Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown)

(1)

KAPASITAS ANTIOKSIDAN DAN

DAYA HIPOKOLESTEROLEMIK

EKSTRAK DAUN SUJI

(Pleomele angustifolia N.E. Brown)

ENDANG PRANGDIMURTI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

KAPASITAS ANTIOKSIDAN DAN DAYA

HIPOKOLESTEROLEMIK EKSTRAK DAUN SUJI

(

Pleomele angustifolia

N.E. Brown)

Adalah gagasan atau hasil penelitian disertasi karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2007

Endang Prangdimurti NRP F226010021/IPN


(3)

ENDANG PRANGDIMURTI 2007. Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). Di bawah bimbingan DEDDY MUCHTADI sebagai Ketua Komisi, serta MADE

ASTAWAN dan FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA sebagai Anggota Komisi.

Klorofil dan beberapa turunannya menunjukkan kemampuan antioksidatif secara in vitro dan ex vivo, serta daya hipokolesterolemik secara in vivo. Kedua aktivitas biologis ini berperan penting dalam menekan aterogenesis. Aterosklerosis dipicu oleh kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi. Mengingat ketersediaan klorofil di alam sangat besar, maka perlu adanya kajian manfaat klorofil untuk kesehatan, khususnya dalam menekan kejadian aterosklerosis.

Dalam penelitian ini digunakan daun suji jenis minor (Pleomele angustifolia N.E. Brown) sebagai sumber klorofil yang sejak dahulu kala telah digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber pewarna hijau alami untuk pangan dan juga untuk beberapa pengobatan tradisional. Klorofil alami bersifat lipofilik (larut lemak) karena keberadaan gugus fitolnya. Hidrolisis dengan asam atau klorofilase terhadap gugus tersebut akan mengubah klorofil menjadi turunannya yang larut air (hidrofilik), antara lain klorofilid dan klorofilin. Pencernaan secara in vitro dan pengujian tingkat penyerapan dengan menggunakan sel Caco2 menunjukkan bahwa penyerapan klorofilin 6-9 kali lebih besar dibanding klorofil alami. Oleh karena itu, konversi klorofil menjadi bentuk yang larut air diharapkan dapat meningkatkan manfaat biologisnya bagi kesehatan.

Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh ekstrak cair daun suji dengan kadar klorofil yang tinggi, dan menguji kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemik ekstrak daun suji baik secara in vitro maupun in vivo menggunakan tikus percobaan.

Penelitian ini diawali dengan kajian terhadap proses pembuatan ekstrak daun suji untuk memperoleh ekstrak dengan kadar klorofil dan kapasitas antioksidan yang tinggi. Perlakuan yang diberikan difokuskan pada jenis larutan pengekstrak dan lama inkubasi enzim. Larutan pengekstrak yang dicobakan yaitu NaHCO3 dan Na2CO3

masing-masing dengan konsentrasi 0.1%, 0.3% dan 0.5%, Na-sitrat 12 mM dan akuades sebagai pembanding. Selain itu diamati pula pengaruh penambahan Tween 80 (yaitu 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1%, b/v) ke dalam larutan pengekstrak dan lama inkubasi yang diberikan terhadap hancuran daun (yaitu tanpa diinkubasi dan diinkubasi pada 70-75oC selama 0, 30, 60 menit) terhadap ekstrak yang dihasilkan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan larutan pengekstrak Tween 80 0.75% dalam Na-sitrat 12 mM dan pemberian lama inkubasi selama 30 menit menghasilkan ekstrak daun suji yang terpilih (diberi kode ESTS/Ekstrak Daun Suji Tween – Na- Sitrat). Ekstrak ini memiliki kadar total klorofil 0.264 mg/ml, klorofil larut air 0.072 mg/ml dan kapasitas antioksidan 18%, atau berturut-turut 1,8 kali, 8 kali dan 10 kali lebih besar daripada ekstrak daun suji menggunakan air.

Pengamatan terhadap perubahan kadar klorofil dan kapasitas antioksidan ESTS selama pencernaan dilakukan dengan menggunakan simulasi kondisi pencernaan in vitro dikombinasikan dengan penggunaan kantung dialisis 6000-8000


(4)

klorofil yang terserap (terdialisis) sekitar 6.7% untuk ESTS (0.1 g/ml) dan 22% untuk larutan SCC 2.3 mM, dan selanjutnya menjadi bahan pertimbangan dosis pengujian in vivo.

Dalam pengujian kapasitas antioksidan secara in vivo digunakan tikus putih Sprague Dawley jantan sebanyak 3 kelompok, yaitu (1) kelompok suji (ESTS), (2) kelompok SCC dan (3) kelompok kontrol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemberian secara oral ESTS 0.14 g/ml maupun SCC 1 mM masing-masing sebanyak 2 ml selama 2 bulan tidak berpengaruh terhadap berat organ hati, limpa dan ginjal tikus. Pemberian ekstrak daun suji (ESTS) dan SCC meningkatkan status antioksidatif tubuh, yaitu masing-masing menurunkan kadar MDA hati sebesar 70% dan 46.6%, dan meningkatkan aktivitas SOD sebesar 25% dan 66%. Pemberian ESTS juga meningkatkan aktivitas katalase sebesar 40%.

Pengujian antioksidatif pada sistem LDL secara in vitro dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun suji (ESTS1), SCC dan ekstrak klorofil suji (KS)

masing-masing dengan kadar klorofil yang setara yaitu 0.041 mg/ml, serta ESTS2 dengan

kadar klorofil 0.082 mg/ml. SCC dapat menahan 100% oksidasi LDL oleh CuSO4,

sedangkan KS dan ESTS2 sebesar 39.7% dan 54.2%. ESTS1 tidak dapat menahan

oksidasi LDL. Pengujian lebih lanjut terhadap akumulasi kolesterol oleh makrofag menunjukkan bahwa ESTS2, KS dan SCC mampu menghambat akumulasi kolesterol

masing-masing sebesar 41, 37 dan 50%.

Dalam pengujian daya hipokolesterolemik ESTS secara in vivo, dilakukan dengan cara pemberian esktrak suji (ESTS) 0.3 mg/ml secara oral sebanyak 2 ml per hari kepada tikus Sprague Dawley jantan yang hiperkolesterolemia. Dalam waktu 8 hari, kelompok tikus yang diberi ESTS memiliki kadar total kolesterol serum yang lebih rendah (64.0 mg/dL) dan kadar LDL serum yang lebih rendah (15.3 mg/dL), dibandingkan kelompok kontrol (tikus hiperkolesterolemia yang diberi akuades) yang memiliki kadar total kolesterol serum 79.5 mg/dL dan LDL serum 26.5 mg/dL. Kandungan asam empedu isi sekum kelompok ESTS adalah sebesar 6.82 μmol/g lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sebesar 5.30 μmol/g. Studi lebih lanjut secara in vitro dilakukan untuk menduga mekanisme hipokolesterolemiknya, yaitu pengujian terhadap kapasitas ekstrak dalam menahan absorpsi asam empedu. Pengujian dengan menggunakan kantung dialisis 6000-8000 MWCO memperlihatkan bahwa ESTS mampu menghambat absorpsi asam empedu sebesar 41% relatif terhadap akuades, sehingga diduga penurunan kadar kolesterol plasma disebabkan oleh adanya mekanisme penghambatan reabsorpsi asam empedu ke dalam darah.


(5)

ENDANG PRANGDIMURTI 2007. Antioxidant Capacity dan Hypocholesterolemic Ability of Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) Leaf Extract. Under the guidance of DEDDY MUCHTADI as the Chairman, MADE

ASTAWAN and FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA as Advisory Committee

Members.

Numerous studies showed that chlorophyll and its derivatives had antioxidant activity in vitro and ex vivo, by acting as effective electron donors, and had cholesterol-lowering effect by means of animal studies. These biological activities were useful for retarding atherogenesis. Oxidized LDL plays a significant role in atherogenesis. Considering abundant of chlorophyll in nature, more intensive study on the health effects of chlorophyll is therefore required, especially in preventing atherosclerosis.

Suji leaves (Pleomele angustifolia N.E. Brown) are commonly consumed as food colorant and used as traditional health promoter. Suji leaves are main source of natural green colorant for food application in Indonesia, because of its high-chlorophyll content. Natural high-chlorophylls are lipophyllic that are due to the hydrophobic phytyl chain. Elimination of phytol moiety by action of chlorophyllase can convert liposoluble natural chlorophylls into water soluble chlorophyllides. The absorption of chlorophyllin was 6-9 times higher than that of natural chlorophyll, and chlorophyllin had greater antioxidant capacity than that of phytyllated chlorophyll. It is expected that the conversion chlorophyll into water soluble form can increase the health effects.

The objectives of this research were: (1) to develop the extraction method in order to obtain suji leaf liquid extract with high chlorophyll content and (2) to investigate the antioxidative capacity and hypocholesterolemic ability by using animal study and in vitro methods.

Several extraction conditions were tried in order to obtain liquid suji leaf extract which had high-chlorophyll content and high antioxidant capacity. This experiment was focused on selecting extraction solutions (Na2CO3, NaHCO3 and

Na-citrate 12 mM, either with or wihout the addition of Tween 80 each) and incubation time for chlorophyllase activity (0-60 minutes). The results showed that the extraction using 0.75% Tween 80 in Na-citrate 12 mM for 30 minutes incubation time yielded the best suji leaf extract (Tween-Citrate Suji Leaf Extract or TCSE). The extract had total chlorophyll content, water-soluble chlorophyll content and antioxidant capacity 1.8, 8 and 10 times higher than the suji leaf water extract. The TCSE was used then for in vivo assays.

SCC, a mixture of water soluble chlorophyll derivatives, had been used as both a food colorant and a common dietary supplement. The stability of TCSE and SCC (sodium copper chlorophyllin) during digestion were examined using in vitro model. The absorption level of chlorophyll was estimated by using 6000-8000 MWCO (molecular weight cut off) dialysis tubing. Chlorophyll content and antioxidant capacity of both of TCSE and SCC decreased during digestion, but SCC


(6)

Dawley rats, namely (1) TCSE group, (2) SCC group and (3) control group. Two-month oral administration of both TCSE (0.14 g/ml, 2 ml/day) and SCC (1 mM, 2 ml/day) did not affect the weight of liver, kidney and spleen. The TCSE group had 70% lower MDA level, and 46.6% higher activities of the liver catalase and the 25% higher activities liver superoxide dismutase than those of the control group.

Further study was assessment of antioxidant capacity of the TCSE, SCC and CS (chlorophyll from suji leaf) on LDL oxidation by CuSO4. The sample

concentrations used in this study were 0.041 mg/ml chlorophyll content (TCSE1,

SCC and CS) and 0.082 mg/ml chlorophyll content for TCSE2. TCSE 2, SCC and CS

were able to retard LDL oxidation by CuSO4, while TCSE 1 had no significant effect

on retarding LDL oxidation. In addition, TCSE2, SCC and CS above were able to

inhibit cholesterol accumulation on macrophage, by 41, 50, and 37 % respectively. These results indicated that TCSE might be useful for preventing of atherosclerosis

In vivo assessment of hypocholesterolemic effect was conducted by using hypercholesterolemic male Sprague Dawley rats. The TCSE group was administered orally by TCSE (0.3 g/ml, 2 ml/day) and the control group was administered by 2 ml aquades /day. After 8 day treatment, the TCSE group had lower serum cholesterol level (64.0 mg/dL) and LDL level (15.3 mg/dL) than those of the control group which had 79.5 mg/dL and 26.5 mg/dL, respectively. The TCSE group had cecal bile acid content (6.82 μmol/g) which was higher than that of the control group (5.30

μmol/g). In vitro assessment using 6000-8000 MWCO dialysis tubing showed that TCSE inhibited the absorption of bile acid for approximately 41%. It was suggested that the mechanism of hypocholesterolemic might lie in the action of TCSE to inhibit bile acid re-absorption from the gut into the bloodstream.


(7)

KAPASITAS ANTIOKSIDAN DAN

DAYA HIPOKOLESTEROLEMIK

EKSTRAK DAUN SUJI

(Pleomele angustifolia N.E. Brown)

ENDANG PRANGDIMURTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Nama : Endang Prangdimurti Nomor Pokok : F 226010021

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS Ketua

Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS Prof.Dr.Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 08 Februari 2007 Tanggal Lulus : 06 Maret 2007


(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(10)

i Alhamdulillahhirabbil ’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu memberi kasih sayang, kemudahan, dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Disertasi berjudul “Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS sebagai ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS dan Ibu Prof.Dr.Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala saran, bimbingan, motivasi dan kemudahan yang diberikan selama studi.

Terima kasih kepada Ibu drh Tutik Wresdiyati, PhD, selaku penguji luar pada ujian tertutup, serta Bapak Prof.Dr.drh. Dondin Sajuthi, MST dan Ibu Dr.dr.Purwantyastuti, MSc.SpFK selaku penguji luar pada ujian terbuka, atas saran, masukan, dan kebaikan yang diberikan.

Kepada Rektor dan Wakil Rektor IPB, Dekan dan pejabat Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pangan IPB, serta seluruh staf pengajar dan staf penunjang, penulis mengucapkan terima kasih atas pelayanan, kesempatan, fasilitas, bantuan moril dan materil yang diberikan.

Terima kasih kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas dukungan beasiswa BPPS semasa studi, dan juga atas diterimanya dana penelitian ini melalui program Hibah Bersaing XIII.

Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Hj. Ngatini, ayahanda Ir. H. Bambang Pranggodo, ibu mertua Hj. Kom Harkomah, bapak mertua Dr.H. Jon Sudiono, MES, beserta seluruh keluarga kakak-kakak dan adik-adik yang selalu memberi dorongan, motivasi dan doa yang tak kunjung putus. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. H. Yuri Yuriana Msi, dan buah hati tercinta Shanina Rosa Famila dan Yusuf Raihan Nabil,


(11)

ii Ucapan terima kasih kepada rekan sejawat di Program B ITP dan rekan-rekan IPN atas kerjasama dan bantuan selama ini, dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Pada disertasi ini mungkin masih terdapat beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran akan penulis terima dengan senang hati. Semoga disertasi ini menjadi amalan bagi penulis dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pangan. Amin.

Bogor, Februari 2007


(12)

iii Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Juli 1968, sebagai anak kedua dari pasangan Ir.H. Bambang Pranggodo dan Hj. Ngatini. Pada tanggal 6 Pebruari 1994 penulis menikah dengan Ir.H. Yuri Yuriana, Msi dan saat ini telah dikaruniai 2 orang anak yaitu Shanina Rosa Famila (12 tahun) dan Yusuf Raihan Nabil (8 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Jln Pengadilan 2 Bogor tahun 1980, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 4 Bogor tahun 1983, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN 1 Bogor tahun 1986.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor tahun 1986 melalui jalur PMDK untuk program Sarjana. Tahun 1987 penulis masuk di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan lulus program sarjana tahun 1991. Pada tahun 1995 penulis meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari TMPD DIKTI, dan lulus program Magister pada tahun 1999. Pada tahun 2001, penulis kembali meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BPPS DIKTI.

Penulis hingga saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB sejak tahun 1991. Pada tahun 2005-2006 penulis mendapatkan dana penelitian Hibah Bersaing XIII dari DIKTI dengan judul ”Peningkatan Khasiat Biologis Klorofil Ekstrak Daun Suji untuk Digunakan sebagai Pangan Fungsional Pencegah Penyakit Degeneratif”. Sebagian dari dana yang diperoleh digunakan untuk penelitian disertasi penulis.

Penulis mempublikasikan hasil penelitian ini dalam ASEAN Food Conference IX tanggal 8-10 Agustus 2005 di Jakarta, Seminar Nasional dan Kongres PATPI (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia) tanggal 2-3 Agustus 2006 di Jogjakarta , dan Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Vol. XVII no.2 Tahun 2006.


(13)

iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

TINJAUAN PUSTAKA 5

Tanaman Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) 5

Klorofil dan Turunannya 8

Pencernaan dan Penyerapan Klorofil 16

Efek Biologis Klorofil 19

Mekanisme Antioksidasi Klorofil 25

Metabolisme Kolesterol 28

Fitokimia yang Bersifat Hipokolesterolemik 32

Peran Lipoprotein dalam Aterogenesis 33

METODOLOGI 36

Waktu dan Tempat Penelitian 36

Bahan dan Alat 36

Metode Penelitian 37

Penentuan Prosedur Ekstraksi Daun Suji 38

Evaluasi Ekstrak Suji Selama Pencernaan Secara in vitro 40 Pengujian Kapasitas Antioksidatif Secara in vivo 40

Pengujian Kapasitas Antioksidatif terhadap LDL Secara 42 in vitro Pengujian Daya Hipokolesterolemik Secara in vivo 44

Pengujian Kapasitas Penghambatan Absorpsi Asam Empedu 44 Secara in vitro Analisis 45

HASIL DAN PEMBAHASAN 54

Daun Suji dan Ekstrak Daun Suji 54

Daun Suji 54

Penentuan Prosedur Ekstraksi Daun Suji 57

Karakteristik Kimiawi Ekstrak Daun Suji 64 Evaluasi Ekstrak Daun Suji Selama Pencernaan in vitro 66 Kadar Klorofil Ekstrak Daun Suji 66 Kapasitas Antioksidan Ekstrak Daun Suji 70

Pengujian Kapasitas Antioksidatif Secara in vivo 72

Penentuan Dosis 72

Berat Badan Tikus Selama Perlakuan 73

Berat Organ 74

Kadar MDA Hati 75

Aktivitas Enzim Antioksidan (SOD dan Katalase) Hati 77


(14)

v

Akumulasi Kolesterol Makrofag Peritoneal 87

Pengujian Daya Hipokolesterolemik Secara in vivo 91

Penentuan Dosis 91

Masa Pra Perlakuan (Periode Induksi Hiperkolesterolemik) 91

Masa Perlakuan 93

Berat Organ 95

Kadar Total Kolesterol Serum 96

Kadar LDL Serum 98

Kadar HDL Serum 98

Kadar Trigliserida Serum 99

Indeks Aterogenik (IA) 100

Kadar Kolesterol Hati 100

Kadar Asam Empedu Isi Sekum 101

Pengujian Kapasitas Penghambatan Absorpsi Asam Empedu 102

Secara in vitro SIMPULAN DAN SARAN 105

Simpulan 105

Saran 106

DAFTAR PUSTAKA 107


(15)

vi 1. Kandungan klorofil berbagai sayuran hijau 10 2. Standar nilai Rf dan posisi relatif turunan klorofil dan beberapa 15 pigmen lain pada plat TLC selulosa

3. Panjang gelombang maksimum pigmen klorofil dan turunannya 16 dalam pelarut dietil eter

4. Konstanta reaksi klorofilin dengan berbagai ROS 27 5. Kapasitas antioksidan dari 15 macam turunan klorofil dan SCC 28 menggunakan radikal stabil DPPH dan ABTS

6. Komposisi ransum per 100 g 41

7. Hasil analisis proksimat daun suji 54

8. Senyawa fitokimia daun suji (kualitatif) 56 9. Pengaruh jenis larutan pengekstrak terhadap nilai rata-rata kapasitas 61 antioksidan, kadar total klorofil, dan kadar klorofil larut air dari

ekstrak daun suji yang dihasilkan

10. Karakteristik kimiawi ekstrak daun suji 65 11. Senyawa fitokimia ekstrak daun suji (kualitatif) 65 12. Pengaruh pemberian ekstrak suji dan SCC terhadap berat organ relatif 75 dan parameter antioksidatif pada akhir perlakuan

13. Perbandingan besaran luas kurva oksidasi 84 14. Pengaruh pemberian sampel yang mengandung klorofil 88 terhadap kadar kolesterol total, kolesterol bebas, kolesterol ester

dalam makrofag peritoneal

15. Pengaruh penambahan ekstrak daun suji terhadap kondisi tikus hiperko- 95 lesterolemia dibandingkan dengan kelompok yang diberi akuades


(16)

vii 1. Tanaman suji jenis minor (Pleomele angustifolia N.E. Brown) 5 2. Struktur kimia dari klorofil-a dan klorofil- b beserta turunannya 9 3. Skema perubahan klorofil menjadi turunannya 11 4. Kromatogram HPLC yang memperlihatkan keberadaan Cu-klorin 18 yang terdapat dalam kompleks Cu-klorofilin

5. Struktur kimia kolesterol 28

6. Biosintesis kolesterol 28

7. Sintesis asam empedu primer 29

8. Skema tahapan penelitian 35

9. Diagram alir proses pembuatan ekstrak daun suji 37 10. Prosedur pencernaan secara in vitro 39 11. Separasi pigmen dari daun suji dengan kromatografi kolom 53 12. Kapasitas antioksidan dari ekstrak-ekstrak yang dihasilkan 56 13. Kadar klorofil larut air dari ekstrak-ekstrak yang dihasilkan 56 14. Pengaruh tingkat konsentrasi Tween 80 yang ditambahkan 59 ke dalam larutan pengekstrak Na-sitrat 12 mM dan lama

inkubasi terhadap kadar klorofil larut air

15. Pengaruh tingkat konsentrasi Tween 80 yang ditambahkan 59 ke dalam larutan pengekstrak Na-sitrat 12 mM dan lama

inkubasi terhadap kapasitas antioksidan

16. Perbandingan penampakan ekstrak daun suji menggunakan air 64 dengan ekstrak daun suji menggunakan Tween-Na sitrat (ESTS)

sebelum disentrifugasi (a) dan setelah disentrifugasi pada 600g (b)

17. (a) Kadar klorofil terlarut pada masing-masing fraksi selama 67 pencernaan in vitro, (b) estimasi jumlah klorofil yang terserap

18. Fraksi terlarut ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro 68 19. Fraksi terlarut larutan SCC selama pencernaan in vitro 68 20. Kapasitas antioksidan ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro 71

21. Berat badan tikus selama perlakuan 73

22. Oksidasi lipid menghasilkan MDA 76

23. Ilustrasi mekanisme seluler senyawa antioksidan dalam 80 meningkatkan sintesis enzim antioksidan

24. Fase lag LDL dari beberapa sampel yang mengandung klorofil 83 25. Berat badan tikus selama masa induksi hiperkolesterolemik 92 26. Peningkatan status kolesterol serum tikus selama masa induksi 92 hiperkolesterolemik

27. Penurunan kadar kolesterol serum selama masa perlakuan 94 pada pengujian daya hipokolesterolemik


(17)

viii

Judul Halaman

1. Hasil uji sidik ragam rata-rata kapasitas antioksidan ekstrak suji 116 2. Hasil uji beda Tukey kapasitas antioksidan ekstrak suji 116 3. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar klorofil larut air ekstrak suji 116 4. Hasil uji beda Tukey kadar klorofil larut air ekstrak suji 116 5. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar klorofil total ekstrak suji 117 6. Hasil uji beda Tukey kadar klorofil total ekstrak suji 117 7. Hasil uji sidik ragam pengaruh konsentrasi Tween 80 dan lama

inkubasi terhadap kapasitas antioksidan ekstrak suji

117 8. Hasil uji beda Tukey pengaruh lama inkubasi terhadap kapasitas

antioksidan ekstrak suji

117 9. Hasil uji beda Tukey pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap kadar

klorofil larut air ekstrak suji

118 10. Hasil uji sidik ragam pengaruh konsentrasi Tween 80 dan lama

inkubasi terhadap kadar klorofil larut air ekstrak suji

118 11. Hasil uji beda Tukey pengaruh lama inkubasi terhadap kadar klorofil

larut air

118 12. Hasil uji beda Tukey pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap kadar

klorofil larut air

119 13. Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ hati tikus pada uji kapasitas

antioksidan

119 14. Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ ginjal tikus pada uji

kapasitas antioksidan

119 15. Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ limpa tikus pada uji

kapasitas antioksidan

119 16. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar MDA hati tikus pada uji kapasitas

antioksidan

120 17. Hasil uji beda Tukey kadar MDA hati tikus pada uji kapasitas

antioksidan

120 18. Hasil uji sidik ragam rata-rata aktivitas katalase hati tikus pada uji

kapasitas antioksidan

120 19. Hasil uji beda Tukey aktivitas katalase hati tikus pada uji kapasitas

antioksidan

120 20. Hasil uji sidik ragam rata-rata aktivitas SOD hati tikus pada uji

kapasitas antioksidan

121 21. Hasil uji beda Tukey aktivitas SOD hati tikus pada uji kapasitas

antioksidan

121 22. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar kolesterol teresterifikasi (EC),

kolesterol total (TC) dan kolesterol bebas (FC) dalam makrofag yang diinkubasi dengan LDL tersuplementasi sample uji.

121

23. Hasil uji beda Tukey kadar kolesterol teresterifikasi (EC) dalam makrofag yang diinkubasi dengan LDL tersuplementasi sample uji.

122 24. Hasil uji beda Tukey kadar kolesterol total (TC) dalam makrofag

yang diinkubasi dengan LDL tersuplementasi sampel uji.


(18)

ix masa perlakuan dalam pengujian kapasitas hipokolesterolemik

26 Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ hati tikus pada uji kapasitas hipokolesterolemik

122 26. Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ ginjal tikus pada uji

kapasitas hipokolesterolemik

123 27. Hasil uji sidik ragam rata-rata berat organ limpa tikus pada uji

kapasitas hipokolesterolemik

123 28. Hasil uji sidik ragam rata-rata profil lipid serum tikus pada uji

kapasitas hipokolesterolemik

123 29. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar kolesterol hati tikus pada uji

kapasitas hipokolesterolemik

124 30. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar asam empedu sekum tikus pada

uji kapasitas hipokolesterolemik

124 31. Hasil uji sidik ragam rata-rata kadar asam empedu dalam kantung

dialisat pada uji in vitro kapasitas pengikatan asam empedu

124 32. Hasil uji beda Tukey kadar asam empedu dalam kantung dialisat pada

uji in vitro kapasitas pengikatan asam empedu

124

33. Kromatogram TLC ekstrak suji 125

34. Kromatogram HPLC ekstrak suji fase aseton 126

35. Kromatogram HPLC larutan SCC 127

36. Kromatogram HPLC ekstrak suji fase petroleum eter 128 37. Kromatogram TLC fraksi-fraksi pencernaan in vitro 129

38. Kromatogram HPLC serum kel SCC 130

39. Kromatogram HPLC hati kel SCC 131

40. Kromatogram HPLC hati kel suji 132

41. Kromatogram HPLC hati kel kontrol 133

42. Prosedur separasi klorofil dari daun suji untuk pembuatan sampel klorofil suji (KS)

134

43. Gambar separasi pigmen daun 135


(19)

Latar Belakang

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit kardiovaskuler (PKV) merupakan penyebab kematian nomor satu di Indonesia yaitu sebesar 25.6% (Anonim 2004). Pengendalian dan pencegahan timbulnya PKV dapat dilakukan antara lain melalui pencegahan terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis terjadi karena kolesterol lipoprotein berdensitas rendah (LDL/Low Density Lipoprotein) teroksidasi. Dengan demikian suatu senyawa fitokimia yang memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah (hipokolesterolemik) serta memiliki pula kemampuan meningkatkan status antioksidan tubuh berpotensi sebagai kandidat dalam menurunkan resiko aterosklerosis. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa klorofil memiliki kemampuan hipokolesterolemik secara in vivo dan aktivitas antioksidan secara in vitro dan ex vivo.

Ketersediaan klorofil di alam sangat besar, yaitu rata-rata terdapat dalam tanaman sebanyak 1% berat kering, sedangkan fitokimia lain terdapat dalam jumlah yang lebih rendah. Ketersediaannya yang tinggi di alam serta khasiat biologis yang dimilikinya menjadikan klorofil berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai bahan suplemen pangan atau pangan fungsional.

Klorofil alami, seperti klorofil-a dan klorofil-b, bersifat lipofilik karena keberadaan gugus fitolnya (C20H39OH). Hidrolisis terhadap gugus tersebut akan

mengubah klorofil menjadi turunannya yang larut air, seperti klorofilid dan klorofilin. Klorofil dan beberapa turunannya menunjukkan kemampuan antioksidatif secara in vitro dan ex vivo. Endo et al (1985) menyebutkan bahwa jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat akan dihasilkan radikal π-kation dari klorofil yang dapat membentuk kompleks dengan radikal peroksi, kemudian dihasilkan produk yang stabil. Klorofilin memiliki kemampuan sebagai radical scavenger terhadap *OH, ROO*, 1O2 dan H2O2 dengan konstanta masing-masing sebesar

6.1±0.4 x 109, 5.0±1.3 x 107, 1.3 x 108, 2.7 x 106 M-1.s-1 (Kumar et al 2001; Kamat et al 2000).

Sekitar 10 tahun yang lalu klorofil dianggap tidak diserap atau hanya sedikit diserap oleh tubuh, karena belum ditemukan bukti adanya struktur klorofil atau


(20)

turunannya dalam darah. Oleh karena itu penelitian mengenai manfaat biologis klorofil lebih banyak dilakukan untuk bagian luar tubuh, seperti pengobatan luka dan kemampuan mengikat senyawa karsinogen di dalam saluran pencernaan. Namun anggapan ini berubah setelah adanya laporan Egner et al (2000). Mereka adalah yang pertama kali berhasil mengidentifikasi adanya senyawa turunan klorofil dalam darah manusia. Pada tahun 1997, Egner dan kawan-kawan melakukan penelitian mengenai efek pemberian klorofilin terhadap populasi yang terpapar aflatoksin di daerah Qidong RRC. Identifikasi terhadap serum yang berwarna hijau dikarenakan pemberian Na-Cu-klorofilin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 4 bulan berhasil menemukan senyawa turunan klorofil yaitu CuCle6 (Cu-(II)-klorine6), CuCle4

(Cu-(II)-klorine4), serta CuCle4 etil ester. Struktur klorofil yang ditemukan dalam darah

sama dengan yang terdapat dalam tablet yang diberikan. Hingga saat ini belum ada laporan mengenai pengaruh konsumsi klorofil terhadap status antioksidatif secara in vivo, seperti kadar malondialdehida (MDA) dan aktivitas enzim-enzim antioksidan, sehingga menjadi salah satu kajian dalam penelitian ini. Selain itu dikaji pula pengaruh klorofil dalam melindungi oksidasi LDL secara in vitro.

Merespon hasil penelitian Egner et al (2000), Ferruzzi dan kawan kawan melakukan kajian mengenai penyerapan klorofil yang dilakukan secara in vitro menggunakan sel Caco-2 (human intestinal cell line). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penyerapan klorofil yang lipofilik (seperti klorofil-a dan klorofil-b) dari pure bayam adalah sebesar 5-10% (Ferruzzi et al 2001), sedangkan Na-Cu- klorofilin sebesar 45-60% (Ferruzzi et al 2002a).

Studi kapasitas antioksidatif in vitro yang dilakukan Ferruzzi et al (2002b) menunjukkan bahwa yang berperan penting dalam sifat antioksidatif klorofil adalah cincin porfirinnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa derivat klorofil yang telah kehilangan gugus fitolnya menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan klorofil utuh yang masih mengandung gugus fitol. Oleh karena itu upaya menghidrolisis gugus fitol klorofil agar diperoleh klorofil yang larut air diduga dapat meningkatkan kapasitas antioksidan dan jumlah klorofil yang dapat diserap tubuh, sehingga meningkatkan manfaat klorofil bagi kesehatan tubuh. Hidrolisis dapat dilakukan menggunakan asam, alkali atau enzim klorofilase. Dalam penelitian


(21)

ini hidrolisis klorofil daun suji dilakukan dengan memberi kondisi yang cocok bagi enzim klorofilase endogen.

Klorofil dan turunannya dilaporkan memiliki juga kemampuan hipokolesterolemik secara in vivo, meskipun belum ada penjelasan mengenai mekanismenya. Vlad et al (1995) menyebutkan bahwa pemberian cuprofilin (kompleks Cu-(II)-klorofil) selama 90 hari secara nyata menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah tikus yang sebelumnya terindikasi terkena aterosklerosis. Selain itu pada aorta tikus yang diberi cuprofilin juga menampakkan infiltrasi lipid yang berkurang secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil atau turunannya berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol. Penelitian Alsuhendra et al (2003) menunjukkan bahwa konsumsi kompleks Zn-turunan klorofil dari daun singkong pada dosis 100,2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0,1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Namun penelitian tersebut belum menjelaskan apakah turunan klorofil tersebut berpengaruh pada tingkat penyerapan kolesterol diet, ataukah pada metabolisme kolesterol darah, ataukah keduanya. Oleh karena itu penelitian ini antara lain mengkaji pengaruh klorofil terhadap reabsoprsi asam empedu sebagai mekanisme hipokolesterolemik yang diduga.

Suplemen pangan berbasis klorofil yang beredar di Indonesia hampir semuanya merupakan produk impor dan memiliki harga jual yang cukup tinggi, padahal ketersediaan sumber-sumber klorofil di dalam negeri sangat besar mengingat kondisi geografisnya. Oleh karena itu eksplorasi terhadap sumber-sumber klorofil potensial perlu dikembangkan untuk dijadikan produk suplemen pangan, antara lain daun suji yang sejak dahulu kala digunakan sebagai sumber pewarna hijau untuk pangan tradisional. Daun suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) yang digunakan dalam penelitian ini juga memiliki keunggulan yaitu merupakan produk lokal yang mudah dibudidayakan, memiliki flavor yang ‘mild’ sehingga dapat diaplikasikan dengan konsentrasi tinggi pada produk lain, serta telah digunakan dalam beberapa pengobatan tradisional. Selain itu, daun suji telah digunakan sebagai pewarna minyak jarak dan minyak kelapa (Heyne 1987), sehingga diduga memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Dalam penelitian ini dilakukan kajian untuk


(22)

meningkatkan manfaat daun suji bagi kesehatan, khususnya dalam menurunkan resiko aterosklerosis.

Tujuan

Tujuan umum adalah meningkatkan potensi biologis klorofil ekstrak daun suji, yaitu ketersediaan biologis, kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemiknya, melalui perbaikan teknik ekstraksi untuk pengembangan pangan fungsional atau suplemen pangan pencegah penyakit degeneratif, khususnya aterosklerosis.

Secara rinci tujuan khusus penelitian ini adalah :

a) Menemukan prosedur ekstraksi klorofil untuk meningkatkan kadar klorofil dan kapasitas antioksidan ekstrak cair daun suji.

b) Mengevaluasi perubahan yang terjadi pada ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro, khususnya kadar klorofil dan kapasitas antioksidannya, dibandingkan dengan SCC (sodium copper chlorophyllin atau Na-Cu-klorofilin).

c) Mengevaluasi secara in vivo kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemik ekstrak daun suji.

d) Mengevaluasi kapasitas ekstrak daun suji dalam melindungi oksidasi LDL dan menghambat akumulasi kolesterol makrofag secara in vitro, dalam kaitannya menurunkan resiko aterosklerosis.

e) Menganalisis kapasitas ekstrak daun suji dalam menahan absorpsi asam empedu secara in vitro, sebagai salah satu mekanisme hipokolesterolemik.

Hipotesis

1. Penambahan Tween 80, sebagai suatu deterjen atau pengemulsi, ke dalam larutan pengekstrak polar meningkatkan jumlah klorofil yang terekstrak dari daun suji.

2. Tahapan inkubasi hancuran daun sebelum proses pemisahan ekstrak, yang ditujukan untuk memberi kesempatan klorofilase endogen bekerja memecah fitol dari klorofil suji, meningkatkan kadar klorofil larut air dalam ekstrak daun suji.


(23)

3. Selama proses pencernaan dalam tubuh, klorofil alami (klorofil-a dan klorofil-b) memiliki kapasitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan dengan klorofilin.

4. Pemberian secara oral ekstrak daun suji kaya klorofil meningkatkan status antioksidatif hewan coba.

5. Ekstrak daun suji kaya klorofil dapat menghambat oksidasi LDL secara in vitro, dan menurunkan jumlah kolesterol yang diakumulasi oleh makrofag. 6. Ekstrak daun suji kaya klorofil menunjukkan kemampuan hipokolesterolemik

pada hewan coba melalui mekanisme penghambatan reabsorpsi asam empedu.


(24)

Tanaman Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown)

Tanaman suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) merupakan tanaman perdu atau pohon kecil tegak dengan tinggi berkisar antara 2 hingga 8 meter. Tanaman suji biasa tumbuh secara liar atau ditanam di sekitar halaman dan untuk pagar-pagar. Tanaman suji dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian sampai 1200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi botaninya, tanaman suji termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotiledoneae, ordo Liliflorae, famili Liliaceae, genus Pleomele, dan jenis Pleomele angustifolia N. E. Brown. Sinonim dari Pleomele angustifolia N.E. Brown adalah Dracaena angustifolia Roxb (http://bodd.cf.ac.uk/BotDermFolder/BotDermD/DRAC.html).

Daun tanaman suji berbentuk lancet-garis, agak kaku, berwarna hijau gelap, meruncing atau sangat runcing dengan panjang 10 sampai 25 cm dan lebar 0.9 sampai 1.5 cm. Jenis bunga termasuk bunga majemuk, berbentuk malai dengan banyak bunga yang panjangnya 8 sampai 30 cm. Pada tiap kelopak terdapat 1-4 bunga, tangkai bunga pendek (2.5-2.7 cm). Mahkota bunga berwarna putih kekuningan, dan kalau malam hari berbau harum. Buah yang matang berwarna jingga dengan diameter 1-2 cm. (Heyne 1987). Tanaman suji dapat dilihat pada Gambar 1.


(25)

Di setiap daerah di Indonesia, tanaman suji mempunyai nama daerah yang berbeda antara lain jejuang bukit atau pendusta utan (Ambon); ngase kolotide (Ternate); jingkang, hanjuwang merak atau suji (Jawa Barat); semar (Jawa Tengah dan Jawa Timur); kopoi (ponos), popopok im bolai, rereindeng im bolai, tawaang im bolai (Minahasa). Tanaman suji yang terdapat di pulau Jawa dibagi menjadi dua golongan, yaitu jenis typica dan jenis minor. Jenis typica daunnya panjang sampai kira-kira 60 cm dan lebar, mahkota bunga besar, hidup pada ketinggian di bawah 500 m di pulau Jawa bagian barat. Jenis minor daunnya pendek dan tidak besar, mahkota bunga kecil, tumbuh liar sampai ketinggian 1000 m dan ditanam untuk pagar atau di sekitar sumur. Di Sulawesi terdapat jenis yang merupakan peralihan dari kedua jenis tanaman suji ini, yaitu dengan mahkota bunga besar tetapi daunnya pendek dan sempit. Cara propagasi (perbanyakan) tanaman suji mudah sekali, yaitu dengan stek atau bisa juga dengan biji (Heyne 1987).

Secara tradisional, tanaman suji telah dimanfaatkan baik dalam bidang pangan, kosmetika maupun pengobatan. Di bidang pangan, ekstrak daun suji dalam medium air telah biasa digunakan sebagai pewarna berbagai makanan tradisional. Daun suji juga digunakan sebagai pewarna kertas, minyak jarak dan minyak kelapa. Di bidang kosmetika, ekstrak daun suji dapat digunakan sebagai penyubur rambut. Sedangkan di bidang pengobatan, air rebusan akar tanaman suji dapat digunakan sebagai campuran obat sakit gonorrhoe. Di Ambon, daun tanaman suji dimanfaatkan untuk mengobati penyakit beri-beri dengan cara menggosokkan kuat-kuat daun yang telah dipanaskan pada anggota tubuh penderita (Heyne 1987).

Ekstrak metanol dari Nam ginseng, yaitu akar dan rhizoma dari Dracaena angustifolia memperlihatkan adanya 9 senyawa baru selain 8 senyawa steroidal saponin yang telah diketahui. Senyawa-senyawa tersebut adalah tiga macam spirostanol sapogenin yaitu namogenin A-C, empat macam spirostanol saponin yaitu namonin A-D, suatu senyawa furostanol saponin yaitu namonin E, dan suatu glikosida lain yaitu namonin F. Senyawa namonin A dan namonin B memiliki aktivitas antiproliferatif terhadap sel fibrosarcoma HT-1080 (Tran et al 2001).

Rahayu dan Limantara (2005) melaporkan bahwa dari 17 suku tanaman yang terdiri dari 65 spesies tanaman hijau di Salatiga dan sekitarnya, suku Euphorbiaceae, Liliaceae, Apocynaceae, Acanthaceae dan Araliaceae berturut-turut


(26)

adalah yang memiliki kandungan klorofil daun tertinggi. Pengukuran klorofil dilakukan secara in vivo menggunakan Klorofilmeter Minolta SPAD-502 pada 5 titik dalam setiap daun. Pengukuran kandungan klorofil pada daun yang tua (nomor 5-7 dari pucuk cabang) menunjukkan bahwa daun suji (Pleomele angustifolia) menempati urutan ke-2 tertinggi setelah daun Landep (Barleria lupulina Lind L), sedangkan daun katuk urutan ke-3 dan daun singkong urutan ke-14.

Klorofil dan Turunannya

Klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu khloros (hijau kekuningan) dan phullon (daun). Klorofil pertama kali didokumentasikan oleh Pelletier dan Caventow dan diisolasi oleh Sorby pada tahun 1873. Organisme menghasilkan lebih dari 1 x 109 ton per tahun, dan 75% diantaranya berasal dari laut (Vargas dan Lopez 2003). Secara struktural, klorofil merupakan porfirin yang mengandung cincin dasar tetrapirol, dimana keempat cincin berikatan dengan ion Mg2+, dan memiliki cincin isosiklik yang kelima yang berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Pada cincin keempat, substituen asam propionat diesterifikasi oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol (C20H39OH), yang bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari

struktur intinya maka klorofil berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik (Gross 1991).

Kandungan klorofil pada beberapa tanaman sekitar 1% basis kering. Semua tanaman hijau mengandung klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil-a terdapat sekitar 75% dari pigmen hijau tanaman. Klorofil-a adalah suatu struktur tetrapirol melalui ikatan Mg, dengan substitusi metil pada posisi 1, 3, 5 dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4, propionat yang diesterifikasi dengan fitil alkohol (fitol) pada posisi 7, keto pada posisi 9 dan karbometoksi pada posisi 10 (Gambar 2).


(27)

Komponen Mg R1 R2 Cincin isosiklik Klorofil a + CH3 Fitil 1

Klorofil b + CHO Fitil 1 Klorofil a’ + CH3 Fitil 2

Klorofil b’ + CHO Fitil 2 Klorofilid a + CH3 H 1

Klorofilid b + CHO H 1 Feofitin a - CH3 Fitil 1

Feofitin b - CHO Fitil 1 Feoforbid a - CH3 H 1

Feoforbid b - CHO H 1 Klorofil a-1 + CH3 Fitil 3

Pirofeofitin a - CH3 Fitil 4

Gambar 2 Struktur kimia dari klorofil-a dan klorofil-b beserta turunannya (Gross 1991)

Rumus molekul klorofil-a adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah

C55H70N4O6Mg. Klorofil-b berbeda dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup

formil (-CHO) menggantikan grup metil pada posisi 3 dari klorofil-a (Gross 1991). Berat molekul klorofil-a adalah 893.52 dan klorofil-b 907.51. Tabel 1 memperlihatkan bahwa jumlah klorofil-a dalam daun lebih banyak dibandingkan klorofil-b. Rasio klorofil-a terhadap klorofil-b pada daun umumnya sebesar 3:1 (Gross 1991).


(28)

Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai sayuran hijau

Kandungan klorofil (ȝg/g bahan) No. Jenis Sayuran

a b Total Rasio a : b

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Daun singkong Daun katuk Daun kangkung Daun bayam Caisin Kacang panjang Buncis Selada Daun kemangi 2853.2 1688.1 1493.6 1205.0 815.0 169.1 57.0 482.7 842.9 1114.3 513.9 519.9 255.9 393.1 55.5 18.5 148.6 479.8 3967.5 2202.0 2013.5 1460.9 1208.1 224.6 75.4 631.3 1322.7

2.6 : 1 3.3 : 1 2.9 : 1 4.7 : 1 2.1 : 1 3.0 : 1 3.1 : 1 3.2 : 1 1.8 : 1

Sumber: Alsuhendra (2004)

Klorofil adalah pigmen utama berwarna hijau pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil terletak dalam badan-badan plastid yang disebut kloroplas. Kloroplas memiliki bentuk yang teratur, di bawah mikroskop lensa lemah tampak sebagai lempengan berwarna hijau dengan panjang sekitar 5-10 mikrometer dan lebar 1-2 mikrometer (Clydesdale dan Francis 1976).

Menurut Gross (1991), klorofil berwarna hijau karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum sinar tampak. Perbedaan kecil dalam struktur dari dua klorofil menghasilkan perbedaan dalam penyerapan spektrum, biru-hijau untuk klorofil-a dan kuning-hijau untuk klorofil-b. Posisi penyerapan maksimum bervariasi sesuai dengan pelarut yang digunakan. Klorofil merupakan ester dan larut pada pelarut organik.

Klorofil sangat peka terhadap cahaya. Sinar dalam ruangan yang lemah, jika mengenai klorofil kurang dari satu detik dapat mengakibatkan reaksi protopigmen. Pengerjaan klorofil dan penyimpanan klorofil harus dilakukan dalam ruang gelap atau ruang redup dengan cahaya yang aman dan sejuk (Gross 1991)

Pemanasan merupakan proses fisik yang dapat mengakibatkan kerusakan klorofil. Klorofil terdapat dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein yang diduga menstabilkan molekul klorofil dengan cara memberikan ligan tambahan. Pemanasan dapat mengakibatkan denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak terlindungi lagi. Selama pemanasan, asam-asam organik dalam jaringan dibebaskan yang mengakibatkan pembentukan feofitin. Pemanasan juga memberi pengaruh terhadap


(29)

aktivitas enzim klorofilase dan enzim lipoksigenase. Pengaruh blansir pada sayuran hijau terhadap pembentukan klorofilid dan feoforbid menunjukkan bahwa blansir pada suhu 82,2oC meningkatkan aktivitas enzim klorofilase, tetapi blansir pada suhu 100oC membuat klorofilase inaktif (Gross 1991).

Sifat Kimia Klorofil

Salah satu sifat kimia klorofil yang penting adalah kelabilan yang ekstrim, seperti sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, dan degradasi kimia. Klorofil dapat diubah baik secara in vivo maupun in vitro ke dalam bentuk turunannya (Gambar 2 dan Gambar 3). Klorofil dapat terdegradasi secara kimia, yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan klorofilid, dan reaksi oksidasi (Gross 1991). Perubahan struktur turunan klorofil mengakibatkan perubahan pola absorpsi dan tingkat polaritas. Tabel 2 memperlihatkan beberapa nilai Rf beberapa turunan klorofil pada Thin Layer Chromatography (TLC) selulosa dan Tabel 3 memperlihatkan panjang gelombang maksimum beberapa turunan klorofil. Informasi dalam Tabel 2 dan Tabel 3 dapat digunakan untuk identifikasi turunan klorofil setelah diseparasi dengan TLC selulosa.

klorofilase

Klorofil + H2O klorofilid + fitol

- fitol - metil

Klorofil Klorofilid Klorofilin - Mg -Mg

- fitol

Feofitin Feoforbid

Gambar 3 Skema perubahan klorofil menjadi turunannya

Reaksi Feofitinisasi

Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti ion hidrogen membentuk feofitin (Gross 1991).


(30)

Feofitin adalah turunan klorofil bebas magnesium. Feofitin-a dan b secara mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit dan konsentrasi HCl yang digunakan 13%. Kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam. Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi hijau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan. Diduga asam yang diproduksi dilepaskan dari jaringan tanaman selama pemanasan dan penyimpanan. Asam-asam yang terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat (Gross 1991).

Menurut Gross (1991) klorofil-a lebih cepat berubah menjadi feofitin-a sebesar 5-10 kali dibandingkan dengan kecepatan perubahan klorofil-b menjadi feofitin-b. Dalam pelarut aseton pelepasan magnesium dari klorofil-a lebih cepat sembilan kali lipat dibandingkan dengan klorofil-b. Menurut Aronoff (1958) perbedaan kecepatan perubahan ini disebabkan oleh pengaruh induktif dari gugus formil (pada klorofil-b) yang mengakibatkan ikatan ion magnesium menjadi lebih kuat.

Reaksi Pembentukan Klorofilid

Pada hampir semua tanaman hijau terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk klorofilid. Klorofilid merupakan senyawa yang berwarna hijau, mempunyai sifat spektral yang sama dengan klorofil, tetapi lebih larut dalam air. Klorofilid juga dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen membentuk feoforbid (Gross 1991).

Klorofil dapat dengan mudah dihidrolisis untuk menghasilkan klorofilid dan fitol. Hidrolisis terjadi di bawah kondisi asam maupun basa. Klorofilid secara in vivo dibentuk oleh aksi klorofilase, suatu enzim yang terdapat dalam jaringan tanaman hijau. Konversi sempurna klorofil menjadi turunan yang bebas fitol dapat diverifikasi dengan memeriksa ketidaklarutannya dalam petroleum eter (Gross 1991). Konsep ini yang kemudian digunakan untuk pengukuran aktivitas klorofilase.


(31)

Enzim klorofilase (klorofil-klorofilid hidrolase) adalah jenis enzim esterase yang memiliki sifat unik. Enzim ini mengkatalisis hidrolisis ikatan ester antara residu asam 7-propionat pada cincin IV makrosiklik dengan fitol, baik pada klorofil maupun feofitin. Enzim ini berada intramembran pada membran tilakoid. Pada suhu kamar enzim ini hanya aktif jika ada pelarut-pelarut organik. Sedangkan dalam pelarut air, fungsi enzim akan optimum pada kisaran suhu 65-75oC. Diduga hal ini diakibatkan oleh keadaan enzim yang secara fisik terikat kuat pada lipoprotein lamela (Gross 1991).

Beberapa usaha untuk menstabilkan warna hijau dari jaringan tanaman antara lain dilakukan dengan cara mengubah klorofil menjadi klorofilid. Clydesdale dan Francis (1976) menggunakan digitonin 0.1% pada pure bayam untuk membebaskan klorofil dan klorofilase dari ikatannya dengan lipoprotein dalam kloroplas. Surfaktan atau deterjen non ionik ini mampu melindungi warna hijau seperti halnya penambahan MgCO3 0.35% untuk membuat suasana alkali.

Klorofilase menghidrolisis hanya 40% klorofil dalam kompleks klorofil-protein bayam, namun dengan keberadaan deterjen semua klorofil dapat dihidrolisis (Gross 1991). Jika reaksi hidrolisis gugus fitol oleh enzim klorofilase terjadi dalam pelarut-pelarut tertentu seperti etanol atau metanol, maka akan terjadi penukaran gugus fitol oleh pelarut, misalnya membentuk etil klorofilid (Aronoff 1958).

Feoforbid-a dan feoforbid-b adalah klorofilid yang kehilangan magnesium, sehingga tidak memiliki gugus fitol maupun Mg. Senyawa ini dapat dibuat dengan cara memperlakukan klorofil dengan asam pekat (HCl 30%) atau dengan memberi perlakuan asam pada klorofilid (Gross 1991).

Reaksi Oksidasi

Cincin isosiklik dapat teroksidasi membentuk klorofil teralomerasi. Menurut Gross (1991), proses ini dinamakan alomerisasi karena produk oksidasi tersebut mempunyai absorpsi spektra yang identik dengan senyawa induknya. Klorofil dioksidasi secara spontan oleh oksigen atmosfer meskipun dalam kondisi gelap. Alomerisasi klorofil dapat diperoleh dengan melewatkan O2 selama 72 jam pada

larutan klorofil dalam metanol. Senyawa ini juga dapat terbentuk selama perebusan dedaunan. Proses otooksidasi klorofil dapat dihambat dengan karotenoid. Oksidasi


(32)

lebih lanjut dapat menyebabkan pecahnya cincin tetrapirol sehingga membentuk produk yang tidak berwarna.

Reaksi oksidasi dapat dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan oksidasi enzimatik. Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi karena pemanasan dan selama penyimpanan. Menurut Eskin (1979) kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam dua hal. Pertama, blansir menginaktivasi enzim-enzim yang membantu degradasi klorofil, sehingga klorofil lebih stabil. Kedua, blansir dalam waktu yang lama, meskipun menginaktivasi enzim, tetapi merangsang reaksi oksidasi yang mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45 detik sampai 1 menit, dimana aktivitas enzim dan perangsang reaksi oksidasi dihambat.

Reaksi oksidasi enzimatik terjadi dengan adanya enzim lipoksigenase (linoleat oksidoreduktase) yang terdapat di sebagian besar sayuran dan buah-buahan. Enzim lipoksigenase diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan pengaruh pemucatan pada klorofil-a dan klorofil-b dengan kehadiran lemak dan oksigen. Enzim ini mengkatalisis reaksi oksidasi klorofil jika diinkubasi dengan asam lemak linoleat atau linolenat (Eskin 1979). Tabel 2 dan Tabel 3 menampilkan nilai Rf dan panjang gelombang maksimum turunan-turunan klorofil, yang dapat digunakan untuk identifikasi.


(33)

Tabel 2 Standar nilai Rf dan posisi relatif turunan klorofil dan beberapa pigmen lain pada platTLC selulosa

Nilai Rf

No. Komponen Warna

Ia IIb

1. β-karoten orange, kuning 0.98

2. Feofitin a abu-abu 0.90 0.93

3. Changed klorofil a-1 bebas Mg abu-abu

4. Lutein kuning

5. Feofitin b kuning 0.73 0.80

6. Changed klorofil a-2 bebas Mg abu-abu

7. Changed klorofil b-1 bebas Mg kuning

8. Klorofil a’ biru-hijau

9. Violasantin kuning

10. Klorofil a biru-hijau 0.54 0.60

11. Changed klorofil b-2 bebas Mg kuning

12. Changed klorofil a-1 biru-hijau

13. Klorofil b’ kuning-hijau 14. Etil klorofilid a biru-hijau

15. Klorofil b kuning-hijau 0.31 0.35

16. Changed klorofil a-2 biru-hijau

17. Metil klorofilid a biru-hijau

18. Changed klorofil b-1 kuning-hijau

19. Etil klorofilid b kuning-hijau

20. Neosantin kuning

21. Feoforbid a abu-abu 0.18

22. Changed klorofil b-2 kuning-hijau

23. Metil klorofilid b kuning-hijau

24. Feoforbid b kuning, coklat 0.08 25. Klorofilid a biru-hijau 0.03 26. Klorofilid b kuning 0.01

a

Bacon et al (1967) *

b

Stahl (1969) *


(34)

Tabel 3 Panjang gelombang maksimum pigmen klorofil dan turunannya dalam pelarut dietil eter

Ȝ maksimum (nm) No. Komponen

Merah Biru

1. Klorofil a 662c,661.5a,661c,660d 429.5a 2. Klorofil a’ 654a, 652b 417a

3. Changed klorofil a-1 661a 428a

4. Changed klorofil a-2 662a 429a

5. Klorofilid a 660d 6. Metil klorofilid a

7. Etil klorofilid a 655a, 660c 417a 8. Feofitin a 667c, 666.5d

9. Changed klorofil a-1 bebas Mg

10. Changed klorofil a-2 bebas Mg

11. Feoforbid a 666.5d

12. Klorofil b 644c, 643a, 642.5d 453a 13. Klorofil b’ 632a, 631b 442a,446b

14. Changed klorofil b-1 642a 451a

15. Changed klorofil b-2 642.5a 451a

16. Klorofilid b 17. Metil klorofilid b

18. Etil klorofilid b 630a, 640.5c 440a 19. Feofitin b 655c, 653d

20. Changed klorofil b-1 bebas Mg 21. Changed klorofil b-2 bebas Mg

22. Feoforbid b 653d

a

Bacon et al (1967) *

b

Strain (1954) *

c

Jones et al (1963) *

d

Zscheile et al (1941) *

* yang diacu oleh Oktaviani (1987)

Pencernaan dan Penyerapan Klorofil

Sebelum publikasi yang dilakukan oleh Egner et al (2000), klorofil dianggap tidak diserap atau sangat sedikit diserap oleh tubuh karena belum ada penelitian yang berhasil menemukan struktur klorofil dan turunannya dalam darah. Namun


(35)

anggapan ini berubah setelah adanya laporan penelitian percobaan klinis Egner dan kawan-kawan mengenai pengaruh pemberian klorofilin terhadap penduduk dengan insiden kanker hati di daerah Qidong provinsi Jiangsu RRC. Di daerah ini terjadi insiden kanker hati yang tinggi dan pangan di daerah ini banyak yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 (AFB1). Mereka yang pertama kali menemukan adanya turunan klorofil dalam serum manusia yang berwarna hijau setelah pemberian Na-Cu-klorofilin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 4 bulan. Struktur klorofil yang ditemukan dalam darah sama dengan yang terdapat dalam tablet yang diberikan. Dosis yang diberikan ini adalah dosis aman menurut United States Food and Drug Administration (US-FDA). Identifikasi dan karakterisasi terhadap serum yang berwarna hijau menemukan adanya CuCle4 (Cu-(II)-klorine4) yang berasal dari tablet

yang diminum serta turunannya yaitu CuCle4 etil ester. Mereka menduga bahwa

kedua komponen tersebut yang berperan sebagai antikarsinogen terhadap aflatoksin B1 dalam organ hati. Kedua komponen tersebut juga berperan menahan penyerapan karsinogen dalam saluran pencernaan. Diperkirakan dengan mengkonsumsi 3 tablet x 100 mg klorofilin memberikan asupan CuCle4 etil ester per hari sebesar 12 mg dan

konsentrasi steady-state dalam plasma sekitar 2 μg/ml.

Studi mengenai absorpsi dan metabolisme klorofil belum banyak dilakukan. Sifat klorofil yang mudah terdegradasi oleh asam, panas, cahaya dan oksigen, menjadi salah satu kendala dalam studi-studi absorpsi klorofil. Ferruzzi et al (2001) membuktikan bahwa klorofil dapat diserap oleh sel usus meskipun secara in vitro. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan pure bayam yang dicerna menggunakan enzim-enzim pencernaan dan sel Caco-2 (human intestine cell line) sebagai model sel usus manusia untuk melihat penyerapannya. Hasilnya menunjukkan bahwa klorofil alami terdegradasi selama pencernaan. Hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung (pH 2), lebih dari 95% klorofil-a dan klorofil-b berubah menjadi bentuk feofitinnya. Turunan-turunan klorofil kemudian bergabung dengan misel lipid. Setelah diinkubasi dengan sel Caco-2, ternyata sejumlah turunan-turunan klorofil yang bersifat lipofilik terakumulasi dalam sel, atau dengan kata lain dapat diserap sel usus sebesar 5-10% (Ferruzzi et al 2001).

Merespon hasil penelitian Egner et al (2000, 2001), maka Ferruzzi et al (2002a) melanjutkan studi absorpsi klorofil menggunakan sodium copper


(36)

chlorophyllin (SCC) secara in vitro. SCC adalah campuran berwarna hijau terang yang berasal dari klorofil alami. SCC telah digunakan sebagai suplemen pangan dan pewarna pangan. SCC komersial dibuat dari ekstrak kasar klorofil menggunakan NaOH-metanol dan diikuti dengan penggantian atom Mg oleh logam Cu.

SCC komersial yang digunakannya terdiri atas komponen utama Cu-(II)-klorine4 (81%), Cu-(II)-klorine6 (10%), Cu-(II)-rhoding7 (3%) dan Cu-(II)-feoforbid

(1%) (Gambar 4). Dalam penelitian tersebut masih menggunakan sel Caco-2 untuk melihat tingkat ketersediaaan SCC. SCC diinkubasi dalam kultur sel dengan konsentrasi 0,5-60 ppm (atas dasar pertimbangan konsumsi SCC: 1,0-100 mg SCC dalam 2 liter cairan usus dan lambung) pada 37°C selama 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45-60% SCC terserap dalam sel. Rasio Cu-(II)-klorine4 terhadap

Cu-(II)-klorine6 yang terserap ke dalam sel sama dengan rasionya di dalam medium

uji. Dengan kata lain penyerapan turunan-turunan klorofil berlangsung proporsional dengan konsentrasi di dalam media. Transpor porfirin ke dalam sel enterosit diduga dimediasi oleh suatu reseptor, yaitu transferin (Ferruzzi et al 2002a).

Gambar 4 Kromatogram HPLC yang memperlihatkan keberadaan Cu-klorin yang terdapat dalam kompleks Cu-klorofilin (Egner et al 2001)

Dari studi tersebut diketahui pula bahwa Cu-(II)-klorine4 merupakan

komponen utama dalam fraksi digesta. Cu-(II)-klorine6 memiliki kestabilan yang


(37)

dalam matriks saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya (Ferruzzi et al 2002a).

Efek Biologis Klorofil

Rangkuman hasil-hasil penelitian hingga tahun 1980-an mengenai efek biologis turunan klorofil ditulis oleh Chernomorsky dan Segelman (1988) berikut ini. Awalnya, klorofil dan turunannya digunakan untuk pengobatan luka. Smith dan Sano pada tahun 1944 adalah orang pertama yang meneliti efek turunan klorofil terhadap pertumbuhan sel menggunakan kultur jaringan. Penambahan 0,05 dan 0,5% kompleks Cu-kloroflin (chlorophyllin copper complex/CCC) pada fibroblast hati embrio mencit meningkatkan kecepatan pertumbuhan kultur sebanyak 40%. Penggantian CCC dilakukan setiap 48 jam. Terapi luka menggunakan klorofil memperlihatkan jaringan granula yang bersih, epitelisasi yang cepat dan adanya kecepatan penyembuhan luka tanpa disertai inflamasi. Selain itu turunan klorofil juga meningkatkan jumlah saluran darah dan sirkulasi darah pada luka yang diberi klorofilin. Klorofilin merupakan senyawa penyembuh luka yang ideal karena selain dapat meregenerasi sel, juga bersifat antimikroba. CCC dan turunan klorofil yang lain bersifat bakteriostatik secara in vitro terutama terhadap bakteri gram positif (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman1988)

Pemberian senyawa turunan klorofil tunggal atau dengan komponen yang mengandung Fe menstimulir produksi hemoglobin dan eritrosit dalam hewan anemia. Hewan anemi yang diberi CCC (0.025 g/kg i.v atau 0.05 g/kg secara oral) atau dengan turunan-turunan klorofil yang lain memperlihatkan peningkatan jumlah eritrosit sebesar 70.5-83% dan menormalkan tingkat hemoglobin dalam 10-16 hari. Turunan klorofil yang larut lemak maupun yang larut air memperlihatkan efek antianemi. Tidak hanya eritrosit, regenerasi sel darah yang lain juga distimulir oleh senyawa tersebut. Pemberian secara oral turunan klorofil meningkatkan jumlah leukosit pada anak-anak leukopenia dengan berbagai macam penyebab (efek kuratif), dan juga melindungi dari leukopenia (efek preventif). Dalam penanganan trombositopenia, kombinasi terapi standar dengan pemberian klorofil memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian terapi standar saja (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman1988).


(38)

Turunan klorofil juga melindungi kerusakan hati hewan coba yang diinduksi oleh karbon tetraklorida (CCl4). Pemberian CCC dengan dosis sebesar 100-300

mg/hari kepada berbagai hewan coba yaitu kelinci, anjing, kucing, hamster, marmot, tikus dan mencit selama 5-8 hari tidak ada yang memberi tanda-tanda keracunan. LD50 CCC untuk mencit yaitu 285 mg/kg i.v. atau 400 mg/kg i.p. atau 10 g/kg oral.

Laporan lainnya menyebutkan LD50 CCC untuk mencit sebesar 7 g/kg oral dan 0.19

g/kg i.p. Sedangkan untuk tikus Sprague Dawley LD50 sebesar 50 g/kg, sehingga

CCC tidak bersifat toksik akut maupun kronis (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman1988).

Laporan studi jangka pendek Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) untuk melihat toksisitas klorofil menyebutkan bahwa injeksi subkutan larutan Na-Cu klorofilin 0.05-5% melalui tulang belakang setiap hari selama 10 hari diikuti dengan penyinaran oleh cahaya matahari dan lampu UV menunjukkan adanya perubahan pada ginjal dan hati kelompok mencit yang diberi perlakuan penyinaran. Pemberian Na-Cu klorofilin secara oral sebesar 2000 mg/kg BB selama 18 minggu tidak memperlihatkan efek buruk pada tikus. Selain itu pemberian 0.5% Na-K-Cu klorofilin dalam air minum tikus selama 11 minggu tidak menyebabkan sakit maupun perubahan patologis. Pemberian secara oral Na-Cu klorofilin sebanyak 70 mg/kg BB selama 6 minggu pada ayam berumur 60 hari maupun pada unggas berumur 8 tahun dengan dosis 500 mg/kg BB selama 3 minggu tidak menyebabkan efek buruk, namun menghasilkan telur dengan bagian kuning telur yang berwarna hijau (Anonim 1969).

Laporan yang sama mengenai toksisitas jangka panjang menyebutkan bahwa pemberian 0, 0.1, 1.0 dan 3.0% kompleks Na-K-Cu-klorofilin (mengandung 4-5% total Cu; 0.25% Cu ionik) dalam pakan tikus selama hidupnya menunjukkan tidak adanya perubahan histopatologis yang disebabkan kompleks tersebut dan tidak ada bukti mengenai toksisitas Cu dan deposit Cu di hati, ginjal dan limpa. Disebutkan lebih lanjut bahwa keberadaan Cu terikat kuat dalam kompleks, sehingga meskipun ada kenaikan kadar Cu plasma namun tidak signifikan terhadap kadarnya dalam jaringan. Jika diberikan secara oral kompleks Cu-klorofil tidak toksik, namun jika diberikan secara parenteral bersifat toksik. Dosis toksik akut untuk mencit melalui oral adalah > 10 g/kg BB. Evaluasi toksikologis menyebutkan bahwa pada kadar 3%


(39)

dalam pakan tikus atau setara dengan 1500 mg/kg BB/hari tidak menyebabkan efek toksik pada tikus. Untuk manusia, perkiraan dosis asupan harian yang diperbolehkan (acceptable daily intake/ADI) untuk kompleks Cu-klorofil maupun kompleks Na-K-Cu-klorofilin sebesar 0-15 mg/kg BB. Disebutkan pula bahwa klorofil diserap sebesar 3%, dan disekresi sebagai feofitin sebesar 43-77%(Anonim 1969).

Pemberian secara oral tablet yang mengandung 100 mg CCC dengan dosis 100-200 mg per hari pada pasien colostomy cukup mengontrol bau (malodor) tanpa efek samping yang tidak diinginkan. Turunan klorofil menginduksi perubahan-perubahan metabolisme mikroba penyebab bau, seperti P. vulgaris, sehingga lebih sedikit H2S, amonia dan komponen metil-indol yang terbentuk. Mekanisme yang

dikemukakan adalah adanya afinitas substansi turunan-turunan klorofil membentuk kompleks dengan protein, yang kemudian berakibat pada perubahan aktivitas biologis (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman1988).

Aplikasi medis yang lain yaitu turunan klorofil digunakan untuk menangani pasien pankreatitis yang diakibatkan karena perubahan patologis yang diinduksi oleh enzim-enzim tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa turunan klorofil dapat berpengaruh pada beberapa reaksi enzimatik. Terapi fotodinamik (PDT) untuk menangani kanker menunjukkan bahwa turunan klorofil lebih aktif sebagai fotosensitaiser antitumor dibandingkan turunan hematoporfirin (HPD). Pemberian HPD maupun turunan klorofil secara parenteral yang diikuti dengan pemberian sinar dengan λ panjang pada area pertumbuhan tumor akan menghasilkan pembentukan singlet O2 dan berakibat destruksi tumor (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman

1988).

Setelah tahun 1990-an, kajian aktivitas biologis turunan klorofil lebih banyak diarahkan pada kemampuan antimutagenik, antikarsinogenik, antioksidan, dan hipokolesterolemik. Dalam kaitannya dengan aspek menurunkan resiko aterosklerosis maka diperlukan informasi lebih banyak mengenai daya hipokolesterolemik dan kapasitas antioksidan klorofil.

Kajian aktivitas biologis klorofil umumnya dilakukan dengan menggunakan klorofilin, yaitu turunan klorofil yang telah kehilangan gugus fitol dan metil sehingga memiliki kelarutan yang tinggi dalam air. Klorofilin komersial yang banyak digunakan dalam studi yaitu SCC yang sebagian besar berisi senyawa klorin


(40)

(Gambar 4). Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa baik klorin maupun rhodin adalah bentuk turunan klorofil dengan struktur cincin isosiklik (cincin kelima) yang terbuka.

Kemampuan hipokolesterolemik klorofil dan turunannya telah dilakukan secara in vivo, meskipun belum ada penjelasan mekanismenya. Vlad et al (1995) menyebutkan bahwa pemberian cuprofilin (kompleks Cu (II)-klorofilin) selama 90 hari secara nyata menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah tikus yang sebelumnya terindikasi terkena aterosklerosis. Selain itu pada aorta tikus yang diberi cuprofilin juga menampakkan infiltrasi lipid yang berkurang secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil atau turunannya berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol. Penelitian Alsuhendra et al (2003) menunjukkan bahwa konsumsi kompleks Zn-turunan klorofil dari daun singkong pada dosis 100,2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0,1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Namun penelitian ini belum menjelaskan apakah turunan klorofil tersebut berpengaruh pada tingkat penyerapan kolesterol, ataukah pada metabolisme kolesterol darah, ataukah keduanya.

Pengujian kapasitas antioksidan klorofil belum dilakukan secara in vivo. Namun pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa tingkat kematian sel yang diinduksi oleh radikal hidroksil menurun oleh adanya klorofilin. Klorofilin menangkap radikal hidroksil (hasil reaksi Fenton) sebelum radikal tersebut menyerang sel. Selain itu klorofilin menurunkan peroksidasi lipid dalam sel fibroblast paru-paru hamster (lung fibroblast V79 chinese hamster). Dosis klorofilin yang digunakan untuk diinkubasi dengan sel makrofag adalah 10, 20, 50 µM. Pada konsentrasi 10 µM, produksi nitrit oksida (NO) dapat dihambat 1/3-nya (Cho et al 2000).

Studi in vitro dan ex vivo yang dilakukan oleh peneliti dari India yaitu Kamat, Boloor dan Devasagayam menunjukkan bahwa pemberian klorofilin pada konsentrasi rendah sebesar 10 μM (studi in vitro) atau dalam air minum sebesar 1% (studi ex vivo) dapat melindungi kerusakan membran mitokondria hati tikus yang diakibatkan oleh radiasi gama dan fotosensitisasi. Kemampuan antioksidannya ini ditunjukkan oleh adanya penurunan peroksidasi lipid, yaitu thiobarbituric reactive


(41)

substances (TBARS) dan hidroksinonenal (4-HNE), penurunan protein yang teroksidasi (enzim sitokrom-c oksidase, suksinat dehidrogenase dan protein karbonil), serta restorasi enzim superoksida dismutase (SOD) dan glutation (GSH). Bahkan pada konsentrasi ekuimolar, kapasitas antioksidan klorofilin lebih besar daripada asam askorbat, glutation, manitol dan tert-butanol. Disimpulkan bahwa klorofilin merupakan antioksidan potensial pada membran mitokondria yang dapat melindungi membran dari kerusakan oksidatif oleh berbagai spesies oksigen reaktif (ROS) (Boloor et al 2000, Kamat et al 2000).

Skrining terhadap inhibitor-inhibitor potensial untuk kanker kolorektal menyebutkan bahwa klorofilin merupakan inhibitor yang menjanjikan, termasuk juga asam linoleat terkonjugasi, indol-3-karbinol, dan polifenol teh. Parameter yang digunakan adalah biomarker abberant crypt foci (ACF), yaitu perubahan morfologis paling dini yang dapat terdeteksi. Komponen-komponen bioaktif tersebut kemudian ditambahkan ke dalam daftar senyawa-senyawa natural dan sintetik yang efektif melawan kanker kolon (Higdon 2005).

Turunan klorofil bersifat antimutagenik dan antikarsinogenik antara lain terhadap amin heterosiklik seperti 2-amino-1-metil-6-fenilimidazol [4,5-b] piridin (PhIP) dan 2-amino-3-metilimidazo[4,5-f]quinolin (IQ) (Guo et al 1995; Dashwood dan Guo 1992; Guo dan Dashwood 1994), dibenzo[a,I]piren (Harttig dan Bailey 1998), aflatoksin B1 (Egner et al 2001).

Studi terhadap mekanisme antikarsinogen menyebutkan bahwa klorofilin berperan sebagai “interceptor molecule” yang membentuk kompleks molekul non kovalen terutama dengan karsinogen aromatik dan planar, seperti aflatoksin B1 (AFB1). Kompleks antara klorofilin dan AFB1 diyakini mencegah absorpsi AFB1, sehingga menurunkan ketersediaan karsinogen bagi sel target. Yun et al (1995) mengatakan bahwa mekanisme perlindungan klorofil di hati dikarenakan aktivitas antioksidannya serta penghambatan non spesifik terhadap sitokrom P450 dimana sistem enzim ini terlibat dalam bioaktifasi karsinogen. Lebih lanjut dikatakannya bahwa kaitannya sebagai antigenotoksik, adanya aksi penghambatan sitokrom P450 oleh klorofil lebih dominan dibandingkan dengan adanya pembentukan komplek molekul antara karsinogen dengan klorofilin.


(42)

Reddy et al (2005) membandingkan kemampuan penghambatan peroksidasi lipid, enzim siklooksigenase dan proliferasi sel tumor dari beberapa pewarna pangan alami, yaitu betanin, sianidin-3-0-glukosida, likopen, biksin, β-karoten dan klorofil, berturut-turut diekstrak dari Beta vulgaris, Prunus cerasus, Lycopersicum esculentum, Bixa orellana, Daucus carota, dan Spinacia oleracea. Hasilnya menyebutkan bahwa di antara pigmen yang larut lemak, klorofil memperlihatkan efek penghambatan yang terbesar yaitu antara 60-80%, terhadap pertumbuhan sel kanker yang diujikan (MCF-7 (payudara), HCT-116 (kolon), AGS (lambung), CNS (sistem syaraf pusat), dan NCI-H460 (paru-paru). Kombinasi antara klorofil dan likopen menunjukkan penghambatan yang kuat terhadap proliferasi semua sel kanker yang diujikan. Selain itu, efek penghambatan pigmen larut air terhadap enzim siklooksigenase (COX) lebih lemah dibandingkan pigmen larut lemak. Enzim-enzim siklooksigenase, COX-1 dan COX-2, mengkatalisis konversi asam arahidonat membentuk mediator inflamasi. Klorofil memiliki penghambatan yang baik bagi COX-1 dan COX-2 yaitu masing-masing sebesar 67% dan 90%.

Pemberian klorofilin secara oral dalam jangka pendek dilaporkan meningkatkan level glutation-S-transferase pada hati mencit. Terhadap enzim fase II, klorofil, klorofilin dan tetrapirol merupakan kelas baru induser enzim fase-2, dalam hal ini adalah NAD(P)H:quinon reduktase 1 (NQO1). Analisis dilakukan terhadap nilai CD yaitu konsentrasi yang diperlukan untuk melipatgandakan aktivitas NQO1. Hasil menunjukkan bahwa klorofil-a, feofitin-a, klorofilin dan Cu-klorin-e4 memiliki nilai CD berturut-turut 250, 250, 10-30, dan 5,5 μM. Semakin rendah nilai CD berarti semakin potensial. Feoforbid-a tidak aktif sebagai induser. Sebagai perbandingan, nilai CD untuk zeaxantin, beta karoten dan alfa karoten adalah 2.2, 7.2 dan 100 μM (Fahey et al 2005).

Dalam artikel review mengenai metabolit-metabolit klorofil, Ma dan Dolphin (1999) menjelaskan bahwa dibandingkan dengan fitokimia pangan yang lain, yang memiliki reaktivitas kimiawi yang lebih rendah, klorofil sangat rentan terhadap kondisi pencernaan, terutama grup-grup di sekitar makrosiklik. Banyak metabolit dari diet klorofil-a yang mempunyai struktur baru dan unik yang sangat berbeda dengan produk turunan klorofil-a yang telah diketahui seperti feofitin-a, feoforbid-a, dan pirofeoforbid-a. Perbedaan itu antara lain adanya cincin tambahan eksosiklik


(43)

(cincin VI) dalam kerangka klorin. Beberapa klorin yang menampakkan aktivitas antioksidan yaitu 132,173 cyclopheophorbide-a enol yang diisolasi pertama kali dari bunga karang Darwinella oxeata tahun 1986, 132S-hydroxychlorophyllone a dari remis besar berleher pendek Ruditapes philippinarum di danau Hamana, Jepang.

Dijelaskannya pula, aktivitas antioksidan klorin ini terlihat dari studi terhadap bilangan peroksida (POV) ekstrak berbagai spesies hewan laut yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Kadar POV yang rendah (kurang dari 10 meq/kg ekstrak) menimbulkan dugaan adanya sifat antioksidan yang kuat pada organisme tersebut. Skrining lebih lanjut pada ekstrak-ekstrak tersebut memperlihatkan keberadaan antioksidan klorin yang lain yaitu 151 R-hydroxychlorophyllonelactone-a, metil ester chlorophyllonic acid, dan 132 -oxopyropheophorbide-a, pyropheophorbide-a, purpurin 18 dan metil ester purpurin 18 dalam bagian yang dapat dimakan (edible portion) dari Ruditapes sp. Klorin-klorin tersebut yang diisolasi dengan ekstraksi oleh pelarut CH3Cl/MeOH, memiliki

aktivitas antioksidan lebih tinggi pada dosis 3 µg dibandingkan dengan 20 µg α -tokoferol dalam kondisi gelap. Artikel ini juga menyebutkan ditemukannya struktur kompleks antara steryl-klorin dimana adanya gugus kolesterol mensubstitusi posisi fitol yang berikatan dengan struktur klorin (Ma dan Dolphin 1999).

Mekanisme Antioksidasi Klorofil

Endo et al (1985) mengemukakan mengenai mekanisme antioksidatif klorofil dan turunannya. Mereka membandingkan aksi antioksidan antara klorofil a dan turunannya yaitu feofitin a, protoporfirin dan Mg-protoporfirin. Keempat senyawa memperlihatkan kapasitas antioksidatif terhadap metil linoleat dalam kondisi gelap dengan parameter bilangan peroksida (PV) dan bilangan karbonil (CV). Dalam hal menghambat pembentukan peroksida, klorofil dan Mg-protoporfirin memperlihatkan aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan feofitin dan protoporfirin. Namun pengujian menggunakan senyawa pirol, yaitu penyusun struktur porfirin, tidak menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang berarti. Hasil ini menunjukkan bahwa struktur porfirin penting untuk aksi antioksidatif klorofil dan juga keberadaan Mg meningkatkan aktivitas antioksidan klorofil. Penelusuran lebih lanjut mengenai pengaruh Mg menyimpulkan bahwa Mg akan memberi pengaruh terhadap aktivitas


(44)

antioksidan klorofil jika terdapat dalam bentuk terkelat dalam struktur klorofil, bukan dalam bentuk ionik (sebagai MgCl2).

Endo et al (1985) selanjutnya melihat kemampuan klorofil dan feofitin dalam mendegradasi hidroperoksida, yaitu dengan cara menginkubasikannya dalam substrat metil linoleat hidroperoksida. Hasilnya menunjukkan keduanya tidak memiliki kemampuan mendegradasi hidroperoksida. Pengujian terhadap kemampuan menangkap radikal DPPH menunjukkan bahwa klorofil memiliki kemampuan menangkap radikal DPPH dan disimpulkan bahwa klorofil memiliki kemampuan menangkap (scavenge) radikal lipid yang dihasilkan selama proses otooksidasi minyak sehingga dapat memutus rantai oksidasi.

Untuk melihat terjadinya reaksi antara klorofil dengan radikal lipid dilakukan dengan bantuan spektrum electron spin resonance (ESR). Disimpulkan bahwa struktur penting untuk aktivitas antioksidan klorofil ditemukan pada porfirin bukan pada pirol, fitol, logam maupun cincin isosiklik. Radikal π-kation dari komponen porfirin merupakan senyawa yang memegang peranan dalam mekanisme antioksidan klorofil. Umumnya senyawa-senyawa antioksidan berperan sebagai donor atom hidrogen kepada radikal bebas sehingga memutus rantai oksidasi, namun hal ini tidak mungkin terjadi pada struktur kimia porfirin (Endo et al 1985).

Mekanisme antioksidan yang dikemukakan oleh Endo et al (1985) adalah: ROO• + CHL Æ ROO:(-)CHL•(+)

ROO:(-)CHL•(+) + ROO•Æ produk inaktif

Klorofil bereaksi dengan radikal peroksi ROO• yang dihasilkan pada tahap awal oksidasi minyak dan berubah menjadi radikal π-kation. Radikal π-kation dari klorofil ini berikatan dengan radikal peroksi bermuatan negatif dengan ikatan yang longgar (tidak kuat), dan membentuk suatu kompleks yang bersifat antara (intermediat). Kompleks ini kemudian bereaksi dengan radikal peroksi yang lain dan akhirnya membentuk produk yang inaktif.

Kesimpulan yang mereka peroleh adalah: (1) efek antioksidatif klorofil adalah berasal dari struktur porfirinnya, (2) Mg dapat memperkuat aktivitas antioksidan klorofil hanya jika dalam bentuk terkelat, (3) klorofil mereduksi radikal bebas DPPH, (4) Radikal π-kation dihasilkan oleh klorofil jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat.


(45)

Kumar et al (2001) melihat lebih jauh senyawa-senyawa ROS yang dapat diredam oleh klorofilin. Dengan menggunakan ESR spektroskopi, terlihat bahwa klorofilin mampu menghambat pembentukan adduct 5,5-dimetil-1-pirolin-N-oksida dengan radikal hidroksil (DMPO-*OH adduct) bahkan pada konsentrasi 1 mM dapat menghambat lebih dari 90%. Klorofilin juga mampu menghambat pembentukan radikal 2,2,6,6-tetrametil-piperidin oksida (TEMPO) yang pembentukannya tergantung pada keberadaan 1O2. Selain itu, klorofilin mampu menghambat oksidasi

merah fenol yang diinduksi oleh H2O2. Terlihat bahwa klorofilin mampu meredam

berbagai ROS diantaranya radikal hidroksil (*OH), singlet oksigen (1O2) dan

hidrogen peroksida (H2O2). Tabel 4 yang menampilkan konstanta reaksi antara

klorofilin dengan berbagai ROS menunjukkan bahwa klorofilin memiliki kemampuan sebagai radical scavenger.

Tabel 4 Konstanta reaksi klorofilin dengan berbagai spesies oksigen reaktif (ROS)

Jenis ROS Konstanta (M-1.s-1) Referensi

*OH 6.1 ± 0.4 X 109 Kumar et al 2001

ROO* 5.0 ± 1.3 X 107 Kumar et al 2001

1

O2 1.3 X 108 Kamat et al 2000

H2O2 2.7 X 106 Kumar et al 2001

Ferruzzi et al (2002b) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai turunan klorofil dalam sistem in vitro (Tabel 5), dan dinyatakan dalam satuan Trolox Equivalen Antioxidant Capacity (TEAC). Klorofil yang kehilangan logamnya pada pusat cincin porfirin akan menurun kapasitas antioksidannya. Hal ini karena logam yang terkelat akan mengakibatkan lebih terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuan men- donorkan elektron dari sistem porfirin yang terkonjugasi. Klorofil yang kehilangan grup fitilnya menampakkan peningkatan antioksidasi. Dari kedua pernyataan diatas terlihat bahwa kerangka klorin atau porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah 2 hal yang penting untuk kapasitas antioksidan.


(46)

Tabel 5 Kapasitas antioksidan dari 15 macam turunan klorofil dan SCC menggu- nakan radikal DPPH (1,1-diphenyl 2-pycryl hydrazyl) dan ABTS (2,2’- azinobis-[3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonicacid])

Senyawa klorofil dan turunannya Kapasitas antioksidan (TEAC) menggunakan radikal DPPH

Senyawa klorofil dan turunannya Kapasitas antioksidan (TEAC) menggunakan radikal ABTS

Pirofeofitin-a 0.02 ± 0.01 a Feofitin-a 0.02 ± 0.02 a Feofitin-a 0.04 ± 0.02 a Feofitin-b 0.08 ± 0.06 a Feofitin-b 0.05 ± 0.02 ab Pirofeofitin-a 0.16 ± 0.04 ab Klorofil-b 0.06 ± 0.03 b Klorofil-b 0.23 ± 0.07 b Zn-feofitin-b 0.13 ± 0.03 c Zn-feofitin-b 0.29 ± 0.11 c Klorofil-a 0.19 ± 0.02 d Zn-feofitin-a 0.43 ± 0.07 d Feoforbid-a 0.21 ± 0.02 d Feoforbid-a 0.45 ± 0.04 d

Klorin e4 0.26 ± 0.01 d Klorin e4 0.53 ± 0.02 e

Zn-pirofeofitin-a 0.44 ± 0.04 e Cu-feofitin-a 0.58 ± 0.03 f

Zn-feofitin-a 0.51 ± 0.04 f Klorin e6 0.64 ± 0.03 g

Klorin e6 0.60 ± 0.01 g Zn-pirofeofitin-a 0.67 ± 0.05 gh

Cu-klorin e4 0.81 ± 0.02 h Klorofil-a 0.73 ± 0.05 h

Cu-feoforbid-a 0.98 ± 0.09 i SCC 1.25 ± 0.28 i Cu-feofitin-a 0.99 ± 0.03 i Cu-klorin e4 1.35 ± 0.14 i

SCC 1.04 ± 0.11 i Cu-klorin e6 2.25 ± 0.13 j

Cu-klorin e6 2.88 ± 0.06 k Cu-feoforbid-a 2.40 ± 0.13 j Ket. : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.01)

Sumber: Ferruzzi et al (2002b)

Metabolisme Kolesterol

Kolesterol di dalam tubuh manusia dapat berasal dari dua sumber yaitu dari makanan dan biosintesis de novo. Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani. Biosintesis de novo kolesterol terjadi hampir pada semua sel yang mengandung nukleus, tetapi yang terbesar terjadi pada hati, usus, korteks adrenal dan jaringan reproduktif. Muchtadi et al (1993) menyatakan bahwa jumlah laju sintesis kolesterol de novo berhubungan dengan jumlah kolesterol yang berasal dari makanan, jika jumlah kolesterol di dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus akan menurun, sebaliknya jika jumlah kolesterol dari


(47)

makanan berkurang maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus akan meningkat. Kolesterol diperlukan oleh tubuh antara lain untuk: (a) sintesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses pencernaan lemak atau minyak, (b) sintesis vitamin D dan hormon steroid, (c) sebagai komponen membran sel.

Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 5 dan biosintesis kolesterol pada Gambar 6. Linder (1992) menyatakan bahwa orang dewasa rata-rata membutuhkan 1.1 gram kolesterol untuk kebutuhan tubuhnya. Dari jumlah itu, 25-40% atau 200-300 mg secara normal berasal dari makanan dan selebihnya dari endogen (biosintesis) terutama oleh hati kemudian oleh usus kecil. Kadar kolesterol normal dalam plasma pada orang dewasa normal sebesar 3.1 sampai 5.7 mmol/l (120-220 mg/dl). Biasanya kadar kolesterol yang melebihi batas ini dianggap sebagai hiperkolesterolemia.

Gambar 5 Struktur kimia kolesterol


(48)

Gambar 6 Biosintesis kolesterol

(http://www.web.indstate.edu/theme/mwking/cholesterol.html)

Gambar 7 Sintesis asam empedu primer (asam kolat dan asam kenodeoksikolat) (http://www.web.indstate.edu/theme/mwking/cholesterol.html)


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 43. Prosedur separasi klorofil dari daun suji untuk pembuatan sampel klorofil suji (KS)

Prosedur diambil dari:

“Separation of Plant Pigments by Column Chromatography (CC) Objectives : Chromatographic Method, Plant Pigments”

oleh Peter Keusch

http://www.uni- regensburg.de/Fakultaeten/nat_Fak_IV/Organische_Chemie/Didaktik/Keusch/D-CC-e.htm

Persiapan sampel :

Sebanyak 5 g irisan daun suji digerus dengan campuran 22 ml aseton + 3 ml petroleum eter dan CaCO3 sebanyak 1 spatula. Hancuran daun kemudian disaring dengan Buchner. Filtrat dipindahkan ke dalam labu pemisah dan ditambahkan ke dalamnya 20 ml petroleum eter dan 20 ml larutan NaCl 10%. Labu dikocok-kocok agar klorofil terekstrak. Lapisan atas yang berwarna hijau pekat dipisahkan, sedangkan lapisan bawah dicuci sebanyak 3-4 kali dengan masing-masing dengan 5 ml akuades. Lapisan atas dikumpulkan menjadi satu dan dikeringkan dengan 4 spatula Na2SO4 dalam tabung berdasar bulat.

Separasi sampel :

Lapisan atas (fase PE) dituang ke atas kolom silica gel 60, dan dielusi dengan menggunakan petroleum eter : aseton (7:3). Selama elusi akan terbentuk pita-pita pigmen daun seperti pada Lampiran 44. Pita hijau yang berisi klorofil dipisahkan dan kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator tanpa menggunakan panas. Ekstrak klorofil dipindahkan secara kuantitatif ke dalam botol gelap, dan dilanjutkan dengan pengukuran kadar klorofil ekstrak klorofil suji (KS).


(5)

Lampiran 44. Gambar separasi pigmen daun (Keusch 2006)

http://www.uni-regensburg.de/Fakultaeten/nat_Fak_IV/Organische_Chemie/ Didaktik/Keusch/D-CC-e.htm

Prosedur separasi dapat dilihat pada Lampiran 43.

Eluen yang digunakan adalah petroleum eter : aseton (7:3) Urutan pigmen dari bawah (non polar) ke atas (polar) : 1. karoten

2. feofitin 3. klorofil a 4. klorofil b 5. lutein


(6)

Lampiran 45. Prosedur Analisis Komponen Fitokimia (Harborne, 1987).

Senyawa steroid dan triterpenoid

Sebanyak 1 mg sample yang telah kering dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform. Kemudian larutan ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrida dan 3 tetes asam sulfat pekat. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna hijau (senyawa steroid) dan warna merah atau ungu (triterpenoid).

Senyawa saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busan yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin.

Senyawa alkaloid

Sebanyak 1 ml sample dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan asamnya dipisahkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Meyer, Wagner dan Dragendorf yang akan menimbulkan endapan warna berturut-turut putih, cokelat dan merah jingga.

Senyawa tannin

Sebanyak 1 ml ekstrak (1 gram sample diekstrak dengan 20 ml etanol 70%) ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 1%. Timbulnya warna biru tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.

Senyawa flavonoid

Sebanyak 1 ml atau 1 g sample dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit, setelah itu disaring dan filtratnya (10 ml) ditambahkan 0.5 g serbuk magnesium, 2 ml alcohol klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 20 ml amil alcohol. Selanjutnya dikocok dengan kuat. Terbentuknya warna merah, kuning dan jingga pada lapisan amil alcohol menunjukkan adanya flavonoid.

Senyawa fenolik hidrokuinon

Sebanyak 1 ml sample diteteskan pada spot plate dan ditambahkan NaOH 10%. Terbentuknya warna merah menandakan uji positif adanya senyawa fenol hidrokuinon.