Utilization of Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) from olein based methyl ester in heavy duty cleaner making

(1)

PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)

DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN

HEAVY DUTY CLEANER

RACHMANIA WIDYASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemanfaatan

Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan

Heavy Duty Cleaner” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Agustus 2012

Rachmania Widyastuti


(3)

ABSTRACT

RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Utilization of Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) from Olein based Methyl Ester in Heavy Duty Cleaner Making. Under the Direction of ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI.

The industry related to materials that are very difficult to remove in the cleaning process, such as crude oil, grease, oil, or other materials need heavy duty cleaning products that can handle the difficulty in cleaning. Cleaning products that have a tough task to clean the dirt is sometimes called a heavy duty cleaner. This product is effective for cleaning storage tank, reception tank, pipes, floors, equipment or machinery. Just like any other cleaning products, in the formulation of heavy duty cleaner needed surfactant.

The purposes of this research were to obtain heavy duty cleaner utilizing methyl ester sulfonic acid (MESA) from olein based methyl ester, to know the performance generated from heavy duty cleaner, and financial feasibility information of heavy duty cleaner industry. This research started with preparation of C16 dominant methyl ester, olein based methyl ester, MESA production by sulphonating methyl ester with SO3 as reactant in a single tube falling-film reactor, then followed by MESA characterization. Furthermore, continued with heavy duty cleaner making and characterisazion.

Design of the research was using factorial completely rendomized with two factors including type of MESA and NaOH concentration. The type of MESA consist of four levels (MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein C16 dominant off grade and MESA olein C16 dominant steady state). NaOH concentration consist of four levels ( 35%, 40%, 45% and 50%). Washing capasity value was chosen as key parameter because it was representing the performance of heavy duty cleaner in removing impurity. Based on variance analysis, MESA types gave significance influence to the value of product washing capasity, whereas NaOH concentration was not giving significance influence. The highest washing capasity average value was generated from MESA olein dominant C16 steady state type. The results showed that heavy duty cleaner which used MESA olein dominan C16 steady state type with 35% NaOH concentration was resulting 98,11% emultion stability, 9 ml/ ml 0,1% sample solution foaming capacity, 13,75% foam stability, and 91,31% washing capasity was the best composition obtain. Based on four investment criteria, those were NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) and PBP (5,36 years) show that it is feasible to run.


(4)

RINGKASAN

RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI.

Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan.

Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari fraksi minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16 dan C18. MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein.

Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state

dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendapatkan heavy duty cleaner

dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner. Produk heavy duty cleaner

terbaik ditentukan berdasarkan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja dari

heavy duty cleaner yang dihasilkan. Pengukuran sifat fisikokima meliputi viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Pengukuran kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci.


(5)

Penelitian ini diawali dengan persiapan fraksinasi metil ester dominan C16, pembuatan surfaktan MESA dengan mereaksikan metil ester dengan SO3 pada reaktor single tube falling film, lalu karakterisasi MESA. Selanjutnya dilakukan pembuatan dan analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA terdiri dari empat taraf, yaitu MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein dominan C16 steady

state. Konsentrasi NaOH terdiri dari empat taraf, yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16

steady state. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan.


(6)

C

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan daan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

(8)

PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA)

DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN

HEAVY DUTY CLEANER

RACHMANIA WIDYASTUTI

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner

Nama : Rachmania Widyastuti NIM : F351090071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, PT Mahkota Indonesia; rekan-rekan di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012 Rachmania Widyastuti


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandarjaya, Lampung Tengah pada tanggal 23 Juli 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDK No. 3 Bandarjaya Lampung Tengah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Terbanggi Besar Lampung Tengah dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung melalui SPMB di jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian serta meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) di Universitas Lampung tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Hipotesa ... 3

1.4. Ruang Lingkup ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Duty Cleaner ... 5

2.2. Surfaktan ... 8

2.3. Metil Ester Olein ... 13

2.4. Methyl Eter Sulfonic Acid (MESA) ... 18

2.5. Kajian Analisis Finansial ... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 25

3.2. Bahan dan Alat ... 25

3.3. Metode Penelitian... 25

3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16... 26

3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein ... 26

3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Methyl Ester Sulfonic Acid ... 26

3.3.4. Proses Pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner ... 27

3.4. Rancangan Percobaan ... 28

3.5. Analisis Finansial ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16 ... 33

4.2. Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Olein Dominan C16 ... 35

4.3. Sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid ... 38

4.4. Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner ... 41

4.4.1. Stabilitas Emulsi ... 41

4.4.2. Daya Pembusaan ... 42

4.4.3. Stabilitas Busa ... 44

4.4.4. Daya Cuci ... 45


(14)

4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein

Terbaik ... 48

4.6.1. Asumsi Analisis Finansial ... 48

4.6.2. Biaya Investasi ... 50

4.6.3. Penyusutan ... 56

4.6.4. Biaya Operasional ... 56

4.6.5. Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan ... 60

4.6.6. Modal Kerja ... 61

4.6.7. Pembiayaan ... 61

4.6.8. Proyeksi Laba Rugi ... 63

4.6.9. Break Even Point (BEP) ... 63

4.6.10. Kriteria Kelayakan Investasi ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi heavy duty cleaner ... 5

2 Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning ... 5

3 Komposisi heavy duty degreaser cleaning ... 6

4 Komposisi heavy duty degreaser cleaning ... 6

5 Komposisi heavy duty aerosol cleaner ... 7

6 Karakteristik larutan kaustik soda 50% ... 8

7 Komposisi asam lemak beberapa produk kelapa sawit ... 15

8 Karakteristik metil ester sulfonat (MES)... 22

9 Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan ... 33

10 Sifat fisiko kimia metil ester olein dan metil ester dominan C16 ... 35

11 Sifat fisik methyl ester sulfonic acid ... 40

12 Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) ... 50

13 Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah) ... 51

14 Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) ... 53

15 Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) ... 53

16 Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) ... 54

17 Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) ... 55

18 Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) ... 55

19 Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) ... 57

20 Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) ... 57

21 Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi dalam ribuan rupiah) ... 58

22 Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) ... 58

23 Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) ... 59

24 Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) ... 59


(16)

26 Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) ... 61

27 Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) ... 62

28 Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) ... 62

29 Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) ... 62

30 Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) ... 63

31 Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) ... 64


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan

yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) ... 9

2 Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) ... 10

3 Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003) ... 11

4 Diagram alir proses produksi biodiesel ... 14

5 Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel ... 15

6 Molekul asam lemak ... 16

7 Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 ... 18

8 Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins, 2001) ... 19

9 Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungerman, 1979) ... 19

10 Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner ... 27

11 Produk fraksinasi metil ester olein ... 34

12 Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid ... 36

13 Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein ... 37

14 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester ... 39

15 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner ... 43

16 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner ... 45

17 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap daya cuci heavy duty cleaner ... 47


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur analisis metil ester olein ... 77

2 Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid ... 78

3 Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) ... 80

4 Prosedur analisis produk heavy duty cleaner ... 82

5 Proses fraksinasi metil ester olein ... 83

6 Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) ... 84

7 Proses pembuatan heavy duty cleaner ... 85

8 Hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner ... 86

9 Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner ... 87

10 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner ... 88

11 Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner ... 89

12 Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner ... 90

13 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner ... 91

14 Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner ... 92

15 Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) ... 93

16 Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ... 95

17 Neraca masa industri heavy duty cleaner ... 97

18 Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah) ... 98


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan.

Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16 dan C18. Hui (1996) menyatakan bahwa alkil ester asam lemak C14, C16 dan C18 baik digunakan untuk bahan baku surfaktan karena mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, mampu mempertahankan aktivitas enzim dan memiliki toleransi terhadap ion Ca lebih baik. Watkins (2001) menyatakan bahwa metil ester palmitat (C16) merupakan salah satu komponen metil ester yang sangat baik apabila digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES). Asam lemak C16 dan C18 mampu memberikan tingkat detergensi yang tinggi sehingga potensial sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan.


(20)

Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state

dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Yamada and Matsunani (1996); Roberts et al. (2008). Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan.

Susi (2010) telah melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube FallingFilm Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit, suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH 0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan heavy duty cleaner

dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner.


(21)

1.3. Hipotesa

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini yaitu MESA olein dan MESA olein dominan C16 dengan kualitas off grade dan steady state diduga mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan.

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16

2. Analisis sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C16

3. Proses sulfonasi metil ester dengan menggunakan gas SO3

4. Analisis sifat fisikokimia beberapa jenis surfaktan methyl ester sulfonic acid

5. Proses Pembuatan heavy duty cleaner

6. Analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Heavy Duty Cleaner

Dalam industri produk pembersih, heavy duty cleaner merupakan agen pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran berat seperti minyak mentah, oli, dan gemuk. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki penyimpanan, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan dan mesin. Ada beberapa contoh formula heavy duty cleaner, salah satu komposisi heavy duty cleaner yaitu formula yang berasal dari Flick (1999) seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi heavy duty cleaner

Bahan Konsentrasi (%)

Water 74

Na4EDTA (Ethylenediaminetetracetic acid) 2 TKPP (Tetra Potassium Pyrophosphate) 4

Pilot SXS-40 5

KOH, 45% Calamide C

10 5

Selain itu sudah ada beberapa paten untuk produk heavy duty cleaner.

Selwyn et al. (1974) telah mempatenkan heavy duty exothermic all-purpose cleaning composition. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning

Bahan Konsentrasi (%)

Sodium hidroksida 49,60

Sodium bisulfat 47,44

Sodium dodecyl benzene sulfonate 1,70

Dye 0,01

Sodium ddichloroisocinaturate 1,00

Dedusting oil 0,25

Sumber: Selwyn et al. (1974)

Produk heavy duty cleaner ini memiliki manfaat sebagai bahan pembersih rambut, saluran dan karat, yang di dalamnya terdiri dari campuran bahan aktif yang penting, bahan asam dan alkali kaustik, yang ketika kontak dengan air, mampu menghasilkan cairan panas. Cairan ini dapat digunakan dalam pelarutan


(23)

atau penghancuran lemak, minyak, kotoran, rambut dan karat. Bahan lainnya yang terkandung pada produk heavy duty cleaner ini yaitu surfaktan yang cocok, agen pemutihan, germisida, dan sejenisnya.

Ahmed (2000) telah mempatenkan heavy duty degreaser cleaning compositions and methods of using the same. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi heavy duty degreaser clener dan metode untuk penggunannya. Penemuan ini khususnya berhubungan dengan komposisi pembersih yang berguna untuk membersihkan minyak, pelumas dan saluran pembuangan gas pada otomotif dan industri. Selain itu juga dapat digunakan untuk membersihkan minyak atau shortening yang tertinggal pada alat penggorengan atau peralatan masak lainnya. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi heavy duty degreaser cleaning

Bahan Konsentrasi (%)

EDTA-Na4 (30%) 13,65

HP3PO4 (75%) 4,52

Sulfonic L12-6 2,03

Neodol 91-2.5 2,03

Sodium xylene 15,10

Sumber: Ahmed (2000)

Palmore (2011) telah mempatenkan vissualy enhancing heavy duty degreaser-cleaning composition. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih pada umumnya, khususnya yangberhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih yang berguna untuk menghilangkan minyak dan mentega dari permukaan logam. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi heavy duty degreaser cleaning

Bahan Konsentrasi (%)

Sodium hidroksida 90,0

Trisodium fosfat 8,5

Tripotasium fosfat 1,0

Polychlorinated copper phthalocyanine 0,5


(24)

Strand et al. (1972) telah mempatenkan heavy duty aerosol cleaner. Komposisi heavy duty aerosol cleaner diadaptasi untuk membersihkan lantai dengan permukaan yang keras tanpa efek yang merugikan pada lantai tersebut. Pembersih ini terdiri dari suspensi thixotropic bentonit, partikel abrasif, agen untuk pencegahan korosi, minimal satu asam lemak alkanolamide lebih tinggi untuk menghasilkan busa, dan air yang cukup untuk menghasilkan viskositas yang diinginkan. Formula dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Formulasi heavy duty aerosol cleaner

Bahan Konsentrasi (%)

Bentonit 24

Isopropyl alcohol 13

Amonium hidroksida, 28% 6

Silika 72

Coconut fatty acid diethanol amide 5,1

Sumber: Strand et al. (1972)

Pada penelitian ini, selain menggunakan surfaktan methyl ester sulfonic acid (MESA), dalam komposisinya terdapat NaOH. NaOH adalah zat padat rapuh berwarna putih yang sangat kuat dalam menyerap kelembaban dan karbon dioksida dari udara. Istilah lain untuk NaOH adalah kaustik soda. Istilah kaustik soda digunakan karena sifatnya yang korosif terhadap kulit. Penggunaan tradisionalnya dalam bidang sabun, tekstil dan pengolahan minyak bumi masih menonjol (Austin 1984).

Menurut Buehr (1962), Salah satu konsumen terbesar kaustik soda adalah industri pulp dan kertas. Industri ini menggunakan kaustik soda dalam pembuatan pulp dan proses pemutihan, de-inking limbah kertas, dan pengolahan limbah cair. Kaustik soda adalah bahan baku dasar dalam pembuatan berbagai bahan kimia, yaitu digunakan sebagai perantara dan reaktan dalam proses yang menghasilkan pelarut, plastik, serat sintetis, pemutih, perekat, pelapis, herbisida, pewarna, tinta, dan kegiatan farmasi yang berkaitan dengan aspirin.

Kaustik soda, sebagai larutan 50%, merupakan cairan yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada semua bentuk, kaustik soda sangat korosif dan reaktif. Larutan kaustik soda bereaksi dengan logam seperti aluminium, magnesium, seng, timah, kromium, perunggu, kuningan, tembaga, dan campuran


(25)

mengandung logam-logam ini. Kaustik soda dapat bereaksi dengan kebanyakan jaringan hewan, termasuk kulit, kulit manusia, dan mata (Anonimb 2009). Karakteristik larutan kaustik soda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik larutan kaustik soda 50%

Boiling Point 289°F (143°C)

Melting Point Mengkristal mulai suhu 54 – 49°F (12 – 15°C)

Solidification Point 41°F (5°C)

Daya larut Larut dalam air, alkohol dan gliserol

Specific Gravity (Air = 1) 1,53 pada suhu 60°F (15,6°C)

pH >14,0 pada suhu 20°C

Sumber: Anonim (2009b)

Kaustik soda berfungsi sebagai penetralisir sifat keasaman yang dimiliki oleh MESA. Bahan ini berbentuk lempengan atau padatan tipis-tipis (flake). Sebelum direaksikan dengan MESA, flake tersebut harus dilarutkan dengan air. Jika larutan yang diinginkan berkadar 40% maka perbandingan antara lempengan kaustik dengan air kurang lebih adalah 40:60 (perbandingan pendekatan).

2.2. Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa organik yang dalam molekulnya memiliki sedikitnya satu gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik. Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas, biasanya udara (Shaw 1980).

Surfaktan memiliki kecenderungan terabsorpsi pada permukaan atau antar muka sistem, sehingga dapat mempengaruhi energi bebas permukaan antarmuka sistem, seperti pada permukaan campuran minyak dan air yang tidak saling campur tetapi terpisah karena perbedaan berat jenis. Bagian kepala bersifat yang hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor yang bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).


(26)

Surfaktan sebagai bahan aktif dalam deterjen memiliki fungsi tertentu dalam proses pencucian. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam peristiwa adsoprsi, pembentukan micelle dan deterjensi.

1. Penurunan Tegangan Permukaan

Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat di tiga arah lainnya seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Gambar 1 menyajikan interaksi antar molekul air yang menyebabkan terjadinya tegangan permukaan.

Gambar 1. Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1%, akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m-1 (dyne cm-1). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves 2003). Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan media cair (Cooper dan Zajic 1980). Hal ini disebabkan oleh kehadiran gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul yang menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar fasa yang berbeda tingkat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dengan air atau udara dengan air. Pembentukan film pada antar muka ini dapat menurunkan energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgeiou et al. 1992).


(27)

Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi kontradiktif terjadi karena molekul surfaktan lebih memilih berada dalam permukaan cairan dimana orientasi gugus lipofilik jauh dari air. Efek molekul pada permukaan dikenal sebagai adsorpsi dan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini adalah efek terhadap tegangan permukaan dapat terjadi dalam waktu singkat (Hargreaves 2003).

Bagian hidrokarbon dari molekul surfaktan berperan dalam kelarutan dalam minyak karena kelompok ionik (polar) memiliki afinitas terhadap air untuk menarik rantai hidrokarbon nonpolar ke dalam larutan. Hal ini terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama, didorong oleh hidrasi dari kelompok kepala hidrofilik. Kontribusi kecil juga diperoleh dari gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik (Durbut 1999).

3. Pembentukan Micelle

Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003)

Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky 1998).


(28)

4. Deterjensi

Deterjensi adalah proses penghilangan kotoran dari suatu permukaan. Adapun hal-hal yang harus menjadi perhatian dalam proses ini, antara lain: sifat alamiah kotoran, substrat atau permukaan dimana kotoran menempel, proses yang dilibatkan dalam penghilangan kotoran, jenis air yang digunakan dan juga suhu. Proses pencucian yang efektif harus menunjukkan fungsi-fungsi dasar selama proses penghilangan kotoran, antara lain netralisasi komponen-komponen kotoran yang bersifat asam, emulsifikasi minyak dan lemak, deflokulasi partikel kotoran, pengendapan kotoran dan pencegahan proses redeposisi (Anonim 2009a).

Bagaimana deterjen bekerja merupakan kajian yang kompleks karena melibatkan banyak fungsi bahan yang berbeda, variasi substrat dan campuran berbagai jenis pengotor (soiling). Efektifitas dalam menurunkan tegangan antarmuka antara air, partikel pengotor (soil) dan subtrat (permukaan bahan yang dicuci) merupakan faktor penting agar proses wetting dapat diperoleh (Hargreaves 2003). Molekul yang diadsorpsi pada tegangan antarmuka air-udara tidak secara langsung berpengaruh terhadap deterjensi, tetapi membentuk busa yang berperan sebagai indikator yang menunjukkan deterjen telah digunakan. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi (nilai CMC yang tinggi) akan efektif dalam proses deterjensi (Hargreaves 2003). Mekanisme pembersihan oleh surfaktan ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 mengilustrasikan oily soil dihilangkan dari substrat (permukaan bahan yang dicuci) yang melibatkan molekul surfaktan di dalam air. Pada gambar, ekor lipofilik ditarik menuju oily soil dan teradsorpsi ke dalamnya dengan kepala hidrofilik mengarah ke luar menuju air. Oily soil terdispersi ke dalam air dengan cara yang hampir sama dengan formasi emulsi oil-in-water (O/W). Secara simultan, molekul surfaktan teradsorbsi menuju permukaan subtrat dengan gugus hidrofilik mengarah ke air, mencegah oily soil teredeposisi kembali. Ketika konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi membentuk misela, sebagian oily soil


(29)

dapat dihilangkan dengan cara solubilisasi membentuk busa mikro-emulsi (Hargreaves 2003).

Gambar 3. Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003). Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak lemak, seperti mono gliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida dan sebagainya (Flider 2001).

Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan adalah methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. MESA ini di produksi dari metil ester olein. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah.

2.3. Metil Ester Olein

Menurut SNI (1999), metil ester adalah ester yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol dan berbentuk cairan. Metil ester diproduksi melalui proses transesterifikasi menggunakan metanol atau disebut


(30)

metanolisis. Proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan metil ester dan gliserol melaui pemecahan molekul trigliserida.

Metil ester mampu dihasilkan dengan beberapa teknik baik menggunakan konversi enzimatik maupaun proses kimiawi. Konversi menggunkan proses biologi digunakan enzim lipase dalam menghasilkan biodiesel. Proses produksi biodiesel dengan enzim lipase ini disebut sebagai lipase-catalyzed transesterification (Mittelbach 1990). Secara kimiawi, proses pembuatan biodiesel bisa dilakukan dengan esterifikasi-transesterifikasi kimiawi (dua tahap) dan poses transesterifikasi langsung (satu tahap). Proses dua tahap biasanya dilakukan untuk sumber minyak nabati dengan kadar FFA (free fatty acid) tinggi. Meher et al. (2006) menyebutkan proses esterifikasi minyak kedelai menggunakan katalis H2SO4 sebanyak 1% dan rasio molar Sementara itu, tahap transesterifikasi langsung digunakan jika kandungan FFA sangat kecil (Nimcevic

et al. 2000). Menurut Ma dan Hanna (2001), minyak dengan FFA kurang dari 1% dapat dikonversi menjadi metil ester menggunakan katalis basa, sedangkan Ramadhas et al. (2005) dan Sahoo et al. (2007) mensyaratkan FFA kurang dari 2%.Skema diagram produksi biodiesel menurut Gerpen (2005) dapat dilihat pada Gambar 4. Pengering Netralisasi dan pencucian Penghilangan metanol Separator Metil ester Reaktor Biodiesel akhir Rektifikasi metanol/air Acidulation dan

pemisahan Penghilangan metanol Metanol Minyak Katalis Gliserol (50%) Asam Air Air cucian Asam

Asam lemak bebas

Air Penyimpanan

metanol


(31)

Transesterifikasi merupakan reaksi kimia antara trigliserida dan alkohol dengan adanya katalis untuk menghasilkan mono-ester atau biodiesel (Sharma dan Singh 2009). Menurut Ma dan Hanna (2001), sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya.

Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak) menjadi molekul ester. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol dengan bantuan katalis seperti sodium metilat, NaOH atau KOH. Menurut Vicente et al. (2004) katalis KOH memberikan yield metil ester lebih tinggi yaitu sekitar 91,67% dibandingkan dengan katalis NaOH (85,9%). Darnoko dan Cheryan (2000) telah melakukan proses transesterifikasi secara kontinyu menggunakan suhu proses 60oC, waktu proses 1 jam dengan menggunakan katalis KOH 1% (w/w) terlarut dalam metanol dengan perbandingan rasio mol reaktan antara metanol dengan minyak sebesar 6:1 menghasilkan rendemen sebesar 95%. Jumlah katalis yang diperlukan dalam proses transesterifikasi adalah sebesar 0,7% sampai dengan 1,5% dan menurut Leung dan Guo (2006) jumlah katalis KOH yang diperlukan sebanyak 1,1%, sedangkan katalis NaOH yang diperlukan sebanyak 1,5%. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida minyak nabati menjadi aklil ester atau biodiesel dapat dilihat pada Gambar 5 (Knothe 2004).

O

CH2–O–C–R CH2–OH

│ O O │ CH–O–C–R + 3 R’OH 3 R’–O–C–R + CH–OH

│ O │

CH2–O–C–R CH2–OH

Trigliserida Alkohol Alkil Ester Gliserol (Minyak Nabati) (Biodiesel)


(32)

Gambar 5. Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel

Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Olein sawit merupakan fraksi cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan stearin sawit yang bersifat padat pada suhu ruang. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit

Asam Lemak Jenis Bahan

CPO a) PKO b) Olein c) Stearin c) PFAD d)

Laurat (C12:0) < 1,2 40 – 52 0.1 – 0.5 0.1 – 0.6 0.1 – 0.3

Miristat (C14:0) 0.5 – 5.9 14 – 18 0.9 – 1.4 1.1 – 1.9 0.9 – 1.5 Palmitat (C16:0) 32 – 59 7 – 9 37.9 – 41.7 47.2 – 73.8 42.9 – 51.0

Palmitoleat (C16:1) < 0.6 0,1 – 1 0.1 – 0.4 0.05 – 0.2 -

Stearat (18:0) 1.5 – 8 1 – 3 4.0 – 4.8 4.4 – 5.6 4.1 – 4.9

Oleat (18:1) 27 – 52 11 – 19 40.7 – 43.9 15.6 – 37.0 32.8-39.8

Linoleat (C18:2) 5.0 – 14 0.5 – 2 10.4 – 13.4 3.2 – 9.8 8.6-11.3

Linolenat (C18:3) < 1.5 0.1 – 0.6 0.1 – 0.6

Arachidonat (C20:0) 0.2 – 0.5 0.1 – 0.6

Sumber : a)

Godin dan Spensley (1971) dalamSalunkhe et al.(1992). b)

Swern (1979). c)

Basiron (1996). d)

Hui (1996).

Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa olein sawit lebih didominasi oleh C18 dan C16. Metil ester asam lemak C16 merupakan salah satu bahan baku pembuatan surfaktan dengan nilai tambah yang tinggi. Diketahui bahwa surfaktan dari C16 mempunyai daya detergensi yang tinggi. Biodiesel dari minyak sawit memiliki kandungan fraksi metil ester palmitat (C16:0) dan metil ester oleat (C18:1) paling dominan masing-masing sekitar 40-47% dan 36-44% (Knothe 2008). Komponen ini sangat baik apabila digunakan secara spesifik untuk produk turunan berikutnya.


(33)

Panjang rantai dan letak ikatan rangkap menentukan sifat fisik baik asam lemak maupun trigliserida itu sendiri. Distribusi asam lemak jenuh (ikatan tunggal) dan asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam gliserol dalam minyak nabati tidak terjadi secara acak, namun ditentukan oleh enzim lipase selama proses biosintesis pada jaringan tanaman sawit (Mittelbach dan Remschmidt 2006).

Setiap asam lemak memiliki sifat spesifik meski memiliki jumlah karbon yang sama. Ada tidaknya ikatan rangkap sangat berpengaruh terhadap sifat asam lemak tersebut. Gambar 6 adalah beberapa molekul asam lemak penyusun trigliserida minyak (Cole dan Thompson 2001).

(a) (b) (c) Gambar 6. Molekul asam lemak

(Asam stearat C18:0 (a); Asam oleat C18:1 (b); Asam linoleat C18:2 (c))

Ketiga asam lemak diatas memiliki jumlah atom karbon yang sama yaitu 18 atom. Hal yang membedakan adalah ketidakjenuhan dilihat dari ada tidaknya ikatan rangkap. Asam stearat tidak memiliki ikatan rangkap dan disebut sebagai molekul asam lemak jenuh. Berbeda dengan asam lemak stearat, asam lemak oleat memiliki 1 ikatan rangkap cis dan asam linoleat memiliki 2 ikatan rangkap cis. Ikatan ini mempengaruhi struktur dan titik beku. Ketaren (1996), menyebutkan bahwa panjang rantai dan kejenuhan molekul minyak dan lemak mempengaruhi sifat fisiko kimia secara keseluruhan meliputi densitas, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam, titik didih, titik nyala, titik beku, dan sifat yang lainnya.

Menurut Watkins (2001), surfaktan MES dengan bahan baku dominan metil ester palmitat memiliki sifat deterjensi yang sangat baik. Sementara itu Knothe (2008) juga menyebutkan bahwa biodiesel yang memiliki kandungan metil ester

1 ikatan rangkap cis

2 ikatan rangkap cis


(34)

oleat (C18:1) dominan sangat baik apabila digunakan sebagai bahan bakar. Karakteristik melting point metil ester oleat pada suhu -20oC cocok untuk pemanfaatan bahan bakar pada suhu rendah. Viskositas kinematik C18:1 meningkat dari 4,51 mm2/s pada suhu 40oC menjadi 21,33 mm2/s pada suhu -10oC. Selain itu juga C18:1 sebagai bahan bakar yang menghasilkan emisi NOx paling kecil dibandingkan metil ester lainya. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein.

Teknologi fraksinasi merupakan salah satu teknik dalam pemisahan komponen melalui perbedaan titik didih. Teknologi Fraksinasi juga umum dikenal dengan istilah distilasi. Distilasi pada suhu rendah memiliki keuntungan yaitu mencegah pembentukan produk polimer, mencegah kerusakan produk, menghasilkan rendemen yang tinggi, menghasilkan produk dengan kemurnian yang tinggi dan dapat diaplikasikan pada kapasitas yang besar (Lee et al. 2004). Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan.

2.4. Methyl Ester Olein Sulfonic Acid (MESA)

Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MESA yang merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). MES merupakan surfaktan anionik yang sejak tahun 1990an mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri detergen bubuk. Surfaktan ini termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah senyawa yang bermuatan negatif dalam bagian aktif permukaan (surface-active) atau pusat hidrofiliknya (misalnya RCOO-Na, R adalah fatty hydrophobe). Surfaktan ini memiliki sifat dispersi yang paling baik dan dalam bentuk larutan dapat mengalami ionisasi. MESA yang digunakan pada penelitian ini dibuat dari metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 hasil fraksinasi. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 ditunjukkan pada Gambar 7.

CH3 – (CH2)13 – CH – COOCH3 SO3H


(35)

Gambar 7. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16

Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini 1983). Distribusi asam lemak yang beragam dan tingginya komponen asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat sekitar 25,19%, menyebabkan tingginya peluang SO3 melekat pada ikatan rangkap ME. Berger (2009) menyebutkan surfaktan yang paling sesuai untuk aplikasi EOR adalah surfaktan anionik yang diturunkan dari asam lemak tidak jenuh, karena efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka dan tahan terhadap suhu dan salinitas tinggi serta mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi pada batuan reservoir.

Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3, atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Reaksi sulfonasi menggunakan gas SO3 merupakan reaksi yang paling efektif dibandingkan dengan menggunakan reagen sulfonasi lainnya. Metode sulfonasi dengan menggunakan SO3 merupakan proses yang sedang menjadi fokus perhatian saat ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan SO3 sebagai agen sulfonasi menghasilkakn reaksi sulfonasi yang zero waste. Gas SO3 yang dimasukkan ke dalam sistem reaksi akan bergabung dengan molekul alkil ester menjadi alkil ester sufonat, sedangkan sisa gas SO3 yang tidak bergabung akan dikembalikan lagi ke dalam sistem reaksi melalui mekanisme loop (Foster 1996). Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8.

O

Metil ester sulfonat

SO2O

Sulfur trioksida Metil ester

OCH3 R


(36)

Gambar 8. Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins 2001)

Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1)

gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap)

(Gambar 9).

Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann 1979)

Menurut Stein dan Bumann (1975), suhu dan rasio mol reaktan merupakan faktor penting dalam proses sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi, sementara rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam proses sulfonasi karena kelebihan reaktan (SO3) akan menyebabkan pembentukan produk samping.

Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES telah di lakukan oleh beberapa peneliti. Pore (1976) melakukan reaksi sulfonasi alkil α -sulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit pada suhu antara 60 – 100oC dengan waktu reaksi 3 sampai 6 jam tanpa pemurnian menghasilkan tegangan permukaan 40,2 mN/m dan 9,7 mN/m.

Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan rasio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dengan mereaksikan gas SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu 50 – 60oC. Proses sulfonasi menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol per jam. Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42oC dan suhu masuk untuk metil ester sekitar 40 – 56oC.


(37)

Baker (1993) melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada suhu 75 – 79oC selama 20 – 90 menit.

Smith dan Stirton (1967) mensulfonasi metil, etil dan isopropil ester asam palmitat dan stearat secara langsung melalui penambahan SO3 cair pada rasio molar 2,4 : 1 pada suhu 60oC dan mereesterifikasi menggunakan metil, etil atau isopropil alkohol sebelum netralisai untuk meningkatkan rendemen alpha sulfo fatty acid hingga 70 – 80% dan menurunkan produk samping disodium sulfofatty acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO3 dengan eter. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alpha. Kondisi sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk sulfonat menggunakan bahan baku metil stearat yaitu pelarut CCL4 1 g, suhu sulfonasi 60 oC, selama 1 jam dan meresterifikasi menggunakan 40 ml alkohol selama 4 jam produk yang dihasilkan terdiri dari 90% sodium alpha sulfonat dan 1% garam disodium.

Mujdalipah (2010) melakukan kajian terhadap proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid dari metil ester olein dengan kodisi proses sulfonasi terbaik menggunakan STFR slaka 5 L pada suhu proses sulfonasi 90oC dan lama proses sulfonasi 90 menit. Kondisi ini menhasilkan MESA yang memiliki karakteristik kadar air 0,49%, pH 2,66, bilangan asam 24,88 ml NaOH/g sampel, kadar bahan aktif 31,44%, dan bilangan iod 11,95 mg I/ g sampel. MESA yang dihasilkan memiliki kinerja menurunkan tegangan permukaan air dari 65,22 dyne/cm menjadi 37,08 dyne/cm serta menurunkan IFT antara minyak dan air formasi dari 30 dyne/cm menjadi 2,99 dyne/cm atau menurunkan IFT air – minyak sebesar 90,03%.

Susi (2010) melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH


(38)

0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g sampel, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit.

Proses sulfonasi akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian, meliputi pemucatan dan netralisasi (Watkins 2001). Oleh karena itu diperlukan tahap pemurnian. Pemurnian bertujuan untuk mengurangi warna gelap akibat terbentuknya komponen warna dan menghasilkan MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik. Sherry et al. (1995) melakukan proses pemurnian palm C16 – 18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti tanpa proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10 – 15 persen metanol di dalam digester dan dilanjutkan dengan proses netralisani berupa penambahan 50% KOH.

Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (di-salt) lebih rendah. Karakteristik MES dari berbagai bahan baku dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) Karakteristik

Metil Ester C12 – C14 C16 C18

Lemak

Tallow

Rendemen MES (%b/b) 70,7 80,3 78,4 77,9

Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (b/b) 2,1 5,5 4,8 4,74,7

Metanol (%b/b) 0,46 0,18 0,23 0,22

Hidrogen peroksida (%b/b) 0,10 0,04 0,02 0,02

Air (%b/b) 14,0 0,7 1,8 1,6

Petroleum ether extractables (PEX) (%b/b)

2,6 3,2 3,9 2,8 Sodium karboksilat (%b/b) 0,16 0,29 0,29 0,29

Sodium sulfat (%b/b) 1,99 2,07 2,83 2,85

Sodium metil sulfat (%) 8,0 7,7 7,8 9,5


(39)

Klett color 5% aktif 11 35 79 168 Sumber: MacArthur et al. (2002)

2.5. Kajian Analisis Finansial

Aspek finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono 2000). Menurut Kasmir dan Jakfar (2006), penelitian dalam aspek finansial dilakukan untuk menilai biaya-biaya yang akan dikeluarkan dan meneliti seberapa besar pendapatan yang akan diterima jika proyek dijalankan. Menurut Umar (2005), tujuan menganalisis aspek keuangan dari studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yangdiharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, serta ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus. Ditambahkan pula oleh Suratman (2002) bahwa aspek keuangan berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan pengalokasianya serta mencari sumber dana yang efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor. Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor adalah tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas bukan berdasarkan laba akuntansi.

Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin 1984). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur pemodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak ( Edris 1993).

Penentuaan apakah suatu proyek investasi dikatakan layak diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada aliran kas proyek yang bersangkutan. Pada umumnya metode yang biasa digunakan dalam


(40)

penentuan kriteria investasi adalah Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return, dan Profitability Index, serta Break Even Point (Umar 2005).

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - September 2011 di laboratorium SBRC Institut Pertanian Bogor dan PT Mahkota Indonesia.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester olein, gas SO3, dan NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H2SO4 95%, metanol, HCl, phenolphtalein, Na2SO4, pati, air suling (aquades), sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na2S2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs, toluen, kloroform, petroleum eter, indikator metilene blue, dan

Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB) dan xylen.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peralatan proses dan peralatan analisa. Alat proses yang digunakan adalah reaktor sulfonasi STFR (Single Tube Falling Film Reactor) dan hotplate stirrer. Peralatan analisa yang digunakan antara lain yaitu viscometer brookfield, tensiometer Du Nouy, blender, pH meter, timbangan analitik, sudip, gelas kimia 100 ml, gelas kimia 300 ml, gelas kimia 500 ml, gelas kimia 1000 ml, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 1000 ml, pipet 1 ml, pipet 5 ml, pipet 10 ml, pipet 25 ml, gelas arloji, pengaduk gelas, botol sampel, jirigen 5 L, jirigen 20 L.

3.3. Metode Penelitian

Tahapan proses yang dilakukan pada penelitian ini yaitu persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16, analisis sifat fisikokimia bahan baku sulfonasi, proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA), analisis sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid yang dihasilkan, proses pembuatan heavy duty cleaner dan analisis sifat fisik serta kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan.

3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16

Proses fraksinasi metil ester dilakukan menggunakan fractional distillation system. Kondisi prosesnya menggunakan tekanan 37,5 mmHg dan suhu 235oC selama 12 jam. Prosedur pengoperasian alat fraksinasi yaitu memasukkan sampel metil ester ke dalam boiling vessel melalui iinput valve, kemudian semua valve


(41)

menggunakan burner yang dihubungkan dengan tabung gas sampai suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu terccapai, valve reflux dibuka beberapa saat untuk menstabilkan proses dan meningkatkan kemurnian produk. Tahapan selanjutnya valve reflux ditutup dan valve menuju tangki penampung dibuka, serta sirkulasi air dijalankan untuk mendinginkan reflux.

3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein

Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia dari metil ester minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku. Analisis meliputi densitas, viskositas, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak. Prosedur analisis metil ester olein dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid

Proses produksi MESA dilakukan melalui proses sulfonasi dengan menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke

head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film

dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head. Diagram alir pengolahan metil ester olein menjadi MESA dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kondisi proses produksi MESA menggunakan laju alir umpan 50 ml/menit, gas SO3 1/4 valve dan akumulasi MESA selama 1 jam pada sulfonasi 2 – 3 jam, kemudian di aging pada suhu 80oC selama 60 menit. MESA yang dihasilkan dianalisis sifat fisikokimianya meliputi tegangan permukaan, densitas dan viskositas. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.3.4. Proses pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner

Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA yang digunakan yaitu MESA olein off grade,


(42)

MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein dominan C16 steady state dan konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Proses pembuatan heavy duty cleaner dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan penyusunnya hingga homogen dan mencapai pH 7. Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan heavy duty cleaner adalah membuat larutan NaOH sesuai konsentrasi yang ditentukan. Larutan NaOH yang telah dibuat ditambahkan ke dalam surfaktan pada suhu 60 – 80oC sambil dilakukan pengadukan. Diagram alir proses formulasi heavy duty cleaner dapat dilihat pada Gambar 10.

Heavy duty cleaner yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya meliputi stabilitas emulsi dan kinerja heavy duty cleaner yang meliputi daya pembusaan, stabilitas busa, daya cuci. Setelah itu dibandingkan dengan produk yang ada di pasaran dengan parameter sifat fisik dan kinerja yang sama. Prosedur analisis

heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.4. Rancangan Percobaan

Dalam proses produksi heavy duty cleaner menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL). Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu jenis surfaktan MESA dan konsentrasi NaOH.

NaOH

Homogenasi Air

NaOH 35%, 40%,

45% dan 50% MESA

Homogenasi

Heavy Duty Cleaner


(43)

Jenis surfaktan MESA terdiri dari 4 taraf, yaitu:

M1 : MESA olein off grade M2 : MESA olein steady state

M3 : MESA olein dominan C16 off grade

M4 : MESA olein dominan C16 steady state Konsentrasi NaOH terdiri dari 4 taraf , yaitu: N1 : 35%

N2 : 40% N3 : 45% N4 : 50%

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakuan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf 5%.

Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Mi + Nj + MNij + εijk

Yij = Variabel respon percobaan karena pengaruh jenis MESA taraf ke-i, konsentrasi NaOH taraf ke-j dan ulangan ke-k dengan i = 1, 2, 3, 4; j = 1, 2, 3, 4 dan k = 1, 2

µ = Pengaruh rata-rata yang sebenarnya Mi = Pengaruh jenis MESA pada taraf ke-i Nj = Pengaruh konsentrasi NaOH pada taraf ke-j

MNij = Interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH

εijk = Pengaruh galat dari faktor M taraf ke-i, faktor N taraf ke-j dan ulangan ke-k

3.5. Analisis Finansial

Kajian analisis ini dilakukan untuk menduga kelayakan dari desain proses produksi pada industri. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu pengamatan terhadap keseluruhan tahapan simulasi proses. Prosedur untuk menentukan simulasi proses meliputi penentuan bahan yang digunakan, penentuan kapasitas


(44)

produksi, pemilihan unit operasi yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang diinginkan (temperatur, waktu, formula dan kondisi lainnya).

Menurut Gray et al. (1993), dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Metode penilaian yang digunakan untuk menentukan kelayakan investasi ini meliputi: net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, break even point, pay back period.

1. Net Present Value (NPV)

Menurut Soeharto (1999), NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama yaitu harga pasar (saat ini). Rumus NPV yaitu sebagai berikut.

Keterangan

(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t (Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t n = umur unit usaha hasil investasi i = arus pengembalian (rate of return)

t = waktu Indikasinya,

NPV = positif, usulan dapat diterima, semakin tinggi nilai NPV maka semakin baik

NPV = negatif, usulan ditolak NPV = 0 berarti netral

2. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk=aliran kas keluar. Untuk IRR ditentukan terlebih dahulu


(45)

NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal tersebut terjadi. Rumus IRR yaitu sebagai berikut.

Keterangan

(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t (Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t i = arus pengembalian (diskonto) n = tahun

Indikasinya,

IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return),

maka diterima

IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return),

maka ditolak.

3. Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio )

Menurut Soeharto (1999), Benefit/cost ratio adalah perbandingan manfaat terhadap biaya. Pada proyek-proyek swasta benefit umumnya berupa pendapatan minus biaya di luar biaya pertama (misalnya untuk produksi dan operasi. Rumus B/C ratio yaitu sebagai berikut.

keterangan

B/C ratio = Benefit cost ratio

R = Nilai sekarang pendapatan

(C)op = Nilai sekarang biaya (di luar biaya pertama) Cf = Biaya pertama

Indikasinya,

B/C ratio > 1 usulan diterima B/C ratio < 1 usulan ditolak B/C ratio = 1 netral


(46)

4. Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period menurut Soeharto (1999) adalah jangka waktu yang digunakan untuk mengembalikan modal investasi, dihitung dari aliran kas bersih. Aliran kas bersih sendiri adalah selisih pendapatan dikurangi pengeluaran pertahun. Bila aliran kas tiap tahunnya berubah-ubah maka rumusnya sebagai berikut:

Keterangan

Cf = Biaya pertama

An = Aliran kas pada tahun n

n = Tahun pengembalian ditambah 1 5. Break even point (BEP)

Menurut Ibrahim (2003), Break even point adalah titik pulang pokok dimana

total revenue sama dengan total cost. Semakin besar keuntungan yang diterima maka semakin cepat waktu pengembalianya. Rumus untuk menghitung BEP yaitu sebagai berikut.

Keterangan

a : biaya tetap

b : biaya variabel per unit p : harga per unit

q : jumlah produksi BEP (jumlah produksi) = BEP (rupiah) =


(47)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16

Kinerja proses fraksinasi terbaik adalah mendapatkan kondisi proses dengan tekanan paling rendah sehingga suhu proses tidak terlalu tinggi dan produk tidak mengalami kerusakan karena panas, sehingga didapatkan rendemen metil ester olein dominan C16 paling tinggi. Selain itu, parameter penting lainnya adalah diukur dari kemurnian produk yang dihasilkan dari proses fraksinasi ini. Pemilihan kondisi proses fraksinasi dilakukan melalui pendekatan beberapa literatur. Knothe (2002) menyebutkan bahwa pada tekanan 747,04 mmHg (996 mbar) titik didih metil ester palmitat adalah 416,5oC. Hasil uji kinerja fraksinasi dengan menggunakan suhu 250oC, ditemukan polimer yang merupakan biodiesel rusak akibat pemansasan terlalu tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemakaian suhu 250oC untuk fraksinasi yang tidak sesuai. Pendekatan lain yang digunakan adalah menentukan titik didih metil ester palmitat dari asam lemak palmitat menurut Tabel 9. Alat fractional distillation system dan produk metil ester dominan C16 dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 9. Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan Tekanan

(mmHg)

Titik Didih Asam Lemak

C6:0 C8:0 C10:0 C12:0 C14:0 C16:0 C18:0

1 61,7 87,8 120,3 130,2 149,2 167,4 183,6 2 71,9 97,9 121,13 141,8 161,1 179,0 195,9 4 82,8 109,1 132,7 154,1 173,9 192,2 209,2 8 94,6 121,3 145,5 167,4 187,6 206,1 224,1 16 107,3 134,6 159,4 181,8 202,4 221,5 240,0 32 120,8 149,2 174,6 197,4 218,3 238,4 257,1 64 136,0 165,3 191,3 214,6 236,3 257,1 276,8 128 152,5 183,3 209,8 234,3 257,3 278,7 299,7 256 171,5 203,0 230,6 256,6 281,5 303,6 324,8 512 192,5 225,6 254,9 282,5 309,0 332,6 355,2


(48)

760 205,8 239,7 270,0 298,9 326,2 351,5 376,1 Sumber : Gunstone et al. (1994)

Berdasarkan Tabel 9, titik didih asam lemak palmitat dengan tekanan 16-32 mmHg berkisar antara 221,5-238,4oC. Melalui asosiasi dengan kemampuan vakum alat fraksinasi sebesar 20–31 mmHg, maka dipilih rentang suhu yang digunakan 225-235oC dengan lama proses 10 dan 12 jam. Setiap satuan running

fraksinasi digunakan 50 l sampel metil ester. Proses fraksinasi ini menghasilkan dua fraksi metil ester yang memiliki sifat berbeda, yaitu metil ester hasil fraksinasi (HF) dan metil ester sisa fraksinasi (SF). HF merupakan destillate atau produk metil ester yang teruapkan pada penggunaan suhu fraksinasi. SF merupakan metil ester yang tidak teruapkan selama proses fraksinasi karena memiliki titik didih yang lebih tinggi. Produk fraksinasi metil ester olein dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b) Gambar 11. Produk fraksinasi metil ester olein (Metil ester HF (a); Metil ester SF (b))

Kondisi proses fraksinasi terbaik ditunjukkan dengan kemurnian produk tertinggi yang diharapkan. Hasil proses fraksinasi yang mampu menghasilkan fraksi metil ester palmitat (C16:0) terbaik pada suhu 235oC selama 12 jam dengan


(49)

kemurnian 80,17 % (b/v). Proses fraksinasi berpengaruh pada perubahan sifat fisikokimia metil ester. Metil ester hasil fraksinasi (HF) mengalami beberapa perubahan diantaranya penurunan densitas, penurunan bilangan iod, penurunan bilangan asam, kadar FFA serta derajat asam.

4.2. Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Dominan C16

Metil ester olein dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan methyl ester sulfonic acid. Metil ester dominan C16 diperoleh dari proses frakasinasi, yang kemudian diberikan pengujian sifat fisikokimia terhadap kedua jenis metil ester olein tersebut. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 disajikan pada Tabel 10.

Tabel10.Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester dominan C16 Parameter Metil Ester Olein Metil Ester Dominan C16

Densitas (g/cm3) 0,87 ± 0,001 0,864 ± 0,001 Bilangan Iod (mg Iod/g) 57,14 ± 0,33 26,61 ± 4,59 Bilangan Penyabunan

(mg KOH/g) 96,90 ± 0,11 184,33

Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,27 ± 0,01 0,12 ± 0,009

FFA (%) 0,12 ± 0,01 0,06 ± 0,004

Komposisi asam lemak (%) Laurat (C12:0)

Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arachidat (C20:0) 0,21 0,62 29,64 3,20 29,89 11,95 0,24 0,41 - 1,05 80,17 0.41 14,31 4,10 - -

Metil ester olein dominan C16 memiliki nilai densitas lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Nilai densitas yang kecil berakibat pada nilai viskositas yang rendah juga. Metil ester olein dominan C16 memiliki viskositas yang lebih cair dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini disebabkan karena metil ester dominan C16 tersusun oleh komponen Palm Fatty

Acid Distillate (FAME) dengan berat molekul yang lebih rendah. Bahan baku pembuatan methyl ester sulfonic acid dapat dilihat pada Gambar 12.


(50)

Bilangan iod yang dihasilkan dari metil ester olein dominan C16 lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam metil ester olein dominan C16 lebih didominasi oleh metil ester dengan ikatan jenuh (ikatan tunggal). Mittelbach (1994) dan Worgette et al. (1998) menyatakan bahwa bilangan iod merupakan gambaran banyaknya komponen ikatan tidak jenuh dalam biodiesel. Merurut Ketaren (2008), bilangan iod adalah jumlah (g) iod yang dapat diikat oleh 100 g lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar.

(a) (b)

Gambar 12. Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid

(Metil ester olein (a); Metil ester olein dominan C16 (b)) Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu g minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebihan dalam alkohol maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren 2008). Bilangan penyabunan dari metil ester olein dominan C16 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan metil ester olein yaitu 184,33 mg KOH/g.


(51)

Bilangan asam adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari 1 g minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. Nilai bilangan asam untuk metil ester olein dominan C16 lebih rendah dibandingan bilangan asam metil ester olein. Semakin rendah bilangan asam yang dihasilkan semakin rendah pula kandungan free fatty acid. Kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) memperlihatkan penurunan pada metil ester olein dominan C16 dibandingkan dengan metil ester olein. Rendahnya nilai FFA diakibatkan karena rendahnya kadar asam lemak bebas dalam metil ester olein dominan C16.

Kemurnian metil ester palmitat yang terkandung dalam metil ester olein dominan C16 adalah 80,17% (b/v). Hal ini berarti dalam 100 ml metil ester terdapat 80,17 g fraksi metil ester palmitat. Nilai ini didapat dari analisis menggunakan gas kromatografi. Kandungan metil ester dominan palmitat sangat baik apabila diaplikasikan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan MES khususnya untuk produk pencuci dan pembersih (washing and cleaning product). Kondisi ini didukung oleh Watkins (2001) yang menyatakan bahwa pemanfaatan metil ester palmitat (C16) sebagai bahan baku surfaktan akan memberikan sifat deterjensi paling baik, kemudian diikuti oleh metil ester miristat (C14) dan metil ester oleat (C18). Komposisi FAME metil ester hasil fraksinasi ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 11 menunjukkan hasil analisis gas kromatografi terhadap komposisi Gambar 13. Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein


(1)

Lampiran 16. Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ...lanjutan

Komponen Tahun

6 7 8 9 10

Kapasitas 100% 100% 100% 100% 100%

Biaya variabel

Bahan baku 165.433.500 165.433.500 165.433.500 165.433.500 165.433.500 Bahan penolong 10.548.057 10.548.057 10.548.057 10.548.057 10.548.057 Utilitas produksi 17.489.565 17.489.565 17.489.565 17.489.565 17.489.565 Tenaga kerja langsung 830.000 830.000 830.000 830.000 830.000 Subtotal 194.301.122 194.301.122 194.301.122 194.301.122 194.301.122

Biaya tetap

Tenaga kerja tidak langsung 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 Kebutuhan administrasi kantor 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 Utilitas kantor 54.073 54.073 54.073 54.073 54.073 Laboratorium 49.800 49.800 49.800 49.800 49.800 Pemeliharaan 637.296 637.296 637.296 637.296 637.296 Asuransi 42.134 42.134 42.134 42.134 42.134 Pajak 7.082 7.082 7.082 7.082 7.082 Distribusi dan Pemasaran 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 Depresiasi 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968 Bunga investasi tetap - - - - -

Bunga modal kerja

subtotal 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484 Total 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606


(2)

Lampiran 17. Neraca masa industri heavy duty cleaner

Fraksinasi Metil ester olein

36.763 kg

Sisa Fraksinasi 22.058 kg

Gas dari Pabrik 33.399 kg Pengenceran Udara kering 8,874 kg Oleum 423 kg

Gas SO3 7%

Sulfonasi

MESA

Sisa gas 36.763 kg

Pematangan Sisa gas 396 kg

NaOH

600 kg Formulasi

HDC 600 kg ME olein dominan C16

14.705 kg 41.854 41.854 19.796 19.796 19.400


(3)

Lampiran 18. Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah)

No Komponen Hari 1 2 3 4 5

1 Account Receivable 45 produk 24.637.500 24.637.500 27.375.000 27.375.000 27.375.000

2 Inventory 15 produk 12.318.750 12.318.750 13.687.500 13.687.500 13.687.500

3 Account Payable 45 bahan baku (18.611.269) (18.611.269) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188)

Total 18.344.981 18.344.981 20.383.313 20.383.313 20.383.313

No Komponen Hari 6 7 8 9 10

1 Account Receivable 45 produk 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000

2 Inventory 15 produk 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500

3 Account Payable 45 bahan baku (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188)

Total 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313


(4)

Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah)

Komponen Tahun

0 1 2 3 4 5

Penerimaan bersih

Laba bersih - 9.065.408 9.888.629 12.564.267 13.018.276 13.245.286

Depresiasi - 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968

Nilai sisa - - - -

subtotal - 9.600.376 10.423.597 13.099.235 13.326.244 13.553.254

Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum

pembangunan 18.674.939 - - - - -

Modal Kerja - 20.383.313 - - - -

Angsuran modal investasi tetap - 2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329

Angsuran modal kerja - 6.624.577 6.624.577 - - -

Subtotal 18.674.939 29.530.218 9.146.906 2.522.329 2.522.329 2.522.329

Arus kas bersih (18.674.939) (19.929.834) 1.276.691 10.576.905 10.803.915 11.030.925

DF 1 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62

Present value (18.674.939) (18.118.039) 1.055.117 7.946.585 7.379.219 6.849.336 Present value kumulatif (18.674.939) (36.792.978) (35.737.861) (27.791.276) (20.412.056) (13.562.720)


(5)

Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah ...lanjutan

Komponen Tahun

6 7 8 9 10

Penerimaan bersih

Laba bersih 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296

Depresiasi 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968

Nilai sisa - - - - 876.326

subtotal 13.780.264 13.780.264 13.780.264 13.780.264 14.656.589

Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum

pembangunan - - - - -

Modal Kerja - - - - -

Angsuran modal investasi tetap - - - - -

Angsuran modal kerja - - - - -

Subtotal - - - - -

Arus kas bersih 13.780.264 13.780.264 13.780.264 13.780.264 14.656.589

DF 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39

Present value 7.778.600 7.171.454 6.428.595 5.844.177 5.650.750

Present value kumulatif (5.784.121) 1.287.334 7.715.928 13.560.105 19.210.855


(6)