Tugas Pengantar Ilmu Hukum STAN
Soal
1. Sebutkan dan jelaskan penafsiran hakim yang boleh ditempuh!
2. Jelaskan tata/mekanisme pembentukan Undang-Undang, Perpu, PP, dan Peraturan
Presiden serta buatkan bagan alur mekanisme tersebut!
3. Jelaskan minimal 8 dari 10 asas-asas hukum!
Jawaban
1. Penafsiran hakim yang boleh ditempuh adalah penafsiran tata bahasa, penafsiran sahih,
penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis,
penafsiran ekstentif, penafsiran restriktif, penafsiran analogis, dan penafsiran a contrario
(menurut peringkatan).
1) Penafsiaran tata bahasa
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi undang-undang, dengan
berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain
dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah
semata-mata arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti
dalam pekaian sehari-hari.
Sebagai contoh dalam jurisprudensi negeri belanda adalah sebagai berikut:
pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang
menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat dalam
rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika penyewa menunggak (yaitu tidak
membayar) uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barangbarang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus dibayar terlebih
dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya dari uang pendapatan lelangan
barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar. Dalam
kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan:” tidak peduli apakah barang-barang
perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah itu sendiri atau bukan.”
Timbullah pertanyaan, apakah pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang
yang menyewakan rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian
sewa-menyewa, sudah mengetahui barang itu bukan milik si penyewa sendiri?
Dalam kasus seperti ini, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam
putusannya tanggal 7 April 1938 telah menjawab “ya”, dengan mengambil
pedoman “arti perkataan-perkataan” sebagaimana dipakai dalam undang-undang.
2) Penafsiran shahih (autentik, resmi)
Ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh Pembentikan Undang-Undang, misalnya pasal 98 KUHP: “malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; pasal 101 KUHP:
“ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi.
3) Penafsiran historis, yaitu
a) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah
terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat
menyurat antara Menteri dengan Komisu DPR yang bersangkutan.
b) Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undangundang itu misalnya didenda f 25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang
Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
itu dibuat.
4) Penafsiran sistemis, (dogmatis)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal
lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain
misalnya “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal
34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
Penafsiran Nasional
Ialah penafsiran menilik sesuai tindaknya dengan sistem hukum yang belaku
misalnya hak-milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik
sitem hukum Indonesia (Pancasila).
Penafsiran teleogis, (sosiologis)
Yaitu penafsiran dengan mngingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini
penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi
undang-undang tetap sama saja.
Penafsiran ekstensif
Memberi penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk
juga “benda”.
Penafsiran restriktif
Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam
peraturan itu, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud”
seperti sakit, cacat, dan sebagainya.
Penafsiran analogis
Memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengn memberi ibarat (kiyas)
pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan
“mengambil” aliran listrik.
Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan yang diatur dalam suatu pasal
undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu
ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang
termaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut.
Contoh: pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak
diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya
terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan
seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya
waktu 300 hari?
Jawaban atas pertanyaan ini ialah “tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak
menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang
perempuan.
Maksud “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah
adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak, berhungan dengan
kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah
perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang
berikutnya, maka menurut undang-undang anak itu adalah anaknya suaminya yang
terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan
terdahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai
waktu kandungan yang paling lama.
2. Tata Cara Pembentukan Undang Undang
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 proses pembentukan Undang-Undang dapat
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Dalam pembentukan UU, Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari
Presiden, DPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Namun, untuk RUU yang
diajukan oleh DPD hanya diperkenankan RUU berkaitan dengan:
• otonomi daerah;
• hubungan pusat dengan daerah;
• pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
• pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
• perimbangan keuangan pusat dan daerah.
1) Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah
a) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugasnya
masing-masing.
b) Konsepsi RUU tersebut dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.
c) RUU yang sudah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
Pimpinan DPR.
d) Dalam surat Presiden tersebut disebutkan menteri yang akan ditugasi mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.
e) DPR mulai membahas RUU tersebut dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak
surat Presiden diterima.
f) Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
2) Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPR (hak inisiatif) dan
DPD
a) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR diusulkan oleh DPR (RUU
tersebut dapat juga dari DPD yang diajukan kepada DPR).
b) RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kepada Presiden.
c) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR
dalam jangka waktu 60 hari sejak surat pimpinan DPR diterima.
d) Menteri yang ditugasi oleh Presiden dalam pembahasan di DPR mengkoordinasikan
persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundangundangan.
e) Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR.
b. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang- Undang
1) Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang
ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yang dibahas mengenai otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai pada tahap rapat
komisi/panitialalat keldngkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisi yang membidangi
materi muatan RUU yang dibahas.
4) Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, yaitu:
a) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat pertama ini
apabila RUU diajukan oleh Presiden. Maka yang memberi penjelasan adalah
Pemerintah (Presiden) atau menteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari
DPR penjelasan dilakukan oleh pimpinan komisi atau rapat gabungan komisi atau
rapat panitia khusus.
b) Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Pada pembicaraan tingkat
II, apabila RUU dari pemerintah, maka dilakukan pemandangan umum dari
anggota DPR yang membawa suara fraksinya masing-masing terhadap RUU.
Pemerintah kemudian menyampaikan tanggapan terhadap pemandangan umum
tersebut. Apabila RUU dari DPR, maka diadakan tanggapan pemerintah terhadap
RUU tersebut. Setelah itu DPR memberikan tanggapan dan penjelasan yang
disampaikan oleh pimpinan komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus atas
nama DPR.
c) Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi/rapat gabungan
komisi/rapat panitia khusus. Dalam pembicaraan tingkat ini dilakukan rapat
komisi/rapat gabungan komisi/rapat panitia khusus bersama pemerintah membahas
RUU tersebut secara keseluruhan mulai dari pembukaan, pasal-pasal, sampai
bagian akhir rancangan undangundang tersebut.
d) Pembicaraan Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat yang
terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan di tingkat komisi/gabungan
komisi/rapat panitia khusus. Penyampaian pendapat terakhir dari fraksi-fraksi yang
disampaikan oleh anggota-angotanya dan dilakukan pengambilan keputusan. Pada
tingkat ini pemerintah juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan
terhadap pengambilan keputusan tersebut.
5) RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU.
6) Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
7) RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden.
8) Dalam hal RUU tidak dapat ditanda tangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat
30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan UU
1) Setelah RUU disahkan oleh Presiden menjadi UU maka UU tersebut harus
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2) Pengundangan dalam Lembaran Negara RI dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
3) Undang-Undang tersebut mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan.
4) Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ruu dari
Presiden
Ruu dari
DPR RI
Ruu dari
DPD
Dua tingkat pembicaraan di DPR
Disetujui DPR RI
Ditandatangani Presiden RI
Undang-Undang
Bagan alur pembentukan Undang-Undang usulan dari DPR RI
Usul inisiatif RUU
dapat berasal dari :
sekurangkurangnya 13 orang
Anggota DPR RI
atau komisi,
Gabungan Komisi
atau Baleg
Pemimpin DPR
menyampaikan
RUU kepada
Presiden dengan
permintaan agar
presiden menunjuk
Menteri yang akan
mewakili Presiden
dalam pembahasan
RUU, dan kepada
Pimpinan DPD jika
RUU yang diajukan
terkait dengan DPD
Disampaikan kepada
Pimpinan DPR disertai
daftar nama dan tanda
tangan pengusul serta
nama fraksinya
Dalam Rapat Paripurna, Ketua
Rapat memberitahukan dan
membagikan usul inisiatif
RUU kepada para anggota
DPR
Disetujui dengan
perubahan, DPR
menugaskan kepada
Komisi, Baleg atau Pansus
untuk menyempurnakan
RUU tersebut
Rapat Paripurna
memutuskan
apakah usul RUU
tersebut secara
prinsip dapat
diterima menjadi
RUU usul daru
DPR atau tidak
setelah diberkan
kepada fraksi untuk
memberikan
pendapatnya
Disetujui tanpa perubahan
Pembicaraan di DPR RI
Pembicaraan Tingkat I
Pembicaraan Tingakat II
Ditandatangani Presiden RI
Disetujui DPR RI
Undang-Undang
Proses pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah
sebagai berikut :
a. Persiapan Pembentukan Perpu
1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang di keluarkan Presiden harus
diajukan ke DPR dalam persidangan berikutnya.
2) Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perpu
menjadi Undang-Undang.
3) Dalam hal Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut harus dicabut.
4) Dalam hal Perpu ditolak oleh DPR, maka Presiden mengajukan RUU tentang
pencabutan Perpu tersebut.
b. Pembahasan dan Pengesahan Perpu
Penetapan Perpu menjadi Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang
sama dengan pembahasan RUU. Dengan demikian prosedur pembahasan Perpu di DPR sama
dengan pembahasan RUU di DPR.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan Perpu
Pada tahap ini juga mempunyai prosedur yang sama seperti pada pengundangan dan
penyebarluasan UU.
Proses Penyusunan Peraturan Pemerinatah
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia
antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian
dan/atau antar nonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
4) Pembahasan PP di DPR sama dengan pembahasan RUU di DPR.
5) Tahap pengundangan dan penyebarluasan PP sama dangan pengundangan dan
penyebarluasan UU.
Proses Penyusunan Peraturan Presiden
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antar kementerian dan/atau antar non-kementerian.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian
dan/atau antar nonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
4) Pembahasan Peraturan Presiden di DPR sama dengan pembahasan RUU di DPR.
5) Tahap pengundangan dan penyebarluasan Peraturan Presiden sama dangan
pengundangan dan penyebarluasan UU.
3.
ASAS – ASAS HUKUM DI INDONESIA
1. Lex retro non agit ( Asas Retroaktif)
Hukum tidak berlaku surut. Versi lain dari asas ini mengatakan lex prosricit non respicit, artinya
hukum harus menatap ke depan bukan ke belakang. Asas ini bersumber dari hukum Romawi yang
menjadi salah satu asas fundamental hukum kontemporer. Namun demikian, meskipun asas ini telah
diterima dalam praktik hukum, orang mungkin mengahadapi peraturan hukum yang secara nyata
melanggar asas ini.
2. Lex superiori derogat lex inferiori
Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihatdalam pasal 7 UU
No.12 Tahun 2011. “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
3. Lex posteriore derogat lex priori
Peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. Maksudnya adalah undangundang lain yang lebih dahulu dima diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang
baru yang pula tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya belainan atau berlawanan dengan
undang-undang lama tersebut.
4. Lex specialis derogate lex generalis
Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum, lihat Pasal 1 KUHD.
5. Die normatieven kraft des faktischen
Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4 tahun 2004
6. Nullum crimen nulla poena sine lege
Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya. Bahwa semua kejahatan
yang terjadi diindonesia adalah yang melanggar undang –undang . karena pernyataan diatas menyatakan
bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya, jadi suatu tindak
kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar undang – undang yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dalam versi lain disebut asas legalitas yang artinya bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika ditentukan terlebih dahulu dal per Undang-Undangan.
7. Pacta sunt servanda Artinya perjanjian harus dipatuhi
8. Asas konkordansi yang sempit
Asas Konkordasi adalah asas dimana hukum yang berlaku dinegara penjajah berlaku juga
dinegara jajahannya. Artinya KUHPerdata Belanda banyak menjiwai KUHPerdata
Indonesia karena KUHPerdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUHPerdata Indonesia.
Dimas Rafi Ramaharmuzi
1-J D1 Pajak
No. Absen : 10
1. Sebutkan dan jelaskan penafsiran hakim yang boleh ditempuh!
2. Jelaskan tata/mekanisme pembentukan Undang-Undang, Perpu, PP, dan Peraturan
Presiden serta buatkan bagan alur mekanisme tersebut!
3. Jelaskan minimal 8 dari 10 asas-asas hukum!
Jawaban
1. Penafsiran hakim yang boleh ditempuh adalah penafsiran tata bahasa, penafsiran sahih,
penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis,
penafsiran ekstentif, penafsiran restriktif, penafsiran analogis, dan penafsiran a contrario
(menurut peringkatan).
1) Penafsiaran tata bahasa
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi undang-undang, dengan
berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain
dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah
semata-mata arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti
dalam pekaian sehari-hari.
Sebagai contoh dalam jurisprudensi negeri belanda adalah sebagai berikut:
pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang
menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat dalam
rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika penyewa menunggak (yaitu tidak
membayar) uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barangbarang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus dibayar terlebih
dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya dari uang pendapatan lelangan
barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar. Dalam
kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan:” tidak peduli apakah barang-barang
perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah itu sendiri atau bukan.”
Timbullah pertanyaan, apakah pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang
yang menyewakan rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian
sewa-menyewa, sudah mengetahui barang itu bukan milik si penyewa sendiri?
Dalam kasus seperti ini, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam
putusannya tanggal 7 April 1938 telah menjawab “ya”, dengan mengambil
pedoman “arti perkataan-perkataan” sebagaimana dipakai dalam undang-undang.
2) Penafsiran shahih (autentik, resmi)
Ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh Pembentikan Undang-Undang, misalnya pasal 98 KUHP: “malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; pasal 101 KUHP:
“ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi.
3) Penafsiran historis, yaitu
a) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah
terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari
memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat
menyurat antara Menteri dengan Komisu DPR yang bersangkutan.
b) Sejarah Undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undangundang itu misalnya didenda f 25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang
Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
itu dibuat.
4) Penafsiran sistemis, (dogmatis)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal
lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain
misalnya “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal
34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
Penafsiran Nasional
Ialah penafsiran menilik sesuai tindaknya dengan sistem hukum yang belaku
misalnya hak-milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik
sitem hukum Indonesia (Pancasila).
Penafsiran teleogis, (sosiologis)
Yaitu penafsiran dengan mngingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini
penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi
undang-undang tetap sama saja.
Penafsiran ekstensif
Memberi penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk
juga “benda”.
Penafsiran restriktif
Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam
peraturan itu, misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud”
seperti sakit, cacat, dan sebagainya.
Penafsiran analogis
Memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengn memberi ibarat (kiyas)
pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan
“mengambil” aliran listrik.
Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan yang diatur dalam suatu pasal
undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu
ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang
termaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut.
Contoh: pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak
diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya
terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan
seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya
waktu 300 hari?
Jawaban atas pertanyaan ini ialah “tidak”, karena pasal 34 KUHS tidak
menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki dan khusus ditujukan kepada orang
perempuan.
Maksud “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah
adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak, berhungan dengan
kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah
perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang
berikutnya, maka menurut undang-undang anak itu adalah anaknya suaminya yang
terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan
terdahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai
waktu kandungan yang paling lama.
2. Tata Cara Pembentukan Undang Undang
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 proses pembentukan Undang-Undang dapat
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Dalam pembentukan UU, Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari
Presiden, DPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Namun, untuk RUU yang
diajukan oleh DPD hanya diperkenankan RUU berkaitan dengan:
• otonomi daerah;
• hubungan pusat dengan daerah;
• pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
• pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
• perimbangan keuangan pusat dan daerah.
1) Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah
a) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugasnya
masing-masing.
b) Konsepsi RUU tersebut dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.
c) RUU yang sudah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
Pimpinan DPR.
d) Dalam surat Presiden tersebut disebutkan menteri yang akan ditugasi mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.
e) DPR mulai membahas RUU tersebut dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak
surat Presiden diterima.
f) Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
2) Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPR (hak inisiatif) dan
DPD
a) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR diusulkan oleh DPR (RUU
tersebut dapat juga dari DPD yang diajukan kepada DPR).
b) RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR
kepada Presiden.
c) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR
dalam jangka waktu 60 hari sejak surat pimpinan DPR diterima.
d) Menteri yang ditugasi oleh Presiden dalam pembahasan di DPR mengkoordinasikan
persiapan pembahasan dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundangundangan.
e) Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR.
b. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang- Undang
1) Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang
ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yang dibahas mengenai otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai pada tahap rapat
komisi/panitialalat keldngkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisi yang membidangi
materi muatan RUU yang dibahas.
4) Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, yaitu:
a) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat pertama ini
apabila RUU diajukan oleh Presiden. Maka yang memberi penjelasan adalah
Pemerintah (Presiden) atau menteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari
DPR penjelasan dilakukan oleh pimpinan komisi atau rapat gabungan komisi atau
rapat panitia khusus.
b) Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Pada pembicaraan tingkat
II, apabila RUU dari pemerintah, maka dilakukan pemandangan umum dari
anggota DPR yang membawa suara fraksinya masing-masing terhadap RUU.
Pemerintah kemudian menyampaikan tanggapan terhadap pemandangan umum
tersebut. Apabila RUU dari DPR, maka diadakan tanggapan pemerintah terhadap
RUU tersebut. Setelah itu DPR memberikan tanggapan dan penjelasan yang
disampaikan oleh pimpinan komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus atas
nama DPR.
c) Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi/rapat gabungan
komisi/rapat panitia khusus. Dalam pembicaraan tingkat ini dilakukan rapat
komisi/rapat gabungan komisi/rapat panitia khusus bersama pemerintah membahas
RUU tersebut secara keseluruhan mulai dari pembukaan, pasal-pasal, sampai
bagian akhir rancangan undangundang tersebut.
d) Pembicaraan Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Pada tingkat yang
terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan di tingkat komisi/gabungan
komisi/rapat panitia khusus. Penyampaian pendapat terakhir dari fraksi-fraksi yang
disampaikan oleh anggota-angotanya dan dilakukan pengambilan keputusan. Pada
tingkat ini pemerintah juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan
terhadap pengambilan keputusan tersebut.
5) RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU.
6) Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
7) RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden.
8) Dalam hal RUU tidak dapat ditanda tangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat
30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan UU
1) Setelah RUU disahkan oleh Presiden menjadi UU maka UU tersebut harus
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2) Pengundangan dalam Lembaran Negara RI dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
3) Undang-Undang tersebut mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan.
4) Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ruu dari
Presiden
Ruu dari
DPR RI
Ruu dari
DPD
Dua tingkat pembicaraan di DPR
Disetujui DPR RI
Ditandatangani Presiden RI
Undang-Undang
Bagan alur pembentukan Undang-Undang usulan dari DPR RI
Usul inisiatif RUU
dapat berasal dari :
sekurangkurangnya 13 orang
Anggota DPR RI
atau komisi,
Gabungan Komisi
atau Baleg
Pemimpin DPR
menyampaikan
RUU kepada
Presiden dengan
permintaan agar
presiden menunjuk
Menteri yang akan
mewakili Presiden
dalam pembahasan
RUU, dan kepada
Pimpinan DPD jika
RUU yang diajukan
terkait dengan DPD
Disampaikan kepada
Pimpinan DPR disertai
daftar nama dan tanda
tangan pengusul serta
nama fraksinya
Dalam Rapat Paripurna, Ketua
Rapat memberitahukan dan
membagikan usul inisiatif
RUU kepada para anggota
DPR
Disetujui dengan
perubahan, DPR
menugaskan kepada
Komisi, Baleg atau Pansus
untuk menyempurnakan
RUU tersebut
Rapat Paripurna
memutuskan
apakah usul RUU
tersebut secara
prinsip dapat
diterima menjadi
RUU usul daru
DPR atau tidak
setelah diberkan
kepada fraksi untuk
memberikan
pendapatnya
Disetujui tanpa perubahan
Pembicaraan di DPR RI
Pembicaraan Tingkat I
Pembicaraan Tingakat II
Ditandatangani Presiden RI
Disetujui DPR RI
Undang-Undang
Proses pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah
sebagai berikut :
a. Persiapan Pembentukan Perpu
1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang di keluarkan Presiden harus
diajukan ke DPR dalam persidangan berikutnya.
2) Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perpu
menjadi Undang-Undang.
3) Dalam hal Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut harus dicabut.
4) Dalam hal Perpu ditolak oleh DPR, maka Presiden mengajukan RUU tentang
pencabutan Perpu tersebut.
b. Pembahasan dan Pengesahan Perpu
Penetapan Perpu menjadi Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang
sama dengan pembahasan RUU. Dengan demikian prosedur pembahasan Perpu di DPR sama
dengan pembahasan RUU di DPR.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan Perpu
Pada tahap ini juga mempunyai prosedur yang sama seperti pada pengundangan dan
penyebarluasan UU.
Proses Penyusunan Peraturan Pemerinatah
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia
antar kementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian
dan/atau antar nonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
4) Pembahasan PP di DPR sama dengan pembahasan RUU di DPR.
5) Tahap pengundangan dan penyebarluasan PP sama dangan pengundangan dan
penyebarluasan UU.
Proses Penyusunan Peraturan Presiden
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antar kementerian dan/atau antar non-kementerian.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian
dan/atau antar nonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
4) Pembahasan Peraturan Presiden di DPR sama dengan pembahasan RUU di DPR.
5) Tahap pengundangan dan penyebarluasan Peraturan Presiden sama dangan
pengundangan dan penyebarluasan UU.
3.
ASAS – ASAS HUKUM DI INDONESIA
1. Lex retro non agit ( Asas Retroaktif)
Hukum tidak berlaku surut. Versi lain dari asas ini mengatakan lex prosricit non respicit, artinya
hukum harus menatap ke depan bukan ke belakang. Asas ini bersumber dari hukum Romawi yang
menjadi salah satu asas fundamental hukum kontemporer. Namun demikian, meskipun asas ini telah
diterima dalam praktik hukum, orang mungkin mengahadapi peraturan hukum yang secara nyata
melanggar asas ini.
2. Lex superiori derogat lex inferiori
Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihatdalam pasal 7 UU
No.12 Tahun 2011. “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
3. Lex posteriore derogat lex priori
Peraturan yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. Maksudnya adalah undangundang lain yang lebih dahulu dima diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang
baru yang pula tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya belainan atau berlawanan dengan
undang-undang lama tersebut.
4. Lex specialis derogate lex generalis
Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum, lihat Pasal 1 KUHD.
5. Die normatieven kraft des faktischen
Perbuatan yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU No.4 tahun 2004
6. Nullum crimen nulla poena sine lege
Tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya. Bahwa semua kejahatan
yang terjadi diindonesia adalah yang melanggar undang –undang . karena pernyataan diatas menyatakan
bahwa tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya, jadi suatu tindak
kejahatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila melanggar undang – undang yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dalam versi lain disebut asas legalitas yang artinya bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika ditentukan terlebih dahulu dal per Undang-Undangan.
7. Pacta sunt servanda Artinya perjanjian harus dipatuhi
8. Asas konkordansi yang sempit
Asas Konkordasi adalah asas dimana hukum yang berlaku dinegara penjajah berlaku juga
dinegara jajahannya. Artinya KUHPerdata Belanda banyak menjiwai KUHPerdata
Indonesia karena KUHPerdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUHPerdata Indonesia.
Dimas Rafi Ramaharmuzi
1-J D1 Pajak
No. Absen : 10