Analisis dampak kebijakan PPN pertanian pada UU Nomor 18 Tahun 2000 terhadap petani
KAJI ULANG KONSEP DAN PERKEMBANGAN
NILAI TUKAR PETANI TAHUN 2003 - 2006
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia, Nilai Tukar Petani (NTP) ditafsirkan sebagai penanda (indikator)
kesejahteraan petani. Konsep pengukuran NTP memang amat sederhana, diukur
sebagai rasio indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar petani,
sehingga mudah dipahami masyarakat umum. Alternatif lain penanda kesejahteraan
yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada sehingga NTP menjadi pilihan
satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian. Lagi pula data NTP
dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara berkala,
konsisten dan ”
up to date
”. BPS mempublikasikan NTP tiap bulan, baik melalui
konferensi pers maupun melalui media berkala Indikator Ekonomi, serta tiap tahun
melalui buku Indikator Pertanian dan Statistik Indonesia dan media publikasi BPS
lainnya.
Lazimnya, kesejahteraan ekonomi suatu rumahtangga diukur berdasarkan
nilai riil atau daya beli (
purchasing power
) pendapatan dari rumahtangga tersebut.
Seperti yang didefinisikan BPS, NTP tidak berkaitan langsung dengan nilai riil
pendapatan rumahtangga tani. Sampai saat ini belum ada penjelasan konseptual
yang meyakinkan kenapa NTP-BPS valid dijadikan sebagai penanda kesejahteraan
rumahtangga tani. Penelitian sebelumnya terfokus pada dinamika nilai tukar petani,
bukan tinjauan kritis terhadap metode pengukuran nilai tukar petani (Anwar,
et al
,
1981; Simatupang, 1992; Simatupang dan Isdiyoso, 1992; Hutabarat, 1995).
Penggunaan NTP-BPS sebagai penanda kesejahteraan petani nampaknya
didasarkan pada konsensus yang tercipta melalui proses komunikasi dari orang ke
orang.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara kritis apakah NTP-BPS valid
digunakan sebagai penanda kesejahteraan ekonomi petani. Selain seperti cara
perhitungan BPS, diuraikan pula dua alternatif pengukuran NTP yang dipandang
lebih sesuai untuk penanda kesejahteraan petani. Kedua alat ukur nilai tukar petani
tersebut dapat dihitung dengan data yang tersedia dan dipublikasikan BPS.
Selanjutnya dianalisis dinamika nilai tukar petani selama periode tahun 2003-2006
dengan menggunakan tiga alat ukur.
(2)
II. TINJAUAN KONSEPTUAL
2.1. Metode BPS
Seperti telah disebutkan, BPS menghitung NTP sebagai rasio harga yang
diterima terhadap harga yang dibayar petani :
NTP =
HBP
HTP
x 100 ...
(1)
NTP = Indeks Nilai Tukar Petani
HTP = Indeks Harga Yang Diterima Petani
HBP = Indeks Harga Yang Dibayar Petani
Indeks harga agregat dihitung dengan indeks Laspeyres yang dikembangkan
(
modified Laspeyres Index
) :
IH
t=
∑
∑
= = − − n i i i n i i it it itQ
H
Q
H
H
H
1 0 0 1 0 1 1)
/
(
x 100 ………..………...
(2)
IH
t= indeks harga
it
H
= harga barang / jasa i pada periode t, i = 1,2, … n
0 i
H
= harga barang / jasa i pada tahun dasar
0 i
Q
= kuantitas barang / jasa i pada tahun dasar
Indeks harga yang diterima petani merupakan agregasi dari indeks Harga
Tanaman Bahan Makanan (HTBM) dan indeks Harga Tanaman Perkebunan Rakyat
(HTPR). HTBM sendiri merupakan agregasi dari indeks Harga Padi (HTPD), Harga
Palawija (HTPL), Harga Sayuran (HTSA) dan Harga Buah-Buahan (HTBU). Indeks
HTPR tidak memiliki sub-indeks, yang berarti dihitung langsung dari harga komoditas
bersangkutan. Setiap sub-agregasi indeks harga yang diterima petani tersebut juga
diterbitkan sacara reguler oleh BPS.
Indeks harga yang dibayar petani (HPB) merupakan agregasi dari indeks
harga sektor Konsumsi (HKP) dan indeks harga sektor Biaya Produksi dan
Penambahan Barang Modal (HFP). HKP merupakan agregasi dari indeks harga
(3)
barang makanan (HKBM), indeks harga perumahan (HKPR), indeks harga barang
pakaian (HKPK) dan indeks harga aneka barang dan jasa yang dikonsumsi petani
(HKAB). Sedangkan HFP merupakan agregasi dari indeks harga faktor produksi
(HBFP), indeks harga upah (HBUP), indeks harga penambahan barang modal
(HBBM) dan indeks harga barang lainnya (HBBL). Agar lebih jelas, semua
perhitungan NTP oleh BPS ditampilkan pada gambar 1.
Dari metode perhitungan dan cara penyajian NTP oleh BPS, seperti yang
diuraikan diatas, kiranya perlu diperhatikan pertimbangan dan catatan kritis berikut :
Pertama
, NTP-BPS hanya merujuk rumahtangga petani tanaman bahan
makanan dan perkebunan rakyat saja. Oleh karena itu, NTP-BPS tidak dapat
dijadikan penciri kondisi ekonomi rumahtangga tani secara umum (termasuk
peternak atau bahkan rumahtangga perikanan). Kata ”pertanian”, terlalu luas dari
yang sesungguhnya tercakup dalam perhitungan NTP-BPS.
Kedua
, NTP-BPS hanya mencoba mengakomodir pendapatan rumahtangga
tani dari usaha bahan makanan dan perkebunan. Dalam realitasnya, rumahtangga
tani tanaman bahan makanan dan perkebunan, pada umumnya juga memperoleh
pendapatan dari usaha peternakan atau perikanan, ataupun usaha non pertanian.
Penelitian yang dilakukan Saliem,
et al
(2005) menunjukkan bahwa sumbangan
usahatani bahan makanan dan perkebunan dalam pendapatan rumahtangga
pedesaan pada tahun 2002 hanya 27,76 persen saja. Sumbangan usaha pertanian
lainnya (peternakan, dan sebagainya) mencapai 6,43 persen, dan bagian terbesar
(65,8 persen) adalah sumbangan dari luar usaha pertanian. Dengan demikian,
NTP-BPS (tepatnya NTP dan MBFM) tidak memperhitungkan sumber pendapatan
terbesar rumahtangga tani, yang berarti pula tidak valid dijadikan penanda dari
kesejahteraan petani, bahkan bahan makanan dan tanaman perkebunan sekalipun.
(4)
A. HARGA PRODUK PERTANIAN
2. Tanaman Perkebunan Komoditas Perkebunan
Indeks Harga
Tanaman Bahan Makanan 1. Tanaman Pangan
a. Komoditas Padi b. Komoditas Palawija c. Komoditas Sayuran d. Komoditas Buah-Buahan
HTPI HTPL HTSA HTBU HTBM Indeks Harga
Tanaman Perkebunan Rakyat HTBM
Indeks Harga Yang Diterima Petani
HTP
B. HARGA BARANG YANG DIBELI
2. Operasi Produksi Usahatani a. Faktor Produksi
b. Upah Tenaga Kerja
c. Penambahan Barang Modal d. Lainnya HBFP HBUP HBBM HBBL HFP 1. Konsumsi Rumahtangga
a. Bahan Makanan b. Perumahan c. Pakaian
d. Aneka Barang & Jasa
HKBM HKPR HKPK HTAB
HKP
Indeks Harga Barang Konsumsi Rumahtangga
Indeks Harga Biaya Produksi dan Modal Usahatani
HPB Indeks Harga Yang Dibayar Petani
NTP
Gambar 1. Skema Perhitungan NTP - BPS
Agregasi dengan formula Laspeyres
(5)
Ketiga
, dengan hanya memperhitungkan sumber pendapatan dari usahatani
tanaman bahan pangan dan perkebunan, nilai tukar yang dibuat BPS lebih tepat
disebut nilai tukar (rumahtangga) petani tanaman (pangan, hortikultura dan
perkebunan) daripada nilai tukar petani (tanaman, peternakan, perikanan). Secara
keseluruhan, NTP-BPS tersebut hanya valid bagi rumahtangga tani (spesialis)
tanaman yang seluruh pendapatannya dari usahatani tanaman. Dengan demikian,
NTP-BPS tidak mencerminkan realitas empiris rumahtangga tani di Indonesia.
Keempat
, NTP-BPS, yang dihitung sebagai rasio indeks harga seluruh barang
yang dijual (hasil usahatani) terhadap indeks harga seluruh barang yang dibeli
(barang konsumsi maupun input usahatani) rumahtangga tanaman, lebih tepat
disebut nilai tukar barter antara rumahtangga petani murni (spesialis) tanaman
dengan masyarakat lainnya. Nilai tukar barter tidak memiliki hubungan langsung dan
jelas dengan daya beli pendapatan (persamaan 3) yang merupakan penanda dari
kesejahteraan rumahtangga, yang didefinisikan sebagai rasio pendapatan (laba
usahatani) terhadap indeks harga barang konsumsi yang dibeli rumahtangga.
Dari persamaan (3) dapat dilihat bahwa indeks harga barang konsumsi
berpengaruh langsung (relasi negatif) terhadap kesejahteraan petani. Elastisitas
daya beli (pendapatan) terhadap indeks harga barang konsumsi adalah (minus) satu
(
unitary elastic
) :
DBP =
HBKK
NPN
... (3)
EDBP – HBKK = - 1
DBP = daya beli pendapatan (penanda kesejahteraan ekonomi)
NPN = Nilai pendapatan nominal
EDBP – HBKK = elastisitas DBP terhadap HBKK
Dari definisi pada persamaan (1), elastisitas NTP terhadap indeks harga
barang konsumsi adalah kurang dari satu (secara absolut), yakni sebesar pangsanya
dalam perhitungan indeks harga yang dibayar petani (HBP) :
NTP =
HBP
HTP
x 100 =
HBFM
W
HBKK
W
HTP
21
+
... (4)
ENTP – HBKK =
−
W
1,
W
1< 1
ENTP – HBKK = Elastisitas NTP terhadap HBKK
1
W
= bobot HPKK dalam perhitungan HBKK
(6)
Dengan demikian, NTP-BPS tidak saja mengaburkan relasi kesejahteraan
(daya beli) petani dengan harga yang diterima petani (NTP mungkin tidak berubah
walaupun HBKK berubah bila HTP dan HBFM juga berubah, serta sebaliknya), tetapi
juga memperkecil (
under estimate
) pengaruh harga yang diterima petani terhadap
kesejahteraan petani (jika HTP dan HBFM) tetap. Dengan perkataan lain, salah satu
kelemahan konseptual nilai tukar barter, seperti yang diadopsi BPS ialah agregasi
indeks harga yang dibayar petani. Konkritnya, agar lebih valid sebagai penciri
kesejahteraan, indeks harga barang konsumsi rumahtangga haruslah dipisahkan dari
indeks harga biaya produksi usahatani.
Berbeda dengan indeks harga barang konsumsi, indeks harga yang diterima
petani dan indeks harga biaya produksi usahatani terjadi secara tidak langsung
melalui pengaruh masing-masing terhadap laba usahatani. Padahal, dalam
perhitungan NTP-BPS, persamaan (1) indeks harga yang diterima petani
berpengaruh langsung terhadap NTP. Secara konseptual, cara perhitungan
NTP-BPS juga menyebabkan kaburnya hubungan antara harga yang diterima, maupun
harga biaya produksi usahatani dengan kesejahteraan petani.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa NTP-BPS bukan penanda
yang baik bagi kesejahteraan petani. NTP-BPS mengaburkan hubungan antara
kesejahteraan petani dengan harga yang diterima petani, harga barang konsumsi
dan harga input produksi usahatani. NTP-BPS juga telah menyebabkan bias
terhadap besaran dampak harga yang diterima petani, harga barang konsumsi dan
harga input produksi usahatani terhadap kesejahteraan petani. Namun demikian,
data yang dikumpulkan BPS amat berharga dan cukup rinci untuk dimanfaatkan
dalam mengamati perkembangan berbagai alternatif nilai tukar petani yang akan
diuraikan pada bagian berikut.
2.2. Usulan Ukuran Nilai Tukar Komplemen
Terlepas dari kelemahan mendasar pada kesesuaian keterwakilannya
(
representativeness
), data yang disediakan BPS secara berkala dan konsisten amat
berharga untuk dimanfaatkan dalam mengamati dan mengkaji kinerja sektor
pertanian dan sektor perkebunan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah
dengan mengembangkan ukuran nilai tukar sebagai komplemen terhadap nilai tukar
barter agregat yang selama itu dibuat oleh BPS. Berikut ini dirumuskan dua ukuran
nilai tukar yang dipandang lebih memiliki hubungan yang jelas dengan kesejahteraan
petani.
(7)
Pertama
, Nilai Tukar Konsumsi Petani (NTKP), yaitu rasio antara indeks
harga yang diterima petani dan indeks harga konsumsi petani :
NTKP =
HKP
HTP
x 100 ... (5)
NTKP menunjukkan daya beli riil hasil usahatani terhadap barang konsumsi
rumahtangga tani. NTKP dapat ditafsirkan sebagai kuantitas (unit agregat) hasil
usahatani yang harus dilepaskan untuk memperoleh satu unit (secara agregat)
barang konsumsi. Jika NTKP meningkat (menurun) maka kuantitas barang konsumsi
rumahtangga yang dapat dibeli dari hasil penjualan satu unit hasil usahatani
meningkat (menurun) pula. Dengan demikian, NTKP merupakan faktor penentu
(dengan hubungan positif) daya beli hasil usahatani atas barang konsumsi
rumahtangga tani.
Dalam teori ekonomi, kesejahteraan ekonomi diukur berdasarkan kuantitas
dan ragam barang (dan jasa) yang dikonsumsi. Semakin banyak barang yang dapat
dikonsumsi semakin tinggi kesejahteraan ekonomi. Oleh karena NTKP adalah faktor
penentu daya beli hasil usahatani atas barang konsumsi maka dengan sendirinya
NTKP juga merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan rumahtangga tani.
Dengan demikian NTKP dapat digunakan sebagai salah satu penanda kesejahteraan
petani. Jika NTKP meningkat (menurun),
ceteris paribus
, kesejahteraan petani
meningkat (menurun).
Kedua
, Nilai Tukar Faktor Produksi (NTFP) usahatani (
Factoral Terms of
Trade
, Flemming (2006), yaitu rasio indeks harga yang diterima petani terhadap
indeks harga faktor produksi (biaya, dalam terminologi BPS) usahatani.
NTFP =
HFP
HTP
x 100 ... (6)
NTFP dapat dipandang sebagai penanda insentif berusahatani. NTFP berpengaruh
positif terhadap laba usahatani, yang berarti pula terhadap pendapatan rumahtangga
tani. Hal ini dapat ditunjukkan dengan mudah sebagai berikut :
Misalkan semua input maupun output usahatani dapat diagregasikan menjadi
satu input dan satu output majemuk serta fungsi produksi sesuai dengan sifat
normalnya :
Q = f(X), f’ =
X
Q
∂
∂
> 0, f’’ =
2 2
X
Q
∂
∂
−
(8)
Q = produksi usahatani
X = input usahatani
Sebagai pengusaha yang rasional, petani senantiasa berusaha meraih laba
maksimal dengan menggunakan input secara optimal :
L = PQ – RX ... (8)
L = laba usahatani
P = harga hasil usahatani
R = harga input usahatani
Penggunaan input optimal didasarkan pada maksimisasi laba pada persamaan (8) :
X
L
∂
∂
= P
X
Q
∂
∂
- R = 0
f’(x) =
P
R
P
R
= f’
-1(x) ... (9)
Persamaan (9) adalah fungsi
inverse
permintaan terhadap input. Kiranya dapat
ditunjukkan dengan mudah bahwa permintaan terhadap input usahatani
berhubungan negatif dengan rasio harga input terhadap harga output (R/P)
usahatani, yang berati pula berhubungan positif dengan rasio harga output terhadap
input (P/R) usahatani. Oleh karena kuantitas input usahatani berpengaruh positif
terhadap kuantitas output usahatani (7) maka rasio harga output terhadap input
usahatani berpengaruh positif terhadap kuantitas produksi usahatani (Debertin, 1986;
Henderson and Quandt, 1980; Layard and Walters, 1978; Silberberg, 1978).
Selanjutnya, berdasarkan persamaan (8) akan mudah terlihat bahwa laba usahatani
berhubungan positif dengan rasio harga output terhadap input usahatani (cara
termudah untuk menjelaskan ini adalah dengan menggunakan
Hoteling Lemma
).
Dari uraian di atas jelas lah kiranya bahwa rasio harga output terhadap input
berpengaruh positif dengan laba usahatani. Jika diasumsikan bahwa seluruh atau
sebagian besar pendapatan rumahtangga tani berasal dari laba usahatani maka
rasio harga output dan input usahatani (dalam hal ini NTFP) berpengaruh signifikan
positif terhadap pendapatan rumahtangga tani, yang
ceteris paribus
, berarti pula
kesejahteraan ekonomi rumahtangga tani. Dengan demikian, NTFP dapat dijadikan
(9)
sebagai salah satu penanda profitabilitas usahatani maupun kesejahteraan ekonomi
petani.
Data indeks harga yang diterima petani (HTP), indeks harga barang konsumsi
rumahtangga tani (HKP) dan indeks harga faktor produksi usahatani (HFP) telah
tersedia dalam publikasi BPS sehingga indeks nilai tukar konsumsi petani (NTKP)
dan nilai tukar faktor produksi usahatani (NTFP) dapat dihitung segera tanpa harus
mengumpulkan data baru. Selain itu BPS juga menyediakan data indeks harga yang
diterima petani dirinci menurut kelompok komoditas (padi, palawija, sayuran,
buah-buahan dan perkebunan rakyat) yang masih kurang termanfaatkan. Dengan asumsi
bahwa struktur konsumsi rumahtangga tidak bervariasi nyata antar rumahtangga,
maka selain secara agregat, nilai tukar konsumsi petani (NTKP) dapat pula dihitung
menurut kelompok komoditas (padi, palawija, sayuran, buah-buahan dan perkebunan
rakyat). Asumsi bahwa struktur konsumsi rumahtangga tidak bervariasi nyata antar
rumahtangga menurut kelompok komoditas dapat diterima karena setiap
rumahtangga tani kemungkinan besar menghasilkan lebih dari satu jenis kelompok
komoditas tersebut. Berbeda dengan struktur konsumsi rumahtangga, struktur
ongkos produksi dapat dipastikan berbeda nyata antara kelompok komoditas
sehingga nilai tukar faktor produksi tidak valid untuk dipilah menurut kelompok
komoditas dengan menggunakan indeks harga faktor produksi yang sama.
Semua data untuk menghitung nilai tukar tersebut sudah tersedia di BPS
sehingga mestinya dapat dihitung BPS. Selain penanda diatas, masih banyak lagi
penanda nilai tukar petani yang mestinya juga diterbitkan BPS agar dapat diperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang keberpihakan dinamika harga terhadap petani
(Scandizzo and Diakosawas, 1987; Reksasudharma, 1989; Khan and Ahmed, 2005).
Selain NTKP dan NTFP yang diuraikan diatas, setidaknya dua ukuran lain yang
sangat penting yaitu nilai tukar barter bruto dan nilai tukar pendapatan. Kedua alat
ukur ini tidak dibahas disini karena membutuhkan data baru.
III. ANALISIS EMPIRIS
3.1. Nilai Tukar Barter (NTP – versi BPS)
Hasil perhitungan empiris nilai tukar petani seperti yang didefinisikan BPS,
selanjutnya disebut nilai tukar barter karena mengukur imbangan harga barang yang
dijual dan yang dibeli petani, ditampilkan pada tabel 1. Nilai tukar barter petani pada
tahun 2006 praktis stagnan, tidak berbeda dibanding tahun 2005. Namun selama
(10)
periode 2003-2005, nilai tukar barter petani cenderung menurun. Berdasarkan nilai
tukar berter (NTP-BPS), selama dua tahun terakhir perkembangan harga-harga
cenderung merugikan petani (walaupun tidak valid, sebagian mungkin
menafsirkannya sebagai penurunan kesejahteraan petani).
Tabel 1. Perkembangan Nilai Tukar Barter Petani (NTP-BPS), 2003 – 2006
(1993=100).
No. Indeks Harga 2003 2004 2005 2006*
1 Harga Yang Dibayar Petani 416,42 438,54 487,19 543,88
(5,31) (11,09) (11,64)
2 Harga Yang Diterima Petani 444,94 451,70 491,66 550,79
(1,52) (8,85) (12,03)
3 Nilai Tukar Petani Bruto 106,85 103,00 100,95 101,27
(-3,60) (-1,99) (0,32)
Keterangan : *) Sampai Juni.
Angka dalam kurung menunjukkan persentase perubahan
Berdasarkan perkembangan bulanan (gambar 2), perkembangan nilai tukar
barter petani pada semester pertama (Januari – Juni) 2006 sedikit lebih baik dari
tahun 2005, namun masih jauh lebih buruk daripada tahun 2004. Patut pula dicatat
bahwa nilai tukar barter petani anjlok cukup besar pada bulan Oktober hingga
Desember 2005. Hal ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM). Peningkatan harga BBM terbukti menimbulkan dampak
negatif yang cukup besar terhadap nilai tukar barter petani.
Jika dilihat dari komponennya (dalam tabel 1, khususnya angka indeks di
dalam kurung), ternyata bahwa dalam dua tahun terakhir (2005-2006) baik indeks
harga yang dibayar maupun yang diterima petani meningkat jauh lebih tinggi
dibanding dua tahun sebelumnya (2003-2004). Namun demikian, laju peningkatan
indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi daripada indeks harga yang diterima
petani sehingga nilai tukar barter petani mengalami penurunan. Dapat dikatakan
bahwa dalam dua tahun terakhir, subsektor tanaman pangan dan perkebunan berada
dalam kondisi inflasi yang tidak menguntungkan petani. Namun demikian, karena
kelemahan konseptual yang terkandung dalam pengukuran nilai tukar barter petani,
gambaran lebih jauh tentang kondisi kesejahteraan dan insentif berusahatani tidak
dapat dilakukan. Analisa berikut mungkin dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas.
(11)
98 100 102 104 106 108 110
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan
2003 2004 2005 2006
Gambar 2. Nilai Tukar Barter Petani 2003 – 2006 (1993 = 100)
3.2. Nilai Tukar Konsumsi Petani.
Hasil perhitungan nilai tukar konsumsi petani ditampilkan pada tabel 2.
Secara agregat (gabungan tanaman pangan dan perkebunan rakyat), nilai tukar
konsumsi cenderung menurun dalam periode 2003-2006, dengan indikasi penurunan
yang semakin kecil pada tahun 2006. Ini berarti, daya beli riil hasil usahatani
tanaman dalam dua tahun terakhir lebih rendah daripada dua tahun sebelumnya.
Nilai tukar konsumsi petani yang cenderung menurun jelas berdampak negatif
terhadap kesejahteraan petani sehingga mestinya menjadi perhatian pemerintah.
Kecenderungan penurunan indeks nilai tukar konsumsi petani dapat dilihat
lebih jelas pada gambar 3. Nilai tukar konsumsi petani sepanjang tahun 2005
(bulanan) selalu di bawah posisi tahun 2004, kecuali pada bulan September 2005.
Pada bulan Oktober 2005, nilai tukar konsumsi petani anjlok dan terus menurun
hingga bulan Desember 2005. Pada bulan Januari 2006, nilai tukar konsumsi petani
mengalami pemulihan dan terus berlanjut hingga bulan Juni 2006. Namun demikian,
nilai tukar petani selama bulan Januari – Juni 2006 masih lebih rendah dari posisi
pada bulan yang sama tahun 2005. Dengan demikian, nilai tukar konsumsi petani
pada semester pertama 2006 konsisten lebih buruk dibanding periode sama tahun
2005.
(12)
Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Konsumsi Petani, 2003 – 2006 (1993 = 100).
No. Uraian 2003 2004 2005 2006*
I Indeks Harga Yang Diterima
1 Pertanian (Seluruh Komoditi) 444,94 451,7 491,66 550,79
(1,52) (8,85) (12,03)
2 Tanaman Bahan Makanan 440,96 448,16 486,83 537,35
(1,63) (8,63) (10,38)
A Padi 440,5 430,29 470,61 529,17
(-2,32) (9,37) (12,44)
B Palawija 412,55 421,5 465,47 507,12
(2,17) (10,43) (8,95)
C Sayuran 392,07 412,74 477,74 545,79
(5,27) (15,75) (14,24)
D Buah-buahan 540,48 583,28 617,66 660,12
(7,92) (5,89) (6,87)
3 Tanaman Perkebunan Rakyat 411,81 421,18 456,63 531,85
(2,28) (8,42) (16,47)
II Indeks Harga Konsumsi 399,37 414,57 464,34 523,13
(3,81) (12,01) (12,66) III Nilai Tukar Konsumsi
1 Pertanian (Seluruh Komoditi) 111,41 108,95 105,88 105,29
(-2,21) (-2,82) (-0,56)
2 Tanaman Bahan Makanan 110,42 108,1 104,85 102,72
(-2,10) (-3,01) (-2,03)
A Padi 110,3 103,79 101,35 101,16
(-5,90) (-2,35) (-0,19)
B Palawija 103,3 101,67 100,24 96,94
(-1,58) (-1,41) (-3,29)
C Sayuran 98,17 99,56 102,89 104,33
(1,42) (3,34) (1,40)
D Buah-buahan 135,33 140,69 133,02 126,19
(3,96) (-5,45) (-5,13)
3 Tanaman Perkebunan Rakyat 103,12 101,59 98,34 101,67
(-1,48) (-3,20) (3,39) Keterangan : *) Sampai Juni.
(13)
102 104 106 108 110 112 114 116
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan
2003 2004 2005 2006
Gambar 3. Indeks Nilai Tukar Konsumsi 2003 – 2006 (1993 = 100)
Tidak dapat dipungkiri harga yang diterima petani melonjak tajam dalam dua
tahun terakhir. Peningkatan indeks harga yang diterima petani melonjak dari hanya
1,5 persen pada tahun 2004 menjadi 8,85 persen pada tahun 2005 dan 12,03 persen
pada tahun 2006. Namun demikian, peningkatan harga bayang konsumsi rumah
tangga tani lebih tinggi dari peningkatan harga yang diterima petani sehingga nilai
tukar konsumsi petani menurun dalam dua tahun terakhir. Dari data pada tabel 2
dapat dihitung bahwa indeks harga konsumsi rumahtangga tani melonjak dari 3,81
persen pada tahun 2004 menjadi 12,01 persen pada tahun 2004 dan 12,66 persen
pada tahun 2006. Rumah tangga tani memikul beban inflasi yang cukup berat dan
menjadi penyebab utama penurunan daya beli (dan kesejahteraan ekonomi) petani.
Dari tabel 2 dapat pula dilihat bahwa perkembangan nilai tukar konsumsi
petani bervariasi menurut kelompok komoditas. Penurunan konsisten terjadi untuk
padi dan palawija. Nilai tukar konsumsi palawija sudah demikian parah, pada tahun
2006 sudah mencapai tiga basis poin di bawah tahun dasar 1993 dan cenderung
konsisten kian parah dari tahun ke tahun. Penurunan nilai tukar konsumsi petani
menunjukkan bahwa kebijakan dukungan harga gabah yang dilaksanakan
pemerintah belum dapat meredam kecenderungan penurunan nilai tukar konsumsi
petani.
(14)
Setelah meningkat pada tahun 2004, nilai tukar konsumsi petani buah-buahan
malah terus menurun tajam pada periode tahun 2005-2006. Namun demikian, indeks
nilai tukar konsumsi petani buah-buahan masih tetap yang tertinggi dari semua
kelompok komoditas. Satu-satunya yang meningkat konsisten adalah nilai tukar
konsumsi petani sayuran. Nilai tukar konsumsi petani sayuran yang pada tahun
2003-2004 di bawah indeks dasar tahun 1993, sejak tahun 2005 telah berada di atas
indeks dasar dan bahkan melampaui nilai tukar konsumsi tanaman buah-buahan
yang cenderung menurun pada tahun 2003-2005, menunjukkan tanda-tanda
perbaikan pada tahun 2006.
Harga yang diterima petani sesungguhnya meningkat cukup tinggi dalam dua
tahun terakhir. Penurunan nilai tukar petani lebih karena melonjaknya harga barang
konsumsi rumahtangga tani. Peningkatan indeks harga konsumsi atau inflasi petani
melonjak dari 3,81 persen pada tahun 2004 menjadi 12,01 persen pada tahun 2005
dan 12,66 persen pada tahun 2006. Oleh karena itu, disamping mendukung
peningkatan harga gabah dan palawija, upaya perbaikan nilai tukar konsumsi, yang
berarti pula kesejahteraan petani, hendaklah difokuskan pada pengendalian inflasi
barang konsumsi petani. Dalam konteks ini, pengendalian inflasi diperkotaan juga
bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Namun yang lebih relevan
bagi petani ialah pengendalian inflasi di pedesaan.
3.3. Nilai Tukar Faktor Produksi Usahatani.
Perkembangan nilai tukar faktor produksi usahatani selama periode tahun
2003-2006 ditampilkan pada tabel 3. Walaupun berada di bawah indeks dasar tahun
1993, setelah cenderung menurun pada tahun 2003-2005, nilai tukar faktor produksi
usahatani agregat menunjukkan perbaikan pada tahun 2006. Indeks nilai tukar faktor
produksi agregat meningkat dari 89,66 pada tahun 2005 menjadi 91,72 pada tahun
2006.
Perbaikan nilai tukar faktor produksi usahatani pada tahun 2006 adalah
berkat melonjaknya harga yang diterima petani (mencapai 12,03 persen) dan
terkendalinya peningkatan harga faktor produksi (peningkatan indeks harga faktor
produksi menurun sedikit dari 9,63 persen pada tahun 2005 menjadi 9,51 persen
pada tahun 2006). Perbaikan nilai tukar faktor produksi ini merupakan pertanda
peningkatan insentif produksi yang mestinya berdampak positif terhadap laba
usahatani dan dengan sendirinya kesejahteraan rumahtangga tani.
(15)
Tabel 3. Perkembangan Nilai Tukar Faktor Produksi Usahatani, 2003 – 2006
(1993=100).
No. Uraian 2003 2004 2005 2006*
I Indeks Harga Yang Diterima 444,94 451,7 491,66 550,79
(1,52) (8,85) (12,03)
II Indeks Harga Biaya Produksi
Total 461,2 500,2 548,39 600,52
(8,46) (9,63) (9,51)
A Bibit, pupuk & sewa tenaga 461,98 465,66 483,51 520,84
(0,80) (3,83) (7,72)
B Upah Buruh 481,31 558,56 642,37 716,58
(16,05) (15,00) (11,55)
C Pengeluaran Lain 261,09 278,86 298,57 312,5
(6,81) (7,07) (4,67)
D Penambahan Barang Modal 330,63 342,23 359,89 383,19
(3,51) (5,16) (6,47)
III Nilai Tukar Faktor Produksi
Total 96,47 90,3 89,66 91,72
(-6,40) (-0,71) (2,30)
A Bibit, pupuk & sewa tenaga 96,31 97,00 101,69 105,75
(0,72) (4,84) (3,99)
B Upah Buruh 92,44 80,87 76,54 76,86
(-12,52) (-5,35) (0,42)
C Pengeluaran Lain 170,42 161,98 164,67 176,25
(-4,95) (1,66) (7,03)
D Penambahan Barang Modal 134,57 131,99 136,61 143,74
(-1,92) (3,50) (5,22)
Keterangan : *) Sampai Juni.
Angka dalam kurung menunjukkan persentase perubahan.
Perbaikan nilai tukar faktor produksi usahatani tersebut dapat dilihat lebih
jelas pada gambar perkembangan harga bulanan untuk masing-masing tahun
(gambar 3). Sejak bulan April, grafik tahun 2006 selalu di atas grafik tahun 2005
maupun grafik tahun 2004, namun masih di bawah grafik tahun 2006. Bila
kecenderungan ini dapat dipertahankan, nilai tukar faktor produksi usahatani pada
tahun 2007 mungkin saja lebih baik daripada tahun 2003. Dari gambar 3 dapat juga
dilihat bahwa nilai tukar faktor produksi yang biasanya cenderung membaik konsisten
selama bulan September – Nopember, pada tahun 2005 mengalami penyimpangan,
(16)
menurun pada bulan Nopember. Hal ini diperkirakan akibat dari keputusan
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada bulan Oktober 2005.
87 89 91 93 95 97 99 101
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Bulan
2003 2004 2005 2006
Gambar 4. Indeks Nilai Tukar Faktor Produksi Usahatani 2003 – 2006 (1993 = 100)
Jika diuraikan menurut komponennya, dari tabel 3 dapat pula dilihat bahwa
peningkatan nilai tukar faktor produksi tersebut terjadi untuk semua jenis input
usahatani. Kecuali nilai tukar terhadap upah buruh yang baru terjadi pada tahun
2006, peningkatan nilai tukar faktor produksi tersebut sudah mulai terjadi pada tahun
2005. Patut pula dicatat, nilai tukar terhadap bibit, pupuk dan sewa tenaga yang pada
tahun 2003-2004 di bawah indeks dasar tahun 1993, sejak tahun 2005 telah berada
di atas indeks dasar. Ini antara lain adalah berkat pengendalian harga pupuk oleh
pemerintah. Indeks nilai tukar terhadap buruh yang sudah jauh di bawah tahun dasar
1993 menunjukkan betapa pesatnya peningkatan upah buruh tani (relatif terhadap
harga yang diterima petani) selama periode tahun 1993-2006. Kecenderungan
penurunan tajam nilai tukar terhadap upah buruh tani tertahan pada tahan 2006
berkat tingginya peningkatan harga yang diterima petani. Sebagai komponen
terbesar dalam biaya usahatani, peningkatan upah buruh tani merupakan faktor
utama penghambat peningkatan profitabilitas dan kesejahteraan petani. Namun ini
merupakan masalah yang berada di luar kendali pemerintah.
(17)
IV. KESIMPULAN
Nilai Tukar Petani (NTP-BPS) yang selama ini diterbitkan Badan Pusat
Statistik (BPS) secara konseptual lebih tepat disebut sebagai nilai tukar barter petani
karena diukur sebagai rasio indeks harga seluruh produk yang dijual petani terhadap
indeks harga seluruh barang dan jasa (untuk konsumsi rumahtangga maupun input
usahatani) yang dibeli petani. NTP-BPS tersebut tidak memiliki hubungan yang jelas
dan tegas dengan kesejahteraan ekonomi (diukur sebagai daya beli pendapatan)
rumahtangga tani. Selain itu, kesesuaian keterwakilan (
representativeness
)
NTP-BPS tersebut juga amat rendah karena hanya mengakomodir pendapatan dari
usahatani tanaman (bahan pangan dan perkebunan). Dengan demikian, NTP-BPS
tidak valid dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani.
Untuk memberikan gambaran yang lebih bermakna, disarankan agar dalam
menggunakan NTP-BPS tersebut kiranya disertai dengan setidaknya dua ukuran nilai
tukar petani, yaitu Nilai Tukar Konsumsi Petani (NTKP) dan Nilai Tukar Faktor
Produksi Usahatani (NTFP). NTKP didefinisikan sebagai rasio indeks harga yang
diterima petani terhadap indeks harga konsumsi petani, yang pada intinya
menunjukkan daya beli setiap unit hasil usahatani atas barang konsumsi
rumahtangga tani. NTKP,
ceteris paribus
, berpengaruh positif terhadap daya beli
hasil usahatani, yang berarti pula kesejahteraan ekonomi petani. NTFP didefinisikan
sebagai rasio indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga input
usahatani, yang pada intinya menunjukkan insentif berusahatani. NTFP,
ceteris
paribus
, berpengaruh positif terhadap produksi dan laba usahatani, yang berarti pula
kesejahteraan ekonomi petani.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga ukuran nilai tukar petani
menurun pada tahun 2005. Dengan demikian, kesejahteraan petani, utamanya petani
murni (spesialis) tanaman, kemungkinan besar mengalami penurunan pada tahun
2005. Setidaknya dapat dipastikan bahwa struktur harga secara umum pada tahun
2005 tidak menguntungkan bagi petani. Pada tahun 2006 (hingga bulan Juni),
NTP-BPS dan NTFP mengalami peningkatan sedangkan NTKP mengalami penurunan.
Insentif usahatani mengalami peningkatan sedangkan daya beli hasil usahatani
mengalami penurunan. Tidak dapat disimpulkan mengenai kemungkinan
peningkatan (penurunan) kesejahteraan petani. Namun dapat dipastikan bahwa
inflasi yang tinggi merupakan penghambat utama peningkatan kesejahteraan patani
pada tahun 2006. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengendalikan inflasi di
pedesaan, yang mungkin berbeda dengan inflasi umum (di perkotaan).
(18)
Disarankan agar BPS mengkaji ulang konsep pengukuran NTP yang
digunakannya. NTKP dan NTFP dapat dipertimbangkan sebagai komplemen
NTP-BPS. Alternatif ukuran nilai tukar lain yang patut dipertimbangkan ialah Nilai Tukar
Bruto Petani (NTBP), yaitu rasio indeks kuantitas produk yang dihasilkan petani
terhadap indeks kuantitas barang konsumsi petani, dan Nilai Tukar Pendapatan
Petani (NTPP) yang didefinisikan sebagai rasio nilai produksi hasil usahatani
terhadap indeks harga barang konsumsi rumahtangga tani. Dua ukuran nilai tukar
terakhir (NTBP dan NTPP) mensyaratkan BPS melakukan perhitungan indeks
kuantitas produk hasil usahatani dan indeks kuantitas barang konsumsi rumahtangga
tani (sebaiknya juga indeks kuantitas input usahatani).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A.F., F. Kasryno, S. Ibrahim dan B. Bachtiar. 1981. Studi Kebijaksanaan
Nilai Tukar Komoditi Pertanian. Laporan Penelitian. Kerjasama Pusat
Penelitian Agroekonomi dengan Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing
Company, New York.
Flemming, E. 2005. Reviewing The Concept of Single Factoral Terms of Trade for
Analyzing Australian Agricultural Production : A Note. Working Paper
Series in Agricultural and Resource Economics No. 2005-12. University of
New England, Australia.
Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical
Approach. McGraw-Hill Brod Company, New York.
Hutabarat, B. 1995. Analisis Deret Waktu Kecenderungan Nilai Tukar Petani di
Indonesia. Jurnal Agroekonomi : 4(2):55-65.
Khan, A.A. and Q.M. Ahmed. 2005 Agricultural Terms of Trade in Pakistan : Issues
of Profitability and Standard of Living of The Farmers. Conference Paper
No. 60. Social Policy and Development Center, Islamabad, Pakistan.
Layard, D.R.G. and A.A. Walters. 1978. Microeconomic Theory. McGraw-Hill Brod
Company, New York.
Reksasudharma, C. 1989. Sistem Pengukuran Nilai Tukar Pertanian Subsektor
Tanaman Pangan. Jurnal Ekonomi I (3) : 1-23. Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia.
Saliem, H.P., Sumaryanto, G.S. Hardono, H. Mayrowani, T.B. Purwantini, Y. Marisa
dan D. Hidayat. 2005. Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Dalam
Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan, Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Scandizzo, P.L. and D. Diakosawas. 1987. Instability in The Terms of Trade of
Primary Commodities, 1900-1982. Economic and Social Development
(19)
Silberberg, E. 1978. The Structure of Economics : A Mathematical Analysis.
McGraw-Hill Brod Company, New York.
Simatupang, P. dan B. Isdiyoso. 1992. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Nilai Tukar Sektor Pertanian. Landasan Teoritis dan Bukti Empiris.
Ekonomi dan Keuangan Indonesia 40(1):33-48.
Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian. Jurnal Agroekonomi: 11(1):33-48
(20)
(21)
!
"
#
"$
#%&&%$
"
' (
)'*
+
"
'
(
%&&&
,
+
"
+
"
' (
%&&& (
"
(22)
%
"
' (
)'*
-
%&&
,
+
"
'
(
%&&&
"
+
"
' (
%&&&
"
,
"
(
/
"
0
.
"
%
.
(23)
*
.
! 1
!
+
#
$
#
$
" %' (
%&&2
3
4
0
#
$
#
$
"
"
#
"$
"
#
$
#
$
.
"
"
"
"
(24)
5
6
"
&
"
6
+
"
'7 )'*
+
"
7 ))5
+
"
'7%&&&
+
"
' (
%&&&
-
%&&
"/ ' (
)'*
"
(
))5
"
'
.
8
-+
"
' (
%&&&
"
55 (
%&&&
, 9
7
4
-
%&&
"
#
$
0
+
,
"
% (
%&& :
#
$
" &;
.
" <<%7 .
&57%&&&
(25)
<
,
: # $
1 *=& &&& &&& +
# $
-1
'& &&& &&&
+
))<
*
%&&&
+
"
(
))5
"
-
))<
"
,
+
" "
-
%&&
+
"
' (
%&&&
+
"
' (
)'*
,
"
5>
+
" )'5
-
%&&
+
"
(26)
=
+
+
+
"
.
"
%
.
"
"
?
"
(27)
2
+
>
,
,
+
>
,
,
,
!
,
/
"
"
, +
,
!
6
6
+
& <
(28)
'
?
%&&*+%&&=
?
6
%&&*+%&&= # ))*@ &&$
"
.
>
(29)
)
?
%
,
?
%
,
A
,
( B
A C
,
A CC
A CC+A C
@
D( B #>
0
$
?
*
%&&*+%&&=
&
A C
A
A CC
A
( B
0
@ !
A
@
-@ E
,
@ E
( B
@
@ !
,
(30)
&
?
* 6
%&&*+%&&= # ))*@ &&$
"
,
6
,
6
"
!
"
"
-
"
+
(31)
+
,
6
"
(
#"( $
"(
(
5 "
-
%&&*+
%&&= # ))*@ &&$
"(
"(
(32)
%
#
$
"(
"(
+
*%
6
-
%&&) "(
& 2&
%&&'
)' ))
)* *& #(
$ !
"
>
"
(
+
-(
( B
CC
C
C
C
C
0
@ !
A
@
-@ E
,
@ E
( B
@
@ !
,
(33)
*
?
5
A
( B
C@
D( B
,
AC
#?
5$
+
,
,
ACC
CC
#>
0
$
"
6
+
6
"
6
1
"
"
1
"
#
"$
(34)
5
>
+
"
+
"
"
"
"
5= (
%&&
#
%
%
"
5= (
%&&*$
"
' (
%&&&
5>
,
,
>
"
F
"
"
"
+
"
"
' (
%&&&
#
%
%
"
5= (
%&&*$
"
'
(
%&&&
(35)
<
!
"
(
"
"
>
+
->
"
"
+
1
"
(36)
=
$
!
.
%&&=
!
G
0 >
1
))%
"
"
#
$%%&'
0 ( 8
?
%&&)
( )
077,,,
H*& .
%&&)
)0* I
)))
(
* +
,
+
) +
'
-
0
.
,,,
H*& .
%&&)
)0 *I
,,,
H*& .
%&&)
'0& I
,,, ,
H*& .
%&&)
)0%*I
G
>
%&&<
(
(37)
HALAMAN PENGESAHAN
KARYA TULIS MAHASISWA
1.
Judul Kegiatan
: ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PPN
PERTANIAN
PADA UU NOMOR 18
TAHUN 2000 TERHADAP PETANI
2.
Bidang Kegiatan
: ( ) PKMP-AI
(
√
) PKM-GT
3.
Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap
: Achmad Haris Fadhila
b. NIM
: H34062735
c. Departemen
: Agribisnis
d. Institut
: Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah/HP
: Wisma Galih, Jalan Babakan Lebak (Balebak),
No. 09, RT/RW. 03/01, Kampus Dalam IPB
Darmaga, Bogor / 085693496319
f. Alamat e-mail
: [email protected]
4.
Anggota Pelaksana Kegiatan: 2 orang
5.
Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Rahmat Yanuar, SP, MSi
b. NIP
: 132 321 442
c. Alamat Rumah/HP
: Gang Oding RT/RW. 03/04 No. 34 Desa
Sirnagalih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten
Bogor / 08128207185
Bogor, 3 April 2009
Menyetujui
Ketua Departemen Agribisnis
Ketua Pelaksana Kegiatan
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Achmad Haris Fadhila
NIP.131 415 082
NIM. H34062735
Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Dosen Pendamping
Kemahasiswaan,
Prof. Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, MS
Rahmat Yanuar, SP, MSi
(38)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan limpahan berkah, rahmat, dan ridho-Nya sehingga dapat
terselesaikannya sebuah Karya Tulis dengan format Program Kreativitas
Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis berjudul ANALISIS DAMPAK
KEBIJAKAN PPN PERTANIAN PADA UU NOMOR 18 TAHUN 2000
TERHADAP PETANI dengan baik dan lancar.
Pentingnya mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak
merupakan hal yang menjadi program utama pemerintah dalam rangka
perbaikan infrastruktur negara dan fasilitas umum lainnya. Namun
kebijakan pajak yang diberlakukan tentunya harus memiliki keberpihakan
terhadap semua kalangan. Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk
mengkaji dampak yang ditimbulkan oleh diberlakukannya PPN pertanian
terhadap kehidupan petani sebagai pelaku utama sektor pertanian.
Penulis bermaksud untuk menggagaskan ide-ide kreatif terhadap
permasalahan yang terjadi di bangsa ini dengan memaparkan fakta-fakta
yang ada, serta penawarkan solusi atas permasalahan tersebut.
Mengingat keterbatasan yang ada, kami menyadari bahwa penulisan
ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik terhadap penulisan karya tulis ini untuk perbaikan dan
kesempurnaan dalam penulisan selanjutnya. Kami pun berharap gagasan
tertulis ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pembaca.
Bogor, 3 April 2009
(39)
DAFTAR ISI
Daftar Tabel………..……
. iv
Daftar Gambar………..……. v
Ringkasan………. vi
Pendahuluan………. 1
Latar belakang………...………. 1
Perumusan masalah………...…. 2
Tujuan ………. 2 Telaah
Pustaka………. 3 Metode
Penulisan……… 6 Analisis
dan Sintesis……… 7
Kesimpulan dan Saran………... 15
Daftar Pustaka………. 16
Daftar Lampiran………. viii
Da
ftar Riwayat Hidup………. viii
(40)
Thank you for evaluating
BCL easyConverter Desktop
This Word document was converted from PDF with an evaluation
version of BCL easyConverter Desktop software that
only
converts the first 3 pages
of your PDF.
CTRL+ Click on the link below to purchase
Activate your software for less than $20
(41)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri, dilakukan perubahan terhadap Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dari Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NlLAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568) diubah sebagai berikut.:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut.: “Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini,
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan,
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(42)
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean. 11. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha memb eli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnyn diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
24. Pajak Masukan adalah pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. 26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.”
2. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 1A yang berbunyi sebagai berikut. : “Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing; c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; d. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
(1)
Ayat ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 3 Januari 2001. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 5 Januari 2001 dan berlaku surut sejak tanggal 3 Januari 2001. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 3 Januari 2001 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ayat ini.
Huruf e
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7). Oleh karena Faktur Pajak Sederhana merupakan Faktur Pajak yang isinya tidak mencantumkan secara lengkap hal-hal yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), maka Faktur Pajak Sederhana hanya merupakan bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dapat dipakai sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan.
Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas Huruf h
Dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem selfassesment Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya, dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Disamping itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa dilaporkan:
Pajak Keluaran = Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 11.000.000,00
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan sebesar Rp 11.000.000,00 tetapi tetap sebesar Rp 8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan:
Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000.00 (-)
Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan Pemberitahuan = Rp 7.000.000,00 Kurang Bayar menurut Surat Pemberitahuan = Rp 2.000.000.00 (-)
Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena, Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak samar yang disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima.
Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampauir pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasikan) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2001 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2001 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lambat Masa Pajak Oktober 2001.
Ayat (10) Dihapus Ayat (11) Dihapus. Ayat (12) Dihapus Ayat (13) Cukup jelas Ayat(14) Dihapus Angka 12
Pasal 10
(2)
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang erutang adalah dengan mengalikan Harga Jual, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalan Pasal 8 ayat (2).
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut pada ietiap tingkat penyerahan, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak yang nenghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "A" mengimpor Barang Kena Pajak dengan Nilai Impor Rp 5.000.000,00. Barang Kena Pajak tersebut, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 20%. Dengan demikian, Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak.
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas impor Barang Kena Pajak tersebut adalah:
- Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
- Pajak Pertambahan Nilai: 10% x Rp 5.000.000,00 = Rp 500.000,00 - Pajak Penjualan Atas Barang Mewah: 20% x Rp 5.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
Kemudian, Pengusaha Kena Pajak “A" menggunakan Barang KenaPajak tersebut sebagai bagian dari suatu Barang Kena Pajak lain rang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 35%. Oleh karena Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas Barang Kena Pajak yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena Pajak yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak "A" atau dibebankan sebagai biaya. Kemudian, Pengusaha Kena Pajak "A" menjual Barang Kena Pajak yang dihasilkannya kepada Pengusaha Kena Pajak "B" dengan Harga Jual Rp 50.000.000,00. Maka, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang adalah: Dasar Pengenaan Pajak = Rp 50.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai: l0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 Pajak Penjualan Atas Barang Mewah: 35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00 Dalam contoh ini, Pengusaha Kena Pajak "A" dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 500.000,00 di atas :erhadap Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00. Sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan, baik dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00 maupun dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 17.500.000,00.
Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak yang telah membayar.pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada saat perolehan Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah, sepanjang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tersebut belum dibebankan sebagai biaya, Pengusaha Kena Pajak berhak neminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dibayarnya, Apabila Pengusaha Kena Pajak dimaksud telah mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut. Contoh: Pengusaha Kena Pajak "A" membeli mobil dari Agen Tunggal pemegang Merk seharga Rp 100.000.000,00. Dia membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan. Atas Barang Mewah masing-masing sebesar Rp 10.000.000,00 dan Rp 35.000.000,00. Apabila mobil tersebut kemudian diekspornya, maka Pengusaha Kena Pajak "A" berhak untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 10.000.000,00 dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 35.000.000,00 yang telah dibayarnya pada saat membeli mobil tersebut.
Angka 13
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui ”electronic commerce” tunduk pada ayat ini.
Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Ayat (2)
(3)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Ayat (3) Dihapus. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dihapus. Angka 14
Pasal 12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajakdi tempat tinggal dan atau tempat kegiatan usaha sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya maka setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja satu Kantor Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk seluruh tempat-tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya.
Contoh 1 :
Orang pribadi "A"yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi "A" tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A" hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi "A"adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi "A" hanya di tempat tinggalnya saja, maka orang pribadi "A" hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor. Namun demikian, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi "A" melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Cibinong, karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2 :
PT A mempunyai 3 tempat melakukan kegiatan usaha, masing-masing di kota Bengkulu, Curup dan Manna yang ketiganya berada dibawah pelayanan satu Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. Ketiga tempat usaha tersebut masing-masing melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan masing-masing melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT A wajib, memilih salah satu tempat kegiatan usaha, misalnya tempat kegiatan usaha yang berada di Bengkulu untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga cabang perusahaan tersebut.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Direktur Jenderal Pajaksebelum memberikan keputusan perlu melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan antara lain bahwa:
a. kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak untuk semua tempat kegiatan usaha hanya dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha;
b. administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada satu atau lebih tempat kegiatan usaha.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 15
Pasal 13
(4)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu wajib memungut pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak lang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)
Mengingat dalam dunia usaha dimungkinkan pembuatan faktur Penjualan dilakukan setelah terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan saat Faktur Pajak harus dibuat.
Demikian pula, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengatur keseragaman bentuk, ukuran, pengadaan, dan tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak. Dalam ayat ini yang dimaksud dengan pengaturan Faktur Pajak adalah pengaturan mengenai siapa yang mengadakan formulir Faktur Pajak dan persyaratan yang harus dipenuhi. Misalnya, pengadaan formulir Faktur Pajak dapat diadakan atau dicetak sendiri oleh Pengusaha dengan bentuk, ukuran, dan persyaratan teknis administratif lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materil. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini disebut Faktur Pajak Standar.
Ayat (6)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen-dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha sebagai Faktur Pajak Standar.
Ketentuan ini diperlukan karena:
a. Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas dan memenuhi persyaratan administratif sebagai Faktur Pajak. Misalnya, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.
b. Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean. Misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, maka Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak.
Ayat (7)
Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tanda bukti penyerahan atau tanda bukti pembayaran sebagai Faktur Pajak Sederhana yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b. Jenis dan kuantum;
c. Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah;
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana. Angka 16
Pasal 16A
Ayat (1)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut Pajak Pertambahan Nilai berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang dipungutnya. Meskipun demikian, pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tetap berkewajiban untuk melaporkan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2) Cukup jelas Angka 17
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Kawasan Berikat dan Entreport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE), atau untuk pengembangan wilayah lain dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara -negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi;
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin-vaksin yang diperlukan dalam rangka Program Imunisasi Nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesial Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun intemal;
e. menjamin tersedianya data batas dan photo udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kccerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku -buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat-tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang-barang yang bersifat strategis setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak pertambahan Nilai yang terutang tetapi tidak dipungut diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan, penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus di maksud tetap dapat dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang akan tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak " A" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekedar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena pajak"A" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, Barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "A" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena pajak tersebut. Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari Negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang. Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena pajak"B" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, Barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak “B” kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan .
Angka 18
Pasal 16 C
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(6)
Untuk rnelindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas