Karakteristik dan efektivitas penetrasi kafein terjebak dan tersalut nanopartikel kitosan sebagai antiselulit

KARAKTERISTIK DAN EFEKTIVITAS PENETRASI
KAFEIN TERJEBAK DAN TERSALUT NANOPARTIKEL
KITOSAN SEBAGAI ANTISELULIT

CANDRA KIRANA HARTUTI SAPUTRO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul
“Karakteristik dan Efektivitas Penetrasi Kafein Terjebak dan Tersalut
Nanopartikel Kitosan sebagai Antiselulit.” adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Candra Kirana Hartuti Saputro
NIM C34090057

ABSTRAK
CANDRA KIRANA HARTUTI SAPUTRO. Karakteristik dan Efektivitas
Penetrasi Kafein Terjebak dan Tersalut Nanopartikel Kitosan sebagai Antiselulit.
Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan JOSHITA DJAJADISASTRA.
Kitosan banyak digunakan sebagai penghantar obat karena bersifat
polikationik alami dan mudah dimodifikasi dalam sifat kimia maupun fisiknya.
Penelitian ini memodifikasi sifat kimia dengan menyalutkan dan menjebak zat
aktif antiselulit berupa kafein sedangkan sifat fisiknya dengan memperkecil
ukuran partikel kitosan menjadi ukuran nanopartikel. Tujuan penelitian ini adalah
mengkarakterisasi nanopartikel kitosan berupa morfologi, ukuran partikel, gugus
fungsi, dan nilai efisiensi penjerapan serta membuktikan efektivitas nanopartikel
kitosan terhadap penetrasi kafein sebagai antiselulit secara In Vitro menggunakan

sel difusi Franz. Pengujian karakterisasi perlakuan kafein terjebak nanopartikel
kitosan dan kafein tersalut nanopartikel kitosan menghasilkan morfologi
permukaan yang halus, sedikit cembung, dan masih menggumpal; ukuran rata-rata
berturut-turut sebesar 232,74 nm dan 226,62 nm; gugus fungsi memiliki adanya
pergeseran bilangan gelombang yaitu gugus amida III (-CN) dan gugus hidroksil
(-OH); nilai efisiensi penjerapan kafein berturut-turut sebesar 51,35% dan
64,63%. Hasil nilai efektifitas penetrasi berturut-turut 1,089,65 ± 10,7 µg/cm2 dan
2,170,03 ± 6,85 µg/cm2.
Kata kunci: antiselulit; kafein; kitosan; nanopartikel kitosan.

ABSTRACT
CANDRA KIRANA HARTUTI SAPUTRO. Characterization and Effectiveness
Penetrasion of Caffeine Trapped and Coated Chitosan Nanoparticles as Anticellulite. Supervised by PIPIH SUPTIJAH and JOSHITA DJAJADISASTRA
Chitosan used as drug carrier because of is natural polycationic and easily
modified in chemical and physical properties. In this research chitosan was
chemically modified by coating and entrapping anti-cellulite active substance of
caffeine and physically modified by minimizing chitosan particle size into
nanoparticles size. The purpose of this research is to characterize the chitosan
nanoparticles from its morphology, particle size, function of group, the value of
adsorption efficiency, and effectiveness of chitosan nanoparticles against in vitro

penetration of caffeine as anti-cellulite using Franz diffusion cell. The
morphology characterization test of caffeine trapped in chitosan nanoparticles and
caffeine coated by chitosan nanoparticles resulting a smooth surface, slight
convex shape, and agglomerated particles; average size of particles are 232.74 nm
and 226.62 nm respectively; the function group showed a shift of wave number of
amide III groups (-CN) and hydroxyl groups (-OH); the caffeine adsorption
efficiency are 51,35% and 64,63% respectively. The result of effective penetration
are 1.089.65 ± 10.7 µg/cm2 and 2.170.03 ± 6.85 µg/cm2 respectively.
Keywords: anti-cellulite; caffeine; chitosan; chitosan nanoparticles.

KARAKTERISTIK DAN EFEKTIVITAS PENETRASI
KAFEIN TERJEBAK DAN TERSALUT NANOPARTIKEL
KITOSAN SEBAGAI ANTISELULIT

CANDRA KIRANA HARTUTI SAPUTRO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan
pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Karakteristik dan efektivitas penetrasi kafein terjebak dan tersalut
nanopartikel kitosan sebagai antiselulit
Nama
: Candra Kirana Hartuti Saputro
: C34090057
NIM
Program Studi: Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

-----


Dr. Pipih Suptijah, MBA
Pembimbing I

Pharm.Dr.1oshita Djajadisastra, MS, Ph.D
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Ruddy Suwandi. MS, M.Phil
.
Ketua Departemen
I

TanggaJ Lulus:

I.J(

3 0 SEP lOU

Judul Skripsi : Karakteristik dan efektivitas penetrasi kafein terjebak dan tersalut

nanopartikel kitosan sebagai antiselulit
Nama
: Candra Kirana Hartuti Saputro
NIM
: C34090057
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr. Pipih Suptijah, MBA
Pembimbing I

Pharm.Dr.Joshita Djajadisastra, MS, Ph.D
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Ruddy Suwandi. MS, M.Phil
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat
dan anugerah-NYA penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2013 dengan judul Karakteristik dan
efektivitas penetrasi kafein terjebak dan tersalut nanopartikel kitosan sebagai
antiselulit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Pipih Suptijah, MBA dan Pharm.
Dr. Joshita Djajadisastra, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku dosen penguji, serta staf dosen dan administrasi
Departemen Teknologi Hasil Perairan. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Ibu, Bapak, dan kakak-kakak tersayang yang telah memberikan semangat
dan doa, serta Reza Rizkyawan atas pengertian dan dukungan yang diberikan. Di
samping itu ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman seperjuangan
Kak Gufron, Rita Sahara, Lukman Hakim, Nur Syafiqoh, Bayu Ardhi Kresna,
Wenny Tiara, Dina Anggraeni serta teman-teman THP 46 (Alto), THP 44, 45, dan
47 atas segala bantuan dan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.


Bogor, September 2013
Candra Kirana Hartuti Saputro

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2


METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Prosedur Penelitian

3

Pembuatan Nanopartikel Kitosan

5


Pengujian Karakteristik Nanopartikel Kitosan

5

Pengujian Penetrasi secara In Vitro

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Karakteristik Kafein Terjebak dan Tersalut Nanopartikel Kitosan

7

Morfologi

7

Ukuran Partikel

8

Gugus Fungsi

9

Efisiensi Penjerapan

11

Efektivitas Penetrasi Kafein Terjebak dan Tersalut Nanopartikel Kitosan

13

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis pengukuran partikel
2 Nilai efisiensi penjerapan kafein pada nanopartikel kitosan

8
12

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Morfologi nanopartikel kitosan yang tidak terisi, kafein terjebak
nanopartikel kitosan, dan kafein tersalut nanopartikel kitosan
3 Grafik FTIR nanopartikel kitosan dan kafein
4 Grafik FTIR kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut
nanopartikel kitosan
5 Kurva gelombang maksimum kafein 10 ppm dapar fosfat pH 7,4
6 Hubungan antara absorbans dan konsentrasi larutan kafein
7 Jumlah kumulatif kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein
tersalut nanopartikel kitosan
8 Grafik nilai fluks kafein terpenetrasi

4
7
9
10
11
12
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Hasil data pengujian PSA
Data serapan kalibrasi kafein
Data jumlah kumulatif kafein yang terpenetrasi
Data fluks kafein yang terpenetrasi
Contoh perhitungan persentasi efisiensi penjerapan
Contoh perhitungan jumlah kafein yang terpenetrasi
Contoh perhitungan fluks kafein yang terpenetrasi
Contoh perhitungan presentasi kafein yang terpenetrasi
Sertifikat analisis kitosan
Sertifikat analisis asam asetat
Sertifikat analisis sodium tripolifosfat
Sertifikat analisis tween 80
Sertifikat analisis kafein
Sertifikat analisis akuademineralisata

19
22
23
23
24
25
26
26
27
28
29
30
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kitosan merupakan polimer yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin, tidak
beracun, mudah terdegradasi secara biologi, memiliki sifat polikationik pada
suasana asam karena terjadi protonasi gugus amino, dan membentuk gel. Struktur
kitosan terdiri atas unit berulang poli-(2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) yang
terhubung oleh ikatan β-(1,4) (Sugita 1992). Strukturnya mirip dengan selulosa
sehingga memiliki sifat matriks yang sama dalam sistem penghantaran obat
(Sutriyo et al. 2005). Kitosan banyak digunakan sebagai matriks penghantaran
obat karena bersifat polikationik alami, biodegradabel, biokompatibel,
mucoadhesiveness, dan mudah dimodifikasi dalam sifat kimia dan fisiknya
(Lee et al. 2006).
Modifikasi kitosan secara kimia menghasilkan perbaikan stabilitas kitosan
melalui aktivitas gugus fungsi yang ada, perbaikan ukuran pori kitosan
menggunakan senyawa porogen, dan dapat menaikkan kapasitas adsorpsi kitosan
apabila kitosan dipadukan dengan polimer lain. Salah satu modifikasi kimia dapat
dilakukan melalui pembentukan ikatan silang dalam struktur kitosan
menghasilkan gel kitosan (Wang et al. 2004). Modifikasi kitosan secara fisik
mengarah pada bentuk nanopartikel. Menurut Mohanraj dan Chen (2006)
nanopartikel memiliki kisaran ukuran 1-1000 nm. Pembuatan nanopartikel kitosan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang
digunakan. Komposisi material yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel
kitosan adalah kitosan, STPP (Sodium tripolifosfat) dan surfaktan (Tween 80).
Banyak metode pembuatan nanopartikel kitosan yang dikembangkan untuk
menghasilkan nanopartikel dan morfologi yang seragam (Wahyono 2010).
Nanopartikel kitosan berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara
melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi, atau menempelkan obat dalam
matriksnya dan menghantarkan obat secara oral dan topikal (Tiyaboonchai 2003).
Pada penelitian ini dilakukan metode pembuatan nanopartikel kitosan dengan cara
menjebak dan menyalutkan zat aktif untuk menghantarkannya secara topikal.
Salah satu perawatan topikal pada kulit yang meningkat permintaannya karena
menjadi permasalahan estetika kulit wanita dewasa yaitu sediaan antiselulit.
Menurut survei WHO (2012) sekitar 90% wanita dewasa di dunia memiliki
gangguan selulit. Selulit (Gynoid limphodystrophy) merupakan suatu kondisi
berupa parutan-parutan tidak rata pada kulit yang nampak seperti kulit jeruk,
terjadi pada wanita dan biasanya muncul pada bagian tubuh tertentu yaitu paha,
perut, dan bokong (Rona et al. 2006). Selulit terjadi karena adanya kerusakan
pada pembuluh darah dan limfa sehingga menyebabkan perubahan struktur
lapisan lemak dan matriks kolagen yang mengelilinginya (Orkin et al. 1991).
Perawatan kulit berselulit dilakukan dengan cara mengganggu fungsi
sistem barier dari stratum korneum menggunakan nanopartikel kitosan dengan
membawa zat aktif berupa kafein. Kafein memiliki efek pada lipolisis topikal
melalui penghambatan enzim fosfodiesterase dan meningkatkan jumlah
monofosfat siklik (Rossi dan Vergranini 2000). Perawatan selulit yang utama
adalah subkutan sehingga penetrasi zat yang baik akan sangat diperlukan karena
stratum korneum dari kulit merupakan barier terhadap zat-zat kimia yang masuk

2
(Witt dan Bucks 2003). Bahan pembawa berupa nanopartikel kitosan yang
dikombinasikan dengan kafein dalam sediaan antiselulit dapat mempengaruhi
penetrasi kafein pada kulit. Jika fungsi barier dari kulit bisa diganggu oleh bahan
aktif yang diabsorpsi dengan nanopartikel kitosan secara topikal, maka
penghambat sintesis lemak dapat juga dimasukkan dalam formulasi antiselulit
(Murray et al 2003). Pengujian penetrasi bahan aktif dan efektivitas bahan
pembawa ke dalam kulit dapat dilakukan secara In Vitro, secara luas diteliti
dengan menggunakan sel difusi Franz tipe vertikal (Junquera dan Kelley 1997).
Perumusan Masalah
Penelitian nanopartikel kitosan sampai saat ini terus dikembangkan, baik
dalam penentuan komposisi maupun pencarian metode yang sesuai. Peran
nanopartikel kitosan sebagai pembawa (carrier) dengan cara melarutkan,
menjebak, mengenkapsulasi, atau menempelkan zat aktif dalam matriksnya dan
menghantarkan zat aktif secara topikal. Perawatan topikal yang meningkat
permintaannya adalah sediaan antiselulit. Zat aktif yang digunakan sebagai
antiselulit berupa kafein karena memiliki efek pada lipolisis topikal melalui
penghambatan enzim fosfodiesterase dan meningkatkan jumlah monofosfat siklik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik perlakuan kafein
terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut nanopartikel kitosan diantaranya
morfologi, ukuran partikel, gugus fungsi, dan nilai efisiensi penjerapan serta
membuktikan efektivitas nanopartikel kitosan terhadap penetrasi kafein sebagai
antiselulit secara In Vitro dengan menggunakan sel difusi Franz tipe vertikal.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai karakteristik
metode pembuatan kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut
nanopartikel kitosan diantaranya morfologi, ukuran partikel, gugus fungsi, dan
nilai efisiensi penjerapan serta membuktikan efektivitas nanopartikel kitosan
terhadap penetrasi kafein sebagai antiselulit secara In Vitro dengan menggunakan
sel difusi Franz tipe vertikal.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menentukan formulasi dengan metode
pembuatan kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut nanopartikel
kitosan, pengujian morfologi, pengujian ukuran partikel, pengujian gugus fungsi,
pengujian efisiensi penjerapan, serta pengujian efektivitas nanopartikel kitosan
terhadap penetrasi kafein secara In Vitro dengan menggunakan sel difusi Franz
tipe vertikal.

3

METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2013.
Pembuatan formulasi nanokitosan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Pembuatan nanokitosan dengan homogenizer di
Laboratorium Kimia Fisik dan dengan alat ultrasonifikasi di Laboratorium Kimia
Analitik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor. Pengujian morfologi nanopartikel kitosan dengan SEM
dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG) Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Pengujian ukuran partikel
nanopartikel kitosan dengan PSA dan pengujian gugus fungsi dengan FTIR
dilakukan di Laboratorium Biofisik, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengujian penetrasi sel difusi
Franz dilakukan di Laboratorium Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas
Indonesia.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel kitosan antiselulit
adalah kitosan (derajat deasetilasi min 70%) (CV. Bio Chitosan, Indonesia), asam
asetat 1% (Merk, Jerman), tween 80 (Brataco, Indonesia), sodium tripolifosfat
(Aditya Birla, Thailand), kafein anhidrat (Brataco, Indonesia), aquademineralisata
(Brataco, Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Jerman), natrium
hidroksida (Brataco, Indonesia), dan tikus betina strain Sprague Dawley usia 2
sampai 3 bulan dengan berat 150 gram (Institut Pertanian Bogor, Indonesia).
Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel kitosan adalah
ultrasonikasi (As One 110 volt, JBJC Coda Loan), homogenizer (Ultra Turrax T8,
Wika), neraca analitik (Tipe EB-330, Shimadzhu), dan alat-alat gelas
Laboratorium. Alat yang digunakan untuk analisis adalah sel difusi Franz dengan
volume kompartemen reseptor 14,0 mL (Bengkel Gelas ITB, Bandung),
spektrofotometer UV-VIS (Tipe 1600, Shimadzu), Mikroskop Elektron Payaran
(JSM-5310 LV, JEOL Ltd), Particle Size Analyzer (Delsa TM Nano, Cordouan),
Fourier Trasform Infrared (Tipe MB3000, ABB Group), kamera digital (SEL
1855, Sony), dan alat-alat bedah.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini meliputi tahapan pembuatan nanopartikel kitosan, pengujian
karakterisasi nanopartikel kitosan, kalibrasi kafein, efisiensi penjerapan
nanopartikel kitosan terhadap kafein, dan pengujian penetrasi sel difusi Franz
secara In Vitro. Penelitian ini dilakukan dengan kontrol (nanopartikel kitosan) dan
dua perlakuan (kafein tersalut nanopartikel kitosan dan kafein terjebak
nanopartikel kitosan). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

4

2,5 gram kitosan

Dilarutkan dengan Asam Asetat 1% dalam 100 mL

Homogenizer 30 menit
Penambahan STPP 0,84 mg/mL dalam 40 mL

Tween 80
0,1 mg/mL
dalam 20 mL

Kafein 0,8 mg/mL
dalam 40 mL

Tween 80 0,1 mg/mL
dalam 20 mL

Tween 80 0,1 mg/mL
dalam 20 mL

Kafein 0,8 mg/mL
dalam 40 mL

Ultrasonifikasi 1 jam

Nanopartikel
kitosan
kosong

Kafein
Kafein
--------------------------------------------------tersalut
terjebak
k

Uji PSA
dan Uji
Sel Difusi
Franz

Spray drying

Serbuk

…….

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Uji FTIR, Uji SEM
dan Uji Penjerapan
kafein

5
Pembuatan nanopartikel kitosan
Kitosan dibuat dengan konsentrasi 2,5%. Sebanyak 2,5 gram kitosan
dilarutkan menggunakan homogenizer selama 30 menit dalam 100 mL asam
asetat 1% sehingga diperoleh konsentrasi kitosan 2,5% (b/v). Kemudian kelarutan
kitosan ditambahkan 50 mL STPP sebanyak 0,84 mg/mL larut dalam
akuademineralisata Larutan kitosan dengan STPP kemudian dibagi menjadi
kontrol dan dua perlakuan. Kontrol dengan kafein yang tidak terisi kafein,
perlakuan pertama dengan kafein yang terjebak nanopartikel kitosan (Modifikasi
Wahyono 2010, dan perlakuan kedua dengan kafein yang tersalut nanopartikel
kitosan (Modifikasi Hermanius 2012).
Perlakuan kontrol larutan kitosan-STPP dengan ditambahkan 20 mL Tween
80 sebanyak 0,1 mg/mL larut dalam akuademineralisata. Perlakuan pertama
larutan kitosan-STPP dengan ditambahkan 40 mL Kafein sebanyak 0,8 mg/mL
larut dalam akuademineralisata terlebih dahulu, selanjutnya ditambahkan 20 mL
Tween 80 sebanyak 0,1 mg/mL larut dalam akuademineralisata. Perlakuan kedua
larutan kitosan-STPP dengan ditambahkan 20 mL Tween 80 sebanyak 0,1 mg/mL
larut dalam akuademineralisata terlebih dahulu, selanjutnya ditambahkan 40 mL
Kafein sebanyak 0,8 mg/mL larut dalam akuademineralisata. Selanjutnya kedua
perlakuan tersebut di ultrasonikasi dengan frekuensi 20 kHz selama 1 jam.
Larutan nanopartikel kitosan-kafein yang sudah dipecah kemudian dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama dalam bentuk larutan cair dan bagian kedua
dikeringkan dengan pengering semprot (spray drying) pada suhu 173 oC sehingga
diperoleh hasil dalam bentuk serbuk.
Pengujian Karakteristik Nanopartikel Kitosan
Pengujian yang dilakukan untuk nanokitosan pada penelitian ini yaitu
menentukan morfologi nanokitosan dengan pengujian Mikroskop Elektron
Payaran (SEM), analisis pengukuran partikel nanokitosan yang dihasilkan dengan
pengujian Particle Size Analyzer (PSA), analisis gugus fungsi nanokitosan yang
dihasilkan dengan pengujian Fourier Transform Infrared (FTIR), dan pengujian
efisiensi penjerapan kafein pada nanopartikel kitosan.
a. Pengujian Mikroskop Elektron Payaran (SEM) (Desai dan Park 2005)
Serbuk nanokitosan diletakkan pada potongan kuningan (stub) berdiameter
1 cm dengan menggunakan selotip dua sisi. Selanjutnya serbuk tersebut dibuat
menjadi konduktif secara elektrik dengan seberkas sinar dari platina lapis tipis
(coating) selama 30 detik pada tekanan dibawah 2 Pa dan tegangan elektron 10
kV dengan perbesaran 1000x.
b. Pengujian Particle Size Analyzer (PSA) (Triani 2011)
Uji ukuran partikel dilakukan menggunakan mikroskop digital serta
pengujian PSA (Particle Size Analyzer). Sampel larutan diambil dengan pipet
kemudian dilarutkan dengan etanol 3 mL dan diaduk hingga homogen. Larutan
kemudian dimasukkan ke dalam tabung dengan tinggi maksimum 15 mm.
c. Pengujian Fourier Transform Infrared (FTIR) (Kencana 2009)
Sebanyak 2 mg serbuk nanokitosan dicampurkan dengan 100 mg KBr
untuk dibuat pellet dengan penetak vakum. Pelet yang terbentuk dikenai sinar
infra merah pada jangkauan bilangan gelombang 400 – 4000 cm-1. Latar belakang
penyerapan dihilangkan dengan cara pelet KBr dijadikan satu pada setiap
pengukuran.

6

d. Efisiensi Penjerapan Kafein pada Nanopartikel Kitosan (Wahyono 2010)
Sebanyak 25 mg nanopartikel kitosan-kafein serbuk ditimbang dan
dilarutkan ke dalam 50 mL dapar fosfat pH 7.4. Campuran tersebut dikocok
selama 24 jam lalu disaring. Filtrat yang diperoleh dibaca absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-VIS pada ʎ maks. Absorbans yang diperoleh digunakan
untuk menentukan konsentrasi kafein dengan bantuan kurva standar.
Pengujian Penetrasi Secara In Vitro
Menurut Hadyanti (2008) pengujian penetrasi secara In Vitro dilakukan
untuk mengetahui penetrasi bahan aktif dengan membuat kurva kalibrasi bahan
aktif. Ada beberapa tahap yang dapat dilihat dibawah ini.
a. Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,4
Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M sebanyak 50 mL dicampurkan dengan
39,1 mL NaOH 0,2 N kemudian diencerkan dengan air bebas CO2 secukupnya
hingga mendapatkan 200 mL. Nilai pH disesuaikan hingga didapatkan pH 7,4.
b. Pembuatan kurva kalibrasi kafein
Kafein ditimbang sebanyak 100 mg kemudian dilarutkan dengan dapar
fosfat pH 7,4 dalam labu ukur 100 mL. Larutan yang diperoleh mempunyai
konsentrasi 1000 ppm. Larutan induk ini dipipet sebanyak 10 mL kemudian
diencerkan dengan dapar fosfat pH 7,4 hingga 100 mL. Larutan diperoleh
memiliki konsentrasi sebesar 100 ppm. Larutan kafein 100 ppm diencerkan
dengan dapar fosfat pH 7,4 hingga diperoleh konsentrasi 5, 6, 7, 10, 12, 15 ppm.
Pengukuran serapan larutan 10 ppm dilakukan dari panjang gelombang 200 nm
sampai 400 nm kemudian panjang gelombang maksimumnya ditentukan dari
spektrum serapan yang didapat. Dari masing-masing larutan ini, serapannya
diukur pada panjang gelombang maksimum menggunakan spektrofotometer UVVIS dan dibuat kurva kalibrasinya.
c. Uji penetrasi kafein
Tikus betina strain Sprague Dawley usia 2-3 bulan dengan berat 150 gram
dibius menggunakan eter hingga mati. Selanjutnya kakinya diikat di atas papan
atas. Bulu tikus dicukur dengan hati-hati menggunakan pisau cukur. Setelah itu,
tikus disayat pada bagian perut. Bagian subkutan dan lemak-lemak yang
menempel dihilangkan terlebih dahulu secara hati-hati menggunakan tangan. Kulit
disimpan dalam dapar fosfat pH 7,4 pada suhu 4 oC. Sebelum digunakan kulit
didiamkan hingga mencapai suhu kamar selama 1 jam.
Pengujian sel difusi Franz diawali dengan kulit tikus diletakkan di antara
kedua kompartemen, dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga letak kulit
abdomen tikus. Kompartemen reseptor diisi dengan cairan nanopatikel kitosan.
Suhu pada sel dijaga dengan sirkulasi air menggunakan water jacket disekeliling
kompartemen reseptor. Pada interval waktu 10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300,
360, dan 480 menit diambil 0,5 mL cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah
bahan aktif yang terpenetrasi melalui kulit dapat dianalisis dengan metode analisis
yang sesuai (Franz 2005). Setiap diambil sampel cairan dari kompartemen
reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama sejumlah volume yang
terambil. Selanjutnya sampel diencerkan dengan dapar fosfat pH 7,4 dalam labu
ukur 5 mL kemudian diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang maksimum untuk mengetahui kadarnya.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Nanopartikel Kitosan
Karakteristik kafein terjebak dan tersalut nanopartikel kitosan yang
dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis morfologi, analisis pengukuran
partikel, analisis gugus fungsi, dan efisiensi penjerapan kafein pada nanopartikel
kitosan.
Morfologi
Nanopartikel kitosan yang tidak terisi (kontrol) dan terisi kafein (terjebak
dan tersalut) dapat dibedakan secara visual dengan menggunakan Scanning
electron microscopy (SEM). Analisis SEM ini berfungsi untuk mengidentifikasi
morfologi permukaan dan bentuk nanopartikel kitosan yang ditampilkan melalui
sebuah gambar. Berdasarkan pencirian dengan SEM pada perbesaran 1000x
memperlihatkan bahwa nanopartikel kitosan yang tidak terisi dan perlakuan kafein
terjebak nanopartikel kitosan maupun kafein tersalut nanopartikel kitosan yang
dihasilkan memiliki permukaan dan bentuk yang berbeda dapat dilihat pada
Gambar 2.

(a)
(b)
(c)
Gambar 2 (a) Nanopartikel kitosan yang tidak terisi
(b) Kafein terjebak nanopartikel kitosan
(c) Kafein tersalut nanopartikel kitosan.
Hasil morfologi nanopartikel kitosan tidak terisi memiliki permukaan yang
kasar dan cekung tetapi sangat menggumpal dapat dilihat pada Gambar 2a
sedangkan hasil morfologi kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki permukaan yang halus dan sedikit cembung terjadi
penggumpalan dapat dilihat pada Gambar 2b-c. Nanopartikel kitosan yang sudah
terisi akan berbentuk seperti bola yang halus dan cembung, sedangkan kitosan
tidak terisi memiliki permukaan yang cekung dan kasar (Desai dan Park 2005)
Penggumpalan ini terjadi karena penambahan surfaktan yang terlalu
sedikit (Benerjee et al. 2009). Selain itu, jarak antara pencampuran dengan
homogenizer dan ultrasonikasi dengan pengeringan semprot terlalu lama sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya penggumpalan. Penggumpalan akan banyak
terjadi pada kitosan yang diberikan STPP lebih banyak. Penggumpalan dapat

8
dikurangi dengan mempersingkat waktu pada saat pembuatan nanopartikel kitosan
dengan pengeringan semprot (Yongmei dan Yunn 2003).
Berdasarkan Gambar 2 memperlihatkan perbedaan posisi kafein dari setiap
perlakuan. Perbedaan yang diperlihatkan pada perlakuan kafein tersalut
nanopartikel memiliki lebih banyak bentuk jarum dibandingkan dengan perlakuan
kafein terjebak nanopartikel kitosan. Menurut Ansel et.al (1999) kafein berupa
serbuk putih, berbentuk jarum mengkilat putih, dan biasanya menggumpal. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 2b pada perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan
kafein berada di dalam rongga kitosan sehingga kurang terlihat sedangkan
Gambar 2c memperlihatkan kafein terlihat di permukaan rongga matriks
nanopartikel pada perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan.
Ukuran partikel
Keberhasilan suatu sampel menjadi nanopartikel diketahui dengan melihat
distribusi ukuran, ukuran rata-rata, dan indeks polidispersitas sampel tersebut
dengan menggunakan pengujian PSA (Particles Size Analyzer). Hasil pengujian
nanopartikel kitosan dengan perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan dan
perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan dengan menggunakan pengujian
PSA (Particles Size Analyzer) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis pengukuran partikel
Perlakuan
Kafein terjebak
nanopartikel
kitosan
Kafein tersalut
nanopartikel
kitosan

Distribusi ukuran
(nm)
134,93 – 489,91

Ukuran rata-rata
(nm)
232,74

Indeks
polidispersitas
0,22

141,29 – 446,80

226,62

0,18

Berdasarkan hasil pengujian ukuran partikel dengan menggunakan
pengujian PSA (Particles Size Analyzer) pada perlakuan kafein terjebak
nanopartikel kitosan didapatkan distribusi ukuran 134,93 – 489,91 nm lebih kecil
dibandingkan dengan distribusi ukuran perlakuan kafein tersalut nanopartikel
kitosan 141,29 – 446,80 nm. Sedangkan ukuran rata-rata perlakuan kafein terjebak
nanopartikel kitosan 232,74 nm lebih besar dibandingkan dengan perlakuan kafein
tersalut nanopartikel kitosan 226,62 nm. Hasil kedua perlakuan yang didapatkan
sesuai dengan kategori nanopartikel. Menurut Mohanraj dan Chen (2006)
nanopartikel didefinisikan sebagai partikel yang berbentuk padat dengan ukuran
sekitar 10-1000 nm. Hal yang paling berpengaruh dalam teknologi pembuatan
nanopartikel adalah formulasi dan metode yang digunakannya.
Hasil distribusi ukuran dan ukuran rata-rata kedua perlakuan berbeda
karena dipengaruhi dengan nilai indeks polidispersi. Nilai indeks polidispersitas
perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan 0,22 lebih besar dibandingkan
dengan perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan 0,18. Nilai indeks
polidispersitas menentukan kehomogenisasi suatu partikel. Semakin kecil nilai
indeks polidispersitas maka semakin homogen. Hasil dari semua perlakuan sudah
menunjukkan dispersi yang homogen dimana nilai indeks polidispersitas sudah
menunjukkan hasil di bawah 0,5. Indeks polidispersitas memiliki range nilai dari

9
0 sampai 1. Dimana nilai yang mendekati 0 mengindikasikan dispersi yang
homogen, sedangkan nilai yang lebih besar dari 0,5 mengindikasikan heterogen
yang tinggi (Avadi et al. 2009)
Gugus fungsi
Analisis FTIR (Fourier Transform InfraRed) dapat digunakan untuk
mendeteksi perubahan gugus fungsi pada suatu senyawa organik maupun senyawa
polimer pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1. Penentuan bilangan gelombang
tersebut dikarenakan sesuai dengan penentuan gugus fungsi senyawa organik.
Hasil yang diperoleh dari FTIR berupa grafik transmitan. Berikut ini grafik data
hasil analisis FTIR dari nanopartikel kitosan dan kafein yang dapat dilihat pada
Gambar 3.
(-CH3CO-), (-CH3), dan (-CO-)
-NH2

-OH

(a)
-CN

-CH2

-NH

(b)
Gambar 3 Grafik FTIR (a) nanopartikel kitosan dan (b) kafein
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat spektrum FTIR nanopartikel kitosan
memiliki puncak-puncak spesifik, yaitu gugus amina (-NH2) berada pada bilangan
gelombang 1643 cm-1 dan gugus hidroksil (-OH) berada pada bilangan gelombang
3410 cm-1. Serapan bilangan gelombang gugus amina (-NH2) dan gugus hidroksil
(-OH) pada kitosan komersil berada pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan
3441cm-1 (Pebriani et al. 2012). Spektrum FTIR nanopartikel kitosan mengalami
pergeseran intensitas transmitans pada daerah spektrum. Perubahan transmitans

10
ini menunjukkan adanya interaksi antara kitosan, STPP, dan Tween 80 yang
digunakan dalam pembuatan nanopartikel kitosan.
Terdapat bilangan gelombang lain pada grafik FTIR nanopartikel kitosan
dengan bilangan gelombang 1412 cm-1, 1257 cm-1, dan 1149 cm-1 yang
menunjukkan daerah spektrum gugus asetil (-CH3CO-), metil (-CH3), dan carbonil
(-CO-). Kitosan yang memiliki gugus asetil metil menunjukkan bahwa proses
deasetilasi yang dilakukan kurang optimum, kemurniannya masih rendah, masih
mengandung banyak pengotor dan adanya air yang mungkin terserap sehingga
mempengaruhi ikatan antar molekul yang menyebabkan perbedaan daerah serapan
(Pebriani et al. 2012).
Bedasarkan spektrum FTIR kafein memiliki puncak-puncak spesifik, yaitu
daerah spektrum gugus alkil (-CH2) berada pada bilangan gelombang 741 cm-1,
gugus amida III (-CN) berada pada bilangan gelombang 1481 cm-1, dan gugus
amina I (-NH) berada pada bilangan gelombang 1659 cm-1. Menurut Silverstein et
al. (2005) rentangan gugus alkil (-CH2) berada pada bilangan gelombang lebih
dari 722 cm-1, gugus amida III (-CN) berada pada bilangan gelombang lebih dari
1400 cm-1, dan gugus amina (-NH2) berada pada bilangan gelombang 1630 cm-1
sampai 1670 cm-1. Di bawah ini grafik data hasil analisis FTIR dari kafein
terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut nanopartikel kitosan yang dapat
dilihat pada Gambar 4.

-CN

-CH2

-OH
-NH2

(a)
-CN

-CH2

-OH

-NH2

(b)
Gambar 4 Grafik FTIR (a) kafein terjebak nanopartikel kitosan, dan (b) kafein
tersalut nanopartikel kitosan

11
Grafik hasil FTIR pada Gambar 4 menunjukkan bahwa kafein terjebak
nanopartikel kitosan dan kafein tersalut nanopartikel kitosan memiliki gabungan
gugus nanopartikel kitosan dengan kafein. Daerah spektrum yang terdapat pada
perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan adanya gugus alkil (-CH2) bilangan
gelombang 748 cm-1, gugus amida III (-CN) bilangan gelombang 1489 cm-1,
gugus amina (-NH2) bilangan gelombang 1659 cm-1, dan gugus hidroksil (-OH)
bilangan gelombang 3394 cm-1. Daerah spektrum perlakuan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki gugus yang sama dengan perlakuan kafein terjebak
nanopartikel kitosan tetapi adanya pergeseran bilangan gelombang yaitu pada
gugus hidroksil (-OH) bilangan gelombang 3379 cm-1 dan gugus amida III (-CN)
bilangan gelombang 1481 cm-1.
Efisiensi Penjerapan
Efisiensi penjerapan kafein dilakukan dengan mengukur jumlah kafein
terjebak dan tersalut ke dalam nanopartikel kitosan. Banyaknya kafein terjebak
dan tersalut dapat dilihat dari nilai absorbans yang terukur dengan
spektrotofotometer UV-VIS pada panjang gelombang maksimum dengan bantuan
kurva standar. Oleh karena itu, tahap pertama sebelum menentukan nilai efisiensi
penjerapan kafein adalah menentukan panjang gelombang maksimum dan
membuat kurva standar. Panjang gelombang maksimum larutan kafein dapat
dilihat pada Gambar 5 .
ʎ maksimum
273,2 nm

Gambar 5 Kurva gelombang maksimum kafein 10 dalam ppm dapar fosfat pH 7,4
Penentuan panjang gelombang maksimum larutan kafein dilakukan pada
konsentrasi kafein 10 ppm dalam dapar fosfat pH 7,4. Nilai pH 7,4 dipilih karena
mendekati kondisi pH kulit manusia. Berdasarkan nilai absorbans larutan kafein
didapatkan panjang gelombang dengan serapan maksimum untuk senyawa kafein
adalah 273,2 nm. Kurva standar untuk larutan kafein pada Gambar 6 memiliki
linearitas yang tinggi ditunjukkan dengan r2 = 0,9999% dalam persamaan garis
yaitu y = 0,0578x – 0,0337. Persamaan kurva standar ini digunakan untuk
menentukan jumlah kafein yang terjebak dan tersalut di dalam nanopartikel
kitosan.

12
1
y = 0.0578x - 0.0337
R² = 0.9999

Absorbans

0.8
0.6
0.4
0.2
0
0

5

10

15

20

Konsentrasi (ppm)

Gambar 6 Hubungan antara absorbans dan konsentrasi larutan kafein
Efisiensi penjerapan menggambarkan banyaknya kafein yang terjebak dan
tersalut di dalam nanopartikel kitosan. Dilakukan dengan mengekstraksi
nanopartikel kitosan terisi kafein dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 24 jam,
kemudian mengukur absorbansnya dengan spektrofotometer UV-VIS pada
panjang gelombang 273,2 nm. Mengetahui nilai efisiensi ini sangatlah penting
dalam bidang farmasi terutama untuk sistem penetrasi obat ke dalam kulit karena
dengan adanya nilai efisiensi maka dapat dilihat kemampuan nanopartikel kitosan
dalam membawa kafein ke dalam kulit.
Penelitian ini menghasilkan nilai efisiensi yang berbeda pada setiap
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Perbedaan nilai efisiensi nanopartikel
kitosan diduga diakibatkan oleh perlakuan metode pembuatan yang tidak sama
sehingga kafein yang terjebak dan tersalut ke dalam masing-masing partikel tidak
sama. Nilai efisiensi penjerapan kafein yang paling tinggi dimiliki perlakuan
kafein tersalut nanopartikel kitosan, yaitu 64,63% sedangkan perlakuan kafein
terjebak nanopartikel kitosan 51,35%.
Tabel 2 Nilai efisiensi penjerapan kafein pada nanopartikel kitosan
Perlakuan

Nilai (y)

Nilai (x)

Terjebak
Tersalut

0,16
0,28

3,3
5,4

Bobot a
(mg)
40570
41430

Bobot b
(mg)
3410
3420

Efisiensi
(%)
51,35
64,63

Faktor efisiensi penjerapan bukan salah satu aspek yang ditinjau untuk
menentukan kelayakan nanopartikel kitosan sebagai sistem penetrasi obat ke
dalam kulit (Silva 2006). Semakin tinggi nilai efisiensi diharapkan akan semakin
baik formulasinya karena jumlah kafein yang terjerap di dalam nanopartikel
kitosan semakin banyak. Tingginya nilai efisiensi perlakuan kafein tersalut
nanopartikel kitosan kemungkinan disebabkan oleh ikut terekstraksinya seluruh
kafein yang tersalut dalam nanopartikel kitosan baik yang berada di permukaan
maupun di dalam rongga matriks nanopartikel maka kafein akan lebih mudah
terekstrak keluar, sedangkan perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan
berada di dalam rongga kitosan akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk
terekstrak keluar (Wahyono 2010).

13
Efektifitas Penetrasi Kafein Terjebak dan Tersalut Nanopartikel Kitosan
Uji penetrasi secara In Vitro dilakukan dengan menggunakan sel difusi
Franz. Pengujian penetrasi dilakukan untuk mengetahui jumlah kafein yang dapat
berpenetrasi ke dalam membran selama interval waktu tertentu dari nanopartikel
kitosan. Membran yang digunakan adalah kulit bagian abdomen tikus betina strain
Sprague Dawley usia 2-3 bulan dengan berat 150 gram. Membran kulit tikus
digunakan karena memiliki permeabilitas yang hampir sama dengan permeabilitas
kulit manusia (Rawling 2006).
Uji penetrasi sel difusi franz dilakukan selama 8 jam dengan interval waktu
10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, dan 480 menit. Setiap interval waktu
sampel diambil 0,5 mL cairan dari kompartemen reseptor selanjutnya diencerkan
hingga 5 mL dengan dapar fosfat pH 7,4 (Franz 2005). Setiap diambil sampel
cairan dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang
sama sejumlah volume yang terambil untuk menjaga volume cairan reseptor tetap
kostan. Pengenceran sampel 5 mL diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada
panjang gelombang 273,2 nm untuk mengetahui absorbansinya. Hasil pengujian
penetrasi melalui membran kulit tikus dapat dilihat pada Gambar 7.

Jumlah kumulatif
(µg/cm2)

1200

y = 163.27x + 81.124
R² = 0.9872

1089.65
1038.21
980.92
911.86
721.34
574.92
407.63
330.57
272.81
187.08
58.91

1000
800
600
400
200
0
0

2

4

6

8

10

Waktu (jam)

(a)

Jumlah kulmulatif
(µg/cm2)

2500

y = 413.78x + 131.01
R² = 0.9882

2170.03
2085.27
1943.39 2005.54
1726.75
1410.30

2000
1500
1000

986.29
766.91
579.85
394.51
83.96

500
0
0

2

4
6
Waktu (jam)

8

10

(b)
Gambar 7 Jumlah kumulatif (a) kafein terjebak nanopartikel kitosan dan
(b) kafein tersalut nanopartikel kitosan

14
Hasil pengujian penetrasi melalui membran kulit tikus pada Gambar 7
menunjukkan interval waktu jam ke 8 perlakuan kafein terjebak nanopartikel
kitosan 1,089,65 ± 10,7 µg/cm2 sedangkan perlakuan kafein tersalut nanopartikel
kitosan 2,170,03 ± 6,85 µg/cm2. Dari hasil tersebut perlakuan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki kecepatan penetrasi yang lebih cepat dibandingkan
kafein terjebak nanopartikel kitosan. Hal ini dipengaruhi oleh karakterisasi
nanopartikel dan efisiensi penjerapan. Berdasarkan hasil penelitian karakterisasi
nanopartikel memiliki perbedaan setiap perlakuan. Perlakuan kafein tersalut
nanopartikel memiliki rata-rata ukuran partikel 226,62 nm lebih kecil
dibandingkan dengan perlakuan kafein terjebak nanopartikel 232,74 nm. Ukuran
partikel mempengaruhi dalam penghantaran obat, pelepasan obat, dan stabilitas
nanopartikel (Mohanraj dan Chen 2006). Nanopartikel dapat meningkatkan
penetrasi obat melalui kulit karena ukurannya yang kecil sehingga luas permukaan
semakin besar dan semakin kecil ukuran nanopartikel akan membawa zat aktif
lebih banyak menembus kulit (Inayat dan Mallikarjuna 2009).
Faktor efisiensi penjerapan mempengaruhi penetrasi obat ke dalam kulit.
Berdasarkan hasil penelitian efisiensi penjerapan pada perlakuan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki 64,63% lebih banyak dibandingkan dengan
perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan memiliki 51,35%. Semakin tinggi
nilai efisiensi penjerapan maka zat aktif yang berada di dalam rongga nanopartikel
kitosan banyak yang terlepas (Wahyono 2010). Sehingga metode pembuatan
nanopartikel kitosan dengan menyalutkan obat ke dalam lebih mudah terlepas
dalam sistem penghantaran obat. Sedangkan metode pembuatan nanopartikel
kitosan dengan menjebak obat ke dalam larutan kitosan-STTP dengan
penambahan Tween 80 dapat menurunkan nilai efisiensi penjerapan. Penjebakan
obat dengan penambahan Tween 80 membentuk emulsi partikel dalam larutan
akan terstabilkan sehingga obat akan sulit dilepaskan dari dalam rongga
nanopartikel kitosan (Silva 2006). Kemudian nilai fluks diperoleh pada keadaan
steady state dengan mengikuti kaidah hukum Fick. Nilai fluks setiap perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 8.

Fluks µg/cm-2 jam-1

500
400
300
200
100
0
0

2

4

6

8

10

Waktu (jam)

Gambar 8 Grafik nilai fluks kafein terpenetrasi (a) kafein terjebak nanopartikel
kitosan dan (b) kafein tersalut nanopartikel kitosan

15
Bedasarkan hasil nilai fluks kafein terpenetrasi per jam pada Gambar 8
menunjukkan perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan dan perlakuan kafein
tersalut nanopartikel kitosan terlihat kurva naik di menit ke-30 kemudian kurva
terus menurun pada menit berikutnya. Menurut Ozguney et al. (2006) naiknya
kurva gradient dipengaruhi oleh konsentrasi yang besar pada kompartemen donor
dan reseptor sedangkan menurunnya kurva disebabkan karena konsentrasi zat
aktif di kompartemen donor mulai berkurang.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pembuatan nanopartikel kitosan kafein menggunakan dua perlakuan yang
berbeda yaitu kafein terjebak dan tersalut nanopartikel kitosan. Karakteristik
nanopartikel kitosan kafein yang dihasilkan pada penelitian ini berdasarkan
morfologi pada perlakuan kafein terjebak nanopartikel kitosan dan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki permukaan yang halus dan sedikit cembung tetapi
sedikit menggumpal, ukuran rata-rata berturut-turut 232,74 nm dan 226,62 nm.
Analisis gugus fungsi menunjukkan pergeseran bilangan gelombang yaitu pada
bilangan gelombang gugus amida III (-CN) dan bilangan gelombang gugus
hidroksil (-OH), serta nilai efisiensi penjerapan kafein yang paling tinggi dimiliki
perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan 64,63% sedangkan perlakuan kafein
terjebak nanopartikel kitosan 51,35%. Hasil karakteristik nanopartikel kitosan
kafein menunjukkan nilai efektifitas penetrasi pada perlakuan kafein tersalut
nanopartikel kitosan memiliki kecepatan penetrasi yang lebih cepat sebesar
2,170,03 ± 6,85 µg/cm2 dibandingkan perlakuan kafein terjebak nanopartikel
kitosan sebesar 1,089,65 ± 10,7 µg/cm2.
Saran
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk melakukan optimasi
pembuatan nanopartikel kitosan dengan menggunakan zat aktif yang berbeda.
Selain itu, perlu juga dilakukan uji penetrasi nanopartikel kitosan secara In Vitro
dengan alat sel difusi Franz menggunakan membran kulit hewan berbeda maupun
membran kulit manusia.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ansel H, Allen LV, Popovich NG. 1999. Pharmaceutical dosage forms and drug
systems 7thedition. Maryland: Lippincot Williams and Willkins.
Avadi MR, Sadeghi AM, Mohammadpour M. 2009. Preparation and
characterization of insulin nanoparticles using chitosan and arabic gum with
ionic gelation metod. Journal Nanomeicine: 6. 58-63.
Benerjee T, Mitra S, Singh AK, Sharma RK, Maitra A. 2002. Preparation,
characterization, biodistribution of ultrafine chitosan nanoparticles.
International Journal of Pharmaceutics. 243. 93-105.
Desai KGH, Park HJ. 2005. Preparation and characterization of drug-loaded
chitosan-tripolyphosphate microspheres by spray drying. Drug Development
Res. 64: 114-128.
Franz H. 2005. Phosphatdylcholine treatment to induce lipolysis. Journal of
Cosmetic Dermatology. 4: 308-313.
Hadyanti. 2008. Pengaruh Tretinoin Terhadap Penetrasi Kafein dan Aminofilin
Sebagai Antiselulit dalam Sediaan Krim, Gel, dan Salep Secara In Vitro
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Hermanius D. 2012. Sintesis dan karakterisasi nanopartikel ekstrak kulit mahoni
(Switenia macrophylla King.) sebagai bahan suplemen antihiperkolesterolemia
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Inayat BP, Mallikarjuna S. 2009. Chemical penetration enhancer for transdermal
drug delivery systems. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 8 : 173179.
Junquera LC, Kelley OR. 1997. Basic Histology. Melville: EGC.
Kencana AL. 2009. Perlakuan sonikasi terhadap kitosan: viskositas dan bobot
molekul kitosan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lee DW, Shirley SA, Lockey RF, Mohapatra SS. 2006. Thiolated chitosan
nanoparticles enhace anti-inflammatory effects of intranasally delivered
theophylline. Journal Biology Medical Central. 7: 1-10.
Mohanraj UJ, Chen Y. 2006. Nanoparticles – A Review. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research 5 (1) : 561-573.
Murray RK, Ganner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Biochemistry.
Melville: EGC.
Orkin M, Maibach HI, Dahl MV.1991. Dermatolgy. Philadelphia: Appleton and
Large.
Ozguney IS, Karasulu HY, Katarci G, Sozer S, Guneri T, Ertan G. 2006.
Transdermal delivery of diclofenac sodium though rat skin from various
formulations. Journal Pharmacy Science Technology. 7(4): 88-103 .
Pebriani RH, Rilda Y, Zulhajri. 2012. Modifikasi Komposisi Kitosan Pada Proses
Sintesis Komposit TiO2 – Kitosan. Jurnal Kimia Universitas Padjajaran. 1: 1234.
Rawling AV. 2006. Cellulite and its treatment. Journal Cosmetic Science. 28:
175-190.
Rona C, Carrera M, Berardesca E. 2006. Testing anticellulite products.
International Journal of Cosmetic Science. 28:169-173.
Rossi ABR, Vergnanini AL. 2000. Cellulite. Journal of Pharmaceutical Research.
14: 21-262.

18
Silva CM. 2006. Microencapsulation of hemoglobin in chitosan-coasted alginate
microspheres prepared by emulsification internal gelation. Pharmaceutical
Sciences Journal. 7 (4): 78-89.
Silverstein RM, Webster FX, Kiemle DJ. 2005. Spectrometric identification of
organic compounds. English: Willey Amazon.
Sugita. 1992. Isolasi kitin dan komposisi senyawa kimia limbah udang windu
(Penaeus monodon) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutriyo, Joshita D, Indah R. 2005. Perbandingan pelepasan propanol hidroklorida
dari matriks kitosan, etil selulosa, dan hidroksipropil metal selulosa. Majalah
Ilmu Kefarmasian. 2: 145-153.
Tiyaboonchai W. 2003. Chitosan nanoparticles: a promosing system for drug
delivery. Naresuan University Journal. 11 (3): 51-66.
Triani SUD. 2011. Pengaruh waktu sonikasi dan amplitude gelombang ultrasonic
terhadap stabilitas suspensi dan mutu sari kacang hijau. [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Wahyono D. 2010. Ciri nanopartikel kitosan dan pengaruhnya pada ukuran
partikel dan efisiensi penyaluran ketoprofen [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Wang X, Du Y, Liu H. 2004. Preparation, characterization, and antimicrobial
activity of chitosan-Zn Complex. Journal of Medical Sciences. 56: 21-26.
[WHO] World Health Organization. 2012. Cellulite [internet]. [diunduh 2012
April 8]. Tersedia pada http://www.who.int /mediacentre/ factsheets/ fs117/en/
index.html.
Witt K, Bucks D. 2003. Studying in Vitro Skin Penetration and Drug Release to
Optimize Dermatological
Formulations.
New
York:
Advanstar
Comunication Inc.
Yongmei X, Yumm D. 2003. Effect of moleculer structure of chitosan on protein
delivery properties of chitosan nanoparticles. International Journal of
Pharmaceutics. 250: 215-226.

19
Lampiran 1 Data Hasil pengujian Particles Size Analyzer (PSA)
Data hasil Particles Size Analyzer nanopartikel kitosan

20
Data hasil Particles Size Analyzer kafein terjebak nanopartikel kitosan

21
Data hasil Particles Size Analyzer kafein tersalut nanopartikel kitosan

22
Lampiran 2 Data kurva kalibrasi kafein anhidrat dalam dapar fosfat pH 7,4 pada
ʎ 273,2 nm
Konsentrasi (ppm)
5
6
7.02
10
11.5
15.06

Serapan
0.256
0.312
0.37
0.546
0.635
0.834

Persamaan garis
r = 0.9999
b = 0.0578
a = 0.0337

Lampiran 3 Data jumlah kumulatif kafein yang terpenetrasi
Menit ke10
30
60
90
120
180
240
300
360
420
480

Jumlah Kumulatif (µg cm-2)
Terjebak
Tersalut
58,91 ± 1,31
83,96 ± 1,32
187,91 ± 7,62
394,51 ± 7,65
271,81 ± 7,52
579,85 ± 7,47
330,57 ± 7,87
766,91 ± 22,65
407,63 ± 8,15
986,29 ± 8,25
574,92 ± 0,81
1410,30 ± 6,74
721,34 ± 8,08
1726,75 ± 37,29
911,86 ± 6,92
1943,39 ± 6,74
980,92 ± 4,30
2005,54 ± 7,35
1038,21 ± 8,49
2085,27 ± 0,92
1089,65 ± 10,79
2170,03 ± 6,85

Lampiran 4 Data fluks kafein yang terpenetrasi
Menit ke10
30
60
90
120
180
240
300
360
420
480

Fluks kafein terpenetrasi (µg cm-2 jam-1)
Terjebak
192,20 ± 4,05
203,65 ± 8,23
148,45 ± 4,08
119,92 ± 2,86
110,91 ± 2,21
104,28 ± 0,15
98,13 ± 1,09
99,24 ± 0,75
88,96 ± 0,38
80,70 ± 0,66
74,12 ± 0,73

Tersalut
274,14 ± 4,30
429,38 ± 8,32
315,54 ± 4,07
278,23 ± 8,21
268,36 ± 2,24
255,82 ± 1,21
234,91 ± 5,06
211,51 ± 0,73
181,89 ± 0,66
162,10 ± 0,07
147,60 ± 0,46

23
Lampiran 5 Contoh perhitungan persentasi efisiensi penjerapan perlakuan kafein
tersalut nanopartikel kitosan
Serapan (y) = 0,28
y = 0,0578 x – 0,0337
x = 5,4
Rumus : %E = x mg/L + 1L/1000mL x vol ekstraksi x a mg/b mg
Massa kafein awal
Keterangan :
a = berat nanopartikel kitosan cair = 41,43 gram
b = berat nanopartikel kitosan serbuk = 3, 42 gram
vol ekstraksi = 50 mL
massa kafein awal = 0,8 mg
Jawaban:
% E = 5,4 mg/L + 1L/1000mL x 50 mL x 41430 mg/3420 mg
0,8 mg
= 64,63%
Jadi, persentasi efisiensi penjerapan perlakuan kafein tersalut nanopartikel
kitosan adalah 64,63%

24
Lampiran 6 Contoh perhitungan jumlah kafein yang terpenetrasi pada menit ke 10
pada perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan
Serapan (y) = 0,031
y = 0,0578 x – 0,0337
x = 1,119
Faktor pengenceran (FP)

= Volume labu terukur : volume sampling
= 5 mL : 0,5 mL = 10 x
Konsentrasi terpenetrasi
= x . FP
= 11,19 µg/mL
Rumus jumlah kumulatif yang terpenetrasi :

Keterangan :

Q = {CnV + ∑

S}/A

Q

= jumlah kumulatif kafein yang terpenetrasi (µg/cm2)

V

= volume sel = 14,0 mL

S

= volume pengambilan sampling = 0,5 mL

A

= luas permukaan membran = 1,8376 cm2

Cn

= jumlah yang terpetrasi pada pengambilan ke – n (µg/mL)

∑Ci

= jumlah yang terpenetrasi pada interval pengambilan sampel 1
hingga n-1

Jawaban :
Q = {(11,19 µg/mL x 14 mL) + (0 x 0,5 mL)}/ 1,8376 = 85,28 µg/cm2

Jadi, jumlah kafein yang terpenetrasi pada menit ke 10 pada perlakuan
kafein tersalut nanopartikel kitosan adalah 85,28 µg/cm2

25
Lampiran 7 Contoh perhitungan fluks kafein yang terpenetrasi pada menit ke 10
pada perlakuan kafein tersalut nanopartikel kitosan
Kecepatan penetrasi kafein ( Fluks; J, µg.cm2.jam-1 ) dihitung dengan
rumus :

J = M/ s.t

Keterangan :
J

= fluks (µg.cm2.jam-1)

M

= jumlah kumulatif kafein yang terpenetrasi (µg/cm2)

s

= luas permukaan membran = 1,8376 cm2

t

= waktu (jam)

Jawaban:
J = (85,28 µg/cm2) / {1,8376 cm2 x (10/60)}
= 278,45 µg.cm2.jam-1
Jadi, jumlah fluks kafein yang terpenetrasi pada menit ke 10 pada perlakuan
kafein tersalut nanopartikel kitosan adalah 278,45 µg