Pengaruh Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid Terhadap Sifat Fisikokimia Gliserol Ester Oleat yang Dihasilkan

PENGARUH KONSENTRASI KATALIS METHYL ESTER
SULFONIC ACID TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA
GLISEROL ESTER OLEAT YANG DIHASILKAN

ARDISSA UTAMI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Konsentrasi
Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid terhadap Sifat Fisikokimia Gliserol Ester Oleat
yang Dihasilkan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Ardissa Utami
NIM F34090044

ABSTRAK
ARDISSA UTAMI. Pengaruh Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid
terhadap Sifat Fisikokimia Gliserol Ester Oleat yang Dihasilkan. Dibimbing oleh
ERLIZA HAMBALI dan BONAR TUA HALOMOAN MARBUN.
Gliserol merupakan hasil samping industri biodiesel olein sawit yang masih
dapat ditingkatkan nilai tambahnya menjadi beragam produk olahan. Salah satu
alternatifnya adalah dengan mengolahnya lebih lanjut menjadi gliserol ester oleat.
Sebelum dapat digunakan, gliserol hasil samping industri biodiesel dimurnikan
terlebih dahulu dengan asam fosfat teknis 85% sebanyak 5% (v/v). Uji kadar
gliserol menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar gliserol dari 49% menjadi
80%. Kemudian gliserol diesterifikasi dengan menggunakan asam oleat dan
katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) sehingga didapat gliserol ester. Proses
esterifikasi dilakukan pada suhu 240°C dan tekanan atmosfer nitrogen dengan
kecepatan pengadukan 200 rpm selama 90 menit. Konsentrasi penggunaan katalis

terbaik adalah 0,5% dan menghasilkan gliserol ester oleat dengan bilangan asam
terendah yakni 48,07 mg KOH/g sampel, densitas 0,9124 g/cm3, viskositas 68,32
cP (25°C), viskositas kinematis 36 cSt (40°C), titik nyala 230°C dan titik
tuangnya -15°C.
Kata kunci: gliserol, gliserol ester

ABSTRACT
ARDISSA UTAMI. The Effect of Catalyst Methyl Ester Sulfonic Acid
Concentration of Glycerol Ester Oleat Physicochemical Properties. Supervised by
ERLIZA HAMBALI dan BONAR TUA HALOMOAN MARBUN.
Glycerol is a by-product from palm olein biodiesel industry which could be
value-added to obtain various products. One of the alternatives is to modify
glycerol become glycerol ester oleat. Before processing, glycerol was first refined
using 5% (v/v) phosphoric acid 85%. The refinery showed that glycerol content
was increased from 49% to 80%. Glycerol was then esterified with oleic acid and
catalyst methyl ester sulfonic acid (MESA) to obtain glycerol ester. Esterification
was conducted at 240°C and nitrogen atmosphere using 200 rpm of mixing for 90
minutes. The best catalyst concentration used in esterification process is at 0,5%
and resulting glycerol ester oleat with acid number 48,07 mg KOH/g sample,
density of 0,9124 g/cm3, viscosity 68,32 cP (25°C), kinematic viscosity 36 cSt

(40°C), flash point 230°C and pour point -15°C.
Keywords: glycerol, glycerol ester

PENGARUH KONSENTRASI KATALIS METHYL ESTER
SULFONIC ACID TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA
GLISEROL ESTER OLEAT YANG DIHASILKAN

ARDISSA UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Pengaruh Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid Terhadap
Sifat Fisikokimia Gliserol Ester Oleat yang Dihasilkan
Nama
: Ardissa Utami
NIM
: F34090044

Disetujui oleh

Prof. Dr. Erliza Hambali
Pembimbing I

Dr. -Ing. Bonar T. H. Marbun
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
gliserol, dengan judul Pengaruh Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid
Terhadap Sifat Fisikokimia Gliserol Ester Oleat yang Dihasilkan.
Terima kasih dan penghargaan teristimewa penulis ucapkan kepada:
1. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang, doa dan
semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.
2. Prof. Dr. Erliza Hambali sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini selama perkuliahan di IPB.
3. Dr. –Ing. Bonar Tua Halomoan Marbun selaku pembimbing II yang telah
memberikan ide serta bimbingan kepada penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi.
4. Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si sebagai dosen penguji skripsi yang telah
menguji dan memberikan masukan kepada penulis.

5. Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar yang selalu memberikan motivasi dan
bimbingan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
6. Mas Ari dan Mbak Mira Rivai (staf ahli SBRC) yang turut membantu penulis
sejak awal hingga akhir penelitian penulis.
7. Seluruh staf dan teknisi SBRC – LPPM IPB yang telah banyak membantu
kelancaran jalannya penelitian.
8. Seluruh teman-teman TIN IPB angkatan 46 yang bersama-sama melakukan
penelitian bersama-sama di SBRC – LPPM IPB, atas bantuan dan semangat
yang diberikan.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan
memberikan jalan terbukanya pemanfaatan gliserol hasil samping industri
biodiesel yang lebih luas.

Bogor, September 2013
Ardissa Utami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur


3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Karakteristik Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Olein Sawit

4

Karakteristik Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)

7

Karakteristik Gliserol Ester

9

SIMPULAN DAN SARAN


17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP


30

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Sifat fisiko-kimia gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian
Data analisis olein sawit
Hasil analisis katalis MESA
Hasil pengujian nilai pH gliserol ester
Hasil analisis bilangan asam gliserol ester

5
8
9
11
11

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahapan penelitian
2 Gliserol kasar
3a Reaksi pembentukan kalium fosfat
3b Reaksi pembentukan asam lemak bebas.
4 Tiga lapisan yang terbentuk setelah penambahan asam fosfat
5 Gliserol hasil pemurnian
6 Reaksi sulfonasi metil ester pada reaktor falling film
7 Reaksi pembentukan gliserol monooleat
8 Gliserol ester berbagai perlakuan
9 Hasil analisis bilangan asam gliserol ester
10 Densitas gliserol ester
11 Viskositas gliserol dan gliserol ester berbagai perlakuan
12 Viskositas kinematis gliserol ester
13 Titik nyala gliserol dan gliserol ester berbagai perlakuan
14 Titik tuang gliserol ester

3
5
6
6
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Prosedur Analisis
Hasil Analisis Varian
Spektrum Infra Merah Gliserol Ester dengan Katalis 0,1%
Spektrum Infra Merah Gliserol Ester dengan Katalis 0,5%
Spektrum Infra Merah Gliserol Ester dengan Katalis 1%

20
26
28
29
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gliserol merupakan senyawa golongan alkohol polihidrat dengan tiga buah
gugus hidroksil dalam satu molekul. Kebutuhan akan gliserol berbagai tingkat
kualitas sangat bervariasi, terutama dalam bidang industri. Gliserol didapat
sebagai salah satu hasil samping produksi biodiesel yang bernilai cukup tinggi.
Suryani et al (2007) menyebutkan bahwa pada proses pembuatan biodiesel
dihasilkan metil ester (biodiesel) dan gliserol kasar (±10%). Sementara
berdasarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012) disebutkan
realisasi produk biodiesel nasional tahun 2013 mencapai 683.582 kiloliter, yang
berarti dihasilkan pula gliserol sekitar 68 ribu kiloliter dan akan terus meningkat
setiap tahunnya. Harga gliserol murni saat ini dapat mencapai Rp 25.000 per liter
sehingga gliserol masih menjadi salah satu produk dengan nilai tambah yang
cukup tinggi.
Sumber gliserol yang berasal dari minyak nabati membuat aplikasi gliserol
lebih diminati dalam menjawab permasalahan lingkungan dan penggunaan bahan
baku industri dari sumber terbarukan. Pengolahan gliserol lebih lanjut dapat
memodifikasi struktur kimianya sehingga penggunaannya menjadi lebih luas.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menjadikannya gliserol ester yang
memiliki sisi polar dan nonpolar.
Percobaan pembuatan gliserol ester dengan menggunakan proses esterifikasi
dengan asam karboksilat telah banyak dilakukan. Dakka et al. (2010) mereaksikan
gliserol dengan asam heptanoat dan menghasilkan plasticizer yang ramah
lingkungan dengan bermacam kelebihan. Adapun Hilyati et al. (2001) melakukan
penelitian mengenai pembuatan gliserol mono stearat (GMS) yang berbahan baku
asam stearat. GMS tersebut dapat digunakan sebagai surfaktan non-ionik pada
industri oleokimia, bahan aditif pada produk perawatan tubuh serta opacifier pada
industri makanan (Kirk-Othmer 1994). Penelitian terbaru mengenai gliserol ester
dilakukan oleh Rachmawati (2011) yang mereaksikan asam maleat dari
gondorukem dengan gliserol menjadi gliserol ester maleic rosin. Gliserol ester
tersebut diketahui dapat diturunkan dan dimodifikasi untuk digunakan pada cat
termoplastik pada jalan, perekat tahan panas maupun formulasi tinta cetak
(Wuthou 2005). Aplikasi gliserol ester seperti pelumas, agen pengemulsi, bahan
aditif pada industri makanan, moisturizer serta anti foaming juga menjadikan
gliserol memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Salah satu cara menghasilkan gliserol ester adalah melalui proses esterifikasi
dengan asam oleat. Dalam proses tersebut digunakan katalis untuk menghindari
kebutuhan temperatur yang tinggi, waktu reaksi yang lebih lama serta produk
yang berwarna gelap (Hui 1995). Katalis yang digunakan pada umumnya
merupakan p-toluena sulfonic acid (PTSA). Katalis PTSA bersifat non-oksidator
dan lebih aktif daripada asam sulfat karena sifat hidrofobilitasnya yang tinggi,
tidak seperti asam sulfat yang mampu mengoksidasi serta memiliki sifat
hidrofobilitasnya yang rendah (Guan 2009). Namun dalam penggunaannya pada
industri, katalis PTSA kurang ekonomis karena harganya yang mahal. Selain itu,
katalis tersebut juga berasal dari minyak bumi yang merupakan sumber daya alam

2
tak terbarukan sehingga diperlukan katalis baru untuk menjawab permasalahan
tersebut.
Katalis yang dapat digunakan adalah methyl ester sulfonic acid (MESA).
Katalis ini dihasilkan dari minyak kelapa sawit serta memiliki harga yang jauh
lebih murah dibandingkan dengan katalis PTSA. Namun perlu dilakukan
pengujian atas sifat fisikokimia dari gliserol ester yang dihasilkan dengan
menggunakan katalis MESA. Pengaruh penambahan konsentrasi MESA juga
dianalisis sehingga dapat diketahui konsentrasi terbaik pada pembuatan gliserol
ester oleat.
Tujuan Penelitian
Tujuan kegiatan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi
katalis MESA terhadap sifat fisikokimia gliserol ester oleat yang dihasilkan serta
mendapatkan alternatif konsentrasi katalis MESA terbaik dalam menghasilkan
gliserol ester oleat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup meliputi : (1) penggunaan gliserol
yang merupakan hasil samping industri biodiesel olein sawit, (2) analisis sifat
fisiko-kimia gliserol hasil esterifikasi dengan asam oleat dan katalis MESA
meliputi bilangan asam, densitas, viskositas, viskositas kinematis, titik tuang dan
titik nyala, (3) pemilihan konsentrasi katalis MESA terbaik dalam menghasilkan
gliserol ester oleat.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol hasil samping
industri biodiesel pada Surfactant and Bioenergy Research Center– Bogor, asam
oleat teknis yang diperoleh dari Brataco, katalis methyl ester sulfonic acid
(MESA), gas nitrogen, asam fosfat teknis 85% dan kertas saring. Sementara untuk
analisis digunakan asam sulfat, larutan NaOH, larutan NaIO4, etilen glikol,
alkohol netral, larutan Wijs, larutan KI, indikator bromtimol biru dan indikator PP.

Alat
Peralatan yang digunakan pada proses pemurnian mencakup peralatan gelas,
magnetic stirrer, corong Buchner dan labu pemisah. Sementara itu pada proses
esterifikasi digunakan labu leher empat, hot plate, termometer, neraca analitik dan
kondensor. Dalam keperluan analisis gliserol ester digunakan density meter DMA
4500M Anton Paar, viskometer Otswald, pH meter, FTIR spektrofotometer, jar
test, dan Pensky-Martens closed cup tester.

3
Prosedur
Metode penelitian yang digunakan mencakup persiapan bahan melalui
pemurnian gliserol hasil samping industri biodiesel olein sawit sesuai prosedur
pemurnian yang dilakukan oleh Farobie (2009), serta analisis gliserol hasil
pemurnian dan katalis. Gliserol kemudian diesterifikasi dengan asam oleat dan
katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) pada suhu 240°C selama 90 menit
dengan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dialirkan gas nitrogen 40 cc per
menit. Pada proses esterifikasi digunakan kondensor untuk menangkap air yang
terbentuk sehingga tidak merusak gliserol ester yang dihasilkan. Selanjutnya
ditambahkan NaOH teknis 50% hingga didapat pH sebesar 5. Gliserol ester yang
dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisikokimianya dan dilakukan analisis data
dari hasil penelitian. Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 1.
Mulai
Pemurnian Gliserol
Analisis Bahan Baku (Gliserol, Katalis MESA)
Esterifikasi Gliserol dan Asam Oleat
Analisis Gliserol Ester
Analisis Data

Selesai
Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian
Pada setiap tahapan analisis, terdapat beberapa parameter yang diukur.
Parameter untuk masing-masing tahapan analisis adalah sebagai berikut.
1. Analisis Sifat Fisikokimia Gliserol
Analisis sifat fisikokimia gliserol yang dilakukan mencakup kadar abu
(SNI 06-1564-1995), kadar gliserol (SNI 06-1564-1995), densitas dengan
density meter DMA 4500M Anton Paar, viskositas dengan viscometer
Brookfield DV-III ultra, pH dengan pH meter dan warna (visual). Tahap
analisis yang dilakukan disajikan pada Lampiran 1.
2. Analisis Sifat Fisikokimia Katalis MESA
Analisis sifat fisikokimia katalis MESA mencakup densitas dengan
density meter DMA 4500M Anton Paar, viskositas dengan viscometer
Brookfield DV-III ultra, pH dengan pH meter, bilangan asam (Epthon

4
1948) dan bilangan iod (AOAC 1995). Prosedur analisis terdapat pada
Lampiran 1.
3. Analisis Sifat Fisikokimia Gliserol Ester
Analisis sifat fisikokimia gliserol ester mencakup bilangan asam
(AOAC 1984), densitas dengan density meter DMA 4500M Anton Paar,
viskositas dengan rheologi Brookfield DV-III ultra, viskositas kinematis
dengan viskometer Otswald, pH dengan pH meter, titik nyala (ASTM D
93 2002), titik tuang (ASTM D 97 2005) serta pencirian spektrum dengan
spektrofotometer Fourier-Transformed Infra Red. Tahap analisis ini
disajikan pada Lampiran 1.
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengaruh persentase katalis
MESA terhadap kualitas gliserol ester yang dihasilkan adalah rancangan faktorial
dengan pola acak lengkap (RAL). Model yang digunakan tersusun atas 1 faktor
perlakuan, yaitu faktor A adalah persentase katalis MESA yang terdiri dari 3 taraf
yaitu 0,1%, 0,5% dan 1% dengan ulangan sebanyak 2 kali. Model matematis dari
rancangan percobaan adalah sebagai berikut.

Keterangan:
Yij
: pengaruh persentase katalis MESA taraf ke-i (i=1,2,3) pada ulangan ke-j
(j=1,2)
μ
: rata-rata yang sebenarnya
Ai
: pengaruh persentase katalis taraf ke-i
: galat percobaan pada ulangan ke-j karena faktor persentase taraf ke-i

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Olein Sawit
Gliserol merupakan senyawa golongan alkohol polihidrat dengan tiga buah
gugus hidroksil dalam satu molekul. Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3.
Lindsay (1985) menyebutkan bahwa gliserol memiliki sifat mudah larut air,
meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aktivitas air (aw).
Sementara berat molekulnya sebesar 92 g/mol, densitas 1,261 g/ml, viskositas 1,5
Pa.s, titik leleh 17,8°C dan titik nyala 290°C (Wales 2010).
Suryani et al (2007) menyebutkan bahwa pada proses pembuatan biodiesel
dihasilkan metil ester (biodiesel) dan gliserol kasar (± 10%). Gliserol kasar ini
masih mengandung sisa metanol, sisa katalis dan juga bahan-bahan pengotor yang
berasal dari minyak sebagai bahan baku biodiesel. Senyawa pengotor ini membuat
warna gliserol kasar menjadi hitam (Gambar 2) dan memiliki viskositas yang
tinggi. Oleh karena itu, gliserol kasar tersebut harus dimurnikan terlebih dahulu.

5

Gambar 2. Gliserol kasar
Proses pemurnian dilakukan sesuai Farobie (2009) yaitu dengan
menambahkan asam fosfat teknis 85% sebanyak 5% (v/v) ke dalam gliserol kasar.
Kemudian lapisan yang terbentuk dipisahkan hingga dapat diambil gliserol
murninya. Adapun perbandingan sifat fisiko-kimia gliserol kasar dan gliserol hasil
pemurnian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisiko-kimia gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian
Jenis uji

Satuan

Gliserol kasar

Kadar abu
Kadar gliserol
Densitas
Viskositas (25°C)
Warna
pH

%
%
g/cm3
cP

0,05
45,96
1,1810 ± 0,0001
190,76
Coklat kehitaman
11

Gliserol hasil
pemurnian
0,01
80,35
1,0678 ± 0,0001
13,77
Kuning kecoklatan
5

Kadar abu menunjukkan jumlah bahan inorganik yang terdapat pada gliserol,
seperti garam sodium dari penggunaan katalis pada transesterifikasi biodiesel.
Selain gliserol dan bahan inorganik, terdapat pula bahan organik bukan gliserol.
Komponen bahan organik bukan gliserol ini adalah sabun, metanol dan sisa metil
ester dari proses produksi biodiesel. Penambahan asam fosfat dilakukan untuk
memisahkan senyawa pengotor dengan gliserol. Asam fosfat bereaksi dengan sisa
katalis kalium hidroksida membentuk garam kalium fosfat yang mengendap di
lapisan paling bawah (Gambar 3a). Selain itu, asam fosfat juga menghidrolisis
sabun dan membentuk asam lemak bebas yang tidak larut pada lapisan paling atas
sesuai dengan reaksi yang ditunjukkan pada Gambar 3b.

6
KOH + H3PO4

K3PO4 + H2O
(a)

(b)
Gambar 3. (a) Reaksi pembentukan kalium fosfat, (b) Reaksi pembentukan asam
lemak bebas.
Setelah dilakukan penambahan asam fosfat, gliserol kasar membentuk tiga
buah lapisan dengan persentase distribusi sebagai berikut:
a. Lapisan atas (asam lemak bebas) (29%), berwujud cair
b. Lapisan tengah (gliserol) (46%), berwujud cair
c. Lapisan bawah (garam K3PO4) (25%), berwujud padat.
Persentase distribusi massa ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Ooi et al. (2001) yang memurnikan gliserol hasil samping biodiesel kelapa sawit,
memiliki hasil yang cukup berbeda. Penelitian tersebut menghasilkan 33,9%
gliserol, asam lemak kasar 10,5% dan garam 65,2%. Perbedaan ini terjadi karena
gliserol yang digunakan pada penelitian tersebut merupakan gliserol hasil samping
biodiesel dari minyak inti kelapa sawit sehingga terdapat perbedaan komposisi
asam lemak yang terkandung didalamnya. Lapisan yang terbentuk setelah gliserol
ditambahkan dengan asam fosfat dapat dilihat pada Gambar 4.

Asam lemak bebas
Gliserol
Garam fosfat

Gambar 4. Tiga lapisan yang terbentuk setelah penambahan asam fosfat
Selanjutnya, pemisahan lapisan berfase padat dan cair dilakukan dengan
menyaring larutan dengan corong Buchner. Proses penyaringan ini dilakukan
selama kurang lebih 30 menit untuk 1000 ml larutan gliserol. Garam ini tidak

7
sepenuhnya berbentuk padatan karena masih mengandung gliserol didalamnya.
Pemurnian lebih lanjut terhadap garam tersebut dapat menghasilkan pupuk K3PO4.
Filtrat penyaringan sebelumnya kemudian menghasilkan dua lapisan setelah
dimasukkan ke dalam labu pemisah. Lapisan atas yang terbentuk adalah sisa asam
lemak bebas dan lapisan bawahnya merupakan gliserol. Gliserol hasil pemisahan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut dapat terlihat secara
visual bahwa gliserol yang telah dimurnikan lebih jernih dibandingkan dengan
gliserol kasar. Selain itu, gliserol hasil pemurnian tidak berubah menjadi padat
walaupun berada di bawah suhu kamar sehingga memudahkan penanganan pada
proses selanjutnya.

Gambar 5. Gliserol hasil pemurnian
Nilai pH gliserol pun mengalami penurunan karena bahan-bahan pengotor
yang menyebabkan larutan memiliki sifat basa sudah dinetralkan dengan asam
fosfat. Dalam proses pemurnian untuk mendapatkan gliserol murni netral,
dilakukan penambahan NaOH lebih lanjut hingga dicapai nilai pH sebesar 7.
Selain nilai pH, nilai densitas juga mengalami penurunan akibat berkurangnya
bahan pengotor yang terdapat pada gliserol. Densitas yang secara tidak langsung
bernilai sebanding dengan viskositas juga menyebabkan nilai viskositas gliserol
murni mengalami penurunan.
Dari hasil analisis kadar gliserol pada gliserol kasar dan gliserol hasil
pemurnian, diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar gliserol dari 45,96%
menjadi 80,35%. Persyaratan kadar gliserol minimum yang diperbolehkan untuk
dikomersialkan berdasarkan SNI 06-1564-1995 adalah 80%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa gliserol hasil pemurnian baik untuk digunakan untuk proses
selanjutnya. Selain itu, gliserol dengan tingkat kemurnian yang semakin tinggi
dapat meningkatkan optimalitas proses esterifikasi dengan asam oleat.
Karakteristik Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)
Katalis MESA merupakan senyawa antara yang dihasilkan dalam produksi
surfaktan metil ester sulfonat. Reaksi sulfonasi dari metil ester menghasilkan
senyawa metil ester sulfonat yang berwarna gelap dan bersifat asam. MacArthur et

8
al (1997) menyatakan bahwa absorpsi SO3 oleh metil ester dalam falling film
reactor akan menghasilkan senyawa antara (II) dan (III). Reaksi ini dapat dilihat
pada tahapan 1-3. Pada reaksi (3), senyawa antara akan membentuk MESA yang
ditunjukkan oleh senyawa (IV). Secara lebih lengkap, reaksi sulfonasi metil ester
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Reaksi sulfonasi metil ester pada reaktor falling film (MacArthur et al.
1997)
Metil ester sulfonic acid sebagai katalis memiliki kelebihan diantaranya
sifatnya yang dapat diperbarui dan biaya produksi lebih rendah. Bahan baku yang
digunakan dalam pembuatan katalis MESA berasal dari olein sawit dengan
beberapa karakteristik yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data analisis olein sawit
Analisis
Kadar air
Kadar asam lemak bebas
Bilangan asam
Bilangan iod
Bilangan penyabunan
Fraksi tak tersabunkan
Densitas
(Rivai et al. 2011)

Satuan
%
%
mg KOH/g sampel
mg iod/g sampel
mg KOH/g sampel
%
g/cm3

Nilai
0,103
0,19
0,41
61,93
208,40
0,38
0,906

Pembuatan MESA dilakukan dengan menggunakan falling film reactor.
Bahan baku yang digunakan berupa metil ester dari olein sawit dan reaktan gas
SO3 dengan konsentrasi 5-7% gas SO3 udara kering. Rasio molar antara metil
ester olein dan SO3 yang digunakan adalah 1:1,3 pada kecepatan alir metil ester
dalam reaktor 100 ml/menit dengan suhu sulfonasi 80-100°C. Setelah itu
dilakukan proses aging dengan sentrifugasi pengadukan 150 rpm pada suhu 8090°C selama 60 menit untuk menghasilkan methyl ester sulfonic acid (MESA)
(Rivai et al 2011).
Katalis MESA yang digunakan dalam proses esterifikasi gliserol memiliki
karakteristik meliputi densitas, viskositas, pH, bilangan asam dan bilangan iod
seperti yang tersaji pada Tabel 3.

9
Tabel 3. Hasil analisis katalis MESA
Analisis
Densitas
Viskositas (25°C)
pH (39°C) (0,1% v/v)
Bilangan asam
Bilangan iod

Satuan

gr/cm3
cP
-

ml NaOH/g sampel
g iod/100 g sampel

Nilai
0.9173
1380
3,5
7,47
35,54

Katalis MESA memiliki nilai pH sebesar 3,5 yang menunjukkan sifat
keasamannya. Sementara itu, bilangan asam menunjukkan banyaknya milliliter
NaOH yang digunakan untuk menetralkan setiap gram minyak atau lemak dengan
prinsip pelarutan contoh minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral
95%) yang dilanjutkan dengan penitaran menggunakan NaOH. Bilangan asam
yang lebih tinggi daripada bilangan asam sebelum proses sulfonasi menunjukkan
proses sulfonasi yang dilakukan menghasilkan banyak gugus sulfonat.
Adapun bilangan iod menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dalam
senyawa tersebut (Ketaren 1986). Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya
gram iodine yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Dalam hal ini
analisis bilangan iod dilakukan untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfat
ke dalam rantai metil ester dan membentuk gugus sulfonat.
Karakteristik Gliserol Ester
Gliserol ester merupakan senyawa yang dihasilkan dari proses esterifikasi
gliserol dengan asam lemak. Menurut Pardi (2005), esterifikasi adalah reaksi
penggantian kedudukan hidrogen pada suatu asam lemak oleh sebuah grup
alkohol seperti metil alkohol untuk membentuk metil ester. Keenan et al. (1992)
menyebutkan bahwa ester merupakan senyawaan yang dianggap diturunkan dari
asam karboksilat dengan menggantikan hidrogen dari gugus hidroksilnya dengan
suatu gugus hidrokarbon. Sementara Prasetyo et al. (2012) menyebutkan bahwa
senyawa ester asam karboksilat mengandung gugus -CO2 R’ dan R dapat berupa
alkil maupun aril. Fessenden & Fessenden (1982) menyebutkan bahwa esterifikasi
dapat dilangsungkan dengan katalis asam dan bersifat reversible. Jika metil
alkohol yang digunakan adalah gliserol dan asam lemak yang digunakan adalah
asam oleat, maka akan terbentuk gliserol monooleat dalam campuran gliserol
monooleat, gliserol dioleat dan gliserol trioleat (Pardi 2005). Adapun persamaan
reaksinya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaksi pembentukan gliserol monooleat

10
Mekanisme reaksi esterifikasi tersebut melalui beberapa tahap. Mulanya
terjadi pembentukan senyawa proton pada asam karboksilat. Pada proses ini
terjadi perpindahan proton dari katalis asam atom oksigen pada gugus karbonil.
Kemudian alkohol nukleofilik menyerang karbon positif sehingga terbentuk ion
oksonium. Pada proses ini terjadi pelepasan proton atau deprotonasi dari gugus
hidroksil milik alkohol, menghasilkan senyawa kompleks teraktivasi. Selanjutnya
terjadi protonasi terhadap salah satu gugus hidroksil yang diikuti dengan
pelepasan molekul air dan menghasilkan ester (Fessenden & Fessenden 1982).
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi endotermal yang bersifat reversibel.
Fessenden & Fessenden (1982) menyebutkan bahwa untuk memperoleh produk
yang maksimum, kesetimbangan reaksi harus digeser ke arah reaksi pembentukan
produk dengan beberapa cara, yakni pemasokan energi ke dalam reaksi,
pengumpanan reaktan dalam jumlah berlebih serta pengambilan produk reaksi
secara kesinambungan selama reaksi. Adapun katalis yang umumnya digunakan
dalam proses esterifikasi adalah katalis asam. Asam-asam seperti asam klorida
dan asam sulfat merupakan jenis asam yang sering digunakan (Hambali et al.
2007). Tanpa katalis, asam oleat akan mengalami esterifikasi sempurna pada
penggunaan suhu 230-300°C dalam kurun waktu 3 jam.
Proses esterifikasi dilakukan sesuai dengan prosedur Handayani et al.
(2006) dengan sedikit modifikasi. Gliserol dan asam oleat dengan rasio 1:3
ditempatkan pada labu leher empat diatas hot plate. Katalis MESA ditambahkan
dan esterifikasi dilakukan pada suhu 240°C selama 90 menit dengan kecepatan
pengadukan sebesar 200 rpm. Gas nitrogen dialirkan ke dalam labu untuk
membentuk kondisi atmosfer nitrogen dan terdapat kondensor untuk menangkap
air yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan air yang dihasilkan dapat memecah
ester menjadi asam lemak bebas kembali.
Hasil esterifikasi dengan berbagai perlakuan penambahan katalis MESA
ditunjukkan pada Gambar 8. Secara visual dapat dilihat bahwa terjadi pemekatan
warna seiring dengan penambahan konsentrasi katalis. Gliserol ester oleat
memiliki warna lebih gelap karena katalis MESA yang digunakan berwarna hitam.
Oleh karena itu, semakin banyak katalis yang digunakan, semakin gelap pula
warna gliserol ester oleat. Dalam penggunaannya lebih lanjut, warna gelap gliserol
ester oleat dapat dihilangkan dengan pemberian bahan pemucat.

(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Gliserol ester berbagai perlakuan: (a) katalis MESA 0,1% (b) katalis
MESA 0,5% (c) katalis MESA 1%

11
Pengujian nilai pH dari gliserol ester dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
keasaman larutan tersebut. Hasil pengujian nilai pH dari gliserol ester yang
dihasilkan tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian nilai pH gliserol ester
No.
1
2
3

Perlakuan
Katalis MESA 0,1%
Katalis MESA 0,5%
Katalis MESA 1%

Nilai pH
2,5 ± 0,3
2,3± 0,2
2,1 ± 0,1

Dari hasil pengujian nilai pH diketahui bahwa seluruh gliserol ester yang
dihasilkan berada pada suasana asam. Adapun tingkat keasaman tertinggi
diperoleh dari gliserol ester yang dihasilkan dengan penambahan katalis MESA
sebanyak 1%. Suasana asam yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan yang
digunakan dalam proses esterifikasi, dimana gliserol memiliki pH 5 dan katalis
MESA memiliki pH 3,5 pada konsentrasi 0,1% dalam aqua demineralisasi.
Adapun hasil analisis varian nilai pH pada α = 5% yang tercantum pada
Lampiran 2 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi katalis tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH gliserol ester oleat. Hal
ini disebabkan karena nilai pH yang diperoleh merupakan nilai pH campuran
gliserol ester oleat dengan sisa katalis maupun sisa asam lemak yang belum
teresterkan. Untuk mengatasi keasaman gliserol ester tersebut, diperlukan proses
pemisahan katalis dari larutan. Penambahan NaOH teknis 50% dapat dilakukan
untuk menyabunkan sisa katalis sehingga nilai pH dari gliserol ester oleat
mendekati netral.
Analisis bilangan asam dilakukan untuk mengetahui sisa asam yang
terkandung dalam campuran reaksi dan dipergunakan untuk mengetahui tingkat
kerusakan bahan yang disebabkan adanya proses hidrolisa (Djatmiko 1973). Hasil
pengujian bilangan asam pada gliserol ester yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 9.
107

Bil. Asam (mg KOH/g)

125
100
75

38

48

50
25
0
+MESA 0,1%

+MESA 0,5%

+MESA 1%

Gliserol Ester

Gambar 9. Hasil analisis bilangan asam gliserol ester
Pada penggunaan katalis MESA sebanyak 1%, gliserol ester menunjukkan
sisa asam lemak yang lebih banyak daripada sampel lainnya. Sisa asam lemak
dapat menunjukkan bahwa ester terhidrolisis oleh air yang dihasilkan sehingga
kembali menjadi asam lemak. Hal ini juga dapat diartikan sebagai belum

12
tercapainya kesempurnaan proses esterifikasi akibat banyaknya konsentrasi katalis
yang digunakan.
Berdasarkan hasil analisis varian terhadap bilangan asam pada Lampiran 2,
penambahan konsentrasi katalis dari 0,1% hingga 1% menunjukkan kenaikan
bilangan asam, namun perubahan nilai tersebut tidak signifikan pada α = 5%. Hal
ini menunjukkan bahwa pada penggunaan katalis sebesar 0,1% proses esterifikasi
telah berlangsung dengan baik sehingga penambahan konsentrasi katalis tidak lagi
memberikan pengaruh nyata terhadap bilangan asam. Sementara itu, kenaikan
bilangan asam juga dapat mengindikasikan bahwa proses esterifikasi berlangsung
semakin lambat seiring dengan penambahan konsentrasi katalis MESA.
Penggunaan sedikit katalis asam dapat mempercepat tercapainya konsentrasi
kesetimbangan dalam proses esterifikasi (Keenan et al. 1992), sementara
penggunaan katalis berlebih dapat menghasilkan suatu campuran monogliserida
dan digliserida ditambah sisa asam lemak dan katalis yang tidak bereaksi seperti
yang dilakukan oleh Elder dan Richardson (1934). Hal ini menjelaskan bahwa
bilangan asam yang tinggi pada penggunaan katalis yang lebih tinggi diakibatkan
oleh sisa asam lemak dan katalis yang tidak bereaksi.
Adapun pengujian densitas dilakukan untuk mengetahui berat jenis gliserol
ester yang dihasilkan. Hasil pengujian densitas terhadap gliserol ester yang
memiliki nilai pH 5 disajikan pada Gambar 10.

Densitas (g/cm3)

2

1

0,912

0,9125

0,9143

+MESA 0,1%

+MESA 0,5%
Gliserol Ester

+MESA 1%

0

Gambar 10. Densitas gliserol ester
Berdasarkan hasil pengujian densitas diketahui bahwa terjadi penurunan
densitas gliserol dari sebelum dilakukan proses esterifikasi. Sementara itu, nilai
densitas tertinggi diperoleh dari gliserol ester dengan penambahan katalis
sebanyak 1%. Peningkatan konsentrasi katalis pada proses esterifikasi
menghasilkan peningkatan nilai densitas dari gliserol ester yang dihasilkan. Hasil
analisis pada α = 5% menunjukkan bahwa konsentrasi katalis dalam proses
esterifikasi secara signifikan mempengaruhi densitas gliserol ester (Lampiran 2).
Sonntag (1982) menyebutkan bahwa dalam proses esterifikasi suhu 250°C
kelarutan gliserol optimal sekitar 1 pound gliserol per 100 pound lemak, atau
sekitar 65% gliserol untuk minyak kelapa. Kelarutan tersebut sulit tercapai secara
optimal pada suhu rendah akibat perbedaan sifat saling tidak melarut antara
gliserol dan asam oleat. Hal ini membuat percepatan reaksi pada suhu tersebut
lebih dipengaruhi oleh keberadaan katalis dan pengadukan. Apabila pengadukan

13
yang digunakan adalah sama untuk setiap perlakuan, maka perbedaan konsentrasi
katalis memberikan pengaruh yang signifikan bagi nilai densitas. Umumnya
semakin banyak katalis yang digunakan maka efektifitas pencampuran semakin
tinggi pula. Efektifitas pencampuran menyebabkan proses pembentukan gliserol
ester oleat semakin banyak sehingga mempengaruhi berat jenisnya.
Selain itu, berat jenis dari katalis MESA yang digunakan juga berpengaruh
terhadap nilai densitas gliserol ester yang dihasilkan. Katalis MESA yang
ditemukan pada larutan akhir juga turut berpengaruh dalam penentuan berat
jenisnya. Semakin tinggi fraksi berat molekul, maka nilai densitas juga akan
semakin tinggi.
Viskositas juga merupakan salah satu sifat fisik yang menjadi parameter
dalam menentukan gliserol ester oleat terbaik. Viskositas menentukan kekentalan
larutan tersebut. Adapun hasil analisis viskositas gliserol sebelum dan sesudah
diesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 11.

Viskositas (cP)

200

190

100
66

68

77

13
0
Gliserol kasar

Gliserol hasil
pemurnian

Gliserol ester Gliserol ester Gliserol ester
dengan katalis dengan katalis dengan katalis
MESA 0,1%
MESA 0,5%
MESA 1%

Gambar 11.Viskositas gliserol dan gliserol ester berbagai perlakuan
Viskositas merupakan suatu sifat cairan yang berhubungan erat dengan
hambatan untuk mengalir, dimana semakin tinggi viskositas maka semakin besar
hambatannya. Berdasarkan hasil pengujian, viskositas gliserol mengalami
peningkatan antara sebelum dan sesudah proses esterifikasi. Sementara itu, hasil
analisis pada α = 5% (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi
katalis memberikan perubahan yang signifikan terhadap viskositas gliserol ester.
Wake et al (1983) menyebutkan bahwa viskositas menunjukkan panjangnya
rantai molekul atau berat molekul dan derajat pengikatan silang rantai
molekulnya. Proses esterifikasi yang terjadi membuat rantai molekul gliserol
menjadi lebih panjang. Hal tersebut yang menyebabkan nilai viskositas menjadi
lebih tinggi. Penambahan penggunaan katalis dapat mempengaruhi proses
esterifikasi menjadi lebih efektif sehingga ester yang terbentuk menjadi lebih
banyak.
Sementara itu, viskositas kinematis digunakan untuk mengetahui ketahanan
gliserol ester dalam mengalir dibawah pengaruh gaya gravitasi. Hasil analisis
viskositas kinematis dapat dilihat pada Gambar 12.

14

Viskositas Kinematis (cSt)

60

40

37

36

+MESA 0,1%

+MESA 0,5%
Gliserol Ester

40

20

0
+MESA 1%

Gambar 12.Viskositas kinematis gliserol ester
Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa viskositas kinematis tertinggi
diperoleh gliserol ester dengan katalis MESA 1%. Dalam hal ini terjadi penurunan
viskositas kinematis gliserol ester pada peningkatan penggunaan katalis dari 0,1%
hingga 0,5%, namun penggunaan katalis dengan konsentrasi 1% mampu
meningkatkan nilai viskositas kinematis dari gliserol ester. Hasil analisis varian
(Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
viskositas kinematis gliserol ester dari perlakuan konsentrasi katalis yang
digunakan.
Viskositas kinematis dari gliserol ester ini cukup tinggi apabila
dibandingkan dengan gliserol ester komersial, yakni Sarapar dan Saraline.
Setyawan et al. (2007) menyebutkan bahwa Sarapar memiliki viskositas kinematis
2,5 cSt dan Saraline memiliki viskositas kinematis 3,3 cSt. Viskositas kinematis
yang tinggi menunjukkan ketahanan viskositas bahan terhadap perubahan
temperatur. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh gliserol ester yang
dihasilkan memiliki ketahanan yang cukup tinggi akibat perubahan temperatur,
sehingga apabila gliserol ester ini diaplikasikan pada proses yang memerlukan
temperatur tinggi, sifat fisiknya cenderung tetap.
Walau begitu, viskositas kinematik yang terlalu tinggi juga mengindikasikan
reaksi esterifikasi belum berlangsung sempurna. Nilai viskositas kinematik yang
tinggi juga menandakan besarnya hambatan untuk mengalir, dimana hal tersebut
dihindari pada penggunaan gliserol ester sebagai pelumas.
Dalam penggunaannya, karakteristik termal merupakan hal yang penting
untuk diketahui. Salah satu parameter yang digunakan adalah titik nyala, dimana
hal ini menunjukkan temperatur dimana bahan tersebut dapat terbakar dengan
sendirinya. Selain itu, titik nyala merupakan salah satu sifat yang memberi
kemudahan dalam penanganan bahan dan penyimpanan terhadap bahaya
kebakaran (Yoeswono et al. 2007). Adapun titik nyala gliserol ester dengan
beberapa konsentrasi katalis dibandingkan dengan gliserol kasar dan gliserol hasil
pemurnian dapat dilihat pada Gambar 13.

15

Titik Nyala (°C)

250

229

230

220

200
150
100

82

99

50
0
Gliserol kasar Gliserol hasil Gliserol ester Gliserol ester Gliserol ester
(Hutapea 2013) pemurnian
dengan katalis dengan katalis dengan katalis
(Hutapea 2013) MESA 0.1%
MESA 0.5%
MESA 1%

Gambar 13. Titik nyala gliserol dan gliserol ester berbagai perlakuan
Gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian sebelum esterifikasi memiliki
titik nyala yang lebih rendah dibandingkan dengan gliserol ester. Hal ini
menunjukkan bahwa proses esterifikasi mampu meningkatkan titik nyala dari
gliserol. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan titik nyala tertinggi diperoleh
gliserol ester dengan penggunaan konsentrasi katalis MESA sebesar 0,5%, yakni
230°C. Namun hasil analisis varian yang dapat dilihat pada Lampiran 2
menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi katalis dalam proses esterifikasi
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap titik nyala gliserol ester. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan katalis sebesar 0,1% telah mampu menghasilkan
gliserol ester dengan titik nyala yang lebih tinggi.
Titik nyala dipengaruhi oleh kandungan fraksi ringan (residu alkohol).
Kandungan fraksi ringan yang semakin tinggi, maka semakin rendah temperatur
yang dibutuhkan untuk ester bisa menyala (Mittelbach dan Remschmidt 2004).
Titik nyala yang lebih tinggi setelah esterifikasi menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kandungan fraksi ringan pada gliserol ester. Pada proses esterifikasi,
komponen gliserol yang lebih mudah terbakar telah mengalami pelepasan proton
dari gugus hidroksil sehingga menghasilkan senyawa kompleks teraktivasi.
Pelepasan air dan protonasi kemudian menghasilkan gugus ester yang memiliki
titik nyala lebih tinggi.
Bila dibandingkan dengan Saraline dan Sarapar yang merupakan gliserol
ester komersial, gliserol ester yang dihasilkan memiliki titik nyala yang lebih
tinggi. Dalam Setyawan et al (2007) disebutkan bahwa titik nyala untuk Saraline
adalah 81°C, sementara Sarapar adalah 112°C. Titik nyala gliserol ester yang
berada diatas 200°C merupakan nilai tambah yang sangat baik untuk dapat
diaplikasikan pada proses lanjutan.
Parameter yang juga penting dalam penentuan karakteristik termal adalah
titik tuang. Berdasarkan ASTM (2005), titik tuang adalah temperatur terendah
dimana aliran dari spesimen uji diamati dibawah kondisi uji yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pada penggunaan gliserol ester pada suhu rendah, titik tuang dapat
menunjukkan pada temperatur berapa gliserol ester tetap mampu mengalir.
Adapun perbandingan titik nyala dari gliserol ester yang dihasilkan ditunjukkan
pada Gambar 14.

16

Titik Tuang (°C)

0

-12
-10

-15

-15

-20
+MESA 0,1%

+MESA 0,5%

+MESA 1%

Gliserol Ester

Gambar 14. Titik tuang gliserol ester
Hasil pengujian titik tuang menunjukkan bahwa seluruh gliserol ester
memiliki titik tuang dibawah 0°C. Titik tuang yang rendah menunjukkan gliserol
ester memiliki karakteristik termal baik dengan rentang yang luas dalam
penggunaannya. Titik tuang yang rendah menjadi keuntungan tersendiri ketika
bahan tersebut digunakan pada suhu rendah. Adapun titik tuang terendah
diperoleh gliserol ester dengan penggunaan konsentrasi katalis MESA 0,1% dan
0,5%. Sementara itu, penambahan katalis 1% justru menyebabkan kenaikan titik
tuang sebanyak 3°C. Namun, hasil analisis varian yang dilakukan menunjukkan
bahwa penambahan konsentrasi katalis MESA tidak menghasilkan perbedaan
yang signifikan pada titik tuang dari gliserol ester.
Berdasarkan Hutapea (2013), gliserol kasar memiliki titik tuang 4°C,
sementara gliserol hasil pemurnian memiliki titik tuang -15°C. Hal ini
menunjukkan bahwa proses esterifikasi mempertahankan titik tuang gliserol
dibawah 0°C. Setyawan et al. (2007) menyebutkan bahwa titik tuang Sarapar
adalah -11°C, sementara titik tuang Saraline adalah -16°C. Titik tuang tersebut
tidak terlalu jauh dengan titik tuang yang dimiliki oleh gliserol ester.
Secara tidak langsung titik tuang berkaitan dengan ketahanan suatu bahan
terhadap oksidasi. Ikatan karbon rangkap pada asam karboksilat mudah
teroksidasi dan polimerisasi jika terkena oksigen dan panas yang tinggi. Proses
esterifikasi membantu penurunan jumlah ikatan karbon rangkap tersebut, sehingga
dihasilkan gliserol ester dengan titik tuang yang lebih rendah.
Proses esterifikasi dari gliserol dengan asam oleat menghasilkan gliserol
ester. Keberhasilan proses esterifikasi dapat dilihat dari keberadaan gugus ester
pada gliserol ester yang dihasilkan. Analisis Fourier Transformed Infra Red dapat
digunakan untuk menentukan gugus fungsional yang terdapat dalam suatu
substansi organik (Settle 1997). Spektrum yang terbaca adalah hasil pengukuran
penyerapan dari frekuensi infra merah yang berbeda-beda oleh sampel uji yang
diletakkan pada jalur sinar infra merah.
Fessenden dan Fessenden (1986) menyebutkan bahwa dalam
mengidentifikasi gugus ester, perlu dilihat keberadaan pita karbonil yang khas dan
suatu pita C-O. Pita C-O tersebut ditemui pada daerah sidik jari (antara 1110-1300
cm-1) dan kadang sulit untuk ditandai. Sementara itu, pita karbonil akan terlihat
sebagai puncak absorpsi yang kuat dan terletak pada daerah 1640-1820 cm-1.
Adapun Settle (1987) menyebutkan bahwa wilayah penyerapan gugus fungsional
ester C=O terletak pada sekitar 1750-1650 cm-1.

17
Berdasarkan hasil analisis FTIR dapat dilihat bahwa seluruh gliserol ester
memiliki puncak yang terletak antara 1750-1650 cm-1. Pada gliserol ester dengan
katalis MESA 0,1%, gugus fungsi ester diketahui berada pada 1743,74 cm-1 dan
pita C-O ditemukan pada daerah 1165,28 cm-1 (Lampiran 3). Sementara itu, gugus
fungsi ester pada gliserol ester yang menggunakan katalis MESA sebesar 0,5%
terletak pada wavenumber 1747,13 cm-1 dan memiliki pita C-O di daerah sidikjari
1165,07 cm-1 (Lampiran 4). Sementara itu, pada gliserol ester dengan katalis
MESA 1%, spektrum infra merahnya (Lampiran 5) menunjukkan bahwa puncak
yang menjadi penanda gugus fungsi ester terlihat lebih besar dibandingkan dengan
kedua sampel gliserol ester lainnya. Gugus fungsi ester dari sampel ini terletak
pada wavenumber 1712,92 cm-1, sedangkan pita C-O yang seharusnya memiliki
puncak absorpsi yang kuat, hanya terlihat lemah pada wilayah 1175,48 cm-1.
Hasil analisis FTIR menunjukkan wilayah penyerapan yang cukup mirip di
seluruh jangkauan frekuensi antara gliserol ester dengan katalis MESA 0,1% dan
0,5% (Lampiran 3 dan 4). Settle (1987) menyebutkan bahwa bila terdapat
kemiripan spektrum infra merah dari dua sampel di seluruh jangkauan frekuensi,
terutama di bagian fingerprint (antara 1300-910 cm-1), mengindikasikan bahwa
kedua sampel tersebut memiliki struktur molekul yang sama (Settle 1987).
Sementara itu, gliserol ester dengan katalis MESA 1% memiliki spektrum infra
merah hampir mirip di bagian fingerprint, namun berbeda pada frekuensi yang
lebih tinggi. Maka dari itu, dapat dipastikan bahwa dalam gliserol ester tersebut
masih banyak terdapat campuran bahan lainnya sehingga tidak sepenuhnya
merupakan ester.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perbedaan konsentrasi katalis MESA yang digunakan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap densitas, viskositas maupun viskositas kinematis gliserol
ester oleat yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia gliserol ester menunjukkan
hasil yang mendekati gliserol ester komersial, Sarapar dan Saraline. Konsentrasi
katalis MESA terbaik dalam pembuatan gliserol ester oleat adalah 0,5%. Adapun
gliserol ester yang dihasilkan memiliki bilangan asam terendah yakni 48,07 mg
KOH/g sampel, densitas 0,9124 g/cm3, viskositas 68,32 cP, viskositas kinematis
36 cSt, titik nyala 230°C dan titik tuang -15°C.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan katalis MESA
dalam proses esterifikasi gliserol oleat dibandingkan dengan katalis lain. Selain itu
dapat juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kondisi proses esterifikasi
yang optimum dengan menggunakan katalis MESA. Adapun gliserol ester oleat
yang dihasilkan juga dapat diaplikasikan ke dalam produk lanjutan.

18

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of
Analysis of AOAC International. Washington DC (US): AOAC.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2002. Standard Test
Methods for Flash Point by Pensky-Martens Closed Cup Tester.
Washington (US): ASTM.
---------. 2005. Standard Test Methods for Pour Point of Petroleum Products.
Washington (US): ASTM.
Dakka JM, Mozeleski EJ, Baugh LS. 2010. Process for Making Triglyceride
Plasticizer from Crude Glycerol. US Patent No. 2010110911.
Djatmiko B dan AP Widjaja. 1973. Minyak dan Lemak. Bogor (ID): Departemen
THP IPB.
Edeler A, Richardson AS. 1940. Process for Manufacturing Fatty Esters. US
Patent No. 2206167.
Farobie O. 2009. Pemanfaatan gliserol hasil samping produksi biodiesel sebagai
bahan penolong penghancur semen. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Fessenden RJ, JS Fessenden. 1982. Kimia Organik. Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta
(ID): Erlangga.
Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007.
Teknologi Bioenergi. Jakarta (ID): Penerbit Agromedia Pustaka.
Handayani AS, Sidik M, M Nasikin, M Sudibandriyo. 2006. Reaksi esterifikasi
asam oleat dan gliserol menggunakan katalis asam. Jurnal Sains Materi
Indonesia. Oktober 2006: 102-105.
Hilyati, Wuryaningsih, Anah L. 2001. Pembuatan gliserol monostearat dari
gliserol dan asam stearat minyak sawit. Di dalam: Prosiding Seminar
Nasional X Kimia dalam Industri dan Lingkungan.
Hui YH. 1996. Bailey Industrial Oil and Fat Products Volume 1. New York (US):
J Wiley.
Hutapea PA. 2013. Purification and physiochemical characterization of glycerol
by-product of palm oil biodiesel industry as potential base fluid for synthetic
oil-based drilling fluid system [skripsi]. Bandung (ID): Institut Teknologi
Bandung.
Keenan CW, Kleinfelter DC, Wood JH. 1992. Ilmu Kimia Untuk Universitas Edisi
Keenam. Jakarta (ID): Erlangga.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak Lemak. Jakarta (ID): UI Press.
Lindsay RC. 1985. Food Additives dalam: Fennema, O.R(ed.). Food Chemistry.
New York (US): Marcel Dekker.
MacArthur WB, WB Sheats, NC Foster. 1997. Meeting The Challenge of Methyl
Ester Sulphonate. USA: The Chemithon Corporation.
Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and
Uses in Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L.
(Ed). Illinois (US): AOCS Press.
Ooi TL, KC Young, K Dzulkefly, WMZ Wan yunus, AM Hazimah. 2001. Crude
Glycerine Recovery From Glycerol Residue Waste From A Palm Kernel Oil
Methyl Ester Plant. Journal of Oil Palm Research. 13(2): 16-22.

19
Othmer K. 1990. Encyclopedia of Chemical Technology Fourth Edition Vol. 1: A
to Alkaloids. New York (US): J Wiley.
Pardi. 2005. Optimasi proses produksi gliserol monooleat dari gliserol hasil
samping pembuatan biodiesel [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.
Prasetyo AE, Widhi A, Widayat. 2012. Potensi gliserol dalam pembuatan turunan
gliserol melalui proses esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan. 10 (1): 26-31.
Rachmawati M. 2011. Esterifikasi gondorukem maleat dengan gliserol [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rivai M, Irawadi TT , Suryani A, Setyaningsih D. 2011. Perbaikan proses
produksi surfaktan metil ester sulfonat dan formulasinya untuk aplikasi
enhanced oil recovery (EOR). J Tek Ind Pert. Vol. 21 (1): 41-49.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI 06-1564-1995: Gliserol Kasar.
Jakarta: SNI.
Settle, FA. 1997. Handbook of Instrumental Technique for Analytical Chemistry.
Virginia (US): National Science Foundation.
Sonntag, NOV. 1982. The glycerolysis of fat and methyl esters – status, review
and critique. JAOCS. 59 (10): 795A.
Wuzhou. 2005. Ester of Maleic Rosin. China: Sun Shine Forestry and Chemicals.
Yoeswono, Triyono, Tahir. 2007. The use of ash of palm empty fruit bunches as a
source of base catalyst for synthesis of biodiesel from palm kernel oil.
Proceeding of International Conferences on Chemical Sciences (ICCS2007). Yogyakarta.

20
Lampiran 1

Prosedur Analisis

1.

Kadar Abu (SNI 06-1564-1995)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan platina yang sudah
diketahui bobotnya.Cawan diuapkan di atas pembakar Bunsen dengan nyala kecil,
selanjutnya nyala diperbesar hingga sampel menjadi arang. Kemudian cawan
dipindahkan dalam tanur listrik pada suhu 750°C selama 10 menit.Cawan
didinginkan dalam eksikator dan timbang hingg