Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur

(1)

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH

Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur

Provinsi Kalimantan Timur

HASNAWATI HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah : Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005

Hasnawati Hamzah


(3)

ABSTRAK

HASNAWATI HAMZAH. Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Di bimbing oleh BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, dan MOENTOHA SELARI.

Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur merupakan daerah otonom yang terbentuk pada tahun 2001 dengan potensi sumberdaya alam tambang yang besar antara lain batubara, minyak, dan gas. Bahan galian tambang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dalam pengelolaannya dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Oleh karena itu, pengelolaan bahan galian tambang harus dilakukan secara bijaksana agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan daerah dan masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah antara lain pertumbuhan ekonomi, pengembangan masyarakat, dan kesesuaian pemanfaatan ruang.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan daerah yang tercermin dalam struktur perekonomian daerah. Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bontang yang memberikan distribusi sebesar 86.46% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2003. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor basis di Kabupaten Kutai Timur dan memberikan distribusi sebesar 64.31% terhadap PDRB tahun 2003.

Namun dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan belum menunjukkan hasil yang nyata. Hal ini tercermin dari rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal, pertumbuhan usaha-usaha kecil, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, serta minimnya pembangunan sarana jalan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kegiatan community development yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan umumnya hanya menyentuh masyarakat yang berada pada lapisan atas.

Disamping itu, pola perijinan lokasi pertambangan masih lemah dalam koordinasi baik antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pemanfaatan ruang yang tidak mempertimbangkan RTRW, keberadaan pemegang hak sebelumnya, dan tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Kegiatan pertambangan juga menimbulkan konflik baik antar masyarakat dengan perusahaan pertambangan maupun antar sektor yaitu sektor pertambangan dan sektor kehutanan. Penyebab konflik tersebut antara lain tumpang tindih lokasi pertambangan dengan lahan masyarakat, minimnya kontribusi perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi pertambangan, serta tumpang tindih lokasi pertambangan dengan kawasan hutan.


(4)

ABSTRACT

HASNAWATI HAMZAH. Impacts of Mining Activities to Regional Development: Case Study in Bontang City and East Kutai Regency, East Kalimantan Province. Supervised by: BUDI MULYANTO, FREDIAN TONNY NASDIAN, and MOENTOHA SELARI.

Bontang City and East Kutai Regency are situated in East Kalimantan Province based on UU No 22 1999 on Regional Autonomy, these two areas became autonomous government bodies since 2001. According to the natural characteristics, these areas include great mining resources, such as coal, oil and gas. These natural resources are non-renewable resources beneath soil resources, while the soils are one of some important life support system, hence mining of these resources should be carried out in wise and proper manners. Mining activities are aimed to get revenues for people prosperity, however mining activities in some area produce some negative impacts, both in physical and social-economical impacts, especially to the environment and people in surrounding mining area. Related to these background the objectives of this study are to analyze local development impacts, especially on economic growth, community development, and suitability of spatial planning in these two areas.

The results of this study indicates that mining activities in both areas have provided great contribution to development programs, as indicated by economical structure of both areas. Furthermore, if be analyzed into detail, processing industry of mining is one of the basic economic sector in Bontang City which contributed 86.46% of the Gross Domestic Regional Product (GDRP) in 2003. Meanwhile mining is the basic sector of the East Kutai Regency, that contributes 64.31% to the GDRP in 2003.

However benefits of mining activities to the people communities are still less significant. This is indicated by the community welfare of the people surrounding the mining areas are low. Dealing with this issue some indicators could be seen such as the low absorption of local employment, small businesses growth, low increase of local human resources, lack of road building, lack of education and health facilities. These phenomena due to some causes, one of them is that the community development programs of the mining companies are mostly touched higher-level society.

Related to the legal institution, the mining license procedures is still less synchronic in the coordination between sectors, or between central government and local government. Therefore some licenses of the mining location do not considered actual spatial planning (Rencana Tata Ruang Wilayah), existence of land tenure, and lack of socialization to the community of surrounding the mining areas. In addition the mining activities create some conflicts between people and the companies and between forestry sector and mining sector. These conflicts are caused by some reasons, among others: land-use overlapping between people’s land and mining land, low absorption local human resources in mining activities, and low contribution in community welfare development in surrounding the mining areas and misuse forestry area for mining.


(5)

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH

Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur

Provinsi Kalimantan Timur

HASNAWATI HAMZAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(6)

Judul Tesis : Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur

Nama : Hasnawati Hamzah NRP : A253040094

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Ketua

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Ir. Moentoha Selari, MS Anggota Anggota

Diketahui

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

Tanggal Ujian: 6 Oktober 2005 Tanggal Lulus: 31 Oktober 2005

Tanggal Lulus

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah


(7)

Kupersembahkan untuk:

Almarhumah Ibunda Nirwana Kadir yang telah berpulang di saat penulis sedang menyelesaikan pendidikan: doa dan kasih

Mama adalah sumber semangat dan kekuatan

Suami dan anak-anakku terkasih, Panji Wicaksono dan Gama Pradipta: pengorbanan, inspirasi, dan kehangatan keluarga adalah cahaya panutan langkah


(8)

PRAKATA

Puji syukur kekhadirat Allah SWT karena atas segala izin dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2005 ini menitikberatkan pada tema Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr.Ir. Budi Mulyanto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian MS dan Bapak Ir. Moentoha Selari, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing atas segala motivasi, semangat, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang tulus kami haturkan pula kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku penguji luar komisi atas segala sarannya guna penyempurnaan tesis ini. Kepada teman-teman mahasiswa PWL angkatan 2004, terima kasih atas segala kebersamaan, keceriaan, dan ketulusan persahabatan yang mewarnai derap langkah melintasi 13 bulan masa pendidikan. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak dan Adik-adik tercinta serta Bapak dan Ibu Mertua atas segala dukungan dan doanya.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan dapat menjadi setitik bakti bagi kemajuan bangsa dan negara . Amin.

Bogor, Oktober 2005


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Juni 1968 sebagai putri pertama dari empat bersaudara pasangan Muhammad Hamzah Shaleh dan Nirwana Kadir (alm.). Pendidikan SD-SMA diselesaikan di kota kelahiran penulis, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004 dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Penulis menikah dengan Suwindo pada tahun 1995 dan dikarunia dua orang putra yaitu Panji Wicaksono (9 tahun) dan Gama Pradipta (7 tahun).

Penulis pernah bekerja pada Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Keang Nama Development Indonesia di Sibolga Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1991-1993. Selanjutnya penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Kehutanan dan bertugas pada:

Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Gorontalo tahun 1993-1995

Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Manado tahun 1995-1997 Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara tahun 1997-1999

Pusat Pemolaan Areal Hutan dan Kebun, Badan Planologi Kehutanan tahun 1999-2000

Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan tahun 2000- 2005

Saat ini penulis bertugas pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………..……….. xi

DAFTAR GAMBAR ……….……….……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1

Perumusan Masalah ……….……… 4

Tujuan Penelitian ………. 6

Kegunaan Penelitian ……… 7

TINJAUAN PUSTAKA Teori Pengembangan Wilayah ……..……… 8

Pengembangan Masyarakat ………….………. 12

Perencanaan Pembangunan Daerah ………….………. 16

Perencanaan Wilayah ……….……….……… 18

Perencanaan Partisipatif ... 20

Kegiatan Pertambangan ………. 21

Hutan dan Kehutanan ……….. 25

Kerangka Pemikiran ……… 27

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 33

Pengumpulan Data ……… 33

Penentuan Responden ………..………. 35

Pengolahan Data ……… 38

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kota Bontang ……….……… 45

Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ………. 45

Kependudukan dan Tenaga Kerja ……….. 46

Penggunaan Lahan dan Potensi Ekonomi ………. 48

Sarana Prasarana Fisik dan Sosial ……….. 49

Pertumbuhan Ekonomi ……… 51

Kabupaten Kutai Timur ……… 52

Letak Geografi dan Administrasi Wilayah ………. 52

Kependudukan dan Tenaga Kerja ……….. 53


(11)

Sarana Prasarana Fisik dan Sosial ……….. 56

Pertumbuhan Ekonomi ……… 58

PT Badak Natural Gas Liquefaction ……….. 61

PT Indominco Mandiri ……… 62

Ikhtisar ………. 64

KONTRIBUSI KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH Analisis Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ………. 66

Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah ……… 70

Ikhtisar ………. 73

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT Kondisi Fisik dan Sosial Lokasi Studi………. 76

Program Community Development Perusahaan Pertambangan ……… 80

Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Masyarakat Lokal .………. 90

Konflik ……….. 110

Ikhtisar ……… 112

KESESUAIAN PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN RUANG Kesesuaian Pemanfaatan Ruang antara Wilayah Penelitian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ……… 115

Kesesuaian Fungsi Peruntukan Kawasan antara Wilayah Penelitian dengan Kawasan Hutan ……… 120

Ikhtisar ………. 123

POLA PERIJINAN KEGIATAN PERTAMBANGAN Kuasa Pertambangan .……….. 127

Pinjam Pakai Kawasan Hutan ……… 129

Ikhtisar ………..………. 131

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH ... 133

SIMPULAN ……… 144

REKOMENDASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH …… 146

DAFTAR PUSTAKA …………..……….…….……… 147


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tiga model community development ………. 16 2 Luas kawasan hutan berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan

(TGHK) dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi………. 26 3 Jumlah responden menurut kabupaten/kota, kecamatan, dan

desa/kelurahan sampel berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ….……. 36 4 Perkembangan jumlah penduduk Kota Bontang menurut kecamatan

tahun 1999- 2003 ………. 46

5 Jumlah dan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja

menurut lapangan kerja tahun 2002 ……….. 47 6 Luas dan persentase penggunaan tanah Kota Bontang tahun 2001

menurut jenis penggunaan tanah ……….. 48 7 Jumlah sekolah menurut kecamatan ……….. 50 8 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan ……….. 50 9 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang

dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun 2002 -

2003 ………. 51

10 Distribusi persentase Pendapatan Domestik Regional Bruto Kota Bontang dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun

2002-2003 ……….…… 52

11 Banyaknya desa dan luas wilayah menurut kecamatan ……….. 53 12 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan menurut kecamatan …. 54 13 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut

kecamatan tahun 1999-2003 ………. 54 14 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut kecamatan dan lapangan

usaha tahun 2002 (%) ………..……… 55 15 Jumlah sekolah menurut kecamatan ……….. 57 16 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenis dan kecamatan ……….. 58 17 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai

Timur dengan/tanpa migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun

2002-2003 ……….. 59

18 Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Kutai Timur dengan migas atas dasar harga konstan 1993 (%) tahun

2002-2003 ……..………... 60


(13)

20 Hasil analisis shift share PDRB Kabupaten Kutai Timur tahun 1993 –

2003 ……… 69

21 Hasil analisis LQ sektoral berdasarkan PDRB tahun 2002-2003 Kota

Bontang dan Kabupaten Kutai Timur ... 71 22 Kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah Kota

Bontang dan Kabupaten Kutai Timur ………. 74 23 Sarana prasarana desa/kelurahan dampak dan desa non-dampak …….. 89 24 Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial

ekonomi ……….. 97

25 Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat … 113 26 Fungsi pemanfaatan ruang wilayah penelitian sesuai dengan Peta RTRW 116 27 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian berdasarkan TGHK dan

Paduserasi TGHK-RTRWP ………. 121 28 Kesesuaian peruntukan dan pemanfaatan ruang lokasi pertambangan dan

pemukiman ……… 124

29 Persyaratan permohonan izin usaha pertambangan ……… 127 30 Dampak pola perijinan kegiatan pertambangan ………. 132


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan antara pengembangan wilayah, sumberdaya alam,

sumberdaya manusia, dan teknologi ..………. 9 2 Bagan alir kerangka penelitian ……….……….………. 32 3 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Indominco Mandiri …. 34 4 Wilayah dampak dan non-dampak kegiatan PT Badak NGL ………… 34 5 Peta wilayah penelitian ………. 37 6 Bagan prosedur tumpang tindih Peta Administrasi, Peta Wilayah

Pertambangan, Peta RTRW, Peta TGHK, dan Peta Kawasan Hutan …. 43 7 Pemukiman kelompok masyarakat Desa Suka Damai Kabupaten

Kutai Timur ……… 77

8 Pemukiman masyarakat Kelurahan Kanaan Kota Bontang …..……….. 78 9 Pemukiman masyarakat Desa Kandolo Kabupaten Kutai Timur …….. 79 10 Mata pencaharian utama responden pada desa/kelurahan dampak dan

desa non-dampak ……….. 84

11 Tingkat pendidikan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa

non-dampak ……… 86

12 Tingkat pendapatan responden pada desa/kelurahan dampak dan desa

non-dampak ………. 87

13 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan ……….……….. 91 14 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan

persepsi penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan pertambangan ……. 91 15 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak

bekerja pada perusahaan pertambangan dengan desa/kelurahan …….. 93 16 Pola asosiasi antara responden yang bekerja, pernah bekerja, dan tidak

bekerja pada perusahaan pertambangan dengan pelapisan sosial

ekonomi ………. 93

17 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun

terakhir dengan desa/kelurahan ……… 95 18 Pola asosiasi antara tingkat pendapatan responden dalam lima tahun

terakhir dengan pelapisan sosial ekonomi ……… 96 19 Pola asosiasi antara sumber perubahan pendapatan responden dengan


(15)

20 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak

perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ……… 99 21 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan

persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan

keluarga ………... 99

22 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan

pertambangan dengan desa/kelurahan …..………. 101 23 Pola asosiasi antara responden yang menerima beasiswa, pernah

menerima beasiswa, dan tidak menerima beasiswa dari perusahaan

pertambangan dengan pelapisan sosial ekonomi ……… 102 24 Keikutsertaan responden dalam kegiatan community development

perusahaan pertambangan berdasarkan pelapisan sosial ekonomi ……. 102 25 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak

perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat …….…. 104 26 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan

dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ……….. 105 27 Pola asosiasi antara desa/kelurahan dengan persepsi dampak kehadiran

perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil ………..…. 106 28 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi masyarakat dengan

persepsi dampak kehadiran perusahaan pertambangan terhadap

usaha-usaha kecil ………. 107 29 Rumah masyarakat yang berbatasan langsung dengan lahan milik

PT Badak NGL di Dusun Baltim Kelurahan Bontang Lestari ………... 109 30 Pola asosiasi antara pelapisan sosial ekonomi dengan konflik

masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ……… 111 31 Perkembangan PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar

harga konstan 1993 tahun 1993-2003 ... 136 32 Distribusi PDRB Kota Bontang dengan/tanpa migas atas dasar harga

konstan 1993 tahun 1993-2003 ... 136 33 Perkembangan PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan migas/tanpa

migas/tanpa migas dan batubara atas dasar harga konstan 1993 tahun

1993-2003 ……… 138 34 Distribusi PDRB Kabupaten Kutai Timur dengan/tanpa migas atas


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner ………. 153

2 Daftar desa/kelurahan dalam ruang lingkup community development PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL ……….. 159

3 Pengalaman wawancara dengan responden ……… 160

4 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Badak NGL tahun 2004 …….. 165

5 Kegiatan pengembangan masyarakat PT Indominco Mandiri tahun 2004-2005……….. 167

6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Kalimantan Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) ……….. 169

7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah) ………. 170

8 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha tahun 1993-2003 (juta rupiah ……….. 171

9 Mata pencaharian utama responden ……… 172

10 Tingkat pendidikan responden ……… 173

11 Tingkat pendapatan responden ……… 174

12 Persepsi pengaruh kehadiran perusahaan pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja ………. 175

13 Responden yang bekerja/pernah bekerja pada perusahaan tambang …… 176

14 Tingkat pendapatan responden dalam lima tahun terakhir ………. 177

15 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap kesejahteraan keluarga ………. 178

16 Responden yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan pertambangan 179 17 Responden yang ikutserta dalam program community development perusahaan pertambangan ………. 180

18 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat ……… 181

19 Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap pertumbuhan usaha-usaha kecil ……… 182


(17)

21 Kasus Desa Suka Damai ……… 184 22 Data koordinat hasil analisis korenpondensi berganda

(correspondence analysis) ……….. 193 23 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah penelitian dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) ………. 201 24 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta TGHK

Provinsi Kalimantan Timur ….………. 202 25 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sumberdaya alam tersebut terdiri atas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non – renewable resources). Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui mempunyai sifat terus menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia seperti sumberdaya hutan, air, dan lainnya. Sedangkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui mempunyai sifat fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali dan terjadinya diperlukan waktu ribuan tahun seperti mineral, batubara, minyak bumi, dan lainnya.

Dalam pengelolaan dan penentuan peruntukan sumberdaya alam ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu efesiensi dan efektifitas pemanfaatan yang optimal sesuai daya dukung lingkungan, tidak mengurangi potensi dan kelestarian sumberdaya lain yang berkaitan dengan suatu ekosistem, memberikan kemungkinan alternatif pemanfaatan di masa depan sehingga ekosistem tidak dirombak secara drastis. Hal ini penting, sebab sumberdaya alam memiliki kemampuan untuk dipergunakan sesuai kapasitas daya dukungnya sehingga dalam pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana untuk mewujudkan manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan guna memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Minyak bumi dan bahan tambang lainnya sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dalam pengelolaan dan pemanfaatannya termasuk dalam sektor pertambangan. Sektor pertambangan sendiri terbagi atas sub sektor minyak bumi dan gas (migas), sub sektor pertambangan umum, dan galian C. Menurut Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 bahan galian atau bahan tambang dibagi atas tiga golongan, yaitu: a) bahan galian strategis; b) bahan galian vital; dan c) bahan galian yang tidak termasuk golongan a dan b. Minyak


(19)

2

bumi, gas alam, dan batubara termasuk ke dalam golongan bahan galian a atau strategis (Deptamben 1982).

Sejak tahun 1967 terjadi perubahan kebijakan terhadap investasi asing. Pemerintah orde baru melihat bahwa investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 yang diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing untuk kegiatan pertambangan. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah pemberian wilayah kontrak karya atau kuasa pertambangan dalam skala yang cukup luas tanpa memperhitungkan keberadaan penduduk yang ada di wilayah tersebut atau hak-hak lainnya yang melekat pada lokasi tersebut. Tidak jarang wilayah konsesi pertambangan tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat.

Sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam perannya sebagai penghasil devisa. Pada tahun 2000, sektor pertambangan dan penggalian yang terdiri atas subsektor minyak dan gas bumi, subsektor pertambangan bukan migas, dan subsektor penggalian, memberikan sumbangan sebesar 38 896.4 milyar rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan ini mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2003 sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 40 590.8 milyar rupiah (BPS 2004).

Salah satu provinsi yang memiliki sumberdaya alam tambang dan minyak bumi terbesar serta memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara adalah Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang menjadi andalan produksi batubara dan migas antara lain Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Kutai Kertanegara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Kedua daerah tersebut merupakan pusat pertumbuhan ekonomi baru yang cikal bakal kelahirannya karena keberadaan pengusahaan tambang di wilayah tersebut yaitu PT Kaltim


(20)

3

Prima Coal di Sangatta dan PT Badak Natural Gas Liquefaction Co (PT Badak NGL) di Bontang. Saat ini, sumbangan sektor pertambangan (batubara dan migas) terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada kedua daerah tersebut menempati urutan yang paling atas dari sektor-sektor lain.

Keberadaan perusahaan pertambangan di daerah tersebut tidak hanya memberikan dampak yang positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak positif antara lain peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan dampak negatif terjadi akibat sifat kegiatan penambangan khususnya pola penambangan terbuka. Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal.

Dampak kegiatan pertambangan terhadap masyarakat terbagi atas dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak positif langsung umumnya dinikmati oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan, namun masyarakat tersebut juga menerima dampak negatif yang akan timbul dari kegiatan pertambangan tersebut. Dampak positif langsung dapat dirasakan oleh masyarakat melalui program community development yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Dampak tidak langsung diperoleh melalui penerimaan negara dari sektor pertambangan baik berupa pajak, iuran, maupun pungutan lainnya yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan.

Melihat besarnya potensi dan cadangan minyak bumi dan gas serta bahan mineral yang belum dieksploitasi, maka sektor pertambangan memiliki prospek untuk berkembang di masa yang akan datang. Menurut Salim (2005), bahan tambang merupakan sumberdaya yang "tidak dapat diperbarui", sehingga keberlanjutan pembangunan akan terhambat oleh susutnya sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, hasil pendapatan pertambangan harus digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang diperbarui. Kalau bahan tambang habis tersusut, sudah tersedia "mesin-mesin


(21)

4

penggerak pembangunan" lain berbasis "sumberdaya alam yang diperbarui", seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, dan pengembangan sumber daya manusia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengelolaan bahan galian tambang sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan secara terarah, terpadu dan terkoordinasi antara semua stakeholder sehingga dapat mengakomodir semua kepentingan baik masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk dapat mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkesinambungan Oleh karena itu, sektor pertambangan seharusnya ditempatkan sejajar dengan sektor-sektor ekonomi lainnya dalam perencanaan tata ruang, agar dicapai keberlanjutan fungsi dan komponen ekosistem. Fungsi hutan lindung, daerah aliran sungai, kondisi morfologi tanah, potensi pemanfaatan lahan, kondisi iklim serta lingkungan sosial budaya masyarakat setempat harus dipertimbangkan dalam pengembangan pertambangan. Untuk itu perlu diketahui bagaimana kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan yang ada saat ini sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang.

Perumusan Masalah

Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru.

Keberadaan perusahaan tambang di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur baik dari subsektor pertambangan umum antara lain PT Kaltim Prima Coal, PT Indominco Mandiri, PT Kitadin maupun subsektor migas antara lain Pertamina OPS Sangatta, PT Virginia Indonesioa Company (VICO), dan PT.Badak NGL, merupakan salah satu faktor berkembangnya daerah tersebut dari sebuah desa kecil hingga menjadi kabupaten/kota dengan nama ibukota yaitu


(22)

5

Bontang di Kota Bontang dan Sangatta di Kabupaten Kutai Timur. Pengembangan kedua kota tersebut diikuti dengan pembukaan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan bagi pemukiman dan pembangunan infrastruktur sebagai pendukung mobilitas pembangunan kota dan penduduk.

Sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur menempati urutan teratas. Namun menurut Pemda dan KKPPSDA Bontang (2003), lapangan pekerjaan utama penduduk Kota Bontang bukan pada sektor pertambangan melainkan pada sektor konstruksi bangunan (23.12 %), kemudian disusul perdagangan besar dan eceran (16.02%) dan industri pengolahan (14.21%). Sedangkan lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Kutai Timur menurut BPS Kutai Timur (2003) terbanyak pada sektor pertanian (69.50%), kemudian disusul sektor pertambangan dan galian (9.54%), dan perdagangan (6.72%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan tidak banyak menyerap tenaga kerja khususnya tenaga kerja lokal. Menurut Salim (2004), kegiatan pertambangan acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak melibatkannya ikut bekerja karena mereka dianggap tidak punya keterampilan, keahlian, dan kemampuan kerja tambang.

Kehadiran suatu perusahaan pertambangan diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya terhadap pembangunan daerah tapi juga terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi pertambangan. Namun sumberdaya alam yang melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakatnya, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Menurut BPS, Bappenas, dan UNDP (2004), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1999 adalah 67.8 (peringkat 3) dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 70.0 (peringkat 4), sedangkan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) masing-masing tahun 1999 20.6 (peringkat 4) dan tahun 2000 19.1 (peringkat 5). Pada tahun 2000, Kota Bontang memiliki IPM 72.6 (peringkat 33), sedangkan Kabupaten Kutai Timur memiliki IPM 66.1 (peringkat 164). IKM Kota Bontang tahun 2001 adalah 17.6 (peringkat 62), sedangkan IKM Kabupaten Kutai Timur adalah 24.1 (peringkat 168). Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang dicerminkan dalam bentuk maraknya aksi protes masyarakat


(23)

6

setempat terhadap kehadiran kegiatan pertambangan serta munculnya berbagai konflik lahan.

Sektor pertambangan memang memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara, namun kegiatan pertambangan tersebut belum berpihak pada masyarakat. Pengerukan hasil tambang dari bumi Kalimantan Timur belum banyak memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Akibat kurang berpihak pada masyarakat, sering kali muncul kecemburuan dari masyarakat di sekitar lokasi pertambangan yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan.

Selain itu, wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Pemberian wilayah konsesi oleh pemerintah kepada pengusaha pertambangan dilakukan tanpa sosialisasi ataupun persetujuan masyarakat. Hal ini mengakibatkan kelompok masyarakat akan terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar oleh rusaknya lingkungan atau limbah operasi penambangan.

Melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, maka dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pengusahaan pertambangan, yaitu :

1. Bagaimana kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah? 2. Bagaimana dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan

masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan?

3. Bagaimana kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)?

4. Bagaimana dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang bagi pengusahaan pertambangan serta


(24)

7

dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan wilayah di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.

Adapun tujuan khusus penelitian adalah:

1. menganalisis kontribusi kegiatan pertambangan terhadap pembangunan daerah;

2. menganalisis dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan masyarakat khususnya yang berada di sekitar lokasi pertambangan;

3. menganalisis kesesuaian peruntukan ruang antara areal pertambangan dengan RTRW;

4. menganalisis dampak pola perijinan kegiatan pertambangan terhadap perubahan penggunaan lahan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah khususnya dalam penataan ruang dan perencanaan tata guna lahan untuk pengembangan wilayah. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan pemberian ijin kegiatan pertambangan sehingga benturan kepentingan antar sektor dapat dihindari dan potensi sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Pengembangan Wilayah

Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus di dasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berbeda.

Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutuhkan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun (Freeport, Inco, perkebunan kelapa sawit seluas 50 000 ha, prasarana untuk jasa yang besar seperti pelabuhan, samudra, dan lain-lain). Prime mover dapat berupa (1) Tambang mineral (Freeport); (2) Tambang minyak (Caltex); (3) Tambang gas (Arun, Bontang, Bunyu); (4) Hutan industri; (5) Industri perikanan dengan kegiatan penunjangnya; (6) Industri pertanian (kelapa sawit, tembakau, karet, dan lain-lain); (7) Pusat industri jasa; (8) Pusat pendidikan; (9) Pusat penelitian dan pengembangan (R&D Centers, seperti di Serpong). Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar di sekitar prime mover tersebut (Zen 2001).

Dengan demikian perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah (regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan daerah.


(26)

9

Ada beberapa pendapat mengenai pengembangan wilayah (regional development). Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangkan menurut Zen (2001), pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi, pengembangan wilayah tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya, dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri . Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (Gambar 1).

Gambar 1 Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, dan Teknologi (Zen 2001).

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Alam

Teknologi

Lingkungan Hidup

Lingkungan Hidup

Pengembangan Wilayah Lingkungan Hidup


(27)

10

wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan.

Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Di sisi sosial ekonomis, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya. Di sisi lain, secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral), dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat.

Adapun tujuan utama pengembangan pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan.

Ary (2001), mengatakan bahwa tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya yang tersebar di wilayah Indonesia guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah adalah:

1. Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperkukuh kesatuan dan ketahanan nasional serta mewujudkan Wawasan Nusantara.

2. Pembangunan sektoral dilakukan secara saling memperkuat untuk meningkatkan pertumbuhan, pemerataan, dan kesatuan wilayah nasional serta pembangunan yang berkelanjutan.

3. Perkembangan wilayah diupayakan saling terkait dan menguatkan sesuai dengan potensi wilayah.


(28)

11

Dengan demikian, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Sedangkan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadinigrat 2002).

Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain. Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut saling melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antarsektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dengan pengembangan wilayah (Riyadi 2002).

Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan. Selanjutnya Zen (2001) menyatakan bahwa dalam kegiatannya pengembangan wilayah harus disertai oleh community development. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya harus dikembangkan.

Pengembangan wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut MacAndrews et al. (1982) terdapat empat faktor utama yang berpengaruh kuat terhadap kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia, yaitu: 1. Alam kepulauan, sebagai Negara kepulauan Indonesia terdiri atas 13 667

pulau. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dipusatkan di Pulau Jawa, diikuti oleh tiga pulau utama lainnya yaitu pulau Sumatera, Sulawesi dan


(29)

12

Kalimantan. Konsentrasi pengembangan yang dipusatkan di Jawa dan ke tiga pulau yang utama lain telah mengakibatkan munculnya daerah yang semakin terisolasi dan terabaikan akibat perbedaan jarak, daerah dan komunikasi antar pulau. Sebagai negara kepulauan, terjadinya migrasi antar pulau juga harus dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan wilayah.

2. Keanekaragaman budaya, dimana Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam, terdiri atas kultur dan kelompok kesukuan yang berbeda. Keaneka ragaman tersebut juga menjadi suatu sumber kekuatan yang berpengaruh dalam kebijakan dan politik.

3. Sifat alami dari perkembangan politis, yaitu Indonesia beberapa kali mengalami perubahan dimana pengaruh kekuatan wilayah lebih kuat dibanding dengan pemerintah pusat. Disamping itu, Indonesia dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang kecil yang terbentuk pada waktu yang berbeda dan pengaruh yang berbeda-beda pula.

4. Sifat alami sistem politik. Pemerintah Indonesia berada dalam tangan birokrasi militer sipil dengan peranan partai politik yang sangat terbatas. Pada waktu yang sama, kekuasaan politik sangat terpusat yang mencerminkan kekuasaan Pulau Jawa dan kultur Jawa. Pemerintah pusat sangat kuat dalam memegang kendali dan arah sehingga menghasilkan sistem politik yang mempengaruhi pembangunan ekonomi negeri.

Pengembangan Masyarakat

Community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat/komuniti yang dilakukan secara sistematis dan terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik (Budimanta 2005).

Menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling


(30)

13

ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan menyangkut kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi, dan kemampuan untuk memilih, dan sebagainya.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada enam dimensi penting dari community development, yaitu: (1) Pengembangan sosial; (2) Pengembangan ekonomi; (3) Pengembangan politik; (4) Pengembangan budaya; (5) Pengembangan lingkungan; dan (6) Pengembangan pribadi/keagamaan.

Zen (2001) mengatakan bahwa tujuan community development ialah memberdayakan keluarga seterusnya rukun tetangga dan rukun keluarga. Dalam

community development, pada tahap awal harus disebarkan benih-benih keinginan untuk mengubah nasib mereka; meningkatkan kualitas hidup. Sesudah itu baru langkah-langkah menuju tindakan-tindakan konkrit:

1. Perencanaan keluarga.

2. Kebersihan lingkungan yang dikaitkan dengan masalah hygenik yang menuju kesehatan.

3. Jangan mengotori sumberdaya air (sungai, danau, pantai). Dus pembuatan dan pemanfaatan MCK.

4. Memanfaatkan se-optimum mungkin setiap jengkal tanah/pekarangan dengan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat (bergizi) seperti kecipir, daun ketela, waluh, dan lain; untuk obat-obatan (temulawak, kumis kucing, dan lain-lain).

5. Beternak (ayam, kelinci, kambing, ikan mas, mujair, nila, gurame, lele, lebah madu, dan lain-lain).

Tahap 1 sampai dengan 5 merupakan basic essentials yang menyertai usaha pengembangan wilayah. Community development harus merupakan kegiatan paralel yang tidak boleh ditinggalkan.

Tujuan community development pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh PEMDA terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik di sekitar wilayah kegiatan perusahaan.


(31)

14

3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.

4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komuniti di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining/oil).

Selanjutnya dikatakan bahwa terhadap komuniti yang berada pada lingkar tambang setidaknya program comdev dapat dikategorikan di dalam tiga aspek yaitu yang berkaitan dengan community relation, community empowering, dan

community services. Kemudian kategori-kategori tersebut dapat dilihat dari empat aspek yang biasanya dikembangkan, yaitu:

1. Fisik; seperti pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, dan lain sebagainya.

2. Sosial; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat seperti pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga paramedis, obat-obatan, penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan permukiman), keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun ceramah-ceramah keagamaan), dan lain sebagainya.

3. Ekonomi; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, teknik

kewirausahaan, inkubator bisnis, program kemitraan, bantuan permodalan, pemasaran, dan promosi.

4. Kelembagaan; pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, organisasi profesi lewat kegiatan-kegiatan lokakarya, seminar, pertukaran pengalaman dengan lembaga sejenis dan lain sebagainya.

Budimanta (2005) menyatakan pula bahwa peserta program community development seyogyanya difokuskan kepada masyarakat lingkar tambang dan diutamakan kepada masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan. Masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan


(32)

15

pada dasarnya merupakan gabungan komuniti-komuniti lokal yang bisa terdiri dari penduduk asli dan juga pendatang yang menetap di lokasi yang bersangkutan. Namun menurut Saleng (2004), program community development yang dilancarkan oleh perusahaan pertambangan pada hakekatnya adalah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan (recognition) dari perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak penguasaan atas sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial dan recognisi tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang maupun sarana dan fasilitas-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada masyarakat setempat.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kegiatan community development yang dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap masyarakat setempat berbeda-beda, demikian pula penerimaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut berbeda-beda. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh sosial budaya dan kelompok etnis dominan dari masyarakat setempat.

Menurut Primahendra (2004), berdasarkan aspek peran masyarakat, praktek

community development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Development for community, dimana masyarakat menjadi obyek

pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar.

2. Development with community, dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak.

3. Development of community, dimana proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.


(33)

16

Tabel 1 Tiga model community development

Development for Community Development with Community Development of Community Aktor utama Aktor dari luar Aktor dari luar

bersama dengan masyarakat lokal Masyarakat lokal Bentuk hubungan Sosialisasi konsultasi

Kolaborasi Self-Mobilization Empowerment

Pengambil keputusan

Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal

Masyarakat lokal

Pelaksana Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal

Masyarakat lokal

Bentuk kegiatan Proyek Proyek dan Program

Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan

Sumber: Primahendra 2004

Perencanaan Pembangunan Daerah

Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan, antara lain : lingkungan, potensi dan masalah, institusi perencana, ruang dan waktu, serta legalisasi kebijakan.

Perencanaan pembangunan daerah yang dikembangkan harus memiliki prinsip-prinsip ke-Indonesia-an dengan tetap memperhatikan perkembangan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) antara lain:


(34)

17

1. Perencanaan pembangunan daerah harus memiliki landasan filosofis yang kuat dan mengakar dalam kultur/budaya masyarakat yang ada di daerah.

2. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat komprehensif, holistic atau menyeluruh, sehingga mampu membangun aspek-aspek yang ada menjadi satu kesatuan dalam pembangunan.

3. Perencanaan pembangunan daerah harus mengakomodasikan keadaan struktur ruang (spatial) dari wilayah perencanaannya, seperti pusat perkotaan, pedesaan, daerah terisolir (hinterland), pusat-pusat pertumbuhan (growth poles), distribusi air, listrik, dan sebagainya.

4. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat menyokong/memperkuat perencanaan pembangunan nasional. Pembangunan daerah harus dilaksanakan secara harmonis dan mendukung proses pembangunan nasional dengan tetap berlandaskan pada kekuatan, potensi, dan kebutuhan daerah itu sendiri.

5. Perencanaan pembangunan daerah harus menggambarkan arah kebijaksanaan ke mana daerah akan dibawa, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana tahapannya. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan daerah harus mencerminkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin diwujudkan di daerah tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya sering dihadapkan pada berbagai kendala. Hal-hal yang menjadi kendala dalam dalam proses pembangunan daerah secara umum terbagi atas tiga, yaitu:

1. Kendala politis.

Merupakan kendala yang disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan politik yang mendompleng pada substansi perencanaan pembangunan. Ini merupakan kendala yang cukup sulit dihindari, karena biasanya datang dari adanya tarik menarik kepentingan di antara elite politik dan elit penguasa (birokrasi) yang memiliki kekuatan (power) dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

2. Kondisi sosio-ekonomi masyarakat.

Kondisi sosio-ekonomi biasanya mencerminkan kemampuan finasial daerah, padahal kemampuan finansial memiliki peran penting untuk merumuskan perencanaan yang baik. Hasil perencanaan harus dilaksanakan/


(35)

18

diimplementasikan dan pada tahap pelaksanaan inilah dukungan dana yang memadai sangat dibutuhkan.

3. Budaya/kultur yang dianut oleh masyarakat

Apabila kultur tidak diberdayakan dan diarahkan ke arah yang positif secara optimal akan sangat mempengaruhi hasil-hasil perencanaan, bahkan bisa sampai pada tahap implementasinya. Nilai-nilai budaya primordialisme, parokhialisme, etnosentrisme, patron-client yang cenderung masih melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, harus dikendalikan dengan baik dan diarahkan menjadi faktor pendukung pembangunan, sehingga pembangunan dilaksanakan dengan nilai-nilai positif relegius, tenggang rasa, gotong royong, dan sebagainya.

Perencanaan tata guna lahan (land use planning) dan perencanaan pembangunan daerah memiliki keterkaitan yang erat. Riyadi dan Bratakusumah (2004) menyebutkan keterkaitan tersebut sebagai berikut:

1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah sangat terkait dengan perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan.

2. Perencanaan tata guna lahan merupakan jembatan antara perencanaan daerah dan pengembangan wilayah.

3. Perumusan perencanaan tata guna lahan merupakan kerangka acuan pembangunan dan pengembangan prasarana fisik yang sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya yang terkait dengan penggunaan lahan.

4. Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna dikembangkan atau dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem.

Perencanaan Wilayah

Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam ruang wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan


(36)

19

penggunaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan penetapan visi dan misi wilayah. Ada lima alasan pentingnya perencanaan wilayah, yaitu:

1. Banyak diantara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui.

2. Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia. 3. Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat

diubah atau diperbaiki lagi.

4. Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang kehidupannya.

5. Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut saling mempengaruhi.

Glasson (1978) menyatakan bahwa perencanaan wilayah umumnya merupakan perencanaan yang melibatkan unsur fisik dan ekonomi. Perencanaan wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk memandu pengembangan dari suatu daerah.

Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan), sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang.

Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi pemerintah maupun investasi pihak swasta. Investasi pihak swasta perlu mendapat izin atau persetujuan pemerintah baik keberadaannya maupun lokasinya, sehingga pemerintah dapat mengendalikan/mengarahkan struktur tata ruang/ penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan/mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam


(37)

20

wilayah, terciptanya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga, dan lain sebagainya.

Perencanaan Partisipatif

Pergeseran pembangunan dari pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang berorientasi publik memerlukan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya. Menurut Conyers (1994), ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting, yaitu:

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa ikut dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.

3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Selanjutnya Conyers (1994) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Survey dan konsultasi lokal.

Metode ini ditempuh dengan cara langsung mendekati obyek yang menjadi sasaran rencana kegiatan atau proyek melalui bentuk kegiatan survei lapangan, wawancara dengan penduduk, menyelenggarakan pertemuan, dan lainnya. Melalui metode ini dapat diketahui informasi mengenai kondisi lapang yang sebenarnya dari tangan pertama atau masyarakat secara langsung.

2. Penggunaan staf yang terampil.

Metode ini dilakukan dengan media petugas lapangan dari instansi tertentu yang berkompeten dalam suatu proyek. Melalui petugas lapangan, informasi mengenasi rencana proyek dan dampaknya bagi masyarakat akan dijelaskan oleh petugas lapangan kepada masyarakat.


(38)

21

3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi.

Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu organisasi perencanaan di tingkat lokal dan adanya proses desentralisasi implementasi rencana kegiatan. 4. Pemerintah daerah.

Perencanaan dilakukan oleh pemerintah daerah yang jangkauannya lebih luas dari perencanaan desentralisasi.

5. Pembangunan masyarakat (community development).

Pembangunan masyarakat merupakan suatu pendekatan terpadu untuk pengembangan masyarakat dalam rangka menaikkan standar hidup serta mengembangkan taraf hidup masyarakat melalui berbagai kegiatan. Penekanan dari kegiatan ini adalah penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan.

Menurut Abe (2005), ada dua bentuk perencanaan partisipatif. Pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama rakyat. Perencanaan ini bisa merupakan perencanaan lokasi setempat yakni perencanaan yang menyangkut daerah dimana masyarakat berada dan perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan. Kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan, sesuai dengan institusi yang sah (legal-formal) seperti parlemen.

Kegiatan Pertambangan

Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam bumi Indonesia. Usaha pertambangan meliputi pertambangan umum dan pertambangan minyak dan gas bumi. Kegiatan minyak dan gas bumi sendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibedakan atas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan usaha ekploitasi. Kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.


(39)

22

Pelaksana kegiatan usaha pertambangan memiliki kewajiban pengembangan masyarakat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pertambangan minyak dan gas bumi tercantum dalam pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yaitu kewajiban pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat. Kewajiban pengembangan masyarakat bagi pelaksana kegiatan usaha pertambangan umum tercantum dalam pasal 6-7 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum yang didalamnya antara lain mengatur tentang pengembangan wilayah, pengembangan kemasyarakatan dan kemitrausahaan. Program pengembangan masyarakat yang harus dilakukan meliputi sumberdaya manusia, kesehatan, pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan kemitraan.

Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan di daerah, otomatis akan terbentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru (Saleng 2004).

Namun setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun negatif. Menurut Muhammad (2000), dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional;

2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD);

3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;

5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.


(40)

23

Sedangkan dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah : 1. Kehancuran lingkungan hidup;

2. Penderitaan masyarakat adat;

3. Menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal; 4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan

6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.

Saleng (2004) menyatakan bahwa pada setiap pengusahaan pertambangan yang lokasinya relatif terpencil atau wilayah/daerah yang baru dibuka, masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta mampu/memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Contoh kasus: masyarakat Kamoro dan Amungme di sekitar Freeport Indonesia, masyarakat Kutai di sekitar PT Kaltim Prima Coal, dan masyarakat Luwu di sekitar INCO. Hal ini disebabkan oleh kebijakan dan penanganan yang keliru oleh Pemerintah Daerah dan perusahaan pertambangan sendiri dengan memberikan atau memenuhi segala klaim-klaim dari masyarakat asli. Pemenuhan klaim-klaim itu, tidak diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai akan cara pemanfaatan dan penggunaan dana atau barang yang diberikan, sehingga pemberian itu hanya habis dikomsumsi dalam waktu relatif singkat artinya tidak produktif.

Selanjutnya Saleng (2004) menyatakan bahwa kontribusi pengusahaan pertambangan terhadap pembangunan secara nasional melalui penerimaan negara sangat besar, namun terhadap pembangunan daerah atau wilayah dan masyarakat sekitar usaha pertambangan baik melalui program local and community development maupun program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada lima perusahaan pertambangan (PT Freeport Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Caltex Pasific Indonesia, PT.International Nickel Indonesia, dan PT Aneka Tambang Tbk), Saleng (2004) menyatakan bahwa secara umum terdapat tiga hal yang masih menjadi masalah dalam pengusahaan pertambangan saat ini dan dimasa yang akan datang, yaitu:


(41)

24

1. Tumpang tindih hak atas wilayah operasi Kontrak Karya, Kontrak Production Sharing, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dan Kuasa Pertambangan di satu pihak dengan hak-hak: kehutanan, perkebunan, ulayat masyarakat adat, transmigrasi dan tanah penduuduk setempat di pihak lain. 2. Pengelolaan, perlindungan, dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha

pertambangan.

3. Pengembangan wilayah dan masyarakat (local and community development) sekitar wilayah usaha pertambangan.

Sedangkan menurut Bappenas (2004), konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya antara lain konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang, pelestarian lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan dalam penggunaan lahan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Adapun penyebabnya antara lain:

1. Sulitnya mengakomodasi kegiatan pertambangan ke dalam penataan ruang. 2. Sering dituduh sebagai biang keladi kerusakan lingkungan.

3. Tumpang tindih pemanfaatan ruang dengan lahan kehutanan.

Pengelolaan usaha pertambangan umum juga tidak luput dari permasalahan keagrarian/pertanahan. Menurut Soenarto (2004), konflik masalah pertanahan/kewilayahan yang sering terjadi di subsektor pertambangan antara lain:

1. Tumpang tindih pemanfaatan lahan dengan sektor lain seperti kehutanan, perkebunan, kelautan, pertanian, dll;

2. Permasalahan ganti rugi lahan dengan pemegang hak atas tanah; dan 3. Hak ulayat.

Berkaitan dengan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan selama ini, pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah harus lebih tegas karena masih banyak kekurangan dalam masalah pengelolaan perbaikan lingkungan (Suryanto 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa Kalimantan Timur dengan wilayah pertambangan yang luas sampai saat ini masih dihadapkan pada permasalahan kerusakan (degradasi) lingkungan karena diperkirakan banyak perusahaan yang belum memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan. Upaya yang dapat ditempuh saat ini adalah mengevaluasi kemungkinan diperpanjangnya kegiatan pertambangan jika


(42)

25

terdapat perusahaan pertambangan yang belum memperbaiki kerusakan lingkungan. Lebih daripada itu pemerintah daerah dapat menyusun peraturan daerah mengenai pengelolaan pertambangan dan lingkungan berdasarkan potensi daerah, yang dapat dijadikan pedoman bagi calon investor dan masyarakat.

Hutan dan Kehutanan

Hutan dan kehutanan merupakan salah satu pemanfaatan ruang yang sangat penting karena hampir 70% dari ruang daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat maka luas kawasan hutan dan penutupan lahan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau yang harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau tersebut (Dephut 2003).

Salah satu bentuk penataan ruang dalam bidang kehutanan adalah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dilakukan pada setiap provinsi dan merupakan hasil kesepakatan tujuh instansi sektoral di tingkat provinsi pada tahun 1985. TGHK merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dilakukan melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK adalah seluas 147.027.680 hektar yang terdiri atas hutan tetap seluas 110.990.858 hektar dan hutan yang dapat dikonversi untuk kegiatan pembangunan lainnya seluas 36 036 822 hektar.

Dalam perkembangannya, TGHK mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan pembangunan dan kebutuhan akan lahan untuk pemukiman penduduk, pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Untuk itu, dilakukan penyesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang selanjutnya dikenal sebagai Paduserasi TGHK-RTRWP. Melalui paduserasi ini, sebagian kawasan hutan berubah menjadi non kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan setempat akan lahan. Pada tahun 1999, kawasan hutan Indonesia kembali ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan


(43)

26

Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi yang disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK. Penunjukan kawasan hutan provinsi sampai dengan bulan Desember 2003 telah diterbitkan sebanyak 24 provinsi, sedangkan tiga provinsi lain (Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah) masih dalam proses penyelesaian.

Tabel 2 Luas kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi

No. Fungsi Luas (ha)

TGHK Penunjukan 1 Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam

19 229 498 23 239 815.57

2 Hutan Lindung 29 326 072 29 100 016.20

3 Hutan Produksi Terbatas 29 437 587 16 212 527.26 4 Hutan Produksi Tetap 32 997 701 27 738 950.20

Hutan tetap 110 990 858

5 Hutan Produksi Yang Dapat di Konversi

36 036 822 13 670 535.00

Jumlah 147 027 680 109 961 844.05

Sumber: Dephut 2003

Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, kawasan hutan Indonesia adalah seluas 109.961.844.05 hektar (Tabel 2). Sedangkan kawasan hutan Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah berdasarkan pemetaan paduserasi TGHK dan RTRWP tahun 1999 seluas 18.490.626 hektar (Dephut 2004).

Dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk kegiatan kehutanan maupun pembangunan di luar kehutanan sering muncul adanya konflik. Menurut Wulan et al. (2004) pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal. Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan. Dalam era desentralisasi,


(44)

27

kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah seringkali bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Menurut Riyanto (2004), permasalahan yang menonjol terkait dengan pengelolaan kawasan hutan antara lain penebangan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar tanpa izin, kebakaran hutan, dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

Perambahan kawasan hutan terjadi di beberapa daerah bahkan terjadi di Taman Nasional antara lain Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Merubetiri, dan sebagainya. Disamping itu, permasalahan klasik yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah masalah kemiskinan. Kondisi masyarakat sekitar hutan di Indonesia rata-rata miskin yang terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang berdampak pada tingkat pendapatan yang juga rendah. Disamping itu, kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan mereka memasuki kawasan hutan untuk mencari tambahan penghasilan atau membuka lahan untuk pertanian.

Kerangka Pemikiran

Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, khususnya bahan tambang. Disamping itu, Kabupaten Kutai Timur memiliki kawasan hutan yang cukup luas yaitu 2.784.024 hektar. Menurut Zen (2001), pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, pengembangan wilayah Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagai penggerak utama (prime mover) yaitu bahan tambang mineral dan migas.

Dalam rangka mengeksploitasi bahan tambang sebagai salah satu upaya dalam pengembangan wilayah, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai wujud perencanaan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sampai saat ini tidak kurang dari 30% wilayah daratan


(45)

28

Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara, migas maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat.

Namun di sisi lain, bahan galian tambang juga merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Menurut Saleng (2004), perolehan nasional dari sektor pertambangan dapat dikatakan multidimensional, antara lain mampu menopang program industrialisasi melalui penyediaan bahan baku induistri dalam negeri, menyediakan sumber energi seperi minyak bumi, gas, batubara, meningkatkan penerimaan negara dan devisa, membantu peningkatan dan pemeraan pembangunan ke berbagai wilayah, membuka kesempatan bekerja, serta meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan penduduk sekitar lokasi pertambangan.

Keberadaan tambang disuatu daerah, secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi tersebut. Dibeberapa daerah, sumbangan sektor pertambangan terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar. Namun pengembangan wilayah tidak hanya berupa peningkatan status administrasi wilayah, peningkatan PDRB, penyediaan lapangan kerja, atau pembangunan infrastruktur tapi juga berbicara mengenai pemberdayaan rakyat setempat. Dalam kegiatannya, pengembangan wilayah tidak hanya memanfaatkan sumberdaya alam tetapi juga harus membangun manusianya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Misra (1982), bahwa pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik ekonomi, sosial, dan budaya.

Disamping itu, kehadiran suatu pertambangan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan tersebut. Kesejahteraan disini tidak hanya dilihat dari kebutuhan hidup secara ekonomi, tapi juga pengakuan atas hak-hak, perlindungan dan keamanan, serta keiikutsertaan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut kepentingannya. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut


(1)

198

Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan desa/kelurahan

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

Membaik 1 0.799539 -0.643606 0.088608 1.000000 0.138599 0.090079 0.606804 0.821313 0.393196

Agak membaik 2 1.151083 0.171061 0.265823 1.000000 0.534503 0.560119 0.978393 0.174058 0.021607

Tidak berubah 3 -0.583716 0.017901 0.645570 1.000000 0.326898 0.349801 0.999060 0.004629 0.000940

Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pelapisan sosial ekonomi

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

Membaik 1 -0.272338 0.031966 0.113333 1.000000 0.469165 0.469981 0.986410 0.416686 0.013590

Agak membaik 2 0.193120 0.016873 0.243333 1.000000 0.503464 0.507414 0.992425 0.249253 0.007575

Tidak berubah 3 -0.025069 -0.012013 0.643333 1.000000 0.027371 0.022605 0.813248 0.334061 0.186752

Input Table (Rows x Columns): 4 x 3


(2)

199

Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan desa/kelurahan

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

Membaik 1 0.933860 -1.45873 0.037500 1.000000 0.148649 0.048849 0.290698 0.913651 0.709302

Agak membaik 2 0.667318 0.11560 0.550000 1.000000 0.333333 0.365840 0.970863 0.084160 0.029137

Tidak berubah 3 -0.974654 -0.02153 0.412500 1.000000 0.518018 0.585311 0.999512 0.002189 0.000488

Persepsi dampak perusahaan pertambangan terhadap usaha-usaha kecil berdasarkan pelapisan sosial ekonomi

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

Membaik 1 -0.737793 0.125145 0.039683 1.000000 0.677741 0.713613 0.972033 0.246704 0.027967

Agak membaik 2 0.168760 0.062671 0.285714 1.000000 0.282392 0.268821 0.878804 0.445465 0.121196

Tidak berubah 3 -0.028075 -0.033904 0.674603 1.000000 0.039867 0.017566 0.406771 0.307830 0.593229

Input Table (Rows x Columns): 4 x 3


(3)

200

Konflik antara masyarakat dengan PT Indominco Mandiri dan PT Badak NGL berdasarkan pelapisan sosial ekonomi

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

PT IM 1 0.552083 -0.007120 0.120405 1.000000 0.851678 0.856879 0.999834 0.022715 0.000166

PTB 2 -0.212556 -0.065669 0.055242 1.000000 0.063439 0.058275 0.912867 0.886483 0.087133

Tidak ada konflik 3 -0.066393 0.005441 0.824353 1.000000 0.084883 0.084846 0.993330 0.090802 0.006670

Keterangan :

PT IM : PT Indominco Mandiri PTB : PT Badak NGL

Sumber perubahan pendapatan responden berdasarkan pelapisan sosial ekonomi

Column Coordinates and Contributions to Inertia Standardization: Row and column profiles

Colum Column Coordin. Coordin. Mass Quality Relative Inertia Cosine² Inertia Cosine²

Name Number Dim.1 Dim.2 Inertia Dim.1 Dim.1 Dim.2 Dim.2

Perusahaan 1 -0.082124 0.180565 0.156667 1.000000 0.039628 0.007163 0.171402 0.635117 0.828598

Program Pemerintah 2 -0.379496 0.003210 0.306667 1.000000 0.283930 0.299388 0.999928 0.000393 0.000072

Perusahaan Lain 3 1.420860 0.107052 0.046667 1.000000 0.609069 0.638649 0.994355 0.066498 0.005645

Usaha Sendiri 4 0.128445 -0.069936 0.490000 1.000000 0.067373 0.054800 0.771332 0.297992 0.228668

Input Table (Rows x Columns): 3 x 4 Input Table (Rows x Columns): 3 x 7


(4)

201


(5)

202


(6)

203 Lampiran 25 Peta fungsi kawasan wilayah penelitian berdasarkan Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Timur