Studi pengaruh komposisi dan frekuensi pemberian ransum terhadap kualitas kambing guling

I. PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang

Berkat perbaikan ekonomi sebagai hasil pembangunan, pendapatan
masyarakat semakin meningkat dan pada gilirannya daya beli juga meningkat
sehingga sikap sadar gizi dari masyarakat mendapat kesempatan tumbuh dan
berkembang. Bila sementara itu untuk pemenuhan gizi minimal upaya terlebih
dahulu ditekankan pada peningkatan produksi pangan sumber energi, namun
kini peningkatan produksi pangan sumber protein hewani mulai mendapatkan
prioritas yang sepadan.
Salah satu sumber protein hewani yang tersedia dan dapat dikembangkan
adalah daging babi. Untuk daerah-daerah di Indonesia yang penduduknya
bukan Muslim dan bagi daerah Bali khususnya daging babi merupakan sumber
protein hewani yang utama.
Pada daerah-daerah pariwisata kebutuhan produk ternak pada umumnya
lebih menekankan kepada faktor mutu dan selera konsumen. Namun demikian
tidak semua daerah wisata mampu menyediakan produksi ternak yang.
memadai. Daerah Bali yang merupakan daerah tujuan wisata yang amat penting
dan sangat terkenal di Indonesia maupun di mama negara hendaknya mampu
menyediakan produk ternak yang bermutu tinggi dan memenuhi selera
konsumen terutama para wisatawan dalam maupun luar negeri.

Salah satu produk daging babi yang merupakan hidangan yang spesifik
dan terkenal bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali adalah babi guling. Pada

waktu belakangan ini babi p i i n g malah ada yang diekspor sampai ke Korea
(Dharsana, 1997). Disamping untuk wisatawan, masyarakat Bali sendiri juga
sangat menyenangi babi guling. Babi guling juga merupakan menu yang sangat
umum dihidangkan pada acara-acara adat rnaupun pada upacara keagamaan di
Bali.
Babi yang digunakan untuk babi guling biasanya adalah babi Bali yang
berumur dua bulan setelah sapih dengan berat badan hidup rata-rata 15 kg (10 20 kg). Bakalan babi guling ini di daerah Bali biasanya dipelihara secara
tradisionil dimana cara pemeliharaan maupun pemberian pakannya masih
kurang memadai sehingga kualitas daging babi guling yang dihasikan sangat
beragam dan kurang memadai. Kualitasnya sering kali kurang baik dan malah
kadang-kadang sering menghasilkan kualitas daging yang tidak bermutu.
Adapun kualitas daging babi guling yang baik menurut konsurnen adalah
: kulit renyah, daging gurih, empuk, aroma lezat, tidak terlalu berlemak dan

kalau bisa lemak yang ada adalah lemak diantara serat daging (kepualaman
daging tinggi) dan sudah tentu daging tersebut adalah matang secara baik dan
sempurna. Dilain pihak para wisatawan terutama wisatawan manca negara yang

merupakan konsumen golongan menengah keatas punya strata selera dan
preferensi yang lebih tinggi sehingga hidangan khusus seperti babi guling yang
disediakan, juga hendaknya dapat memenuhi selera tersebut.
Untuk menuju pemenuhan peningkatan preferensi kualitas daging babi
guling tersebut penulis berkemauan untuk mengeksplorasi pengaruh beberapa

komponen ransum, komposisi serta frekuensi pakan yang diberikan terhadap
kualitas daging babi guling yang dihasilkan.

1.2 Identifikasi masalah

Bertitik tolak dari sifat-sifat yang dimiliki bakalan babi guling (babi Bali
fase bertumbuh hingga berat kira-kira 15 kg) untuk meningkatkan kualitas
daging babi guling yang dihasilkan dengan modifikasi komposisi ransum serta
pemberiannya yang dilakukan pada proses pertumbuhan, maka beberapa
masalah yang perlu diantisipasi adalah sebagai berikut :
1. Seberapa jauh kualitas daging babi guling dapat ditingkatkan dengan

memodifikasi komposisi dan frekuensi pemberian ransum pada masa
pertumbuhan selama 3 - 4 bulan setelah usia sapih sampai mencapai

berat potong untuk dipling.
2. Bagaimana pengaruh perlakuan dinilai terhadap kualitas karkas

dan kualitas daging babi guling yang dihasilkan.

1.3. Tujuan penelitian

1. Mempelajari pengaruh komposisi dan pemberian -ransum terhadap kualitas

karkas dan daging babi guling yang dihasilkan
2.

Mempelajari tingkat pengaruh perlakuan terhadap kualitas karkas dan
daging guling yang dihasilkan.

3. Tujuan akhir penelitian adalah untuk menemukan komposisi ransum

frekuensi pemberian ransum yang tepat untuk babi Bali yang

serta

sebagai

bakalan babi guling sehingga dapat mengasilkan daging babi guIing yang
bermutu baik serta memenuhi preferensi selera konsumen masa kini.

1.4. Kegunaan penelitian

Himpunan data yang akan diperoleh diharapkan dapat mengungkap
aspek manfaat praktis, berupa alternatif pola pakan yang diterapkan, agar
menghasilkan kualitas daging babi guling yang baik yang memenuhi preferensi
dan selera konsumen urnum maupun para wisatawan yang datang ke Bali
khususnya. Kegunaan lain yang tak kalah pentingnya adalah memberi tambahan
infonnasi baru sebagai sumbangan ilmiah mengenai pengaruh komposisi dan
frekuensi pemberian ransum terhadap kualitas karkas dan daging babi guling
yang dihasilkan.

1.5. Kerangka pemikiran

Daging sebagai salah satu sumber bahan pangan, komponen utamanya
adalah serat-serat otot dan butir-butir lemak (Hammond et al., 1971). Komponen

kimianya adalah air, protein, lemak, vitamin dan mineral. Butir-butir lemak di
antara serat-serat daging disamping merupakan sumber energi, juga berfungsi
sebagai pembawa citarasa (Hamrnond et nl., 1971), penambah kelembutan dan
keempukan daging (Marsh, 1975), merangsang keluarnya air liur pada waktu

pengunyahan (Tulloh, 1978),sehingga dapat meningkatkan kualitas organoleptik
daging tersebut.
Akhir-akhir ini terutama di negara-negara yang telah maju orang
berusaha untuk mengurangi mengkonsumsi daging berlemak terutama Iemak
jenuh karena dikhawatirkan akan meningkatkan kadar kolesterol darah, yang
dianggap merupakan salah satu penyebab tejadinya insiden, penyakit jantung
koroner, arteri-sklerosis, dan serangan jantung.

Namun demikian Crawford

(1975) meragukan kebenaran anggapan tersebut dengan mengemukakan bukti,

bahwa pada bangsa Eskimo yang terkenal mengkonsumsi daging serta lemak
hewan dalam jumlah yang tinggi tidak dijumpai adanya insiden yang berarti
tentang hipertensi, serangan jantung ataupun kadar kolesterol darah yang tinggi.

Soekaryo (1984) juga berpendapat bahwa sebab-sebab lain dari serangan jantung
selain lcadar kolesterol darah yang tinggi adalah kurangnya latihan fisik yang
teratur serta stres.
Sekalipun demikian, sebaiknya konsumsi daging berlemak yang
berlebihan dikurangi (Arka, 1984). Dari segi biaya produksi, timbunan lemak
dalam tubuh ternak diluar jaringan serat otot, juga merupakan pemborosan.
Sebaliknya kadar lemak daging yang terlalu

rendahpun tidak baik, karena

mengakibatkan daging terasa kering dan hambar serta citarasanya menurun dan
tidak dapat memberikan nilai kepuasan yang optimal sewaktu dikonsumsi. Yang
diharapkan adalah daging dengan kadar lemak yang optimum, sehingga dapat

menghasilkan daging yang berkualtas tinggi dan sehat serta tetap memiliki cita
rasa yang enak.
Dengan meningkatnya kesadaran gizi, masyarakat mulai sensitif terhadap
kualitas pangan yang dikonsumsi terutama

terhadap kualitas daging pada


umumnya dan daging babi guling khususnya. Meningkatnya arus wisatawan
terutama wisatawan manca negara yang berkunjung ke Indonesia umumnya dan
ke Bali khususnya, juga telah ikut mendorong kebutuhan akan tersedianya
daging yang berkualitas lebih baik untuk memenuhi konsumen dengan
preferensi khusus. Hotel dan restoran terkemuka adalah instansi pertama yang
menjadi pusat-pusat penyuguhan hidangan babi guling dengan kualitas daging
yang bermutu yang permintaannya semakin meningkat (Mirda, 1982). Dilain
pihak sebegitu jauh belum ada peternak di Bali yang secara profesional dan
khusus memelihara bakalan babi guling untuk dapat menyediakan mutu daging
babi guling yang memenuhi preferensi tersebut.
Ternak babi merupakan salah satu ternak penghasil daging yang
mempunyai sifat tumbuh yang cepat, pertambahan bobot badan yang tinggi dan
juga sangat cepat menimbun lemak. Untuk menghasilkan produksi yang tinggi
dengan kualitas yang baik diperlukan beberapa kombinasi bahan pakan
penyusun ransum yang dapat memenuhi gizi yang dibutuhkan. Disamping
komposisi ransum, manajemen serta cara pemberian pakan juga dapat
mempengaruhi kualitas maupun kuantitas daging yang dihasilkan. Sifat

serta


aroma lemak tubuh yang dihasilkan umurnnya mengikuti pola lemak pakan

sehingga kenyataan ini dapat dipergunakan membentuk karkas yang sesuai
dengan keinginan dan selera konsumen. Macam serta sifat-sifat lemak dalam
pakan akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap sifat-sifat lemak
tubuh yang terbentuk. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang
mengandung lemak tidak jenuh yang tinggi seperti jagung dan bekatul bila
diberikan pada babi akan menghasilkan lemak tubuh yang lembek sehingga
mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Ransum yang mengandung
bungkil kelapa atau lemak hewan akan dapat memperbaiki kualitas karkas
karena lemak tubuh yang terbentuk akan menjadi lebih keras.
Sehubungan dengan ha1 tersebut penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian guna mendapatkan kualitas daging babi guling yang baik dengan
memodifikasi pola pakan yang diterapkan yang meliputi modifikasi komposisi
maupun frekuensi pemberian ransum selama proses pertumbuhannya sebelum
babi tersebut dipotong untuk diguling.

1.6. Hipotesis


Dari pengkajian berbagai aspek di atas, penulis mengajukan hipotesis
sebagai berikut : Komposisi maupun

frekuensi pemberian ransum

akan

berpengaruh terhadap kualitas daging babi guling yang dihasilkan, sehingga
dengan pengaturan komposisi dan frekuensi pemberian ransum akan dapat
dihasilkan suatu kualitas daging babi guling yang baik.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Babi guling

Babi guling adalah nama salah satu produk olahan daging babi yang
penamaannya disesuaikan dengan proses pengolahannya yaitu karkas seekor
babi secara utuh (tanpa direcah terlebih dahulu) dipanggang di atas bara api
hingga matang secara sempurna. Babi guling merupakan hidangan khas daerah
Bali yang sangat digemari oleh masyarakat setempat maupun masyarakat luar

Bali sewaktu berkunjung ke Bali. Babi guling juga merupakan salah satu
hidangan khusus yang biasanya disediakan oleh hotel-hotel dan restoranrestoran terkemuka di Bali sehingga dapat merupakan pusat-pusat promosi
yang prospektif.
Pada mulanya yang digunakan sebagai babi guling adalah babi Bali betina
umur 2-3 bulan setelah sapih (Sutji et nl., 1986). Namun sekarang karena,
sukarnya mendapatkan babi Bali maka babi Saddleback dan hasil persilangan
antara babi Saddleback dengan babi Bali juga digunakan untuk babi guling. Babi
jenis Landrace jarang digunakan untuk babi guling, karena lemaknya terlalu
sedikit. Walaupun standar kandungan lemak belum ada yang pasti, namun perlu
diketahui bahwa kandungan lemak yang disenangi oleh konsumen adalah
kandungan lemak yang medium yaitu kandungan lemak yang tidak terlalu
rendah atau terlalu tinggi. Kandungan lemak seperti ini bisa dikatakan
merupakan kandungan lemak yang optimum bagi pemenuhan selera maupun

kesehatan konsumen. Akhir-akhir ini kebutuhan akan babi guling di Bali
semakin meningkat, ha1 ini disebabkan karena disamping masyarakat Bali
sebagian besar tidak mengharamkan daging babi, kunjungan wisatawan
domestik maupun mancanegara ke Bali juga semakin meningkat (Sutji, 1980).
Wisatawan yang berkunjung ke Bali (terutama wistawan domestik yang tidak
mengharamkan daging babi) umumnya belum merasa iengkap mengenal Bali

bila selama di Bali belum sempat mencicipi daging babi guling, sehingga bisnis
babi guling belakangan ini semakin menggelinding (Sari, 1996).
Berat babi yang digunakan untuk babi guling tergantung pada jenis babi
yang digunakan. Bila menggunakan babi Bali, maka

babi yang

diguling

beratnya antara 10-25 kg, sedangkan bila menggunakan babi Saddleback atau
keturunannya

beratnya antara 20-30 kg. Penggunaan babi di atas berat

tersebut dianggap tidak baik karena matangnya daging tidak akan sempurna
(Rebo, 1995). Dikemukakan pula bahwa daging babi guling yang baik biasanya
berasal dari babi yang makanannya mengandung batang pisang. Hal ini
disebabkan karena batang pisang mengandung beraneka mineral yang sangat
penting bagi pertumbuhan sehingga kualitas daging yang dihasilkan akan
meningkat (Nitis, 1980). Sutji dan Sulandra (1994) mengadakan penelitian
mengenai ini dan mendapatkan bahwa penggunaan 5% batang pisang pada
ransum dapat

berpengaruh terhadap warna, bau, tekstur dan penerimaan daging secara
keseluruhan, dimana ransum dengan batang pisang menghasilkan daging guling
yang lebih baik dari tanpa menggunakan batang pisang.

2.2. Kualitas daging

Daging sebagai bahan pangan, kreteria kualitasnya merupakan kombinasi
dari beberapa kriteria yang membuatnya

menjadi lebih menarik daIam

penampilan, sehingga lebih merangsang selera konsumen, bernilai gizi tinggi
serta enak dimakan setelah proses pemasakan (Price dan Schweigert, 1971).
Adapun kriteria kualitas daging meliputi : keadaan fisik, warna, tekstur, pH,
komposisi kimia serta nilai organoleptik yang meliputi : aroma, keempukan, dan
cita rasa (Harnmond, 1955 dan Lawrie, 1966).
Penilaian kualitas daging umumnya dilakukan dengan cara obyektif dan
subyektif. Penilaian secara obyektif meliputi : warna, kepualaman, pH dan
komposisi kimia daging. Penilaian secara obyektif umumnya dilaksanakan
dengan bantuan alat-alat laboratoris atau standar pembanding (Lawrie, 1966;
Price dan Schweigert, 1971). Adapun penilaian secara subyektif dapat dilakukan
lewat penilaian

organoleptik yang dilaksanakan dengan bantuan sejurnlah

anggota panelis yang telah terlatih dengan menggunakan pancaindra yang
meliputi ; penglihatan, penciuman, perabaan dan pencicipan daging yang telah
matang terhadap aroma, keempukan serta citarasa (Larmond, 1982).

Kualitas daging dipengaruhi oleh beraneka faktor yang dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan faktor ektrinsik. Faktor
intrinsik meliputi : bangsa ternak, jenis kelamin dan umur. Faktor ektrinsik
meliputi pakan yang diberikan, manajemen pemeliharaan serta manajemen
penanganan daging setelah ternak dipotong (Price dan Schweigert, 1971). Faktorfaktor ektrinsik yang lain yang juga dapat mempengaruhi kualitas daging antra
lain adalah : pemberian hormon-horrnon tertentu pada ternak misalnya hormon
porcine somatotropin (Solomon ef al., 1994); d m perbandingan lysin dengan
energi pada pakan (Lawrence et al., 1994).

2.2.1. Komposisi kimia daging

Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil olahan
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakamya (Soeparno, 1992). Protein adalah komponen
bahan kering yang terbesar dari daging. Selain protein daging juga mengandung
air, lemak, karbohidrat dan bahan organik. Secara proporsional komposisinya
dapat berubah, bila proporsi salah satu peubah mengalami perubahan. Tubuh
ternak mengandung sepertiga senyawa kimia yang esensial untuk hidup (Forrest
et nl., 1975). Senyawa yang terbesar adalah air dan bahan-bahan organik seperti

protein, lemak dan karbohidrat. Keempat senyawa ini kira-kira merupakan 96%
dari total tubuh dan sisanya merupakan komponen anorganik.

Anggorodi (1984) menyatakan bahwa komposisi kimia tubuh babi dengan
berat 100 kg adalah 49% air, 12% protein, 36% Iemak dan 2.6% abu. Komposisi
kimia daging (ham) babi adalah 56.5% air, 15.9% protein, 26.6% lemak, 0.7% abu
serta 70-105mg/100g kolesterol. Menurut Tillman et al., (1984) komposisi kimia
tubuh babi berat 90-135 kg adalah : 42.5-42.6% lemak dan 2.1-2.75% abu. Judge et
al., (1989) menyatakan bahwa komposisi kimia daging babi mentah adalah 72.0%
air, 20.2% protein kasar, 6.8%Iemak kasar dan 1.0%abu.
Air merupakan bagian yang terbanyak dan terpenting dari jaringan
hewan maupun tumbuhan (Anggorodi, 1984). Kandungan air tubuh hewan
bervariasi tergantung umur serta pakan. Bila umur bertarnbah maka kadar air
tubuh akan semakin berkurang dan kandungan lemak tubuh akan semakin
bertambah (Tillman et al., 1984). Kadar lemak tubuh cenderung meningkat
dengan bertambahnya umur sampai stadium dewasa tercapai. Selain itu kadar
lemak juga menjadi sumber variasi komponen tubuh ternak. Kadar Iemak daging
bervariasi tergantung pada jumlah lemak di dalam dan diantara otot serta jurnlah
lemak external (Judge et a1

., 1989).

Ditinjau dari aspek nilai nutrisi, maka

komponen lemak yang terpenting pada daging adalah : trigliserida, fosfolipida,
kolesterol dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak seperti A, D, E, K.
Kolesterol merupakan salah satu komponen lemak yang mempunyai
rumus molekul

C27H450H.

Kolesterol tidak didapatkan dalam bahan makanan

nabati serta dinding sel tanaman tidak mengandung kolesterol maupun lipid
yang serupa (phytosterol) dalam jumlah yang banyak ( Linder, 1986). Kolesterol

penting sebagai prekursor dari asam - asam empedu, hormon-hormon steroid,
komponen dari membran plasma dan lipoprotein plasma (Martin et al., 1983).
Walaupun di dalam tubuh tiap manusia diperlukan kolesterol, tetapi hanya
dalam batas

- batas normal. Kalau

terjadi kelebihan kolesterol yang diedarkan

oleh darah, justru dapat menimbulkan beberapa efek sampingan terhadap
kesehatan manusia terutama yang ada kaitannya dengan penyakit degeneratif
seperti jantung coroner, penyumbatan pembuluh darah dan hipertensi. Untuk
mengatasi ini disarankan banyak mengkonsurnsi ikan karena lernak ikan banyak
mengandung asam Iemak Omega 3 yang dapat menurunkan kolesterol darah
(Pinatih, 1996). Menurut Williams (1974) sebagian besar sel mamalia, terutama
sel-sel hati dan usus dapat mensintesa kolesterol, sehingga kolesterol tidak hams
ada pada makanan. Sebagian besar kolesterol tubuh berasal dari hasil biosintesa
yaitu kurang lebih sebanyak lg/hari cia11 hanya sekitar 0.9g/hari berasal dari
makanan (Martin et al., 1983 ;Anggorodi, 1984). Naber (1976) juga menyatakan
bahwa sekitar 2/3 bagian kolesterol yang disintesa tubuh, sementara yang
-.I

berasal dari makanan hanya 1/3 bagian saja. Sarnbrook (1985) menyatakan
bahwa penambahan koleterol pada ransum hanya sedikit meningkatkan level
kolesterol pada plasma darah. Nishima and Freedland (1990) menyatakan bahwa
mekanisme dari sintesa kolesterol endogen dipengaruhi oleh substrat untuk
sintesis asam empedu. Pada tikus diperkirakan bahwa serat kasar yang terlarut
berpengaruh terhadap asam lemak berantai pendek yang merupakan hasil
fermentasi serat kasar pada colon. Asam lemak berantai pendek terutama asam

propionat tersebut dikatakan dapat menghambat sintesa kolesterol endogen
sehingga dapat menurunkan kandungan kolesterol plasma. Dari hasil
penelitiannya dikemukakannya pula bahwa selulosa yang merupakan serat kasar
yang tidak terlarut ternyata hanya berpengaruh kecil sekali atau tidak
berpengaruh terhadap metabolisme lipid pada tikus, tetapi dapat menurunkan
kadar gliserol, gliserida dan kadar kolesterol dalam plasma. Pemberian serat
kasar terlarut dapat meningkatkan kapasitas untuk sintesa sterol. Penelitian pada
manusia yang dilakukan oleh Maezaki, ef a1

(1993) mendapatkan bahwa

pemberian chitosan dapat menurunkan kandungan kolesterol darah. Chitosan
adalah derivat dari chitin yang merupakan polisakarida yang dikandung oleh
kutikula hewan Crusfncea dan serangga serta dalam sel beberapa jenis jamur.
Chitosan sendiri tidak dapat dihidrolisa oleh enzim dalam saluran pencernaan
sehingga pemberiannya dapat dianalogkan dengan pemberian serat pada hewan.
Pemberian Chitosan juga dapat meningkatkan kandungan HDL (High Density
Lipoprotein), kolesterol darah, meningkatkan pengeluaran asam empedu dan
asam kholat dalam feses. Dalam saluran pencernaan Chitosan bergabung dengan
asam-asam empedu dan selanjutnya dikeluarkan lewat feses sehingga tidak
terjadi absorbsi kembali dari asam
harus mensintesa asam

-

-

asam empedu. Dengan demikian tubuh

asam empedu dari persediaan kolesterol tubuh,

sehingga akibanya kolesterol darah akan turun.
Mertinez et al. (1992) meny atakan bahwa pemberian serat terlarut
terutama

p -

glukosa dapat menurunkan kolesterol pada ayam, tikus dan

manusia. Barley yang mempunyai kandungan serat terlarut yang tinggi, sangat
konsisten dan efektif dalam menurunkan kolesterol pada ayam. Kandungan
kolesterol daging babi bervariasi tergantung dari lokasi daging tersebut diambil.
Misalnya kadar kolesterol bacon adalah 58mg/100g, ham 58-89, loin 90-95 mg
dan daging bahu 97-114 mg/lOOg (USDA,1983).
Protein merupakan komponen bahan kering terbesar dari daging, sangat
berpengaruh pada nilai nutrisi daging. Tingginya nilai nutrisi daging disebabkan
karena protein daging terdiri dari asam-asam amino yang esensial secara lengkap
dan seimbang (Forrest et nl., 1975). Kadar protein daging umurnnya mempunyai
hubungan negatip dengan kadar lemaknya.

2.2.2. Pengaruh pakan terhadap kualitas daging

Daging merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang bermutu
tinggi, karena protein daging mengandung asam-asam amino yang lengkap.
Sebagai sumber pangan, kualitas daging umumnya ditentukan oleh empat faktor
yaitu : jumlah mikroba pada daging, nilai kimiawi, sifat-sifat fisik daging dan
kualitas makan (eating sualitv) dari daging (Winarno, 1984). Namun demikian
pada umumnya untuk memilih daging yang dikonsumsi sehari-hari, konsumen
- qualitv
dan sifat fisik dibanding dengan dua faktor
lebih mengutamakan eating

yang lainnya karena penentuan mikroba dan kirnia daging tidak mudah
dilakukan dan juga memerlukan waktu yang cukup lama. Eating quality lebih
menuntut adanya kepekaan indra manusia yang meliputi : penglihatan,

penciuman, pencicipan dan sentuhan, sebab eating quality meliputi penerimaan
terhadap : warna, bau, flavor, tekstur dan penerimaan terhadap daging secara
keseluruhan (Sutji dan Sulandra, 1994). Flavor (aroma) didifinisikan sebagai
perpaduan perasaan atau sensasi antara rasa dan bau yang ditimbulkan oleh
bahan pangan di dalam mulut (Lindsay, 1985). Sedangkan rasa suka atau
penerimaan secara keseluruhan terhadap bahan pangan yang ada dalam mulut
adalah interaksi kimia makanan dengan reseptor melalui suatu proses rumit dan
kompleks, sehingga melalui proses ini kesukaan seseorang terhadap suatu bahan
pangan yang dikonsumsi dapat diketahui lewat persepsinya (Nagodawithana,

1994). Faktor-faktor lain yang juga menentukan mutu daging adalah jenis
kelamin ternak, umur, sistem pemeliharaan, lingkungan serta makanan yang
diberikan (Forrest et al., 1975).

2.2.3. Bahan ransum

Ternak babi adalah hewan yang mempunyai kemampuan yang tinggi
dalam menimbun lemak. Penimbunan lemak tersebut dipengaruhi oleh beberapa
ha1 diantaranya umur ternak serta macam bahan pakan yang digunakan dalam
ransum. Sifat dari lemak ditentukan oleh asam-asam lemak penyusunnya. Lemak
dalam pakan ternak babi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap lemak yang
disimpan dalam tubuh (Martin et al., 1983 ; Anggorodi, 1984). Macam lemak
pakan akan berpengaruh terhadap sifat lemak yang dibentuk dalam tubuh. Bila
pakan mengandung banyak lemak yang sifatnya cair pada suhu kamar, maka

lemak tubuh yang terbentuk akan menjadi sangat lembek sehingga akan
menurunkan kualitas karkas.

Lemak nabati umurnnya lebih banyak

mengandung asam lemak tidak jenuh dibanding dengan lemak hewani sehingga
sifatnya cair (Ketaren, 1986). Banyaknya asam lemak tidak jenuh dapat
ditentukan dengan menggunakan uji angka iodin. Makin tinggi angka iodinnya
berarti rnakin banyak kandungan asam lemak yang tidak jenuh.
Bahan-bahan pakan yang terdapat di Indonesia dan umum digunakan
sebagai penyusun ransum untuk ternak babi adalah dedak padi, bekatul, bungkil
kelapa, bungkil kedele, ampas tahu dan sebagai sumber hijauan biasa digunakan
kangkung, daun ketela rambat, batang pisang, talas dan sebagainya. Dedak padi,
bekatul, tepung ikan dan jagung kuning biasanya digunakan sebagai penyusun
konsentrat yang sangat penting dalam menyusun ransum agar dapat memenuhi
standar yang diperlukan. Konsentrat biasanya merupakan pakan atau campuran
pakan yang dapat dibuat sebagai sumber energi atau protein ataupun
merupakan sumber dari kedua-duanya. Jagung merupakan sumber energi
karena banyak mengandung karbohidrat yang mudah larut. Kandungan nutrisi
jagung kuning menurut Hartadi et al. (1986) adalah 14% air, 8.9% protein kasar,
2.2% serat kasar, 4.0% lemak kasar dan 68.8% ekstrak tanpa nitrogen. Menurut N

R C (1979) kandungan nutrisi jagung kuning adalah : 11.0% air, 8.8% protein
kasar, 2.2% serat kasar, 3.8% Iemak kasar, 4.02% Ca, 0.28% P dan 3325 Kcal
ME/Kg. Jagung tidak pernah digunakan sebagai pakan tunggal untuk babi
karena kandungan protein serta asam-asam amino lisin dan triptofannya rendah.

Jagung kuning kaya beta karotin tetapi miskin vitamin B12 dan vitamin D
(Eusebio, 1980). Menurut Parakkasi (1983) pemberian jagung pada fase akhir
penggemukan menyebabkan pembentukan daging lebih sedikit dibanding
dengan pembentukan jaringan lemaknya. Disamping itu pemberian jagung akan
menyebabkan penimbunan asam lemak tidak jenuh sehingga lemak karkas jadi
lembek.
Dedak halus (bekatul) adalah hasil ikutan proses penggilingan padi yang
mempunyai nilai pakan yang cukup tinggi dan sangat umum diberikan pada
babi (Tillman et al., 1984 ;Abbas et aI., 1985). Menurut N R C (1979) kandungan
nutrisi bekatul padi adalah : 10,0% air, 12,2% protein kasar, 11,0% lemak kasar,
4,1% serat kasar, 0,05% Ca, 1,3% P dan 3000 Kcal ME/kg. Bekatul padi dapat
digunakan sebagai campuran ransum ternak babi pada fase pertumbuhanpenggemukan
1- (

sampai sebanyak 50%. Namun demikian

penggunaan dedak halus (bekatul) lebih dari 40% dalam ransum dapat
melembekkan lemak karkas sehingga kuditas karkas akan menurun (Eusebio,
1980 dan Parakkasi, 1983). Penggunaan dedak padi atau bekatul pada mingguminggu terakhir menjelang pemotongan sebaiknya dikurangi (Bogohl, 1981).
Bungkil kelapa adalah merupakan hasil ikutan pada proses pembuatan
minyak kelapa. Nilai nutrisinya terutama kandungan lemaknya sangat
tergantung pada cara pemisahan minyak dari kopranya. Kalau pembuatan
minyak kelapa dilakukan dengan proses solven, maka kandungan E E bungkil
kelapa yang dihasilkan bisa sangat rendah yaitu sekitar 2%. Bila cara pemisahan

minyak dilakukan dengan penekanan (expeler) maka kandungan lemak pada
bungkil kelapa masih tinggi yaitu sekitar 7%(N R C, 199). Menurut Tillman et al.
(1984) kandungan nutrisi bungkil kelapa adalah : air 14.0%, serat kasar 12.1%,
protein kasar 21.6% DE. 3470 Kcaal/kg, ME. 2850 Kcal/kg, Ca. 0.16% dan P.
0.72%, sedangkan menurut N R C (1979) nilai nutrisi bungkil kelapa dengan
proses expeler adalah : air 7.0%, serat kasar 12.9%,protein kasar 21.9%, DE. 3616
Kcal/kg, ME. 3312 Kcal/kg, Ca. 0.23%, dan P. 0.66%. Asam-asam lemak pada
bungkil kelapa kebanyakan asam lemak jenuh sehingga lemak karkas yang
dihasilkan tidak lembek seperti pada pemberian dedak padi. Bungkil kelapa
mempunyai sifat amba (bulky) sehingga penggunaan dalam ransum dalam
jurnlah yang terlalu banyak berpengaruh tidak baik bagi ternak.
Tepung ikan adalah bahan yang umumnya digunakan sebagai sumber
protein. Kandungan protein tepung ikan berkisar dari 60-65%, tergantung dari
ikan yang digunakan, serta proses pembuatannya. Rebo (Pers. Comm)
menyatakan bahwa penggunaan tepung ikan dalam jurnlah banyak pada ransum
akan menyebabkan daging babi guling yang dihasilkan berbau amis.
Lemak hewan umumnya digunakan dalarn ransum sebagai sumber
energi. Pemanfaatan lemak hewan khususnya lemak babi pada makanan babi
juga dimaksudkan untuk memberi aroma pada daging yang dihasilkan. N R C
(1979) menyatakan bahwa lemak babi mengandung sekitar 9020 Kcal/kg Gross
Energy.

Batang pisang banyak digunakan dalarn ransum babi di Bali. Batang
pisang mengandung mineral yang tinggi (15-16% abu) di mana 37-163 ppm
adalah mineral Zn (Lana, 1982). Pengaruh pemanfaatan batang pisang pada
kualitas daging guling akan dibahas pada pengaruh komposisi ransum.

2.2.4. Komposisi ransum

Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pengaruh komposisi ransum
terhadap penampilan dan kualitas daging babi.

Sutji (1980) menggunakan

beberapa level dedak padi di dalam ransum babi yang sedang tumbuh dan
mendapatkan bahwa penggunaan dedak padi dalam ransum hingga 20% masih
memberikan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum yang baik.
Selanjutnya Sutji et nl., 1989 juga melaporkan bahwa penggunaan dedak padi
sampai 40% pada ransum babi muda hingga berat 20 kg memberikan pengaruh
yang baik terhadap komposisi tubuh dan alat-alat pencernaannya. Namun
menurut Nitis (1980), pemberian dedak padi lebih dari 40% dalam ransum babi
dapat berakibat tidak baik, karem menyebabkan parakeratosis sebagai akibat
kekurangan mineral Zn. Kekurangan Zn ini dapat diatasi dengan menggunakan
batang pisang di dalam ransum, karena batang pisang selain sebagai sumber air
(80-95% air), juga merupakan sumber mineral (15-16% abu), terutama mineral

Zn. Kandungan mineral Zn pada batang pisang cukup tinggi yaitu 37-163 ppm
(Lana, 1982).

Batang pisang yang banyak digunakan dalam makanan babi di Bali, selain
mengandung mineral Zn yang tinggi juga mengandung 0.23% protein kasar,
0.121% lemak, 1.54% serat kasar dan 2.36% BETN (Supnet dan Alcantara,l978).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan batang pisang pada
ransum berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun terhadap kualitas daging
babi yang dihasilkan. Supardjata dan Mendra (1972) meneliti tentang pemberian
batang pisang pada tiga kelompok babi yang berat badannya pada awal
percobaan berturut-turut : 4.67,20.00 dan 40.00 kg. Pada berat badan akhir yang
masing-masing kurang lebih 60 kg dilakukan pemotongan hewan dan ternyata
bahwa pemberian 25% (berat segar) batang pisang sejak awal penelitian
diperoleh prosentase karkas Lean cuts, Prime cuts, Ham dan Loin lebih besar pada
kelompok babi yang berat awalnya 4.67 kg daripada dua kelompok yang lainnya.
-mu

-%*

Nitis et al., 1983 menyatakan bahwa babi hasil persilangan Saddleback
dengan babi Bali dengan berat badan 9.25 kg diberikan 3% batang pisang
(berdasarkan bahan kering) dalam ransum tradisional yang mengandung 90%
dedak padi, sedangkan babi dengan berat badan 25 - 50 kg dalam ransum yang
sama diberikan 7% batang pisang (berdasarkan bahan kering). Setelah mencapai
berat hidup 50 kg diperoleh berat relatif daging babi lebih tinggi pada bagian

Hnm, diikuti dengan bagian Loin dan Boston Butts, sedangkan berat relatif lemak
paling tinggi pada bagian Ham kemudian pada bagian Ja701 dan Loin. Sutji dan
Sulandra (1994) mengadakan penelitian tentang pengaruh penggunaan dedak
padi dan batang pisang pada ransum terhadap nilai organoleptik babi guling

yang menggunakan babi Bali dan mendapatkan bahwa penggunaan 40% dedak
padi dalam ransum babi BaIi dapat meningkatkan nilai organoleptik daging dan
kulit guling yang dihasilkan serta penggunaan 5% batang pisang, juga dapat
meningkatkan nilai organoleptik daging dan kulit guling yang dihasilkan.
Menurut beberapa peneliti penggunaan lemak hewani dalam ransum babi
juga berpengaruh terhadap kualitas daging, sehingga akan berpengaruh
terhadap kualitas daging babi guling yang dihasilkan, terutama terhadap nilai
organoleptiknya. Sebagai seorang pemilik Restoran Babi Guling yang
berpengalaman Rebo (Pers. Comm) mengatakan bahwa lemak yang ada pada
ransum akan berpengaruh pada bau (flavor) dari babi guling yang dihasilkan.
Dikatakan bahwa, bila ransum yang diberikan mengandung tepung ikan yang
terlalu tinggi maka bau daging babi guling yang dihasilkan menjadi arnis. Dilihat
dari fisiologi pencernaan dan penyerapan lemak pada babi sebagai salah satu
hewan monogastrik maka pendapat tersebut dapat diterima. Anggorodi (1985)
menyatakan bahwa sebagian lemak yang masuk ke dalam usus halus tidak
mengalami perubahan, tetapi langsung disei-ap ddam bentuk butiran-butiran
emulsi lemak yang sangat kecil. Dengan demikian

ini berarti bahwa bau

maupun ragam lemak yang terbentuk di dalam daging akan sama dengan yang
ada pada ransum yang diberikan.
Penggunaan lemak hewani pada ransum babi disamping untuk
menghasilkan aroma daging yang dikehendaki juga sering dikaitkan dengan
keunggulan penggunaannya yaitu merupakan sumber energi yang relatif murah,

meningkatkan efisiensi penggunaan ransum (Parakkasi, 1983), penyediaan asamasam lemak esensial (Stahly, 1984), meningkatkan palatabilitas pakan,
mengandung vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K,), mempengaruhi
penyerapan vitamin A, memperbaiki pencernaan asam amino (Li dan Sauer,
1994) dan dapat menekan harga ransum. Disamping itu penggunaan lemak
hewani pada ransum juga dapat menaikkan energi ransum tanpa banyak
menambah volume ransum (Tillman et al., 1986).
Penambahan lemak pada pakan dapat juga mempengaruhi kualitas
karkas. Lemak karkas akan bertarnbah bila kandungan lemak ransum bertarnbah
atau kandungan protein ransum diturunkan. Kandungan lemak lebih dari 20%
dalam ransum dapat menghasilkan 52.5% lemak karkas dan perubahan lemak
karkas mulai terjadi bila lemak ransum mencapai 5 - 10% (Davey, 1976). Lemak
punggung lebih tebal pada babi yang dapat ransum dengan 10% lemak
dibandingkan dengan yang mendapat 5% lemak. Rosentase lemak karkas akan
meningkat jika kandungan lemak ransum ditingkatkan. Bila lemak ransum
tersusun dari asam-asam lemak jenuh maka lemak karkas akan menjadi keras
dan sebaliknya lemak karkas akan lembek bila lernak ranswn terdiri dari lemak
yang tidak jenuh. Komposisi lernak tubuh yang terbentuk juga dipengaruhi oleh
komposisi lemak ransum yang diberikan (Leibetseder, 1997).

2.2.5. Pengaruh frekuensi pemberian ransum

Selain komposisi ransum, jumlah ransum yang dikonsumsi juga
berpengaruh pada kualitas daging yang dihasilkan. Bila ransum yang diberikan
frekuensi pemberiannya dibatasi sehingga ransum yang dikonsumsi juga
terbatasi maka akan mempengaruhi nilai nisbah jumlah lemak dengan daging
yang terdisposisi dalam jaringan, sehingga akan berpengaruh pada kualitas
daging yang dihasilkan (Whittemore, 1980). SaIah satu cara untuk membatasi
level ransum yang dikonswnsi adalah dengan mengatur frekuensi pemkrian
ransum. Ternak bisa diberikan makan dalam sehari sebanyak satu, dua atau tiga
kali. Dengan demikian ransum yang terkonsurnsi juga akan terbatasi secara
bervariasi. Hubungan antara jumlah (level) ransum yang diberikan dengan nilai
nisbah lemak dengan daging yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 1.
Secara relatif semakin tinggi jumlah ransum yang diberikan semakin
tinggi prosentase lemak yang terdisposisi.
Pembatasan jumlah ransum yang diberikan, juga mempengaruhi tebal
lemak punggung, sehingga juga akan berpengaruh pada kualitas daging itu
sendiri. Lemak punggung babi yang diberikan ransum dengan level yang lebih
rendah akan lebih tipis dibandingkan dengan yang diberi level ransum yang
lebih tinggi (Whittemore, 1980).

Hubungan antara pembatasan pemberian ransum dengan tebal lemak
punggung dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa tebal lemak punggung
akan semakin menipis, biIa pemberian ransum semakin dibatasi.

Gambar 1. Hubungan antara ransum yang diberikan dengan nisbah lemak dan
daging (Sumber :Whittemore, 1980).

1

Fedgenerwsfy

-m

Fed restiictlvely

Y

0

i3
&

o

Fed very restrcctwefy

5
a

5

L

Weight of pig-

Gambar 2. Hubungan antara level ransum yang diberikan dengan tebd
lemak punggung (Sumber :Whittemore, 1980)
2.3. Aspek penampilan ternak

Aspek penampilan dibedakan menjadi : penampilan ternak semasih hidup
dan setelah ternak dipotong (penampilan karkas yang dihasilkan).

2.3.1. Penampilan hewan hidup

Penampilan (performance) adalah suatu hal yang berkaitan dengan
pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan pakan dan
pertumbuhan (Devendra dan Fuller, 1979). Penampilan itu sendiri
kaitannya dengan pertumbuhan. Menurut Tillman et al. (1984)

pada ternak sudah dimulai sejak terbuahinya ovom. Pertumbuhan akan berlanjut
sampai ternak menjadi dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan
mengukur kenaikan berat badan secara berdang-ulang yang dinyatakan dengan
pertambahan berat badan harian, rningguan atau satuan waktu tertentu.
Menurut Parakkasi (1983), pertumbuhan dapat dinyatakan dengan
pertambahan berat badan absolut maupun relatif. Pertambahan berat badan
absolut adalah selisih berat badan akhir dengan berat badan awal dibagi dengan
lama waktu pengamatan. Pertambahan berat badan relatif adalah selisih berat
badan akhir dengan berat badan awal dibagi dengan berat badan awal. Angorodi
(1984) menyatakan bahwa pertumbuhan yang normal mempunyai tahapan yang
cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat-sat awal sampai pubertas dan
tahap lambat terjadi pada saat-saat mencapai besar tubuh dewasa.
'

Pada ternak babi pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

genetik, jumlah dan kualitas pakan, jenis kelarnin, umur serta faktor lingkungan
seperti suhu, kelembaban, aliran udara dan penyakit (Williams, 1979). Faktor
genetik lebih membatasi kemungkinan pertumbuhan dan ukuran besarnya tubuh
yang dicapai (Parakkasi, 1983).
Kualitas maupun kuwantitas pakan yang diberikan akan sangat
menentukan tingkat pertumbuhan dalam mencapai .kedewasaan. Kekurangan

Y

gizi memperlambat puncak pertumbuhan urat daging dan memperlambat

ju

penimbunan lemak, sedangkan pakan yang sempurna mempercepat terj dinya
laju puncak maupun penimbunan lemak (Anggorodi, 1984).

\

Banyaknya pakan yang dikonsumsi pada babi tergantung pada gertetik,
umur, besarnya ternak, aktivitas, suhu lingkungan, jenis produksi, tingkat energi
ransum, kandungan protein, serta keseimbangan asam-asam amino pada ransum
(Dunkin, 1979). Kadar protein rendah akan menurunkan tingkat konsumsi
(Cunha, 1977) dan kadar energi yang rendah akan menaikkan konsurnsi pakan
untuk memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan yang maksimal
(Alcantara, et a1., 1973)
Baik buruknya penampilan ternak juga dapat dilihat dari keadaan
konversi pakan di mana konversi pakan itu sendiri menurut Morrison (1961)
adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan pertambahan
berat badan dalam satuan berat dan satuan waktu tertentu yang sama. Tingkat
pertumbuhan babi akan mempengaruhi nilai konversi pakan. Pada saat
pertumbuhan paling cepat adalah merupakan fase yang paling efisien dalam
mengkonversikan pakan. Efisiensi pakan turun dengan bertambahnya umur babi
(NR C, 1979). Konversi pakan

(KPM)babi pada fase growing-finishing dengan

bobot 5 - 60 kg adalah 1.67 - 2.86, sedangkan KPM babi dengan bobot 60 - 100 kg
adalah 3.75. KPM juga dipengaruhi oleh tingkat kandungan energi dan protein di
dalam ransum. Bila kandungan energi pakan naik maka konsumsi pakan
menurun sehingga KPM semakin kecil dan efisiensi penggunaan pakan akan
meningkat. Penurunan protein pakan akan menurunkan tingkat efisiensi
(Church and Pond, 1982; Cunha, 1977;Serres, 1992).

2.3.2. Penampilan karkas

Umurnnya karkas babi didifinisikan sebagai berat tub& dari ternak
setelah pemotongan dikurangi kepala, darah serta organ-organ internal dan kaki
bagian bawah (Goodwin, 1973), namun demikian untuk keperluan babi guling
yang dimaksud dengan karkas adalah berat ternak setelah dipotong dan
dibersihkan bulu dan kulit arinya dikurangi dengan darah dan organ-organ
internalnya. Tujuan utarna menghasilkan karkas yang baik adalah bila bagian
daging karkas lebih banyak daripada lemak dan tulang. Tebal lemak punggung
merupakan salah satu parameter untuk menggambarkan kualitas karkas babi
(Morgan and Lewis, 1962). Ketebalan Iemak punggung secara langsung dapat
menggambarkan produksi lemak dan daging. Tebal lemak punggung yang tipis
memberikan cerminan prosentase daging yang tinggi dan sebaliknya bila tebal
lemak punggung tinggi merupakan cerminan prosentase daging yang rendah.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi simpanan lemak dan jumlah
daging pada karkas babi yaitu : genetik, jenis kelamin, bobot potong, konsumsi
pakan, kwantitas dan kualitas protein dalam pakan (Cunha, 1977). Lemak yang
berlebihan pada karkas akan sangat berpengaruh pada kualitas babi guling yang
dihasilkan. Untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara
pemberian pakan baik jumlah, kualitas serta manajemen
kecepatan pertumbuhan dapat diatur dan pada
diinginkan dapat tercapai (Enserninger, 1971).

Kecepatan perlemakan sangat dipengaruhi oleh suplai energi, sedangkan
pertumbuhan jaringan daging lebih tergantung pada suplai serta keseimbangan
protein dengan energi dan kualitas protein sendiri. Penurunan kualitas protein
ransum akan berakibat meningkatnya porsi lemak sehingga kualitas karkas akan
menurun (Devendra and Fuller, 1979).
Eusebio (1980) menyatakan bahwa jumlah energi yang dikonsurnsi
mempengaruhi komposisi karkas babi. Berkurangnya energi intake akan
menghasilkan karkas dengan proporsi daging yang lebih banyak. Dinyatakan
pula bahwa bahan-bahan pakan yang berserat kasar tinggi dapat mengurangi
lemak punggung pada bobot akhir. Pemberian nutrien tertentu pada pakan
secara berlebihan juga berpengaruh terhadap kualitas karkas. Bila pakan yang
mengandung lemak yang mudah cair secara berlebihan diberikan pada babi akan
mengakibatkan Iemak karkasnya menjadi lembek sehingga kualitas karkas
menjadi rendah (Pond and Maner, 1984)

111. PENGARUH KOMPOSISI RANSUM TERHADAP
KUALITAS DAGING BABI GULING
( Penelitian I )

3.1. Pendahuluan

Penelitian I, diadakan untuk mempelajari pengaruh komposisi ransum
terhadap kualitas daging babi guling yang dihasilkan. Seluruh bahan-bahan
pakan yang digunakan untuk menyusun ransum dalam Penelitian Ini adalah
bahan

- bahan yang tersedia secara lokal dan sudah biasa

digunakan untuk

ternak babi. Ada sepuluh jenis ransum yang digunakan dalam Penelitian Ini.
Ransum-ransum tersebut diberikan ad libitum, pemberiannya dilakukan dua kali
sehari yaitu pukul 7.00 dan 16.00 WITA. Dari sepuluh jenis ransum yang
digunakan akan dipilih tiga jenis ransum yang terbaik yang dapat menghasilkan
kualitas daging babi guling yang terbaik (dilihat dari hasil uji organoleptik
daging guling dan uji kualitas karkasnya).
Tiga jenis ransum yang terpilih dari Penelitian I, akan digunakan pada
Penelitian 11 dengan tiga jenis frekuensi pemberiannya yaitu (saw, dua dan tiga
kali sehari).

3.2. Materi dan metode

Materi dan metode penelitian yang digunakan dalam Penelitian I adalah
sebagai berikut :

3.2.1. Babi

Pada Penelitian I digunakan sebanyak 40 ekor anak babi Bali betina lepas
sapih umur kurang lebih dua bulan dengan berat rata-rata 4.0 kg (3.5 - 5.8 kg).
Babi tersebut dibeli ditempat pengumpul bibit babi di Desa Bajera, Tabanan, Bali.
Sebelum babi diangkut ke tempat penelitian tiap ekor babi diberikan suntikan
vitamin B Komplek sebanyak 2 cc setiap ekor. Setiap babi diberi nomor kode
dengan melubangi daun telinga dengan ear stacher. Seminggu setelah berada
dalam kandang penelitian, semua babi diberi obat cacing merek Vennizyn
dengan takaran 3 g/lOkg bobot badan. SeIama pemeliharaan babi dirnandikan
setiap dua hari sekali berbarengan dengan penyemprotan lantai kandang. Air
yang digunakan untuk membersihkan kandang, berasal dari sumur yang berada
dekat kandang.

3.2.2. Kandang

Kandang yang digunakan adalah kandang individual dengan ukuran 2 x
1.5 x 1 m (panjang x lebar x tinggi). Lantai dan dinding kandang terbuat dari
beton. Ada 40 buah p e a kandang individu yang berada ddarn suatu bangunan
berukuran 30 x 5 m. Kerangka bangunan terbuat dari kayu, sedangkan atapnya
adalah ubin. Setiap petak kandang dilengkapi dengan tempat ransum dan air
minum. Seminggu sebeIum digunakan lantai dan dinding kandang dibersihkan
dan disemprot dengan 10% larutan fomalin. Setiap petak kandang diisi seekor
babi.

3.2.3. Ransum
Ransum yang digunakan dalam Penelitian Ini disusun dari bahan-bahan
lokal yang tersedia yaitu : jagung kuning, dedak padi halus, bungkil kelapa,
tepung ikan, lemak babi, batang pisang, mineral mix serta garam dapur. Pada
Penelitian I, digunakan 10 jenis ransum yang komposisinya dapat dilihat pada
Tabel 3.2.3.a dan kandungan nutrisinya pada Tabel 3.2.3.b.

Tabel 3.2.3.a. Komposisi ransum Penelitian I.
Komposisi bahan ransum (%)
Bahan
Jagung kuning
Dedak padi halus
Bungkil kelapa
Tepung ikan
Lemak babi
Batang pisang
Mineral mix *
Garam dapur
Total

* Mineral B lo. mengandung

: Ca=43-45%; PlO-12%; Fe=4,4%; Cu=0,044%;
Mn=0,397%; I=0,002%; NaCI=10%; Mg=3,3%; Zn=O,S%; dan
Cyanocobalamin=1,545mg/ kg.

3.2.4. Air minum
Pada setiap petak kandang disediakan waskom plastik di mana air bersih
selalu ditambahkan ke dalam waskom sehingga ternak dapat minum secara ad
libitum.Air rninum bersumber dari PDAM.

34

Tabel 3.2.3.b. Kandungan nutrisi ransum Penelitian I
Jenis ransum
R4

RI

De (Kcalikg)

3596 3523 3488 3720 3564 3584 3765 3598 3507

R2

R3

R5

R7 R8

Nutrien

R6

R10

R9

Standar

3550

3500

161.4

159 "

13.2

8.7

5-15 "

1.0

0-9 3'

2)

De/cp ratio

162

158 158.5 168.3 161.3 161.4 168.8 160.6 159.4

Lemak (%)

10.6 10.3 9.3

13.5 12.3 11.1

Ca (%)

1.1

1.1

1.1

1.2

1.1

1.2

1.2

1.2

P (%)

1.1

0.9 0.8

0.9

1.1

0.9

1.2

1.2

1.1

0.9

0-7 3'

Ca/P ratio

1.0

1.2

1.2

1.1

1.2

1.0

1.0

1.1

1.1

1.0-133'

Zn (PPM)

26.3 26.3 27.9 27.4 29.6 26.8 27.9 31.1 1 32.5

19.4

22-3g3)

1.0

1.3

16.5 16.4

.

1) A. R. C (1967)
2) N.R.C. (1979)
3) Japanese Feeding Standard For Swine (1993)-An Abriged Edition.

3.2.5 Bumbu guling
Jenis bumbu yang digunakan adalah campuran bumbu lengkap yang di
Bali diistilahkan dengan Base Gede. Carnpuran bumbu terdiri dari beberapa bahan
yaitu : bawang merah, bawang putih, Iengkuas, kunir, jahe, kencur, lombok
merah, cabai, cengkeh, merica, pda, kemiri, ketumbar, jangu, jinten, serai, daun
cerme, daun salam, terasi, garam dan minyak kelapa. Campuran bumbu
ditumbuk hingga lumat. Bumbu digunakan dengan takaran sebanyak 100 g
bumbu untuk setiap kg berat karkas.

3.2.6. Alat-alat bantu

Untuk menunjang proses penelitian digunakan beberapa alat bantu
sebagai berikut :

1.Timbangan

Ada beberapa jenis timbangan yang digunakan dalam Penelitian Ini yaitu :
dua buah timbangan Shalter kapasitas 100 kg dengan kepekaan 0.5 kg, dan
kapasitas 50 kg dengan kepekaan 0.1 kg. Tirnbangan jongkok kapasitas 5 kg
dengan kepekaan 10 gram. Timbangan- timbangan tersebut digunakan untuk
menimbang ternak maupun bahan-bahan ransum. Timbangan elektronik digital
merek Arlec Digital Scales kapasitas 2000 gram digunakan untuk menimbang
bagian-bagian jeroan.

2. Jangka sorong

Jangka Sorong digunakan untuk mengukur tebal lemak dan tebal kulit
karkas dan kulit guling.

3. Ear Stacher

Ear Stacher (pelubang telinga) digunakan untuk melubangi daun telinga
untuk memberi nomor kode pada babi.

4. Perlengkapan memotong babi

Seperangkat alat untuk memotong ternak terdiri dari : golok, pisau, tali
rapia, silet, ember tempat darah serta air panas dengan suhu70- 800C.Tersedia
juga kantong plastik tempat sampel daging dan botol plastik tempat sampel
darah.

5. Perlengkapan mengguling babi
Seperangkat perlengkapan untuk memanggang (mengguling babi) terdiri
dari : tangkai pemanggang dari kayu sebesar lengan, panjang 2 m, jarum yang
besar, paku dan bahan bakar dari serabut kelapa.

3.2.7. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan pada Penelitian I adalah rancangan acak
lengkap (R A L) (Steel dan Torries, 1989) dengan empat ulangan. Babi sebanyak
40 ekor dialokasikan secara acak ke dalam 10 kelompok perlakuan, sehingga

ulangan setiap perlakuan adalah empat ekor.

3.2.8. Pemberian ransum dan air minum

Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Ransum diberikan dua kali
sehari yaitu pukul 7.00 dan 16.00 WITA dengan jurnlah ransum yang diberikan
disesuaikan dengan berat babi dan konsumsi ransum sehari sebelumnya.

3.2.9. Pemotongan ternak
Pemotongan ternak dilakukan setelah berat rata-rata mencapai 15 kg.
Tiap-tiap perlakuan babi yang dipotong sebanyak tiga ekor dengan perincian
yaitu satu ekor untuk diguling dan dua ekor untuk analisa karkas. Pemotongan
dilakukan dengan menyemblih leher sehingga darah keluar lewat vena jugularis.
Setelah darah berhenti mengalir dan mati, babi dirnasukkan ke dalam air panas
(70 - 800C)seIama kira-kira 1.5 menit, lalu kuku, kulit ari serta bulu dihilangkan

sampai bersih. Selanjutnya organ-organ dalam dikeluarkan melalui irisan linea
mediana pada dinding perut.

3.2.10. Penggulingan babi
Proses penggulingan babi dapat dilihat pada sekema yang terdapat pada
lampiran. Proses yang digunakan untuk setiap babi diusahakan sama, sehin%ga
perbedaan pengaruh diIuar perlakuan dapat ditekan sekecil mungkin.

3.2.11. Metode pengukuran
Pengukuran yang dilakukan selama Penelitian I meliputi :

1. Pertambahan berat badan
Penimbangan berat badan babi dilakukan pada pagi hari sebelum diberi
makan atau minum. Penimbangan dilakukan dalam selang waktu 14 hari.
Timbangan yang digunakan untuk menimbang adalah timbangan Shalter
kapasitas 50 kg dengan kepekaan dua angka dibelakang koma dalam kg. Selisih

berat akhir dengan berat awal dibagi jangka pemeliharaan dalam hari adalah
merupakan pertambahan berat badan babi dalam kg per-hari.

2. Konsumsi ransum

Ransum yang diberikan maupun sisanya ditimbang setiap hari dengan
menggunakan timbangan jongkok kapasitas 5 kg dengan kepekaan 10 gram. Jurnlah ransum yang diberikan dikurangi ransum sisa adalah ransum yang
dikonsumsi (konsumsi ransum).

3. Keefisienan penggunaan makanan (KPM)

Bilangan KPM di dapat dengan membagi konsumsi ransum dengan
pertambahan berat badan dalam satuan ukuran yang sama.

4. Kualitas karkas

Pengukuran kualitas karkas meliputi :
a. Prosentase karkas.

Prosentase karkas didapatkan dengan membagi berat karkas
dengan berat hidup dikalikan 100 %, sedangkan prosentase karkas
guling didapat dengan membagi berat guling dengan berat hidup
dikalikan 100%.

b. Tebal lemak punggung
Tebal lemak punggung dari karkas maupun guling diukur di tiga
tempat yaitu :pada bagian punggung, dan berlawanan dengan
rusuk pertama, terakhir dan lumbar terakhir (Boggs and Merkel,
1982). Ketebalan lemak punggung diukur dengan jangka sorong
dan dinyatakan dalam cm.

c. Tebal kulit

Tebal kulit karkas maupun guling diukur dengan jangka sorong.
Sampel diambil di tiga tempat yaitu tempat-tempat yang sama
dengan pengambilan sample lemak punggung. Tebal kulit
dinyatakan dala