Activity of Bacillus cereus INT1c and Bacillus thuringiensis SGT3g AHL-Lactonase on Xanthomonas oryzae pv. oryzae and Pseudomonas syringae pv. glycinea Patogenicity Inhibition

1

AKTIVITAS AHL-LAKTONASE Bacillus cereus INT1c DAN
Bacillus thuringiensis SGT3g DALAM MENGHAMBAT
PATOGENITAS Xanthomonas oryzae pv. oryzae DAN
Pseudomonas syringae pv. glycinea

VITA ANGGUN CAHYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi
4

1

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas AHL-Laktonase
Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g dalam Menghambat
Patogenitas Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv.
glycinea adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Vita Anggun Cahyani
NIM G351120361

vi
4

RINGKASAN
VITA ANGGUN CAHYANI. Aktivitas AHL-Laktonase Bacillus cereus INT1c

dan Bacillus thuringiensis SGT3g dalam Menghambat Patogenitas Xanthomonas
oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycinea. Dibimbing oleh
IMAN RUSMANA dan NISA RACHMANIA MUBARIK.
Quorum sensing (QS) merupakan mekanisme komunikasi bakteri sebagai
suatu pengaturan ekspresi gen yang bergantung pada jumlah populasi bakteri
tersebut dan akumulasi senyawa autoinducer (AI). AI merupakan molekul sinyal
yang disekresikan, diakumulasi, diserap kembali, dan dikenali oleh bakteri untuk
meregulasi ekspresi gen target. QS pada bakteri Gram negatif menggunakan AI
jenis N-acyl homoserin lactone (AHL) sebagai molekul sinyal. Jika AHL dalam
sel tinggi, akan direspon oleh sel dengan mengaktifkan protein regulator. Protein
regulator membantu ekspresi gen-gen pathogen.
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycinea
merupakan bakteri Gram negatif yang fitopatogen. Kedua bakteri ini melakukan
proses quorum sensing menggunakan N-acylhomoserine lactone (AHL). AHL
merupakan suatu sinyal untuk meregulasi ekspresi dari gen-gen fitopatogen. X.
oryzae pv. oryzae menyebabkan penyakit hawar pada padi (Oryzae sativa) and P.
syringae pv. glycinea menyebabkan penyakit leaf blight pada kedelai (Glycine
max).
Salah satu pendekatan alami untuk mencegah adanya mekanisme quorum
sensing yaitu dengan mendegradasi molekul sinyal menggunakan AHL-laktonase

dari Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g. Studi ini bertujuan
untuk menguji kemampuan aktivitas AHL-laktonase B. cereus INT1c dan B.
thuringiensis SGT3g dalam mendegradasi AHL untuk mencegah patogenitas X.
oryzae pv. oryzae dan P. syringae pv. glycinea.
Aktivitas degradasi AHL telah dikonfirmasi pada B. cereus INT1c and B.
thuringiensis SGT3g menggunakan Chromobacterium violaceum sebagai
bioindikator. Indeks degradasi AHL yang dihasilkan sebesar 0.23 untuk B. cereus
INT1c dan 0.12 untuk B. thuringiensis SGT3g. Uji penghambatan fitopatogen
pada tanaman tembakau bertujuan menentukan perlakuan yang lebih efektif dalam
menghambat fitopatogen untuk diaplikasikan secara in vivo. B. cereus INT1c
lebih efektif dalam menghambat patogenitas X. oryzae pv. oryzae (85.62%),
sedangkan B. thuringiensis SGT3g lebih efektif menghambat patogenitas P.
syringae pv. glycinea (90.51%).
Aktivitas penghambatan terbesar oleh B. cereus INT1c pada uji in vivo
tanaman padi terlihat pada varietas IRBB7 (93.69%) dan terkecil pada varietas
Kencana Bali (65.65%). Sementara itu, pada uji in vivo tanaman kedelai, B.
thuringiensis SGT3g menunjukkan aktivitas penghamatan fitopatogen yang
hampir sama pada varietas Anjasmara dan Wili, yaitu 96% untuk Anjasmara dan
95,35% untuk Wilis.
Kata Kunci: AHL-laktonase, aktivitas penghambatan fitopatogen, Bacillus

cereus, Bacillus thuringiensis, quorum sensing

1

SUMMARY
VITA ANGGUN CAHYANI. Activity of Bacillus cereus INT1c and Bacillus
thuringiensis SGT3g AHL-Lactonase on Xanthomonas oryzae pv. oryzae and
Pseudomonas syringae pv. glycinea Patogenicity Inhibition. Supervised by IMAN
RUSMANA and NISA RACHMANIA MUBARIK.
Quorum sensing (QS) is a mechanism of communication between bacterial
cells mediated by autoinducer (AI) signal molecules and depend on density of
bacterial cells. AI is a signal molecules that secreted, accumulated, reabsorbed,
and recognized by bacteria to regulate the expressions of target genes. QS on
Gram-negative bacteria use N-acyl homoserine lactone (AHL) AI types as signal
molecules. The high level of AHL in the cell will be responded by activating cell
regulatory protein. Regulatory proteins help the expression of pathogens genes.
Xanthomonas oryzae pv. oryzae and Pseudomonas syringae pv. glycinea
are phytopatogenic Gram-negative bacteria that perform quorum sensing using Nacyl homoserine lactone (AHL) signal to regulate expression of their patogenicity
genes. X. oryzae pv. oryzae causes pustule disease on paddy (Oryzae sativa) and P.
syringae pv. glycinea cause leaf blight disease on soybean (Glycine max).

One of natural approaches to inactivate their quorum sensing mechanisms
was by degrading the signal molecules using AHL-lactonase from Bacillus cereus
INT1c and Bacillus thuringiensis SGT3g. This study was conducted to test the
ability of B. cereus INT1c and B. thuringiensis SGT3g AHL lactonase activity in
degrading AHL to inhibit X. oryzae pv. oryzae and P. syringae pv. glycinea
patogenicity.
AHL degradation activity had been confirmed in B. cereus INT1c and B.
thuringiensis SGT3g using Chromobacterium violaceum as bioindicator with
inhibition index 0.23 and 0.12, respectively. Inhibition test by using tobacco
plants was used to determine which is the most effective to inhibit phytopatogen
in vivo. B. cereus INT1c was more effective to inhibit X. oryzae pv. oryzae
patogenicity (85.62%) whereas B. thuringiensis SGT3g was more effective to
inhibit P. syringae pv. glycinea pathogenicity, it was up to 90.51%. The highest
inhibition activity of B. cereus INT1c was showed in IRBB7 varieties (93.69%)
and the lowest was in Kencana Bali varieties (65.65%) on the in vivo test on
paddy. Whereas in vivo on soybean test showed that B. thuringiensis SGT3g
inhibition activity in Anjasmara and Wilis varieties were not much different, it
was 96% and 95,35%, respectively.
Keyword: AHL-lactonase, Bacillus cereus, Bacillus thuringiensis, phytopatogen
inhibition activity, quorum sensing


vi
4

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

1

AKTIVITAS AHL-LAKTONASE Bacillus cereus INT1c DAN
Bacillus thuringiensis SGT3g DALAM MENGHAMBAT
PATOGENITAS Xanthomonas oryzae pv. oryzae DAN
Pseudomonas syringae pv. glycinea


VITA ANGGUN CAHYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi

4


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Aktivitas AHL-Laktonase Bacillus
cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g dalam Menghambat Patogenitas
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycinea berhasil
diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si
sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.Nisa Rachmania Mubarik, M.Si sebagai
anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan,
dukungan, saran, nasehat, motivasi dan kesabaran yang tiada henti-hentinya
selama konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis
selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu
penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Abdjad Asih
Nawangsih, M.Si dan Prof. Dr. Anja Meryandini, MS selaku Ketua Program Studi
Mikrobiologi IPB, yang telah memberikan motivasi selama studi dan masukan
pada saat ujian sidang tesis. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada
seluruh Dosen Program Studi Mikrobiologi yang telah memberikan ilmu dan
pengalaman selama studi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jaka selaku staf
Laboratorium Mikrobiologi IPB, Bapak Yadi Suryadi dari BB Biogen Cimanggu

yang telah banyak membantu penelitian ini dan Kak Wulan, Anja, Eja, Rahmi,
Hari, Dina, Asrianto, Asril, Aar, Gegek, Antri, Pak Adi, Pak Ade serta seluruh
teman-teman di Laboratorium Mikrobiologi IPB, atas dukungan, motivasi dan
bantuannya selama penelitian ini. Terima kasih untuk teman-teman seperjuangan
di Pascasarjana Mikrobiologi IPB angkatan 2012, teman-teman di Wisma Agung
3 serta seluruh pihak yang telah memberikan doa dan dukungannya, penulis
ucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada Kanjeng Mami
atas seluruh kasih sayang, dukungan serta doa yang selalu menyertai, Babe atas
dukungan dan semangat yang selalu diberikan, Ibuk dan Bapak Murtopo yang
senantiasa memberikan dukungan, doa dan kasih sayang, Bapak Slamet Santosa
beserta Mami atas dukungan, doa serta kasih sayang yang tiada henti, dek Glinduh
atas bantuan serta dukungan serta semangat yang tak ada hentinya, mas Anang
atas dukungan, kasih sayang serta kesabaran yang selalu diberikan, mas Yoyok
atas doa yang tiada hentinya serta keluarga besar tersayang, atas doa, dukungan,
kasih sayang, dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Vita Anggun Cahyani

NIM G351120361

5

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Quorum Sensing
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae
pv. glycinea
Anti Quorum Sensing
AHL-laktonase
Varietas Tanaman Tahan Patogen

3
3
4
4
5
7

METODE
Kerangka Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Penelitian
Purifikasi Isolat Bakteri
Konfirmasi Aktivitas Degradasi AHL
Kurva Tumbuh
Uji Penghambatan Patogenitas Bakteri Fitopatogen
Uji In Vivo pada Daun Kedelai
Uji In Vivo pada Daun Padi

8
8
8
9
9
9
10
10
11
11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

12
12
17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

27

6

vi

DAFTAR TABEL
1 Penghambatan produksi violacein C. violaceum oleh B. cereus INT1c
dan B. thuringensis SGT3g
2 Kondisi daun tembakau yang tidak diinokulasi (kontrol negatif) dan
yang diinokulasi patogen (INT1c, SGT3g, kontrol positif) 1 minggu
setelah inokulasi
3 Intensitas nekrotik berdasarkan luas dan warna/ keadaan jaringan pada
daun tembakau pada pengamatan 1 minggu setelah inokulasi
4 Intensitas nekrotik, persentase gejala nekrotik (PGN), persentase
penghambatan nekrotik (PPN) berdasarkan luas nekrotik serta warna/
keadaan jaringan daun kedelai pada pengamatan 2 minggu setelah
inokulasi
5 Intensitas nekrotik, persentase gejala nekrotik (PGN), persentase
penghambatan nekrotik (PPN) berdasarkan panjang nekrotik serta
warna/ keadaan jaringan daun padi pada pengamatan 2 minggu setelah
inokulasi

12
13
14

15

17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Mekanisme QS bakteri Gram negatif
Senyawa AHL-laktonase pendegradasi AHL
Diagram alir prosedur penelitian
Konfirmasi aktivitas degradasi AHL kultur C. violaceum oleh kontrol
media LB, isolat B. cereus INT1c, dan isolat B. thuringensis SGT3g
Kurva pertumbuhan kultur B. cereus INT1c dan B. thuringensis SGT3g
pada media LB
Persentase luas jaringan nekrotik daun tembakau pada pengamatan 1
minggu setelah inokulasi
Kondisi daun kedelai varietas Anjasmara dan Wilis pada pengamatan 2
minggu setelah inokulasi P. syringae pv. glycinea
Kondisi daun padi varietas Kencana Bali, IRBB5, dan IRBB7 pada
pengamatan 2 minggu setelah inokulasi kultur X. oryzae pv. oryzae

3
6
8
12
13
14
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media yang digunakan
2 Kurva standar isolat INT1c, SGT3g, Psg dan Xoo

25
26

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Quorum sensing (QS) merupakan mekanisme komunikasi bakteri sebagai
suatu pengaturan ekspresi gen yang bergantung pada jumlah populasi bakteri
tersebut dan akumulasi senyawa autoinducer (AI). AI merupakan molekul sinyal
yang disekresikan, diakumulasi, diserap kembali, dan dikenali oleh bakteri selama
proses QS terjadi (Rukayadi dan Hwang 2009). QS pada bakteri Gram negatif
menggunakan AI jenis N-acyl homoserin lactone (AHL) untuk mengaktifkan
protein regulator. Jika AHL dalam sel tinggi, akan direspon oleh sel dengan
mengaktifkan protein regulator. Protein regulator membantu ekspresi gen-gen
patogen (Waters dan Bassler 2005).
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycyne
merupakan bakteri Gram negatif patogen pada tanaman. X. oryzae pv. oryzae
merupakan bakteri penyebab penyakit hawar pada padi. Gejalanya adalah terdapat
bintik-bintik kuning kecoklatan pada penampakan daun (Rukayadi 1998, Zuraidah
2011). Sementara itu, P. syringae pv. glycinea menyebabkan penyakit leaf blight
(busuk daun) pada tanaman kedelai. Penyakit leaf blight merupakan penyakit yang
menyerang struktur daun tanaman yang ditandai dengan adanya bercak coklat
pada daun, bahkan dapat menyebabkan layu atau mati (Findy 2009).
Anti-Quorum sensing (Anti-QS) merupakan salah satu solusi yang ramah
lingkungan untuk menghambat patogenitas X. oryzae pv. oryzae dan P. syringae
pv. glycinea (Rukayadi dan Hwang 2009). Anti-QS merupakan senyawa atau
molekul yang dapat mendegradasi autoinducer pada bakteri, sehingga dapat
mencegah terjadinya QS pada bakteri. Prinsip pengendalian patogenitas bakteri
Gram negatif dengan dasar QS ialah mencegah akumulasi AHL. Pencegahan
akumulasi AHL dilakukan dengan mendegradasi AHL oleh bakteri. Salah satu
enzim pendegradasi AHL ialah N-acyl homoserin lactonase (AHL-laktonase).
AHL-laktonase mendegradasi ikatan lakton pada molekul AHL. Cincin homoserin
lakton tanpa adanya ikatan lakton tidak dapat difungsikan lagi. Mekanisme QS
terhambat dan gen-gen patogenetik tidak diekspresikan oleh bakteri patogen
(Dong et al. 2002).
Bacillus cereus (Medina-Martinez et al. 2011) dan Bacillus thuringiensis
(Cao et al. 2012) merupakan bakteri Gram positif yang dapat menghasilkan
senyawa anti-QS berupa AHL-laktonase. Penelitian Lee et al. (2002)
mendapatkan hasil adanya aktivitas degradasi AHL oleh B. thuringensis yang
disandikan oleh gen aiiA. Dong et al. (2002) juga melaporkan B. thuringiensis dan
B. cereus memiliki kemampuan untuk memproduksi AHL-laktonase. AHLlaktonase menjadi senyawa yang ampuh untuk melumpuhkan patogenitas bakteri.
AHL-laktonase secara spesifik hanya akan mendegradasi cincin lakton pada AHL
bakteri Gram negatif (Wang et al. 2004).
Afiah (2011) melaporkan bahwa B. cereus INT1c dan B. thuringiensis
SGT3g terbukti positif memiliki kemampuan untuk mendegradasi AHL.
Pengujian secara in vivo untuk mengetahui aktivitas AHL-laktonase pada B.
cereus INT1c dan B. thuringensis SGT3g dalam menghambat bakteri fitopatogen
belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas AHL-laktonase

2

B. cereus INT1c dan B. thuringensis SGT3g secara in vivo untuk mencegah
patogenitas Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv.
glycynea.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas AHL-laktonase
Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g dalam mendegradasi
AHL dan menghambat patogenitas Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dan
Pseudomonas syringae pv. glycynea (Psg).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi pembuktian ilmiah mengenai potensi
bakteri pendegradasi N-acyl homoserine lactones (AHL) sebagai agen biokontrol
dalam pengendalian bakteri patogen pada tanaman kedelai dan padi. Aplikasi
bakteri pendegradasi AHL diharapkan juga dapat mengurangi dampak
penggunaan pestisida maupun senyawa antimikrob yang dapat membuat bakteri
bersifat resisten.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi purifikasi isolat Bacillus
cereus INT1c, Bacillus thuringiensis SGT3g, Chromobacterium violaceum,
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycinea,
konfirmasi degradasi AHL, pembuatan kurva standar pertumbuhan bakteri B.
cereus INT1c, B. thuringiensis SGT3g, X. oryzae pv. oryzae dan P. syringae pv.
glycinea, pembuatan kurva tumbuh bakteri B. cereus INT1c dan B. thuringiensis
SGT3g, uji penghambatan patogenitas bakteri fitopagen pada daun tembakau, uji
in vivo pada tanaman kedelai dan uji in vivo pada tanaman padi.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Quorum Sensing
Quorum sensing (QS) merupakan mekanisme komunikasi bakteri sebagai
suatu pengaturan ekspresi gen yang bergantung pada jumlah populasi bakteri
tersebut dan akumulasi senyawa autoinducer (AI) (Rukayadi dan Hwang 2009).
QS juga disebut sebagai mekanisme komunikasi antara sel satu dengan sel lain
yang melibatkan hormon AI. QS terlibat dalam regulasi fungsi biologi yang
penting seperti luminescence, produksi antibiotik, transfer plasmid, motilitas,
virulensi, pembentukan biofilm dan berperan dalam regulasi ekspresi gen-gen
patogen (Dong et al. 2002).
AI merupakan molekul sinyal yang disekresikan, diakumulasi, diserap
kembali, dan dikenali oleh bakteri selama proses QS terjadi (Rukayadi dan Hwang
2009). Jika kepadatan populasi bakteri tinggi, konsentrasi AI juga tinggi pada sel.
Bakteri dapat mendeteksi akumulasi konsentrasi AI, sehingga dapat meregulasi
protein regulator untuk aktif mengekspresikan gen-gen patogenitas. AI berbentuk
molekul kecil yang berdifusi bebas melintasi membran sel karena ukurannya yang
kecil (Belapurkar et al. 2014).
QS pada bakteri memiliki kesamaan dan perbedaan tergantung pada tipe
sinyal, reseptor, sinyal transduksi dan target. Masing-masing sistem QS bakteri
memiliki keunikan tensendiri dalam pelaksanaannya. QS pada bakteri Gram
negatif menggunakan AI jenis N-acyl homoserin lactone (AHL) untuk
mengaktifkan protein regulator. Jika AHL dalam sel tinggi, akan direspon oleh sel
dengan mengaktifkan protein regulator. Protein regulator membantu ekspresi gengen patogen (Snyder dan Champness 2007). QS pada bakteri Gram negatif
melibatkan dua protein regulator yaitu LuxI dan LuxR. LuxI merupakan protein
regulator yang bertugas untuk mensintesis AHL dari homocysteine yang
merupakan bagian dari S-adenyosyl methionine. LuxR merupakan protein
regulator yang bertugas sebagai pengatur proses transkripsi gen-gen patogen. Jika
densitas populasi bakteri meningkat, AHL berikatan dengan sisi aktif LuxR
hingga konsentrasi yang cukup dalam sitoplasma yang akan menginduksi ekspresi
gen-gen patogen. Kompleks LuxR-AHL juga menginduksi ekspresi LuxI dan
menyebabkan adanya autoinducing (Belapurkar et al. 2014).

Gambar 1 Mekanisme QS bakteri Gram negatif (Dong et al. 2002)

4

Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycnea
Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dan Pseudomonas syringae pv.
glycyne (Psg) merupakan bakteri Gram negatif. Xoo menyebabkan penyakit pada
tanaman padi dan Psg menyebabkan penyakit pada tanaman kedelai. Kedua
bakteri ini mengeluarkan molekul sinyal AHL untuk mengadakan komunikasi
antar sel. Komunikasi antar sel bakteri memungkinkan ekspresi gen-gen patogen
untuk merefleksi sinyal kepadatan populasi yang ditangkap oleh bakteri. Gen-gen
patogen diekspresikan dengan memunculkan sifat-sifat patogen yang dapat
merugikan inang.
Xoo merupakan bakteri penyebab penyakit hawar pada tanaman padi.
Xoo termasuk dalam bakteri Gram negatif. Bakteri ini berbentuk batang dengan
koloni berwarna kuning. Xoo memiliki virulensi yang bervariasi tergantung
kemampuannya untuk menginfeksi varietas padi yang mempunyai gen resistensi
berbeda. Penyakit hawar tidak hanya menyerang pada fase bibit, tetapi juga
menyerang tanaman dewasa. Gejala yang ditimbulkan akibat serangan Xoo adalah
infeksi sistemik dan nekrosis (Ratna 2000). Yamasaki et al. (2006) menyatakan
ada dua tipe gejala, yaitu kresek dan hawar daun. Hawar daun ialah gejala yang
timbul pada fase generatif, ditandai dengan munculnya garis pada ujung tepi daun.
Garis tersebut semakin memanjang dan melebar, sehingga menyebabkan warna
menjadi kuning sampai putih dan dapat menutup ujung daun. Akibatnya, tanaman
yang terinfeksi berat akan menghasilkan gabah hampa, sehingga produksi rendah.
Psg menyebabkan penyakit leaf blight (busuk daun) pada tanaman
kedelai. Psg masuk ke dalam ruang apoplas interseluler dalam jaringan daun
tanaman. Psg mengeluarkan molekul signal AHL untuk mengadakan komunikasi
antar sel. Komunikasi antar sel bakteri memungkinkan diekspresikannya gen
patogen penyebab penyakit busuk daun. Gejala penyakit busuk daun ditandai
bercak-bercak berwarna coklat pada daun. Jika tidak ada pencegahan, akan
menimbulkan kebusukan pada daun (Findy 2009).
Patogenitas Xoo dan Psg merugikan petani padi dan kedelai karena
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. Para petani umumnya
menggunakan senyawa antimikrob yang dapat menghambat patogenitas kedua
bakteri fitopatogen tersebut. Penggunaan jangka panjang antimikrob
menyebabkan munculnya bakteri mutan resisten antimikrob (Belapurker et al.
2014). Oleh karena itu, pengurangan penggunaan antimikrob dan pengembangan
strategi baru yang efektif untuk mencegah dan mengobati infeksi patogen
diperlukan (Ivanova et al. 2013).
Whitehead (2001) memaparkan bahwa patogenitas Xoo dan Psg, selain
dapat dikendalikan dengan antimikrob, dapat juga dikendalikan dengan
mengontrol QS pada kedua bakteri pathogen tersebut. Rukayadi dan Hwang
(2009) menjelaskan anti-QS merupakan solusi yang lebih ramah lingkungan untuk
menghambat patogenitas pada Xanthomonas oryzae dan Pseudomonas syringae.
Anti Quorum Sensing
Anti-Quorum sensing (Anti-QS) merupakan senyawa atau molekul yang
dapat mendegradasi autoinduser pada bakteri, sehingga dapat mencegah terjadinya
QS pada bakteri. Prinsip pengendalian patogenitas bakteri Gram negatif dengan

5

dasar QS adalah mencegah akumulasi AHL. Pencegahan akumulasi AHL
dilakukan dengan mendegradasi AHL pada bakteri. Anti-QS memiliki kelebihan
dalam mengontrol infeksi bakteri, yaitu tidak mempengaruhi pertumbuhan,
sehingga dapat menghindari timbulnya tekanan seleksi yang dapat menghasilkan
generasi patogen resisten terhadap antibiotik. Beberapa enzim pendegradasi AHL
telah diidentifikasi dari beberapa bakteri dan memiliki potensi sebagai anti-QS.
Penelitian Hentzer et al. (2012) meneliti tentang QS pada Pseudomonas
aeruginosa. Bakteri Gram negatif ini menggunakan senyawa AHL bernama Oxododecanoyl-homoserine lactone (OdDHL). Hentzer menemukan bahwa OdDHLantagonis atau anti-OdDHL dapat membentuk senyawa nonantibiotik, agen antipatogen yang dapat mencegah komunikasi antar bakteri, sehingga dapat
menurunkan faktor virulen bakteri.
Adonizio et al. (2006) melakukan penelitian tentang senyawa anti-QS.
Senyawa anti-QS dapat diproduksi dari tanaman obat. Sekitar 50 spesies tanaman
obat dapat digunakan sebagai anti-QS. Tanaman obat aman untuk mengendalikan
faktor virulensi bakteri patogen tanpa harus membuat bakteri patogen mati atau
resisten.
Adonizio et al. (2008) juga melakukan penelitian tentang QS pada P.
aeruginosa. Adonizio menemukan bahwa Conocarpus erectus, Callistemon
viminalis, Bucida buceras menghasilkan senyawa anti-QS yang dapat
menghambat faktor virulensi bakteri P. aeruginosa. Ekstrak dari tanamantanaman tersebut secara signifikan dapat menghambat produksi LasA protease,
LasB elastase, produksi pioverdin, dan pembentukan biofilm pada bakteri P.
aeruginosa, sehingga secara signifikan dapat mereduksi ekspresi gen QS,
mencegah molekul sinyal untuk komunikasi bakteri, dan mengurangi efek dari
faktor virulensi P. aeruginosa. Ekstrak tanaman ini secara jangka panjang dapat
digunakan untuk melawan virulensi bakteri P. aeruginosa dan bakteri lainnya
yang sesuai.
Manefield et al. (2012) melakukan penelitian tentang senyawa anti-QS
pada Delisea pulchra yang dapat menghambat QS pada Vibrio vischeri.
Makroalga D. pulchra menghasilkan furanone terhalogenasi yang dapat
menghambat furanosil borat diester pada V. vischeria. Furanon terhalogenasi
dapat memutuskan ikatan karbon pada cincin furan. Cincin homoserin lakton
tanpa adanya ikatan asil tidak dapat melakukan interaksi lagi, sehingga
mekanisme QS terhambat dan patogenitas dapat dihambat pula.
Bakteri satu dengan yang lain memiliki mekanisme QS yang berbedabeda demikian juga dengan senyawa penghambatan (anti-QS). Anti-QS juga
merupakan salah satu strategi dari bakteri untuk bertahan hidup pada lingkungan
(Anzhou et al. 2013). Senyawa anti-QS pada bakteri Gram negatif ada beberapa
macam yaitu AHL-laktonase dan AHL-acylase. Jika senyawa AHL terpotong atau
terdegradasi salah satu ikatan asil atau lakton, senyawa AHL tak dapat
difungsikan lagi.
AHL-laktonase
Salah satu enzim pendegradasi AHL ialah Acyl Homoserin Lactonase
(AHL-laktonase). AHL-laktonase mendegradasi ikatan lakton pada molekul AHL.
Cincin homoserin lakton tanpa adanya ikatan lakton tidak dapat melakukan

6

interaksi lagi, sehingga mekanisme QS terhambat dan gen-gen patogenik tidak
diekspresikan oleh bakteri pathogen (Gambar 2) (Dong et al. 2002).

Gambar 2 Senyawa AHL-laktonase pendegradasi AHL (Belapurkar et al. 2014)
Enzim pendegradasi AHL seperti AHL-laktonase merupakan salah satu
anti-QS yang berspektrum luas. AHL-laktonase termasuk salah satu jenis
metalloprotein yang memiliki ion zinc pada sisi aktifnya. Ion Zn diperlukan
sebagai katalisator dari AHL-laktonase. Beberapa spesies Bacillus mensekresi
enzim yang disandikan oleh gen aiiA, yang dapat memisahkan ikatan lakton dari
acyl homoserin lactones. Enzim ini akan mengakibatkan tidak aktifnya molekul
AHL pada sinyal tranduksi. Gugus karbon karbonil pada AHL yang terganggu
oleh serangan nukleofilik menjembatani dua ion Zn pada AHL-laktonase untuk
berikatan. Cincin lakton dan oksigen karbonil dari AHL berinteraksi dengan ion
Zn yang menyebabkan peningkatan polaritas dari ikatan karbonil. Peningkatan
polaritas menyebabkan ikatan karbonil lebih rentan terhadap serangan neutrofilik.
Serangan neutrofilik menyebabkan terbentuknya muatan negatif yang akan
distabilisasi dengan interaksi ion Zn dari AHL-laktonase. Ikatan C=O pada cincin
lakton dari AHL putus dan akan menyebabkan terbukanya cincin, sehingga cincin
lakton terdegradasi (Belapurkar et al. 2014).
Anzhou et al. (2013) memaparkan bahwa Bacillus, Lysinibacillus, dan
Pseudomonas memiliki aktivitas degradasi AHL yang tinggi. Beberapa bakteri
Gram positif, seperti Bacillus, menarik untuk dipelajari sebagai agens biokontrol
karena spesialisasi dari sifat kompetennya. Homolog enzim laktonase telah
berhasil diidentifikasi pada B. cereus and B. thuringiensis, yang memiliki
kemampuan untuk mendegradasi AHL.
AHL-laktonase berpotensi untuk menghambat patogenitas bakteri Gram
negatif. AHL-laktonase bekerja secara spesifik. AHL-laktonase hanya akan
mendegradasi cincin lakton pada molekul AHL bakteri Gram negatif. AHLlaktonase bekerja dengan baik pada konsentrasi fisiologis yang relevan dengan
sinyal AHL (Wang et al. 2004).

7

Varietas Tanaman Tahan Patogen
Varietas tahan merupakan salah satu komponen penting sebagai
pengendalian fitopatogen secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan
tidak merusak lingkungan. Keefektivan varietas yang tahan ini dipengaruhi oleh
interaksi antara gen pembawa sifat tahan yang dimilikinya dan gen virulensi
patogen yang terdapat di suatu wilayah serta kondisi lingkungan (Yamasaki et al.
2006).
Usaha untuk mendapatkan varietas tahan dapat dilakukan melalui seleksi
tidak langsung terhadap karakter morfologi tanaman maupun secara biokimia.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengelompokkan ketahanan varietas
menurut Santosa (2003) ialah (1) mekanisme karakter ketahanan, (2) ada tanaman
inang, (3) jumlah gen yang mengatur ketahanan, (4) kemampuan dalam
mencegah proses infeksi atau membatasi kolonisasi inang oleh patogen, (5)
kemampuan dalam menunda atau menghambat laju epidemik penyakit, (6)
kelestarian karakter ketahanan, dan (7) hubungan antara intensitas penyakit
dengan penurunan hasil.
Resistensi tanaman terhadap patogen tertentu dapat disebabkan oleh
beberapa kemungkinan. Pertama, tanaman tersebut bukan merupakan inang bagi
patogen. Kedua, tanaman tersebut memiliki gen resisten terhadap patogen antara
lain berupa resistensi murni, resisten spesifik ras, resisten spesifik kultivar, atau
resisten gen ke gen. Ketiga, tanaman toleran terhadap patogen tersebut (Agrios
2005). Herlina dan Silitonga (2011) juga memaparkan faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan atau kerentanan terhadap patogen mencakup cahaya
matahari, temperatur saat perkembangan penyakit, latar belakang genetik kultivar
yang diuji, konsentrasi inokulum, dan virulensi galur patogen yang diuji.

81

METODE
Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini (Gambar 3) meliputi purifikasi isolat, konfirmasi
degradasi AHL, pembuatan kurva standar pertumbuhan bakteri, pembuatan kurva
tumbuh bakteri, uji penghambatan patogenitas bakteri fitopagen, uji in vivo pada
tanaman kedelai dan uji in vivo pada tanaman padi.
Purifikasi Isolat

AHL-laktonase
INT1c & SGT3g

Fitopatogen
Xoo & Psg

Konfirmasi degradasi AHL
(AHL-laktonase)

Penyimpanan

Pembuatan Kurva Standar dan Kurva Tumbuh Bakteri
INT1c, SGT3g, Xoo, dan Psg

Uji Penghambatan Patogenitas
Bakteri Fitopatogen

Uji in vivo
Gambar 3 Diagram alir prosedur penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari Oktober 2013 hingga Februari 2015,
bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB,
Rumah Kaca Departemen Biologi FMIPA IPB, dan Rumah Kaca Balai Besar

9

Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Cimanggu.
Bahan Penelitian
Isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Bacillus
cereus INT1c, Bacillus thuringiensis SGT3g, Chromobacterium violaceum (isolat
koleksi Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si), fitopatogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae
(isolat koleksi Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi, M.Si) dan Pseudomonas syringae pv.
glycine (isolat koleksi Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si). Tanaman yang digunakan
terdiri dari tanaman tembakau (umur 1.5 bulan), tanaman kedelai (umur 2
minggu), dan tanaman padi (umur 1 bulan). Dua varietas tanaman kedelai
digunakan untuk uji in vivo. Varietas anjasmara yang tahan dan varietas Wilis
yang rentan terhadap Pseudomonas syringae pv. glyicinea (benih berasal dari BB
Biogen Cimanggu). Tiga varietas tanaman padi digunakan untuk uji in vivo.
Varietas IRBB7 yang tahan, IRBB5 yang sedang dan Kencana Bali yang rentan
terhadap Xanthomanas orizae pv. oryzae (benih berasal dari BB Biogen
Cimanggu).
Purifikasi Isolat Bakteri
Kedua isolat Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g
serta Chromobacterium violaceum diremajakan pada media agar-agar Luria
Berthani agar (LB Agar) dan diperbanyak pada media cair Luria Berthani (LB
Broth). Inkubasi kultur B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g dilakukan
selama 48 jam, sedangkan inkubasi C. violaceum dilakukan sampai kultur
berwarna ungu (24 jam). Peremajaan kultur bakteri fitopatogen Xanthomonas
oryzae pv. oryzae dan Pseudomonas syringae pv. glycinea dilakukan pada media
Trypticase Soy Agar (TSA) dan perbanyakan kultur pada media Trypticase Soy
Broth (TSB). Inkubasi kultur bakteri patogen dilakukan selama 48-72 jam.
Penyimpanan biakan kerja C. violaceum dilakukan pada suhu ruang, sedangkan
bakteri yang lainnya disimpan dalam lemari pendingin (Findy 2009).
Konfirmasi Aktivitas Degradasi AHL
Kultur cair Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g umur
48 jam disentrifugasi selama 30 menit pada kecepatan 12000 rpm (Hermle
Labortechnik GmbH tipe Z326K). Sebanyak 100 µl supernatan diteteskan pada
kertas cakram steril (diameter 1.3 cm) yang diletakkan di permukaan LA
semipadat yang telah diinokulasi dengan 1% kultur cair C. violaceum. Cawan
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Masing-masing
cawan berisi 3 ulangan untuk satu perlakuan. Kontrol negatif dibuat dengan cara
meneteskan media LB steril sebagai pengganti supernatan. Paper disc yang
dikelilingi oleh zona tidak berwarna ungu menunjukkan adanya aktivitas
penghambatan QS (Kusumaningrum 2012). Indeks aktivitas degradasi AHL dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan:

10

IDA = Ø zona tidak ungu - Ø kertas cakram
Ø kertas cakram
Keterangan: IDA = Indeks degradasi AHL
Ø zona tidak ungu = diameter zona tidak berwarna ungu (cm)
Ø kertas cakram = diameter kertas cakram (cm)
Kurva Tumbuh Bakteri Uji
Biakan induk Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g
disiapkan dengan cara menginokulasi satu lup biakan bakteri ke dalam 50 ml
media LB (inokulum) lalu diinkubasi hingga kepadatan 108 CFU/ml (berdasarkan
kurva standar isolat INT1c dan SGT3g) di atas shaker. Kemudian ke dalam 100
ml LB (media produksi) dimasukkan 1% biakan induk yang telah disiapkan.
Inkubasi dilakukan di atas shaker (100 rpm) pada suhu 37ºC. Setiap 2 jam
dilakukan pengukuran kekeruhan sel atau optical dencity (OD) pada panjang
gelombang 600 nm dua kali ulangan (duplo) hingga terjadi penurunan OD
(Kusumaningrum 2012).
Uji Penghambatan Patogenitas Bakteri Fitopatogen
Koloni dari Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g yang
menunjukkan aktivitas degradasi AHL umur 48 jam diambil menggunakan ose
lalu masing-masing disuspensikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85 %)
sampai diperoleh kepadatan 108 CFU/ml (berdasarkan kurva standar isolat INT1c
dan SGT3g). Suspensi B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g tersebut
masing-masing disemprotkan ke daun tembakau umur 1.5 bulan. Penyemprotan
supernatan dilakukan pada sore hari. Setelah disemprot, tanaman disungkup
dengan plastik bening yang telah dilubangi untuk sirkulasi udara. Tiga hari
kemudian, daun tanaman tembakau yang telah disemprot tersebut diinokulasi
dengan 0.5 ml suspensi bakteri fitopatogen lalu disungkup kembali dengan plastik.
Inokulasi fitopatogen dilakukan menggunakan syringe tanpa jarum. Setiap
perlakuan dibuat 10 titik inokulasi sebagai ulangan dan setiap helai daun dibuat 20
titik inokulasi. Sebagai kontrol negatif, tanaman disemprot suspensi INT1c dan
SGT3g, tetapi tidak diinokulasi dengan patogen. Sebagai kontrol positif, tanaman
disemprot garam fisiologis lalu diinokulasi bakteri fitopatogen. Luas jaringan
nekrotik pada daun diamati seminggu setelah inokulasi patogen (Rukayadi et al.
2000). Persentase gejala nekrosis dan persentase penghambatan nekrosis dihitung
dengan menggunakan persamaan:
PGN= luas nekrosis (cm2) x100%
luas daun (cm2)
PPN= PGN kontrol positif - PGN perlakuan fitopatogen x100%
PGN kontrol positif
Keterangan: PGN= persentase gejala nekrosis (%)
PPN= persentase penghambatan nekrosis (%)

11

Uji In Vivo pada Daun Kedelai
Supernatan Bacillus thuringiensis SGT3g (108 CFU/ml) disemprotkan ke
daun tanaman kedelai umur dua minggu. Penyemprotan supernatan dilakukan
pada sore hari ketika sinar matahari tidak terlalu panas pada seluruh permukaan
daun. Setelah disemprot, tanaman disungkup dengan plastik bening. Tiga hari
kemudian, daun tanaman kedelai diinokulasi dengan 0.5 ml suspensi bakteri
Pseudomonas syringae pv. glycinea lalu disungkup kembali dengan plastik.
Inokulasi fitopatogen dilakukan menggunakan syringe tanpa jarum. Sebagai
kontrol negatif, tanaman disemprot suspensi B. thuringiensis SGT3g, tetapi tidak
diinokulasi dengan patogen. Sebagai kontrol positif, tanaman disemprot garam
fisiologis lalu diinokulasi bakteri fitopatogen P. syringae pv. glycinea. Setiap
perlakuan dibuat 20 kali ulangan. Luas jaringan nekrotik pada daun diamati pada
minggu pertama dan kedua setelah inokulasi patogen (Rukayadi et al. 2000).
Persentase gejala nekrosis dan persentase penghambatan nekrosis dihitung dengan
menggunakan persamaan:
PGN= luas nekrosis (cm2) x100%
luas daun (cm2)
PPN= PGN kontrol positif - PGN perlakuan fitopatogen x100%
PGN kontrol positif
Keterangan: PGN= persentase gejala nekrosis (%)
PPN= persentase penghambatan nekrosis (%)
Uji In Vivo pada Daun Padi
Supernatan Bacillus cereus INT1c (108 CFU/ml) disemprotkan ke daun
tanaman padi umur satu bulan. Penyemprotan supernatan dilakukan pada sore hari
ketika sinar matahari tidak terlalu panas pada seluruh permukaan daun. Setelah
disemprot, tanaman disungkup dengan plastik bening. Tiga hari kemudian, daun
tanaman kedelai diinokulasi dengan kultur bakteri Xanthomonas oryzae pv.
oryzae dengan cara mencelupkan ujung gunting steril ke dalam kultur lalu
diguntingkan pada ujung daun padi yang diberi perlakuan kemudian disungkup
kembali dengan plastik. Sebagai kontrol negatif, tanaman disemprot suspensi B.
cereus INT1c, tetapi tidak diinokulasi dengan patogen. Sebagai kontrol positif,
tanaman disemprot garam fisiologis lalu diinokulasi bakteri fitopatogen X. oryzae
pv. oryzae. Setiap perlakuan dibuat 20 kali ulangan. Luas jaringan nekrotik pada
daun diamati pada minggu pertama dan kedua setelah inokulasi patogen (Zuraidah
2011). Persentase gejala nekrosis dan persentase penghambatan nekrosis dihitung
dengan menggunakan persamaan:
PGN= panjang nekrosis (cm) x100%
panjang daun (cm)
PPN= PGN kontrol positif - PGN perlakuan fitopatogen x100%
PGN kontrol positif
Keterangan: PGN= persentase gejala nekrosis (%)
PPN= persentase penghambatan nekrosis (%)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Aktivitas Degradasi AHL
Bacillus cereus INT1c dan Bacillus thuringiensis SGT3g dikonfirmasi
memiliki aktivitas degradasi AHL pada Chromobacterium violaceum sebagai
bioindikatornya. Aktivitas degradasi AHL ditandai dengan zona tidak berwarna
ungu di sekitar kertas cakram pada kultur C. violaceum (Gambar 4). Aktivitas
degradasi AHL oleh kedua isolat bakteri tersebut menghasilkan indeks degradasi
AHL sebesar 0.23 untuk INT1c dan 0.12 untuk SGT3g (Tabel 1).

Gambar 4 Konfirmasi aktivitas degradasi AHL kultur C. violaceum oleh (a)
kontrol negatif media LB, (b) isolat B. cereus INT1c, dan (c) isolat B.
thuringiensis SGT3g
Tabel 1 Penghambatan produksi violacein C. violaceum oleh B. cereus INT1c dan
B. thuringiensis SGT3g
Diameter zona degradasi AHL
Kode isolate
Indeks degradasi AHL
(mm)
INT1c
16
0.23
SGT3g
14.5
0.12

Kurva Pertumbuhan Bakteri
Pengukuran kekeruhan kultur B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g
selama inkubasi menunjukkan pertumbuhan yang cepat pada 6 jam pertama.
Kedua kultur bakteri menunjukkan fase pertumbuhan eksponensial sampai umur 6
jam inkubasi selanjutnya mengalami fase pertumbuhan stasioner sampai umur 28
jam inkubasi (Gambar 5). Fase lag tidak teramati pada kedua kultur. Sepanjang
pertumbuhan kedua bakteri, nilai log dari jumlah sel kultur bakteri B. cereus
INT1c dan B. thuringiensis SGT3g tidak jauh berbeda atau beriringan (Gambar 5).

Log dari jumlah sel

13

14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00

INT1c
SGT3g

0

5

10

15

20

25

30

35

Waktu (jam)

Gambar 5 Kurva pertumbuhan kultur B. cereus INT1c dan B. thuringiensis
SGT3g pada media LB
Aktivitas Penghambatan Patogenitas Bakteri Fitopatogen
Penghambatan QS fitopatogen pada tanaman tembakau diamati dari warna
dan luas jaringan daun yang terkena nekrotik pada titik-titik inokulasi. Hasil
pengamatan menunjukkan daun pada tanaman kontrol negatif tidak mengalami
gejala nekrotik, sedangkan daun pada tanaman kontrol positif menunjukkan
adanya gejala nekrotik. Tanaman yang telah disemprot dengan supernatan B.
cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g menunjukkan intensitas yang lebih
ringan dibandingkan kontrol positifnya (Tabel 2).
Tabel 2 Kondisi daun tembakau yang tidak diinokulasi (kontrol negatif) dan yang
diinokulasi patogen (INT1c, SGT3g, kontrol positif) 1 minggu setelah
inokulasi
Isolat

Kontrol Negatif

INT1c

SGT3g

Kontrol Positif

X. oryzae
pv. oryzae

P.
syringae
pv.
glycinea

Luas nekrotik terkecil pada perlakuan penghambatan X. oryzae pv. oryzae
ditunjukkan oleh B. cereus INT1c dengan luas sebesar 0.1 cm2 (Tabel 3) dan
persentase penghambatan 85.6% serta persentase gejala nekrotik 0.04% (Tabel 4).

14

Sementara itu, penghambatan P. syringae pv. glycinea terbesar ditunjukkan oleh
B. thuringiensis SGT3g dengan luas nekrotik pada daun sebesar 0.1 cm2 dan
persentase penghambatan 90.5% serta persentase gejala nekrotik 0.05% (Tabel 3).
Berdasarkan hasil, isolat B. cereus INT1c berpotensi untuk diujikan secara in vivo
ke tanaman padi untuk menghambat patogenitas X. oryzae pv. oryzae dan isolat B.
thuringiensis SGT3g berpotensi untuk diujikan secara in vivo ke tanaman kedelai
untuk menghambat P. syringae pv. glycinea.
Tabel 3 Intensitas nekrotik berdasarkan luas dan warna/ keadaan jaringan pada
daun tembakau pada pengamatan 1 minggu setelah inokulasi
Luas
Warna
Intensitas PGN PPN
Perlakuan
Nekrotik
Jaringan
Nekrotik (%)
(%)
(cm2)
Kontrol Positif
P. syringae pv. glycinea
1.4
Coklat
++++
0.5
X. oryzae pv. oryzae
0.8
Coklat
++++
0.3
INT1c
P. syringae pv. glycinea
0.2
Kuning
++
0.08 85.2
X. oryzae pv. oryzae
0.1
Kekuningan
+
0.04 85.6
SGT3g
P. syringae pv. glycinea
0.1
Kekuningan
+
0.05 90.5
X. oryzae pv. oryzae
0.2
Kuning
++
0.07 73.5
Keterangan : ++++ = berat ++ = ringan +++ = sedang + = sangat ringan
PGN=Persentase Gejala Nekrotik, PPN=Persentase Penghambatan Nekrotik

Persentase Gejala Nekrosis (%)

0.7
Psg
0.6
Xoo
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Kontrol Positif

INT1c

SGT3g

Gambar 6 Persentase luas jaringan nekrotik daun tembakau pada pengamatan 1
minggu setelah inokulasi fitopatogen (Psg) Pseudomonas syringae pv.
glycinea dan (Xoo) Xanthomonas oryzae pv. oryzae

15

Penghambatan Patogenitas P. syringae pv. glycinea In Vivo pada Daun
Kedelai
Pengujian secara in vivo penghambatan patogenitas P. syringae pv. glycinea
oleh B. thuringiensis SGT3g pada tanaman kedelai menunjukkan aktivitas
penghambatan yang tidak jauh berbeda (Gambar 7). Persentase penghambatan
nekrotik oleh B. thuringiensis SGT3g terhadap P. syringae pv. glycinea sebesar
96% dengan persentase gejala penyakit sebesar 0.1% ditunjukkan pada varietas
Anjasmara sedangkan pada varietas Wilis menunjukkan persentase penghambatan
nekrotik oleh B. thuringiensis SGT3g terhadap P. syringae pv. glycinea sebesar
95.4% dan dengan persentase gejala penyakit sebesar 0.2% (Tabel 4).
Berdasarkan hasil dapat diketahui bahwa penghambatan patogenitas P. syringae
pv. glycinea oleh B. thuringiensis SGT3g pada varietas Anjasmara dan Wilis tidak
berbeda jauh.

Gambar 7 Kondisi daun kedelai varietas Anjasmara dan Wilis pada pengamatan 2
minggu setelah inokulasi P. syringae pv. glycinea
Tabel 4 Intensitas nekrotik, persentase gejala nekrotik (PGN), persentase
penghambatan nekrotik (PPN) berdasarkan luas nekrotik serta warna/
keadaan jaringan daun kedelai pada pengamatan 2 minggu setelah
inokulasi
Luas Nekrosis
Warna
Intensitas PGN PPN
Perlakuan
2
(cm )
Jaringan
Nekrosis
(%)
(%)
Anjasmara
Kontrol Positif
0.6
Coklat
+++
3.3
SGT3g
0.03
Kekuningan
+
0.1
96
Wilis
Kontrol Positif
0.6
Coklat
+++
3.8
SGT3g
0.03
Kekuningan
+
0.2
95.4
Keterangan : ++++ = berat ++ = ringan +++ = sedang + = sangat ringan
PGN=Persentase Gejala Nekrotik, PPN=Persentase Penghambatan Nekrotik

16

Penghambatan Patogenitas X. oryzae pv. oryzae In Vivo pada Daun Padi
Pengujian secara in vivo penghambatan patogenitas X. oryzae pv. oryzae
oleh B. cereus INT1c pada tanaman padi menunjukkan adanya aktivitas
penghambatan yang dapat dilihat pada gejala nekrotik tanaman padi kontrol
positif lebih panjang daripada tanaman padi dengan perlakuan penyemprotan B.
cereus INT1c (Gambar 8). Persentase penghambatan nekrotik terbesar oleh B.
cereus INT1c terhadap X. oryzae pv. oryzae ditunjukkan pada varietas IRBB7
sebesar 93.6% dengan persentase gejala penyakit sebesar 1.5 % sedangkan
persentase penghambatan nekrotik terkecil ditunjukkan pada varietas Kencana
Bali sebesar 69.7% dan dengan persentase gejala penyakit sebesar 17.6% (Tabel
5). Berdasarkan hasil dapat diketahui bahwa penghambatan patogenitas X. oryzae
pv. oryzae oleh B. cereus INT1c terbesar adalah pada varietas IRBB7 kemudian
IRBB5 dan yang terkecil adalah Kencana Bali.

Gambar 8 Kondisi daun padi varietas Kencana Bali (a), IRBB5 (b), dan IRBB7 (c)
pada pengamatan 2 minggu setelah inokulasi kultur X. oryzae pv.
oryzae

17

Tabel 5 Intensitas nekrotik, persentase gejala nekrotik (PGN), persentase
penghambatan nekrotik (PPN) berdasarkan panjang nekrotik serta
warna/ keadaan jaringan daun padi pada pengamatan 2 minggu setelah
inokulasi
Panjang
PGN PPN
Warna
Intensitas
Perlakuan
Nekrosis
(%)
(%)
Jaringan
Nekrosis
(cm)
IRBB7
Kontrol Positif
7. 4
Coklat Kering
+++
24.2
INT1c
0.5
Kekuningan
+
1.5
93.7
IRBB5
Kontrol Positif
12.1
Coklat Kering
+++
54.7
INT1c
1.3
Kekuningan
+
5.8
89.5
Kencana Bali
Kontrol Positif
21.3
Coklat Kering
++++
58
INT1c
6.4
Kekuningan
++
17.6
69.7
Keterangan : ++++ = berat ++ = ringan +++ = sedang + = sangat ringan
PGN=Persentase Gejala Nekrotik, PPN=Persentase Penghambatan Nekrotik

Pembahasan
Afiah (2011) melaporkan bahwa Bacillus cereus INT1c dan Bacillus
thuringiensis SGT3g terbukti positif memiliki kemampuan untuk mendegradasi
AHL. Salah satu bioindikator untuk menyeleksi adanya aktivitas degradasi AHL
pada isolat B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g ialah dengan
menggunakan Chromobacterium violaceum. C. violaceum merupakan bakteri
Gram negatif yang melakukan quorum sensing dengan menggunakan senyawa
AHL untuk menghasilkan pigmen berwarna ungu (violacein) (McClean et al.
1997). Zona tidak berwarna ungu di sekitar kertas cakram menunjukkan adanya
aktivitas degradasi AHL.
Isolat B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g terbukti memiliki
aktivitas degradasi AHL dengan indeks degradasi sebesar 0.23 untuk isolat B.
cereus INT1c dan 0.12 untuk isolat B. thuringiensis SGT3g. Difusi AHLlaktonase yang terkandung dalam supernatan kultur B. cereus INT1c dan B.
thuringiensis SGT3g dari kertas cakram ke media di sekitarnya menyebabkan
degradasi senyawa AHL tersebut, sehingga C. violaceum yang tumbuh di sekitar
paper disc tidak dapat berkomunikasi yang menyebabkan pigmen violacein tidak
dapat diproduksi. AHL-laktonase secara spesifik menghidrolisis cincin lakton
pada molekul AHL (Wang et al. 2004). Enzim ini stabil pada suhu 28-50ºC dan
pH 6-9 (Sakr et al. 2013).
Hasil dari penelitian ini selaras dengan penelitian Dong et al. (2002) yang
melaporkan bahwa B. thuingiensis dan B. cereus memiliki aktivitas AHLlaktonase. Lee et al. (2002) juga memaparkan bahwa ada aktivitas degradasi AHL
oleh B. thuringiensis yang disandikan oleh gen aiiA. Cao et al. (2012) juga

18

memaparkan bahwa B. thuringiensis menunjukkan aktivitas degradasi AHL yg
tinggi. Sementara itu, penelitian Medina-Martinez et al. (2011) mendapatkan hasil
bahwa B. cereus berkompeten dalam mendegradasi AHL.
Anzhou et al. (2013) memaparkan bahwa produksi AHL-laktonase oleh
Bacillus sp. merupakan salah satu bentuk strategi bertahan hidup dalam
lingkungan stres karena fluktuasi kondisi fisik dan ketersediaan nutrisi yang
terbatas. Bacillus sp. menggunakan aktivitas anti-QS agar mendapatkan lebih
banyak nutrisi, melalui penggangguan sinyal AHL sebagai bentuk kompetisi
dengan bakteri lain atau degradasi molekul AHL sebagai sumber energi.
Sepanjang pertumbuhan kedua isolat bakteri, nilai log dari jumlah sel
kultur isolat bakteri B. cereus INT1c dan B. thuringiensis SGT3g tidak jauh
berbeda atau beriringan (Gambar 5). Namun fase lag pada kurva pertumbuhan
kedua isolat tidak teramati. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua isolat bakteri
tersebut mampu beradaptasi dengan cepat. Fase lag merupakan fase adaptasi
bakteri yang ditandai dengan tidak ada pertambahan nyata pada populasi sel,
namun sel mengalami pertambahan massa dan komposisi kimiawi serta
peningkatan aktivitas metabolisme (Dias 2003). Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pertumbuhan B. cereus INT1c dan B. thuringensis SGT3g tidak jauh
berbeda.
Bakteri Bacillus sp. merupakan bakteri Gram positif yang mampu
membentuk endospora pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan
sehingga dapat bertahan hidup. Kemampuan dalam membentuk endospora
menjadikan Bacillus sp. banyak digunakan dalam industri secara komersil karena
dapat bertahan lama dan beradaptasi dengan formula dan bahan-bahan kimia yang
diaplikasikan dalam tanah pertanian (Bai et al. 2003). Bakteri ini tergolong dalam
bakteri aerob dan anaerob fakultatif (Holt et al. 1994). Bakteri Bacillus sp.
mempunyai kemampuan sebagai biokontrol penyakit tanaman (Zuraidah 2011).
Pengujian aktivitas penghambatan patogenitas bakteri fitopatogen
Pseudomonas syringae pv. glycinea dan Xanthomonas oryzae pv. oryzae oleh
isolat bakteri B. cereus INT1c dan B. thuringensis SGT3g menggunakan tanaman
uji tembakau. Tanaman tembakau digunakan untuk menyeleksis isolat mana yang
dapat menghambat patogenitas bakteri fitopatogen P. syringae pv. glycinea dan X.
oryzae pv. oryzae paling baik. Tanaman tembakau memiliki reaksi
hipersensitivitas sehingga reaksi pengujian lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tanaman lain (Widyawati 2008). Menurut Zhu et al. (2000) isolat yang
menghasilkan reaksi hipersensitif (HR) positif akan muncul gejala nekrotik.
Reaksi hipersensitif merupakan proses kematian sel yang cepat dan terlokalisasi.
Proses kematian sel disebabkan oleh agregasi sitoplasma, penghentian aliran
sitoplasma, hilangnya permeabilitas membran sel, meningkatnya respirasi,
akumulasi dan oksidasi senyawa fenol dan pembentukan fitoaleksin. Reaksi ini
muncul pada tanaman yang terinfeksi saat pengenalan patogen yang merupakan
usaha untuk menghambat pertumbuhan patogen. Nekrosis ialah munculnya bercak
gelap dan berubah menjadi kuning kecoklatan yang menandakan terjadi kematian
jaringan tanaman akibat terinfeksi patogen setelah inokulasi selama 48 jam.
Tingkat keparahan penyakit bertambah seiring pemanjangan waktu pengamatan
(Widyawati 2008).

19

Luas nekrotik terk