Klasifikasi, Efek Farmakologi Dan Indikasi Interferon

Klasifikasi, Efek Farmakologi Dan Indikasi Interferon
Soewarni Mansjoer
Bagian Farmasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Biosintesis interferon (IFN) dalam tubuh manusia terjadi berdasarkan jenis (asal)
sel terinfeksi dan bukan berdasarkan virus penginfeksi. Setiap sel kemungkinan
menghasilkan lebih dari satu tipe IFN, sehingga klasifikasi IFN berdasarkan asal sel
(leukosit, fibroblast dan limfosit T) mempunyai kelemahan. Klasifikasi lebih tepat
berdasarkan sifat antigenik yang membagi IFN menurut huruf Greek α, β dan τ . Efek
farmakologi IFN-α, β dan τ adalah antiviral dan antiproliferatif dengan perbedaan IFN-τ
merupakan imunomodulator yang mempengaruhi respons imun. Sitokin merupakan salah
satu pertahanan tubuh, pada penderita periodontitis peningkatan jumlah sitokin memberi
prospek penggunaan IFN di Bidang Kedokteran Gigi di masa yang akan datang.
PENDAHULUAN
Interferon yang diproduksi dan dipasarkan pabrik farmasi di luar negeri
kebanyakan adalah IFN-α dengan indikasi untuk berbagai infeksi virus, AIDS dan kanker
ganas, sedangkan IFN-β lebih terbatas terhadap penyakit AIDS dan IFN-τ dengan
indikasi kanker. Penggunaan IFN untuk pengobatan masih terus berkembang melalui

penelitian dalam Bidang Imunologi.
Tujuan penulisan ini untuk menguraikan penggunaan IFN sekarang dan
pengembangan di masa yang akan datang di Bidang Kedokteran maupun Kedokteran
Gigi.

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah penemuan
Isaacs dan Lindenmann sebagai penemu IFN pada tahun 1957 menjelaskan
penyebab terjadi interferensi viral yang sebelumnya hanya merupakan fenomena belaka.
Percobaan dilakukan secara in vitro terhadap kultur sel ayam yang diinfeksi dengan virus
influenza. Medium diambil dari kultur terinfeksi, dibebaskan dari sel dan virus. Ke kultur
sel yang sehat ditambahkan medium, kemudian diberi virus lain. Ternyata kultur tersebut
tidak terinfeksi. Isaacs dan Lindenmann mengambil kesimpulan bahwa kultur pertama
yang diinfeksi sel-sel nya telah distimulasi untuk menghasilkan zat yang larut dan dapat
berinterferensi dengan virus lain. Medium tersebut dinamakan interferon (Harper dan
Simmon, 1975; Butler, 1987; Klein, 1982). Juga diketahui bahwa medium yang sama
dapat mencegah sel-sel dari ayam lain terhadap infeksi berbagai virus tetapi tidak berlaku
1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara


bagi spesies lain (Butler, 1987).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa interferon adalah suatu senyawa
glikoprotein yang dibentuk oleh sel tubuh akibat berbagai rangsang, spesifik terhadap sel
inang tetapi tidak spesifik terhadap virus (Mutschler, 1986). Interferon dipakai untuk
tujuan pengobatan karena berkhasiat sebagai antiviral dan antiproliferatif, selain itu
sebagai imunomodulator (Anon.2, 1990).
Aksi interferon
Apabila sel terinfeksi virus, sel yang mungkin akan rusak atau mati memproduksi
interferon sebagai respons terhadap rangsang (stimuli) tersebut. Interferon kemudian
dibebaskan dan berikatan dengan reseptor pada sel lain (sel tetangga) yang belum
terinfeksi. Interferon akan menginduksi protein antiviral apabila sel tetangga tersebut
diserang virus. Selain virus penginfeksi, stimuli dapat berasal dari untai ganda RNA,
endotoksin, mitogen dan antigen (Roitt dkk., 1985).

Struktur dan sifat fisiko kimia
Tiga jenis utama IFN adalah IFN-α, β dan τ. Struktur 3-dimensi (IFN-α, dan β)
yang dipercaya dan disepakati terdiri dari komponen-komponen kumparan 4α, untaian
2β, dua jembatan disulfida dan dua terminal peptida (C dan N). Asam amino yang
terdapat pada IFN manusia telah ditentukan dengan molecular cloning.
Interferon-α termasuk sub-tipe nya mengandung 165-166 sisa asam amino. Setiap

sub-tipe berbeda 8-29 pada sisa asam amino. Juga terdapat dua jembatan disulfida untuk
menghubungkan struktur tertier dari molekul. IFN-β strukturnya mirip dengan IFN-α,
terdiri dari 166 sisa asam amino, 38 diantaranya identik dengan yang terdapat pada IFNα. Interferon-τ terdiri dari 146 sisa asam amino dan lebih mudah terdenaturasi
dibandingkan IFN-α dan β (Buttler, 1987).
Berat molekul IFN manusia bervariasi sekitar 16.000-23.000 dalton. Interferon
relatif tidak beracun (Mims dan White, 1984). Larut dalam air, stabil pada suhu 50oC
atau sedikit lebih tinggi. Aktivitas akan hilang bila dipanaskan pada temperatur 70oC
selama satu jam. Interferon-α dan β stabil pada pH: 2 sedangkan IFN-τ labil (Anon. 2,
1990; Wistreicht dan Lechtman, 1973; Foye, 1981).

Sifat biologi
Interferon merupakan antiviral antibiotik dengan spektrum lebar (Mims dan
White, 1984). Bersifat spesies spesifik dimana IFN manusia bekerja pada manusia dan
tidak pada kebanyakan spesies vertebrata. Interferon tikus bekerja pada tikus. Merupakan
pengecualian IFN manusia mempunyai aktivitas pada kelinci dan tikus (Klein, 1982).
Reaktivitas silang dapat terjadi antara IFN manusia dan IFN monyet (Foye, 1981).
Sifat antiviral dari IFN tidak virus spesifik. Interferon yang diinduksi oleh
paramyxovirus juga efektif terhadap togavirus. Klonal tertentu dan sub-tipe mungkin
lebih efektif terhadap beberapa macam virus dibandingkan dengan yang lain untuk tipe
2

e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

sel yang sama. Kebanyakan gen- gen IFN-α dan β manusia tidak mengandung intron.
Hal ini memungkinkan IFN manusia dapat membentuk klonal pada sel bakteri dan ragi.
Intron terdapat pada IFN-τ manusia (Mims dan White, 1984).
Sensitivitas bervariasi tergantung dari virus penginduksi. Virus relatif resisten
terhadap IFN dimana virus tersebut sebagai induktor tetapi terhadap virus lain merupakan
inhibitor kuat. Interferon tidak menurunkan mutan yang resisten (Mims dan White,
1984).

Klasifikasi
Pada mulanya klasifikasi IFN berdasarkan tiga tipe asal sel: leukosit, fibroblast
dan linfosit T. Klasifikasi tersebut ternyata mempunyai kelemahan karena setiap sel
kemungkinan menghasilkan beberapa tipe IFN. Sifat anti-genik yang membagi IFN atas
tiga tipe menurut huruf Greek α, β dan τ merupakan klasifikasi yang lebih tepat. Selain
itu klasifikasi juga dapat berdasarkan penginduksi (Klein, 1982; Butler, 1987).
1. Berdasarkan Sifat Antigenik
1.1 IFN-α
Merupakan suatu produk leukosit (nama klasik: leucocyte interferon, LeIF).
Interferon-α manusia paling sedikit mempunyai lima perbedaan meskipun homolog

dan strukturnya sama. Sedikitnya ada 13 gen bebas pada IFN-α, bertempat di
kromosom 9 sel manusia. Gen-gen tidak mempunyai intron. Selain itu diketahui
adanya 6 pseudogenes (Butler, 1987).
1.2 IFN-β
Pada mula penemuannya merupakan produk fibroblast yang terinfeksi virus
sehingga dinamakan fibroblast interferon (FIF). Struktur mirip dengan IFN-α dan
memiliki reseptor yang sama. Perbedaan nyata dengan IFN-α ialah pada gen-gen,
host cell range, kurva dosis respons dan aksi sistolik terhadap sel (Klein, 1982).
Sama seperti IFN-α, gen IFN-β tidak mempunyai intron dan lokasinya berada pada
kromosom 2, 5 dan 9 (Butler, 1987; Anon.1, 1987).
1.3 IFN-τ
Disebut juga immune interferon. Berbeda dengan IFN-α, dan β, IFN-τ labil
pada pH: 2 dan sifatnya menunjukkan bukan saja sebagai antiviral tetapi juga sebagai
antiselular (antitumor). Kedua sifat ini berhubungan erat dengan respons imun. Gen
IFN-τ hanya sedikit homolog dengan gen IFN-α, dan β, mempunyai 3 intron dan
berlokasi pada kromosom 12 (Butler, 1987).

2. Berdasarkan Penginduksi
2.1 Tipe-I


3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Termasuk dalam tipe-I adalah IFN dengan penginduksi virus yaitu IFN-α, dan
β. Suatu virus dapat merangsang pembentukan IFN yang berbeda dalam spesies yang
berbeda, sedangkan virus yang berbeda dapat menghasilkan IFN yang sama pada
satu tipe sel. Dapat dikatakan, pembentukan IFN berdasarkan Cell Coded dan bukan
Virus Coded (Butler, 1987; Stewart dan Beswick, 1978).
2.2 tipe-II
Interferon-τ termasuk tipe-II, sebagai pengin-duksi adalah mitogen atau antigen
(Butler, 1987).

Efek farmakologi
Fase pertama pertahanan tubuh adalah imunitas bawaan, permukaan epitel
berusaha menjaga pengaruh yang merusak supaya berada di luar garis pertahanan.
Kebanyakan virus dan bakteri hanya dapat masuk ke jaringan melalui interaksi pada
permukaan sel yang khas. Bakteri yang berhasil memasuki sawar akan menghadapi dua
macam pertahanan. Pertama aktivitas spontan dari plasma yang berusaha mendestruksi
bakteri. Ke dua makrofag melalui reseptor nya berusaha menangkap bakteri. Fase ke dua
berupa respons imun, lebih banyak sel fagosit dan molekul efektor berperanan pada

infeksi yang membebaskan lebih banyak sitokin. Sintesis sitokin yang di stimulasi karena
makrofag telah mengenal konstituen mikroba disebut monokin. Sitokin yang dihasilkan
makrofag sebagai respons adanya mikroorganisme patogen akan disertai dengan
terjadinya radang yang menimbulkan gejala klinis berupa rasa sakit, jaringan kemerahan
dan pembengkakan di sekitar jaringan kena radang (Janeway dan Travers, 1994).
Periodontitis merupakan radang kronik pada jaringan yang menunjang gigi
umumnya menyebabkan kehilangan gigi. Respons lokal terhadap kehadiran bakteri
periodontopatik menyebabkan pelepasan berbagai mediator radang dan sitokin. Prabhu
dkk (1996) membuktikan keberadaan sitokin yang diproduksi oleh
“T helper”
yaitu Th 1 dan Th 2 dan sel kena radang yang berhubungan dengan periodontitis. Profil
sitokin mRNA berbeda signifikansi antara orang sehat dan penderita radang jaringan
gusi. IL6 dan IFN-alfa mRNA menunjukkan signifikansi yang lebih tinggi pada jaringan
yang sakit dibandingkan dengan yang sehat (Prabhu dkk., 1996).
Profil sitokin bervariasi pada biopsi radang periodontal. IFN gamma mRNA
paling menonjol pada radang gusi dapat diuji dari antigen-presenting-cell (APC) of
human gingival fibroblast (HGF). Hasilnya membuktikan bahwa IFN gamma tidak
berperan menginduksi proliferasi tetapi menekan atau menghambat proliferasi sel T yang
reaktif pada pembuluh darah perifer. Pengaturan respons imun oleh IFN gamma adalah
berbeda dan tergantung pada kondisi sel T. Dengan kata lain bahwa pada radang

periodontal hadir berbagai jenis sitokin yang bervariasi dan setiap sitokin bersifat
multifungsi (Okada dkk., 1996).

Secara garis besar interferon mempunyai tiga efek farmakologi yaitu:
1. Antiviral
Sebagai antiviral, IFN-α, dan β mempunyai tiga fungsi. Pertama adalah

4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

menghambat replikasi virus dengan cara mengaktivasi selular gen yang mengakibatkan
rusaknya mRNA dan terhambatnya translasi protein. Ke dua mengaktifkan sel natural
killer (NK) yang akan membunuh virus penginfeksi sel. Ke tiga dengan menginduksi
MHC (mayor histocompatibility complex) kelas 1 dan hadirnya antigen pada semua sel.
Berbeda dengan IFN-α, dan β aktivitas antiviral IFN-τ lebih berhubungan dengan
respons imun dan efektifnya sel T.
2. Antiproliferatif
Paucker et al. (1962) melaporkan bahwa IFN menghambat multiplikasi sel kultur.
Fenomena tersebut baru terpecahkah setelah Gresser dan Tovey (1978) menemukan
bahwa IFN juga menghambat pertumbuhan sel kanker (Mims dan White, 1984). Efek

antiproliferatif IFN tidak tergantung pada aktivitas sebagai antiviral. Walaupun
pembuktian molekular ini belum dimengerti secara jelas, diketahui bahwa produk-produk
protein sel tumor onkogenik direduksi oleh terapi IFN (Butler, 1987). Interferon bersifat
sitostatik bukan sitosidal, mampu menghambat pertumbuhan sel ganas dan sel normal
dari segala tipe (Mims dan White, 1984).
3. Imunomodulator
Perilaku IFN pada sistim imun lebih banyak sebagai pengontrol siklus kehidupan
sel NK dari pre menjadi mature. Sel NK juga dapat mensekresi IFN melalui kontak
dengan virus penginfeksi sel target dan terjadi umpan balik melalui mekanisme pengatur
kecepatan untuk mengeliminasi virus dari tubuh. Interferon meningkatkan sitostatik
limfosit Tc, aktivitas makrofag dan sel NK. Suatu kenyataan, IFN-τ tampil sebagai
limfokin yang dinamakan MAF (macrophage activating factor) berperanan mengaktivasi
makrofag (Mims dan White, 1984).
Efek samping
Gejala seperti influenza pada pemberian sistemik IFN-α antara lain berupa
demam pada suhu lebih dari 40oC, sakit kepala, menggigil, sakit otot, mual, muntah dan
diare. Sindrom yang sama juga ditunjukkan melalui terapi secara intralesi yang dapat
dicegah jika sebelumnya diberikan antipiretik. Efek samping lain adalah dipresi sumsum
tulang, leukopenia, trombositopenia, berkurangnya nafsu makan, eritema, mulut kering,
kulit kering, gagal ginjal dan kardiotoksisitas (Douglas, 1991).


Indikasi
Interferon α sangat efektif (90%) terhadap common cold yang disebabkan
rhinovirus tetapi tidak efektif untuk virus lainnya. Interferon α terbukti bermanfaat untuk
pengobatan leukemia sel rambut, AIDS yang berhubungan dengan sarkoma Karposi’s
maupun condylomata acuminata. Perkembangan herpes zooster dapat dihambat IFN-α
jika digunakan dosis awal tinggi yang diberikan secara intramuskular. Pemberian secara
topikal IFN-α lebih efektif jika dikombinasi dengan antiviral lain misalnya asiklovir,
trifludrin untuk pengobatan herpes keratoconjunctivitis. Penyebab infeksi kronik hepatitis
B dapat dikurangi dengan IFN-α. Interferon α tidak efektif untuk pengobatan infeksi
5
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

yang disebabkan cytomegalovirus (CMC) (Douglas, 1991). Ekskresi virus dan viremia
yang disebabkan CMC, herpes simplex dan virus Eipstein Barr dapat dicegah dengan
menggunakan IFN-β (Krim, 1980).
Rekombinan interferon alfa-2a (Referon A - Hoffman La Roche, Inc.) dan
rekombinan interferon alfa-2b (Intron A - Schering Corp.) diindikasikan untuk
pengobatan leukemia sel rambut, AIDS yang berhubungan dengan sarkoma Karposi's,
karsinoma kandung kemih, karsinoma renal, leukemia mielositik kronik, lymphomas nonHodkin's, maglinan melanoma, multi mieloma, mikosis fungoides. Selain dari itu

rekombinan alfa-2b digunakan untuk pengobatan condylomata acuminata, karsinoma
servial, papilomatosis laringeal. Interferon alfa-n1 (Wellferon - Burroughs Wellcome
Co.) untuk AIDS yang berhubungan dengan sarkoma Karposi's, virus papiloma bagi
penderita yang berulang kali mengalami papilomatosis pada saluran pernafasan (laring).
Rekombinan interferon beta (Betaseron-Triton Biosciences) untuk AIDS dan multi
sklerosis. Interferon gamma-1b yang diproduksi Genentech, Inc. diindikasikan terhadap
penyakit granulomatus kronik (Anon.2, 1990).

KESIMPULAN
1.
2.

3.

Penemuan IFN membuka cakrawala baru dalam pengobatan infeksi virus dan kanker.
Diantara ke tiga IFN paling banyak digunakan IFN-α dengan indikasi terhadap
penyakit-penyakit seperti : leukemia sel rambut, AIDS yang berhubungan dengan
sarkoma Karposi’s, karsinoma kandung kemih, leukemia mielositik kronik,
lymphonas non-Hodkin’s, papilomatosis dsb.
Harapan di masa datang IFN dapat digunakan untuk periodontitis.

KEPUSTAKAAN
Anonim 1, 1987, Drug Evaluation, Ed. ke- 6, American Medical Association, 1616.
Anonim 2, 1990, Drug Information for the Health Care Proffessional, United States
Phamacopeial Convention Inc., 1561-1564, 2876.
Butler, M., 1987, Animal Cell Technology: Principles and Products, Taylor & Francis,
New York, 65-67, 69-71.
Douglas, RG. 1991. Antimicrobial Agent. In, Gilman AG, Rall TW, Nies AS, Taylor P
(eds). The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed. ke- 8, Vol. II, New York,
Pergamon Press, Inc., 1189-1191.
Foye, W.D., 1981, Principles of Medicinal Chemistry, Ed. ke- 3., Lea & Febringer,
Philadelphia, 868.

6
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Harper, N.J. and Simmon A.B., 1975, Advances in Drug Research, Vol. 10, Academic
Press, London, 101.
Janeway, C.A. and Travers, P., 1994, Immuno Biology, the Immune System in Health and
Disease, Blackwell Scientific Publ., Oxford, 9:11 - 9:12
Klein J., 1982, Immunology, the Science of Self-Nonself Discrimination, A WileyInterscience Publ., New York, 597-598, 600.
Krim, M., 1980, Towards Tumor Therapy with Interferon, Part II, Interferon: In Vivo
Effects, The Journal of the American Society of Hematology, 55(6), 876-877.
Mims, C.A. and White, D.O, 1984, Viral Pathogenesis and Immunology, Blackwell
Scientific Publ., Oxford, 108-109, 169-170, 172, 174-175.
Mutschler, E., 1986, Arzneimittelwirkungen, terjemahan Dinamika Obat (Widianto, M.
Ranti A.S, 1991), Penerbit ITB, Bandung, 681.
Okada, H.; Murakami, S.; Kitamura, M.; Nozali, T.; Kusumoto, Y.; Hirano, H.;
Shimauchi, H.; Shimabukuro, Y.; Saho, T. 1996. Diagnostic strategies of periodontitis
based on the molecular mechanisms of periodontal tissue destruction. Oral Dis. 2 (1), 8795
Prabhu, A.; Michalowicz, BS.; Mathur, A. 1996. Detection of local and systemic
cytokines in adult periodontitis. J. Periodontol, 67(5). 515-522.
Roitt, I.M.; Brosthoff, J.; Male, D.K.; 1985, Immunology, Gower Medical Publishing,
London, 16.5, 18.5
Stewart, F.S. and Beswick, T.S.L., 1978, Bacteriology, Virology and Immunity, Ed. ke10, Balliere Tindall, London, 364.
Wistreich, G.A. and Lechtman, M.D., 1973, Microbiology and Human Disease, Glencoe
Press, New York, 370.

7
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara