4
bagi terjadinya suatu akibat untuk menentukan hubungan kausalitasnya. Jonkers membedakan antara hal-hal yang merupakan syarat disebut juga dengan alasan dan sebab
yang sesungguhnya.
11
Moeljatno mengemukakan, dengan tidak adanya pembedaan antara syarat dan musabab maka teori Von Buri hanya benar secara teoritis. Teori conditio sine qua non
tidaklah sesuai dengan praktek, karena dalam pergaulan masyarakat justru diadakan pembedaan antara syarat dan musabab. Dapat dikatakan, bahwa apa yang dipandang
sebagai musabab oleh teori conditio sine qua non itu untuk praktek terlampau luas.
12
Kelemahan teori Von Buri
13
yang pada dasarnya tidak membatasi sebab yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang, telah mendorong munculnya berbagai teori baru. Teori-
teori ini berusaha untuk memberikan batas dalam mencari dan menentukan sebab dari suatu akibat, yang didasarkan kepada satu atau beberapa peristiwa saja.
2.2. Traeger
Traeger salah satu ahli yang telah memberikan kontribusi dalam pengembangan teori dan memberikan perbedaan secara konseptual kausalitas dari berbagai disiplin ilmu.
Dia mengklasifikasikan kausalitas ke dalam lapangan epistemologi, dalam lapangan ilmu alam dan dalam lapangan ilmu hukum.
14
Traeger termasuk salah satu tidak menyetujui teori Von Buri. Traeger sebagaimana dikutip E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, mengadakan pembedaan diantara serangkaian
perbuatan, di antara serangkaian perbuatan itu harus dicari yang manakah yang paling dekat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Ia tidak menganggap semua
perbuatan yang mendahului itu sebagai syarat dari timbulnya akibat. Ia membedakan syarat dan alasan voorwaarde en aanleiding. Traeger hanya mencari satu perbuatan saja, yang
harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang terjadi.
15
Teori dari Traeger belum memberikan pegangan yang kuat untuk menentukan sebab dari akibat yang terjadi, oleh
karena itu beberapa ahli penganut teori Traeger mencoba memberikan pedoman yang lebih jelas,
16
dengan mengemukakan dua teori, yaitu individualiserende theorie dan generaliserende theorie.
Dua pandangan ini ingin mencari batasan antara syarat dan musabab sehingga ditemukan hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibatnya. Pandangan yang
mengindividualisir merupakan pandangna khusus, tidak meninjau secara abstrak dan umum, tetapi konkrit mengenai perkara tertentu. Tiap-tiap kejadian ditinjua sendiri-sendiri untuk
menentukan mana yang menjadi sebab dari akibat yang muncul. Sedangkan pandangan yang menggeneralisiri mengadakan pembatasan secara umum atau secara abstrak, jadi
11
J.E. Jo kers, Buku Pedo a Huku Pida a Hi dia Bela da”, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 114.
12
Moeljatno, op.cit., hlm. 63.
13
Von Buri sendiri pernah mengakui bahwa teori kausalitasnya tidak dapat dipakai dalam hukum pidana. Lihat E. Utrecht,
‘a gkaia “ari Kuliha Huku Pida a I”. Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994, hlm. 383.
14
Trager, dalam Paul K. ‘yu : Causatio i Cri i al La , Jour al U i ersity of Pe syl a ia La
Review, Vol 106, April 1958, No. 6, hlm. 776
15
E.Y. Ka ter da “.‘. “ia turi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982, hlm. 127.
16
Teguh Prasetyo, Huku Pida a”, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 169-170.
5
tidak terikat pada perkara tertentu saja yang pada umumnya dapat mungkin menimbulkan akibat yang dilarang.
17
2.3. Teori yang mengindividualisir