebaikan

A • Kebebasan pihak pengelola

N • Anggota dan calon anggota

Y yang terbuka

A A

• Penerimaan dan sikap terbuka thdp kel. lain
• Saling menghormati

N • Kontribusi anggota thdp


kepentingan seluruh warga
K • Kepatuhan pada peraturan

U dan nilai sosbud

E • Kelonggaran bagi warga

S yang lemah

I • Keringanan untuk

O memaafkan

N • Pengorbanan dan kontribusi

E R

para pengurus/tokoh pembangunan • Pengorbanan masyarakat


dalam pembangunan

• Loyalitas pengurus dan

anggota dalam

melaksanakan

Jaringan Sosial

Pranata

Partisipasi Solidaritas Kerjasama Keadilan Pertukaran Timbal-balik

Nilai-nilai bersama Norma-Norma Sanksi-sanksi Aturan-aturan

• Keikutsertaan seluruh anggota dalam penerapan nilai-nilai sosbud
• Partisipasi anggota setempat • Partisipasi anggota yang ada di
perantauan • Saling tolong-menolong • Kepanitiaan kegiatan diisi oleh
orang tua dan muda (regenerasi) • Anggota membantu kepentingan umum secara suka rela • Ikatan kekerabatan yang kuat sebagai pemersatu • Rasa memiliki anggota terhadap seluruh pasilitas umum • Dukungan anggota terhadap pembangunan • Kesukarelaan anggota dalam membantu • Semangat anggota dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran • Kerjasama antar anggota • Kerjasama pengurus/tokoh dengan warga • Musyawarah anggota dalam memutuskan sesuatu • Kebebasan bagi semua anggota untuk membentuk dan memasuki lembaga tertentu. • Akses masyarakat dalam memberikan kritik dan saran terhadap anggota

• Arti penting gotong-royong bagi seluruh anggota
• Keyakinan bahwa menolong sesama merupakan perbuatan baik
• Kesadaran akan arti penting pendidikan bagi generasi selanjutnya
• Pentingnya sebuah institusi/lembaga pendidikan untuk kemajuan
• Menolong keluarga dan kaum kerabat adalah sebuah kewajiban
• Sanksi sosial dan sanksi organisasi bagi warga dan pengurus/tokoh yang menyeleweng dari nilai-nilai sosial budaya
• Menolong sesama warga dan umat manusia adalah kewajiban bagi setiap manusia
• Aturan-aturan dalam masyarakat tentang hidup bermasyarakat yang bersifat tradisional
• Aturan-aturan formal dari pemerintah
• Pertanggung jawaban anggota dalam setiap tindakan yang mereka lakukan

Data Kualitatif dan Kuantitatif yang
mendukung pembentukan modal sosial

Universitas Sumatera Utara

Daftar Pustaka
API. 1999. Almanak Parpol Indonesia. Jakarta: API Foundation. Alone, Bowling. “America’s Declining Social Capital.” Journal of Democracy. 6, 1995:
65-78; _____________. 2000. The Collapse and Revival of American Community. New York:
Simon & Schuster; Coleman, James. 1990. The Foundations of Social Theory Cambridge: Harvard University
Press, terutama Bab 12 mengenai “Social Capital,”. Edwards, Bob dan Michael W. Foley, “Social Capital and the Political Economy of Our
Discontent” dalam American Behavioral Scientist Vol. 40, No. 5, March- April 1997. Greeley, Andrew M. “Coleman Revisited: Religious Structures as a Source of Social Capital”, dalam American Behavioral Scientist, Vol. 40, No. 5, March-April 1997,hal. 587(8). Krishna, Anirudh dan Elizabeth Shrader. “Social Capital Assessment Tool,” Makalah Konferensi Modal Sosial dan Pengurangan Kemiskinan, The World Bank, Washington, D.C., June 22-24, 1999. Perpustakaan web World Bank yang mengesankan dan pesat mengenai modal sosial di http://www.worldbank.org/poverty/scapital/index.htm. Putnam, Robert, D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy Princeton: Princeton University Press. Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in America.” Politics and Society 28, December 1994: 664-683; dan “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life.” The American Prospect. 13, 1993. Online. http://www.prospect.org/archives/13/13putn.html. Wall, Ellen dan Frans Schryer, “Getting the Goods on Social Capital”, dalam Rural Sociology, Vol. 63, No. 2, 1998..
Universitas Sumatera Utara