Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari

SERANGAN HAMA PENGOROK DAUN DAN KELIMPAHAN
SERANGGA LAIN YANG BERASOSIASI DENGAN
TANAMAN KENTANG MONOKULTUR DAN
TUMPANGSARI

HANIFAH NURAENI SUTEJA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Serangan Hama
Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan
Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Hanifah Nur’aeni Suteja
NIM A34090060

ii

ABSTRAK
HANIFAH NURAENI SUTEJA. Serangan Hama Pengorok Daun dan
Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang
Monokultur dan Tumpangsari. Dibimbing oleh PUDJIANTO.
Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai
ekonomis tinggi dan merupakan sumber bahan pangan karbohidrat lain selain
beras, jagung, dan gandum. Salah satu hama utama tanaman kentang dan tanaman
sayuran lainnya adalah lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis[Blanchard]).
Serangan berat hama ini dapat mengakibatkan gugurnya daun tanaman kentang di

lapangan kadang-kadang tanaman harus dipanen sebelum waktunya. Penelitian ini
bertujuan mengamati serangan hama lalat pengorok daun serta kelimpahan
serangga lainnya pada tanaman kentang yang dibudidayakan secara monokultur
dan tumpangsari. Lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya yang berbeda
(monokultur dan tumpangsari) diamati dalam penelitian ini. Pengamatan
dilakukan selama dua minggu sekali dengan cara pengamatan langsung dan
penggunaan perangkap. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara menghitung
jumlah daun pertanaman contoh dan jumlah daun yang terserang hama pengorok
daun serta pemakan daun. Jumlah tanaman contoh yang diamati adalah 10
tanaman per petak amatan. Pemasangan perangkap dilakukan dengan memasang
perangkap likat kuning dan lubang perangkap. Lima perangkap likat kuning
dipasang secara diagonal pada masing-masing petak amatan monokultur dan
tumpangsari. Lima lubang perangkap digunakan pada petak amatan tumpangsari.
Serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang tumpangsari dengan kacang
merah lebih tinggi dari pada tanaman kentang monokultur. Kacang merah
diketahui sebagai tanaman inang lain dari hama pengorok daun. Adanya
tumpangsari antara tanaman kacang merah dengan tanaman kentang
meningkatkan serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang. Sedangkan
hama yang dominan menyerang tanaman kentang monokultur adalah ulat grayak.
Serangga yang lebih banyak terperangkap pada perangkap likat kuning adalah

serangga dari ordo Thysanoptera and Diptera.
Kata kunci: kentang, kontrol kultural, Liriomyza huidobrensis, pengorok daun.

iv

ABSTRACT
HANIFAH NURAENI SUTEJA. Infestation of Leafminer and Abundance of
Other Insects Associated with Potato Grown in Monoculture and Intercropping
System. Supervised by PUDJIANTO.
Potato is one of economically-high-valued horticultural crops, and an
important crop as source of carbohydrate after rice, corn, and wheat. One of the
major pests of potato and other vegetables in Indonesia is leafminer (Liriomyza
huidobrensis [Blanchard]). Severe infestation of this pest causes defoliation of
potato plants in the field land sometime potato must be harvested before getting
mature. The purpose of this research was to get information on the infestation of
leafminer and the abundance of other insects on potato grown in monoculture and
intercropping systems. Two potato fields with different cropping system
(monoculture and intercropping) were observed in this study. In each cropping
system, three plots of 100 m2 each were set. Observations were conducted
biweekly by direct observations and using traps. Direct observations were

conducted by counting the amount of leaves and the leaves attacked by leafminer
and leaf eater on the sample plants. Ten potato plants per plot were observed as
sample plants. The traps used in this research were yellow sticky trap and pitfall
trap. Five yellow sticky traps were set diagonally in each plot in the monoculture
and intercropping fields. Five pitfall traps were set each plot of intercropping
system. Infestation of leafminer on the potato intercropped with common bean
was higher than on potato grown in monoculture system. Common bean is known
as another host plant of leafminer. The presence of common bean intercropped
with potato might have increased the infestation of leafminer on potato.
Meanwhile, the dominant pest on the potato grown in monoculture system was
armyworm. The most common insects trapped on the yellow sticky trap were
Thysanoptera and Diptera.
Key words: cultural control, leafminer, Liriomyza huidobrensis, potato.

iii

vi

SERANGAN HAMA PENGOROK DAUN DAN KELIMPAHAN
SERANGGA LAIN YANG BERASOSIASI DENGAN

TANAMAN KENTANG MONOKULTUR DAN
TUMPANGSARI

HANIFAH NUR’AENI SUTEJA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

v

viii


Judul
Nama
NIM

: Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang
Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari
: Hanifah Nur’aeni Suteja
: A34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen Proteksi Tanaman


Tanggal Lulus:

vii

x

PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala limpahan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya yang telah
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi
dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga
besar penulis yang senantiasa memberikan doa, motivasi, dan dukungan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Pudjianto, MSi. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
melaksanakan serta menyusun skripsi. Terimakasih kepada Ir. Ivone Oley
Sumarauw, MSi selaku dosen penguji tamu atas semua masukan, saran, dan kritik

kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan skripsi. Terimakasih kepada
semua pihak Balai Pengembangan Benih Kentang (BPBK) Pangalengan atas
semua bantuan dan saran selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Elischa, Meyta, Kak
Anggi, Kak Ummi, sahabat dan keluarga Departemen Proteksi Tanaman angkatan
46, keluarga di Andika House dan kepada semua pihak yang terlibat atas
kebersamaan, nasihat, semangat, serta dukungan yang tidak akan penulis lupakan.
Semoga penelitian lapangan yang dilaksanakan oleh penulis dapat
menambah pengetahuan dan memberikan manfaat kepada banyak pihak.

Bogor, Desember 2013
Hanifah Nur’aeni Suteja

ix

xii

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................1

Tujuan Penelitian ............................................................................................2
Manfaat Penelitian ..........................................................................................3
BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 4
Tempat dan Waktu ..........................................................................................4
Bahan dan Alat ...............................................................................................4
Metode Penelitian ...........................................................................................4
Budidaya Tanaman Kentang ................................................................ 4
Penentuan Petak Amatan ...................................................................... 6
Pengamatan Hama Secara Langsung ................................................... 7
Pengamatan dengan Perangkap Likat (yellow sticky trap)................... 7
Pengamatan dengan Lubang Perangkap (pitfall trap) .......................... 8
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................. 9
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 10
Gejala Serangan Hama Pengorok Daun dan Pemakan Daun .......................10
Luas Serangan Hama Pengorok Daun ..........................................................11
Intensitas Serangan Hama Pengorok Daun...................................................13
Intensitas Serangan Hama Pemakan Daun ...................................................14
Kelimpahan Serangga pada Perangkap Likat ...............................................15
Keragaman dan Kelimpahan Artropoda Permukaan Tanah pada
Pertanaman Kentang Tumpangsari ...............................................................17

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 20
Simpulan .......................................................................................................20
Saran .............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21
LAMPIRAN .......................................................................................................... 23
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 26

xi

xiv

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata luas serangan hama pengorok daun dilahan pertanaman kentang
monokultur dan tumpangsari .............................................................................12
2 Keragaman dan proporsi serangga dari perangkap likat di pertanaman
kentang ..............................................................................................................16
3 Rata-rata kelimpahan serangga per perangkap likat per pengamatan ............... 17
4 Keragaman dan proporsi artropoda permukaan tanah pada pertanaman
kentang tumpangsari..........................................................................................18


DAFTAR GAMBAR

1 Lahan pertanaman kentang monokultur (a) dan lahan pertanaman
kentang tumpangsari (b) ......................................................................................6
2 Layout petak amatan dan penentuan tanaman contoh pada pertanaman
kentang monokultur (a) dan tumpangsari (b) (titik-titik merah merupakan
letak tanaman contoh yang diamati) ....................................................................6
3 Pemasangan perangkap likat di petak amatan ..................................................... 8
4 Lubang perangkap di petak amatan tumpangsari ................................................ 9
5 Imago pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) (a) dan gejala korokan
pada daun kentang (b) .......................................................................................10
6 Hama pemakan daun dan gejala serangan hama pemakan daun.................... 11
7 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan monokultur
dan tumpangsari ................................................................................................14
8 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur
dan tumpangsari ................................................................................................15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan monokultur
dan tumpangsari ................................................................................................24
2 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur
dan tumpangsari ................................................................................................24
3 Lahan pertanaman kentang monokultur pada saat pengamatan ........................ 24
4 Lahan pertanaman kentang tumpangsari pada saat pengamatan....................... 24
5 Aplikasi pestisida di lahan monokultur ............................................................. 25
6 Aplikasi pestisida di lahan tumpangsari ............................................................ 25

xiii

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai
ekonomis tinggi dan merupakan sumber bahan pangan karbohidrat selain beras,
jagung, dan gandum (Eslita 2010). Kentang tergolong ke dalam famili
Solanaceae, genus Solanum, spesies Solanum tuberosum L. dan berasal dari
wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).
Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim dan berumur pendek (90
sampai 180 hari). Tanaman ini cocok ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian
1000 – 3000 m dpl (di atas permukaan laut). Suhu rata-rata harian yang optimal
bagi pertumbuhan kentang adalah 18-21 ºC (Samadi 2007). Menurut Rubatzky
dan Yamaguchi (1998), tanah yang bertekstur sedang hingga kasar dengan pH
5.5-6.5 (agak masam), berdrainase baik, dan beraerasi baik sangat cocok untuk
menanam kentang.
Di lapangan, tanaman kentang dapat terserang berbagai OPT (organisme
pengganggu tanaman). Salah satu OPT yang dapat menurunkan nilai ekonomi
tanaman kentang adalah hama. Hama-hama yang umum ditemukan di pertanaman
kentang menurut Duriat et al. (2006) adalah penggerek umbi (Phthorimaea
operculella), pengorok daun (Liriomyza huidobrensis), ulat tanah (Agrotis
ipsilon), kutu daun (Myzus persicae), trips (Thrips palmi), kutu kebul (Bemisia
tabaci), ulat grayak (Spodoptera sp.), dan ulat jengkal (Chrysodeixis sp.). Namun
Eslita (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hama yang ditemukan di
pertanaman kentang khususnya di Pangalengan adalah tungau kuning (Acarina:
Tarsonemidae) dan lalat pengorok daun (Diptera: Agromyzidae).
Lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis [Blanchard]) (Diptera:
Agromizidae) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kentang. Hama
ini pertama kali ditemukan menyerang pertanaman kentang di Desa Tugu Selatan,
Kecamatan Cisarua-Bogor pada pertengahan tahun 1994. Hama ini bersifat
polifag dan serangannya pada tanaman kentang dapat menurunkan hasil hingga
70% (Rauf 1995). Berdasarkan hasil penelitian Rauf (1999), di Pangalengan
sebanyak 60% petani telah merasakan masalah hama lalat pengorok daun sejak
tahun 1992-1993. Kerusakan yang disebabkan oleh hama ini berasal dari imago
dan larvanya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh imago berupa bintik-bintik kecil
pada daun karena lalat menusukkan alat peletak telur (ovipositor) pada daun dan
menghisap cairan tanaman yang keluar dari daun. Larva mengorok ke bawah
epidermis daun dan tulang daun sehingga pada permukaan daun tampak larikan
yang berkelok-kelok seperti lukisan berwarna putih. Daun menjadi kering, dan
akhirnya mati. Larva bisa ditemukan di dalam jaringan daun yang terserang
(Suwandi 2006). Berdasarkan hasil penelitian Winasa et al. (2010) mengenai
persebaran pengorok daun berdasarkan ketinggian tempat di Jawa Barat termasuk
Pangalengan disebutkan bahwa pengorok daun L. huidobrensis ditemukan pada
tanaman krisan, brokoli, horinso, zucchini, buncis, kacang merah, bawang daun,
kentang, dan seledri.
Parasitoid dan predator merupakan beberapa musuh alami penting hama
lalat pengorok daun yang banyak dilaporkan. Menurut Setiawati et al. (2004),
parasitoid hama L. huidobrensis berasal dari ordo Hymenoptera yang tergolong

2

kedalam famili Eulophidae (Hemiptarsenus varicornis, Neochrysocharis sp.,
Asecodes sp., Quadrasticus sp., dan Chrysocharis sp.), famili Braconidae (Opius
sp.), famili Eucoilidae (Chrysonotomya sp., Gronotoma sp.). Sedangkan predator
L. huidobrensis berasal dari ordo Diptera famili Muscidae yaitu Coenosia humilis.
Hal tersebut dilaporkan juga oleh Rustam (2009) dalam penelitiannya mengenai
jenis parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun pada sayuran di dataran
tinggi di Kabupaten Cianjur-Bogor. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa
parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun adalah Opius chromatomyiae,
Gronotoma micromorpha, Asecodes deluchii, Hemiptarsenus varicornis,
Neochrysocharis okazakii, Neochrysocharis formosa, Neochrysocaris sp., dan
Quadrastichus liriomyzae.
Menurut Setiawati et al. (2004) dan Warsito (2004), Hemiptarsenus
varicornis dan Opius chromatomyiae merupakan parasitoid penting pada hama
Liriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat ditemukan di seluruh areal
pertanaman kentang dan sayuran lainnya yang terserang L. huidobrensis. Hal
tersebut didukung oleh hasil penelitian Rustam (2009) yang menyebutkan bahwa
parasitoid Hemiptarsenus varicornis merupakan parasitoid yang paling dominan
di berbagai daerah ketinggian, dan Opius chromatomyiae menempati urutan kedua
terbanyak ditemukan.
Dalam proses produksinya di dataran tinggi terutama di daerah
Pangalengan, tanaman kentang dapat dibudidayakan secara monokultur maupun
tumpangsari. Menurut Prasetyo et al. (2009), pola tanam monokultur adalah
sistem penanaman satu jenis tanaman yang dilakukan sekali atau beberapa kali
dalam setahun tergantung jenis tanamannya. Tumpangsari adalah penanaman dua
jenis tanaman atau lebih pada sebidang tanah dalam waktu yang sama. Tujuan
dari pola tanam tumpangsari adalah untuk memanfaatkan faktor produksi yang
dimiliki petani secara optimal (diantaranya keterbatasan lahan, tenaga kerja, dan
modal kerja), mengefisienkan pemakaian pupuk dan pestisida, mengurangi erosi,
konservasi lahan, stabilitas biologi tanah, dan mendapatkan produksi total yang
lebih besar dibandingkan penanaman secara monokultur. Menurut Subhan (1996),
dalam sistem pola tumpangsari, disarankan agar mengkombinasikan tanamantanaman tinggi dengan tanaman-tanaman rendah yang dapat hidup dengan
naungan.
Dalam hasil penelitian Setiawati dan Asandhi (2003) disebutkan bahwa
tumpangsari antara tanaman cruciferae dan solanaceae ternyata dapat menekan
seragan OPT sebesar 55.20%. Tumpangsari antara tanaman pokok dengan jenis
tanaman lainnya dapat mereduksi populasi hama. Hal ini disebabkan karena
tumpangsari dapat memperbesar keanekaragaman jenis tanaman. Pola tanam
tumpangsari dapat menurunkan serangan
hama dengan cara mencegah
penyebaran hama karena adanya pemisah tanaman yang rentan, salah satu jenis
tanaman berperan sebagai tanaman perangkap hama, dan salah satu jenis tanaman
menjadi penolak hama dari jenis tanaman lain.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui serangan hama lalat pengorok daun dan
hama pemakan daun yang lain serta kelimpahan serangga lain yang berasosiasi
dengan tanaman kentang yang dibudidayakan secara monokultur dan
tumpangsari.

3

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang pengaruh budidaya tanaman kentang terhadap serangan lalat pengorok
daun dan hama pemakan daun serta kelimpahan serangga lainnya yang berasosiasi
dengan tanaman kentang.

4

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman kentang di Desa Sukamanah,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Selatan, Jawa Barat mulai bulan
Maret 2013 sampai bulan Juni 2013. Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Kultur Jaringan, Balai Penelitian Benih Kentang Pangalengan dan di
Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertanaman kentang
dengan sistem budidaya monokultur dan tumpangsari. Untuk perangkap likat
digunakan yellow sticky trap yang dibeli dari toko pertanian setempat, sedangkan
untuk lubang perangkap (pitfall traps) digunakan gelas bekas air mineral volume
240 ml, alkohol 70%, dan seng berukuran 20 cm x 10 cm sebagai pelindung.
Selain itu digunakan pula alkohol 70% untuk mengawetkan artropoda sebelum
diidentifikasi, ajir untuk menandai petak amatan, kantong plastik, dan kertas label.
Alat-alat yang digunakan yaitu meteran, sekop, kuas, cawan petri, kaca
pembesar, botol serangga, hand counter, kamera digital, gunting, alat tulis, spidol
permanen, dan mikroskop untuk alat bantu identifikasi.

Metode Penelitian
Budidaya Tanaman Kentang
Tanaman Kentang Monokultur. Penelitian dilaksanakan di lahan tanaman
kentang milik Bapak Ade dengan luas 11 200 m2 (Lampiran 3). Lahan tersebut
berbatasan dengan rumah warga di sebelah timur dan selatannya serta berbatasan
dengan lahan pertanian wortel di sebelah barat dan lahan pertanian bera di
sebelah utaranya. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali mulai tanaman
berumur 42 hari sampai 84 HST (hari setelah tanam). Varietas kentang yang
ditanam adalah Granola G2 sebanyak 2750 kg. Kentang ditanam pada guludan
dengan menggunakan mulsa dan ajir (Gambar 1a). Budidaya yang dilakukan
meliputi pengolahan tanah, pemupukan, pemasangan mulsa, penanaman,
pemasangan ajir, penyiangan, pemasangan tali, dan tindakan pencegahan serta
pengendalian hama atau penyakit. Pengolahan tanah dilakukan untuk
menggemburkan dan meratakan tanah serta membuat lubang tanam dengan cara
dicangkul. Pemupukan dilakukan seminggu sebelum tanam dengan menggunakan
pupuk kandang dan pupuk buatan. Pupuk kandang yang digunakan berasal dari
kotoran ayam sebanyak 20-24 ton/ha. Sedangkan pupuk buatan yang digunakan
adalah Phonska dan SP36 masing-masing sebanyak 1200 kg/ha dan 500 kg/ha.
Setelah pemupukan selesai, tanah ditutup dan diratakan. Pemasangan mulsa
dilakukan setelah dibuat guludan dengan panjang 6 m dan lebar 1.2 m.
Penanaman dilakukan setelah mulsa diberi lubang tanam dengan jarak 60 cm x 20
cm dengan cara meletakkan satu umbi yang telah bertunas per lubang tanam.

5

Pemasangan ajir dilakukan saat tanaman berumur 20 HST. Penyiangan dilakukan
hanya satu kali yakni pada saat tanaman berumur 35 HST. Pemasangan tali
dilakukan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 37 HST dan 50 HST. Hal
tersebut dilakukan agar tanaman tetap tegak. Tindakan pencegahan dan
pengendalian hama atau penyakit dilakukan dengan penggunaan insektisida dan
fungisida (Lampiran 5). Insektisida yang digunakan adalah insektisida berbahan
aktif klorantanilliprol dan imidakloropid, sedangkan fungisida yang digunakan
berbahan aktif simoksanil dan mepenoksan, mankozeb, serta klorotalonil.
Aplikasi pestisida dilakukan sebanyak 17 kali selama tiga hari sekali sampai
empat hari sekali. Tanaman kentang dipanen setelah berumur 104 hari.
Tanaman Kentang Tumpangsari. Penelitian dilaksanakan di lahan
tanaman kentang milik Bapak Mara dengan luas 700 m2 (Lampiran 4). Lahan
berbatasan dengan screen house sayuran tomat dan brokoli di sebelah timur,
kebun kacang di sebelah selatan, kebun bera di sebelah barat, dan screen house
benih kentang di sebelah utaranya. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali
mulai tanaman berumur 39 hari sampai 81 HST. Varietas kentang yang ditanam
adalah Granola G4 sebanyak 100 kg yang dikombinasikan dengan tanaman
kacang merah (Gambar 1b). Budidaya yang dilakukan meliputi pengolahan tanah,
pemupukan, penanaman kentang, penanaman kacang merah, pemasangan ajir
untuk kacang merah, penyulaman kacang merah, penyiangan dan pembumbunan,
dan tindakan pencegahan serta pengendalian hama atau penyakit. Pengolahan
tanah dilakukan dengan cara dicangkul untuk menggemburkan dan meratakan
tanah. Setelah tanah rata dan gembur kemudian dibuat guludan dan lubang tanam
dengan jarak 75 cm x 30 cm. Pemupukan dilakukan seminggu sebelum tanam
dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk buatan. Pupuk kandang yang
digunakan berasal dari kotoran ayam sebanyak 1000 kg, sedangkan pupuk buatan
yang digunakan adalah Phonska sebanyak 100 kg. Penanaman kentang dilakukan
dengan meletakkan satu umbi per lubang tanam. Penanaman kacang merah
dilakukan setelah tanaman kentang berumur 5 HST. Penanaman dilakukan dengan
cara menggunakan tugal kecil untuk membuat lubang tanam diantara tanaman
kentang dengan jarak 1.5 m per guludan dan meletakkan dua sampai tiga biji
kacang merah per lubang tanam. Pemasangan ajir untuk kacang merah dilakukan
setelah kacang merah berumur 14 HST. Penyulaman kacang merah dilakukan saat
terdapat tanaman yang tidak tumbuh setelah berumur 14 HST. Penyiangan dan
pembumbunan hanya dilakukan satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 20
HST. Tindakan pencegahan dan pengendalian hama atau penyakit dilakukan
dengan penggunaan insektisida dan fungisida (Lampiran 6). Insektisida yang
digunakan adalah insektisida berbahan aktif abamektin, sedangkan fungisida yang
digunakan berbahan aktif simoksanil, mankozeb, serta klorotalonil. Aplikasi
pestisida dilakukan sebanyak 17 kali selama tiga hari sekali sampai empat hari
sekali. Tanaman kentang dipanen setelah berumur 90 HST sedangkan tanaman
kacang merah dipanen setelah berumur 80 HST.

6

a

b

Gambar 1 Lahan pertanaman kentang monokultur (a) dan lahan pertanaman
kentang tumpangsari (b)
Penentuan Petak Amatan
Penentuan petak amatan dilakukan dengan cara menandai tiga petak amatan
masing-masing seluas 100 m2 pada setiap lahan. Dalam 100 m2 petak amatan
tanaman kentang monokultur terdapat 8 guludan atau 16 baris tanaman sedangkan
dalam 100 m2 petak amatan tanaman kentang tumpangsari terdapat 13 guludan
atau 13 baris tanaman. Pada petak amatan tanaman kentang monokultur 10
tanaman contoh diambil pada guludan ke-3 (2 tanaman keenam dari pinggir
kanan dan 2 tanaman keenam dari pinggir kiri), guludan ke-4 dan ke-5 (2 tanaman
yang berada ditengah petak), dan guludan ke-6 (2 tanaman keenam dari pinggir
kanan dan 2 tanaman keenam dari pinggir kiri) (Gambar 2a). Sedangkan pada
petak amatan tanaman kentang tumpangsari 10 tanaman contoh diambil pada
guludan ke-3 (tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), guludan ke5 (tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), guludan ke-7 (tanaman
ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), guludan ke-9 (tanaman ke-10 dan
tanaman ke-20 dari pinggir kanan), dan guludan ke-11(tanaman ke-10 dan
tanaman ke-20 dari pinggir kanan) (Gambar 2b).

a

b

Gambar 2 Layout petak amatan dan penentuan tanaman contoh pada pertanaman
kentang monokultur (a) dan tumpangsari (b) ( = tanaman contoh
yang diamati)

7

Pengamatan Hama Secara Langsung
Pengamatan secara langsung dilakukan terhadap 10 tanaman contoh pada
setiap petak amatan untuk mengetahui luas serangan dan intensitas serangan L.
huidobrensis serta untuk mengetahui intensitas serangan hama pemakan daun.
Pengamatan luas serangan dan intensitas serangan Liriomyza
huidobrensis. Pengamatan luas serangan dan tingkat serangan Liriomyza
huidobrensis dilakukan dua minggu sekali. Pengamatan ini dilakukan pada setiap
tanaman contoh dengan cara menghitung jumlah daun pertanaman contoh dan
jumlah daun yang terserang L. huidobrensis. Adapun rumus yang digunakan
untuk menghitung luas serangan L. huidobrensis adalah sebagai berikut:
Luas serangan (%) =

x 100%

Sedangkan intensitas serangan Liriomyza huidobrensis adalah sebagai berikut:
Intensitas serangan (%) =

x 100%

Pengamatan intensitas serangan hama pemakan daun. Pengamatan
intensitas serangan hama pemakan daun dilakukan dua minggu sekali.
Pengamatan dilakukan pada setiap tanaman contoh dengan cara menghitung
jumlah daun pertanaman contoh dan jumlah daun yang berlubang. Adapun rumus
yang digunakan untuk menghitung persen luas serangan hama pemakan daun dan
intensitas serangan hama pemakan daun adalah rumus seperti diatas.
Pengamatan dengan Perangkap Likat (yellow sticky trap)
Pada setiap 100 m2 petak amatan masing-masing dipasang sebanyak 5 buah
perangkap likat. Penempatan perangkap ditentukan secara sistematis dan
menyebar di dalam petak amatan. Perangkap dipasang pada guludan dengan jarak
antar perangkap 2.5 m sampai 3 m. Pada pertanaman kentang monokultur
perangkap dipasang pada ajir di guludan baris ke-3, guludan baris ke-4, dan
guludan baris ke-6. Sedangkan pada pertanaman kentang tumpangsari perangkap
dipasang pada ajir di guludan baris ke-4, guludan baris ke-7, dan guludan baris
ke-10.
Pemasangan perangkap dilakukan dengan menggunakan ajir yang bagian
atasnya di belah menjadi dua bagian sekitar 15 cm. Kemudian perangkap likat
kuning yang siap dipakai dipasang melingkar dan bagian ujungnya diapit oleh ajir
(Gambar 3). Perangkap likat yang digunakan adalah perangkap likat kuning
berukuran 22 cm x 15 cm siap pakai yang diperoleh dari toko pertanian setempat.
Perangkap dipasang selama 24 jam kemudian diambil dan ditutup dengan plastik
transparan yang telah ditandai dengan menggunakan spidol transparan untuk
selanjutnya diamati di laboratorium. Pemasangan perangkap dilakukan berulang
setiap dua minggu sampai tanaman akan dipanen.

8

Gambar 3 Pemasangan perangkap likat di petak amatan
Jumlah serangga yang terperangkap pada perangkap likat kuning dihitung
kemudian diidentifikasi sehingga diketahui ordonya. Identifikasi dilakukan
dengan menggunakan kunci identifikasi Borror et al. (1992).
Pengamatan dengan Lubang Perangkap (pitfall trap)
Pemasangan lubang perangkap hanya dilakukan di lahan tanaman kentang
tumpang sari. Hal tersebut terjadi karena pada lahan pertanaman kentang
monokultur petani tidak memberikan izin untuk memasang lubang perangkap
pada guludan yang berplastik mulsa perak hitam. Pada setiap 100 m2 petak
amatan masing-masing dipasang sebanyak 5 buah perangkap. Penempatan lubang
perangkap ditentukan secara sistematis dan menyebar di dalam petak amatan.
Perangkap dipasang pada guludan dengan jarak antar perangkap 2.5 meter sampai
3 meter. Pada pertanaman kentang tumpangsari perangkap dipasang pada ajir di
guludan baris ke-4, guludan baris ke-7, dan guludan baris ke-10.
Pemasangan perangkap dilakukan dengan cara menggali tanah di antara
baris tanaman dalam guludan kemudian dimasukkan gelas bekas air mineral
volume 240 ml sampai permukaan atas gelas rata/sejajar dengan permukaan tanah.
Kemudian dituangkan alkohol 70% sebanyak 60-65 ml ke dalam gelas dan di beri
atap dari seng berukuran 20 cm x 10 cm agar perangkap tidak terkena air hujan
(Gambar 4). Perangkap dipasang selama 48 jam kemudian diangkat dan
dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah ditandai dengan menggunakan
spidol permanen untuk dihitung dan diamati di laboratorium. Pemasangan
perangkap diulang setiap dua minggu sampai tanaman akan dipanen.
Jumlah artropoda yang terperangkap dihitung dan dimasukkan ke dalam
botol serangga berdasarkan kelompoknya. Selanjutnya dilakukan identifikasi
terhadap artropoda sehingga diketahui ordo dan familinya. Identifikasi dilakukan
dengan menggunakan kunci identifikasi Borror et al. (1992).

9

Gambar 4 Lubang perangkap di petak amatan tumpangsari
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian terdiri dari dua perlakuan, yaitu lahan dengan sistem budidaya
monokultur dan tumpangsari. Parameter yang diamati adalah luas serangan dan
intensitas serangan L. huidobrensis, serta luas serangan dan intensitas serangan
hama pemakan daun yang lain.
Data intensitas serangan L. huidobrensis, dan intensitas serangan hama
pemakan daun dianalisis dengan Microsoft Office Excel 2007 dan uji t-student (α=
0.05) dengan bantuan program Minitab versi 15.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Serangan Hama Pengorok Daun dan Pemakan Daun
Serangan hama yang ditemukan di pertanaman kentang monokultur dan
tumpangsari sangat beragam. Serangan hama ini dipisahkan menjadi serangan
hama pengorok daun dan hama pemakan daun. Gejala serangan hama pengorok
daun berasal dari imago dan larvanya. Berdasarkan hasil identifikasi imago
pengorok daun yang dipelihara, diketahui bahwa hama pengorok daun yang
menyerang tanaman kentang adalah Liriomyza huidobrensis (Gambar 5a). Gejala
serangan yang ditimbulkan oleh imago lalat pengorok daun yaitu berupa titik-titik
hitam bekas tusukan ovipositor saat meletakkan telur dan menghisap cairan daun
yang keluar, sedangkan gejala yang ditimbulkan oleh larva berupa terbentuknya
liang korokan berwarna putih yang berkelok-kelok pada daun (Gambar 5b).
Gejala korokan lebih banyak ditemukan pada daun-daun yang terletak di tajuk
bawah. Menurut Supartha (1998), daun kentang yang masih muda (belum
berkembang sempurna) jarang terinfestasi Liriomyza huidobrensis karena
gangguan rambut yang tumbuh cukup rapat pada permukaan daun tersebut.
Rambut-rambut halus yang tumbuh pada permukaan daun bisa berfungsi sebagai
alat pertahanan tanaman dari gangguan serangga fitofag.

a
Gambar

5

b

Imago pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) (a) dan gejala
korokan pada daun kentang (b)

Serangan hama pemakan daun yang mendominasi pada pertanaman kentang
monokultur adalah hama ulat grayak (Gambar 6a) dan ulat jengkal (Gambar 6b).
Hama pemakan daun pada pertanaman kentang tumpangsari adalah hama ulat
grayak, ulat jengkal, kumbang pemakan daun (Gambar 6e), dan belalang pemakan
daun (Gambar 6c). Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama pemakan daun
adalah berupa daun berlubang (Gambar 6d) yang disebabkan oleh serangan hama
ulat grayak, ulat jengkal, dan belalang pemakan daun, serta terbentuknya jendela
transparan (Gambar 6f) akibat aktivitas makan serangga kumbang pemakan daun.
Duriat et al. (2006) menyatakan bahwa gejala serangan ulat pemakan daun pada
masa instar muda berupa epidermis yang putih menerawang, sedangkan gejala

11

serangan oleh larva instar lanjut adalah daun berlubang bahkan sampai tinggal
tulang daunnya saja. Gejala daun berlubang ditemukan di setiap daun tanaman
yang diamati sehingga luas serangan dan intensitasnya lebih tinggi dibanding
dengan serangan hama pengorok daun khususnya pada tanaman kentang
monokultur.

a

b

c

d

e

f

Gambar 6 Hama pemakan daun dan gejala serangan hama pemakan daun
Luas Serangan Hama Pengorok Daun
Serangan hama pengorok daun yang disebabkan oleh imago sangat sulit
diamati karena gejalanya berupa titik-titik hitam bekas tusukan ovipositor saat
meletakkan telur, namun gejala serangan yang disebabkan oleh larva hama
pengorok daun sangat mudah diamati. Dalam pengamatan luas serangan hama
pengorok daun ini digunakan gejala korokan yang disebabkan oleh larva.
Berdasarkan hasil pengamatan pada dua lahan tanaman kentang dengan sistem

12

budidaya yang berbeda menunjukkan luas serangan yang berbeda pula. Serangan
di lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya monokultur mulai terlihat pada
pengamatan ketiga. Di lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya
tumpangsari, serangan sudah terlihat sejak pengamatan pertama. Namun
berdasarkan hasil pengamatan Eslita (2010) terhadap serangan hama pengorok
daun di lapangan, hama tersebut menyerang tanaman kentang mulai dari tanaman
berumur antara 2 MST (minggu setelah tanam) hingga 3 MST.
Luas serangan hama pengorok daun di petak amatan tanaman kentang
monokultur menunjukkan angka yang sangat rendah. Berbeda dengan luas
serangan yang terjadi di petak amatan tanaman kentang tumpangsari yang
menunjukkan angka yang tinggi. Perbedaan luas serangan yang tinggi antara
pertanaman kentang monokultur dengan tumpangsari disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya pengaruh budidaya, adanya serangan penyakit busuk daun, dan
ketersediaan makanan (keberadaan tanaman inang lain). Budidaya tanaman
kentang monokultur yang menggunakan ajir dan plastik mulsa diperkirakan
mempengaruhi luas serangan hama pengorok daun. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan mulsa plastik ternyata
mampu menekan serangan OPT dibandingkan dengan tanpa penggunaan mulsa
plastik. Kemudian berdasarkan laporan Susiawan (2002) tanaman kentang
umumnya diserang secara bersamaan oleh L. huidobrensis dan penyakit busuk
daun, dengan gejala di lapangan yang sering sulit dibedakan. Selain itu serangan
hama pengorok daun dipengaruhi oleh ketersediaan makanan atau tanaman inang
lainnya di pertanaman. Pada penelitian ini pertanaman kentang tumpangsari yang
diamati merupakan kombinasi dari tanaman kentang dengan tanaman kacang
merah yang juga merupakan tanaman inang hama pengorok daun.
Rata-rata luas serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang
monokultur pengamatan pertama dan pegamatan kedua belum terlihat, sedangkan
pada pengamatan ketiga dan keempat mengalami peningkatan (Tabel 1). Adanya
peningkatan dapat dipengaruhi oleh daya pencaran hama pengorok daun yang luas
(cenderung bermigrasi) juga dipengaruhi oleh letak petak amatan. Petak amatan
yang paling banyak terserang adalah petak amatan kedua yang terletak di tengahtengah lahan. Sedangkan petak amatan pertama dan ketiga cenderung tidak
terserang hama pengorok daun yang diperkirakan karena letaknya berada di
pinggir lahan dan bersebelahan dengan pemukiman warga. Selain itu, peningkatan
rata-rata luas serangan terjadi karena kerusakan tertinggi akibat serangan hama
pengorok daun terjadi pada minggu ke-8 dan ke-9 setelah tanam (Supartha 1998).
Tabel 1 Rata-rata luas serangan hama pengorok daun dilahan pertanaman kentang
monokultur dan tumpangsari

Monokultur

Pengamatan
I
0%

Pengamatan
II
0%

Pengamatan
III
6.66%

Pengamatan
IV
10%

Tumpangsari

63.33%

96.66%

96.66%

-

Rata-rata luas serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang
tumpangsari menunjukkan angka yang tinggi karena hampir semua tanaman yang

13

diamati terserang oleh hama pengorok daun ini. Terbukti dengan nilai rata-rata
luas serangan yang meningkat sejak pengamatan pertama dan konstan pada
pengamatan ketiga. Namun pada pengamatan keempat tidak diperoleh data luas
serangan hama pengorok daun karena pada minggu pengamatan dilakukan daun
tanaman contoh yang diamati semuanya membusuk.
Intensitas Serangan Hama Pengorok Daun
Serangan hama lalat pengorok daun di lapangan dilihat berdasarkan jumlah
daun yang bergejala korokan. Gejala korokan tersebut disebabkan oleh adanya
larva pengorok daun yang hidup di dalam jaringan daun. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan di lapangan, daun tanaman kentang yang terserang oleh hama
pengorok daun adalah daun-daun yang letaknya berada di pertengahan batang
tanaman sampai yang letaknya diatas permukaan tanah. Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Supartha (1998) mengenai lalat pengorok daun dimana
imagonya lebih memilih daun tengah untuk aktivitas makan dan peneluran.
Sebaran vertikal populasi telur dan larva pada tanaman terpusat pada daun tengah.
Hasil pengamatan menunjukkan intensitas serangan hama pengorok daun
pada tanaman kentang monokultur baru ditemukan pada pengamatan ketiga
sedangkan pada tanaman kentang tumpangsari serangan hama sudah terlihat sejak
pengamatan pertama (Gambar 7). Namun berdasarkan data rata-rata intensitas
serangan hama pengorok daun di lahan tanaman kentang monokultur dan
tumpangsari tidak berbeda nyata (Lampiran 1). Hal tersebut dapat terjadi karena
intensitas kerusakan tanaman yang terserang tergantung pada umur dan cara
makan larva, bagian tanaman yang terserang, fase pertumbuhan tanaman saat
terjadi infestasi, dan kepadatan populasi serangga hama (Supartha 1998). Namun
berdasarkan hasil penelitian Suryaningsih (2006), sebelum tanaman berumur 30
hari, data populasi L. huidobrensis belum teramati. Setelah tanaman berumur 30
hari, lalat pengorok ini telah teramati meskipun dalam jumlah yang masih sedikit.
Hal tersebut diduga dapat dipengaruhi oleh adanya serangan ulat grayak yang
memakan daun tanaman kentang di lapangan dan juga penggunaan mulsa plastik
pada tanaman kentang monokultur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Setiawati dan Asandhi pada tahun 2003, penggunaan mulsa plastik ternyata
mampu menekan serangan OPT sebesar 39.27% bila dibandingkan dengan tanpa
penggunaan mulsa plastik. Meskipun tingkat serangan hama pengorok daun
rendah namun tingkat serangan ini mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Peningkatan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh
adanya aktivitas terbang dari imago hama pengorok daun di sekitar petak amatan
dilahan yang diamati. Selain itu meningkatnya intensitas serangan hama pengorok
daun berkaitan dengan meningkatnya kelimpahan lalat tersebut pada petak dengan
mulsa plastik yang diduga berhubungan dengan cahaya yang direfleksikan oleh
permukaan mulsa (Susiawan 2002). Berdasarkan hasil penelitian Supartha (1998),
tingkat kerusakan mempunyai korelasi positif dengan kerapatan populasi dan
jumlah korokan larva.
Serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang tumpangsari sudah
ditemukan sejak pengamatan pertama. Hal ini dipengaruhi oleh adanya dua
tanaman inang pada lahan tumpangsari, yaitu tanaman kentang dan tanaman
kacang merah. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Winasa et al. (2010),

14

Rata-rata tingkat serangan

dimana pengorok daun L. huidobrensis ditemukan pada tanaman krisan, brokoli,
horinso, zucchini, buncis, kacang merah, bawang daun, kentang, dan seledri.
6%
Monokultur

5%

4,94%
Tumpangsari

4%
3%

2,08%
1,92%

2%
1%

0,31%

0,18%

0%

0%
I

0%
II

III

IV

Pengamatan keGambar 7 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan
monokultur dan tumpangsari
Intensitas serangan hama pengorok daun di lahan tumpangsari tidak
meningkat seiring bertambahnya umur tanaman, namun tingkat serangannya
mengalami fluktuasi. Fluktuasi tingkat serangan ini dipengaruhi oleh adanya
beberapa faktor yaitu serangan penyakit, cara budidaya, dan perlakuan tanaman.
Pada tanaman tumpangsari banyak daun yang menguning dan membusuk seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Hal tersebut terjadi karena tanaman yang
tidak tumbuh tegak (merunduk ke permukaan tanah), tingginya curah hujan, dan
serangan penyakit. Banyaknya tanaman yang tidak tumbuh tegak (merunduk ke
permukaan tanah) membuat jalan antar guludan menjadi tertutup sehingga banyak
batang yang terinjak dan patah karena terinjak. Namun fluktuatif intensitas
serangan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan populasi imago yang
meningkat seirama dengan peningkatan umur tanaman. Populasi imago hama
pengorok daun mencapai puncaknya pada umur 8 dan 10 MST, sedangkan telur
pada umur 4-5 MST (Supartha 1998).
Intensitas Serangan Hama Pemakan Daun
Di lapangan banyak hama yang menyerang tanaman kentang dengan cara
memakan daun dan menyebabkan daun berlubang. Serangan hama pemakan daun
di lapangan sangat tinggi bahkan pada lahan monokultur mencapai 100%.
Serangan hama pemakan daun di lahan monokultur semakin meningkat seiring
bertambahnya umur tanaman (Gambar 8). Hama pemakan daun yang ditemukan
menyerang tanaman kentang monokultur adalah ulat penggerek umbi, ulat grayak,
dan ulat jengkal. Namun serangan hama ulat grayak lebih tinggi. Ulat grayak
merupakan hama pemakan daun yang bersifat polifag. Samadi (2007) menyatakan
bahwa ulat grayak menyerang daun dengan memakan bagian epidermis dan
jaringan, hingga daun tanaman habis. Setelah itu, ulat akan pindah ke daun lain.
Gejala yang sangat tampak adalah daun habis, tinggal tersisa tulang-tulang

15

daunnya saja. Berdasarkan hasil penelitian Ratini (1986) tentang pengaruh
berbagai tanaman sebagai makanan terhadap Spodoptera litura Fabricius,
menyatakan bahwa larva S. litura merupakan stadium yang paling merugikan
tanaman dan mempunyai perkembangan yang paling lama dibandingkan dengan
stadium telur, pupa, maupun imago. Kerusakan yang diakibatkan oleh larva ini di
lahan tanaman kentang monokultur sangat tinggi karena banyaknya populasi larva
per tanaman. Tingginya intensitas serangan ulat grayak pada tanaman kentang
monokultur dapat terjadi karena melimpahnya sumber makanan.

Rata-rata tingkat serangan

120%
100%

Monokultur

100%
98,32%

Tumpangsari
80%

66,11%
60%
44,37%

40%
27,29%

23,57%

20%
6,94%

2,98%

0%
I

II

III

IV

Pengamatan keGambar 8 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur
dan tumpangsari
Serangan hama pemakan daun di lahan tumpangsari tidak terlalu tinggi.
Namun hama pemakan daun yang menyerang tanaman kentang tumpangsari lebih
beragam. Hama pemakan daun yang ditemukan di lahan tumpangsari yaitu ulat
grayak, ulat jengkal, hama penggerek umbi, kumbang koksi, dan belalang daun.
Secara keseluruhan serangan hama pemakan daun di lahan tumpangsari tidak
terlalu tinggi. Serangan hama pemakan daun di lahan monokultur dan
tumpangsari sangat berbeda nyata karena serangannya sangat tinggi di lahan
monokultur (Lampiran 2).
Kelimpahan Serangga pada Perangkap Likat
Serangga yang tertangkap perangkap likat pada lahan tanaman kentang
monokultur sebanyak 21 102 ekor. Serangga yang terperangkap berasal dari ordo
Diptera, Hymenoptera, Thysanoptera, Lepidoptera, dan Coleoptera (Tabel 2).
Secara keseluruhan serangga yang memiliki kelimpahan populasi tertinggi adalah
serangga dari ordo Thysanoptera. Thysanoptera juga memiliki proporsi yang
paling besar dibanding dengan serangga lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena
serangga dari ordo Thysanoptera sangat tertarik pada warna kuning. Serangga

16

lainnya yang memiliki kelimpahan populasi dan proporsi yang cukup tinggi
adalah serangga dari ordo Diptera.
Serangga yang tertangkap perangkap likat pada lahan tanaman kentang
tumpangsari sebanyak 10 267 ekor. Serangga berasal dari ordo Diptera,
Hymenoptera, Thysanoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Orthoptera (Tabel 2).
Secara keseluruhan serangga yang memiliki kelimpahan populasi dan proporsi
tertinggi adalah serangga dari ordo Thysanoptera. Namun kelimpahan dan
proporsinya tidak terlalu jauh berbeda dengan kelimpahan populasi dan proporsi
serangga dari ordo Diptera. Tingginya populasi dan proporsi dari kedua ordo ini
membuktikan bahwa ordo Thysanoptera dan ordo Diptera tertarik pada warna
kuning.
Kelimpahan dan proporsi serangga tertinggi dari hasil perangkap likat
berasal dari ordo Thysanoptera yang kemungkinan besar berperan sebagai hama,
ordo Diptera yang berperan sebagai saprofag karena adanya penggunaan pupuk
kandang dan bahan-bahan organik yang terdekomposisi, dan ordo Hymenoptera
yang kemungkinan besar berperan sebagai parasitoid. Menurut Dibiyantoro
(1998), thrips yang menyerang tanaman kentang adalah T. palmi, T. tabaci, dan T.
pallidus. Namun ordo Thysanoptera yang banyak dilaporkan menyerang tanaman
kentang adalah Thrips palmi. Berdasarkan hasil penelitian Suryaningsih (2008), T.
palmi mampu merusak daun kentang dengan cara menggaruk dan menghisap isi
cairan daun. Tingginya kelimpahan dan proporsi ordo Diptera pada perangkap
likat tidak dapat dijadikan data acuan untuk melihat intensitas serangan hama
pengorok daun karena ordo Diptera yang terperangkap pada perangkap likat
tersebut tidak diidentifikasi sampai tingkat famili.
Tabel 2 Keragaman dan proporsi serangga dari perangkap likat di pertanaman
kentang
Serangga
terperangkap
Coleoptera
Diptera
Hymenoptera
Lepidoptera
Orthoptera
Thysanoptera
Jumlah total

Monokultur
Jumlah (ekor) Proporsi (%)
13
0.06
6578
31.17
349
1.65
96
0.45
0
0
14 066
66.67
21 102
100

Tumpangsari
Jumlah (ekor) Proporsi (%)
106
1.03
4461
43.45
587
5.72
76
0.74
1
0.01
5036
49.05
10 267
100

Berdasarkan rata-rata kelimpahan serangga per perangkap likat di lahan
tanaman kentang monokultur dan tumpangsari terjadi fluktuasi seiring berjalannya
pengamatan (Tabel 3). Hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya curah hujan pada
saat perangkap telah dipasang sehingga tidak banyak serangga yang menempel
pada perangkap. Hal lain yang mempengaruhi kelimpahan serangga per
perangkap likat adalah keadaan tanaman yang sudah tidak segar karena serangan
penyakit, tingkat aktivitas terbang serangga yang tidak stabil, dan aplikasi
pestisida di lapangan.

17

Kelimpahan serangga perangkap likat pada tanaman monokultur dan
tumpangsari mengalami peningkatan yang tajam dari awal pengamatan dan
menurun pada saat pengamatan terakhir. Rata-rata kelimpahan serangga per
perangkap yang paling tinggi selama pengamatan terjadi pada saat pengamatan
ketiga yaitu sebanyak 599.7 ekor dilahan tanaman kentang monokultur dan
sebanyak 239.5 ekor dilahan tanaman kentang tumpangsari.
Tabel 3 Rata-rata kelimpahan serangga per perangkap likat per pengamatan

Monokultur
(rata-rata ± SD)
Tumpangsari
(rata-rata ± SD)
p-value

Pengamatan
I
160.5 ± 20.3

Pengamatan
II
487.0 ± 106.0

Pengamatan
III
599.7 ± 155.0

Pengamatan
IV
159.7 ± 37.5

133.1 ± 13.0

204.9 ± 41.8

239.5 ± 21.0

108.9 ± 10.1

0.060

0.006

0.008

0.043

SD=standar deviasi. p-value < 5% artinya tolak H0 dan berbeda nyata

Keragaman dan Kelimpahan Artropoda Permukaan Tanah pada
Pertanaman Kentang Tumpangsari
Artropoda permukaan tanah yang tertangkap pada pertanaman kentang
tumpangsari adalah sebanyak 12 115 ekor. Artropoda yang tertangkap tersebut
berasal dari ordo Coleoptera, Dermaptera, Diptera, Hemiptera, Hymenoptera,
Orthoptera, Acarina, Araneae, dan Collembola (Tabel 4). Ordo Coleoptera yang
tertangkap meliputi famili Scarabaeidae dan Staphylinidae. Sedangkan dari ordo
Dermaptera yang tertangkap adalah dari famili Carcinophoridae (cecopet), ordo
Diptera dari famili Muscidae (lalat rumah) dan Sphaeroceridae. Ordo Hemiptera
yang tertangkap adalah dari famili Aphididae (kutu daun), ordo Hymenoptera dari
famili Eulophidae dan Formicidae (semut), ordo Orthoptera dari famili Gryllidae
(jangkrik). Ordo Acarina yang tertangkap terdiri dari famili Tarsonemidae (tungau
kuning) dan Tetranychidae (tungau merah), ordo Araneae (laba-laba) dari famili
Salticidae.
Artropoda permukaan tanah yang tertangkap pada pertanaman kentang
tumpangsari lebih sedikit bila dibandingkan dengan artropoda permukaan tanah
yang tertangkap pada pertanaman kentang monokultur hasil penelitian Dewi
(2012). Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2012), artropoda permukaan tanah
yang tertangkap pada pertanama