Kepedulian Konsumen Terhadap Label Dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (Btp) Pada Label Kemasan Pangan Di Kota Bogor
KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI
BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepedulian Konsumen
terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label
Kemasan Pangan di Kota Bogor adalah benar-benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Hendry Noer Fadlillah
NIM F252124085
RINGKASAN
HENDRY NOER FADLILLAH. Kepedulian Konsumen terhadap Label dan
Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota
Bogor. Di bawah supervisi LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Setiap produk pangan yang diedarkan wajib memiliki label pada
kemasannya. Label tersebut dapat menjadi sarana komunikasi antara produsen dan
konsumen. Kebiasaan membaca label dapat membantu konsumen untuk
mengetahui informasi terkait produk yang akan dibeli. Beberapa informasi yang
dimaksud antara lain mengenai produsen, keamanan, kandungan gizi, komposisi,
dan lainnya. Salah satu informasi penting yang bisa diperoleh dari membaca label
adalah mengenai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Penggunaan BTP merupakan
praktek yang umum terjadi dewasa ini. BTP adalah bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP bukan untuk
dikonsumsi langsung, tetapi ditambahkan untuk tujuan dan fungsi tertentu, seperti
menjaga kestabilan emulsi, memberi aroma atau rasa, meningkatkan cita rasa,
memperpanjang umur simpan, mencegah penggumpalan, mempertahankan warna,
dan lainnya. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP
dalam jenis dan jumlah yang spesifik. Walau digunakan dalam jumlah yang
sedikit, penggunaan BTP diatur secara ketat. Di Indonesia, secara teknis, BTP
diatur oleh Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI. Beberapa hal yang
diatur antara lain jenis yang diijinkan, batas maksimum penggunaan, persyaratan,
hingga pencantuman pada label.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data mengenai kebiasaan
konsumen dalam membaca label, informasi yang dibaca oleh konsumen pada
label, pengenalan konsumen terhadap BTP, dan seberapa besar kepedulian
terhadap BTP. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dan industri pangan untuk menyusun strategi dalam memberikan
edukasi. Selain itu penelitian ini juga penting bagi produsen dalam pengembangan
produk dan juga menyusun strategi promosi di pasar.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan mewawancarai
responden. Area studi dilaksanakan di Kota Bogor. Responden dibagi ke dalam
dua kelompok, yakni usia 15-24 tahun dan usia 24 tahun. Survei dilakukan
dengan pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator.
Responden diminta untuk mengisi setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner.
Pertanyaan dalam kuesioner dibagi dalam beberapa bagian, yang meliputi profil
responden, kebiasaan membaca dan kepedulian terhadap label, serta pemahaman
dan kepedulian mengenai BTP. Data diolah secara statistik dengan menggunakan
Microsoft Excel dan SPSS.
Hasil penelitian yang melibatkan 201 responden usia 15-24 tahun dan 150
responden usia >24 tahun, menunjukkan bahwa responden yang selalu membaca
label untuk kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 22%
dan 67%. Berdasarkan uji statistik kelompok usia lebih dari 24 tahun, memiliki
kebiasaan dalam membaca label lebih sering secara nyata dibandingkan dengan
kelompok usia 15-24 tahun. Informasi yang paling diperhatikan pada label untuk
kelompok 15-24 tahun adalah klaim kesehatan, mengetahui informasi BTP, dan
berat/volume pangan di dalam kemasan. Sedangkan kelompok >24 tahun lebih
memperhatikan nomor registrasi, nama produsen, dan berat/volume. Jumlah
responden yang mengenal istilah BTP untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun
masing-masing adalah 95% dan 73% dari yang membaca label. Secara statistik
usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan kelompok usia >24
tahun. Sebanyak 19% responden selalu membaca informasi BTP pada kelompok
15-24 tahun, dan 24% pada kelompok >24 tahun. Sumber utama informasi BTP
pada responden berusia 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah.
Sedangkan bagi responden berusia >24 tahun, sumber informasi BTP utamanya
berasal dari televisi dan sekolah/kuliah. BTP yang paling banyak mendapat
perhatian untuk kedua kelompok tersebut adalah perisa dan penguat rasa.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan korelasi antara kebiasaan membaca
label dengan jenis kelamin (pada usia 15-24 tahun), serta pendidikan dan
pendapatan (pada usia 15-24 tahun dan >24 tahun). Responden wanita lebih
sering membaca label dibandingkan responden pria pada kelompok 15-24 tahun.
Selain itu, semakin tinggi pendidikan dan pendapatan juga menunjukkan
kebiasaan membaca label lebih sering pada kedua kelompok tersebut.
Kata kunci: label pangan, bahan tambahan pangan, komposisi, kepedulian
konsumen
SUMMARY
HENDRY NOER FADLILLAH. Consumer Awareness on Label of Food
Packaging and Information of Food Additives in Bogor City. Supervised by
LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Label on the food packaging is a compulsory. It could be
communication media between producers and consumers. Consumer’s habit of
reading the labels can help them to get information about the products to be
purchased. The information includes the manufacturer, safety, nutrition content,
composition, and others. One of the important information that can be obtained
from reading the label is about food additives. The used of food additive is
general practices in food industries. Food additive are substances added to food to
improve properties of food. Food additives are not for direct consumption, but to
provide spesific purpose and function, such as emulsifying, flavoring, enhancing
taste, increasing shelf life, preventing cacking, protecting color, and others. Most
of processed food contain food additive in certain amount. Evenhough it is used
in small amount, food additive is tighly regulated. Technically, in Indonesia, food
additives are regulated by Ministry of Health and National Agency of Food and
Drug Control (NAFDC). The regulation include variety of food additive that can
be added to food, maximum level permitted, requirement and information allowed
on label.
This research was conducted to evaluate consumer’s habit in Bogor city in
reading food label, their awareness on label information, understanding and
awareness of food additives. The obtained data could be used by government and
food industries to develop education program. Industries could also use the data
for consideration in developing new products and develop promotion program.
The research was conducted by interviewing respondents in Bogor City.
The respondent was divided into two groups. The first group was 15-24 years old
respondent, and the second groups was >24 years old respondent. Question
divided into several parts, including respondent profile, habit and awareness in
reading label, understanding and awareness on food additives. Data are analyzed
statistically by using Microsoft Excel and SPSS program.
There were 201 for 15-24 years old respondent and 150 for >24 years old
respondent. Respondents, who always read label for 15-24 and >24 years old
group are 22% and 67%. Statistically, the frequency of reading label of >24 year
old respondents significantly higher than 15-24 years old respondents. The
information read by 15-24 years old respondents were mostly health claim, food
additive information and weight/volume; while registration number, producer
name, and weight/volume were mostly read by the other group. The survey
showed 15-24 years old respondents had better knowledge on food additives than
>24 year old group. The number of respondents who were familiar with the term
of food additive for groups of 15-24 and > 24 years respectively 95 % and 73 %
of respondents reading label. Statistically aged 15-24 years was more familiar
with the term food additive than group > 24 years. As many as 19 % of
respondents of 15-24 years always read food additive information, and 24 % of
respondents of >24 years. The main source of food additives information of
respondents aged 15-24 years were internet and school /college. As for
respondents aged> 24 years, food additive information mainly from television and
school / college. Flavor and flavor enhancer were the most aware food additives
by both group.
The results also showed a correlation between the habit of reading labels
by gender (age 15-24 years), as well as education and income (at the age of 15-24
years and > 24 years). Respondents female were more often to read label than
male respondents on group of 15-24 years. Moreover, the higher education and
income also showed the habit of reading labels more frequently in both groups.
Key words: food label, food additive, ingredients, consumer awareness
Hak Cipta Milik IPB, 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI
BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
Pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan
Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota
Bogor
: Hendry Noer Fadlillah
: F252124085
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Lilis Nuraida, MSc
Ketua
Dr Eko Hari Purnomo STP, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 26 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 hingga September 2015 ini adalah
Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan
(BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilis Nuraida dan Dr Eko
Hari Purnomo yang telah banyak memberikan saran untuk penyelesaian
penelitian, serta Dr Ir Nurheni Sri Palupi yang juga memberi masukan terhadap
hasil penelitian ini . Di samping itu, penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Bapak dan Ibu Pimpinan PT Media Pangan Indonesia yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk penyelesaian studi. Ungkapan
terima kasih juga dihaturkan kepada bapak, ibu, istri, dua buah hati, dan seluruh
keluarga yang telah mendukung dan memberikan doa kepada Penulis. Kepada
rekan-rekan di MPTP dan PT Media Pangan Indonesia, penulis juga
menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini,
terutama pada saat penyelesaian studi. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Hendry Noer Fadlillah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Label Pangan
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Keamanan BTP
Peraturan Pelabelan BTP
Kepedulian terhadap Label
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Metode
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian kuesioner
Profil Responden
Perilaku Konsumen dalam Membaca Label
Pengaruh Label terhadap Keputusan Pembelian
Informasi yang Diperhatikan pada Label
Pengenalan Responden terhadap BTP
Jenis BTP yang Menjadi Perhatian Konsumen
BTP Pemanis
BTP Pewarna
BTP Pengawet
BTP Penguat Rasa
BTP Perisa
Hasil Uji Korelasi
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
xii
xiii
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
6
7
11
11
11
16
16
17
17
18
20
21
26
26
27
28
29
30
31
34
35
38
50
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen
Amerika Serikat
Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden
Fungsi dan penggunaan informasi jumlah ingridien oleh konsumen
8
10
10
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Irlandia
Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner
Karakteristik responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
untuk kepedulian terhadap label dan informasi BTP
Alasan responden membaca label
Alasan responden tidak membaca label
Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen
saat membaca label
Alasan responden membaca informasi BTP
Alasan responden tidak membaca informasi BTP
BTP yang paling menjadi perhatian responden
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP
pengawet
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat
rasa
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa
Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi
BTP
Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan
kebiasaan membaca label
16
18
19
20
22
25
26
27
27
29
29
30
31
33
34
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat
Frekuensi membaca label konsumen Irlandia
Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia
Tahapan penelitian
Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Tahapan pelaksanaan survei
Frekuensi jawaban responden pada pengujian kuesioner
Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label
Pengaruh label terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan
tingkatan usia
10. Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP
11. Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia
responden
12. Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia
13. Kebiasaan konsumen berdasarkan kelompok usia dalam membaca
informasi BTP
14. Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian
15. Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan Pembelian
responden berdasarkan tingkatan usia
16. Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian
berdasarkan tingkatan usia
17. Pengaruh kandungan BTP pengawet terhadap keputusan pembelian
8
9
9
12
14
15
17
19
21
23
23
24
25
25
27
28
29
berdasarkan tingkatan usia
18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian 30
berdasarkan tingkatan usia
19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian 31
berdasarkan tingkatan usia
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data
Perancangan pertanyaan untuk kuesioner
39
47
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian
kemasan pangan (PP, 1999). Pemberian label pangan bertujuan untuk
memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan
(UU, 2012). Oleh sebab itu, konsumen perlu memberikan perhatian yang cukup
terhadap informasi yang tercantum pada label pangan, termasuk diantaranya
mengenai bahan tambahan pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk pangan
merupakan praktek yang umum terjadi di industri pangan. Hampir semua produk
pangan dalam kemasan mengandung BTP. Industri menggunakan BTP untuk
fungsi tertentu, karena BTP dalam produk pangan memiliki sifat dan peranan
yang spesifik. Berdasarkan fungsinya, CAC (2014a) membagi BTP ke dalam
beberapa kelas, yakni sebagai pengatur keasaman, antikempal, antibuih,
antioksidan, pemutih, peningkat volume, pengkarbonasi, pembawa, peretensi
warna, pengemulsi, garam pengemulsi, pengeras, penguat flavor, perlakuan
tepung, pembuih, pembentuk gel, pelapis, humektan, gas untuk kemasan,
pengawet, propelan, sekuestran, penstabil, pemanis, dan pengental.
Penggunaan BTP diatur secara ketat, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga
di dunia internasional. Sebelum digunakan, BTP harus mendapat ijin terlebih
dahulu dari lembaga terkait. Di Indonesia, BTP wajib terlebih dahulu didaftarkan
ke Badan POM RI. Praktek penggunaan BTP telah diatur oleh Pemerintah, baik
dalam bentuk Undang-undang (Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan), Peraturan Menteri Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 033
tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan), atau Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI. No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim
dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI No. 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP
Pemanis, dan lain-lain). Beberapa hal yang diatur antara lain meliputi jenis dan
batas maksimum penggunaan BTP, pencantumannya pada label, dan lainnya.
Namun demikian, masih banyak praktek-praktek penggunaan BTP yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain dosis yang menyalahi aturan,
penggunaan bahan kimia berbahaya yang bukan diperuntukkan sebagai BTP, dan
lainnya.
Selain itu terdapat BTP yang harus mendapat perhatian khusus bagi
kelompok konsumen tertentu. EFSA (2014) menyebutkan, bahwa penderita
fenilketonuria (PKU) dilarang untuk mengonsumsi pemanis buatan aspartam.
PKU merupakan suatu kondisi kelainan dalam metabolisme asam amino.
Konsumsi aspartam dapat membahayakan penderita PKU, sebab dapat
menyebabkan peningkatan asam amino fenilalanin dan bersifat toksik.
Sebaliknya, bagi penderita diabetes, sangat penting untuk memilih produk dengan
pemanis rendah kalori.
Perhatian terhadap BTP juga penting untuk menakar jumlah yang boleh
dikonsumsi, sebab sebagian diantaranya memiliki nilai ADI (acceptable daily
intake). Artinya konsumen tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi BTP
tertentu, karena dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Oleh sebab itu
informasi dan pengetahuan mengenai BTP sangat penting bagi konsumen.
Pemerintah melalui Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan
mewajibkan produsen untuk mencantumkan label pada kemasan. Salah satu
informasi yang wajib dicantumkan pada dalam label adalah daftar bahan yang
digunakan, termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan (BTP).
Konsumen perlu menjadikan BTP sebagai salah satu bahan pertimbangan
untuk memilih dan membeli produk pangan. Pemahaman dan perhatian terhadap
BTP produk pangan dapat membantu konsumen dalam memilih produk yang tepat
dan meminimalkan risiko kesehatan yang mungkin dapat muncul karena BTP.
Perumusan Masalah
Label merupakan sarana yang penting bagi konsumen untuk menilai suatu
produk pangan, termasuk BTP. Namun demikian, saat ini masih terdapat
keterbatasan data mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen membaca label,
serta jenis informasi yang diperlukan konsumen pada label. Bahkan untuk BTP,
studi yang secara khusus mengevaluasi pemahaman dan kepedulian konsumen
masih terbatas, sehingga dapat menyulitkan bagi pemerintah dan produsen dalam
menentukan strategi edukasi dan promosi yang tepat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi mengenai
perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, termasuk jenis informasi
yang diperhatikan pada label. Selain itu, penelitian ini untuk mengevaluasi
apakah responden mengenal BTP dan juga seberapa besar kepedulian responden
terhadap informasi BTP pada label kemasan pangan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberi informasi mengenai perilaku dan
kebiasaan konsumen dalam membaca label, serta tingkat pengenalan dan
kepedulian konsumen terhadap informasi BTP pada label. Data yang diperoleh
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan dalam
mendesain strategi edukasi dan promosi bagi konsumen. Data yang ada juga bisa
digunakan sebagai masukan bagi pengembangan produk baru di industri pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode survei terhadap responden di wilayah
Kota Bogor. Produk yang dimaksud adalah produk pangan dalam kemasan.
Pemilihan produk dalam kemasan karena hanya pada produk tersebut konsumen
dapat memperoleh informasi BTP yang digunakan, sesuai yang tercantum pada
label pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Label pangan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, label pangan didefinisikan sebagai setiap keterangan mengenai
pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain
yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan. Pemberian label pangan bertujuan untuk
memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan.
Informasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan asal, keamanan, mutu,
kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan (UU, 2012).
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label
pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label sebagaimana dimaksud
berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya
terdiri dari nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi
bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa (PP, 1999).
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes, 2012).
Sedangkan CAC (2014b) mendefinisikan bahan tambahan pangan (food additives)
sebagai senyawa yang tidak dikonsumsi dalam bentuk tunggal secara langsung
dan tidak digunakan sebagai ingridien pangan, baik mempunyai nilai gizi atau
tidak, yang penambahannya bertujuan untuk tujuan teknologi (termasuk
organoleptik) dalam pengolahan, penyiapan, perlakukan, pengemasan,
transportasi, atau alasan lainnya -baik berdampak secara langsung atau tidak,
dimana penambahannya dapat mempengaruhi karakteristik pangan. Definisi
tersebut senada dengan persyaratan BTP yang ditetapkan Kemenkes (2012),
yakni:
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak
diberlakukan sebagai bahan pangan.
b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan,
pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, dan/atau
pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Keamanan BTP
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia,
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi (UU, 2012). Salah satu fokus perhatian dalam
penyelenggaraan keamanan pangan dalam Undang-undang tersebut adalah
pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Pemerintah berkewajiban
memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan
atau proses produksi pangan untuk diedarkan. Pemeriksaan keamanan bahan
tambahan dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Setiap orang yang
melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan: a) bahan
tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
dan/atau b) bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan (BTP) hanya boleh digunakan bila tidak melebihi batas
maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Selain itu, penambahan dan
pengurangan jenis BTP serta batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan
harus mempertimbangkan persyaratan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang
sahih. Pengkajian dilakukan oleh Tim Mitra Bestari, yakni kelompok pakar yang
ditetapkan oleh Kepala Badan untuk melakukan pengkajian dan memberikan
rekomendasi tentang penggunaan komponen baru serta klaim gizi dan kesehatan.
Batas Maksimum adalah jumlah maksimum BTP yang diizinkan terdapat
pada pangan dalam satuan yang ditetapkan. Batas Maksimum penggunaan BTP
dapat berupa suatu nilai tertentu atau berdasarkan good manufacturing practices.
Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik atau good manufacturing
practice adalah jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah
secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM,
2014).
Secara internasional, di CAC (2014b), kajian keamanan BTP dilakukan oleh
oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). Setelah
lolos pengujian, kemudian mendapatkan nomor INS (International Numbering
System). Sementara itu di Uni Eropa, kajian terhadap keamanan BTP dilakukan
oleh suatu panel ilmiah yang ditetapkan oleh EFSA (European Food Safety
Authority). BTP yang telah mendapatkan ijin penggunaannya kemudian diberikan
nomor E.
Penetapan batas maksimum BTP yang bisa digunakan mengacu pada nilai
ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima. ADI
didefinisikan sebagai jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram
per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa
menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan (Kemenkes, 2012).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan juga diatur mengenai Bahan yang Dilarang Digunakan sebagai
BTP. Bahan-bahan tersebut antara lain asam borat dan senyawanya (boric acid),
asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt), dietilpirokarbonat
(diethylpyrocarbonate, DEPC), dulsin (dulcin), formalin (formaldehyde), kalium
bromat (potassium bromate), kalium klorat (potassium chlorate), kloramfenikol
(chloramphenicol), minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils),
nitrofurazon (nitrofurazone), dulkamara (dulcamara), kokain (cocaine),
nitrobenzen (nitrobenzene), sinamil antranilat (cinamyl anthranilate),
dihidrosafrol (dihydrosafrole), biji tonka (tonka bean), minyak kalamus (calamus
oil), minyak tansi (tansy oil), dan minyak sasafras (sasafras oil).
BTP terdiri dari banyak jenis. Peraturan Menteri Kesehatan RI (2012)
membagi BTP dalam 27 golongan berdasarkan fungsinya, yakni antibuih
(antifoaming agent), antikempal (anticacking agent), antioksidan (antioxidant),
bahan pengkarbonasi (carbonating agent), garam pengemulsi (emulsifying salt),
gas untuk kemasan (packaging gas), humektan (humectant), pelapis (glazing
agent), pemanis (sweetener), pembawa (carrier), pembentuk gel (gelling agent),
pembuih (foaming agent), pengatur keasaman (acidity regulator), pengawet
(preservative), pengembang (raising agent), pengemulsi (emulsifier), pengental
(thickener), pengeras (firming agent), penguat rasa (flavor enhancer), peningkat
volume (bulking agent), penstabil (stabilizer), peretensi warna (colour retention
agent), perisa (flavouring), perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna
(colour), propelan (propellant), dan sekuestran (sequestrant). Di dalam golongan
tersebut terdapat beberapa jenis BTP, misalnya untuk antibuih, terdiri dari kalsium
alginat (calcium alginate) serta mono dan digliserida asam lemak (mono- and diglycerides of fatty acids).
Beberapa jenis BTP yang sering menjadi perhatian konsumen antara lain:
BTP Pemanis
Pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa pemanis alami
dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan. Pemanis
alami (natural sweetener) merupakan pemanis yang dapat ditemukan dalam
bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi, sedangkan
pemanis buatan (artificial sweetener) didefinisikan sebagai pemanis yang
diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam. Pemanis
alami yang diijinkan penggunaannya di Indonesia antara lain sorbitol (sorbitol),
manitol (mannitol), isomalt/isomaltitol (Isomalt/Isomaltitol), glikosida steviol
(steviol glycoside), maltitol (maltitol), laktitol (lactitol), silitol (xylitol), dan
eritritol (erythritol). Sedangkan pemanis buatan yang diijinkan adalah asesulfamK (acesulfame potassium), aspartam (aspartame), siklamat (cyclamates), sakarin
(saccharins), sukralosa (sucralose/ Trichlorogalactosucrose), dan neotam
(neotame) (BPOM, 2014).
BTP Pewarna
Pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan
pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu
memberi atau memperbaiki warna. Pewarna alami (natural food colour) adalah
pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sintesis
parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk pewarna
identik alami. Pewarna sintetis (synthetic food colour) adalah pewarna yang
diperoleh secara sintesis kimiawi. Jenis BTP pewarna alami yang diijinkan
penggunaannya di Indonesia adalah kurkumin CI. No. 75300 (curcumin),
riboflavin (riboflavins), karmin dan ekstrak cochineal CI. No. 75470 (carmines
and cochineal extract), klorofil CI. No. 75810 (chlorophyll), klorofil dan
klorofilin tembaga kompleks CI. No. 75810 (chlorophylls and chlorophyllins,
copper complexes), karamel I (caramel I – plain), karamel III amonia proses
(caramel III - ammonia process), karamel IV amonia sulfit proses (caramel IV sulphite ammonia process), karbon tanaman CI. 77266 (Vegetable carbon), betakaroten (sayuran) CI. No. 75130 (carotenes, beta (vegetable), ekstrak anato CI.
No. 75120 (berbasis bixin) (annatto extracts, bixin based), karotenoid
(Carotenoids), merah bit (beet red), antosianin (anthocyanins), dan titanium
dioksida CI. No. 77891 (titanium dioxide). Sedangkan pewarna buatan yang
diijinkan antara lain tartrazin CI. No. 19140 (tartrazine), kuning kuinolin CI. No.
47005 (quinoline yellow), kuning FCF CI. No. 15985 (Sunset yellow FCF),
karmoisin CI. No. 14720 (azorubine (carmoisine)), ponceau 4R CI. No. 16255
(Ponceau 4R (cochineal red A)), eritrosin CI. No. 45430 (erythrosine), merah
allura CI. No. 16035 (allura red AC), indigotin CI. No. 73015 (Indigotine (indigo
carmine)), biru berlian FCF CI No. 42090 (brilliant blue FCF); hijau FCF CI. No.
42053 (fast green FCF), dan coklat HT CI. No. 20285 (brown HT) (BPOM,
2013a).
BTP Pengawet
Pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya
terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet yang diijinkan
penggunaannya antara lain asam sorbat dan garamnya (sorbic acid and its salts),
asam benzoat dan garamnya (benzoic acid and its salts), etil para-hidroksibenzoat
(ethyl para-hydroxybenzoate), metil para-hidroksibenzoat (methyl parahydroxybenzoate), sulfit (sulphites), nisin (nisin), nitrit (nitrites), nitrat (nitrates),
asam propionat dan garamnya (propionic acid and its salts) serta lisozim
hidroklorida (lysozyme hydrochloride) (BPOM, 2013b).
BTP Penguat rasa
Penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk
memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan
pangan tersebut tanpa memberikan rasa dan/atau aroma tertentu. BTP penguat
rasa yang diijinkan di Indonesia antara lain asam L-glutamat dan garamnya (LGlutamic acid and its salts), asam guanilat dan garamnya (guanylic acid and its
salts), asam inosinat dan garamnya (inosinic acid and its salts), serta garamgaram dari 5’-ribonukleotida (salts of 5’-ribonucleotides) (BPOM, 2013c).
BTP Perisa
Perisa (flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat
konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan
untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam. Perisa
(flavouring) dikelompokkan menjadi perisa alami, perisa identik alami, dan perisa
artifisial (Permenkes, 2012).
Peraturan pelabelan BTP
Menurut Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, setiap pihak baik perseorangan maupun korporasi, wajib mencantumkan label dalam kemasan
pangan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
disebutkan bahwa informasi yang wajib tercantum pada label antara lain nama
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih, nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan;
tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin
edar bagi pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu (UU No. 18 tahun
2012).
Keterangan tentang bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan dicantumkan pada Label sebagai daftar bahan secara berurutan
dimulai dari bagian yang terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah
gizi lainnya (PP No. 69 tahun 1999). Untuk pangan yang mengandung Bahan
Tambahan Pangan, pada Label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan
Pangan. Bila BTP yang digunakan memiliki nama dan atau kode internasional,
pada Label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional
dimaksud, kecuali BTP berupa pewarna. Untuk pewarna, selain pencantuman
golongan dan nama BTP, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang
bersangkutan (PP, 2009). Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan disebutkan BTP golongan
antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa, wajib
dicantumkan pula nama jenis BTP, dan nomor indeks khusus untuk pewarna.
Sedangkan pada label sediaan BTP, wajib dicantumkan a) tulisan “Bahan
Tambahan Pangan”, b) nama golongan BTP, c) nama jenis BTP, dan d) nomor
pendaftaran produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table
top.
Selain itu, pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib
dicantumkan tulisan “Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi
oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”. Sedangkan
pada label pangan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah
yang menggunakan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan “Untuk penderita
diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah.” Produk
yang menggunakan pemanis aspartam juga wajib memberikan peringatan pada
label berupa “Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita
fenilketonurik.” Peringatan lain yang wajib dicantumkan pada label adalah jika
menggunakan poliol, yakni berupa tulisan “Konsumsi berlebihan mempunyai efek
laksatif.” Pangan yang menggunakan gula dan pemanis buatan juga wajib
mencantumkan tulisan “Mengandung gula dan pemanis buatan” (BPOM, 2012).
Tidak hanya untuk pemanis, pada label pangan olahan yang mengandung perisa,
wajib dicantumkan nama kelompok perisa dalam daftar bahan atau ingredient.
Termasuk juga BTP ikutan (carry over), wajib dicantumkan setelah bahan yang
mengandung BTP tersebut (BPOM, 2012).
Kepedulian terhadap label
Survei yang dilakukan oleh International Food Information Council
Foundation (2012) di Amerika Serikat menunjukkan, informasi dalam label
pangan mempengaruhi keputusan dalam membeli produk pangan.
Masa
kedaluwarsa dan informasi nilai gizi adalah informasi utama yang menjadi
perhatian konsumen. Sementara itu, daftar ingridien (termasuk BTP) berada di
urutan ketiga. Data tersebut juga menyebutkan, orang tua (usia 65-80 tahun)
adalah golongan yang paling peduli terhadap daftar ingridien, masa kedaluwarsa,
informasi nilai gizi, petunjuk memasak, dan juga informasi terhadap ada tidaknya
jenis ingridien tertentu (Tabel 1). Selain itu, diungkapkan konsumen Amerika
Serikat percaya bahwa penambahan BTP bertujuan untuk memberikan manfaat
tertentu. Beberapa manfaat dari penambahan BTP yang diketahui oleh konsumen
Amerika Serikat adalah mempertahankan kesegaran, meningkatkan warna, dan
menjaga flavor. Sedangkan dalam jumlah kecil menyadari keberadaan BTP yang
berfungsi sebagai anti bakteri (Gambar 1). Sementara itu penelitian yang
dilakukan oleh Kozelova et al.. (2012) melaporkan, mayoritas (87%) konsumen
mengetahui informasi dan fungsi dari BTP. Ketepatan jawaban kuesioner dalam
penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan.
Tabel 1. Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen
Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Jenis Informasi
%
Masa kedaluwarsa*
76
Informasi nilai gizi
66
Komposisi ingridien*
51
Takaran saji
50
Kalori dan informasi gizi pada bagian depan kemasan*
48
Merek
46
Petunjuk memasak/waktu penyiapan*
45
Pernyataan mengenai klaim gizi
42
Pernyataan mengenai klaim kesehatan
30
Pernyataan mengenai keberadaan ingridien tertentu*
24
Lainnya
4
Tidak satupun dari penyataan di atas
3
* Konsumen usia lanjut, khususnya yang berusia 65 hingga 80 tahun, memiliki
kecenderungan melihat informasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman yang
dimilikinya, sehingga lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan dan memilih makanan
yang akan dibeli.
Gambar 1. Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Food Safety Authority of Ireland (2009)
menunjukkan, sebanyak 25% responden Irlandia selalu membaca label ketika
akan membeli produk pangan (Gambar 2). Informasi yang paling dicari ketika
membaca label adalah informasi nilai gizi, jumlah kalori, dan ingridien tertentu
(Gambar 3).
Gambar 2. Frekuensi membaca label konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
Gambar 3. Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen
Irlandia (FSAI, 2009)
Dari segi tingkat kepentingan, sebagian besar responden menganggap
informasi nama produk sebagai yang terpenting, kemudian diikuti oleh informasi
ingridien dan kuantitas ingridien tertentu (Tabel 2). Di Irlandia, jumlah ingridien
yang ditambahkan pada produk wajib dinyatakan dalam produk pangan. Dalam
survei FSAI (2009) terungkap, 31% responden tidak menggunakan informasi
tersebut. Sedangkan 29% menyatakan informasi jumlah ingridien penting untuk
mengetahui kuantitasnya dan 22% berpendapat informasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan pembelian (Tabel 3). Namun demikian, terdapat sekitar
27% yang jarang atau bahkan tidak pernah membaca label saat membeli produk
pangan. Alasannya antara lain loyalitas terhadap merek, waktu yang terlalu
sempit, kekurangan informasi akan pentingnya label, bingung karena terlalu
banyak informasi pada label, dan lainnya.
Tabel 2. Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden (FSAI, 2009).
Tingkat kepentingan (%)
Informasi
Sangat
Kurang
Penting
Tidak penting
penting
penting
Nama pangan
55
17
14
6
Jenis ingridien
44
28
16
5
Jumlah ingridien
32
32
20
8
Berat/volume
26
22
15
15
Masa
81
12
12
12
kedaluwarsa
Petunjuk
penyimpanan
31
30
22
8
Kontak produsen
30
22
21
11
Asal
40
26
19
8
Instruksi
penggunaan
39
30
17
7
Kadar alcohol
28
17
10
23
Tabel 3. Fungsi dan penggunaan informasi jumlah
ingridien oleh konsumen Irlandia (FSAI,
2009)
Fungsi
%
Tidak menggunakan
31
Mengetahui jumlah masing-masing ingridien
29
Mempengaruhi pembelian
22
Menghitung kalori dan lemak
13
Memperkirakan jumlah garam dan gula
6
Tidak memberikan jawaban
2
Memperkirakan zat gizi
2
Tidak tahu
1
Menghitung pengawet
1
Menentukan mutu
0.4
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Zahara dan Triyanti (2009)
menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan membaca label informasi zat gizi dan
komposisi zat gizi pada responden umumnya masih rendah untuk label informasi
zat gizi (39,1%) dan untuk label komposisi zat gizi (38,9%). Penelitian yang
dilakukan oleh Devi et al.. (2013) menyebutkan, 82,1% responden yang berasal
dari konsumen swalayan ADA, memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap
label pangan. Namun demikian, responden dalam penelitian tersebut masih
seragam, dan belum memberikan informasi yang spesifik mengenai jenis
informasi pada label yang menjadi perhatian konsumen.
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) kuesioner
sebagai instrumen pengumpulan data, 2) label produk pangan sebagai contoh,
serta 3) program SPSS serta excel untuk pengolahan data.
Metode
Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survei dengan interview
secara langsung oleh enumerator. Namun sebelumnya, terlebih dahulu dilakukan
penetapan responden, penyusunan kuesioner, pelatihan enumerator, dan pengujian
kuesioner. Setelah itu, kemudian dilakukan survei di area Kota Bogor, pada bulan
Juni hingga September. Gambar 4 menunjukkan tahapan penelitian yang
dilakukan. Kuesioner lengkap disajikan pada Lampiran 1.
Penetapan responden
Dalam penelitian ini dipilih kelompok usia 15-24 dan >24 tahun.
Kelompok usia 15-24 tahun termasuk dalam pengelompokan usia tertentu dan
digunakan untuk mengevaluasi sasaran program pendidikan remaja. Usia tersebut
berada dalam masa sekolah menengah dan perguruan tinggi (BPS, 2014).
Penelitian ini mengevaluasi kelompok usia di atasnya (>24 tahun), karena kedua
kelompok (15-24 dan >24 tahun) tersebut memiliki perbedaan karakter (seperti
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), yang kemungkinan dapat mempengaruhi
kebiasaan membaca label dan kepedulian terhadap informasi BTP. Berdasarkan
hal tersebut, kriteria inklusi dalam untuk mengetahui kebiasaan responden dalam
membaca label adalah penduduk kota Bogor berusia 15-24 tahun dan lebih dari 24
tahun, serta berbelanja produk dalam kemasan. Sementara itu, untuk menggali
kepedulian responden terhadap label maka untuk kriteria eksklusi ditambah
konsumen yang tidak membaca label. Untuk kepedulian responden terhadap
informasi BTP, kriteria eksklusinya bertambah tidak membaca informasi BTP
pada label kemasan (Gambar 5).
Survei dilakukan di beberapa tempat umum, seperti sekolah, tempat
perbelanjaan, kantin, dan lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015)
menyebutkan jumlah penduduk kota Bogor mencapai 1.013.019 jiwa.
Berdasarkan rumus Slovin maka jumlah sampel (Sevilla, 2007) yang perlu
diambil untuk masing-masing kelompok adalah 100 orang.
Rumus Slovin:
n=
n=
N
1 + N (e2)
1.013.019
1 1 + 1.013.019 (0.1)2
n=99,99
Keterangan:
N
= ukuran populasi
n
= ukuran sampel
e
= nilai batas ketelitian kesalahan dalam penarikan sampel (presisi yang
ditetapkan 10%, dengan tingkat kepercayaan 90%)
Penetapan
responden
Penyusunan
kuesioner
Pelatihan
enumerator
Pengujian
kuesioner
Pelaksanaan
survei
Pengolahan
data
Gambar 4. Tahapan penelitian
Total responden yang memenuhi kriteria inklusi dalam survei ini adalah
201 orang untuk kelompok usia 15-24 tahun dan 150 orang untuk kelompok usia
>24 tahun. Kelompok responden 15-24 tahun terdiri dari 100 orang berjenis
kelamin laki-laki, dan 101 orang berjenis kelamin perempuan. Gambar 5
menunjukkan jumlah responden yang memenuhi kriteria eksklusi pada berbagai
bagian survei yang telah dilakukan.
Penyusunan kuesioner
Kuesioner dibagi menjadi 4 bagian, untuk mengetahui profil responden,
kepedulian tentang label, pengetahuan tentang BTP, dan pengaruh informasi BTP
terhadap keputusan untuk membeli. Lampiran 2 menunjukkan informasi yang
ingin diketahui dari penyusunan kuesioner. Kuesioner disusun dengan
menggunakan pertanyaan tertutup.
Pelatihan enumerator
Pelaksanaan survei melibatkan 2 orang enumerator yang berasal dari
Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA IPB. Sebelum
pelaksanaan, enumerator memperoleh dua kali pelatihan. Materi pelatihan
meliputi pemahaman istilah BTP, prosedur survei, penentuan target responden,
dan juga tata cara menyampaikan pertanyaan.
Pengujian kuesioner
Pengujian kuesioner dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang
dibuat mampu menghasilkan data yang sesuai dan juga dapat menjawab tujuan
yang ingin dicapai. Jumlah responden untuk tahapan ini adalah 15 orang untuk
masing-masing kelompok. Enumerator melakukan survei dengan menggunakan
kuesioner yang telah disusun. Setelah itu dilakukan evaluasi, apakah pertanyaan
dan pilihan jawaban yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh responden
atau tidak. Jika masih belum jelas, maka pertanyaan dan jawaban direvisi,
sehingga dapat lebih dimengerti maksudnya oleh responden.
Pelaksanaan survei
Survei dilakukan melalui pengisian kuesioner dan wawancara kepada
responden oleh enumerator. Responden diminta untuk menjawab setiap
pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data kuesioner yang diperoleh lalu dipisah
berdasarkan kelompok usia dan diolah secara statistik. Tahapan survei dapat
dilihat pada Gambar 5.
Pengolahan data
Data yang diperoleh bersifat kategorik dan ordinal, sehingga diolah secara
non parametrik menggunakan program SPSS dan Excel. Pengolahan data
meliputi analisis deskriptif, uji ranking, uji beda, dan analisis korelasi. Analisis
deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui data responden yang berhubungan
dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan rata-rata
konsumen setiap bulan. Menurut Fukuda dan Yasuo (1997) uji beda dapat
dilakukan menggunakan metode Mann Whitney, untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan hasil antara jawaban responden kelompok 15-24 tahun dengan
>24 tahun. Ranking untuk masing-masing parameter dihitung dari setiap
responden, sehingga diperoleh ranking keseluruhan. Nilai terendah menunjukkan
tingkat ranking yang lebih tinggi. Sedangkan analisis korelasi menggunakan uji
Chi square. Uji tersebut digunakan untuk memeriksa ketergantungan antara dua
variabel (bivariat) dalam 1 populasi, antara lain ketergantungan antara jenis
kelamin dengan kebiasaan membaca label, tingkat pendidikan dengan kebiasaan
membaca label, serta tingkat pendapatan dengan kebiasaan membaca label. Nilai
cross tabulation (crosstab) dari uji Chi square digunakan untuk menentukan arah
dan jenis korelasinya.
Sampling
Kriteria inklusi:
Membeli produk pangan olahan dalam kemasan
Penduduk Kota Bogor
Usia 15-24 tahun & >24 tahun
15-24 tahun
n=201
>24 tahun
n=150
Kebiasaan
Membaca
Label
Kriteria eksklusi 1:
Tidak membaca label
membaca
15-24 tahun
n=166
15-24 tahun
n=35
>24 tahun
n=148
>24 tahun
n=2
Kepedulian terhadap label
Pengenalan terhadap istilah BTP
Kebiasaan
membaca
BTP
Kriteria eksklusi 2:
Tidak membaca informasi
BTP pada label
membaca
15-24 tahun
n=156
15-24 tahun
n=10
>24 tahun
n=123
>24 tahun
n=25
Pengaruh informasi BTP pada label
terhadap keputusan pembelian
Gambar 5. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Survei
Profil
responden
Alasan
Stop
Alasan
Tidak
Kebiasaan
membaca label
Kepedulian
terhadap
informasi BTP
Selalu/kadang2
Mencukupi n &
menyeimbangka
n pria & wanita
Tidak
Wanita/
Pria seimbang
n24 tahun, diperoleh beberapa masukan perbaikan
kuesioner. Tabel 4 menunjukkan masukan dan perbaikan yang dilakukan
berdasarkan pengujian tersebut.
Tabel 4. Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner
No.
pertanyaan
8
25
27
29
31
33
Pertanyaan
Sebelum perbaikan
Setelah perbaikan
Berapa kali frekuensi Berapa kali frekuensi
berbelanja produk
berbelanja produk
pangan?
pangan olahan dalam
kemasan setiap
bulannya?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pemanis?
pemanis yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pengawet?
pengawet yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pewarna?
pewarna yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung penguat mengandung BTP
rasa?
penguat rasa yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung perisa? mengandung BTP
perisa yang diijinkan
oleh Badan POM
RI?
Keterangan
Perlu diperjelas
produk pangan yang
dimaksud, yakni
yang berada dalam
kemasan
Penambahan
informasi menjadi
BTP yang diijinkan
oleh Badan POM RI
sangat penting, sebab
sebagian besar
responden masih
mencampuradukkan
BTP dengan bahan
kimia yang tidak
diijinkan
penggunaannya pada
pangan.
Beberapa jawaban responden masih belum sesuai dengan tujuan survei.
Sebagai contoh pada pertanyaan nomor 8, dimana beberapa responden
menganggap produk pangan yang dimaksud adalah termasuk pangan segar
(daging, sayur-mayur, dan lain-lain) yang tidak memiliki nomor registrasi.
Komposisi responden yang menjawab sesuai, tidak sesuai, dan bahkan tidak
menjawab (karena tidak mengerti) disajikan pada Gambar 7.
Usia
(tahun)
No pertanyaan
n= 15-24 tahun & >24 tahun = 15
Gambar 7. Frekuensi jawaban responden pada saat pengujian kuesioner
Profil responden
Dari segi pendidikan, kelompok 15-24 tahun didom
BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepedulian Konsumen
terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label
Kemasan Pangan di Kota Bogor adalah benar-benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Hendry Noer Fadlillah
NIM F252124085
RINGKASAN
HENDRY NOER FADLILLAH. Kepedulian Konsumen terhadap Label dan
Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota
Bogor. Di bawah supervisi LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Setiap produk pangan yang diedarkan wajib memiliki label pada
kemasannya. Label tersebut dapat menjadi sarana komunikasi antara produsen dan
konsumen. Kebiasaan membaca label dapat membantu konsumen untuk
mengetahui informasi terkait produk yang akan dibeli. Beberapa informasi yang
dimaksud antara lain mengenai produsen, keamanan, kandungan gizi, komposisi,
dan lainnya. Salah satu informasi penting yang bisa diperoleh dari membaca label
adalah mengenai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Penggunaan BTP merupakan
praktek yang umum terjadi dewasa ini. BTP adalah bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP bukan untuk
dikonsumsi langsung, tetapi ditambahkan untuk tujuan dan fungsi tertentu, seperti
menjaga kestabilan emulsi, memberi aroma atau rasa, meningkatkan cita rasa,
memperpanjang umur simpan, mencegah penggumpalan, mempertahankan warna,
dan lainnya. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP
dalam jenis dan jumlah yang spesifik. Walau digunakan dalam jumlah yang
sedikit, penggunaan BTP diatur secara ketat. Di Indonesia, secara teknis, BTP
diatur oleh Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI. Beberapa hal yang
diatur antara lain jenis yang diijinkan, batas maksimum penggunaan, persyaratan,
hingga pencantuman pada label.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data mengenai kebiasaan
konsumen dalam membaca label, informasi yang dibaca oleh konsumen pada
label, pengenalan konsumen terhadap BTP, dan seberapa besar kepedulian
terhadap BTP. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dan industri pangan untuk menyusun strategi dalam memberikan
edukasi. Selain itu penelitian ini juga penting bagi produsen dalam pengembangan
produk dan juga menyusun strategi promosi di pasar.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan mewawancarai
responden. Area studi dilaksanakan di Kota Bogor. Responden dibagi ke dalam
dua kelompok, yakni usia 15-24 tahun dan usia 24 tahun. Survei dilakukan
dengan pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator.
Responden diminta untuk mengisi setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner.
Pertanyaan dalam kuesioner dibagi dalam beberapa bagian, yang meliputi profil
responden, kebiasaan membaca dan kepedulian terhadap label, serta pemahaman
dan kepedulian mengenai BTP. Data diolah secara statistik dengan menggunakan
Microsoft Excel dan SPSS.
Hasil penelitian yang melibatkan 201 responden usia 15-24 tahun dan 150
responden usia >24 tahun, menunjukkan bahwa responden yang selalu membaca
label untuk kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 22%
dan 67%. Berdasarkan uji statistik kelompok usia lebih dari 24 tahun, memiliki
kebiasaan dalam membaca label lebih sering secara nyata dibandingkan dengan
kelompok usia 15-24 tahun. Informasi yang paling diperhatikan pada label untuk
kelompok 15-24 tahun adalah klaim kesehatan, mengetahui informasi BTP, dan
berat/volume pangan di dalam kemasan. Sedangkan kelompok >24 tahun lebih
memperhatikan nomor registrasi, nama produsen, dan berat/volume. Jumlah
responden yang mengenal istilah BTP untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun
masing-masing adalah 95% dan 73% dari yang membaca label. Secara statistik
usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan kelompok usia >24
tahun. Sebanyak 19% responden selalu membaca informasi BTP pada kelompok
15-24 tahun, dan 24% pada kelompok >24 tahun. Sumber utama informasi BTP
pada responden berusia 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah.
Sedangkan bagi responden berusia >24 tahun, sumber informasi BTP utamanya
berasal dari televisi dan sekolah/kuliah. BTP yang paling banyak mendapat
perhatian untuk kedua kelompok tersebut adalah perisa dan penguat rasa.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan korelasi antara kebiasaan membaca
label dengan jenis kelamin (pada usia 15-24 tahun), serta pendidikan dan
pendapatan (pada usia 15-24 tahun dan >24 tahun). Responden wanita lebih
sering membaca label dibandingkan responden pria pada kelompok 15-24 tahun.
Selain itu, semakin tinggi pendidikan dan pendapatan juga menunjukkan
kebiasaan membaca label lebih sering pada kedua kelompok tersebut.
Kata kunci: label pangan, bahan tambahan pangan, komposisi, kepedulian
konsumen
SUMMARY
HENDRY NOER FADLILLAH. Consumer Awareness on Label of Food
Packaging and Information of Food Additives in Bogor City. Supervised by
LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Label on the food packaging is a compulsory. It could be
communication media between producers and consumers. Consumer’s habit of
reading the labels can help them to get information about the products to be
purchased. The information includes the manufacturer, safety, nutrition content,
composition, and others. One of the important information that can be obtained
from reading the label is about food additives. The used of food additive is
general practices in food industries. Food additive are substances added to food to
improve properties of food. Food additives are not for direct consumption, but to
provide spesific purpose and function, such as emulsifying, flavoring, enhancing
taste, increasing shelf life, preventing cacking, protecting color, and others. Most
of processed food contain food additive in certain amount. Evenhough it is used
in small amount, food additive is tighly regulated. Technically, in Indonesia, food
additives are regulated by Ministry of Health and National Agency of Food and
Drug Control (NAFDC). The regulation include variety of food additive that can
be added to food, maximum level permitted, requirement and information allowed
on label.
This research was conducted to evaluate consumer’s habit in Bogor city in
reading food label, their awareness on label information, understanding and
awareness of food additives. The obtained data could be used by government and
food industries to develop education program. Industries could also use the data
for consideration in developing new products and develop promotion program.
The research was conducted by interviewing respondents in Bogor City.
The respondent was divided into two groups. The first group was 15-24 years old
respondent, and the second groups was >24 years old respondent. Question
divided into several parts, including respondent profile, habit and awareness in
reading label, understanding and awareness on food additives. Data are analyzed
statistically by using Microsoft Excel and SPSS program.
There were 201 for 15-24 years old respondent and 150 for >24 years old
respondent. Respondents, who always read label for 15-24 and >24 years old
group are 22% and 67%. Statistically, the frequency of reading label of >24 year
old respondents significantly higher than 15-24 years old respondents. The
information read by 15-24 years old respondents were mostly health claim, food
additive information and weight/volume; while registration number, producer
name, and weight/volume were mostly read by the other group. The survey
showed 15-24 years old respondents had better knowledge on food additives than
>24 year old group. The number of respondents who were familiar with the term
of food additive for groups of 15-24 and > 24 years respectively 95 % and 73 %
of respondents reading label. Statistically aged 15-24 years was more familiar
with the term food additive than group > 24 years. As many as 19 % of
respondents of 15-24 years always read food additive information, and 24 % of
respondents of >24 years. The main source of food additives information of
respondents aged 15-24 years were internet and school /college. As for
respondents aged> 24 years, food additive information mainly from television and
school / college. Flavor and flavor enhancer were the most aware food additives
by both group.
The results also showed a correlation between the habit of reading labels
by gender (age 15-24 years), as well as education and income (at the age of 15-24
years and > 24 years). Respondents female were more often to read label than
male respondents on group of 15-24 years. Moreover, the higher education and
income also showed the habit of reading labels more frequently in both groups.
Key words: food label, food additive, ingredients, consumer awareness
Hak Cipta Milik IPB, 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI
BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
Pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Judul Tesis
Nama
NIM
: Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan
Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota
Bogor
: Hendry Noer Fadlillah
: F252124085
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Lilis Nuraida, MSc
Ketua
Dr Eko Hari Purnomo STP, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 26 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 hingga September 2015 ini adalah
Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan
(BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilis Nuraida dan Dr Eko
Hari Purnomo yang telah banyak memberikan saran untuk penyelesaian
penelitian, serta Dr Ir Nurheni Sri Palupi yang juga memberi masukan terhadap
hasil penelitian ini . Di samping itu, penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Bapak dan Ibu Pimpinan PT Media Pangan Indonesia yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk penyelesaian studi. Ungkapan
terima kasih juga dihaturkan kepada bapak, ibu, istri, dua buah hati, dan seluruh
keluarga yang telah mendukung dan memberikan doa kepada Penulis. Kepada
rekan-rekan di MPTP dan PT Media Pangan Indonesia, penulis juga
menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini,
terutama pada saat penyelesaian studi. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Hendry Noer Fadlillah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Label Pangan
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Keamanan BTP
Peraturan Pelabelan BTP
Kepedulian terhadap Label
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Metode
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian kuesioner
Profil Responden
Perilaku Konsumen dalam Membaca Label
Pengaruh Label terhadap Keputusan Pembelian
Informasi yang Diperhatikan pada Label
Pengenalan Responden terhadap BTP
Jenis BTP yang Menjadi Perhatian Konsumen
BTP Pemanis
BTP Pewarna
BTP Pengawet
BTP Penguat Rasa
BTP Perisa
Hasil Uji Korelasi
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
xii
xiii
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
6
7
11
11
11
16
16
17
17
18
20
21
26
26
27
28
29
30
31
34
35
38
50
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen
Amerika Serikat
Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden
Fungsi dan penggunaan informasi jumlah ingridien oleh konsumen
8
10
10
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Irlandia
Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner
Karakteristik responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
untuk kepedulian terhadap label dan informasi BTP
Alasan responden membaca label
Alasan responden tidak membaca label
Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen
saat membaca label
Alasan responden membaca informasi BTP
Alasan responden tidak membaca informasi BTP
BTP yang paling menjadi perhatian responden
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP
pengawet
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat
rasa
Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa
Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi
BTP
Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan
kebiasaan membaca label
16
18
19
20
22
25
26
27
27
29
29
30
31
33
34
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat
Frekuensi membaca label konsumen Irlandia
Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia
Tahapan penelitian
Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Tahapan pelaksanaan survei
Frekuensi jawaban responden pada pengujian kuesioner
Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label
Pengaruh label terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan
tingkatan usia
10. Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP
11. Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia
responden
12. Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia
13. Kebiasaan konsumen berdasarkan kelompok usia dalam membaca
informasi BTP
14. Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian
15. Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan Pembelian
responden berdasarkan tingkatan usia
16. Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian
berdasarkan tingkatan usia
17. Pengaruh kandungan BTP pengawet terhadap keputusan pembelian
8
9
9
12
14
15
17
19
21
23
23
24
25
25
27
28
29
berdasarkan tingkatan usia
18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian 30
berdasarkan tingkatan usia
19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian 31
berdasarkan tingkatan usia
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data
Perancangan pertanyaan untuk kuesioner
39
47
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian
kemasan pangan (PP, 1999). Pemberian label pangan bertujuan untuk
memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan
(UU, 2012). Oleh sebab itu, konsumen perlu memberikan perhatian yang cukup
terhadap informasi yang tercantum pada label pangan, termasuk diantaranya
mengenai bahan tambahan pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk pangan
merupakan praktek yang umum terjadi di industri pangan. Hampir semua produk
pangan dalam kemasan mengandung BTP. Industri menggunakan BTP untuk
fungsi tertentu, karena BTP dalam produk pangan memiliki sifat dan peranan
yang spesifik. Berdasarkan fungsinya, CAC (2014a) membagi BTP ke dalam
beberapa kelas, yakni sebagai pengatur keasaman, antikempal, antibuih,
antioksidan, pemutih, peningkat volume, pengkarbonasi, pembawa, peretensi
warna, pengemulsi, garam pengemulsi, pengeras, penguat flavor, perlakuan
tepung, pembuih, pembentuk gel, pelapis, humektan, gas untuk kemasan,
pengawet, propelan, sekuestran, penstabil, pemanis, dan pengental.
Penggunaan BTP diatur secara ketat, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga
di dunia internasional. Sebelum digunakan, BTP harus mendapat ijin terlebih
dahulu dari lembaga terkait. Di Indonesia, BTP wajib terlebih dahulu didaftarkan
ke Badan POM RI. Praktek penggunaan BTP telah diatur oleh Pemerintah, baik
dalam bentuk Undang-undang (Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan), Peraturan Menteri Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 033
tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan), atau Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI. No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim
dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI No. 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP
Pemanis, dan lain-lain). Beberapa hal yang diatur antara lain meliputi jenis dan
batas maksimum penggunaan BTP, pencantumannya pada label, dan lainnya.
Namun demikian, masih banyak praktek-praktek penggunaan BTP yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain dosis yang menyalahi aturan,
penggunaan bahan kimia berbahaya yang bukan diperuntukkan sebagai BTP, dan
lainnya.
Selain itu terdapat BTP yang harus mendapat perhatian khusus bagi
kelompok konsumen tertentu. EFSA (2014) menyebutkan, bahwa penderita
fenilketonuria (PKU) dilarang untuk mengonsumsi pemanis buatan aspartam.
PKU merupakan suatu kondisi kelainan dalam metabolisme asam amino.
Konsumsi aspartam dapat membahayakan penderita PKU, sebab dapat
menyebabkan peningkatan asam amino fenilalanin dan bersifat toksik.
Sebaliknya, bagi penderita diabetes, sangat penting untuk memilih produk dengan
pemanis rendah kalori.
Perhatian terhadap BTP juga penting untuk menakar jumlah yang boleh
dikonsumsi, sebab sebagian diantaranya memiliki nilai ADI (acceptable daily
intake). Artinya konsumen tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi BTP
tertentu, karena dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Oleh sebab itu
informasi dan pengetahuan mengenai BTP sangat penting bagi konsumen.
Pemerintah melalui Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan
mewajibkan produsen untuk mencantumkan label pada kemasan. Salah satu
informasi yang wajib dicantumkan pada dalam label adalah daftar bahan yang
digunakan, termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan (BTP).
Konsumen perlu menjadikan BTP sebagai salah satu bahan pertimbangan
untuk memilih dan membeli produk pangan. Pemahaman dan perhatian terhadap
BTP produk pangan dapat membantu konsumen dalam memilih produk yang tepat
dan meminimalkan risiko kesehatan yang mungkin dapat muncul karena BTP.
Perumusan Masalah
Label merupakan sarana yang penting bagi konsumen untuk menilai suatu
produk pangan, termasuk BTP. Namun demikian, saat ini masih terdapat
keterbatasan data mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen membaca label,
serta jenis informasi yang diperlukan konsumen pada label. Bahkan untuk BTP,
studi yang secara khusus mengevaluasi pemahaman dan kepedulian konsumen
masih terbatas, sehingga dapat menyulitkan bagi pemerintah dan produsen dalam
menentukan strategi edukasi dan promosi yang tepat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi mengenai
perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, termasuk jenis informasi
yang diperhatikan pada label. Selain itu, penelitian ini untuk mengevaluasi
apakah responden mengenal BTP dan juga seberapa besar kepedulian responden
terhadap informasi BTP pada label kemasan pangan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberi informasi mengenai perilaku dan
kebiasaan konsumen dalam membaca label, serta tingkat pengenalan dan
kepedulian konsumen terhadap informasi BTP pada label. Data yang diperoleh
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan dalam
mendesain strategi edukasi dan promosi bagi konsumen. Data yang ada juga bisa
digunakan sebagai masukan bagi pengembangan produk baru di industri pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode survei terhadap responden di wilayah
Kota Bogor. Produk yang dimaksud adalah produk pangan dalam kemasan.
Pemilihan produk dalam kemasan karena hanya pada produk tersebut konsumen
dapat memperoleh informasi BTP yang digunakan, sesuai yang tercantum pada
label pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Label pangan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, label pangan didefinisikan sebagai setiap keterangan mengenai
pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain
yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan. Pemberian label pangan bertujuan untuk
memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan.
Informasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan asal, keamanan, mutu,
kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan (UU, 2012).
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label
pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label sebagaimana dimaksud
berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya
terdiri dari nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi
bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa (PP, 1999).
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes, 2012).
Sedangkan CAC (2014b) mendefinisikan bahan tambahan pangan (food additives)
sebagai senyawa yang tidak dikonsumsi dalam bentuk tunggal secara langsung
dan tidak digunakan sebagai ingridien pangan, baik mempunyai nilai gizi atau
tidak, yang penambahannya bertujuan untuk tujuan teknologi (termasuk
organoleptik) dalam pengolahan, penyiapan, perlakukan, pengemasan,
transportasi, atau alasan lainnya -baik berdampak secara langsung atau tidak,
dimana penambahannya dapat mempengaruhi karakteristik pangan. Definisi
tersebut senada dengan persyaratan BTP yang ditetapkan Kemenkes (2012),
yakni:
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak
diberlakukan sebagai bahan pangan.
b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan,
pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, dan/atau
pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Keamanan BTP
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia,
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi (UU, 2012). Salah satu fokus perhatian dalam
penyelenggaraan keamanan pangan dalam Undang-undang tersebut adalah
pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Pemerintah berkewajiban
memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan
atau proses produksi pangan untuk diedarkan. Pemeriksaan keamanan bahan
tambahan dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Setiap orang yang
melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan: a) bahan
tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
dan/atau b) bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan (BTP) hanya boleh digunakan bila tidak melebihi batas
maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Selain itu, penambahan dan
pengurangan jenis BTP serta batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan
harus mempertimbangkan persyaratan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang
sahih. Pengkajian dilakukan oleh Tim Mitra Bestari, yakni kelompok pakar yang
ditetapkan oleh Kepala Badan untuk melakukan pengkajian dan memberikan
rekomendasi tentang penggunaan komponen baru serta klaim gizi dan kesehatan.
Batas Maksimum adalah jumlah maksimum BTP yang diizinkan terdapat
pada pangan dalam satuan yang ditetapkan. Batas Maksimum penggunaan BTP
dapat berupa suatu nilai tertentu atau berdasarkan good manufacturing practices.
Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik atau good manufacturing
practice adalah jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah
secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM,
2014).
Secara internasional, di CAC (2014b), kajian keamanan BTP dilakukan oleh
oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). Setelah
lolos pengujian, kemudian mendapatkan nomor INS (International Numbering
System). Sementara itu di Uni Eropa, kajian terhadap keamanan BTP dilakukan
oleh suatu panel ilmiah yang ditetapkan oleh EFSA (European Food Safety
Authority). BTP yang telah mendapatkan ijin penggunaannya kemudian diberikan
nomor E.
Penetapan batas maksimum BTP yang bisa digunakan mengacu pada nilai
ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima. ADI
didefinisikan sebagai jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram
per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa
menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan (Kemenkes, 2012).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan juga diatur mengenai Bahan yang Dilarang Digunakan sebagai
BTP. Bahan-bahan tersebut antara lain asam borat dan senyawanya (boric acid),
asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt), dietilpirokarbonat
(diethylpyrocarbonate, DEPC), dulsin (dulcin), formalin (formaldehyde), kalium
bromat (potassium bromate), kalium klorat (potassium chlorate), kloramfenikol
(chloramphenicol), minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils),
nitrofurazon (nitrofurazone), dulkamara (dulcamara), kokain (cocaine),
nitrobenzen (nitrobenzene), sinamil antranilat (cinamyl anthranilate),
dihidrosafrol (dihydrosafrole), biji tonka (tonka bean), minyak kalamus (calamus
oil), minyak tansi (tansy oil), dan minyak sasafras (sasafras oil).
BTP terdiri dari banyak jenis. Peraturan Menteri Kesehatan RI (2012)
membagi BTP dalam 27 golongan berdasarkan fungsinya, yakni antibuih
(antifoaming agent), antikempal (anticacking agent), antioksidan (antioxidant),
bahan pengkarbonasi (carbonating agent), garam pengemulsi (emulsifying salt),
gas untuk kemasan (packaging gas), humektan (humectant), pelapis (glazing
agent), pemanis (sweetener), pembawa (carrier), pembentuk gel (gelling agent),
pembuih (foaming agent), pengatur keasaman (acidity regulator), pengawet
(preservative), pengembang (raising agent), pengemulsi (emulsifier), pengental
(thickener), pengeras (firming agent), penguat rasa (flavor enhancer), peningkat
volume (bulking agent), penstabil (stabilizer), peretensi warna (colour retention
agent), perisa (flavouring), perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna
(colour), propelan (propellant), dan sekuestran (sequestrant). Di dalam golongan
tersebut terdapat beberapa jenis BTP, misalnya untuk antibuih, terdiri dari kalsium
alginat (calcium alginate) serta mono dan digliserida asam lemak (mono- and diglycerides of fatty acids).
Beberapa jenis BTP yang sering menjadi perhatian konsumen antara lain:
BTP Pemanis
Pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa pemanis alami
dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan. Pemanis
alami (natural sweetener) merupakan pemanis yang dapat ditemukan dalam
bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi, sedangkan
pemanis buatan (artificial sweetener) didefinisikan sebagai pemanis yang
diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam. Pemanis
alami yang diijinkan penggunaannya di Indonesia antara lain sorbitol (sorbitol),
manitol (mannitol), isomalt/isomaltitol (Isomalt/Isomaltitol), glikosida steviol
(steviol glycoside), maltitol (maltitol), laktitol (lactitol), silitol (xylitol), dan
eritritol (erythritol). Sedangkan pemanis buatan yang diijinkan adalah asesulfamK (acesulfame potassium), aspartam (aspartame), siklamat (cyclamates), sakarin
(saccharins), sukralosa (sucralose/ Trichlorogalactosucrose), dan neotam
(neotame) (BPOM, 2014).
BTP Pewarna
Pewarna (colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan
pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan mampu
memberi atau memperbaiki warna. Pewarna alami (natural food colour) adalah
pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sintesis
parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk pewarna
identik alami. Pewarna sintetis (synthetic food colour) adalah pewarna yang
diperoleh secara sintesis kimiawi. Jenis BTP pewarna alami yang diijinkan
penggunaannya di Indonesia adalah kurkumin CI. No. 75300 (curcumin),
riboflavin (riboflavins), karmin dan ekstrak cochineal CI. No. 75470 (carmines
and cochineal extract), klorofil CI. No. 75810 (chlorophyll), klorofil dan
klorofilin tembaga kompleks CI. No. 75810 (chlorophylls and chlorophyllins,
copper complexes), karamel I (caramel I – plain), karamel III amonia proses
(caramel III - ammonia process), karamel IV amonia sulfit proses (caramel IV sulphite ammonia process), karbon tanaman CI. 77266 (Vegetable carbon), betakaroten (sayuran) CI. No. 75130 (carotenes, beta (vegetable), ekstrak anato CI.
No. 75120 (berbasis bixin) (annatto extracts, bixin based), karotenoid
(Carotenoids), merah bit (beet red), antosianin (anthocyanins), dan titanium
dioksida CI. No. 77891 (titanium dioxide). Sedangkan pewarna buatan yang
diijinkan antara lain tartrazin CI. No. 19140 (tartrazine), kuning kuinolin CI. No.
47005 (quinoline yellow), kuning FCF CI. No. 15985 (Sunset yellow FCF),
karmoisin CI. No. 14720 (azorubine (carmoisine)), ponceau 4R CI. No. 16255
(Ponceau 4R (cochineal red A)), eritrosin CI. No. 45430 (erythrosine), merah
allura CI. No. 16035 (allura red AC), indigotin CI. No. 73015 (Indigotine (indigo
carmine)), biru berlian FCF CI No. 42090 (brilliant blue FCF); hijau FCF CI. No.
42053 (fast green FCF), dan coklat HT CI. No. 20285 (brown HT) (BPOM,
2013a).
BTP Pengawet
Pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya
terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet yang diijinkan
penggunaannya antara lain asam sorbat dan garamnya (sorbic acid and its salts),
asam benzoat dan garamnya (benzoic acid and its salts), etil para-hidroksibenzoat
(ethyl para-hydroxybenzoate), metil para-hidroksibenzoat (methyl parahydroxybenzoate), sulfit (sulphites), nisin (nisin), nitrit (nitrites), nitrat (nitrates),
asam propionat dan garamnya (propionic acid and its salts) serta lisozim
hidroklorida (lysozyme hydrochloride) (BPOM, 2013b).
BTP Penguat rasa
Penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk
memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan
pangan tersebut tanpa memberikan rasa dan/atau aroma tertentu. BTP penguat
rasa yang diijinkan di Indonesia antara lain asam L-glutamat dan garamnya (LGlutamic acid and its salts), asam guanilat dan garamnya (guanylic acid and its
salts), asam inosinat dan garamnya (inosinic acid and its salts), serta garamgaram dari 5’-ribonukleotida (salts of 5’-ribonucleotides) (BPOM, 2013c).
BTP Perisa
Perisa (flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat
konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan
untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam. Perisa
(flavouring) dikelompokkan menjadi perisa alami, perisa identik alami, dan perisa
artifisial (Permenkes, 2012).
Peraturan pelabelan BTP
Menurut Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, setiap pihak baik perseorangan maupun korporasi, wajib mencantumkan label dalam kemasan
pangan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
disebutkan bahwa informasi yang wajib tercantum pada label antara lain nama
produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih, nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan;
tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin
edar bagi pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu (UU No. 18 tahun
2012).
Keterangan tentang bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan dicantumkan pada Label sebagai daftar bahan secara berurutan
dimulai dari bagian yang terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah
gizi lainnya (PP No. 69 tahun 1999). Untuk pangan yang mengandung Bahan
Tambahan Pangan, pada Label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan
Pangan. Bila BTP yang digunakan memiliki nama dan atau kode internasional,
pada Label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional
dimaksud, kecuali BTP berupa pewarna. Untuk pewarna, selain pencantuman
golongan dan nama BTP, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang
bersangkutan (PP, 2009). Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan disebutkan BTP golongan
antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa, wajib
dicantumkan pula nama jenis BTP, dan nomor indeks khusus untuk pewarna.
Sedangkan pada label sediaan BTP, wajib dicantumkan a) tulisan “Bahan
Tambahan Pangan”, b) nama golongan BTP, c) nama jenis BTP, dan d) nomor
pendaftaran produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table
top.
Selain itu, pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib
dicantumkan tulisan “Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi
oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”. Sedangkan
pada label pangan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah
yang menggunakan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan “Untuk penderita
diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah.” Produk
yang menggunakan pemanis aspartam juga wajib memberikan peringatan pada
label berupa “Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita
fenilketonurik.” Peringatan lain yang wajib dicantumkan pada label adalah jika
menggunakan poliol, yakni berupa tulisan “Konsumsi berlebihan mempunyai efek
laksatif.” Pangan yang menggunakan gula dan pemanis buatan juga wajib
mencantumkan tulisan “Mengandung gula dan pemanis buatan” (BPOM, 2012).
Tidak hanya untuk pemanis, pada label pangan olahan yang mengandung perisa,
wajib dicantumkan nama kelompok perisa dalam daftar bahan atau ingredient.
Termasuk juga BTP ikutan (carry over), wajib dicantumkan setelah bahan yang
mengandung BTP tersebut (BPOM, 2012).
Kepedulian terhadap label
Survei yang dilakukan oleh International Food Information Council
Foundation (2012) di Amerika Serikat menunjukkan, informasi dalam label
pangan mempengaruhi keputusan dalam membeli produk pangan.
Masa
kedaluwarsa dan informasi nilai gizi adalah informasi utama yang menjadi
perhatian konsumen. Sementara itu, daftar ingridien (termasuk BTP) berada di
urutan ketiga. Data tersebut juga menyebutkan, orang tua (usia 65-80 tahun)
adalah golongan yang paling peduli terhadap daftar ingridien, masa kedaluwarsa,
informasi nilai gizi, petunjuk memasak, dan juga informasi terhadap ada tidaknya
jenis ingridien tertentu (Tabel 1). Selain itu, diungkapkan konsumen Amerika
Serikat percaya bahwa penambahan BTP bertujuan untuk memberikan manfaat
tertentu. Beberapa manfaat dari penambahan BTP yang diketahui oleh konsumen
Amerika Serikat adalah mempertahankan kesegaran, meningkatkan warna, dan
menjaga flavor. Sedangkan dalam jumlah kecil menyadari keberadaan BTP yang
berfungsi sebagai anti bakteri (Gambar 1). Sementara itu penelitian yang
dilakukan oleh Kozelova et al.. (2012) melaporkan, mayoritas (87%) konsumen
mengetahui informasi dan fungsi dari BTP. Ketepatan jawaban kuesioner dalam
penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan.
Tabel 1. Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen
Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Jenis Informasi
%
Masa kedaluwarsa*
76
Informasi nilai gizi
66
Komposisi ingridien*
51
Takaran saji
50
Kalori dan informasi gizi pada bagian depan kemasan*
48
Merek
46
Petunjuk memasak/waktu penyiapan*
45
Pernyataan mengenai klaim gizi
42
Pernyataan mengenai klaim kesehatan
30
Pernyataan mengenai keberadaan ingridien tertentu*
24
Lainnya
4
Tidak satupun dari penyataan di atas
3
* Konsumen usia lanjut, khususnya yang berusia 65 hingga 80 tahun, memiliki
kecenderungan melihat informasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman yang
dimilikinya, sehingga lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan dan memilih makanan
yang akan dibeli.
Gambar 1. Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Food Safety Authority of Ireland (2009)
menunjukkan, sebanyak 25% responden Irlandia selalu membaca label ketika
akan membeli produk pangan (Gambar 2). Informasi yang paling dicari ketika
membaca label adalah informasi nilai gizi, jumlah kalori, dan ingridien tertentu
(Gambar 3).
Gambar 2. Frekuensi membaca label konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
Gambar 3. Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen
Irlandia (FSAI, 2009)
Dari segi tingkat kepentingan, sebagian besar responden menganggap
informasi nama produk sebagai yang terpenting, kemudian diikuti oleh informasi
ingridien dan kuantitas ingridien tertentu (Tabel 2). Di Irlandia, jumlah ingridien
yang ditambahkan pada produk wajib dinyatakan dalam produk pangan. Dalam
survei FSAI (2009) terungkap, 31% responden tidak menggunakan informasi
tersebut. Sedangkan 29% menyatakan informasi jumlah ingridien penting untuk
mengetahui kuantitasnya dan 22% berpendapat informasi tersebut dapat
mempengaruhi keputusan pembelian (Tabel 3). Namun demikian, terdapat sekitar
27% yang jarang atau bahkan tidak pernah membaca label saat membeli produk
pangan. Alasannya antara lain loyalitas terhadap merek, waktu yang terlalu
sempit, kekurangan informasi akan pentingnya label, bingung karena terlalu
banyak informasi pada label, dan lainnya.
Tabel 2. Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden (FSAI, 2009).
Tingkat kepentingan (%)
Informasi
Sangat
Kurang
Penting
Tidak penting
penting
penting
Nama pangan
55
17
14
6
Jenis ingridien
44
28
16
5
Jumlah ingridien
32
32
20
8
Berat/volume
26
22
15
15
Masa
81
12
12
12
kedaluwarsa
Petunjuk
penyimpanan
31
30
22
8
Kontak produsen
30
22
21
11
Asal
40
26
19
8
Instruksi
penggunaan
39
30
17
7
Kadar alcohol
28
17
10
23
Tabel 3. Fungsi dan penggunaan informasi jumlah
ingridien oleh konsumen Irlandia (FSAI,
2009)
Fungsi
%
Tidak menggunakan
31
Mengetahui jumlah masing-masing ingridien
29
Mempengaruhi pembelian
22
Menghitung kalori dan lemak
13
Memperkirakan jumlah garam dan gula
6
Tidak memberikan jawaban
2
Memperkirakan zat gizi
2
Tidak tahu
1
Menghitung pengawet
1
Menentukan mutu
0.4
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Zahara dan Triyanti (2009)
menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan membaca label informasi zat gizi dan
komposisi zat gizi pada responden umumnya masih rendah untuk label informasi
zat gizi (39,1%) dan untuk label komposisi zat gizi (38,9%). Penelitian yang
dilakukan oleh Devi et al.. (2013) menyebutkan, 82,1% responden yang berasal
dari konsumen swalayan ADA, memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap
label pangan. Namun demikian, responden dalam penelitian tersebut masih
seragam, dan belum memberikan informasi yang spesifik mengenai jenis
informasi pada label yang menjadi perhatian konsumen.
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) kuesioner
sebagai instrumen pengumpulan data, 2) label produk pangan sebagai contoh,
serta 3) program SPSS serta excel untuk pengolahan data.
Metode
Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survei dengan interview
secara langsung oleh enumerator. Namun sebelumnya, terlebih dahulu dilakukan
penetapan responden, penyusunan kuesioner, pelatihan enumerator, dan pengujian
kuesioner. Setelah itu, kemudian dilakukan survei di area Kota Bogor, pada bulan
Juni hingga September. Gambar 4 menunjukkan tahapan penelitian yang
dilakukan. Kuesioner lengkap disajikan pada Lampiran 1.
Penetapan responden
Dalam penelitian ini dipilih kelompok usia 15-24 dan >24 tahun.
Kelompok usia 15-24 tahun termasuk dalam pengelompokan usia tertentu dan
digunakan untuk mengevaluasi sasaran program pendidikan remaja. Usia tersebut
berada dalam masa sekolah menengah dan perguruan tinggi (BPS, 2014).
Penelitian ini mengevaluasi kelompok usia di atasnya (>24 tahun), karena kedua
kelompok (15-24 dan >24 tahun) tersebut memiliki perbedaan karakter (seperti
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), yang kemungkinan dapat mempengaruhi
kebiasaan membaca label dan kepedulian terhadap informasi BTP. Berdasarkan
hal tersebut, kriteria inklusi dalam untuk mengetahui kebiasaan responden dalam
membaca label adalah penduduk kota Bogor berusia 15-24 tahun dan lebih dari 24
tahun, serta berbelanja produk dalam kemasan. Sementara itu, untuk menggali
kepedulian responden terhadap label maka untuk kriteria eksklusi ditambah
konsumen yang tidak membaca label. Untuk kepedulian responden terhadap
informasi BTP, kriteria eksklusinya bertambah tidak membaca informasi BTP
pada label kemasan (Gambar 5).
Survei dilakukan di beberapa tempat umum, seperti sekolah, tempat
perbelanjaan, kantin, dan lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015)
menyebutkan jumlah penduduk kota Bogor mencapai 1.013.019 jiwa.
Berdasarkan rumus Slovin maka jumlah sampel (Sevilla, 2007) yang perlu
diambil untuk masing-masing kelompok adalah 100 orang.
Rumus Slovin:
n=
n=
N
1 + N (e2)
1.013.019
1 1 + 1.013.019 (0.1)2
n=99,99
Keterangan:
N
= ukuran populasi
n
= ukuran sampel
e
= nilai batas ketelitian kesalahan dalam penarikan sampel (presisi yang
ditetapkan 10%, dengan tingkat kepercayaan 90%)
Penetapan
responden
Penyusunan
kuesioner
Pelatihan
enumerator
Pengujian
kuesioner
Pelaksanaan
survei
Pengolahan
data
Gambar 4. Tahapan penelitian
Total responden yang memenuhi kriteria inklusi dalam survei ini adalah
201 orang untuk kelompok usia 15-24 tahun dan 150 orang untuk kelompok usia
>24 tahun. Kelompok responden 15-24 tahun terdiri dari 100 orang berjenis
kelamin laki-laki, dan 101 orang berjenis kelamin perempuan. Gambar 5
menunjukkan jumlah responden yang memenuhi kriteria eksklusi pada berbagai
bagian survei yang telah dilakukan.
Penyusunan kuesioner
Kuesioner dibagi menjadi 4 bagian, untuk mengetahui profil responden,
kepedulian tentang label, pengetahuan tentang BTP, dan pengaruh informasi BTP
terhadap keputusan untuk membeli. Lampiran 2 menunjukkan informasi yang
ingin diketahui dari penyusunan kuesioner. Kuesioner disusun dengan
menggunakan pertanyaan tertutup.
Pelatihan enumerator
Pelaksanaan survei melibatkan 2 orang enumerator yang berasal dari
Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA IPB. Sebelum
pelaksanaan, enumerator memperoleh dua kali pelatihan. Materi pelatihan
meliputi pemahaman istilah BTP, prosedur survei, penentuan target responden,
dan juga tata cara menyampaikan pertanyaan.
Pengujian kuesioner
Pengujian kuesioner dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang
dibuat mampu menghasilkan data yang sesuai dan juga dapat menjawab tujuan
yang ingin dicapai. Jumlah responden untuk tahapan ini adalah 15 orang untuk
masing-masing kelompok. Enumerator melakukan survei dengan menggunakan
kuesioner yang telah disusun. Setelah itu dilakukan evaluasi, apakah pertanyaan
dan pilihan jawaban yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh responden
atau tidak. Jika masih belum jelas, maka pertanyaan dan jawaban direvisi,
sehingga dapat lebih dimengerti maksudnya oleh responden.
Pelaksanaan survei
Survei dilakukan melalui pengisian kuesioner dan wawancara kepada
responden oleh enumerator. Responden diminta untuk menjawab setiap
pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data kuesioner yang diperoleh lalu dipisah
berdasarkan kelompok usia dan diolah secara statistik. Tahapan survei dapat
dilihat pada Gambar 5.
Pengolahan data
Data yang diperoleh bersifat kategorik dan ordinal, sehingga diolah secara
non parametrik menggunakan program SPSS dan Excel. Pengolahan data
meliputi analisis deskriptif, uji ranking, uji beda, dan analisis korelasi. Analisis
deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui data responden yang berhubungan
dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, serta pendapatan rata-rata
konsumen setiap bulan. Menurut Fukuda dan Yasuo (1997) uji beda dapat
dilakukan menggunakan metode Mann Whitney, untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan hasil antara jawaban responden kelompok 15-24 tahun dengan
>24 tahun. Ranking untuk masing-masing parameter dihitung dari setiap
responden, sehingga diperoleh ranking keseluruhan. Nilai terendah menunjukkan
tingkat ranking yang lebih tinggi. Sedangkan analisis korelasi menggunakan uji
Chi square. Uji tersebut digunakan untuk memeriksa ketergantungan antara dua
variabel (bivariat) dalam 1 populasi, antara lain ketergantungan antara jenis
kelamin dengan kebiasaan membaca label, tingkat pendidikan dengan kebiasaan
membaca label, serta tingkat pendapatan dengan kebiasaan membaca label. Nilai
cross tabulation (crosstab) dari uji Chi square digunakan untuk menentukan arah
dan jenis korelasinya.
Sampling
Kriteria inklusi:
Membeli produk pangan olahan dalam kemasan
Penduduk Kota Bogor
Usia 15-24 tahun & >24 tahun
15-24 tahun
n=201
>24 tahun
n=150
Kebiasaan
Membaca
Label
Kriteria eksklusi 1:
Tidak membaca label
membaca
15-24 tahun
n=166
15-24 tahun
n=35
>24 tahun
n=148
>24 tahun
n=2
Kepedulian terhadap label
Pengenalan terhadap istilah BTP
Kebiasaan
membaca
BTP
Kriteria eksklusi 2:
Tidak membaca informasi
BTP pada label
membaca
15-24 tahun
n=156
15-24 tahun
n=10
>24 tahun
n=123
>24 tahun
n=25
Pengaruh informasi BTP pada label
terhadap keputusan pembelian
Gambar 5. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
Survei
Profil
responden
Alasan
Stop
Alasan
Tidak
Kebiasaan
membaca label
Kepedulian
terhadap
informasi BTP
Selalu/kadang2
Mencukupi n &
menyeimbangka
n pria & wanita
Tidak
Wanita/
Pria seimbang
n24 tahun, diperoleh beberapa masukan perbaikan
kuesioner. Tabel 4 menunjukkan masukan dan perbaikan yang dilakukan
berdasarkan pengujian tersebut.
Tabel 4. Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner
No.
pertanyaan
8
25
27
29
31
33
Pertanyaan
Sebelum perbaikan
Setelah perbaikan
Berapa kali frekuensi Berapa kali frekuensi
berbelanja produk
berbelanja produk
pangan?
pangan olahan dalam
kemasan setiap
bulannya?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pemanis?
pemanis yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pengawet?
pengawet yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung
mengandung BTP
pewarna?
pewarna yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung penguat mengandung BTP
rasa?
penguat rasa yang
diijinkan oleh Badan
POM RI?
Apakah Anda akan
Apakah Anda akan
membeli produk
membeli produk
pangan yang
pangan yang
mengandung perisa? mengandung BTP
perisa yang diijinkan
oleh Badan POM
RI?
Keterangan
Perlu diperjelas
produk pangan yang
dimaksud, yakni
yang berada dalam
kemasan
Penambahan
informasi menjadi
BTP yang diijinkan
oleh Badan POM RI
sangat penting, sebab
sebagian besar
responden masih
mencampuradukkan
BTP dengan bahan
kimia yang tidak
diijinkan
penggunaannya pada
pangan.
Beberapa jawaban responden masih belum sesuai dengan tujuan survei.
Sebagai contoh pada pertanyaan nomor 8, dimana beberapa responden
menganggap produk pangan yang dimaksud adalah termasuk pangan segar
(daging, sayur-mayur, dan lain-lain) yang tidak memiliki nomor registrasi.
Komposisi responden yang menjawab sesuai, tidak sesuai, dan bahkan tidak
menjawab (karena tidak mengerti) disajikan pada Gambar 7.
Usia
(tahun)
No pertanyaan
n= 15-24 tahun & >24 tahun = 15
Gambar 7. Frekuensi jawaban responden pada saat pengujian kuesioner
Profil responden
Dari segi pendidikan, kelompok 15-24 tahun didom