EVALUASI PASCA HUNI RUANG PERAWATAN INTENSIF RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

(1)

i

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Magister Manajemen Rumah Sakit pada Program Pasca Sarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh : IRHAMI ELFAJRI

20121030023

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

ii

EVALUASI PASCA HUNI RUANG PERAWATAN INTENSIF RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

Telah Disetujui Pada Tanggal : Agustus 2016

Disusun oleh : Irhami Elfajri 20121030023

Dosen Pembimbing : Pembimbing I

Dr. Ir. Widodo Hariyono Amd., M.Kes. Tanggal...

Pembimbing II


(3)

iii

Akhirnya tesis dengan judul “Evaluasi Pasca Huni Ruang Perawatan Intensif RS PKU Muhmmadiyah Yogyakarta Unit II” dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat Magister Manajemen Rumah Sakit di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, selain itu juga sebagai sarana melatih kemampuan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran dan manajemen rumah sakit.

Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik, maka pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Arlina Dewi, M,Kes, AAK selaku Pengelola Program Studi Konsentrasi Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun tesis ini.

2. Bapak Dr.Ir.Widodo Hariyono Amd.,Mkes dan Bapak Iswanta ST,MT selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah sabar memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

3. dr. Triandari Sumatri, dr. Siti Hardiyanti Adam, dr.Martika Intan terimakasih atas kerjasama yang diberikan untuk sama-sama menyelesaikan tesis di RS PKU Muhammadiyah Yogyaarta Unit II.

4. Orang tua, ayahanda alm.Suherman BA yang selalu memperhatikan akademis anak-anaknya dan ibunda Jumiati atas doa tulus sepanjang waktu untuk anak-anaknya, tak lupa mertua saya tercinta papa Drs.Muhamad Rasim dan mama Titin Rochmah, A.Ma.Pd ats segala pengetiannya selama ini. 5. Suami tercinta dr.Akhmad Isna N yang selalu memotivasi dan memberikan


(4)

iv

Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah menjalin tali ukhuwah dan silaturrahim dengan penulis, mohon ikhlaskan segala khilaf dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian.

Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang mambangun sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.Aamiiin.

Yogyakarta, Agustus 2016


(5)

v

di dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftarpustaka. Apabila dikemudian hari ada yang mengklaim bahwa karya ini adalah milik orang lain dan dibenarkan secara hukum, maka saya bersedia dituntut berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

Yogyakarta, Agustus 2016 Yang Membuat Pernyataan,

Irhami Elfajri 20121030023


(6)

(7)

MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

POST OCCUPANCY EVALUATION OF THE INTENSIVE CARE UNIT PKU MUHAMMADIYAH HOSPITAL UNIT II OF YOGYAKARTA

Irhami Elfajri1, Widodo Hariyono2,Iswanta3.

Magister Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

1. Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 55183

Email: elfajri_ismail@yahoo.co.id

2. Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada.

3. RSUP Dr.Sardjito

Latar Belakang: Penampilan fisik suatu rumah sakit merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan suatu rumah sakit. Penampilan fisik termasuk bangunan, penataan ruang, infrastruktur harus mendekati indikator kenyamanan. Untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana fisik yang saat ini ada digunakan evaluasi pasca huni.

Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional, jenis data dan analisis data berupa data kualitatif dan kuantitatif. Populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal ruang perawatan intensif. Total keseluruhan sampel sebanyak 17 orang data yang didapat 15 orang, 2 orang mengikuti pelatihan.

Hasil Penelitian: Suhu ruangan diruang perawatan intensif adalah 27,9ºC, pencahayaan 213 lux, kebisingan 49,7 db, dan kelembaban 52,1%. Hasil observasi fisik bangunan untuk aspek proses dan fungsional baik, hasil observasi prasarana ruang aspek proses buruk sedangkan aspek fungsional dan teknikal baik.

Simpulan Penelitian: Terdapat beberapa ruangan yang belum tersedia seperti ruang administrasi,ruang kepala ruangan ICU, ruang utilitas bersih, janitor, dan tanda bahaya. Tingkat kebisingan dan pencahayaan masih belum memenuhi standar. Dan ruang perawatan intensif mudah diakses dari ruangan lainnya


(8)

a hospital. The physical apperance including buildings, spatial planning, infrastructure must be approached of comfort indicators. To know the state of physical infrastructure used post occupancy evaluation.

Methods: This research is a descriptive observational study, the type of data and analysis is qualitative and quantitative data. The population in this study are the internal user intensive care unit. The total of 17 respondents, data obtained 15 people, 2 training.

Results: The temperature in intensive care unit is 27,9ºC, the lighting is 213 lux, noise is about 49,7 db, and moisture 52,1%. The results of observation of the building 's physical and functional aspects of the process well , the observation of the bad aspects of the space

infrastructure , while the functional and technical aspects well.

Conclusions: There are some rooms that have not been available as administrative space , head of ICU room , utility room clean , janitor , and alerts. The noise level and the lighting is still not meet the standards . And intensive care is easily accessible from other rooms


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penampilan fisik suatu rumah sakit merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan suatu rumah sakit. Penampilan fisik termasuk bangunan, penataan ruang, insfrakstruktur harus mendekati dengan indikator kenyamanan. Bangunan yang indah, fungsional, efisien, dan bersih akan memberikan kesan yang positif bagi seluruh pengguna rumah sakit, terutama pasien dan pengunjung rumah sakit, dimana pada dasarnya akan berhubungan langsung dengan kualitas pelayanan medik yang berlangsung. Bangunan yang baik tentunya akan memberikan tingkat kenyamanan yang tinggi kepada pengguna fasilitas pelayanan di rumah sakit, sehingga akan memberikan sumbangan pada proses penyembuhan pasien yang datang ke rumah sakit tersebut ( Hatmoko,2010 ).

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Salah satu dari pelayanan rumah sakit adalah Intensive Care Unit (ICU) atau ruang perawatan intensif. Ruang Perawatan intensif adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologis yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya, sehingga merupakan keadaan kritis yang menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan


(10)

pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya.

Salah satu kriteria pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan kesehatan di ruang perawatan intensif, sehingga dapat dikatakan kualitas pelayanan ruang perawatan intensif merupakan salah satu ujung tombak pemberian pelayanan kesehatan dari sebuah rumah sakit. Oleh karena itu, pelayanan ruang perawatan intensif adalah suatu unit integral dalam suatu rumah sakit dimana pasien yang pernah dirawat di ruang perawatan intensif akan menjadi pengaruh di mana pengalaman besar bagi masyarakat untuk memberikan gambaran tentang bagaimana kualitas pelayanan yang ada di rumah sakit itu sebenarnya.

Komponen pelayanan yang diberikan kepada ruang perawatan intensif terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal serta jenis perabotan dan jumlah. Kualitas juga mempengaruhi terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam ruangan tersebut. Ada dua faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.

Bangunan ruang perawatan intensif harus menyediakan sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien, hal ini merupakan bagian dari perannya dalam pelayanan kepada pasien. Penunjang dalam pemberian pelayanan pasien ruang perawatan intensif adalah fasilitas dan kualitas dari gedung bangunan ruang perawatan intensif itu sendiri. Banyak rumah sakit yang mengupayakan penampilan fisiknya sebagai salah satu unsur dalam strategi pengembangan.


(11)

RS PKU Muhammadiyah Muhammadiyah Unit II merupakan pengembangan dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II mulai berkembang dan menjadi salah satu rumah sakit rujukan, pada Rumah Sakit ini belum pernah dilakukan penelitian evaluasi pasca huni pada ruang perawatan intensif

Banyaknya pasien yang membutuhkan ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tidak sebanding dengan jumlah tempat tidur pasien yang sudah tersedia di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Jumlah tempat tidur yang digunakan hanya berjumlah 4 tempat tidur, padahal ruang perawatan insentif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II memiliki 10 tempat tidur. Selain itu, ventilator yang ada di ruang perawatan intensif hanya berjumlah 1 padahal banyak pasien kritis yang masuk ke ruang perawatan intensif yang membutuhkan alat tersebut. Dalam jangka waktu 3 bulan terhitung dari 1 Desember 2015 sampai 29 Februari 2016 tercatat 72 orang pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

Berfungsinya RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II menyebabkan semakin tingginya jumlah personil yang terlibat di ruang perawatan intensif, sehingga penempatan ruangan, sirkulasi ruangan, maupun impelementasi fungsi ruangan harus diatur dengan baik.

Beberapa masalah yang ditemukan di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yakni :


(12)

2. Belum adanya ruang kepala IGD, dan 3. Belum adanya ruang utilitas bersih.

Aspek-aspek teknikal yang tidak diterapkan sesuai standar yang dapat ditemukan antara lain pencahayaan yang kurang. Masalah-masalah lain mungkin akan ditemukan sesuai berjalannya penelitian ini.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan standar dari Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Perawatan Intensif Kementerian Kesehatan tahun 2012 tentang persyaratan teknis prasarana ruang perawatan intensif rumah sakit yang terdiri dari umum, prasarana, instalasi mekanikal, instalasi elektrikal, instalasi proteksi kebakaran. Dimana peneliti hanya mengambil sebagian dari persyaratan instalasi mekanikal yaitu sistem pengkondisian udara meliputi temperatur, kelembaban dan kebisingan. Persyaratan instalasi elektrikal yaitu sistem pencahayaan. Beberapa parameter ini diambil karena merujuk pada penelitian sebelumnya dan keterbatasan alat serta kemampuan peneliti.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana gambaran evaluasi pasca huni ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Gamping berdasarkan pengamatan langsung dan berdasarkan penilaian pengguna internal tentang 3 aspek utama performansi fisik dibandingkan dengan pedoman dari Kemenkes 2012.


(13)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran performansi fisik dan evaluasi pasca huni pengguna ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan pengamatan langsung dan penilaian 3 aspek utama evaluasi pasca huni menurut pengguna internal dibandingkan dengan pedoman Kementerian Kesehatan RI 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran evaluasi pasca huni bagi pengguna terhadap performansi fisik di Ruang Perawatan Intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan.

b. Menilai aspek teknikal, fungsional, dan proses di Ruang Perawatan Intensif RS PKU Muhammadiyah Unit II terhadap standar Kemenkes 2012 berdasarkan penilaian pengguna internal.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada manajemen RS PKU Muhammadiyah Unit II untuk mengoptimalkan dan memperbaiki ruang perawatan intensif agar dapat sesuai dengan standar Kemenkes 2012.


(14)

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan kajian tentang manajemen fisik rumah sakit terutama bagian ruang perawatan intensif.

3. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dalam hal manajemen tata ruang dan bangunan ruang perawatan intensif.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation)

Fasilitas kesehatan sekarang ini berada dalam tahap penghunian dan pemanfaatan, karena itu dibutuhkan evaluasi terhadap segala fasilitas yang ada di dalamnya, yang di sebut dengan Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation).

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah proses evaluasi terhadap bangunan dengan cara sistematis dan teliti setelah bangunan selesai dibangun dan telah dipakai untuk beberapa waktu. Fokus EPH adalah pemakai dan kebutuhan pemakai, sehingga mereka memberikan pengetahuan mengenai akibat dari keputusan-keputusan desain masa lalu dan dari hasil kinerja bangunan. Pengetahuan ini mejadi sebuah dasar yang baik untuk menciptakan bangunan yang lebih baik di masa depan.

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan lingkungan binaan dengan nilai – nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu juga untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi yang sama. EPH bermanfaat untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan


(16)

jangka panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan penghuni atas bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni (Suryadhi, 2005).

Menurut Preiser (1998) Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai – nilai dan kebutuhannya.

Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan (lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/ pemakainya dan sebagai masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.

Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan keadaan dan fungsi dari prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit modern yang menggunakan teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit yang kurang memperhatikan hal ini. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan hanya terdiri atas ruangan dan pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga komponen lain yaitu komponen servis. Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal dan perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung dari kegiatan yang berlangsung di dalam rumah tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.

Peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh para pengelola rumah sakit. Menurut Haryadi dan Slamet (1996) perencanaan pengembangan dalam rangka peningkatan fungsi


(17)

dan pelayanan rumah sakit selalu berdasarkan keadaan sebenarnya saat ini, untuk mencapai kondisi yang lebih baik di saat mendatang. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari prasarana dan sarana fisik saat ini perlu dilakukan evaluasi, yaitu evaluasi pasca huni (post occupancy evaluation).

Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi terhadap tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan dengan mempelajari Performance (tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan tentang performansi bangunan rumah sakit merupakan dasar peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit.

Pengertian dari Evaluasi Pasca Huni adalah :

1. Merupakan sebuah proses evaluasi bangunan dalam suatu cara yang ketat dan sistematis setelah bangunan tersebut dihuni beberapa saat.

2. Evaluasi Pasca Huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan kebutuhan- kebutuhannya.

3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian hari.

4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal telah dilakukan sehari-hari (sadar atau tidak, terstruktur atau tidak).


(18)

5. Kegunaan

a. Jangka pendek :

 Mengidentifikasikan keberhasilan dan kegagalan bangunan.  Membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah.

 Memberi masukan untuk tahapan pembiayaan proyek b. Jangka menengah :

 Membuat keputusan bagi pengguna kembali dan pembangunan baru  Memecahkan masalah bagi bangunan yang ada.

c. Jangka Panjang

 Digunakan sebagai acuan pembangunan mendatang

 Mengembangkan “state of the art” bangunan dengan fungsi yang sama.

Menurut Presier.et.al (1998) evluasi pasca huni mempunyai tiga tingkatan yaitu:

1. Indikatif EPH

Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan, dilakukan dalam waktu yang sangat singkat (kurang lebih 3 jam). Biasanya evaluator sudah sangat mengenal dengan objek evaluasinya. Perolehan data dapat diperoleh salah satunya dari mempelajari dokumen (blue print), walk in through, kuesioner, wawancara.


(19)

2. Investigatif EPH

Berlangsung lebih lama dan lebih kompleks, biasanya dilakukan setelah ditemukan isu-isu (saat indukatif EPH) dikerjakan selama 2-4 minggu. Hasil dari EPH indikatif mempengaruhi hasil – hasil identifikasi permasalahan utama. EPH investigatif meliputi berbagai macam topik yang lebih detail dan reliabel.

Adapun langkah – langkah utama dalam pelaksanaan EPH investigatif identik dengan langkah – langkah dalam EPH indikatif, dimana level upaya lebih tinggi, lebih banyak menghemat waktu di tempat dan data yang dikumpulkan serta teknik analisa yang digunakan akan lebih sempurna. Tidak seperti EPH indikatif, dimana kriteria bentuk bangunan yang digunakan dalam evaluasi berdasarkan pada pengalaman dari tim evaluasi, maka EPH investigatif menggunakan kriteria riset yang ditempatkan secara obyektif dan eksplisit.

Pembentukan kriteria evaluasi pada level investigatif melibatkan sedikitnya dua macam kegiatan : patokan perkiraan dibandingkan dengan patokan fasilitas serupa yang ada saat ini.

3. Diagnostik

Menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil yang lebih tepat/ akurat memerlukan waktu beberapa bulan. Hasilnya merupakan evaluasi yang menyeluruh. EPH diagnostik ini mengikuti strategi metode yang beragam, diantaranya; kuesioner, survey dan ukuran-ukuran fisik dimana seluruh pendekatan ini disesuaikan dengan evaluasi komparatif terhadap fasilitas – fasilitas dengan tipe yang sama secara lintas-bagian. EPH diagnostik dilaksanakan


(20)

dalam jangka waktu beberapa bulan hingga satu tahun atau lebih. Hasil-hasil dan rekomendasinya akan berorientasi jangka panjang yang bertujuan untuk memperbaiki tidak hanya pada fasilitas utama, tetapi juga dalam patokan tipe bangunan yang diberikan. Metodologi yang digunakan sangat mirip dengan metode tradisional dimana riset ini memfokuskan pada penggunaan paradigma ilmiah.

EPH diagnostik umumnya merupakan proyek berskala besar, dengan melibatkan berbagai macam variabel. Tak jarang upaya yang dilakukan adalah untuk mengembangkan hasil-hasil yang mengindikasikan hubungan-hubungan antar-variabel. Karenanya, EPH diagnostik menggunakan baik teknik pengumpulan data maupun teknik analisa sempurna yang menghasilkan EPH investigatif dan indikatif.

Bagian penting dari EPH diagnostik telah diteliti, sementara tujuannya memiliki kolerasi secara fisik, lingkungan dan ukuran bentuk perilaku yang memberikan pengalaman lebih baik terhadap signifikansi beragam kriteria bentuk yang bersifat relatif. Seluruh prasyarat yang diajukan dalam EPH diagnostik memiliki potensi yang cukup besar dalam pembuatan prediksi yang bersifat akurat tentang bentuk bangunan dan menambahkan patokan pengetahuan untuk tentang tipe bangunan yang diberikan melalui perbaikan-perbaikan dalam kriteria desain dan pedoman literatur yang digunakan.

Bangunan setelah dihuni beberapa waktu ada kemungkinan mengalami perubahan kinerja akibat ketidak sesuaian dengan perencanaan awal dengan pemanfaatan saat bangunan dihuni, sehingga bukan tindakan evaluasi kinerja


(21)

bangunan. Bangunan selain memiliki persyaratan fisik, bangunan juga harus mempunyai fungsi atas kegiatan pada penghuninya, sehingga bangunan dan penghuninya mempunyai interaksi (Suryadhi, 2005).

Usia sebagai bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu penting sekali dipikirkan mengenai pemakaian energi dalam tahap disain. Apabila kita salah dalam mengambil keputusan dalam tahap disain, akibatnya harus ditanggung selama gedung ini berdiri. Misalnya kalau kita lebih banyak menggunakan AC, padahal bisa dihemat dengan membuka jendela, lubang angin, tanaman, pelindung (awning), beranda. Selain kerugian dalam bentuk materi (uang) juga merusak lingkungan dan menghabiskan energi yang tidak perlu.

Tata laksana penghawaan dan pengaturan suhu udara menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit :

1. Penghawaan atau ventilasi di rumah sakit harus mendapat perhatian yang khusus. Bila menggunakan sistem pendingin, hendaknya dipelihara dan dioperasikan sesuai buku petunjuk. Sehingga dapat menghasilkan suhu, aliran udara, dan kelembaban nyaman bagi pasien dan karyawan. Untuk rumah sakit yang menggunakan pengatur udara sentral harus diperhatikan cooling tower-nya agar tidak menjadi perindukan bakteri legionella dan untuk AHU (Air Handling Unit) filter udara harus dibersihkan dari debu dan bakteri atau jamur.


(22)

2. Suplai udara dan Exhaust hendaknya digerakkan secara mekanis, dan exhaust fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi.

3. Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang-kurangnya 1 (satu) fan dengan diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi pergantian udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali

4. Pengambilan suplai udara dari luar, kecuali unit ruang individual, hendaknya diletakkan sejauh mungkin, minimal 7,50 Meter dari exhauster atau perlengkapan pembakaran

5. Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap. 6. Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan.

7. Suplai udara untuk daerah sensitif : ruang operasi, perawatan bayi, diambil dekat langit-langit dan exhaust dekat lantai, hendaknya disediakan 2 (dua) buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai.

8. Suplai udara di atas lantai

9. Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang hendaknya tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai udara ke WC, toilet, gudang.

10. Ventilasi ruang-ruang sensitif hendaknya dilengkapi saringan 2 beds. Saringan I pasang di bagian penerimaan udara dari luar dengan efisiensi 30% dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk mempelajari sistem ventilasi sentral dalam gedung hendaknya mempelajari khusus central air conditioning system.


(23)

11. Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sisitem silang (cross ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang.

12. Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih tinggi dibandingkan ruang-ruang yang lain dan menggunakan cara mekanis (air conditioner).

13. Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust fan atau air conditioner dipasang pada ketinggian minimum 2,00 meter di atas lantai atau minimum 0,20 meter dari langit-langit.

14. Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu) kali sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan electron presipitator (resorcinol, trieylin glikol) atau disaring dengan electron presipitator atau menggunakan penyinaran ultraviolet.

15. Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun dilakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara (kuman, debu, dan gas)

Pencahayaan menurut Simha (2001) bertujuan :

1. Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan. 2. Untuk mendukung fungsi keamanan.

3. Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan

Cahaya sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan cahaya buatan (lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999) ditentukan oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/ wujud objek yang dipandang, mengontrol silau tingkat kekuatan penyinaran.


(24)

Menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit bahwa tata laksana pencahayaan adalah sebagai beikut :

1. Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus mendapat cahaya dengan intensitas cukup berdasarkan fungsinya.

2. Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja ataupun untuk menyimpan barang /peralatan perlu diberi penerangan.

3. Ruangan pasien harus diberikan penerangan umum dan penerangan untuk malam hari dan diediakan saklar dekat pintu masuk, saklar individu ditempatkan pada titik yang mudah dijangkau dan tidak menimbulkan berisik. Disetiap setiap area pencahayaan adalah faktor yang sangat penting,

Sebaiknya digunakan sistem pencahayaan dengan standar yang tinggi. Masing-masing cahaya perlu mempunyai suatu tenaga 30,000 lux, untuk menerangi suatu ukuran bidang sedikitnya 150 mm dan dengan konstruksi yang sempurna. Pertimbangan lain sebaiknya area klinis juga tetap harus diberikan pencahayaan walaupun dalam keadaan siang karena hal ini dapat mengurangi efek disorientasi bagi para staff dan pasien.

Akustik adalah suatu bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising yang cukup keras diatas 70 desibel dapat menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar,sakit lambung dan masalah peredaran darah (Doelle,1980). Faktor kenyaman terhadap kebisingan adalah tingkat kebisingan yang dapat diterima dan


(25)

dapat diatasi oleh elemen interior di dalam melawan airborne noise dan impact noise, elemen interior seperti dinding atau partisi klinik harus meredam bunyi dengan kekuatan 40-50 desibel (Simha,2001)

Konsep pengendalian kebisingan ditujukan untuk mengatasi kebisingan dari dalam banguan ( interior noise ) dan dari luar bangunan ( exterior noise ). Tingkat kebisingan yang diizinkan untuk sebuah pelayanan kesehatan seperti rumah sakit antara 35-45 desibel, sehingga penyelesaian pengendalian kebisingan diupayakan melalui elemen interior seperti dinding atau partisi, dimana untu rumah sakit paling tidak harus dapat meredam bunyi dengan kekuatan 40-45 desibel. Konsep yang digunakan untuk mengatasi masalah kebisingan adalah mengelola tata letak dan perencanaan interior, pemilihan material bangunan serta finishing dinding sedemikian rupa yang dapat mendukung pengendalian kebisingan tersebut. Disisi lain, perencanaan tata massa bangunan juga berperan dalam pengendalian kebisingan. Penggunaan material seperti karpet, baik pada lantai maupun dinding dapat mereduksi kebisingan sampai 70%. Penggunaan plafon yang tepat juga dapat mereduksi kebisingan terutama dari lantai ke lantai. Kebisingan juga dapat dihindari dengan tidak menggunakan bahan-bahan logam pada furniture (Harmoko, 2010).

Preiser et.al (1998) menyebutkan dalam evaluasi pasca huni yang diukur adalah kriteria performansi yang meliputi tiga aspek yaitu :

a. Aspek teknikal : dapat terjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna beraktivitas. Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan


(26)

kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap, akustik, pencahayaan dan sistem kontrol lingkungan.

b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan.

c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.

B. Ruang Perawatan Intensif (ICU)

Penyelenggaraan pelayanan ruang perawatan intensif di rumah sakit harus berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan di rumah sakit.

Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi banyak hal. Pertama etika kedokteran di mana pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar

“Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Kedua, indikasi

yang benar di mana pasien yang dirawat di ICU harus pasien yang memerlukan intervensi medis segera yakni pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pakaian sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerja sama multi disipliner dalam masalah medis kompleks di mana dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multi disiplin


(27)

tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusi sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter intensif sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan di mana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti air way (fungsi jalan napas), breathing (fungsi pernafasan), circulation (fungsi sirkulasi), brain (fungsi otak), dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim di mana setiap tim multi disiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien, misalnya sebelum masuk ICU dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi intruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena keterbatasan jumlah tempat tidur ICU maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk. Ketujuh, system manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang memerlukan tim kendali mutu di mana anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu. Kedelapan, kemitraan profesi di mana kegiatan pelayanan pasien di ICU disamping multi disiplin juga antar profesi. Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis di


(28)

mana unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi, multi disiplin, dan multi profesi.

Unit Ruang Perawatan Intensif menurut Departemen Kesehatan yaitu memiliki ruangan:

1. Ruang administrasi

Ruang untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi khususnya pelayanan pendaftaran dan rekam medik internal pasien di Ruang Perawatan Intensif. Ruang ini berada pada bagian depan Ruang Perawatan Intensif dengan dilengkapi loket atau Counter, meja kerja, lemari berkas/arsip dan telepon/interkom.

2. Ruang untuk tempat tidur pasien


(29)

a. Ruang tempat tidur berfungsi untuk merawat pasien lebih dari 24 jam, dalam keadaan yang sangat membutuhkan pemantauan khusus dan terus-menerus.

b. Ruang pasien harus dirancang untuk menunjang semua fungsi perawatan yang penting.

c. Luas lantai yang digunakan untuk setiap tempat tidur pasien dapat mengakomodasi kebutuhan ruang dari semua peralatan dan petugas yang berhubungan dengan pasien untuk kebutuhan perawatan.

d. Ruang rawat pasien disarankan mempunyai luas lantai bersih antara 12 m2- 16 m2 per tempat tidur.

e. Tombol alarm harus ada pada setiap bedside di dalam ruang rawat pasien. Sistem alarm sebaiknya terhubung secara otomatis ke pusat telekomunikasi rumah sakit, pos sentral perawat, ruang pertemuan ICU, ruang istirahat petugas ICU, dan setiap ruang panggil. Perletakan alarm ini harus dapat terlihat.

f. Pencahayaan alami harus optimal.

g. Sebaiknya memaksimalkan jumlah jendela sebagai sarana visual untuk menguatkan orientasi pada siang dan malam hari. Jendela sebaiknya tahan lama, tidak menyimpan debu dan mudah dibersihkan dan harus dibersihkan secara rutin.

h. Daerah rawat pasien harus teduh, dan tidak silau, harus mudah dibersihkan, tahan api, bersih debu dan kuman, dan dapat digunakan sebagai peredam suara dan dapat mengontrol tingkat pencahayaan.


(30)

i. Rasio kebutuhan tempat tidur di Ruang Perawatan Intensif dipengaruhi oleh :

- Jumlah total tempat tidur pasien di rumah sakit.

- Jumlah kasus yang memerlukan pelayanan perawatan intensif. Untuk rumah sakit, diasumsikan jumlah tempat tidur pasien di

Ruang Perawatan Intensif berkisar + 2 % dari total tempat tidur pasien.

3. Ruang isolasi pasien.

a. Ruang yang mempunyai kekhususan teknis sebagai ruang perawatan intensif dan memiliki batasan fisik modular per pasien, dinding serta bukaan pintu dan jendela dengan ruangan ICU lain.

b. Ruang yang diperuntukkan bagi pasien menderita penyakit yang menular, pasien yang rentan terkena penularan dari orang lain, pasien menderita penyakit yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes) dan untuk pasien menderita penyakit yang mengeluarkan suara dalam ruangan.

c. Pintu dan partisi pada ruang isolasi terbuat dari kaca minimal setinggi 100 cm dari permukaan lantai agar pasien terlihat dari pos perawat. d. Ruang Perawatan Intensif dengan modul kamar individual/ kamar


(31)

Gambar 2.2 Ruang Perawatan Intensif – Isolasi Sumber Kemenkes RI 4. Pos sentral perawat/ ruang stasi perawat

a. Pos sentral perawat adalah tempat untuk memonitor perkembangan pasien ruang perawatan intensif selama 24 jam sehingga apabila terjadi keadaan darurat pada pasien segera diketahui dan dapat diambil tindakan seperlunya terhadap pasien.

b. Letak pos perawat harus dapat menjangkau seluruh pasien

c. Pos stasiun perawat sebaiknya memberikan ruangan yang nyaman dan berukuran cukup untuk mengakomodasi seluruh fungsi yang penting.

d. Pos stasiun perawat harus mempunyai pencahayaan cukup, dan dilengkapi jam dinding.


(32)

e. Kepala perawat sebaiknya mempunyai ruang kerja tersendiri. Pos perawat dilengkapi dengan lemari penyimpanan barang habis pakai dan obat.

5. Ruang dokter jaga

a. Ruang kerja dan istirahat Dokter dilengkapi dengan sofa, wastafel, dan toilet

b. Ruangan ini dilengkapi sistem komunikasi internal dan sistem alarm. 6. Ruang istirahat petugas.

a. Ruang istirahat petugas medik dilengkapi dengan sofa, wastafel, dan toilet.

b. Ruang istirahat petugas medik harus berada dekat dengan ruang rawat pasien ruang perawatan intensif.

c. Ruang ini sebaiknya memberikan keleluasaan, kenyamanan, dan lingkungan yang santai.

d. Ruangan ini dilengkapi sistem komunikasi internal dan sistem alarm. 7. Pantri.

Daerah untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk petugas, dilengkapi meja untuk menyiapkan makanan, freezer, bak cuci dengan kran air dingin dan air panas, microwave dan atau kompor, dan lemari pendingin.

8. Ruang penyimpanan alat medik.

a. Ruang penyimpanan alat medik berfungsi sebagai penyimpanan peralatan medik yang setiap saat diperlukan dan belum digunakan.


(33)

b. Peralatan yang disimpan diruangan ini harus dalam kondisi siap pakai dan dalam kondisi yang sudah disterilisasi.

c. Alat-alat yang disimpan dalam ruangan ini antara lain respirator/ventilator, alat/mesin hemodialisa (HD), mobile X-ray, monitor pasien, syringe pump, infusion pump, defibrillator dan lain-lain.

d. Ruang sebaiknya cukup besar untuk memudahkan akses, lokasinya mudah untuk mengeluarkan peralatan .

e. Kotak kontak pembumian listrik sebaiknya tersedia di dalam ruang dengan kapasitas yang cukup untuk membuang arus batere dari peralatan yang menggunakan batere.

9. Ruang utilitas bersih.

a. Ruang utilitas bersih dan kotor harus ruang terpisah yang tidak saling berhubungan.

b. Lantai sebaiknya ditutup dengan bahan tanpa sambungan untuk memudahkan pembersihan.

c. Ruang utilitas bersih sebaiknya digunakan untuk menyimpan obat-obatan, semua barang-barang yang bersih dan steril, dan boleh juga digunakan untuk menyimpan linen bersih.

d. Rak dan lemari untuk penyimpanan harus diletakkan cukup tinggi dari lantai untuk memudahkan akses pembersihan lantai yang ada di bawah rak dan lemari tersebut.


(34)

e. Tempat/kabinet/lemari penyimpanan instrumen dan bahan perbekalan yang diperlukan, termasuk untuk barang-barang steril.

10. Ruang utilitas kotor

a. Ruang utilitas bersih dan kotor harus ruang terpisah yang tidak saling berhubungan.

b. Ruang utilitas kotor harus menghadap ke luar/berada di luar ruang rawat pasien ICU ke arah koridor kotor.

c. Ruang utilitas kotor tempat membuang kotoran bekas pelayanan pasien khususnya yang berupa cairan.

d. Ruang ini temperaturnya harus terkontrol, dan pasokan udara dari ruang utilitas kotor harus dibuang ke luar.

e. Ruang utilitas kotor harus dilengkapi dengan spoelhoek dan slang pembilas serta pembuangan air limbahnya disalurkan instalasi pengolahan air limbah RS.

f. Spoelhoek adalah fasilitas untuk membuang kotoran bekas pelayanan pasien khususnya yang berupa cairan. Spoelhoek berupa bak atau kloset yang dilengkapi dengan leher angsa (water seal).

g. Pada ruang Spoolhoek juga harus disediakan kran air bersih untuk mencuci wadah kotoran pasien. Ruang spoolhoek ini harus menghadap keluar/berada di luar ruang rawat pasien ICU ke arah koridor kotor.

h. Saluran air kotor/limbah dari Spoolhoek dihubungkan ke tangki septik khusus atau jaringan IPAL.


(35)

i. Kontainer tertutup yang terpisah harus disediakan untuk linen kotor dan limbah padat.

j. Kontainer khusus sebaiknya disediakan untuk buangan jarum suntik dan barang-barang tajam lainnya.

11. Ruang Kepala Ruangan ICU.

Ruang kerja dan istirahat Kepala perawat dilengkapi sofa, meja dan kursi kerja.

12. Parkir troli.

Tempat untuk parkir trolley selama tidak ada kegiatan pelayanan pasien atau selama tidak diperlukan.

13. Ruang Ganti Penunggu Pasien dan Ruang Ganti Petugas (pisah pria wanita) (termasuk di dalamnya Loker).

a. Tempat ganti pakaian, meletakkan sepatu/alas kaki sebelum masuk daerah rawat pasien dan sebaliknya setelah keluar dari ruang rawat pasien, yang diperuntukkan bagi staf medis maupun non medis dan pengunjung.

b. Fasilitas mencuci tangan untuk pengunjung pasien dan untuk petugas harus disediakan, lengkap dengan sabun antiseptik (;general prequotion).

c. Kontainer/wadah khusus baju pelindung bekas pakai harus disediakan, karena baju pelindung tidak boleh digunakan lebih dari sekali.


(36)

14. Ruang tunggu keluarga pasien (berada di luar wilayah ruang perawatan intensif).

a. Tempat keluarga atau pengantar pasien menunggu. Tempat ini perlu disediakan tempat duduk dengan jumlah sesuai dengan aktivitas pelayanan pasien yang dilaksanakan di Ruang Perawatan Intensif. Disarankan untuk menyediakan pesawat televisi dan fasilitas telepon umum.

b. Letak ruang tunggu pengunjung dekat dengan Ruang Perawatan Intensif dan di luar ruang rawat pasien.

c. Akses pengunjung sebaiknya di kontrol dari ruang resepsionis.

d. Rasio kebutuhan jumlah tempat duduk keluarga pasien adalah 1 tempat tidur pasien ICU berbanding 1 – 2 tempat duduk.

e. Dilengkapi dengan fasilitas toilet pengunjung

f. Disarankan menyediakan ruang konsultasi untuk keluarga. 15. Koridor untuk kebutuhan pelayanan.

a. Koridor disarankan mempunyai lebar minimal 2,4 m.

b. Pintu masuk ke Ruang Perawatan Intensif, ke daerah rawat pasien dan pintu-pintu yang dilalui tempat tidur pasien dan alat medik harus lebarnya minimum 36 inci (1,2 m), yang terdiri dari 2 daun pintu (dimensi 80 cm dan 40 cm) untuk memudahkan pergerakan tanpa hambatan.

c. Lantai harus kuat sehingga dapat menahan beban peralatan yang berat.


(37)

16. Janitor/ Ruang Cleaning Service.

Ruangan tempat penyimpanan barang-barang/bahan-bahan dan peralatan untuk keperluan kebersihan ruangan, tetapi bukan peralatan medik.

17. Toilet petugas medik.

Toilet petugas medik terdiri dari closet yang dilengkapi hand shower dan wastafel/ lavatory.

18. Ruang penyimpanan silinder gas medik.

a. Ruang yang digunakan untuk menyimpan tabung-tabung gas medis cadangan yang digunakan di Ruang Perawatan Intensif.

b. Penyimpanan silinder gas medik ini berlaku bagi RS yang tidak memiliki central gas. O2, vacuum dan compress air (udara tekan medik).

19. Toilet pengunjung/penunggu pasien.

Toilet pengunjung/penunggu pasien terdiri dari closet dan wastafel/ lavatory.

20. Ruang diskusi medis (terutama bagi RS A dan B).

a. Ruang diskusi ditempatkan di ICU atau dekat dengan ICU untuk digunakan sebagai tempat kegiatan pendidikan dan diskusi medis. b. Ruangan ini dilengkapi dengan telepon atau sistem komunikasi

internal dan sistem alarm yang tersambung langsung ke ICU.

c. Ruang diskusi dilengkapi dengan tempat/ lemari untuk menyimpan buku-buku kedokteran/ medik dan perawatan, VCR, dan peralatan belajar.


(38)

Ruang perawatan intensif Kemenkes (2012), termasuk dalam zona resiko tinggi. Yang memiliki ketentuan yaitu :

a. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang,

b. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air, berwarna terang dan pertemuan antara lantai dengan dinding harus berbentuk konus.

c. Langit-langit terbuat dari bahan multipleks atau bahan yang kuat, warna terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi minimal 2,70 dari lantai.

d. Lebar pintu minimal 1,20 dan tinggi minimal 2,10 meter dan ambang bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai.

e. semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40 meter dari lantai.

C. Keaslian Penelitian

1. Poliman, 1997 dengan judul penelitian “Strategi Pengembangan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Honoris dengan Menggunakan Teori Evaluasi

Pasca Huni.” Metode yang digunakan dengan menggunakan kuisioner dan

pengukuran standart lingkungan fisik. Hasil penelitian menunjukkan masih banyak ruangan di UGD RS Honoris yang tidak terpakai dan berkaitan dengan biaya energi yang terbuang. Perbedaan dengan penelitian


(39)

ini adalah kuisioner yang dipakai merupakan standar Departemen Kesehatan 2012 dan persepsi pengguna internal

2. Suryadhi, 2005 dengan judul penelitian “Evaluasi Pasca Huni Instalasi Rawat Darurat di Rumah Sakit Tabanan”. Metode pengambilan data yang digunakan dengan menggunakan kuisioner dan pengukuran lingkungan fisik. Hasil penelitian menunjukkan masih banyak ruangan di IRD RSU Tabanan yang memiliki kekurangan bila dibandingkan dengan standar Departemen Kesehatan RI. Perbedaan dengan penelitian ini adalah objek penelitian dilakukan pada Ruang Perawatan Intensif.

3. Sangkay, 2000 dengan judul penelitian “Pengukuran Kinerja Kelas Utama

RSUD Datoe Binangkang Kotamobagu Melalui Evalausi Pasca Huni”.

Metode penelitian yang digunakan dalam mengambil data adalah menggunakan kuisioner dan pengukuran lingkungan fisik. Hasil penelitian yang didapat adalah waktu tunggu yang lama untuk mendapatkan pelayanan kelas utama di RSUD Datoe Binangkang Kotamobagu dan tingkat kebisingan yang melewati standar yang berlaku. Perbedaan dengan penelitian ini adalah kuisioner yang digunakan menurut standar Departemen Kesehatan 2012 dan persepsi penguna internal.


(40)

D. Kerangka Teori

Berdasarkan landasan teori diatas, dapat dibentuk kerangka teori sebagai berikut :

Gambar 2.3 Teori Evaluasi Pasca Huni

E. Landasan Teori

Penyelenggaraan pelayanan ruang perawatan intensif di rumah sakit harus berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan di rumah sakit.

Unit ruang perawatan intensif menurut Kementerian Kesehatan yaitu memiliki ruangan : ruang administrasi, ruang untuk tempat tidur pasien, ruang isolasi pasien, pos sentral perawat, ruang dokter jaga, ruang istirahat petugas,

Evaluasi Pasca Huni : Aspek Tehnikal Aspek Perilaku Aspek Fungsional

Ruang Perawatan Intensif

Standar Kemenkes 2012 1. Pencahayaan 2. Kelembaban 3. Kebisingan 4. Penghawaan Kualitas Ruang

Perawatan Intensif sesuai standar Kemenkes RI

Performansi Fisik: Pencahayaan

Kebisingan Penghawaan


(41)

pantri, ruang penyimpanan alat medik, ruang utilitas bersih, ruang utilitas kotor, ruang kepala ruangan ICU, parkir troli, ruang ganti penunggu pasien, dan ruang ganti petugas (pisah pria dan wanita), ruang tunggu keluarga pasien (berada di luar ICU), koridor untuk kebutuhan pelayanan, janitor, toilet petugas medik, ruag penyimpanan silinder gas medik, toilet pengunjung, ruang diskusi medis.

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan lingkungan binaan dengan nilai – nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu juga untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi yang sama. EPH bermanfaat untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan penghuni atas bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni.

Rumah sakit merupakan sebuah fasilitas umum yang sarat dengan prasarana pengguna sarana. Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan keadaan dan fungsi dari prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit modern yang menggunakan teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit yang kurang memperhatikan hal ini. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan hanya terdiri atas ruangan dan pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga komponen lain yaitu komponen servis. Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal dan perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung dari kegiatan yang berlangsung di dalam


(42)

rumah tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.

Dalam evaluasi pasca huni yang diukur adalah kriteria performansi yang meliputi tiga aspek yaitu :

a. Aspek teknikal : dapat terjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna beraktivitas. Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap, akustik, pencahayaan dan sistem kontrol lingkungan.

b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan.

c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.


(43)

F. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori yang telah ada, maka dapat dibuat kerangka konsep sebagai berikut :

`

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

G. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan kerangaka konsep penelitian, maka terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana performansi fisik di Ruang Perawatan Intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan pencahayaan, kebisingan, dan penghawaaan apakah sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan kemenkes 2012?

Performasi Fisik Ruang Perawatan Intensif meliputi:

1. Lokasi 2. Pencahayaan 3. Kebisingan 4. penghawaan

Evaluasi EPH dari Persepsi

Pengguna Internal Ruang Perawatan Intensif meliputi:

1. Aspek Teknikal 2. Aspek Fungsional 3. Aspek Proses


(44)

2. Bagaimana kesesuaian aspek teknikal, fungsional, dan proses ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II terhadap standar Kemenkes 2012 menurut pengguna internalnya?


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Data diperoleh dari hasil kuisioner dan pengukuran pencahayaan, suhu, kelembaban, dan kebisingan di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

B. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini terdiri dari :

1. Performansi fisik ruang perawatan intensif yang dapat di evaluasi dari tiga unsur, yaitu :

a. Evaluasi Proses : meliputi manajemen operasional, yang dapat diperoleh dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada tim pengelola bagaimana mengelola bangunan tersebut.

b. Evaluasi performansi fungsional : hal ini membahas seberapa layak sebuah bangunan dalam mendukung suatu organisasi dalam melakukan fungsinya.


(46)

c. Review dari performansi teknikal : hal ini meliputi pengukuran dari performansi fisik, contohnya pencahayaan, kelembaban, suhu dan kebisingan.

2. Pengguna internal ruang perawatan intensif, meliputi dokter yang bertanggung jawab terhadap ruang perawatan intensif dan tenaga paramedis maupun non paramedis yang bekerja di ruang tersebut. Objek penelitian ini adalah ruang perawatan intensif RS PKU Muhammdiyah Yogyakarta Unit II.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal ruang perawatan intensif. Terdiri atas 1 dokter spesialis anastesi sebagai penanggung jawab ruang perawatan intensif dan 16 paramedis dan non paramedis yang bekerja di ruangan tersebut.

2. Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian berjumlah 17 orang. Data yang didapat 15 orang karena 2 orang paramedis ruang perawatan intensif mengikuti pelatihan selama 3 bulan September 2015 – Desember 2015.

D. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Kuisioner


(47)

Kuisioner berisi pertanyaan tentang sarana kondisi fisik ruang perawatan intensif sesuai dengan standar Departemen Kesehatan 2012. 2. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan sudah dikalibrasi, terdiri dari :

a. Lux meter, merupakan alat yang digunakan untuk mengukur cahaya baik pada siang ataupun malam hari. Satuan yang dipergunakan adalah lux.

b. Sound level meter, yaitu alat untuk mengukur tingkat kebisingan dengan menggunakan satuan desibel.

c. Termometer ruangan, merupakan alat pengukur suhu ruangan dengan satuan derajat celcius

d. Humidity meter, merupakan alat untuk mengukur tingkat kelembaban suatu ruangan.

3. Alat Dokumentasi Kamera.

E. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Performansi fisik ruang perawatan intensif


(48)

F. Definisi Operasional

1. Performansi fisik Ruang Perawatan Intensif

Keadaan fisik suatu ruang perawatan intensif yang dapat dilihat dari lokasi, pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan yang ditemukan di dalam ruang perawatan intensif.

2. Lokasi adalah letak bangunan ruang perawatan intensif di dalam Rumah Sakit yang kemudian dinilai dengan lembaran observasi.

3. Pencahayaan adalah kepadatan suatu berks cahaya yang mengenai suatu permukaan dimana diukur dengan menggunakan lux meter dengan satuan lux.

4. Kebisingan adalah bunyi yang mengganggu dalam kegiatan sehari-hari, kebisingan diukur dengan menggunakan sound level meter dengan satuan desibel (dB).

5. Penghawaan yaitu pengaturan aliran udara baru di dalam ruangan, dinilai dengan mengukur suhu ruangan menggunakan termometer ruangan dengan satuan °C, serta mengukur kelembaban udara yaitu kadar kandungan uap air di udara menggunakan alat humidity meter dengan satuan %.

6. Evaluasi Pasca huni

Kegiatan yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pengguna suatu bangunan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pada ruang perawatan intensif, meliputi :


(49)

a. Aspek teknikal : Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap, akustik, pencahayaan, dan sistem kontrol lingkungan. b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi dan alur kerja, fleksibilitas, dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan.

c. Aspek proses : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.

7. Penilaian pengguna internal: kegiatan mengambil keputusan untuk menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik buruk dan bersifat kualitatif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerjadi ruang perawatan intensif.

G. Analisis Data

Data yang terkumpul dari kuisioner evaluasi pasca huni diolah dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif menggunakan program SPSS yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan kemudian dapat ditarik kesimpulan.

H. Alur Penelitian

1. Penyebaran Kuisioner

Kuisioner disebarkan kepada pengguna internal ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Dalam


(50)

pembuatan kuisioner mengacu pada standar Departemen Kesehatan 2012 yang dibedakan menjadi aspek proses, aspek fungsional, dan aspek teknikal.

2. Dokumentasi

Peneliti mengambil gambar ruangan-ruangan yang ada di ruang perawatan intensif.

I. Etika Penelitian

1. Persetujuan Penelitian

Peneliti mendapat persetujuan penelitian dari bagian Pengembangan dan Penelitian RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

2. Lembar Persetujuan

Peneliti melakukan informed consent yaitu lembar persetujuan antara peneliti dengan responden untuk mengisi kuisioner.

3. Menjamin kerahasiaan (confidentiality)

Peneliti akan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian dan hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan hasil penelitian.


(51)

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian RS PKU Muhammadiyah awalnya didirikan berupa klinik sederhana pada tanggal 15 Februari 1923 di kampung Jagang Notoprajan Yogyakarta. Awalnya bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem)

dengan maksud menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa’.

Maksud pendirian klinik tersebut yaitu menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa’. Pendirian pertama atas inisiatif H.M. Sudjak yang didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan waktu, nama PKO berubah menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat).

Saat ini, rumah sakit yang beralamat di Jl. Wates KM 5,5 Gamping, Sleman ini dipimpin oleh Direktur yaitu dr. H Ahmad Faesol, Sp. Rad., M. Kes. Secara operasional, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II rumah sakit ini dibuka pada tanggal 15 Februari 2009. Pada tanggal 16 Juni 2010 Rumah Sakit mendapatkan ijin operasional sementara nomer 503/0299a/DKS/2010.

Berbagai jenis pelayanan medis terdapat di PKU Muhammadiyah Unit II, pelayanan medis tersebut yaitu: pelayanan rawat jalan/poliklinik, pelayanan rawat inap, pelayanan rawat intensif, pelayanan bedah, dan pelayanan bersalin. Macam-macam pelayanan yang ada di RS PKU


(52)

Muhammadiyah Unit 2 disajikan dalam bentuk tabel, yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1

Jenis Pelayanan Medis RS PKU Muhammadiyah Unit 2 Jenis Pelayanan Medis Penjelasan

Pelayanan Rawat Inap/Poliklinik Pelayanan Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta berlokasi di Poliklinik dilakukan waktu pagi dan sore hari. Dengan pola pelayanan yang ditata dengan baik dan dilaksanakan oleh tenaga spesialis dan sub spesialis yang berpengalaman.

Pelayanan Rawat Inap Pelayanan Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki 154 tempat tidur dengan kelas yang bervariasi dan ditata secara baik sesuai kebutuhan perawatan, mulai kelas VIP sampai kelas III.

Pelayanan Rawat Intensif Pelayanan perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta disediakan dan diberikan kepada pasien yang dalam keadaan sakit berat, dikoordinir oleh dokter anastesi khusus intensif care. Pelayanan perawatan intensif ini merupakan Intensif Care Unit (ICU) dan Intermediate Care (IMC) yang mampu memberikan pelayanan tertinggi dan tunjangan hidup dalam jangka panjang.

Pelayanan Bedah Pelayanan Bedah sebagai sarana layanan terpadu untuk tindakan operatif terencana maupun darurat dan diagnostik. Instalasi Bedah merupakan ruang operasi yang dilengkapi dengan peralatan canggih yang terdiri dari 4 kamar operasi, ruang persiapan dan ruang pulih sadar.

Pelayanan Bersalin Pelayanan Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,


(53)

menata perawatan kebidanan dan ibu bersalin, dengan memberikan pelayanan yang khusus kepada wanita dan ibu bersalin, kenyamanan dan ketentraman keluarga senantiasa terjaga.

Selain terdapat layanan medis, RS PKU Muhammadiyah Unit 2 memiliki layanan penunjang, layanan penunjang tersebut yaitu instalasi laboratorium, instalasi radiologi, instalasi rehabilitasi medik, instalasi farmasi, instalasi gizi, pelayanan diagnostik lain ((EEG (Electro Encephalography), Elektro Kardiografi (EKG), Treadmill Test, Spirometri), CSSD dan Laundry.

B. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Guna mendapatkan data yang akurat dalam penelitian, instrumen penelitian harus memiliki tingkat kesahihan (validitas dan reliabilitas) Arikunto (2006) menyatakan instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan yang penting, yaitu valid dan reliabel.

1. Uji Validitas Instrumen

Teknik pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Correlated-Item Total Correlation. Menurut Widiyanto (2010: 38-40), teknik correlated-item total correlation secara teoritis menggunakan rumus korelasi terhadap efek spurious overlap. Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji validitas adalah:


(54)

1) Jika nilai r hitung > r tabel, maka item pertanyaan atau pernyataan dalam angket berkorelasi signifikan terhadap skor total (artinya item angket dinyatakan valid).

2) Jika nilai r hitung < rtabel, maka item pertanyaan atau pernyataan dalam angket tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total (artinya item angket dinyatakan tidak valid).

Sampel penelitian ini berjumlah 15 sehingga nilai r tabelnya (0,05, 26) adalah 0,514. Sehingga item pertanyaan dinyatakan valid apabila nilai correlated-item total correlation memiliki nilai r hitung lebih besar dari 0,514.

Hasil pengujian validitas pada penelitian ini diperoleh nilai r hitung semua item pertanyaan lebih besar dari 0,514 sehingga dapat dinyatakan bahwa semua item pertanyaan telah valid.

2. Instrumen Reliabilitas Instrumen

Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan alpha croncbach dengan nilai alphanya lebih besar dari 0,5<r<1 (Azwar,1999). Hasil uji reliabilitas Alpha Cronbach yang didapat untuk masing-masing variabel ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 4.2

Uji Reliabilitas Instrumen Cronbach’s

Alpha N of Items .978 49


(55)

Hasil pengujian menunjukkan nilai alpha croncbach 0,978 lebih besar dari 0,5 sehingga dapat dinyatakan bahwa item pernyataan telah reliabel. Dengan demikian hasil pengujian validitas dan reliabilitas telah memenuhi pengujian instrumen yang valid dan reliabel sehingga instrumen dapat digunakan untuk analisis berikutnya.

3. Karakteristik Responden

Seluruh populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal ruang perawatan intensif. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian, berikut adalah penjelasan lengkap mengenai karakteristik responden.

Tabel 4.3

Jenis Kelamin Responden Responden Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 4 26,7

Perempuan 11 73,3

Jumlah 15 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Jumlah responden adalah 15 responden yang didominasi responden perempuan yaitu sebanyak 73,3%, dan responden laki-laki sebanyak 26,7%. Selain tabel jenis kelamin, terdapat pula tabel mengenai pendidikan responden, yang disajikan sebagai berikut:

Tabel 4.4

Jenis Pendidikan Responden Jenis Pendidikan Jumlah

(orang)

Persentase (%)

Dokter 1 6,7

S1 Ners 7 46

D3 Ners 6 40


(56)

Jumlah 15 100 Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Jenis pendidikan responden yang menangani di ruang perawatan intensif yaitu Ners dan Dokter. Dokter sebanyak 6,7%, S1 Ners 46%, D3 Ners 40%, dan D1 Ners 6,7%. Karakteristik responden lainnya mengenai pekerjaan responden yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.5 Pekerjaan Responden Pekerjaan Jumlah

(orang)

Persentase (%)

Dokter 1 6,7

Perawat 13 86,7 Asisten Perawat 1 6,7

Jumlah 15 100

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Pekerjaan responden yaitu dokter, perawat dan asisten perawat. Dokter sebanyak 6,7%, perawat sebanyak 86,7% dan asisten perawat sebanyak 6,7%. Seluruh responden tersebut adalah pengguna internal dari ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Unit 2.

C. Hasil Observasi

1. Fisik Bangunan Ruang Perawatan Intensif

Keadaan fisik bangunan ruang perawatan intensif dilihat dari tiga unsur, yaitu evaluasi proses, evaluasi performasi fungsional, dan performasi fungsional. Ketiga unsur tersebut dapat mengukur keadaan fisik dari ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.


(57)

a) Aspek Proses

Aspek proses digunakan untuk mengetahui bangunan fisik ruang perawatan intensif rumah sakit. Aspek proses tersebut akan memaparkan bangunan fisik perawatan intensif rumah sakit telah sesuai dengan persyaratan teknis bangunan ruang perawatan intensif .

Ruang perawatan intensif di RS PKU Muhammadiyah disediakan dan diberikan kepada pasien yang dalam keadaan sakit berat, dikoordinir oleh dokter anastesi khusus intensif care. Berikut gambar tampak depan pintu masuk ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Unit 2:

Gambar 4.1

Pintu Masuk Ruang Perawatan Intensif

Gambar 1 adalah pintu masuk menuju ruang perawatan intensif yang terdiri dari dua pintu, dengan lebar pintu cukup luas untuk memasukkan brankart ke dalam ruangan.


(58)

Kebutuhan ruang bagi ruang perawatan intensif sangat beragam, kebutuhan ruang yang sesuai dengan Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI antara lain ruang administrasi, ruang untuk tempat tidur pasien, ruang isolasi pasien, pos sentral perawat/ ruang stasi perawat (Nurse Central Station), ruang dokter jaga, ruang istirahat petugas, pantri, ruang penyimpanan alat medik, ruang utilitas bersih, ruang utilitas kotor, ruang kepala ruangan, parkir troli, ruang ganti penunggu pasien dan ruang ganti petugas (pisah pria wanita) (termasuk di dalamnya loker), ruang tunggu keluarga pasien(berada di wilayah ICU), koridor untuk kebutuhan pelayanan, janitor/ruang Cleaning Service, toilet petugas medik, ruang penyimpanan silinder gas medik, toilet pengunjung/penunggu pasien dan ruang diskusi medis (terutama bagi RS A dan B).

RS PKU Muhammadiyah memiliki ruang-ruang yang telah disebutkan, salah satunya adalah ruang adminitrasi yang berguna untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi.

Ruang administrasi RS PKU Muhammadiyah berguna untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi, khususnya pelayanan pendaftaran dan rekam medik internal pasien di ruang Perawatan Intensif. Ruang administrasi seharusnya berada pada bagian depan Ruang Perawatan Intensif dengan dilengkapi loket atau counter, meja kerja, lemari berkas/arsip dan telepon/interkom. Akan tetapi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tidak memiliki ruang administrasi yang khusus, masih digunakan bersama pos sentral perawat untuk memantau keadaan pasien.


(59)

Ruang kepala ruangan juga belum tersedia di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II, yang seharusnya berfungsi sebagai ruang kerja dan ruang istirahat kepala ruang.

Ruang ganti petugas juga termasuk kedalam kebutuhan ruang di ruang perawatan intensif. Hal tersebut penting sebelum memasuki ruangan, agar pasien yang sedang dalam keadaan sakit tidak terkontaminasi oleh virus atau bakteri yang ada diluar ruangan perawatan intensif, begitu pula sebaliknya.

Gambar 4.2

Ruang Ganti Petugas

Ruang ganti petugas sangat penting dan sangat dibutuhkan, petugas harus selalu bersih terhindar dari bakteri dan virus. Apabila memasuki ruang perawatan intensif harus berganti baju dan alas kaki untuk menjaga agar ruangan selalu bersih.


(60)

Tabel 4.6

Hasil Observasi Aspek Proses pada Kebutuhan Ruang Kategori Kebutuhan

Ruang

Hasil Observasi

Kriteria Penilaian Hasil Penilaian Ya Tidak

Aspek Proses Jumlah skor

1 -2 : buruk 3-4 : cukup 5-6 : baik

Baik a) Pintu masuk √

b) Ruang administrasi

c) Ruang istirahat petugas

d) Ruang ganti petugas

e) Ruang kepala perawatan intensif

f) Ruang istirahat petugas

g) Instalasi komunikasi

Sumber: Diolah dari data primer (2015)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa aspek proses pada kebutuhan ruangan telah baik. Akan tetapi belum maksimal, belum terdapat ruang administrasi tersendiri yang khusus memberikan pelayanan pendaftaran dan rekam medik internal pasien di ruang perawatan intensif dan belum adanya ruangan kepala ruang perawatan intensif.

b) Aspek Fungsional

Aspek fungsional merupakan salah satu aspek untuk mengukur kebutuhan ruang perawatan intensif telah sesuai dengan persyaratan teknis bangunan ruang perawatan intensif rumah sakit. Belum terdapat ruang khusus untuk isolasi pasien, ruangan tersebut diperuntukkan untuk pasien yang menderita penyakit menular, pasien yang rentan terkena penularan dari orang lain, pasien yang menderita penyakit yang menimbulkan bau ( seperti penyakit kanker, diabetes dengan ganggren) dan untuk pasien menderita penyakit yang mengeluarkan suara dalam


(61)

ruangan. Sehingga dengan belum tersedianya ruang isolasi di ruang perawatan insentif pasien dengan kriteria tersebut ditempatkan di tempat tidur pasien biasa.

Gambar 4.3 Tempat Tidur Pasien

Ruang lain yang ada di RS PKU Muhammadiyah yaitu pos sentral perawat/ruang stasi perawat (nurse central station) yaitu tempat untuk memonitor perkembangan pasien ICU selama 24 jam apabila terjadi keadaan darurat pada pasien segera diketahui dan dapat diambil tindakan seperlunya terhadap pasien.


(62)

Gambar 4.4

Pos Sentral Perawat/Ruang Stasi Perawat (Nurse Central Station)

Nurse central station tersebut sangat strategis, dapat menjangkau seluruh pasien dengan ukuran luas yang cukup sehingga dapat mengakomodasi semua fungsi-fungsi penting. Ruangan tersebut dapat memonitor semua pasien, sehingga apabila terjadi keadaan darurat dari pasien maka perawat dapat secara langsung menangani pasien tersebut.

Selain beberapa ruang yang dibutuhkan untuk keperluan pasien serta dokter dalam hal menangani pasien, terdapat pula ruangan yang digunakan untuk mempersiapkan makanan dan minuman bagi petugas yaitu pantri, berikut gambar pantri RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II:


(63)

Gambar 4.5 Pantri

Pantri merupakan tempat untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk petugas, yang dilengkapi meja untuk menyiapkan makanan, bak cuci dengan kran air, microwave dan atau kompor, dan lemari pendingin. Pantri tersebut cukup lengkap untuk membuat makanan dan minuman bagi petugas, walau belum cukup sempurna sesuai standar yang telah ditetapkan.

Ruangan lainnya yang sesuai dengan persyaratan teknis bangunan ruang perawat intensif yaitu ruang utilitas bersih. Ruang tersebut sebagai digunakan untuk menyimpan obat-obatan, ruang tersebut harus terpisah dan tidak saling berhubungan, berikut gambar penyimpanan untuk utilitas bersih.


(64)

Gambar 4.6 Ruang Utilitas Bersih

Ruang utilitas bersih selain sebagai tempat menyimpan obat-obatan, juga digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang bersih dan steril dan dapat digunakan sebagai tempat menyimpan linen bersih. Di RS PKU Muhammadiyah Unit II belum tersedia ruangan khusus untuk utilitas bersih, hanya disediakan kabinet atau lemari penyimpanan di lorong-lorong untuk obat-obatan semua barang bersih dan steril.

Selain ruangan untuk kebutuhan pasien, ruangan untuk kebutuhan kelurga pasien juga disediakan oleh RS PKU Muhammadiyah Unit II, yaitu ruang tunggu keluarga pasien. Ruang tunggu keluarga pasien biasanya berada diluar wilayah ICU hal tersebut dilakukan untuk menjaga kebersihan ruang ICU dikarenakan ruang ICU merupakan ruangan untuk menangani pasien-pasien yang memiliki penyakit yang sudah cukup berat.


(65)

Gambar 4.7

Ruang Tunggu keluarga Pasien

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II menyediakan ruang tunggu bagi keluarga pasien ICU. Ruangan tersebut berada diluar ruangan ICU, akan tetapi tidak disediakan tempat untuk duduk bagi keluarga pasien. Keluarga pasien membawa sendiri perlengkapan mereka, tidak ada pesawat televisi dan pesawat telepon sebagai fasilitas bagi keluarga pasien. Ruang tunggu keluarga pasien tersebut kurang memadai untuk keperluan menunggu keluarga pasien yang dirawat di ICU.

Hasil observasi tersebut akan didukung dengan tabel aspek fungsional kebutuhan ruang di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II:


(1)

sambungan dan mudah dibersihkan, dan tinggi langit-langit ruang perawatan intensif tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.

PEMBAHASAN

1. Performa Fisik di ICU PKU Muhammadiyah Unit 2

Ruang ICU adalah unit pelayanan rawat inap dirumah sakit yang memberikan perawatan khusus pada penderita yang memerlukan perawatan yang lebih intensif yang mengalami gangguan kesadaran, gangguan pernafasan, dan mengalami serangan penyakit akut. ICU menyediakan kemampuan, saran dan prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital denga menggunakan keterampilan staf medis, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut. Sebagian besar penderita yang dirawat diruang ICU adalah pasien yang menderita berbagai penyakit komplikasi, akut, atau kronis.

Oleh karena pasien-pasien perlu mendapatkan perawatan yang intensif performa fisik dari ruang perawatan intensif minimal sesuai dengan standar Kemenkes RI. Kebutuhan ruang dan prasarana di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah telah baik, walau belum sempurna.

Beberapa kekurangan kebutuhan ruang dan prasarana seperti ruang administrasi, ruang kepala ruangan, ruang utilitas bersih, ruang janitor, tanda-tanda bahaya (tanda bahaya kebakaran, tanda bahaya sumber listrik, dan tanda bahaya sumber gas medik), tempat cuci tangan, kebisingan, dan pencahayaan.

Ruang administrasi untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi khususnya pelayanan pendaftaran dan rekam medik internal pasien di Ruang Perawatan Intensif (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Ruangan ini tidak ada di

RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II. Hanya terdapat meja adminstrasi akan tetapi tidak


(2)

digunakan. Belum tersedia ruang kepala ruangan ICU yang berisi ruang kerja dan istirahat kepala ruangan, dilengkapi sofa, meja, dan kursi kerja (Kementerian Kesehatan RI, 2012), Terdapat ruang dokter jaga ICU namun tidak digunakan sebagaimana mestinya, dokter jaga beristirahat disalah satu tempat tidur pasien yang tidak digunakan. Hal ini dikarenakan ruangan dokter jaga terlalu jauh dari pasien, sehingga tidak efisien jika terjadi kondisi perburukan pada pasien yan membutuhkan dokter datang segera.

Ruang utilias bersih juga tidak tersedia secara khusus di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. Ruang utilitas bersih digunaan untuk menyimpan obat-obatan, semua barang-barang yang bersih dan steril, dan boleh juga digunakan untuk menyimpan linen bersih (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Ruangan tempat penyimpanan obat berada didekat nurse center station karena

keterbatasan ruang yang dimiliki oleh RS PKU Muhammadiyah Unit 2. Selain itu, ruang janitor juga tidak tersedia, sehingga penempatan alat-alat kebersihan masih menjadi satu dengan ruang janitor utama rumah sakit.

Tanda-tanda bahaya seperti tanda bahaya kebakaran, tanda bahaya sumber listrik, dan tanda bahaya sumber gas medik belum tersedia di ruang perawatan intensif. Tanda bahaya di ruang perawatan intensif sangat diperlukan, karena terdapat banyak alat-alat medis, aliran listrik serta gas medik. Belum tersedia pula tempat cuci tangamn di ruang perawatan intensif. Tempat cuci tangan merupakan prasarana yang penting, sebagai tempat mencuci tangan setelah petugas merawat pasien. Kebersihan di rumah sakit sangat diutamakan agar petugas tidak mudah tertular penyakit atau menularkan penyakit.

Kenyamanan pasien sangat diutamakan akan tetapi di ruang perawatan intensif dinilai masih


(3)

terlalu bising, indeks maksimal kebisingan yaitu 45 dBA akan tetapi di ruang perawatan intensif masih diatas angka tersebut yaitu 49,7 dBA. Pencahayaan di ruang perawatan intensif juga masih kurang optimal masih dibawah indeks pencahayaan yaitu 250 Lux, sedangkan diruang perawatan intensif yaitu hanya 213 Lux.

Pencahayaan sangat penting dalam ruang perawatn intensif karena hal tersebut berhubungan erat dengan kenyamanan petugas dan pasien. Menurut penelitian Adi Santosa (2006) mengenai pencahayaan pada interior rumah sakit, menyatakan bahwa tata pencahayaan yang mengandung elemen-elemen interior merupakan sarana pemantul cahaya di dalam ruang. Ini erat kaitannya dengan pembagiaan area dan pencahayaan karena akan berkaitan dengan kenyamanan pengguna ruangan.

Selain pencahayaan, kelembaban ruangan juga perlu diperhatikan karena udara

merupakan salah satu media lingkungan tempat bakteri dan virus berkembang, menurut penelitian Abdullah dan Buraerah (2011) bahwa kelembaban di suatu rumah sakit berpotensi membuat kuman dan bakteri berkembang.

2. Hasil Evaluasi Pasca Huni Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya Haryadi dan Slamet (1996). Evaluasi pasca huni di ruang perawatan intensif sudah baik. Ruang perawatan intensif mudah dicapai dari ruangan lainnya seperti darti IGD (Instalasi Gawat darurat), radiologi, kamar operasi, bangsal penyakit dalam, bangsal bedah, bangsal kandungan, dan dari laboratorium. Selain itu luas lantai dapat mengakomodir kebutuhan ruang dari semua peralatan dan petugas, akses


(4)

penyimpanan dan pengambilan alat medik di ruang penyimpanan mudah dilakukan, koridor dan pintu masuk cukup lebar untuk kelancaran aktivitas di ruang perawatan intensif.

Arsitektur rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II sudah cukup baik, karena kemudahan dalam pencapaian dari suatu ruangan ke ruangan lain mudah diakses. Hal ini dkarenakan arsitektur rumah sakit yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk memudahkan setiap orang melakukan akses ke tiap-tiap ruangan, seperti penelitian tamitu (2012) yang menyatakan arsitektur sangat diperlukan guna memudahkan akses bagi masyarakat maupun petugas rumah sakit.

Selain itu lantai ruang perawatan intensif selalu dalam keadaan bersih, jumlah jendela sebagai sarana visual untuk menguatkan orientasi pada siang dan malam hari sudah maksimal, dinding ruang perawatan intensif

berwarna cerah dan tidak menyilaukan, selain itu dinding ruang perawatan intensif keras, tahan api, tidak memiliki

sambungan dan mudah

dibersihkan, dan tinggi langit-langit ruang perawatan intensif tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yoyakarta Unit II cukup memadai sebagai ruang perawatan intensif. Dapat mengakomodir segala aktifitas petugas dan pasien.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bangunan fisik ruang perawatan intensif

Bangunan fisik ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakata Unit II cukup baik, hanya terdapat beberapa ruang yang belum tersedia, seperti ruang administrasi, ruang kepala ruangan ruang perawatan intensif, ruang utilitas bersih, janitor atau ruang


(5)

cleaning service, tanda bahaya (tanda bahaya kebakaran, tanda bahaya sumber listrik, dan tanda bahaya pada sumber gas medik). 2. Prasarana ruang perawatan intensif

Berdasarkan aspek proses prasarana ruang perawatan intensif buruk karena tidak memiliki tanda bahaya kebakaran, listrik dan sumber gas medik. Sedangkan aspek fungsional baik karena sampah sudah dibedakan berdasarkan jenisnya dan aspek teknikal baik, hanya kebisingan dan pencahayaan yang belum sesuai standar.

3. Evaluasi pasca huni

Evaluasi pasca huni di ruang perawatan intensif dirasakan baik oleh responden. Ruang perawatan intensif mudah diakses oleh ruang IGD, ruang radiologi, ruang kamar operasi, ruang bangsal penyakit dalam, ruang bangsal bedah, ruang bangsal kandungan, dan ruang laboratorium. Selain itu luas lantai di ruang perawatan intensif telah mengakomodir kebutuhan ruang dari semua peralatan dan petugas,

akses penyimpanan dan pengambilan alat medik di ruang penyimpanan mudah dilakukan, dan koridor pintu masuk cukup lebar untuk kelancaran aktivitas di ruang perawatan intensif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, M.Tahir dan Buraerah Abdul Hakim. 2011. Lingkungan Fisik dan Angka Kuman Udara Ruangan di Rumah Sakit Umum Haji Makassar, Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.5, No.5, April 2011.

2. Aswin, Prof.dr. Soedjono, PhD. . Metodologi Penelitian Kedokteran . Yogyakarta : Fakultas Kedokteran UGM.

3. Clancy, C.M. 8. Designing for Safety : Evidence – Based Design and Hospital . American Journal of Medical Quality.

4. Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Bina Upaya Kesehatan. 2012. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang


(6)

Perawatan Intensif . Jakarta : Kmenterian Kesehatan RI.

5. Hasyim, H. 2005. Manajemen Hiperkes dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit . Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 08 (02) : 61-65.

6. Hatmoko. 2010. Panduan Pembahasan Kasus Manajemen Fisik

dan Arsitektur Rumah Sakit ,

Makalah seminar : Arsitektur dan

Manjemen Rumah Sakit .

Yogyakarta : MMR FK UGM.

7. Hatmoko, AU. 2004. Konsep Perencanaan dan Perancangan

Rumah Sakit Terkini , makalah

seminar : Manajemen Pengelolaan Bangunan dan Instalasi Medik

Rumah Sakit . Yogyakarta

8. Kunders, G.D, et al. 2000. Hospital

Planning, Design and Management ,

New Delhi : Mc Graw Hill.

9. Kusnanto, Hari. TT. Metode Kualitatif dalam Riset Kesehatan . Yogyakarta : Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat

Pascasarjana UGM.

10. Preiser, V.F.E., Rabinowitz, H.Z., White, ET. 1998. Post Occupancy

Evaluation . New York : Van

Nostrand Ranhola Company.

11. Purves, G. 2002. Healthy Living Centres A Guide to Primary Healthy Care Design . Oxford : Architectural Press.

12. Santoso, Adi. 2006. Pencahayaan Pada Interior Rumah Sakit : Studi Kasus Ruang Rawat Inap Utama Gedung Lukas, RS Panti Rapih, Yogyakarta. Dimensi Interior, Vol.4, No.2, Desember 2006 : 49-56. 13. Tatimu, Stephanie, 2012. Rumah

Sakit Ibu dan Anak di Luwuk. Jurnal Dimensi Arsitektur Vol.1, No.1 (2012) 1-5.