Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih Dan Bakteri Pereduksi Sulfat Dalam Pengolahan Air Asam Tambang

KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH
DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM
PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG

ZAHRISKA DEWANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pemanfaatan
Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air
Asam Tambang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Zahriska Dewani
A15413001

*Pelimpahan

hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan
pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

RINGKASAN
ZAHRISKA DEWANI. Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan
Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang. Dibimbing oleh
ANAS MIFTAH FAUZI dan IRDIKA MANSUR.
Batubara merupakan salah satu sumber energi yang penting bagi dunia.
Keberlimpahan dan biaya yang rendah dalam menggunakan batubara telah
membuatnya menjadi pilihan bahan bakar utama untuk membangun pembangkit
listrik. Seiring dengan meningkatnya permintaan energi, maka ekplorasi dan
eksploitasi penambangan batubara akan terus dilaksanakan. Proses penambangan
ini nantinya dapat menghasilkan suatu limbah, berupa Air Asam Tambang (AAT).

AAT merupakan limbah yang berbahaya sebab mengandung logam-logam berat
dan sulfat yang tinggi. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu
secara aktif maupun pasif. Pengolahan secara aktif adalah melalui penambahan
bahan kimia bersifat alkali, sedangkan pengolahan secara pasif melalui pembuatan
lahan basah buatan. PT. Bukit Asam telah melakukan penanganan secara pasif.
Keuntungan dari sistem ini adalah biaya yang dibutuhkan relatif lebih ekonomis
dibandingkan dengan sistem aktif. Namun, metode ini membutuhkan waktu yang
cukup lama karena mengandalkan peran alami tanaman. Maka dari itu,
dibutuhkan strategi yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar.
Strategi yang dilakukan adalah melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan
memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih,
baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi.
Saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT. Bukit Asam tidak kurang
dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu putih dihasilkan limbah
berkisar 300 kg. Limbah yang melimpah tersebut belum termanfaatkan dan
dibiarkan terakumulasi di sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih.
Penggunaan kompos daun kayu putih dalam penelitian adalah sebagai sumber
karbon (donor elektron). Sumber karbon tersebut merupakan sumber energi bagi
aktivitas metabolisme dan kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS
termasuk golongan heterotrof anaerob. Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat

BPS dan menganalisis karakter biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan
rancangan proses penanganan AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan
dengan memanfaatkan peranan BPS dan biomassa daun kayu putih.
Penelitian ini merupakan penelitian skala semi lapangan yang bersifat
deskriptif. Teknik pengambilan sampel berupa Simple Randomized and
Composite pada tiga titik kedalaman yang berbeda pada lahan basah buatan.
Sampel AAT dianalisis berdasarkan nilai pH, kadar besi (Fe), kadar mangan (Mn),
dan residu tersuspensi (TSS) dan populasi kepadatan sel BPS, melalui metode
MPN. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa isolat BPS ICBB 8818
merupakan isolat yang paling unggul dibandingkan isolat ICBB 8813, ICBB 8815,
ICBB 8816, ICBB 8819, dan ICBB 8825 dalam skala laboratorium. Kebutuhan
sumber karbon untuk aktivitas BPS ICBB 8818 dapat dipenuhi dari bahan organik
berupa kompos daun kayu putih. Hal ini disebabkan karena kompos memiliki
karakter nisbah C/N 22.53; pH 6.38; dan kadar air 12% yang artinya bahan
organik telah mengalami mineralisasi sehingga unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
BPS ICBB 8818 telah tersedia.

Berdasarkan uji lapang dalam skala pilot didapatkan rancangan proses
penanganan AAT yang tepat, yaitu dengan memanfaatkan matrik berupa gravel
yang ditambahkan kompos (tanpa BPS). Hal ini diindikasikan dengan peningkatan

nilai pH yang signifikan, penurunan kadar Fe dengan efektivitas sebesar 94.89%
dan Mn mencapai 99.18%, serta penurunan TSS yang paling efektif dibanding
perlakuan lainnya. Matrik tersebut juga dapat memenuhi target baku mutu
lingkungan dalam waktu retensi 3 hari dengan rata-rata efektivitas yang tinggi
pada keseluruhan parameter, serta efisiensi biaya yang juga tinggi, sehingga dapat
diterapkan pada lahan basah buatan PT. Bukit Asam.
Kata kunci: air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, limbah daun kayu putih,
lahan basah buatan, sistem pasif

SUMMARY
ZAHRISKA DEWANI. Study of the Eucalyptus Leaves Biomass and Sulphate
Reducing Bacteria Utilisation in Acid Mine Drainage Treatment. Supervised by
ANAS MIFTAH FAUZI and IRDIKA MANSUR.
Coal is one of world’s important energy sources. The coal’s availability and
low cost makes it as the primary fuel in building power plants in the world. As
energy demand is increasing, exploration and exploitation of coal mining
continues. The mining process result in waste such as acid mine drainage (AMD).
AMD is a dangerous waste because it contains high concentration of heavy metals
and sulphates. AMD treatment can be done in 2 ways, active and passive. Active
treatment is done by alkaline chemical addition, while passive treatment is done

by constructed wetlands. PT. Bukit Asam has done passive treatment. The
advantage of this system is its relatively more economic cost compared to active
treatment. But this method needs longer time because it relies on natural plant’s
roles. Because of that, a strategy is needed to get better advantage. Strategy that
can be implemented is wetland enrichment by sulphate-reducing bacteria (SRB)
and eucalyptus leaves biomass, both fresh and decomposed.
Nowadays eucalyptus plantation in PT. Bukit Asam area is not less than 100
hectare. Eucalyptus leaves distillation produces around 300 kg waste. The
abundant waste has not been utilized and resulted in accumulation in the areas
around distillation factory. Eucalyptus leaves compost was used in this research as
carbon source (electron donor). The carbon source acts as energy source for life
and metabolism activities of SRB. This is due to the fact that SRB is anaerob
heterotroph that needs organic matter as carbon source. This research used
eucalyptus leaves biomass, both fresh and composted. Utilization of the
eucalyptus leaves biomass and SRB in AMD treatment is expected to optimize the
treatment product to meet environmental quality standards. The aim of this
research is to screen SRB isolates and analyze the eucalyptus leaves biomass
characteristics in order to design AMD treatment process by wetland enrichment
using SRB roles and eucalyptus leaves biomass (fresh and composted). This
research is a descriptive semi-field scale research. Sampling was done by simple

randomized and composite technique in three different depth points in constructed
wetland. AMD samples were analyzed for pH, iron (Fe) content, manganese (Mn)
content, suspended residue (TSS), and SRB population’s cell density determined
by MPN method.
The result showed that ICBB 8818 SRB isolate is the most potent in
laboratory scale compared to ICBB 8813, ICBB 8815, ICBB 8816, ICBB 8819,
and ICBB 8825 isolates. Carbon source requirement for ICBB 8818 isolated could
be meet from organic matter in the form of eucalyptus leaves compost. This was
due to the characteristics of compost such as C/N ratio of 22.53; pH 6.38; and
water content of 12% which indicated that organic matters were mineralized,
therefore providing elements needed by ICBB 8818 SRB.

Based on pilot scale field test, an AMD treatment process was designed,
which used gravel as matrix and supplemented by compost (without SRB). This
was indicated by the significant increase in pH, decrease in Fe and Mn content
with 94.98% and 99.18% effectively respectively, and decrease in TSS most
effective compared to other treatments. The matrix can meet environmental
quality standards in 3 days retention time of with high affectivities in all
parameters, and high cost efficieny. Thus the design can be implemeted in
constructed wetlands in PT. Bukit Asam.

Key words: acid mine drainage, eucalyptus leaves biomass, passive treatment,
sulphate reducing bacteria, constructed wetland

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN KAYU PUTIH
DAN BAKTERI PEREDUKSI SULFAT DALAM
PENGOLAHAN AIR ASAM TAMBANG

ZAHRISKA DEWANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Dosen Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Mohammad Yani, MEng

Judul Tesis : Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu Putih dan Bakteri
Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang
Nama
: Zahriska Dewani
NIM
: A154130041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng
Ketua

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi Tanah dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Oktober 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 hingga Maret 2015 ini
ialah air asam tambang, dengan judul Kajian Pemanfaatan Biomassa Daun Kayu
Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Pengolahan Air Asam Tambang.
Sumber dana penelitian berasal dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam
Negeri (BPPDN) – Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng
dan Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan saran. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Dwi Andreas
Santosa, MS selaku Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
(BTL) yang telah memberi dorongan dan motivasi selama masa studi. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Mohammad Yani, MEng selaku
penguji luar komisi atas segala masukkannya. Terima kasih juga disampaikan
kepada Dr Ir Rahayu Widyastuti, MSi sebagai perwakilan dari program studi BTL
yang telah memimpin ujian tesis penulis dan memberikan banyak saran. Tidak
lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Firmansyah Adi Prianto, ST

dan Madaniyah, SSi sebagai rekan dalam tim penelitian. Terima kasih juga kepada
seluruh staf dan teknisi pada Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB dan
Laboratorium Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB),
Bogor yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada PT. Bukit Asam yang telah
memfasilitasi sarana maupun jasa teknis lapangan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu dan ayah yang selalu
dengan sabar memberikan limpahan dorongan, kasih sayang, semangat, serta do’a
yang tiada hentinya. Kepada kedua adik penulis, Adam Maulana Dewanto dan
Amalia Yuanita Dewanti terima kasih atas do’a, semangat, dan pengertiannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Zahriska Dewani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Air Asam Tambang
Sumber Pembentukkan Air Asam Tambang
Pengolahan Air Asam Tambang
Biomassa Daun Kayu Putih
Bakteri Pereduksi Sulfat
Biofilm Sel Bakteri
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu
Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat
Karakter Limbah Segar dan Kompos Daun Kayu Putih
Uji Lapang Lahan Basah Buatan dengan Matrik Biomassa Daun Kayu
Putih dan Bakteri Pereduksi Sulfat
Pembentukkan Biofilm dan Kepadatan Sel Bakteri Pereduksi Sulfat
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
1
4
6
6
6
6
7
8
9
10
11
12
12
12
12
12
14
15
16
16
20
22
26
27
27
27
27
33
35

DAFTAR TABEL
1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih.
2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang
dengan kombinasi perlakuan matrik yang berbeda.
3 Metode pengukuran parameter air asam tambang.
4 Kode dan asal isolat bakteri pereduksi sulfat pada Laboratorium ICBB.
5 Data nisbah C/N limbah segar daun kayu putih dan kompos
6 Karakter kimia limbah air asam tambang Stockpile-1 Air Laya.
7 Kepadatan sel bakteri pereduksi sulfat terimmbolisasi pada gravel.

14
15
16
16
21
23
26

DAFTAR GAMBAR
1 Kegiatan (a) penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan
genangan air asam tambang pada IUP Bangko Barat.
2 Sistem aktif (a) mixer pengapuran, sistem pasif (b) lahan basah buatan.
3 Tumpukkan (a) limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b)
limbah sekitar pabrik yang tidak termanfaatkan.
4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang
5 Diagram alir metode penelitian
6 Desain matrik lahan basah menggunakan biomassa daun kayu putih dan
bakteri pereduksi sulfat.
7 Indikasi awal waktu tumbuh bakteri pereduksi sulfat (a) 4 hari setelah
isolasi, (b) 9 hari setelah isolasi.
8 Histogran awal waktu tumbuh isolat bakteri pereduksi sulfat.
9 Pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat pada berbagai variasi nilai pH.
10 Histogram waktu rata – rata indikasi awal tumbuh isolat bakteri
pereduksi sulfat pada kondisi lingkungan pH yang berbeda.
11 Kerapatan optik isolat bakteri pereduksi sulfat pada pH 3.
12 Fluktuasi nilai pH pada pengujian konsentrasi isolat bakteri pereduksi
sulfat ICBB 8818 yang diinokulasikan pada air asam tambang.
13 Limbah segar dan kompos daun kayu putih.
14 Profil nilai pH, Fe, Mn, TSS air asam tambang pada matrik lahan basah
buatan.

1
2
3
5
13
14
17
17
18
18
19
20
20
24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Statistik deskriptif dan uji normalitas serta eksponensial data
2 Dokumentasi lapangan

33
34

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Batubara merupakan salah satu sumber energi yang digunakan untuk
menghasilkan listrik hampir 40% di seluruh dunia (World Coal Institute 2009).
World Coal Institute meramalkan bahwa penggunaan batubara akan meningkat
sebesar 60% selama 14 tahun mendatang. Keberlimpahan dan biaya yang rendah
dalam menggunakan batubara telah membuatnya menjadi pilihan bahan bakar
utama untuk membangun pembangkit listrik di dunia. Batubara termasuk bahan
bakar fosil yang paling melimpah dari segi cadangan global, dan berjumlah 29%
dari total konsumsi energi pada tahun 2009 – proporsi tertinggi sejak 1970
(ELAW 2010). Dalam IMA (2014) disebutkan bahwa Indonesia menduduki
peringkat ke-3 dalam ekspor batubara. Seiring dengan meningkatnya permintaan
energi, maka ekplorasi dan eksploitasi penambangan batubara akan terus
dilaksanakan.
Salah satu pertambangan batubara milik negara adalah PT. Bukit Asam
(PT.BA). Perusahaan BUMN tersebut merupakan perusahaan tambang batubara
dengan Izin Usaha Pertambangan untuk Tambang Air Laya (TAL) seluas 7.700
Ha, Muara Tiga Besar (MTB) 3.300 Ha, dan Banko Barat 4.300 Ha (Annual
report PT. BA 2014). Berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada, total
cadangan yang tertambang sebesar 1,2 miliar ton. Potensi batubara di PT.BA saat
ini memungkinkan untuk ditingkatkan lagi dengan memberikan prioritas yang
lebih besar pada pengembangan dan pemanfaatannya. Kegiatan penambangan
tersebut diawali dengan pembersihan lahan, peledakan tanah penutup dan/atau
pemindahan tanah penutup, pembersihan batubara, pemuatan, dan pengangkutan
batubara menuju ruang penyimpanan (stockpile-room). Proses penambangan ini
nantinya akan menghasilkan suatu limbah, disamping produk yang dihasilkan.
Salah satu permasalahan yang ditimbulkan adalah Air Asam Tambang (AAT)
yang dihasilkan dari proses pencucian batubara untuk meningkatkan kualitas
batubara, juga dari air larian yang kontak dengan mineral pirit yang terkandung
dalam batubara (Gambar 1).

(a)
(b)
Gambar 1 (a) Kegiatan penambangan batubara pada IUP TAL, (b) temuan
genangan air asam tambang pada IUP Bangko Barat

2
Air Asam Tambang (AAT) merupakan limbah yang berbahaya sebab
mengandung logam-logam berat seperti Fe, Al, Mn, Cu, Zn, Cd, Pb, As, dan
sulfat yang tinggi (Achterberg et al. 2003). Bakteri yang ada secara alami dapat
mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan terjadinya AAT. Fowler et al. (1999)
menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ dipercepat dengan
adanya mikrob pengoksida besi, seperti T. ferrooxidans. Adanya aktivitas bakteri
pengoksida menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat (Hossner
dan Doolittle 2003). Keasaman dan kelarutan logam yang tinggi telah
menyebabkan hilangnya beberapa jenis dari biota akuatik sehingga mempengaruhi
keseimbangan ekosistem.
Keberadaan logam terlarut juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Gautama (2012) melaporkan bahwa pembentukan AAT di Indonesia cukup tinggi,
mengingat 95% tambang di Indonesia adalah tambang terbuka dan intensitas
hujan sangat tinggi. Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara serta Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pelaku usaha
pertambangan harus bertanggung jawab terhadap berbagai dampak lingkungan
yang ditimbulkannya. Maka dari itu pemerintah menetapkan baku mutu air limbah
batubara yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 18
Tahun 2005. Di dalam baku mutu tersebut ditetapkan bahwa batas pH effluen
adalah 6-9, residu tersuspensi 300 mg/L, besi total 7 mg/L, dan mangan total 4
mg/L. Terkait hal tersebut, tentunya PT. BA diwajibkan untuk bertanggung jawab
terhadap limbah AAT yang dihasilkan. Pengolahan AAT dapat dilakukan melalui
2 cara, yaitu secara aktif maupun secara pasif. Salah satu pengolahan AAT secara
aktif adalah melalui penambahan bahan kimia bersifat alkali, seperti kapur,
sedangkan pengolahan secara pasif merupakan proses pengolahan yang tidak
memerlukan operasi atau perawatan oleh manusia secara regular, salah satunya
adalah melalui pembuatan lahan basah buatan (Gambar 2).

(a)
(b)
Gambar 2 (a) Mixer pengapuran pada TAL Utara Udongan (sistem aktif),
(b) lahan basah buatan pada Stockpile 1 - Cik Ayip (sistem pasif)
PT. BA telah melakukan penanganan secara pasif, yaitu dengan
menggunakan metode lahan basah buatan. Keuntungan dari sistem ini adalah
biaya yang dibutuhkan relatif lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem aktif.
Namun, metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena mengandalkan
peran alami tanaman sehingga debit air yang masuk harus rendah agar tanaman
bekerja lebih efektif, sehingga tidak efisien secara waktu dan terbatasnya lahan
yang tersedia. Maka dari itu, dibutuhkan strategi yang diharapkan dapat
memberikan keuntungan lebih besar.

3
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses penanganan
air asam tambang yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang
ditentukan adalah melalui pengkayaan (enrichment) lahan basah dengan
memanfaatkan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) dan biomassa daun kayu putih,
baik limbah segar maupun yang telah mengalami proses dekomposisi; serta
kombinasi antara keduanya. BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam
perlakuan. Hal ini disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di
lingkungan yang banyak mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses
metabolismenya, BPS memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron
dan bahan organik sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem
CW mampu meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny
2010). Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menyediakan lingkungan
yang baik bagi populasi BPS. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mempertahankan kandungan bahan organik dalam lahan basah buatan. Bahan
organik yang umum digunakan pada lahan basah buatan diantaranya kompos,
lumut, gambut, akar tanaman yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation
(Leduc dan Ferroni 1994). Proses akumulasi bahan organik dalam waktu yang
lama dapat meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga membuat kondisi lahan
basah menjadi bersifat anaerob (Matias et al. 2005; Neculita et al. 2006). Kondisi
seperti ini dapat meningkatkan kandungan asam organik rantai pendek dan
mendukung pertumbuhan BPS (Frank 2000).
Astuti (2013) melaporkan saat ini perkebunan kayu putih pada wilayah PT.
Bukit Asam tidak kurang dari 100 hektar. Produksi hasil penyulingan daun kayu
putih dihasilkan limbah berkisar 300 kg. Limbah daun kayu putih dapat
menimbulkan bahaya sebab limbah tersebut mudah terbakar (Sutapa dan Aris
2010). Limbah tersebut belum termanfaatkan dan dibiarkan terakumulasi di
sekitar pabrik penyulingan daun kayu putih (Gambar 3).

(a)
(b)
Gambar 3 (a) Limbah segar daun kayu putih hasil penyulingan, (b) limbah daun
kayu putih yang tidak termanfaatkan dihamparkan di sekitar pabrik
minyak kayu putih PT. Bukit Asam
Proses dekomposisi limbah daun kayu putih secara alami membutuhkan
waktu lama dan menghasilkan CO2 dalam tanah (Sutapa dan Aris 2010). Adanya
lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu
dekomposisi (Zumrotiningrum et al. 2004). Penggunaan kompos daun kayu putih
dalam penelitian adalah sebagai sumber karbon (donor elektron).

4
Sumber karbon merupakan sumber energi bagi aktivitas metabolisme dan
kehidupan BPS. Hal ini disebabkan karena BPS tergolong dalam bakteri
heterotrof anaerob (Bridge et al. 1999), sehingga membutuhkan bahan organik
sebagai sumber karbon. Penelitian ini memanfaatkan biomassa daun kayu putih,
baik berupa limbah segar maupun yang telah berupa kompos. Pemanfaatan
biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan AAT diharapkan dapat
optimal dengan hasil olahan sesuai dengan baku mutu lingkungan.

Perumusan Masalah
Limbah AAT merupakan permasalahan lingkungan yang dihadapi di
seluruh industri tambang di dunia. Menurut Gautama (2012), AAT terjadi karena
tersedianya 3 hal, yaitu mineral sulfida (sebagai sumber sulfur atau asam), oksigen
(dalam udara, sebagai pengoksidasi), dan air dari pencuci hasil oksidasi. Melihat
permasalahan lingkungan yang ditimbulkan, beberapa tindakan telah dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan dampak negatif tersebut. Salah satunya
adalah melaui langkah preventif, yakni menghindari terjadinya limbah AAT.
Prinsip langkah preventif ini adalah menghindari terjadinya proses oksidasi bahan
mineral pirit dan sulfida lainnya (Johnson dan Hallberg, 2005), yakni dengan
menyimpan batuan mineral pirit dalam kondisi anaerob.
Reaksi pembentukan AAT yang memerlukan oksigen adalah kunci dari
upaya preventif (Prasetya dan Gautama 2009). Menutup batuan yang berpotensi
membangkitkan asam dengan bahan yang dapat menghalangi suplai oksigen
dan/atau air, diharapkan dapat mereduksi terbentuknya AAT. Terdapat 3 jenis
bahan penutup berupa dry cover, diantaranya soil cover, oxygen-consuming cover,
dan synthetic cover (Lestari dan Sonny 2011). Soil cover didesain untuk
mereduksi koefisien difusi oksigen pada material penutup dan mereduksi jumlah
fluks oksigen pada permukaan sulfida. Bahan yang biasa digunakan adalah tanah
liat yang dipadatkan karena permeabilitas dari tanah jenis ini relatif kecil. Oxygenconsuming cover merupakan material organik yang dapat diambil dari limbah
organik, misalnya kulit kayu, serbuk gergaji. Adanya proses dekomposisi bahan
organik, menjadikan bahan penutup ini tidak dapat dipilih sebagai solusi yang
permanen. Bahan sintetis berupa HDPE (High-Density Polyethylene) juga sudah
sering digunakan sebagai cover timbunan. Bahan ini efektif untuk mencegah
infiltrasi air pada timbunan, tetapi tidak efektif untuk mengendalikan masuknya
oksigen. Pada wet cover, material penghalang yang digunakan adalah air yang
memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Batuan yang berpotensi
menghasilkan asam direndam di dalam air sehingga oksigen tidak berdifusi ke
dalam air (Abfertiawan dan Gautama 2011). Upaya preventif ini cukup sulit untuk
diterapkan, sehingga langkah yang bisa dilakukan adalah meminimalkan dampak
negatif AAT terhadap aliran dan ekosistem sungai, serta dampak negatif tersebut
terhadap lingkungan yang lebih luas. Terdapat beberapa teknik yang telah
dikembangkan dalam mengurangi dampak negatif AAT. Teknik remediasi
tersebut dapat dikelompokkan menjadi remediasi abiotik dan biologi (Johnson dan
Hallberg 2005).

5
Teknik remediasi abiotik yang telah dikembangkan yaitu dengan cara
menetralisir sifat masam dengan menambahkan bahan kimia (Coulton et al.,
2003). Teknik ini dikenal dengan sistem aktif. Penambahan bahan kimia alkali
pada AAT akan meningkatkan pH, mempercepat laju oksidasi kimia dari ion Fe2+
dan mengendapkan logam-logam yang ada pada larutan dalam bentuk hidroksida
atau karbonat. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan rancangan proses
penanganan AAT yang efektif dan efisien secara biologis. Perlakuan yang
diterapkan adalah melalui pengkayaan lahan basah dengan memanfaatkan BPS
dan biomassa daun kayu putih, baik limbah segar maupun yang telah mengalami
proses dekomposisi; serta kombinasi antara keduanya.
BPS digunakan sebagai salah satu variabel dalam perlakuan. Hal ini
disebabkan karena BPS mampu tumbuh dan hidup di lingkungan yang banyak
mengandung sulfat (Yusron 2009). Dalam proses metabolismenya, BPS
memanfaatkan ion sulfat sebagai terminal akseptor elektron dan bahan organik
sebagai donor elektron (Bridge et al. 1999). BPS pada sistem CW mampu
meningkatkan pH dan mempercepat presipitasi logam berat (Henny 2010).
Variabel lainnya adalah biomassa daun kayu putih (DKP). Limbah hasil
penyulingan daun kayu putih yang melimpah pada PT.BA belum termanfaatkan.
Maka dari itu, pemanfaatan biomassa daun kayu putih dan BPS dalam pengolahan
AAT diharapkan menghasilkan olahan yang sesuai dengan baku mutu lingkungan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, secara ringkas disajikan pada Gambar 4.
Air Asam Tambang
Sistem Penanganan
Kajian Penanganan

Sistem Aktif

Sistem Pasif

Biaya Operasional Tinggi

Biaya Operasional Rendah

Proses berjalan lambat

Baku Mutu
Lingkungan :
Peraturan Gubernur
Sumatera Selatan
Nomor 18 Tahun 2008
(pH, Fe, Mn, TSS)

Pengkayaan
lahan basah buatan

Bakteri Pereduksi Sulfat dan
Biomassa Daun Kayu Putih

Gambar 4 Perumusan masalah dalam penanganan air asam tambang

6
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dipecahkan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana efektivitas dan efisiensi pengolahan AAT, melalui pemanfaatan
limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS?
2. Bagaimana optimasi proses pengolahan AAT menggunakan limbah maupun
kompos daun kayu putih dan BPS?
3. Bagaimana peranan limbah maupun kompos daun kayu putih dan BPS
terhadap penurunan kadar Fe, Mn, residu tersuspensi (TSS), dan nilai pH
dalam pengolahan AAT?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah seleksi isolat BPS dan menganalisis karakter
biomassa daun kayu putih, sehingga mendapatkan rancangan proses penanganan
AAT melalui pengkayaan lahan basah buatan dengan memanfaatkan peranan BPS
dan biomassa daun kayu putih (limbah segar maupun kompos).
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu memperkaya
pengetahuan terkait sistem pasif pada pengolahan AAT menggunakan BPS dan
biomassa daun kayu putih; serta meningkatkan kinerja proses pengolahan AAT
melalui sistem pasif, sehingga dapat memaksimalkan kinerja lahan basah buatan
yang telah tersedia pada wilayah PT. BA.
.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Air Asam Tambang
Air Asam Tambang (AAT) adalah air limbah hasil penambangan dengan
tingkat keasaman tinggi (pH rendah, < 4). AAT timbul dari hasil reaksi dari
oksidasi batuan yang terpapar oleh air, sehingga menghasilkan asam sulfat dan
endapan besi hidroksida (Achterberg et al. 2003). Warna kekuningan yang
mengendap di dasar saluran tambang atau pada dinding kolam pengendap lumpur
merupakan gambaran visual dari endapan besi hidroksida (Aube dan Payant 1997).
Secara umum reaksi pembentukan air asam tambang adalah sebagai berikut
(Lizama dan Suzuki 1989):
4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O → 4 Fe(OH)3(s) + 8 H2SO4
Pyrite + Oxygen + Water → “Yellowboy” + Sulfuric Acid
Dalam reaksi umum pembentukan AAT, terjadi empat reaksi pada pirit yang
menghasilkan ion - ion hidrogen yang bila berikatan dengan ion - ion negatif
dapat membentuk asam. Reaksi oksidasi pirit dapat ditulis dengan persamaan:

7
FeS2 (s) + 7/2 O2 + H2O - Fe2+ + 2SO42- + 2H+
Fe2+ + 1/4 O2 + H+
- Fe3+ + 1/4 H2O
3+
FeS2 (s) + 14Fe + 8H2O-15 Fe2+ + 2SO42- + 16 H+
Fe3+ + 3H2O
- Fe(OH)3 (s) + 3H+

(1)
(2)
(3)
(4)

Secara keseluruhan oksidasi pyrite mengikuti persamaan berikut:
FeS2 (s) + 15/4 O2 + 7/2 H2O - Fe(OH)3 (s) + 2SO42- + 4H+ + energi (5)
Oksidasi terhadap pyrite akan menghasilkan besi (II) dan sulfat, kemudian
besi (II) teroksidasi kembali menjadi besi (III). Reaksi akan berlangsung lambat
dalam kondisi asam dan semakin cepat dengan kenaikan besi hidroksida. Besi
(III) yang belum mengendap akan mengoksidasi pyrite yang belum mengalami
oksidasi. Penurunan kemasaman lingkungan merupakan kondisi yang cukup
sesuai bagi pertumbuhan bakteri asidofilik pengoksida besi dan sulfur. Bakteri
yang ada secara alami dapat mempercepat reaksi yang bisa menyebabkan
terjadinya AAT. Fowler et al. (1999) menyatakan bahwa proses oksidasi ion Fe2+
menjadi Fe3+ dipercepat dengan adanya mikrob pengoksida besi, seperti T.
ferrooxidans. Hossner dan Doolittle (2003) melaporkan adanya aktivitas bakteri
pengoksida dapat menyebabkan laju oksidasi meningkat hingga 106 kali lipat.

Sumber-Sumber Pembentukan Air Asam Tambang
AAT berasal dari kegiatan tambang terbuka, pengolahan batuan buangan,
maupun unit pengolahan limbah tailing (World Coal Institute 2009). Pada
kegiatan tambang terbuka, lapisan batuan akan terbuka akibat terkupasnya lapisan
penutup. Hal ini menyebabkan unsur-unsur sulfur yang terdapat dalam batuan
sulfida akan teroksidasi dan bila bereaksi dengan air dan oksigen akan membentuk
AAT (Lizama dan Suzuki 1989). Material yang banyak terdapat limbah kegiatan
penambangan adalah batuan buangan (waste rock). Jumlah batuan buangan ini
akan semakin meningkat dengan bertambahnya kegiatan penambangan. Batuan
buangan yang mengandung sulfur nantinya akan berhubungan langsung dengan
udara terbuka membentuk senyawa sulfur oksida yang selanjutnya dengan adanya
air akan membentuk AAT (Achterberg et al. 2003). Kandungan unsur-unsur
sulfur di dalam tailing juga diketahui mempunyai potensi dalam membentuk
AAT. Air yang masuk ke dalam tailing pond yang bersifat asam diperkirakan
akan menyebabkan limbah asam bila merembes keluar dari tailing pond (World
Coal Institute 2009).
Pada areal IUP TAL PT. Bukit Asam, AAT berasal dari berbagai sumber,
diantaranya: lokasi penambangan atau galian, timbunan, stockpile, dan Train
Loading Station (TLS) (Nurisman 2012). Lokasi penambangan atau galian
merupakan salah satu sumber terbentuknya AAT. Air yang berasal dari limpasan
air hujan maupun air tanah akan tertampung pada mine sump sebelum dialirkan ke
kolam pengendapan lumpur. Timbunan batubara juga menghasilkan AAT karena
adanya kontak langsung dengan udara bebas yang selanjutnya terjadi pelarutan
akibat adanya air. Masalah ini berkaitan erat dengan proses pembentukan batubara
dimana pembentukan batubara terdapat sulfur dan mineral yang berupa mineral

8
sulfida (Mays dan Edwards 2000). Stockpile adalah tempat penyimpanan
sementara batubara dalam bentuk timbunan maupun tumpukan. Sumber AAT
berasal dari limpasan air pencucian batubara dan air hujan yang berasal dari
pelapisan B2C yang mengandung mineral sulfida (Nurisman 2012). TLS
merupakan tempat pengisian batubara untuk diangkut menggunakan kereta. Pada
TLS, AAT dapat terbentuk dikarenakan adanya tumpahan-tumpahan batubara
yang berasal dari pengisian ke dalam gerbong kereta. Tumpahan-tumpahan
batubara tersebut dapat bereaksi dengan udara dan air sehingga membentuk AAT.

Pengolahan Air Asam Tambang
Jhonson and Hallberg (2005) menyatakan bahwa pengolahan AAT dapat
dilakukan melalui 2 sistem yaitu sistem aktif dan sistem pasif. Pengolahan yang
paling umum digunakan adalah metode sistem aktif dengan menggunakan bahan
kimia alkali yang ditambahkan terus-menerus ke AAT. Proses penetralan AAT
akan mengendapkan logam-logam terlarut dan membentuk selimut lumpur
(sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah membutuhkan biaya
operasional yang tinggi, serta intervensi operator dalam pemindahan atau
membuang selimut lumpur yang mengandung logam. Metode lainnya yaitu
berupa sistem pasif. Pada sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan
dan penggantian secara periodik. Prinsip perlakuan system pasif adalah
membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Munawar (2007)
memaparkan perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan
intensif. Henny et al. (2010) menyatakan bahwa sistem pasif adalah suatu sistem
yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien
topografi, energi metabolisme mikrob, fotosintesis dan energi kimia.
Teknologi sistem pasif melalui lahan basah buatan sudah banyak digunakan
di negara maju dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai pengolah
limbah. Pada lahan basah buatan, bahan organik atau substrat, tanaman air, dan
bakteri memegang peranan penting. Tujuan utama membangun lahan basah
buatan sekitar tambang adalah menampung limpahan air hujan yang
menghanyutkan tanah galian tambang beserta dengan senyawa logam seperti pirit.
Proses pengolahan AAT pada sistem pasif yaitu menghasilkan zat anorganik
dengan struktur lebih sederhana (Henny et al. 2010). Hasil penguraian zat organik
menjadi anorganik diabsorpsi oleh tanaman melalui proses metabolisme untuk
pertumbuhannya (Hammer dan Bastian, 1989).
Adapun sistem yang umum digunakan dalam pengolahan AAT seperti
sistem permeable reactive barrier (PRB), open limestone channels (OLCs),
anoxic limestone drains (ALDs) dan lahan basah buatan (CW; constructed
wetland) (Benner, 1997; Gilbert et al., 2003; Zipper dan Jage, 2002; Zimkiewicz
et al., 2003). Pengolahan AAT biasanya menggunakan sistem pengolahan
bertingkat dari beberapa sistem tersebut (Zipper dan Jage 2002; Faulkner et al.
2005; Zimkiewicz et al. 2003; Hedin et al. 1994). Sistem pasif yang sangat efektif
dalam menurunkan asiditas AAT adalah sistem OLCs dan ALDs yang digabung
dengan sistem lahan basah buatan. Sistem ini sudah dikembangkan secara
komersial di Kanada dan Amerika Serikat. Sistem limestone dan lahan basah
buatan yang terpisah akan lebih efektif. Lagos dan Gary (2011) melakukan

9
penelitian untuk mengolah AAT dan leachate dari pertambangan batubara di Ohio,
USA. Pada penelitian tersebut dihasilkan persen reduksi Fe yang mencapai
99.90% dengan kondisi pH 9. Nyquist dan Greger (2008) juga melakukan
penelitian dengan menggunakan lahan basah buatan untuk mengolah AAT,
sehingga diketahui bahwa lahan basah buatan dapat mereduksi Cu dalam air
limbah sebesar 36-57%.

Biomassa Daun Kayu Putih
Daun kayu putih dapat menghasilkan minyak atsiri sekitar 0.5% hingga
1.5% (Sutapa dan Aris 2010). Dalam pengolahan minyak kayu putih dihasilkan
limbah padat berupa sisa daun, ranting dan tanaman hasil dari proses destilasi. PT.
BA telah berhasil memproduksi minyak kayu putih. Semula penanaman pohon
minyak kayu putih ini hanya sebagai upaya penghijauan di lahan bekas galian
tambang batu bara. Namun, seiring perkembangannya tanaman kayu putih dinilai
cukup potensial dan menghasilkan, sehingga PT. BA mulai melakukan upaya
serius dalam pengolahannya. Dalam proses pengolahan daun kayu putih pada PT.
BA dihasilkan limbah organik sekitar 300 kg pada tiap kali produksi (Astuti 2013).
Limbah tersebut belum termanfaatkan dan hanya dibiarkan terakumulasi di sekitar
pabrik penyulingan, sehingga membutuhkan lahan yang luas untuk membuangnya.
Proses dekomposisi limbah daun kayu putih secara alami membutuhkan
waktu lama dan menghasilkan CO2 dalam tanah (Sutapa dan Aris 2010). Adanya
lignoselulosa pada dinding sel sekunder tanaman menyebabkan lamanya waktu
dekomposisi (Zumrotiningrum et al. 2004). Menurut Isroi (2008), proses
dekomposisi umumnya melibatkan beberapa kelompok organisme baik mikroflora,
mikrofauna, makroflora, dan makrofauna. Berdasarkan penelitian Sahwan (2011),
pada proses dekomposisi bahan organik terdapat 3 golongan konsorsium mikrob
yang terlibat, diantaranya bakteri, Actinomycetes, dan fungi. Jenis-jenis dari
kelompok mikrob tersebut, yaitu:
1. Bakteri: Aerobacter, Bacillus megatherium, B. Stearothermophillus, B. Cereus,
B. Mycoides, Psedomonad sp., Flavobacterium sp., Micrococcus sp., Sarcina
sp., Thiobacillus thiooxidans, T. Denitrificans.
2. Actinomycetes: Thermospora viridis, T. Curcata, Actinoplanes sp.,
Micromonospora parva, M. Vulgaris, Pseudonocardia, Streptomyces
thermoviolaceus, S. Thermofuscus, Thermonospora fusca.
3. Fungi: Rhizopus nigricans, Rhizoctonia sp., Mucor pusillus, Mucor racemosus,
Pennicilium digitatum, Aspergillus flavus, Saccharomyces sp., Pulluloria sp.,
Hanusenula sp., Trichoderma koningi.
Berdasarkan jenis-jenis mikrob tersebut, terdapat beberapa jenis yang
termasuk golongan multifungsional, seperti B. megatherium, Pennicilium
digitatum, Pseudomonas sp., Thiobacillus thiooxidans, dan Trichoderma koningi.
Golongan bakteri akan mengurai senyawa golongan protein, lipid, dan lemak pada
kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Actinomycetes dan fungi
selama proses dekomposisi berada pada kondisi mesofilik dan termofilik yang
berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa
dari bahan organik (Metcalf dan Eddy 1991).

10
Bakteri Pereduksi Sulfat
Kandungan sulfat dalam AAT dapat diturunkan dengan memanfaatkan
aktivitas BPS. Hal ini disebabkan karena BPS mampu menggunakan ion sulfat,
sulfit atau thiosulfat sebagai aseptor elektron untuk mendapatkan energi dalam
proses metabolismenya (Hards dan Higgins 2004). Ion-ion tersebut akan tereduksi
menjadi sulfida. Terbentuknya hidrogen sulfida juga akan sangat menguntungkan
terhadap lingkungan yang mengandung logam terlarut tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian Widyawati (20066) menunjukkan bahwa pada tanah bekas tambang
batubara yang diberi perlakuan bahan organik yang dikoloni oleh BPS dapat
menurunkan ketersediaan logam Fe, Mn, Zn dan Cu dalam tanah dengan efisiensi
antara 68 - 97% setelah 15 hari inkubasi. Bahan organik berperan sebagai donor
elekton dalam metabolisme yang juga berguna sebagai bahan penyusun sel BPS
(Kolmert dan Johnson 2001). Berikut adalah reaksi reduksi sulfat oleh BPS
menurut Postgate dan Campbell (1966):
SO4 2- + H2 + 2 H+ → H2S + 4H2O
Metabolisme BPS membutuhkan senyawa organik sederhana seperti laktat
dan piruvat sebagai sumber karbon dengan sumber karbon dengan reaksi sebagai
berikut:
2C3H5O3 + SO422CH3COO- + 2CO2 + H2O + S2Asimilasi bahan organik merupakan metabolisme untuk memperoleh energi,
yang dilakukan dengan proses fosforilasi transport elektron. Donor elektron yang
digunakan berupa senyawa organik sederhana. Pada tahap awal, sumber karbon
akan dioksidasi dan menghasilkan ATP, kemudian ATP tersebut dimanfaatkan
untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Pada kondisi dimana hidrogen
dipergunakan sebagai donor elektron, maka CO2 akan dimanfaatkan sebagai
sumber karbon. Energi yang diperoleh dari oksidasi laktat ditransfer ke
hidrogenase pada sitoplasma dan dihasilkan H2 yang dioksidasi kembali untuk
menghasilkan elektron. Selanjutnya, proton H+ dilepaskan dan dipergunakan
untuk mendorong pembentukan ATP dalam reduksi sulfat menjadi S2-. Berikut
adalah reaksi terbentuknya sulfida dan proses reduksi sulfat, yang kemudian
bereaksi dengan kation - kation logam membentuk logam sulfida, yang
berlangsung pada kondisi anaerob:
2 (CH2O) +
5H2
+
M2+
+

SO42SO4 2S2-

H2S + 2H2CO3
H2S + 4H2O + 2e
MS

Peranan BPS dalam mengolah AAT yaitu dengan menetralisir atau
mengurangi keasaman dan meningkatkan pH yang merupakan refleksi dari
pengurangan sulfat dalam perairan.

11
Biofilm Sel Bakteri
Biofilm merupakan sekumpulan sel bakteri yang melekat erat pada suatu
permukaan sehingga berada dalam keadaan diam, tidak mudah terlepas atau
berpindah tempat (Kolmert dan Johnson 2001). Pelekatan ini disertai dengan
penumpukan bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluler
yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (Donlan 2002). Pembentukan biofilm
tersebut menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi aktivitas bakteri
(Santegoeds et al. 1998).
Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan
yang ditempeli. Waktu yang diperlukan untuk membentuk biofilm sangat
beragam, tergantung dari jenis bakteri, permukaan bahan penempelan, dan kondisi
lingkungan. Santegoeds et al. (1998) melaporkan bahwa BPS mulai membentuk
biofilm satu minggu setelah inokulasi, dan pada media hematit biofilm bakteri
mulai terbentuk 2 minggu setelah inkubasi. Kelebihan bakteri yang membentuk
biofilm adalah sel bakteri mampu bertahan pada kondisi makanan yang terbatas.
Immobilisasi bakteri dalam membentuk biofilm dilakukan untuk menghasilkan
kepadatan populasi sel dalam bioreaktor yang lebih tinggi, sehingga dihasilkan
ukuran bioreaktor yang lebih kecil, waktu tinggal yang lebih pendek dan laju aliran
yang lebih tinggi (Hrenovic et al. 2007).
Lingkungan yang ideal untuk membentuk biofilm adalah adanya kontak
antara permukaan benda padat dengan cairan (Masak et al. 2003). Sel bakteri
akan melekat ke permukaan dengan adanya daya tarik elektrostatis dan fisik.
Sel bakteri tersebut selanjutnya menempel pada permukaan padatan dengan
adanya extracellular polymeric substances (EPS). O’Toole (2003)
mengemukakan EPS tidak hanya berfungsi sebagai bahan pengikat antara sel
dengan permukaan padatan, tetapi berperan dalam sistem pertukaran ion.
Proses tersebut berfungsi untuk mengikat nutrisi dalam air yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan sel. Pada saat ketersediaan nutrisi mencukupi, sel bakteri
berkembang dan sel baru membentuk EPS tersendiri. Perkembangan semacam
ini terus berlanjut, sehingga membentuk kelompok koloni yang saling terkait.
Hidrofobisitas permukaan sel, keberadaan flagela, serta produksi EPS,
merupakan beberapa karakteristik bakteri yang menentukan kecepatan pelekatan
bakteri (Donlan 2002). Proses pembentukan biofilm juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti permukaan bahan padatan, luas area permukaan, kecepatan
laju alir dan ketersediaan nutrisi. Karakteristik permukaan bahan padatan
menjadi faktor kunci yang menentukan proses penempelan sel bakteri.
Penempelan koloni bakteri lebih mudah terjadi pada permukaan yang kasar. Hal
ini dikarenakan pada permukaan yang kasar, pemukaan padatan semakin luas.

12

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada September 2014 hingga Maret 2015. Tahap
pertama merupakan persiapan bahan penelitian berupa biomassa daun kayu putih
dan BPS yang dilaksanakan di Indonesian Center of Biodiversity and
Biotechnology (ICBB) Laboratory – Bogor, Jawa Barat. Tahap selanjutnya
merupakan aplikasi uji lapang pada skala pilot di wilayah penambangan batubara
Stockpile 1 KPL Cik Ayip – IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero), Tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah biomassa daun kayu
putih, baik berupa limbah segar maupun kompos, batu kerakal (gravel), BPS
dengan kode ICBB 8813; ICBB 8815; ICBB 8816; ICBB 8818; ICBB 8819;
ICBB 8825, sedimen lumpur, bokasi, media postgate B, AAT dari Stockpile 1 –
IUP Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk., larutan standart Fe, larutan standart
Mn, aquadest, alkohol, dan spiritus.

Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah 6 kolam buatan yang
masing – masing berukuran (320x40x75) cm3 sebagai bioreaktor, plastik, AAS
(Atomic Absorbtion Spectrometer), labu Erlenmeyer, gelas ukur, oven, desikator,
tabung ulir, timbangan analitik, WhatmannTM No. 41 D125 mm, cellulose nitrate
filter 0.45 µm, pipet ukur, botol sampel 100 ml.

Prosedur Penelitian
Pada tahap persiapan dilakukan peremajaan serta seleksi isolat BPS dan
dekomposisi alami limbah daun kayu putih dari hasil penyulingan. Pada proses
peremajaan isolat BPS digunakan media Postgate B (Atlas 1993) yang terdiri dari
komponen utama, yaitu: natrium laktat (8 ml/L), magnesium sulfat (1.0 g/L),
ammonium klorida (0.5 g/L), kalium dihidrogen fosfat (1.0 g/L), besi fosfat (0,1
g/L) dan asam askorbat (0.5 g/L), glukosa (0.1 g/L), kalsium klorida (0.1 g/L),
natrium sulfat (0.5 g/L), dan ekstrak khamir (0.1 g/L). Terdapat 6 sampel BPS
yang diisolasi dari koleksi unggul Laboratorium ICBB, yaitu ICBB 8813, ICBB
8815, ICBB 8816, ICBB 8818, ICBB 8819, ICBB 8825. Diagram alir metode
penelitian secara komprehensif disajikan pada Gambar 5.

13

Perumusan Masalah

Penentuan Lokasi Penelitian

Pengumpulan Data

Data Primer

Fisika :
- pH
- TSS
- Warna

Kimia :
- Kadar Fe
- Kadar Mn

Data Sekunder

Biologi :
Bakteri
Pereduksi
Sulfat

Desain lahan basah
eksisting dan data
AAT pada effluent

Analisis
Populasi
Sel BPS

Analisis Kualitas
Air

Pengolahan Data

Penulisan Tesis
Kesimpulan dan Saran
Gambar 5 Diagram alir metode penelitian
Dalam pengujian BPS, dilakukan 3 tahapan seleksi, yaitu: seleksi
berdasarkan waktu tumbuh, variasi lingkungan pH, dan seleksi berdasarkan
berbagai konsentrasi. Seleksi pertama yaitu berdasarkan waktu tumbuh, bakteribakteri tersebut diremajakan terlebih dahulu pada media Postgate B. Bakteri yang
paling cepat tumbuh selanjutnya akan digunakan dalam seleksi berdasarkan
variasi pH. Nilai pH yang digunakan, yaitu: pH 3, pH 4, pH 6, pH 7, kemudian
dilihat absorbansi kepadatan bakteri melalui spektrofotometer. Seleksi tahap akhir
adalah berupa pengujian inokulasi BPS ke dalam sampel AAT.

14
Inokulasi BPS dilakukan dengan berbagai konsentrasi, yaitu 1%, 2%, 3%,
dan 5% (v/v). Analisis dilakukan berdasarkan peningkatan nilai pH AAT. BPS
membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon dalam treatment AAT.
Bahan organik yang digunakan pada penelitian ini adalah biomassa daun kayu
putih. Dalam menentukan karakteristik biomassa daun kayu putih yang dapat
dimanfaatkan oleh BPS pada treatment AAT, maka terlebih dahulu dilakukan
beberapa analisis pengujian.
Terdapat 2 jenis bahan organik yang dianalisis berdasarkan karakteristik
fisika dan kimia, yaitu limbah segar daun kayu putih [L] dan kompos daun kayu
putih [K]. Kompos berasal dari limbah daun kayu putih yang terdekomposisi
aerob secara alamiah selama 1 tahun. Karakter limbah dan kompos daun kayu
putih dilihat berdasarkan nilai pH, C-Organik, N-Total, nisbah C/N, kadar air, dan
kadar kering. Berikut Tabel 1 menyajikan Standard Operating Procedure (SOP)
dalam pengukuran parameter pada limbah dan kompos daun kayu putih.
Tabel 1 Metode pengukuran parameter limbah dan kompos daun kayu putih
Pengujian
Metode
Alat yang digunakan
pH
SNI 03-6787-2002
Soil tester
C-organik
Walkley dan Black
Titrimeter
N-total
Kjehdal
Destilator
Kadar air
SNI 19-3964-1995
Oven

Uji Lapang Lahan Basah dengan Matrik Biomassa Daun Kayu Putih dan
Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
Tahap selanjutnya adalah tahap pengoperasian di lapangan. Pada tahap ini,
matrik lahan basah buatan yang diterapkan oleh PT. BA direplikasi dengan ukuran
yang diperkecil menjadi (320x40x75) cm3 (Gambar 6), sehingga kapasitas volume
AAT yang tertampung adalah sebesar 600 L, dengan tinggi permukaan air 30cm.
Jenis kolam lahan basah buatan yang digunakan adalah anaerobic wetland.

Gambar 6 Desain matrik lahan basah menggunakan biomassa daun kayu putih
dan bakteri pereduksi sulfat

15
Gravel dimasukkan ke dalam kolam hingga mencapai ketinggian 30cm.
Gravel berfungsi sebagai material dalam pembentukkan biofilm bagi BPS.
Komponen selanjutnya adalah limbah daun kayu putih yang berfungsi sebagai
sumber karbon bagi BPS ataupun bioakumulator logam berat dimasukkan hingga
mencapai ketinggian 10 cm. Pada pengkayaan melalui penambahan isolat BPS,
dilakukan penambahan sebanyak 5% dari total volume AAT yang tertampung.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Simple Randomized and
Composite pada tiga titik kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm pada lahan basah
buatan selama 17 HSP disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rancangan pengambilan sampel pada tiap kolam air asam tambang
dengan kombinasi pelakuan matrik yang berbeda.
Waktu Pengamatan
Perlakuan
0 HSP
3 HSP
6 HSP
10 HSP 13 HSP 17 HSP
tLBb0
tLBb3
tLBb6
tLBb10
tLBb13
tLBb17
tLB
tOGb0
tOGb3
tOGb6
tOGb10
tOGb13
tOGb17
tOG
tL0b0
tL0b3
tL0b6
tL0b10
tL0b13
tL0b17
tL0
tL1b0
tL1b3
tL1b6
tL1b10
tL1b13
tL1b17
tL1
tK0b0
tK0b3
tK0b6
tK0b10
tK0b13
tK0b17
tK0
tK1b0
tK1b3
tK1b6
tK1b10
tK1b13
tK1b17
tK1
Keterangan:
1. AAT + Lumpur + Bokasi
2. AAT + Gravel
3. AAT + Gravel + Limbah segar
4. AAT + Gravel + Kompos
5. AAT + Gravel + Limbah segar + BPS
6. AAT + Gravel + Kompos + BPS
7. Hari Setelah Perlakuan

[tLB]
[tOG]
[tL0]
[tK0]
[tL1]
[tK1]
[HSP]

Analisis Data
Penelitian ini dilakukan pada skala semi lapangan (pilot) tanpa ulangan,
sehingga dapat dimungkinkan unit percobaan yang tidak homogen (heterogen).
Metode ini d