Paparan Btp Pengawet Dan Pemanis Pada Pangan Yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah Di Kota Pekanbaru, Riau

0

PAPARAN BTP PENGAWET DAN PEMANIS PADA PANGAN
YANG DIKONSUMSI ANAK USIA SEKOLAH DI KOTA
PEKANBARU, RIAU

SEPTYA RHOZALYA NABILAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Paparan BTP Pengawet
dan Pemanis pada Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota
Pekanbaru, Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Septya Rhozalya Nabilah
NIM F251124081

RINGKASAN
SEPTYA RHOZALYA NABILAH. Paparan BTP Pengawet dan Pemanis pada
Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau. Dibimbing
oleh DIDAH NUR FARIDAH dan DEDI FARDIAZ.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, tidak dimaksudkan untuk
dikonsumsi secara langsung/tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan, baik yang
mempunyai nilai gizi atau tidak. Jenis BTP yang banyak terdapat didalam produk
pangan adalah pengawet dan pemanis terutama pada produk pangan industri yang
biasa dikonsumsi oleh kelompok anak usia sekolah. Adanya peningkatan konsumsi
suatu produk pangan, maka asupan BTP juga akan meningkat. Apabila BTP
dikonsumsi secara berlebihan maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan.
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas, untuk mengantisipasi penggunaan BTP

dalam pangan yang semakin meluas, adanya isu keamanan pangan mengenai jenis
pengawet dan pemanis yang digunakan, serta sebagai acuan dalam pengawasan, perlu
dilakukan kajian paparan mengenai jenis BTP pengawet dan pemanis yang paling
banyak dikonsumsi serta bagaimana paparan, dan analisis risikonya, sehingga dapat
ditentukan apakah perlu atau tidaknya pengawasan lebih lanjut. Mengingat masih
sedikitnya data kajian paparan BTP di tingkat nasional untuk menunjang penetapan
batas maksimum BTP yang memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui paparan BTP pengawet dan pemanis
yang paling banyak dikonsumsi, karakteristik risikonya, dan kategori produk pangan
apa yang paling berkontribusi berdasarkan nilai Theoretical Maximum Daily Intake
(TMDI) untuk BTP pengawet dan pemanis serta nilai Estimated Daily Intake (EDI)
untuk BTP pemanis yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan melalui proses
wawancara menggunakan metode 24-hours recall. BTP yang akan dipilih nantinya
juga akan mempertimbangkan nilai ADI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
umum rata-rata paparan BTP pengawet dan pemanis dari keseluruhan responden
tingkat SD, SMP, dan SMA masih dibawah nilai ADI. Tetapi, jika dilihat berdasarkan
TMDI per-responden terdapat total 103 responden (22.78%) dengan rincian: 77
responden SD (26.83%), 23 responden SMP (21.90%), dan 3 responden SMA (5.00%)
yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat dengan TMDI rata-rata 242.91
mg/org/hari (145.80% ADI). Sepuluh responden SD (3.48%) tergolong risiko tinggi

terhadap paparan siklamat berdasarkan EDI atau berdasarkan kadar siklamat yang
terdapat didalam produk dengan EDI rata-rata 344.41 mg/org/hari (120.88% ADI).
Selain itu, terdapat 5 responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan benzoat
dan siklamat dengan rata-rata konsumsi benzoat 226.96 mg/org hari, dan konsumsi
siklmat 362.42 mg/org/hari. Risiko yang diperoleh bisa lebih tinggi daripada hasil
penelitian ini. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh hanya berdasarkan produk
pangan yang memiliki keterangan akan komposisi (ingredient) yang digunakan.
Kategori produk pangan yang paling berkontribusi terhadap paparan BTP benzoat
berasal dari kategori produk minuman kopi atau teh (64.30%) dan untuk pemanis
siklamat berasal dari minuman serbuk (60.21%).
Kata kunci : kajian paparan, pemanis, pengawet, anak usia sekolah

SUMMARY
SEPTYA RHOZALYA NABILAH. Exposure to Food Additives Preservatives and
Sweeteners on the Food Which is Consumed by School-Age Children in The City of
Pekanbaru, Riau. Supervised by DIDAH NUR FARIDAH and DEDI FARDIAZ.
Food Additive (BTP) is a substances that is added into certain food to affect
the nature or form of the food, it is intended neither to be consumed directly nor to be
treated as raw material for food, either it has any nutritional value or it hasn't any
nutritional value . The most widely used BTP substances which are contained in food

products are preservatives and sweeteners, especially in industrial food products that
is commonly consumed by the group of school-age children. An increase in the
consumption of the food product, will increase the BTP intake as well, and if BTP
substances consumed in excessive amounts, it will cause a negative impact on health.
Regarding to that fenomena, to anticipate widespread use of BTP materials on food,
the food safety issues which is regarding the types of preservatives and sweeteners has
used, as well as a reference in surveillance, the exposure assessment about the types of
preservatives and sweeteners BTP that most widely has consumed and how it has
exposed needs to be done and the risk analysis, so it can be determined whether it
needs further scrutiny or not. Considering the the small number of the BTP exposure
assessment data at the national level to be an adequate support to determinate the
maximum limit of BTP.
The aim of this study was to determine the exposure of preservatives and
sweeteners BTP that the most widely consumed, the risk characteristics, and the most
contributed food product categories by the value of Theoretical Maximum Daily
Intake (TMDI) for BTP preservatives and sweeteners and value Estimated Daily
Intake (EDI) for BTP sweetener has obtained. This research was conducted through
interviews using a 24-hours recall. BTP being selected will also consider the value of
the ADI. The results showed that in general, average exposure of preservatives and
sweeteners of all elementary respondents, middle school respondents, and high school

respondents is still below the ADI value. However, was viewed by TMDI perrespondents there were 103 respondents (22.78%) with details: 77 Elementary School
respondents (26.83%), 23 junior high school respondents (21.90%), and 3 high school
respondents (5.00%) were classified as high risk of benzoate exposure with TMDI of
242.91 mg/person/day (145.80% ADI) in average. Ten elementary respondents
(3:48%) were classified as a high risk of cyclamate exposure based EDI or cyclamate
levels that had contained in the EDI product with 344.41 mg/person /day (120.88%
ADI) in average. The risks that was obtained could be higher than the results of this
study, because the food products that had processed was the food products that has
ingredients information that could be used. Categories of food products that contribute
to the most benzoate BTP exposure are derived from coffee or tea (64.30%) as the
drink product category, and for cyclamate sweetener derived from powder drink
(60.21%).

Keywords: exposure assessment, sweeteners, preservatives, school-age children

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PAPARAN BTP PENGAWET DAN PEMANIS PADA PANGAN
YANG DIKONSUMSI ANAK USIA SEKOLAH DI KOTA
PEKANBARU, RIAU

SEPTYA RHOZALYA NABILAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah Bahan Tambahan
Pangan (BTP) pengawet dan pemanis, dengan judul Paparan BTP Pengawet dan
Pemanis pada Pangan yang Dikonsumsi Anak Usia Sekolah di Kota Pekanbaru, Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Didah Nur Faridah S.TP, M.Si
dan Bapak Prof. Dr. Dedi Fardiaz M.Sc selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Riau serta Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pekanbaru atas izin yang diberikan dalam
melakukan penelitian. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak
Amril dan Ibu Rosmala yang merupakan kedua orang tua penulis, Hazrina Adelia dan
Chati Rifqi Rafif yang merupakan kakak dan adik dari penulis, serta kepada seluruh
teman-teman yang senantiasa memberikan do’a, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, April 2015
Septya Rhozalya Nabilah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Pengawet dan Aspek Keamanannya
Pemanis dan Aspek Keamanannya
Surveilan Keamanan Pangan
Kajian Paparan

Konsep Analisis Risiko
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Metode Penelitian
Preparasi Kegiatan
Survei Konsumsi Pangan
Food List dan Screening
Pengolahan Data Paparan BTP Pengawet dan Pemanis (TMDI)
Pengolahan Data Paparan BTP Pemanis (EDI)
Penentuan Karakteristik Risiko
Pengolahan Data Paparan Berdasarkan Kategori Produk Pangan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Screening (Penyaringan Data)
Tingkat Konsumsi Pangan
Paparan BTP Pengawet Berdasarkan TMDI
Karakteristik Risiko Pengawet Benzoat per-Responden
Paparan BTP Pemanis Berdasarkan TMDI dan EDI
Karakteristik Risiko Pemanis Siklamat per-Responden
Responden yang Tergolong Risiko Tinggi terhadap Paparan Benzoat

dan Siklamat
Pembagian Wilayah Responden yang Berisiko Tinggi terhadap Paparan
Benzoat dan Siklamat
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

iv
iv
iv
1
1
3
3
3
4
4
4
5

7
8
10
12
14
14
14
14
17
19
20
20
21
21
22
22
22
24
28
31
34
38
38
40
40
46
61

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Efek negatif dari beberapa jenis pengawet
Efek negatif dari beberapa jenis pemanis
Nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis
Matriks penelitian terdahulu terkait kajian paparan BTP
Matriks penelitian
Jumlah total anak sekolah di Kota Pekanbaru
Jumlah responden untuk setiap tingkat pendidikan
Contoh perhitungan pengolahan data paparan benzoat (TMDI)
Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 TMDI BTP pengawet
Paparan BTP benzoat pada responden yang berisiko tinggi
Perbandingan rata-rata nilai ADI, TMDI, EDI pemanis
Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 EDI pemanis
Nilai min-max, dan nilai persentil ke-95 TMDI pemanis
Jumlah responden yang tergolong risiko tinggi terhadap paparan
BTP pemanis

6
8
11
12
15
18
19
21
26
28
32
32
33
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12
13
14

Kerangka analisis risiko
Karakterisitik risiko
Diagram alir penelitian
Konsumsi rata-rata produk pangan yang mengandung benzoat dan sorbat
Paparan BTP pengawet benzoat dan sorbat
Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP
pengawet
Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung benzoat
dan dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi (g/org/hari)
Rata-rata TMDI benzoat responden yang berisiko tinggi berdasarkan
kategori produk (mg/org/hari)
Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang
mengandung benzoat antara responden secara umum dan berisiko tinggi
(g/org/hari)
Perbandingan nilai rata-rata TMDI responden secara umum dan
responden berisiko tinggi (mg/org/hari)
Kategori produk pangan yang berkontribusi terhadap paparan BTP
pemanis
Jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang mengandung siklamat
dan dikonsumsi oleh responden yang berisiko tinggi (g/org/hari)
Rata-rata asupan siklamat (EDI) responden yang berisiko tinggi
berdasarkan kategori produk (mg/org/hari)
Perbandingan jumlah rata-rata konsumsi produk pangan yang
mengandung siklamat antara responden secara umum dan berisiko tinggi
(g/org/hari)

13
13
14
23
25
27
29
29
30

30
34
36
36
37

15 Perbandingan nilai rata-rata EDI siklamat responden secara umum dan
responden berisiko tinggi (mg/org/hari)
16 Pembagian wilayah terhadap responden yang berisiko tinggi paparan
BTP benzoat dan siklamat

38
39

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Kuesioner survei konsumsi pangan
Gambar ukuran porsi pangan
Kategori pangan
Jumlah sekolah di Kota Pekanbaru
Peta Kota Pekanbaru
Perhitungan jumlah responden per-sekolah di setiap kecamatan
Perbandingan penggunaan pemanis didalam produk terhadap peraturan
BPOM 2014

46
51
54
56
57
58
59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) telah mengalami
peningkatan. Tidak hanya disebabkan oleh keinginan konsumen yang menuntut
adanya nilai praktis, dan keinginan untuk hidup lebih sehat. Namun, industri
pangan juga dituntut untuk mampu memproduksi pangan yang bermutu,
mempunyai stabilitas yang baik, dan memenuhi persyaratan perundang-undangan
yang berlaku.
Jenis BTP yang banyak digunakan didalam produk pangan adalah pemanis
dan pengawet terutama pada produk pangan kemasan seperti bolu, aneka
minuman, aneka permen dan sebagainya dengan tujuan untuk memperpanjang
masa simpan, memperlambat kerusakan produk, mempertahankan mutu,
meningkatkan rasa manis, dan mengurangi nilai kalori (Moreaes dan Bolini 2009).
Dalam menetapkan suatu standar, termasuk penentuan batas maksimum
penggunaan BTP didalam produk pangan, diperlukan adanya penerapan prinsipprinsip analisis risiko antara lain kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi
risiko. Melalui analisis risiko diharapkan nantinya dapat diperoleh suatu proses
secara sistematis dan transparan dalam mengumpulkan, menganalisa, dan
mengevaluasi informasi ilmiah maupun non ilmiah yang relevan akan bahaya
yang mungkin terdapat didalam pangan, serta sebagai landasan keputusan untuk
memilih opsi terbaik dalam menangani risiko tersebut berdasarkan pada berbagai
alternatif yang diidentifikasi (Rahayu dan Kusumaningrum 2004).
Menurut Food Standard Agency (2007) terdapat beberapa efek negatif dari
beberapa jenis BTP khususnya pengawet dan pemanis. Pengawet natrium benzoat
yang banyak digunakan didalam minuman berkarbonat, saos tomat, saos sambal,
dan kecap dapat memperburuk asma, merusak saraf, mengakibatkan hiperaktif
pada anak, dan kelainan janin. Penggunaan siklamat dilarang di beberapa negara
seperti Amerika, Inggris, dan Jepang, karena dapat mengakibatkan penyakit tumor
kandung kemih pada hewan coba yang diberi siklamat dengan konsentrasi tinggi
(Price et al. 1970).
Didalam analisis risiko dikenal dengan adanya nilai ADI. Nilai ADI
merupakan jumlah miligram per kilogram berat badan zat atau BTP yang aman
dikonsumsi seumur hidup, tanpa menimbulkan efek yang merugikan terhadap
kesehatan. Pendekatan terhadap nilai ADI dapat ditentukan diantaranya melalui
metode TMDI dan EDI. Metode TMDI ditentukan berdasarkan kadar maksimum
dari peraturan yang telah ditetapkan, sedangkan EDI berdasarkan penggunaan
BTP didalam produk (WHO 2009).
Salah satu syarat utama BTP dapat dilakukan analisis risiko ataupun kajian
paparan BTP dalam suatu populasi adalah produk pangan harus memiliki nilai
ADI (CAC 1989). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (2013),
nilai ADI yang ditetapkan untuk beberapa pengawet antara lain 0-5mg/kg berat
badan (bb) untuk benzoat, 0-25mg/kg bb untuk sorbat, 0-0,7mg/kg bb untuk sulfit,
dan lainnya, sedangkan untuk pemanis, nilai ADI yang ditetapkan antara lain 0-40
mg/kg bb untuk aspartam, 0-5 mg/kg bb untuk sakarin, dan 0-11 mg/kg bb untuk
siklamat (BPOM 2014).

2

Di Indonesia, pengawasan BTP yang dilakukan oleh BPOM saat ini
umumnya masih terbatas pada tingkat penggunaan BTP yaitu melalui pendaftaran
(regristasi) produk pangan dan melalui pengujian produk pangan baik di sarana
produksi maupun distribusi pangan. Studi atau pengawasan yang dilakukan oleh
BPOM atau lembaga lain terhadap tingkat konsumsi BTP dalam masyarakat
jarang dilakukan. Selama ini, BPOM umumnya memanfaatkan hasil studi tingkat
konsumsi BTP yang dilakukan Codex, negara maju, dan beberapa negara tetangga
dalam penetapan peraturan penggunaan BTP. Padahal tingkat konsumsi BTP di
masing-masing negara berbeda, hal ini disebabkan pola konsumsi pangan
masyarakat di masing-masing negara tersebut juga berbeda.
Berdasarkan perihal diatas, untuk mengantisipasi penggunaan BTP dalam
pangan yang semakin meluas, adanya isu keamanan pangan mengenai jenis
pengawet dan pemanis yang digunakan, serta sebagai acuan dalam pengawasan,
perlu dilakukan kajian paparan mengenai jenis BTP pengawet yang paling banyak
dikonsumsi serta bagaimana analisis risiko, sehingga dapat ditentukan apakah
perlu atau tidaknya pengawasan lebih lanjut. Mengingat masih sedikitnya data
kajian paparan BTP di tingkat nasional untuk menunjang penetapan batas
maksimum BTP yang memadai.
Hingga saat ini kajian paparan suatu BTP berdasarkan pangan yang
dikonsumsi oleh kelompok anak-anak jarang dilakukan (Hilbig et al. 2004).
Kebanyakan studi yang dilakukan fokus pada kelompok dewasa. Padahal
kelompok anak usia sekolah lebih banyak mengkonsumsi makanan dan berbagai
jenis minuman jika dibandingkan dengan kelompok dewasa (Kroes et al. 2002).
Kelompok anak-anak dan remaja yang semakin sibuk akan cenderung tidak
memiliki waktu untuk makan seperti biasanya, sehingga terpaksa mereka harus
mengkonsumsi snack untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya (Sulaeman 2003).
Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok yang mempunyai
tingkat konsumsi makanan jajanan yang cukup tinggi dan rentan terhadap paparan
BTP (BPOM 2009). Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Nielson et al. (2002)
menunjukkan terjadinya peningkatan snacking di semua kategori (6-12 thn, dan
13-18 thn) sebesar 24-32%. Snacking didefinisikan sebagai kegiatan seseorang
yang mengonsumsi makanan diluar makanan utama. Perubahan/ peningkatan
kegiatan snacking ini mengakibatkan peningkatan asupan kalori dari snack
sebesar 30% (462 dan 612 Kal/hari pada anak usia 6-12 dan 13-18). Data-data
diatas juga sejalan dengan observasi yang dilakukan oleh Jahns et al. (2001) yang
menunjukkan adanya peningkatan konsumsi snack, permen dan minuman ringan
dari tahun 1977-1996.
Berdasarkan hasil tersebut, pola konsumsi pangan yang menjadi kajian
dalam penelitian ini adalah pola konsumsi pangan pada kelompok anak usia
sekolah di Kota Pekanbaru. Wilayah Pekanbaru dikenal sebagai daerah urbanisasi,
banyaknya produk pangan fabrikasi yang beredar baik makanan ataupun minuman
dan berasal dari dalam negeri (MD) ataupun luar negeri (ML). Menurut Badan
Pusat Satatistik (BPS) (2013), pada tahun 2010 rata-rata konsumsi makanan dan
minuman olahan per kapita per hari nomor tiga terbanyak setelah kelompok padipadian dan kelompok oil & fats, yaitu sebesar 292,53 kalori.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24-hour recall method
dengan melakukan proses wawancara mengenai produk pangan apa saja yang
dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. Produk pangan yang dikonsumsi dibuat

3

daftar serta ditentukan prioritas BTP pemanis dan pengawet yang akan dievaluasi
kajian paparannya, karakteristik risiko, dan kategori produk pangan apa yang
paling berkontribusi terhadap paparan BTP berdasarkan TMDI (BTP pengawet
dan pemanis) dan berdasarkan EDI (BTP pemanis).
Perumusan Masalah
BTP pengawet dan pemanis merupakan BTP yang banyak digunakan pada
produk pangan industri khususnya pada produk pangan yang biasa dikonsumsi
oleh anak usia sekolah. Di Indonesia saat ini, pengkajian paparan suatu BTP
terhadap pola konsumsi pangan jarang dilakukan terutama pada kelompok anak
usia sekolah. Padahal jika dilihat di Good Standard of Food Additives (GSFA)
yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, masih banyak jenis produk
pangan dan BTP yang belum dilakukan monitoring terhadap paparan khususnya
BTP pengawet dan pemanis. Kelompok anak usia sekolah merupakan kelompok
yang mempunyai tingkat konsumsi makanan jajanan yang cukup tinggi dan rentan
terhadap paparan BTP terutama di wilayah Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru
merupakan wilayah urbanisasi dengan banyaknya produk pangan industri yang
beredar baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Dengan demikian hal tersebut
dapat memberikan konsekuensi terhadap tingginya asupan BTP melebihi batas
yang diizinkan.
Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk :
1. Melakukan screening jenis BTP pengawet dan pemanis yang dikonsumsi oleh
anak usia sekolah di Kota Pekanbaru.
2. Mempelajari tingkat paparannya berdasarkan tingkat pendidikan (SD, SMP,
SMA) yang ada di Kota Pekanbaru, sehingga dapat diketahui tingkat
pendidikan mana yang paling dominan terpapar BTP pengawet dan pemanis.
3. Mempelajari karakteristik risiko berdasarkan nilai TMDI untuk BTP pengawet
dan pemanis serta EDI untuk BTP pemanis.
4. Mempelajari kategori atau jenis produk pangan apa yang memberikan
kontribusi terbesar terhadap paparan BTP berdasarkan nilai TMDI untuk BTP
pengawet dan pemanis serta EDI untuk BTP pemanis.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitin ini antara lain :
1. Mengetahui jenis BTP pengawet dan pemanis apa yang paling banyak
dikonsumsi oleh anak usia sekolah yang ada di Kota Pekanbaru.
2. Evaluasi paparan BTP pengawet dan pemanis yang paling banyak dikonsumsi
yang berasal dari berbagai produk pangan yang telah terdaftar terhadap nilai ADI,
sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh pihak terkait dalam meninjau
ulang standar penggunaan pengawet dan pemanis tersebut didalam produk
pangan

4

3. Sebagai masukan untuk mereview nilai peraturan maksimum level dari BTP
yang bersangkutan.
4. Menjadikan model untuk melakukan kajian paparan BTP lainnya didalam
produk pangan.
Hipotesis
1. Tingkat pendidikan yang berbeda berpengaruh terhadap paparan BTP
pengawet dan pemanis pada produk pangan yang dikonsumsi anak usia sekolah
di Kota Pekanbaru.
2. Ada sebagian populasi dari anak usia sekolah di Kota Pekanbaru
mengkonsumsi produk pangan yang mengandung BTP melebihi nilai ADI
yang diizinkan (high risk).
3. Pengaruh berat badan (kg) terhadap karakteristik risiko responden.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Tambahan Pangan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah suatu substansi atau campuran
substansi, selain dari ingredient utama pangan, yang berada dalam suatu produk
pangan sebagai akibat dari suatu aspek produksi, pengolahan penyimpanan, atau
pengemasan (tidak termasuk kontaminan) (Branen et al. 2002). Di Indonesia,
apabila mengutip pada Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) No. 36 tahun 2013, yang dimaksud dengan BTP adalah bahan
yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung/ tidak diperlakukan
sebagai bahan baku baku pangan, serta baik yang mempunyai nilai gizi atau tidak.
CAC (2006) menyebutkan bahwa batas maksimum penggunaan BTP adalah
kadar maksimum BTP yang diizinkan dan aman ditambahkan kedalam produk
pangan, dinyatakan dalam miligram (mg) BTP per kilogram (kg) pangan. CAC
(2005) juga menyebutkan bahwa tujuan utama menetapkan batas penggunaan
BTP yang diizinkan didalam berbagai kelompok pangan adalah untuk menjamin
bahwa asupan BTP tidak melebihi Acceptable Daily Intake (ADI) atau asupan
harian yang dapat diterima. ADI adalah istilah untuk menentukan dosis yang
aman dan diizinkan bagi produk pangan yang dikonsumi setiap hari dan
dinyatakan sebagai jumlah BTP per kilogram (kg).
BTP diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok antara lain; pewarna,
pemanis, pengawet, pengkelat, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, pengatur
keasaman, pengemulsi, dan sebagainya. Penggunaan BTP didalam produk
biasanya ditunjukkan didalam label produk, dan itu merupakan aspek yang
penting ketika ingin mencari dan mengevaluasi tingkat penggunaan dari bahanbahan tersebut (Kroes et al. 2002)
BTP pengawet seperti garam, vinegar, asam sorbat, dan kalsium propionat
digunakan didalam produk antara lain produk pangan yang dipanggang, salad
dressing, keju, margarin, dan pikel. Antioksidan seperti vitamin C, E, BHT, dan
BHA digunakan didalam produk yang mengandung lemak yang tinggi. Agen
pengkelat seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat digunakan untuk

5

mencegah perubahan rasa, perubahan warna, dan ketengikan dari produk pangan.
Selain itu, BTP juga bisa digunakan untuk menghambat terjadinya kebusukan,
mengganti nutrisi hilang selama proses pengolahan, serta membuat produk pangan
mempunyai penampakan yang lebih menarik (Paundhey dan Upadhyay 2012).
Dan hal tersebut sangat penting dugunakan didalam industri-industri makanan,
untuk menjaga kualitas serta menjamin keamanan pangan (Lino et al. 2008).
Pengawet dan Aspek Keamanannya
Pada mulanya, teknik pengawetan makanan terdiri dari teknik pengasapan
serta pengasinan menggunakan garam nitrat. Dengan adanya evolusi di bidang
sains dan teknologi, adanya penemuan akan zat-zat baru mulai dikembangkan,
yang memainkan perbedaan peranan didalam produk pangan (Janina et al. 2013).
Semenjak abad ke-20, peranan BTP khususnya bahan pengawet menjadi semakin
penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP sintetis. Banyaknya
BTP yang tersedia secara komersil dan dengan harga yang relatif murah akan
mendorong meningkatnya pemakaian BTP yang berarti meningkatkan konsumsi
BTP tersebut bagi setiap individu (Cahyadi 2012).
Pengawet merupakan suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk
memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan dengan melindungi
mereka terhadap kerusakan dan pertumbuhan mikroorganisme patogen. Pengawet
mempunyai sifat sebagai antimikroba yang diinzinkan sebagai BTP dalam
berbagai produk pangan untuk menghambat pertumbuhan dari kapang, khamir,
dan bakteri (Mota et al. 2003). Jenis pengawet yang sering digunakan dalam
berbagai macam produk pangan antara lain benzoat dan sorbat terutama pada
produk beverages seperti minuman ringan (Dong dan Wang 2006). CAC (2010)
menyebutkan bahwa tujuan penggunaan pengawet pada pengolahan pangan
adalah sebagai zat antimikroba, antimikotik, pengontrol bakteriofag, fungistatik,
dan sebagainya.
Bahan pengawet tidak hanya diperlukan oleh industri pangan skala besar,
tetapi juga oleh industri pangan skala menengah, kecil, dan pengusaha jasa boga
lainnya (Easa 2010). Adapun prinsip proses pengawetan pada produk pangan
adalah menghambat pertumbuhan mikroba dengan membuat kondisi lingkungan
yang tidak sesuai bagi pertumbuhan mikroba sehingga memperpanjang fase lag
pertumbuhannya seperti dengan menurunkan pH, dan Aw produk pangan. Bahan
pengawet akan merusak dinding sel mikroba sehingga bocor, menganggu sintesis
organel sel, dan menganggu metabolisme sel (Jay et al. 2005).
Saat ini, penggunaan BTP pengawet dalam proses produksi pangan perlu
diwaspadai bersama, baik oleh pihak industri pangan maupun setiap individu yang
terkait dengan produksi pangan (Wijaya et al. 2012). Dampak penggunaan atau
pengkonsumsian BTP khususnya pengawet akan berakibat positif maupun negatif
bagi masyarakat, terutama jika mengkonsumsi bahan tambahan pengawet yang
berlebihan oleh generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Beberapa
efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pengawet, yaitu asidosis metabolik,
kekejangan, reaksi alergi, hiperpnea didalam percobaan dengan menggunakan
hewan coba (Tfouni dan Toledo 2002). Selain itu, pada beberapa penelitian juga
menyebutkan adanya efek toksisitas yang ditimbulkan oleh beberapa pengawet
makanan, antara lain seperti yang terdapat pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Efek negatif dari beberapa jenis pengawet
Jenis Pangan
Status
Penggunaan
Tidak dilarang Minuman
berkarbonat,
pikel, saus
tomat, saus
sambal, kecap

Efek Negatif

Referensi

Memperburuk
asma, merusak
saraf, hiperaktif,
karsinogenik, dan
kelainan janin.

Food
Standard
Agency
2007

Sulfur
dioksida

Tidak dilarang Minuman
berkarbonat,
buah kering,
jus, produk
kentang.

Iritasi pada
lambung, mual,
diare, serangan
asma, ruam kulit,
merusak vitamin
B1, kelainan
janin, dan
merusak DNA di
hewan coba.

Paundhey
dan
Upadhyay
2012

Garam nitrat

Menurunkan
Tidak dilarang Cured meat,
oksigen didalam
dan produk
daging kaleng. darah,
membentuk
nitrosamin
(karsinogenik),
dan menimbulkan
efek negatif di
kelenjar adrenal.

Paundhey
dan
Upadhyay
2012

Asam
benzoat

Alergi, merusak
Tidak dilarang Minuman
fungsi enzim, dan
sereal, dan
produk daging gangguan
pernapasan

Paundhey
dan
Upadhyay
2012

Kalsium
sulfit

Di Amerika,
penggunaan
sulfit ke dalam
produk
pangan
dilarang,
termasuk
daging

Tekanan darah
rendah, shock,
menimbulkan
masalah terhadap
bronkial,
gangguan
pernapasan, dan
emfisema.

Paundhey
dan
Upadhyay
2012

Pengawet
Natrium
benzoat

Biskuit, udang
beku, jamur
beku, sari
nenas, dan
lain-lain.

7

Pemanis dan Aspek Keamanannya
Pemanis buatan adalah BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada
produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori (SNI
2004). Penggunaan pemanis buatan yang terkenal sebagai pemanis alternatif dan
murah dalam industri makanan cenderung mengalami peningkatan (Nelson 2000).
Seperti yang dilaporkan oleh Cahyadi (2012) berdasarkan data statistik industri
pangan bahwa adanya peningkatan penggunaan pemanis buatan di produk teh
dalam botol, limun, dan sirup sebesar 47.90%; 1.20%; dan 52.70%. Apabila
dilihat dari data pemakaiannya selama 5 tahun terakhir peningkatan penggunaan
pemanis buatan rata-rata sebesar 13.50%.
Efek kesehatan dan aspek keamanan pangan merupakan isu-isu penting
bagi konsumen saat ini. Meskipun adanya pendapat yang menyatakan bahwa
konsumsi produk pangan yang tersedia di pasar bukan merupakan risiko untuk
penyakit akut atau efek kesehatan yang merugikan di kemudian hari. Namun,
beberapa konsumen prihatin tentang keamanan produk pangan tertentu terutama
yang menggunakan aditif. Pemanis termasuk salah satu aditif makanan yang
menciptakan sebagian besar perdebatan (Mortensen 2006). Pemanis dianggap
BTP yang potensial dikonsumsi tinggi oleh konsumen karena penggunaannya
dalam produk dikonsumsi dalam jumlah besar, seperti: minuman ringan, permen,
permen karet, makanan penutup seperti puding, agar-agar, dan es krim. Selain itu,
beberapa pemanis buatan juga tersedia untuk digunakan sebagai table top
sweeteners, yang penggunaannya tinggal ditambahkan langsung ke kopi, teh,
buah-buahan, sereal sarapan, dan lain-lain (Ashurst 2005).
Meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemanis diizinkan untuk
penggunaan makanan, namun beberapa organisasi tetap memperhatikan tentang
risiko kesehatan jangka panjang yang mungkin akan ditimbulkan, terutama bagi
individu yang tergolong konsumen yang mengkonsumsi pemanis dalam level
yang tinggi. Adapun beberapa efek negatif yang mungkin dapat ditimbulkan oleh
pemanis buatan dapat dilihat pada Tabel 2.

8

Tabel 2 Efek negatif dari beberapa jenis pemanis

Aspartam

Status
Penggunaan
Tidak dilarang

Jenis
Pangan
Table top
sweeteners,
yoghurt, es
krim, selai,
minuman
ringan, dan
lain-lain.

Assesulfam K

Tidak dilarang

Table top
sweeteners,
es krim,
makanan
yang
diawetkan,
minuman
ringan.

Menyebabkan
kanker di
hewan coba,
dan
mutagenisitas,

Sakarin

Dilarang di
German,
Malaysia,
Spanyol,
Thailand,
Perancis,
Portugal,
Taiwan, dan
Israel.

Mustards,
selai,
desserts,
buah
kaleng,
chewing
gum dan
lain-lain.

Menyebabkan Saulo
kanker, tumor 2005;
di hewan coba. Paundhey
dan
Upadhyay
2012.

Pemanis

Efek Negtif

Referensi

Kerusakan
Olney et al.
saraf khusunya 1996
bagi anak-anak
yang sedang
dalam
pertumbuhan,
merusak
perkembangan
otak,
berbahaya bagi
penderita
fenilketeuria.
Paundhey
dan
Upadhyay
2012.

Surveilan Keamanan Pangan
Surveilan keamanan pangan didefenisikan sebagai kegiatan pengumpulan,
analisis, dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara
sistematis dan berkelanjutan, sehingga menjadi informasi yang dapat disebarkan
kepada pihak yang membutuhkan untuk perencanaan, implementasi, dan
pengkajian kebijakan pangan (Arnold dan Munce 2000); (Sharp dan Reily 2000).
Adapun informasi yang dimaksud adalah informasi mengenai kecenderungan
keamanan pangan yang dapat dijadikan bukti ilmiah (evidence based) untuk
ditindaklanjuti.
Secara garis besar ada sembilan tahap pelaksanaan surveilan pada rantai
pangan, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah yang ada, (2) melakukan tinjauan
pustaka dan studi yang dilakukan sebelumnya, (3) menentukan tujuan, (4)

9

membuat protokol pelaksanaan survei, (5) mengambil sampel, (6) mengumpulkan
data, (7) menganalisa masalah, (8) membuat laporan akhir, dan (9) menindak
lanjuti hasil survei dari data yang diperoleh (Sparinga 2002). Dengan adanya
surveilan akan keamanan pangan, diharapkan hasil yang diperoleh nantinya dapat
digunakan atau ditindaklanjuti guna memudahkan pengendalian risiko (risk
management) dari risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh BPOM pada tahun 2009 tentang
profil pangan jajanan anak sekolahan (PJAS) nasional (4.500 SD di 79 kab/kota di
Indonesia), makanan ringan merupakan kelompok makanan yang banyak
ditemukan yaitu sebesar 54% diikuti minuman dan makanan utama. Untuk
kelompok makanan ringan, produk yang paling banyak dijual adalah jenis produk
ekstruksi (23.00 %), dan aneka gorengan (21.00%), diikuti jenis produk lainnya
seperti chips, roti, wafer, permen, dan lain-lain. Untuk kelompok minuman;
minuman es, dan minuman ringan kemasan mendominasi profil pangan jajanan
anak usia sekolah. Dimana seperti yang diketahui, kelompok makanan ringan
serta minuman yang paling mendominasi merupakan produk yang kemungkinan
menggunakan BTP pengawet dan pemanis didalam produknya. Semakin banyak
pedagang yang menjual produk-produk tersebut, maka akan semakin besar
peluang anak usia sekolah untuk membelinya, sehingga diperlukan adanya
surveilan keamanan pangan terutama tentang BTP pengawet dan pemanis yang
dikonsumsi oleh anak usia sekolah.
Adapun beberapa metode yang bisa dilakukan ketika melakukan survei
konsumsi pangan pada anak usia sekolah antara lain:
● Dietary records
Dalam hal ini, responden mencatat jumlah masing – masing makanan dan
minuman yang dikonsumsi selama beberapa hari. Idealnya, metode ini dilakukan
pada saat responden makan, untuk mencegah ketergantungan pada memori.
Jumlah yang dikonsumsi dapat diukur menggunakan skala atau barang rumah
tangga, misalnya cangkir atau sendok makan. Selain itu, nama makanan dan merk
juga perlu dicantumkan. Periode pencatatan yang lebih dari 4 hari biasanya
menghasilkan data konsumsi yang kurang baik, dan dilaporkan adanya penurunan
tingkat asupan, karena responden yang mengalami “keletihan/ kejenuhan” serta
adanya perbedaan sistematis antara orang-orang yang mematuhi dengan yang
tidak mematuhi proses pencatatan pangan yang dikonsumsi (Coulston et al. 2008).
● 24-Hour Recall
Metode mengingat konsumsi pangan 24 jam yang lalu merupakan metode
survei konsumsi kuantitatif dimana responden diminta untuk mengingat dan
melaporkan semua makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam 24 jam
sebelumnya atau pada hari sebelumnya melalui telepon (Casey et al. 1999) atau
bertatap muka dengan menggunakan kertas kuesioner (Arab et al. 2010). Metode
24-hour recall merupakan metode yang digunakan oleh US. National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) dalam melakukan survei konsumsi
pangan (Raper et al. 2004). Selain itu, menurut Joint FAO/ WHO Expert
Commitee on Food Additives (JECFA 2001) paparan pengkonsumsi terbaik
diperoleh dari survei jangka pendek (24 jam).
● Food Weighing Method
Pada metode ini, bahan pangan yang akan dikonsumsi akan langsung
ditimbang. Setiap responden akan diberikan timbangan makanan dan diberitahu

10

cara penggunaanya. Namun, metode ini kurang cocok untuk diterapkan dalam
skala besar karena biayanya yang cukup besar. Selain itu, metode ini memberikan
tugas yang cukup berat bagi responden, sehingga menyebabkan tingkat
kesanggupan yang lebih rendah dibandingkan metode lainnya, terutama jika
responden berasal dari kelompok anak-anak (BPOM 2004).
Di bidang pangan diperlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang
akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi,
dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan mengenai keamanan
pangan terutama yang berkaitan dengan peraturan penggunaan BTP didalam
produk pangan pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan pangan
nasional dan sudah tercantum didalam Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes)
Republik Indonesia Nomor. 36 Tahun 2013. Namun hingga saat ini belum ada
data yang menyediakan mengenai informasi jenis BTP pengawet apa yang
sebenarnya paling banyak dikonsumsi oleh konsumen dan bagaimana kajian
paparannya ke dalam individu konsumen, terutama bagi populasi anak-anak dan
remaja yang dianggap paling rentan. Banyak studi atau penelitian di negaranegara lainnya yang menjelaskan bahwa asupan makan tertinggi terjadi pada
kelompok anak-anak usia sekolah. (Goyal et al. 2011).
Seperti yang terdapat di negara Swedia, konsumsi siklamat untuk
kelompok anak-anak mencapai 300% dari nilai ADI, dan 169% untuk assesulfamK (Ilback et al. 2003). Di Inggris hanya siklamat yang telah melebihi nilai ADI,
yaitu sekitar 118% ADI, sedangkan untuk aspartam dan sakarin belum melebini
nilai ADI yang telah ditetapkan (Renwick et al. 2006). Sementara untuk
pengawet, di Austria dilaporkan bahwa konsumsi benzoat telah melebihi nilai
ADI untuk kelompok anak-anak (135%), dan konsumsi sulfit telah melebihi nilai
ADI untuk kelompok remaja dan dewasa (119% dan 124%) (Daniela et al. 2011).
Kajian Paparan
Perubahan gaya hidup, kebiasaan makan, dan urbanisasi merupakan faktor
kunci akan peningkatan konsumsi pangan yang ada di suatu daerah (Kearney
2010). Dengan adanya peningkatan konsumsi akan suatu produk pangan fabrikasi,
maka asupan aditif makanan juga akan meningkat. Hal tersebut merupakan suatu
bentuk keprihatinan karena banyak BTP yang dapat memiliki efek negatif
terhadap kesehatan manusia jika dikonsumsi secara berlebihan (Suh et al. 2005).
Efek racun dari berbagai bahan aditif makanan saat ini telah didokumentasikan
oleh Joint FAO/ WHO Expert Commitee on Food Additives (JECFA). Salah satu
studi yang paling terkenal sampai saat ini yang terkait akan asupan BTP adalah
studi mengenai pengawet makanan yang memberikan efek buruk terhadap prilaku
anak-anak pada usia 3 tahun, dan 8-9 tahun. Para peneliti menyimpulkan bahwa
natrium benzoat dapat meningkatkan hiperaktivitas pada kedua kelompok anak
(EFSA 2008) .
Untuk menilai apakah bahan tambahan pangan bisa memberikan risiko
terhadap kesehatan, maka penelitian mengenai tingkat asupan pangan atau yang
biasa dikenal dengan exposure assessment (kajian paparan) terutama pada
kelompok anak usia sekolah perlu dilakukan (Poulsen 1991). Codex Alimentarius
Commission (CAC) mendefenisikan kajian paparan sebagai kualitatif atau
kuantitatif evaluasi dari asupan kemungkinan senyawa-senyawa biologi, kimia,

11

dan fisika melalui makanan, serta paparan dari sumber lainnya (FAO/WHO
2008).
Pengkajian paparan suatu BTP berdasarkan data konsumsi pangan pada
dasarnya menggabungkan data konsumsi pangan dengan data konsentrasi BTP
(food additive) yang terdapat didalam makanan tersebut. Perkiraan paparan BTP
yang dihasilkan nantinya dapat dibandingkan dengan hal yang berhubungan
dengan kesehatan, terkait dengan adanya risiko atau tidak adanya risiko yang akan
ditimbulkan dari mengkonsumsi senyawa kimia khususnya BTP yang berasal dari
makanan-makanan tersebut (WHO 2000). Selain itu, hasil estimasi yang didapat
nantinya akan dibandingkan dengan nilai health reference yaitu ADI (Acceptable
Daily Intake). Secara umum nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis
yang digunakan untuk produk pangan berdasarkan peraturan BPOM tahun 2013
untuk pengawet dan tahun 2014 untuk pemanis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai ADI dari beberapa jenis pengawet dan pemanis
No.
1.
2.
3
4
5

Jenis Pengawet
Asam sorbat dan
garamnya
Asam
benzoat
dan garamnya
Sulfit
Nitrit
Nitrat

Nilai ADI
0-25 mg/ kg bb

Jenis Pemanis
Aspartam

Nilai ADI
0-40 mg/kg bb

0-5 mg/kg bb

Assesulfam-K

0-15 mg/kg bb

0-0.7 mg/kg bb Alitam
0-0.06 mg/kg bb Siklamat
0-3.7 mg/kg bb Sakarin

0-0.34 mg/kg bb
0-11 mg/kg bb
0-5 mg/kg bb

Selain itu, dalam US FDA (2006) juga disebutkan bahwa dua jenis
informasi yang diperlukan untuk memperkirakan paparan BTP adalah data
konsumsi pangan dan kadar BTP dalam pangan. Paparan BTP dapat dihitung
dengan mengalikan jumlah BTP yang terdapat dalam produk pangan dan jumlah
konsumsi pangan tersebut. Data kadar BTP dapat diperoleh dari kadar
penggunaan BTP dalam produk pangan (kadar maksimum atau kadar penggunaan
yang direkomendasikan), menghitung kadarnya dalam pangan yang dikonsumsi,
nilai limit of detection (LOD) atau nilai limit of quatification (LOQ) dengan
metode analitik.
Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang terkait akan pengkajian
paparan BTP dalam suatu produk pangan di Indonesia ataupun di beberapa negara
lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.

12

Tabel 4 Matriks penelitian terdahulu terkait kajian paparan BTP
No.
1.

2.

3.

4.

Penelitian
Referensi
Kajian
paparan
pewarna
Tatrazin
dengan Anisyah 2009
menggunakan maksimum level dan data sekunder
dari BPOM pada produk-produk fabrikasi/ produkproduk industri pada kelompok anak-anak, remaja,
dan dewasa di wilayah Jakarta Utara.
Kajian paparan bahan tambahan pangan “pengawet” Daniela et al.
(sulfit, benzoat, dan asam sorbat) melalui analisa
2011
laboratorium (HPLC) terhadap produk pangan yang
dikonsumsi kelompok anak-anak, dan dewasa di
Austria
Kajian paparan pengawet nitrit pada pangan olahan
Lee et al.
dengan menggunakan maksimum level konsentrasi
2005
nitrit berdasarkan kategori produk di Korea.
Kajian risiko pada bahan tambahan pangan yang Janina 2013
terdapat pada minuman ringan yang dikonsumsi
masyarakat Portugal dengan menggunakan metode
HPLC.
Konsep Analisis Risiko

Analisis risiko merupakan „generasi ketiga‟ dari sistem keamanan pangan
setelah Good Hygine Practice dan Hazard Analysis Critical and Control Point
(HACCP). Analisis risiko (Risk Analysis) secara sistematis memfokuskan pada
penanggulangan akan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan, jika
mengkonsumsi pangan yang mengandung sesuatu yang berbahaya atau yang
memiliki risiko tersendirinya. Melalui analisis risiko diharapkan dapat diperoleh
suatu proses yang secara sistematis, dan transparan dapat mengumpulkan,
menganalisa, dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang
relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis maupun fisik yang mungkin terdapat
dalam pangan (Rahayu et al. 2004).
Sebagai proses pengambilan keputusan yang terstruktur, analisis risiko
dibagi dalam tiga komponen (Gambar 1), yang menurut Codex Alimentarius
Commission (CAC) adalah: kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi
risiko (WHO 2005).

13

Gambar 1 Kerangka analisis risiko (WHO 2000).
Berdasarkan gambar diatas, dapat dikatakan bahwa kajian risiko adalah
suatu proses penentuan risiko yang berlandaskan data-data ilmiah yang terdiri dari
empat tahapan, yaitu; identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan,
dan karakteristik risiko. Manajemen risiko secara prinsip adalah suatu proses yang
terpisah dari kajian risiko yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan
dengan mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian
risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen, dan
jika diperlukan memilih opsi pencegahan serta pengendalian yang sesuai untuk
menanggulangi risiko. Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan
opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko,
faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko antara pengkaji risiko,
manajer risiko, dan pihak terkait lainnya (Rahayu et al. 2004)
Dua langkah pertama kajian risiko yaitu identifikasi bahaya dan
karakteristik bahaya merupakan tahap pengembangan dari nilai ADI, sedangkan
kajian paparan menggabungkan data konsumsi dan konsentrasi penggunaan BTP
didalam produk, sehingga didapatkan pendekatan terhadap nilai ADI yaitu nilai
TMDI dan nilai EDI. Nilai TMDI ditentukan berdasarkan peraturan yang telah
ditetapkan mengenai maksimal penggunaan BTP dan nilai EDI ditentukan
berdasarkan penggunaan BTP didalam produk. Perbandingan antara nilai TMDI
dan EDI dengan nilai ADI dapat mengetahui bagaimana karakteristik risiko yang
terdiri dari risiko tinggi dan risiko rendah seperti yang terdapat pada Gambar 2.
NILAI ADI
Dose
Risiko rendah

Risiko tinggi

Gambar 2 Karakteristik risiko (Fardiaz 2013)

14

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan Agustus 2014
hingga Januari 2015. Pengumpulan data paparan (konsumsi) BTP pengawet
diperoleh dengan melakukan survei konsumsi pangan pada anak usia sekolah
yang ada di Kota Pekanbaru baik tingkat SD, SMP, dan SMA.
Bahan
Bahan yang diperlukan antara lain produk pangan jajanan yang dikonsumsi
oleh responden dengan berbagai merek seperti minuman berperisa non karbonat,
minuman berperisa karbonat, sirup, produk bakeri, produk saos/kecap, minuman
teh/kopi, minuman es, permen, makanan ringan, dan selai yang memiliki
keterangan mengenai komposisi (ingredient) yang digunakan.
Metode Penelitian
Metode penelitian terdiri atas 7 tahapan dan secara umum disajikan dalam
Gambar 3 :
Preparasi kegiatan

Survei konsumsi pangan
Food list dan screening
Pengolahan data paparan BTP pengawet dan pemanis
berdasarkan TMDI

Pengolahan data paparan BTP pemanis berdasarkan
EDI
Pengolahan data paparan berdasarkan kategori
produk
Penentuan karakteristik risiko

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian

15

Berdasarkan metode penelitian pada Gambar 3, maka terdapat beberapa
prosedur yang dilakukan dalam setiap metode penelitian. Kegiatan, prosedur dan
luaran dari penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Matriks Penelitian
Kegiatan
Persiapan
kegiatan

Survei
konsumsi
pangan

Prosedur
●Pembuatan
kuesioner

Referensi
Luaran
Anisyah
2009; Didapatkan
kuesioner yang
BPOM 2004.
sesuai

●Penentuan
responden dan
wilayah

Gavaravarapu et al.
2009; BPS 2013

●Penentun jumlah
responden minimal

BPS 2013; Cohcran Didapatkan
jumlah responden
1991
minimal per
kategori

●Penentuan sekolah

Teddlie dan Yu
2007; Data Master
Pendidikan
KEMENDIKBUD
2014

Didapatkan
jumlah dan nama
sekolah sebagai
tempat dilakukan
proses survei

24-hour-recall

Vereecken et al.
2008

Didapatkan daftar
jenis pangan yang
dikonsumsi.

Food list dan ●Me-list seluruh
screening
daftar pangan yang
dikonsumsi
●Pengecekan jenis
BTP yang
digunakan
●Sampel pangan yang
dikonsumsi dan
diperkirakan
mengandung BTP
●Tidak
mengikutsertakan
BTP yang tidak
memiliki nilai ADI.

Didapatkan
kelompok
responden dan
wilayah yang
dilakukan proses
survei

CAC 2006

WHO 2009;
BPOM 2013;
BPOM 2004

Didapatkan jenis
BTP pengawet dan
pemanis yang paling
berkontribusi.

16

Kegiatan

Prosedur

Pengolahan
data paparan
BTP
pengawet dan
pemanis
berdasarkan
TMDI

●Penentuan konsumsi
pangan yang
mengandung BTP
pemanis dan
pengawet

Pengolahan
data paparan
BTP pemanis
berdasarkan
EDI

●Perubahan ukuran
porsi pangan dalam
gram
●Penentuan kadar
BTP yang
dikonsumsi
●Rata-Rata TMDI
●Nilai ADI
●Nilai minimummaksimum, nilai
persentil ke-95

Referensi

Luaran
Didapatkan data
paparan BTP
pengawet dan
pemanis berdasarkan
TMDI

Jain et al. 2014

●Penentuan konsumsi
pangan yang
mengandung BTP
pemanis dan
mencantumkan
kandungan pemanis
didalam produknya
● Perubahan ukuran
porsi pangan dalam
gram
●Penentuan kadar
BTP yang
dikonsumsi
●Rata-Rata EDI
●Nilai ADI
●Nilai minimum,
maksimum, dan
persentil ke-95

Didapatkan data
paparan BTP
pemanis berdasarkan
EDI

Adanya karakteristik
risiko tinggi dan
risiko rendah

Penentuan
karakteristik
risiko

Perbandingan nilai
TMDI dan nilai EDI
dengan nilai ADI.

Fardiaz 2013

Pengolahan
data paparan
berdasarkan
kategori
produk
Pangan

Mengelompokkan dan
menjumlahkan produk
pangan yang
dikonsumsi dengan
kategori produk yang
sama

BPOM 2014 dan Didapatkan kategori
BPOM 2013
produk pangan yang
paling berkontribusi
terhadap paparan
BTP pengawet dan
pemanis

17

Preparasi Kegiatan
a. Pembuatan Kuesioner
Kuesioner merupakan instrumen untuk memperoleh informasi yang relevan
dengan tujuan survei yaitu memperoleh data konsumsi pangan dari responden.
Kuesioner penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu :
● Panduan kuesioner
● Lembar identitas responden
Bagian ini wajib diisi terutama umur dan berat badan responden, karena
data berat badan responden digunakan untuk menghitung konsumsi pangan
perhari, dan untuk mengetahui persentase dari nilai ADI.
● Lembar kuesioner konsumsi pangan, terdiri dari :
(1) Jenis pangan
Harus menanyakan merek produk pangan, warna, rasa atau jenis pangan apa
yang dikonsumsi oleh responden selama 24 jam yang lalu.
(2) Ukuran porsi pangan
Responden tidak harus menyebutkan ukuran porsi pangan dalam gram untuk
sekali makan. Ukuran porsi pangan dapat dinyatakan dengan menggunakan
peralatan rumah tangga seperti: sendok teh, sendok makan, cangkir,
mangkuk, dan lain-lain. Setelah itu dilakukan verifikasi jumlah ke dalam
gram dengan menggunakan konversi (Anisyah 2009)
Contoh lembaran kuesioner dapat dilihat pda lampiran 1, dan pembuatan
kuesioner mengacu kepada BPOM tahun 2004.
b. Penentuan Responden dan Wilayah.
Secara umum populasi digolongkan kedalam tiga kelompok berdasarkan
batasan usia responden dan pen