farmakologi dan terapi II. docx

LEMBAR KERJA
1. KLARIFIKASI KATA SULIT
KS :
-

IMUNODULATOR

-

IMUNOSUPRESSIVE

-

ALERGI

-

SISTEM IMUN/ANTIBODI

-


ANTIGEN

-

ADJUVAN

-

IMUNODULATOR

-

HISTAMIN

-

ALERGI

KK :


2. PROBLEM KUNCI
a. Penyakit terkait imunodulator
b. Imunodulator sebagai terapi yang menjanjikan
c. Imunodulator sebagai terapi adjuvant
3. PERTANYAAN PERTANYAAN PENTING
1. Definisi imunodulator dan system imun
2. Pengertian imunodulator sebagai adjuvant
3. Contoh-contoh imunodulator
4. Golongan obat golongan imunodulator
5. Persyaratan untuk imunodulator
6. Contoh penyakit yang berkaitan dengan imun
7. Mekanisme kerja imunodulator pada alergi
4. Jawaban
1. Definisi imunodulator

Imunodulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan system kekebalan
tubuh dan dapat digunakan sebagai adjuvant sebagai terapi system imun (Pangkalan
ide. Dark chocolate healing. 2008 : 188)
Terapi Imunopotensiasi adalah upaya pengobatan untuk memperbaiki fungsi
sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem imun.

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non
spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral (Children Allergy
Centre.co.id).
Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki
sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya
berlebihan. Sistim imun terbagi atas dua jenis, yaitu sistim imun kongenital atau
nonspesifik dan sistim imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme
pertahanan tubuh oleh sistim imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan
tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang
dengan patogen yang sama. Imunomodulator digunakan pada pasien dengan
gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS, malnutrisi, alergi,
dan lain – lain. (Gemmy nastity. Al-fikr Vol 1 Nomor 1 Tahun 2010. 150)
Penyakit-penyakit alergi seperti asma, pilek alergi dan dermatitis alergika
adalah penyakit-penyakit yang patofisiologinya didasari oleh ketidakseimbangan
system imun, yang

mana terjadi dominasi jalur Th2. Oleh karena itu, terapi

imunomodulator yang mengurangi aktivitas sel-sel imun pada jalur Th2 sebaiknya

digunakan untuk meng atasi berbagai manifestasi penyakit alergi.

Terapi

imunomodulator yang telah digun akan antara lain adalah imunoterapi. Beberapa
tumbuhan obat seperti Phyllanthus niruri, Physalis angulata, Smilax officinalis, dan
Pfaffia paniculata dapat pula memodulasi sel-sel imun yang aktif secara berlebihan.
Selain itu, imunomodulator seperti Methotrexate, Cyclosporine, dan intravenous
immunoglobulin (IVIG) yang telah digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit
gangguan sistem imun mungkin dapat digunakan juga. Namun penggunaan ketiga
obat tersebut untuk mengatasi penyakit alergi khususnya asma masih sangat terbatas,
karena keterbatasan data yang menunjang penggunaannya dan potensi obat-obat

tersebut untuk menimbulkan efek samping. (Imunomodulator pada Penyakit Alergi.
Diana Krisanti Jasaputra Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Kristen Maranatha. Hal 1).
Penggunaan imunodulator juga dapat sebagai adjuvant artinya dapat
digunakan bersamaan dengan obat untuk meningkatkan kerja obat dengan
meningkatkan antibody. (dark chocolate healing. 2008 : 188).
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan

mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi
induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan
non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan
penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau sedikit
sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu
meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah
makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja
menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung
maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui
produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan
makro (Gambar 1). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya
saling berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan
mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek.
Sistim imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistim imun kongenital atau
nonspesifik dan sistim imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme
pertahanan tubuh oleh sistim imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan
tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang
dengan patogen yang sama. Sedangkan sistim imun didapat muncul setelah proses
mengenal oleh limfosit (clonal selection), yang tergantung pada paparan terhadap
patogen sebelumnya. Adanya sistim imun congenital memungkinkan respon imun

dini untuk melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan
untuk mengaktivasai limfosit (imunitas didapat). Mekanisme pertahanan tubuh ini
dibagi atas 3 fase4:

1) Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun kongenital
(makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap pathogen tanpa
diinduksi. Jika mikroorganisme (m.o) memiliki molekul permukaan yang dikenali
oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai benda asing, akan diserang atau
dihancurkan secara langsung. Bila m.o dikenali sebagai antibodi, maka protein
komplemen yang sesuai yang berada diplasma akan berikatan dengan m.o,
kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian
diserang atau dihancurkan.
2) Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi,
tetapi masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenalm.o melalui
jalur diatas. M.o akan terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang
diproduksi oleh hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein oleh fagosit dan
diserang serta dihancurkan.
3) Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah infeksi pertama,
ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan
sel efektor pertama.

2. Mekanisme imunodulator
Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling
berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin
terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek.

Gambar 1.mekanisme stimulant imun non spesifik
3. Contoh-contoh imunodulator
a. Imunostimulan biologik

 Nukleotida
Nukleotida terdapat pada air susu ibu. Akhir-akhir ini banyak susu formula
yang diberi suplementasi nukleotida. Pada penelitian uji banding kasus yang
dilakukan pada bayi, satu kelompok diberikan susu ibu atau susu formula yang
disuplementasi nukleotida, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan
susu formula tanpa nukleotida, ternyata terdapat peningkatan aktifitas sel NK
pada bayi-bayi yang diberi susu ibu dan formula dengan nukleotida
dibandingkan bayi-bayi yang diberi susu formula tanpa nukleotida. Peneliti
yang sama mendapatkan peningkatan produksi IL-2 oleh sel monosit pada
kelompok yang diberi susu formula dengan nukleotida. Nukleotida juga
mengaktifkan sel T dan sel B.


 Kolostrum
Kolostrum mengandung “interferon like substance”, dapat menyebabkan
aktifasi sitotoksisitas leukosit. Kolostrum juga mengandung makrofag yang
berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut imunoglobulin.

 Gonadotropin-releasing hormone’ (GnRH)

Gonadotropin-releasing hormone meningkatkan pertumbuhan makrofag, sel T
dan merangsang sumsum tulang, serta meningkatkan GM-CSF. Pada
percobaan binatang yang mengalami imunodefisiensi dengan meningkatkan
CD4 T limfosit dan kadar serum IgG total, sedangkan growth hormone

 Hormon timus
Hormon timus berperan dalam sel T dan modulasi sel T yang sudah matang.
Ada empat macam hormon timus, yaitu timosin a, timolin, timopoietin, dan
faktor timus humoral. Hormon tersebut digunakan untuk memperbaiki
gangguan fungsi sistem imun pada keadaan usia lanjut, kanker, autoimun, dan
kegagalan sistem imun pada pengobatan dengan imunosupresan. Pada kasus
tersebut pemberian hormon timus menimbulkan peningkatan jumlah dan

fungsi reseptor sel T serta beberapa aspek imunitas selular. Efek samping yang
mungkin timbul seperti pemberian hormon yang lain adalah reaksi alergi lokal
maupun sistemik.

 Limfokin
Limfokin atau sitokin dihasilkan oleh limfosit yang mengalami aktivasi. Ada
beberapa limfokin antara lain faktor aktivasi makrofag (MAF), faktor
pertumbuhan makrofag (MGF), faktor pertumbuhan sel T (IL-2), faktor
stimulasi koloni (CSF), interferon gamma. Faktor yang dihasilkan oleh
makrofag misalnya faktor nekrosis tumor (TNF). IL-2 dan TNF telah dapat
dibuat

dengan

bioteknologi

genetika.

TNF


pada

percobaan

dapat

menyembuhkan beberapa tumor pada tikus. Gangguan sintesis IL-2 ada
kaitannya dengan kanker, AIDS, usia lanjut dan penyakit autoimun.

 Interferon
Ada tiga macam interferon, interferon alfa (IFN-α) yang dihasilkan leukosit,
interferon beta (IFN-β) yang dihasilkan fibroblast, dan interferon gama (IFN-γ
= interferon imun) yang dihasilkan oleh sel T yang teraktivasi. Interferon
mempunyai khasiat dapat menghambat replikasi DNA dan RNA virus, sel
normal dan sel ganas, dapat memodulasi sistem imun. Interferon dalam dosis
tinggi menghambat penggandaan sel B dan sel T sehingga menurunkan
respons imun selular dan humoral, dan dalam dosis rendah mengatur produksi

antibodi serta merangsang sistem imun yaitu meningkatkan aktivitas
membunuh sel NK, makrofag dan sel T. Efek sampingnya adalah demam,

malaise, mialgia, mual, muntah, mencret, leukopenia, trombositopenia, dan
aritmia.

 Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal diproduksi secara rekayasa bioteknologi. Dengan cara
ini akan dihasilkan antibodi dalam jumlah banyak terhadap epitop tunggal
antigen yang dikehendaki. Penggunaannya bersama radioisotop, toksin atau
obat lain terutama pada pengobatan neoplasma. Antibodi monoklonal dapat
mengikat komplemen untuk membunuh sel tumor manusia dan tikus pada
percobaan in vivo.

 Bahan dari jamur
Bahan yang dapat diisolasi dari jamur antara lain lentinan, krestin dan
schizophyllan. Efek imunostimulasinya adalah meningkatkan fungsi makrofag.
Krestin dan lentinan sebagai imunostimulator nonspesifik telah banyak
digunakan pada pengobatan kanker.

 Bahan dari bakteri
1. Corynebacterium parvum Corynebacterium parvum adalah kuman Gram
positif. Digunakan sebagai imunostimulator dalam bentuk suspensi kuman
yang telah dimatikan dengan pemanasan. Dalam klinik digunakan untuk
mencegah pertumbuhan tumor dan mengurangi metastasis.
2. Lactobacillus

acidophilus

Dalam

penelitian

merupakan

dapat

menyebabkan pergeseran pola Th-2 ke arah Th-1 walaupun hanya secara
lemah meningkatkan IFN-g.
3. Endotoksin

Endotoksin merupakan lipopolisakarida, komponen dari

dinding sel bakteri gram negatif seperti E. coli, shigela, dan salmonela.
Sebagai imunomodulator diketahui dapat merangsang penggandaan sel B
maupun sel T dan mengaktifkan makrofag. Masih bersifat eksperimen
karena bersifat pirogenik dan imunogenik.
b. Imunostimulan sintetik

 Echinacea
Farmakodinamik Echinacea adalah peningkatan fagositosis sel granulosit
manusia in vitro Levamisol Dalam klinik lazim dipakai sebagai obat cacing,
dan sebagai imunostimulan levamisol berkhasiat untuk meningkatkan
penggandaan sel T, menghambat sitotoksisitas sel T, mengembalikan anergi
pada beberapa kanker (bersifat stimulasi nonspesifik), meningkatkan efek
antigen, mitogen, limfokin dan faktor kemotaktik terhadap limfosit, granulosit
dan makrofag. Penggunaan klinisnya untuk mengobati artritis reumatoid,
penyakit virus, lupus eritematosus sistemik, sindrom nefrotik. Diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgBB per oral selama 2 minggu, kemudian dosis
pemeliharaan beberapa hari per minggu. Efek samping yang harus diperhatikan
adalah mual, muntah, urtikaria, dan agranulositosis.
 Isoprinosin Sebagai imunostimulator isoprinosin berkhasiat meningkatkan
penggandaan sel T, meningkatkan toksisitas sel T, membantu produksi IL-2
yang berperan dalam diferensiasi limfosit dan makrofag, serta meningkatkan
fungsi sel NK. Diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB. Perlu pemantauan kadar
asam urat darah karena pemberian isoprinosin dapat meningkatkan kadar asam
urat.
 Muramil dipeptida (MDP) MDP adalah komponen aktif terkecil dari dinding
sel mikobakterium. Bahan tersebut kini dapat dibuat secara sintetik. Sebagai
imunostimulan berkhasiat meningkatkan sekresi enzim dan monokin, serta
bersama minyak dan antigen dapat meningkatkan respons selular maupun
humoral. Dalam klinik telah banyak digunakan untuk pencegahan tumor dan
infeksi sebagai ajuvan vaksin.
 Vaksin BCG Dalam penelitian pada tikus, BCG mengurangi sensitisasi dan
mengurangi pembentukan IgE spesifik dan respons eosinofil terhadap
rangsangan alergen dan menginduksi produksi IFN-g. BCG

adalah

Mycobacterium

dalam

bovis

yang

dilemahkan.

Penggunaan

BCG

imunopotensiasi bermula dari pengamatan bahwa penderita tuberkulosis
kelihatan lebih kebal terhadap infeksi oleh jasad renik lain. Dalam
imunomodulasi BCG digunakan untuk mengaktifkan sel T, memperbaiki
produksi limfokin, dan mengaktifkan sel NK.
 Toksin kolera Toksin kolera subunit B yang berikatan dengan antigen
presenting cell mengaktifasi produksi sitokin oleh sel T.
 LW50020 LW50020 adalah suatu imunomodulator bakteria yang kini sedang
dalam penelitian, merupakan preparat beberapa bacteria yang biasanya
menyebabkan infeksi saluran nafas, bila diberikan per oral dapat meningkatkan
mekanisme pertahanan paru dengan meningkatkan migrasi limfosit lamina
propria dan limfosit Peyer’s patch. Penelitian ini dilakukan pada hewan coba
BALG/c mice.
 N,N’-Diacetyl-1 Cystein N,N’-Diacetyl-1 Cystein adalah suatu dimmer disulfit
dari N-acetylcystein pada penelitian dengan hewan percobaan BALB/c
meningkatkan sel CD8+ dan sensitifitas kontak.
 Acemannan

Acemannan adalah suatu b(1,4)-linked acetylated mannan,

mempunyai kasiat antivirus, diketahui menyebabkan aktivasi makrofag dan
dengan IFN-g menyebabkan apoptosis sel RAW264.7 melalui mekanisme
inhibisi ekspresi bcl-2. Pada penelitian lain acemannan meningkatkan sintesis
NO. Kenaikan ini didahului dengan peningkatan ekspresi mRNA NO synthase.
Diduga prosesnya melalui peningkatan NO synthase pada tingkat transkripsi.
 Polifenol Polifenol adalah zat aktif dari teh hitam Cammelia sinensis assamica
mempunyai khasiat imunopotensiator yaitu menaikkan aktifitas makrofag, sel
blast dan limfosit T sitotoksisitas.
 Vitamin A Pada percobaan binatang vitamin A meningkatkan aktifitas sel
neutrofil CD116, T CD8+, meningkatkan sekresi IL-2, IL-4, IL-10, IFN-g.

 Imunoterapi spesifik.

Imunoterapi spesifik adalah pemberian alergen dalam

dosis rendah meningkat berjenjang dengan ekstrak alergen yang sensitif
terhadap penderita. Saat ini yang diberikan adalah ekstrak alergen hirupan dan
bisa/sengat. Modulasi imun yang ditimbulkan adalah merubah keseimbangan
Th-1/Th-2 kearah Th-1. Pada beberapa penelitian imunoterapi meningkatkan
IL-2 dan IFN-g, menurunkan IL-4, IL-5 dan IL-13. Penelitian lain
menunjukkan peningkatan IgG4 dan menurunkan IgE. Kombinasi imunoterapi
dengan kortikosteroid menimbulkan modulasi imun lebih kuat ke arah Th-1.
Kortikosteroid menurunkan IL-5 lebih banyak, menyebabkan modulasi imun
peningkatan IL-2 lebih kuat. (children allergy centre.co.id)
4. Golongan imunodulator
Untuk memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan
yang fungsinya berlebihan.5
Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui5:
- Imunorestorasi
- Imunostimulasi
- Imunosupresi
Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation,
sedangkan imunosupresi disebut down regulation.5
A. Imunorestorasi
Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu
dengan

memberikan

berbagai

komponen

sistem

imun,

seperti:

immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune
Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi
sumsum tulang, hati dan timus.
1. IB. SG dan HSG Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada
penderita dengan defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder.
ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman. Defisiensi
imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam

jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal,
dermatitis eksfoliatif dan luka bakar.
2. Plasma
Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha
memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua
jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa
menimbulkan rasa sakit
3. Plasmapheresis
Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk
memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak
jaringan atau sel, seperti pada penyakit: miastenia gravis, sindroma
goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.
4. Leukopheresis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam
usaha terapi artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang
sudah
B. Imunortimulasi
Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki
fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem
tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahanbahan yang dapat
merubah respons imun, biasanya meningkatkan (Gemmy nastity. Al-fikr Vol 1
Nomor 1 Tahun 2010. 151).
5.

Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan berikut:
 Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.
 Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat
 Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.
 Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek samping
farmakologik yang merugikan.
 Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.
Dasar fungsional paramunitas
1) Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasanmediator.

2) Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik terhadap
antigen

tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitaslimfosit.

3) Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.
4) Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.
5) Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistemkomplemen
properdin-opsonin).
6) Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atauaktivator
lain.
7) Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.
Immunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau
menenangkan sistem kekebalan yang over aktif. Namun immonomodulator tidak
meningkatkan sistem kekebalan seperti yang dilakukan oleh immunostimulant (seperti
contohnya Echinacea). Immunomodulator direkomendasikan untuk orang-orang
dengan penyakit autoimun dan secara luas digunakan pada penyakit-penyakit kronik
untuk mengembalikan sistem kekebalan dalam rangka membantu orang-orang yang
mengkonsumsi antibiotik atau terapi anti virus jangka panjang (termasuk terapi
antiretroviral untuk pengobatan HIV). Immunomodulator bekerja dengan cara
menstimulasi sistem pertahanan natural atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan
sitokin yang secara alamiah akan membantu tubuh dalam memperbaiki sistem
kekebalan tubuh
Golongan sterol dan sterolin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah
immunomodulator yang sangat baik. Jenis ini bisa dengan mudah didapatkan dalam
segala macam buah-buahan dan sayuran segar. Namun kandungannya akan hilang
setelah dimasak. Ada beberapa nama obat atau produk (seperti Moducare) yang sangat
kaya dengan sterol dan sterolin. Immunomodulator alamiah lainnya termasuk ginseng,
chamomile tea, minuman lemon atau zaitun, ekstrak jamur resihi dan esktrak daun
zaitun. Berbagai obat yang mengandung immunomodulator jenis ini antara lain
Biobran, AHCC, Noxylane-4 dan MGN 3.
Pengobatan dengan immunomodulator sintetis, seperti azathioprine, 6mercaptopurine, methotrexate, and mycophenolate mofetil, akan bekerja dengan cara
mensupresi sistem imun dan menurunkan inflamasi di saluranpencernaan pada orang-

orang dengan inflammatory bowel disease, ulcerative colitis, dan Crohn’s disease.
Tacrolimus juga dapat digunakan pada Crohn’s disease pada saat penyakit tersebut
sudah tidak efektif lagi terhadap pemberian kortikosteroid. Pada anak-anak,
immunomodulator lebih jarang menimbulkan gagal pertumbuhan (jika dibandingkan
dengan pemberian kortikosteroid).
6. Penyakit yang berkaitan dengan sistem imun
Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh, guna melindungi tubuh dari
berbagai ancaman seperti mikroorganisme penyebab infeksi. Secara garis besar, sistem
imun terbagi dalam dua jalur, yaitu jalur T helper 1(Th1), yang bertanggung jawab
untuk mengaktifkan imunitas seluler dan jalur T helper 2(Th2), yang bertanggung
jawab untuk mengaktifkan imunitas humoral. Jalur Th1 dan Th2 dalam keadaan
normal berada dalam keadaan seimbang. Bila keseimbangan ini terganggu maka
keadaan tersebut dapat menimbulkan beberapa penyakit, antara lain penyakit alergi.
Ketidakseimbangan yang terjadi pada penyakit alergi adalah peningkatan
aktivitas Th2. Manifestasi penyakit alergi dapat berupa pilek alergi, asma alergi,
dermatitis alergika, dan urtikaria. Seperti telah disebutkan, patofisiologi penyakitpenyakit alergi adalah ketidakseimbangan sistem imun, yang mana jalur Th2 lebih
dominan. Oleh karena itu, terapi imunomodulator yang mengurangi aktivitas sel-sel
imun pada jalur Th2 sebaiknya digunakan untuk mengatasi ber-bagai manifestasi
penyakit alergi. Terapi imunomodulator yang telah digunakan antara lain adalah
imunoterap
-

Imunoterapi
Imunoterapi merupakan suatu bentuk imunomodulasi yang dapat mengurangi
hiper-sensitifitas terhadap alergen. Menurut pendapat umum saat ini, penyakit
alergi merupakan respon sel Th2 yang menyebab-kan sintesis IgE dan inflamasi
kronis eosinofil. Imunoterapi dilakukan dengan cara membe-rikan alergen spesifik
pada individu yang alergi secara bertahap dengan dosis yang mula-mula rendah
kemudian dinaikkan sedikit demi sedikit sampai mencapai dosis maksimal.

7.

Mekanisme imunoterapi

Berikut ini beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja imunoterapi:
a.

Antibodi penghalang (Block-ing antibody). Imunoterapi menginduksi IgG
spesifik alergen atau antibodi peng-halang, yang bersaing de-ngan IgE untuk
berikatan dengan alergen. Namun, beberapa penelitian menun-jukkan adanya
perbaikan kli-nis tanpa adanya pening-katan IgG spesifik-alergen.

b.

Penurunan IgE, Imunoterapi menghasilkan penurunan IgE spesifik-alergen.
Penu-runan ini terjadi bertahap. Pada tahap awal terjadi peningkatan yang
kemudian diikuti penurunan.

c.

Modulasi mastosit dan baso-fil. Imunoterapi memodulasi fungsi sel target dan
mere-duksi pelepasan mediator dari mastosit dan basofil, walaupun IgE spesifik
dapat dijumpai pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan o-leh adanya
penurunan pelepasan histamin pascaimuno-terapi dari basofil darah setelah
paparan alergen in vitro, yang didahului oleh menurunnya IgE spesifik a-tau
suatu peningkatan IgG spesifik.

d.

Peningkatan aktivitas lim-fosit Th1 dengan peningkat-an interferon gamma dan
penurunan aktivitas limfosit Th2 dengan penurunan IL-4 dan IL-5.
(Imunomodulator pada Penyakit Alergi. Diana Krisanti Jasaputra Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Hal 2).

KASUS

SKENARIO “MENCIPTAKAN HUBUNGAN TERAPEUTIK”
Seorang laki-laki 33 tahun ras Cina pekerjaan wiraswasta datang ke Internis dengan keluhan
kepala terasa berat sejak 1 bulan. Kepala terasa berat ini terutama dirasakan setiap pagi hari dan
mulai berkurang pada siang dan malam hari. Tetapi akhir-akhir ini kepala terasa berat dirasakan
hampir setiap hari. Penderita juga mengeluh lemah pada badan yang juga dirasakan sejak 1
bulan. Terasa pegal-pegal pada seluruh badan kadang disertai flu, dan badan sumer-sumer.
Kadang-kadang penderita juga mengeluh mual-mual tapi tidak sampai muntah. Terasa tidak enak
di bagian ulu hati seperti terasa penuh berisi makanan. Penderita juga mengeluh perut kanan atas
terasa sebah, tidak pernah mengeluh mata kuning, tidak pernah mengeluh kencing warna seperti
air teh. Penderita tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. Penderita mempunyai
kebiasaan minum-minuman beralkohol, kebiasaan memakai narkoba dengan jarum suntik serta
narkoba jenis yang diminum. Tetapi sejak penderita sakit, penderita sudah berhenti minumminuman keras dan memakai narkoba. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita dengan
kesadaran kompos mentis, keadaan umum baik, pada lengan penderita tampak tatto, status gizi
penderita baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit regular, isi cukup, respirasi 18
x/mnt, dengan temperatur aksila 36,20 C. pada pemeriksaan mata pada konjungtiva palpebra
tidak ada anemi, sklera tidak icterus, tidak ada odema palpebra. Pada pemeriksaan THT tidak
ditemukan kelainan. Pemeriksaan dada tampak simetris, suara nafas vesikuler, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada. Suara jantung S1 dan S2 tunggal, murmur tidak ada. Pemeriksaan abdomen
tidak tampak distensi, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan ekstremitas
hangat dan tidak ditemukan edema. Dari pemeriksaan laboratorium tanggal 23 Nopember 2005
didapatkan SGOT 165 U/l, SGPT 119 U/l, bilirubin total 0,84 mg/dl, bilirubin direk 0,13 mg/ dl,
glukosa puasa 85 mg/dl, kolesterol total 179 mg/dl, kolesterol LDL 140 mg/dl, kolesterol HDL
34 mg/dl, TG 107 mg/dl, asam urat 8,4 mg/dl. Pada tanggal 26 Nopember 2005 diperiksa HBsAg
(+), anti HCV (+), serum kreatinin 0,9 mg/dl, ureum 29 mg/dl. Dari pemeriksaan darah lengkap
didapatkan WBC 12,3 /ul, HGB 14,9 g/dl, PLT 182 x103 /ul. USG abdomen didapatkan hasil
liver ukuran membesar, permukaan rata tepi tajam, echoparenchyme meningkat difuse, tidak
tampak nodul, liver kidney contrast (+), lain-lain kesan normal. Kesan USG adalah fattyliver.
Dari pemeriksaan imunoserologi tanggal 28 Nopember 2005 didapatkan anti HCV reaktif, anti
HBc IgM non reaktif, HBeAg reaktif, anti HBe non reaktif. Pada tanggal 30 Nopember 2005
pemeriksaan protrombin time 11,7 detik, INR 0,7. HCV-RNA (+)1,61 x 103 IU/ml, pada tanggal

2 Desember dilakukan Biopsi hati pemeriksaan mikroskopis didapatkan jaringan hepar dengan
portal triads, sel hepar dengan balloning degeneration dan focal necrosis, lobolus hepar sebagian
besar masih baik, pada daerah portal sudah ada moderate piece meal necrosis dan moderate
portal infiltrate of inflamatory cells (grade 3), sudah ada fibrosis periportal dan belum ada portal
to portal fibrosis (stage 1). Sirosis tidak ada, tidak ada tanda-tanda keganasan. Kesimpulan
diagnosis PA adalah kronik hepatitis (B dan C) with moderate piece-meal necrosis dan moderate
portal infiltrate (inflamatori grade 3) with fibrotic portal tracts (stage 1). Pada jaringan biopsy
hepar telah dilakukan ASPCR dengan hasil adanya mutasi pada gen p53 pada
kodon 249. Penderita diterapi dengan PEG INF alfa 80 mg/ minggu, ribavirin 6 tablet/hari, 3TC
100 mg/hr. Terapi ini diberikan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan penderita tidak
menunjukkan intoleransi terhadap obatobatan anti virus tersebut. Berdasarkan evaluasi ulangan
dalam 1 bulan terapi dilakukan pemeriksaan pada tangal 11 Januari 2006 dengan HCV-RNA
virus tidak terdeteksi. Pada tanggal 6 Juli 2006 dilakukan pemeriksaan HBsAg (+), HBeAg (+),
SGOT 25 U/L, SGPT 32 U/L. HCV-RNA kualitatif (-), tapi HBsAg masih (+) dengan SGPT dan
SGOT masih dalam batas normal sehinga pada tanggal 6 Juli 2006 3TC di hentikan
pemberiannya. Pada evaluasi ulangan tanggal 7 Agustus 2006 didapatkan kadar SGPT 91,9 U/L,
SGOT 51,3 U/L. Pemeriksaan USG abdomen kesan tidak jauh berbeda dengan USG sebelumnya
yaitu fatty liver.
1. KLARIFIKASI KATA SULIT DAN KATA-KATA PENTING
KS :
-

vesikuler
ronchi
wheezing
distensi
ekstremitas
edema
echoparenchyme
fattyliver
Biopsi hati
balloning degeneration
focal necrosis
lobolus

-

kronik hepatitis (B dan C) with moderate piece-meal necrosis dan moderate
portal infiltrate (inflamatori grade 3) with fibrotic portal tracts (stage 1).

KP :
-

Hepatitis kronik B dan C

-

Imunodulator

-

Fatty liver

-

Inflamatori grade 3

-

Fibrotic portal tracts (stg 1)

2. KATA/PROBLEM KUNCI
-

Hepatitis kronis B dan C

-

Antiviral

-

Imunodulator IFN

3. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
1. Tujuan pemberian antiviral pada pasien ini
2. Pengertian hepatitis kronik B dan C
3. Pada kondisi bagaimana sehingga pasien dapat diberikan antiviral
4. Prosedur pemberian antiviral
5. Bagaimana mekanisme kerja kelompok imodulasi INF itu?
4. JAWABAN
Gambaran klinis :
Menurut penelitian sekitar 90-95% dari KHP (kanker hati primer) disebabkan oleh infeksi
virus hepatitis B dan C. Diperkirakan ada sekitar 450 juta penduduk sebagai kronik karier
hepatitis B dan 200 juta sebagai karier hepatitis C.1,2 Proses terjadinya KHP pada infeksi
virus hepatitis B ada tiga tingkat yaitu : Inisiasi, Promosi, dan Progresi.3 Pada tahap
inisiasi terjadi integrasi antara genom virus hepatitis B kedalam genom hepatosit. Pada
tahap promosi mulai terjadi ekspansi klonal dari sel-sel yang telah terangsang dalam
tahap inisiasi. Pada tahap progresi sel-sel yang telah mengalami transformasi keganasan
akan mengalami replikasi lebih lanjut. Pada penderita dengan hepatitis B kejadian KHP
bisa langsung terjadi tanpa melalui proses sirosis, tetapi untuk hepatitis C selalu melalui
proses sirosis.3,4 Peran dari gen p53 yang merupakan tumor supressor gen dalam
terjadinya KHP sangat penting baik dari pengaturan pertumbuhan sel dan proses

apoptosis.2 Infeksi virus hepatitis B dan C menghambat gen tersebut dan sering terjadi
mutasi pada gen tersebut. Khusus pada KHP sering terjadi mutasi pada kodon 249 gen
p53, hal ini diduga sebagai salah satu pemicu terjadinya KHP. Adanya mutasi gen p53
banyak didapatkan pada jaringan hati yang mengalami keganasan. Dulu dengan metoda
SSCP (single-stranded conformational polymorphism) mutasi gen p53 hanya didapatkan
pada jaringan ganas dan tidak bisa dideteksi pada jaringan yang belum mengalami
keganasan. Namun dengan metode yang lebih canggih seperti AS-PCR (allele-specific
polymerase chain reaction) beberapa peneliti melaporkan terdeteksinya mutasi gen p53
pada jaringan hati yang belum mengalami keganasan. (J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2
Mei 2007).
Virus Hepatitis B (HBV) termasuk dalam famili hepadnaviridae. Infeksi kronik
HBV merupakan masalah kesehatan dunia yang serius, terutama di Asia, dimana terdapat
sedikitnya 75% dari 350 juta individu HBsAg positif menetap di seluruh dunia. Di AsiaPasifik, infeksi HBV biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa
kanak-kanak. Dengan berkembangnya bidang biologi molekuler dan pemahaman tentang
patogenesis HBV, telah ditemukan adalnya covalently closed circular DNA yang
memegang peranan penting terjadinya infeksi kronik HBV. Infeksi kronik HBV
merupakan suatu keadaan dinamis dimana terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan
system imun penjamu.
Perjalanan alami penyakit HBV sangat kompleks, dengan adanya kemajuan dalam
pemeriksaan HBV DNA, siklus HBV, respon imun dan pemahaman mengenai genom
HBV yang lebih baik, maka perjalanan alami penyakit HBV dibagi menjadi 4 fase, yaitu:
a.

Immune tolerance
Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi, kadar
ALT yang normal dan gambaran histology hati yang normal atau perubahan yang
minimal. Fase ini dapat berlangsung 1-4 dekade. Fase ini biasanya berlangsung lama
pada penderita yang terinfeksi perinatal, dan biasanya serokonversi spontan jarang
terjadi, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg biasanya tidak efektif.
Fase ini biasanya tidak memberikan gejala klinis

b.

Immune clearance

Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi atau
berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histology hati menunjukkan
keradangan yang aktif, hal ini merupakan kelanjutan dari fase immune clearance.
Pada beberapa kasus, sirosis hati sering terjadi pada fase ini. Pada fase ini biasanya
saat yang tepat untuk diterapi.
c.

Inactive HBsAg carrier state
Fase ini biasanya bersifat jinak (70-80%), ditandai dengan HBeAg negative, antiHBe
positif (serokonversi HBeAg), kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi,
gambara histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau hepatitis yang
ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan, dan biasanya menunjukkan prognosis
yang baik bila cepat dicapai oleh seorang penderita.

d.

Reactivation
Fase ini dapat terjadi pada sebagian penderita secara spontan dimana kembalinya
replikasi virus HBV DNA, ditandai dengan HBeAg negative, Anti HBe positif, kadar
HBV DNA yang positif atau dapat terdeteksi, ALT yang meningkat serta gambaran
histology hati menunjukkan proses nekroinflamasi yang aktif
Penelitian yang melibatkan banyak penderita hepatitis B kronik di Taiwan
menunjukkan pentingnya kadar serum HBV DNA, bahwa peningkatan kadar serum
HBV DNA (

10.000 kopi/ml) adalah predictor risiko yang penting terhadap

resiko kejadian sirosis dan kanker hati, dan tidak terkait dengan kadar HBeAg, kadar
ALT.
Angka kejadian sirosis hati 2 kali lebih tinggi pada pasien dengan HBeAg negatif
dibandingkan pasien HBeAg-positif Pada pasien kronik HBV dengan HBeAg positif,
angka kejadian sirosis di Asia dan Eropa selama 5 tahun berturut-turut adalah 8% dan
17%. Pada pasien kronik HBV HBe-negatif angka tersebut meningkat 2 kalinya
sebesar13 % dan 38 %. Rata-rata resiko sirosis hati pada kronik HBV sebesar 30-40
%, dan resiko pasien sirosis untuk menjadi kanker hati lebih dari 17 %. Dan lebih
dari 15 % pasien kronik HBV mengalami dekompensasi hati. Dengan menekan
serum HBV DNA serendah mungkin hingga HBV DNA tak terdeteksi, maka resiko
komplikasi hati pun semakin berkurang.

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk menekan secara
permanen HBV sehingga dapat mengurangi patogenitas virus hepatitis. Tujuan
jangka pendek adalah untuk menghilangka HBV DNA (disertai dengan serokonversi
pada pasien kronik HBeAg positif menjadi anti HBe), normalisasi ALT dan
mengurangi inflamasi hati, sedangkan tujuan jangka panjangnya diharapkan dapat
mencegah terjadinya dekompensasi hati, perkembangan kearah sirosis dan kanker
hati ( hepatoselular karsinoma). Berdasarkan panduan terbaru dari APASL 2008
terapi dapat dilakukan bila ALT > 2ULN ( upper limit normal ) dengan HBV DNA >
100.000 kopi/ml untuk pasien HBeAg positif hepatitis B kronik dan HBV DNA >
10.000 kopi/ml untuk pasien HBeAg negatif hepatitis B kronik. Dan perlu dicurigai
pasien dengan ALT normal tetapi HBV DNA tinggi(terutama pasien dengan usia > 40
tahun), pasien ini harus dilakukan biopsy untuk menilai derajat kerusakan hati, bila
hasil biopsy menunjukkan adanya fibrosis (F2/F3/F4) maka sebaiknya diterapi.
Pengobatan hepatitis B kronik biasanya long therm (jangka panjang), walaupun
demikian, bedasarkan panduan APASL 2008, terapi pada pasien HBeAg positif dapat
dihentikan jika HBeAg serokonversi disertai dengan 2 kali pemeriksaan HBV DNA
negatif berturut-turut berselang 6 bulan. Tidak ada panduan yang baku tentang kapan
diberhentikannya terapi pada pasien HBeAg negatif, tetapi berdasarkan panduan
APASL 2008, terapi “dipertimbangkan” untuk diberhentikan bila 3 kali berturut-turut
pemerikasaan HBV DNA selang 6 bulan negatif.
(Rino A Gani, Dr, SpPD-KGEH Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo. 2005)
Perangkat Diagnostik :
Dengan dijumpai adanya infeksi gabungan hepatitis kronik B dan C, HBsAg (+), HBeAg
(+), anti HCV (+), HCV RNA (+), adanya mutasi pada gen p53 ini diharapkan bisa
sebagai diagnosa dini dari kemungkinan akan terjadinya KHP. Karena viral load yang
tinggi merupakan faktor risiko tinggi untuk terjadi KHP. Sehingga pencegahan bisa
dilakukan lebih dini seperti pemberian anti virus yang efektip lebih awal dengan harapan
bisa mengurangi viral load dalam jaringan hati.

Penatalaksanaan :
Saat ini ada 6 obat yang dapat digunakan untuk terapi hepatitis B kronik yaitu
immunomodulator (konvensional dan pegilated interferon), lamivudin, adefovir,
entecavir, dan yang terbaru telbivudine.
1. Interferon (IFN_)
Bekerja sebagai imunomodulator, antiproliferatif, dan antiviral. IFN adalah obat
pertama yang digunakan untuk terapi hepatitis B kronik. Yang beredar saat ini
adalah interferon alfa 2a dan 2b, serta pegilasi alfa 2a dan 2b. IFN berikatan
dengan reseptor pada membran sel untuk menghasilkan protein yang berfungsi
sebagai pertahanan sel terhadap virus hepatitis B. IFN mengaktivasi makrofag, sel
natural killer (NK), sel sitokin dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi
pembentukan antibody yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan
virus hepatitis B. HBeAg serokonversi dan HBsAg loss pada pasien HBeAg
positif hepatitis B kronik mencapai 33 % dan 7.8 % setelah 16 minggu
pengobatan dibandingkan 12 % dan 1.8% pada kontrol. Sedangkan HBV DNA tak
terdeteksi hanya mencapai 50 % pada pasien HBeAg positif. Relaps sering
ditemukan pada pasien HBeAg negatif walaupun HBV DNA sudah tak terdeteksi.
Genotip hepatitis B dapat digunakan untuk memprediksi respon peg-IFN alfa 2b,
dimana HBeAg loss dan HBsAg loss lebih tinggi pada genotip A dan B dibanding
genotip C dan D. Terapi IFN biasanya disertai efek samping flu-like symptom,
neutropenia, trombositopenia.
2. Lamivudine (LDV)
Bekerja dengan memutuskan sintesis DNA virus dan menghambat reverse
transcriptase. LDV memiliki resistensi yang tinggi baik pada pasien HBeAg
positif maupun HBeAg negatif. Resistensi LDV pada mutasi YMDD M204I/V.
Pada tahun ke 4, resistensi LDV mencapai 70%
3. Adefovir(ADV)

Bekerja dengan menghambat polymerase HBV berkompetisi langsung dengan
substrat endogen deoksiadenosin trifosfat sehingga rantai DNA virus hepatitis B
terhenti. Kekuatan supresi virus HBV DNA ADV lebih rendah dibanding LDV.
ADV dapat digunakan sebagai terapi pengganti pada LDV resisten, walaupun
demikian resistensi tetap terjadi pada ADV sebesar 30% setelah 5 tahun terapi.
Neprotoksik adalah efek samping dari penggunaan ADV.
4. Entecavir(ETV)
Bekerja menghambat replikasi virus pada jalur priming, sintesis strain negatif, dan
sintesis positif. Tidak ada resistensi pada tahun kedua, tetapi bagaimanapun
resistensi meningkat leboih dari 35% pada penggunaan LDV resisten. Perlu
diwaspadai penggunaan ETV pada pasien yang koinfeksi dengan HIV, penelitian
membuktikan terjadi mutasi pada M184V pada virus HIV, sehingga pasien hanya
dapat digunakan pada pasien yang tidak koinfeksi dengan HIV.
5. Telbivudine (LdT)
Merupakan analog timidin dan spesifik terhadap hepadnavirus. LdT spesifik dan
selektif menghambat HBV second-strand DNA syntesis dan polymerase DNA.
Supresi virus HBV DNA pada LdT secara siknifikan lebih tinggi dibanding
LDV(60 vs 40). Pada fase 2, LdT dapat mereduksi hingga 6.5 log dari level HBV
DNA dengan profile keamanan yang baik
Berikut ini perbandingan efikasi antara antiviral hepatitis B kronik (Table 1A.& 1B) :

Dan berikut ini adalah obat antivirus yang sedang dalam penelitian:

Dalam terapi pasien hepatitis B kronik, pemeriksaan HBV DNA pada 6 bulan
pertama adalah penting, karena dapat memprediksi hasil terapi kedepan, data dari
telbivudine, bahwa pasien hepatitis B kronik yang pada 6 bulan pertama mencapai HBV
DNA tak terdeteksi ternyata setelah tahun ke-2 pengobatan memberikan HBeAg
serkonversi sebesar 46%, HBV DNA tak terdeteksi sebesar 78 % pada pasien HBeAg
positif, dan 79 % pada pasien HBeAg negatif, 81% normalisasi ALT, serta resistensi
sebesar 2% dan 4% pada HBeAg negatif dan HBeAg positif.
Dari data tersebut diatas dibuatlah roadmap concept dalam terapi pasien perindividu:

(https://puskesmassimpangempat.wordpress.com/2009/06/30/perkembangan-terakhirtentang-hepatitis-b-kronis/)
5. TUJUAN PEMBELAJARAN SELANJUTNYA
1. Untuk mengetahui cara penanganan pada kasusu hepatitis A,B,C kronik
2. Mengetahui pharmaceutical care pada pasien dengan hepatitis B dan C kronik
6. INFORMASI TAMBAHAN
Rasional / Irrasional :
Penderita diterapi dengan PEG INF alfa 80 mg/ minggu, ribavirin 6 tablet/hari, 3TC
100 mg/hr. Terapi ini diberikan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan penderita tidak
menunjukkan intoleransi terhadap obatobatan anti virus tersebut. Pengobatan dengan
antiviral pada kasus ini telah sesuai dengan beberapa rekomendasi terapi antiviral pada
virus hepatitis B dan C. Terapi untuk hepatitis kronik B dari pasien ini dengan antiviral
hanya diberikan bila penderita menunjukkan HBeAg yang positif dan kadar VHB yang
tinggi (diatas 105 kopi/ml). Disamping itu obat-obatan antiviral juga diberikan bila ALT >
2 kali harga normal tertinggi.12,13 Pada kasus ini didapatkan dengan HBeAg (+), HBsAg
(+), ALT > 2X normal. Pertimbangan terapi anti viral pada pasien hepatitis C hanya

diberikan kalau penderita HCV RNA (+) serta peningkatan ALT diatas 2 kali harga
normal. Pasien anti HCV (+) belum tentu HCV RNA nya juga positif. Anti HCV yang
positif dengan HCV RNA yang negatif menunjukkan adanya infeksi hepatitis C dimasa
lalu (post infection).12-14 Pada kasus ini didapatkan dengan Anti HCV (+), HCV RNA
(+), ALT > 2X normal. Adanya infeksi gabungan virus hepatitis B dan C meningkatkan
risiko kejadian sirosis hati dan KHP.1 Risiko kejadian KHP pada penderita hepatitis
kronik B sendiri 25 . 35 kali lebih tinggi dibanding akibat keradangan non virus. Tapi
dengan adanya gabungan infeksi ini kejadiannya bisa mencapai 130 kali lebih tinggi.1,2
Banyak penelitian yang menunjukan bahwa pada 50-60% penderita KHP menunjukkan
adanya mutasi gen p53 terutama dalam bentuk mutasi dari AGG_AGT pada kodon 249
gen tersebut. Gen p53 mengkode protein p53 yang mempunyai 3 fungsi utama dalam sel
yaitu reparasi DNA, apoptosis, dan penghambat pertumbuhan sel. Ketidak mampuan
melaksanakan fungsi tersebut akan berakibat kacaunya pertumbuhan sel yang selanjutnya
menjelma menjadi sel kanker.5-7 Terdapat 2 mekanisme tidak berfungsinya p53 yaitu
pada level genetic terjadi mutasi titik dalam sekuens gen p53 dan pada level protein
terjadi inaktivasi fungsi p53 oleh onkoprotein. Beberapa protein onkogen yang dihasilkan
oleh virus dan diketahui mempengaruhi fungsi p53 adalah protein E6 oleh HPV tipe 16
pada kanker serviks dan protein X oleh virus hepatitis B pada karsinoma hati. Namun
sampai sekarang belum jelas benar peranan mutasi gen p53 dalam proses karsinogenik.
Hal ini antara lain disebakan karena dengan metode deteksi gen p53 yang lazim dipakai
seperti SSCP hanya dapat mendeteksi mutasi tersebut pada jaringan yang sudah
mengalami kanker. Pemberian kombinasi terapi antiviral pada hepatitis B yaitu
pemberian IFN dan lamivudin tidak memberikan manfaat berlebih dibandingkan dengan
terapi tunggal interferon saja. Tapi dengan adanya infeksi gabungan dengan hepatitis C
pemberian terapi kombinasi beberapa anti viral bisa dipertimbangkan. Tujuan terapi
antiviral pada kasus ini adalah untuk mengurangi viral load secara cepat pada pasien yang
sudah mengalami mutasi pada gen p53 di kodon 249 dengan harapan kejadian KHP bisa
di cegah.
7. KLARIFIKASI INFORMASI’
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal
namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-

virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik.
Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan
peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda
adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam
serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi
baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati. Hepatitis kronik dibedakan dengan
hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu
lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut
adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus
hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C. Infeksi
virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Hepatitis akut
walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C, dapat menyebabkan
penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Hepatitis kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien, lebih
lanjut dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan
kanker hati. Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus sejak awal infeksi sangat
penting untuk mencegah berlanjutnya penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin
timbul. Akhir-akhir ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak
yang berubah dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan
yang tepat.
Hepatitis
Tujuan pengobatan pada hepatitis kronik karena infeksi VHB adalah menekan
replikasi VHB sebelum terjadi kerusakan hati yang ireversibel. Saat ini, hanya interferonalfa (IFN-) dan nukleosida analog yang mempunyai bukti cukup banyak untuk
keberhasilan terapi. Respon pengobatan ditandai dengan menetapnya perubahan dari
HBeAg positif menjadi HBeAg negative dengan atau tanpa adanya anti-HBe. Hal ini
disertai dengan tidak terdeteksinya DNA-VHB (dengan metode non-amplifikasi) dan
perbaikan penyakit hati (normalisasi nilai ALT dan perbaikan gambaran histopatologi
apabila dilakukan biopsi hati). Umumnya pengobatan hepatitis B dibedakan antara pasien
dengan HBeAg positif dengan pasien dengan HBeAg negatif karena berbeda dalam
respon terhadap terapi dan manajemen pasien. Pengobatan antivirus hanya diindikasikan

pada kasus-kasus dengan peningkatan ALT. Interferon mempunyai efek antivirus,
antiproliferasi dan immunomodulator. Cara kerja interferon dalam pengobatan hepatitis
belum diketahui dengan pasti. Pada pasien dengan HBeAg positif, pemberian IFN- 3 juta
unit, 3 kali seminggu selama 6-12 bulan dapat member keberhasilan terapi (hilangnya
HBeAg yang menetap) pada 30 – 40 % pasien. Pasien dengan HBeAg negatif, respon
terapi dengan melihat perubahan HBeAg tidak bisa digunakan. Untuk pasien dalam
kelompok ini, respon terapi ditandai dengan tidak terdeteksinya DNA-VHB (dengan
metode non-amplifikasi) dan normalisasi ALT yang menetap setelah terapi dihentikan.
Respon menetap dapat dicapai pada 15 – 25% pasien. Penggunaan interferon juga dapat
menghilangkan HBsAg pada 7.8% pada pasien dengan HBeAg positif dan 2 – 8% pada
pasien dengan HBeAg negatif. Hilangnya HBsAg tidak tercapai pada penggunaan
lamivudin. Penggunaan pegylated-interferon alfa 2a selama 48 minggu pada pasien
hepatitis B kronik dengan HBe-Ag negatif setelah 24 minggu follow-up 59 % pasien
menunjukkan transaminase normal dan 43 % dengan DNA VHB yang rendah (< 20.000
copy/mL) dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan lamivudine saja (44 % dengan
transaminase normal dan 29 % dengan DNA VHB rendah). Lamivudin lebih kurang
menimbulkan efek samping dibandingkan dengan inteferon dan dapat digunakan per oral
sehingga lebih praktis untuk pasien. Lamivudin digunakan dengan dosis 100 mg per hari,
minimal selama 1 tahun. Kebehasilan terapi dengan menghilangnya HBeAg dicapai 1618% pasien. Angka keberhasilan terapi dapat lebih besar bila jangka waktu pengobatan
ditambahkan namun bersamaan dengan itu, timbulnya VHB mutan juga menjadi lebih
besar yang dapat menghambat keberhasilan terapi. Studi jangka panjang penggunaan
lamivudin menunjukkan obat ini dapat menurunkan angka kejadian komplikasi akibat
hepatitis kronik berat atau sirosis. Studi semacam ini belum ada pada interferon walaupun
angka keberhasilan serokonversi lebih besar dari pada lamivudin Nukleosida analog lain
seperti adefovir memberikan angka keberhasil terapi yang lebih kurang sama dengan
lamivudin tetapi kurang menimbulkan mutan sehingga dapat digunakan apabila
ditakutkan akan timbulnya virus mutan atau apabila pada penggunaan lamivudin sudah
timbul virus mutan. Entecavir memberikan angka keberhasilan serokonversi yang hampir
sama dengan lamivudin.

Hepatitis C
Pengobatan hepatitis C kronik pada dasarnya adalah dengan menggunakan
inteferon dan ribavirin. Inteferon monoterapi saja tidak dianjurkan karena relatif
rendahnya angka keberhasilan terapi. Keputusan pemberian interferon harus didasari
dengan adanya peningkatan ALT dan RNA VHC yang positif dalam serum. Konsensus
penanganan hepatitis C di Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya dilakukan
biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronik bisa sangat fluktuatif dan adanya
fibrosis yang signifikan tidak bisa diketahui tanpa dilakukan biopsi. Fibrosis pada pasien
hepatitis C kronik sangat menentukan terjadinya sirosis hati dan komplikasi penyakit hati
lanjut. Penggunaan inteferon alfa konvensional 3 – 5 juta U yang diberikan 3 kali
seminggu disertai ribavirin setiap hari pada pemberian selama 6 bulan, menghasilkan
keberhasilan terapi (RNA VHC yang tetap menghilang setelah 6 bulan pengobatan
diselesaikan) pada …….% pasien. Keberhasilan terapi dengan interferon akan lebih baik
pada mereka yang terinfeksi VHC dengan genotip 2 dan 3 dibandingkan dengan genotip
1 dan 4. Lama terapi juga berpengaruh dimana pemberian inteferon dan ribavirin selama
48 minggu, akan menghasilkan angka keberhasilan terapi yang lebih baik dari pada 24
minggu.
Fried MWet al, membandingkan pemberian interferon (IFN) alfa-2b dan ribavirin
dengan pegylated interferon (peg-IFN) alfa-2a (40KD) dan pegylated interferon (pegIFN) alfa-2b (40KD) plus ribavirin pada suatu multicentered clinical trial. Mereka
mendapatkan keberhasilan terapi yang menetap (sustain response) pada 56 % pasien yang
diberikan peg-IFN alfa2-b + ribavirin dibandingkan dengan 44 % pada pasien yang
mendapat terapi standar IFN-alfa 2b + ribavirin dan 29 % pada pasien yang mendapat
peg-IFN alfa 2a saja. Walaupun dalam konsensus beberapa asosiasi hep