Dua Belas

Dua Belas

Tiga hari kemudian, Zul terbang ke Yogyakarta. Di Bandara Adi Sucipto ia dijemput oleh Pak Muslim. Begitu bertemu mereka berangkulan erat sekali. Pak Muslim tampak bahagia sekali bertemu dengan Zul, begitu juga Zul. Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama sekali tidak berubah, meskipun ia telah menyandang gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya orang biasa. Orang yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu beliau memakai batik warna tua yang tersembunyi dalam jaket cokelat yang tampak tua. Warnanya telah berubah karena terkena panas dan hujan.

Pak Muslim menjemput dengan mobil Katana tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke rumahnya di sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo.

"Rumah ini masih menyewa Zul," kata Pak Muslim begitu sampai di rumahnya. "Doakan tahun depan ada rejeki untuk membeli rumah. Meskipun dengan mengangsur," lanjutnya.

"Semoga Pak." "Ayo masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku

sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di rumah eyangnya di Solo."

Begitu masuk Pak Muslim langsung ke dapur membuatkan minuman.

"Adanya ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas berisi air sirup berwarna hijau.

"Nyaman hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul. "Nyaman dan tidaknya hidup itu yang meng-kondisikan

adalah hati dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja adalah hati dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja

"O ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi? Kira- kira yang daftar banyak tidak?"

"Cuma enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang daftar mungkin puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang peluangmu, ya yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk Sosiologi Pendidikan, saya lihat yang daftar sampai kemarin belum terlalu banyak, kira-kira baru belasan orang. Peluangmu mungkin bagus. Apalagi hanya kau yang meraih M.Ed, dari luar negeri."

"Doanya Pak." "Semoga. Syarat-syarat sudah lengkap semua?" "Yang belum foto Pak." "Nanti foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa

dimasukkan." "Iya Pak." "O iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau masih

mengharap yang di Subang Jaya?" "Aduh jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi

penggerebekan di Subang Jaya seperti yang tertulis di koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak. Saya jadi merasa berdosa karena berburuk sangka pada semua isi rumah itu."

"Terus sebenarnya bagaimana?" Zul lalu menceritakan pertemuannya dengan Sumi di

Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang lebar Zul menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim mengangguk-angguk.

"Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak kauberitahu mungkin selamanya dalam pikiran saya yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu pelacur semua. Kan "Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak kauberitahu mungkin selamanya dalam pikiran saya yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu pelacur semua. Kan

"Ya alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan Sumi Pak."

"Terus tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagai-mana?"

"Aduh Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak. Dunia ini kan luas. Jumlah wanita di atas muka bumi ini miliaran Pak. Gadis Muslimah yang belum menikah jum- lahnya jutaan Pak, kenapa saya mesti mempersusah diri."

"Wah kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu sifatmu yang aku sangat salut. Dan aku berharap sifat itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari dirimu."

"Apa itu Pak?" "Jujur dan tidak mengada-ada. Itu yang aku suka

padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki seorang pendidik di negeri ini. Karena kejujuran sekarang ini jadi barang yang sangat langka Zul."

"Doakan saya bisa terus istiqamah Pak." "Semoga Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah

seperti apa yang sekarang kauinginkan. Mungkin aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu tapi juga membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi belum menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka ada yang sesuai untukmu."

"Yang salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan sudah pernah tinggal bersama saya lebih dari satu tahun. Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya."

"Ini Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri saya. Sebab Muslimah ini kenal baik dengan isteri saya.

Pernah satu kampus di Bandung dulu. Dia sokarang kalau tidak salah dosen di Universitas Semarang. Baru menyelesaikan Master Ekonominya di UKM Malaysia."

"Umurnya berapa?" "Ya seumuran isteri saya." "Kalau seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua

dongPak."

"Ei jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Baya?" "Berapa Pak?" "Dua puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?" "Tigapuluh." "Berarti kira-kira dia lebih muda dua tahun darimu.

Bagaimana?" "Boleh Pak." "Kalau boleh tahu. Dia berjilbab Pak?" "Kamu ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak mau

mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti berjilbab rapat-lah Zul."

"Kalau begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?" "Namanya agak panjang Zul. Tapi seingat saya depannya

Agustina. Isteri saya kalau memanggil dia Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia nulis di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar aku cari koran dulu. Ada beberapa tulisan dia yang bagus kok."

Pak Muslim beranjak menuju rak tempat majalah dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa koran sesaat lamanya.

"Lha ini dia." Seru Pak Muslim gembira. "Ini Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim

menyodorkan koran itu pada Zul.

Zul membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan argumentatif. Bahasanya enak dibaca.

"Baguskan?" "lya Pak?" "Rapi dan runtut kan?" "Iya." "Itulah cermin kepribadiannya. Saya pernah bertemu

dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter orangnya. Kira- kira bagaimana Zul?"

"Saya manut Pak Muslim saja." "Baik. Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar dia

urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang saja." Pak Muslim

mengeluarkan hand phone-nya dan memanggil isterinya. Langsung nyambung. Zul hanya mendengar suara Pak Muslim:

"O jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?" "Di mana Dik, di Warung Bentuman?" "Dia belum ada calon kan?" "Ini, temanku satu rumah yang pernah kuceritakan dulu

itu lho Dik." "Ya, sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya." "Namanya Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A. Zulhadi

Jaelani, M.Ed." Lalu Pak Muslim menarik hand phone-nya dari telinga

kanannya dan bertanya pada Zul. "Zul, tanggal lahirmu berapa?" "21 April 1977 Pak." Jawab Zul.

Pak Muslim lalu menyampaikan hal itu pada isterinya. Tak lama kemudian beliau menyudahi pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul.

"Namanya juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil." "Jadi Agustin itu masih belum punya calon Pak?" "Ya kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali ini

adalah prosesnya

Proses yang mengantarkannya memiliki ruma h tangga yang mawaddah wa rahmah."

yang

terakhir.

"Amin. O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak ada foto dia?"

"Wah sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir Zul. Kata isteri saya, biar prosesnya cepat. Artinya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepat ketahuan tidaknya, Agustin akan ikut isteri saya ke Jogja."

"Mau datang ke sini?" "Iya. Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak

penasaran. Biar itu tadi cepat jelasnya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepatketahuan tidaknya. Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak cocok kan sama-sama cepat tahunya. Dan bisa mencari yang lain yang cocok. Kalian kan sudah berumur. Tidak perlu ditunda-tunda atau proses yang rumit dan berbelit-belit tho?'

"Iya Pak sepakat."

Rumah Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar utama, kamar tamu dan kamar anak. Zul ditempatkan di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan buku-buku tentang pendidikan dan ekonomi. Pak Muslim adalah pakar manajemen pendidikan. Sementara isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Yogyakarta.

Siang itu setelah selesai memasukkan berkasnya ke UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang harus istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak Muslim di sebuah warung angkring sampai larut malam. Pak Muslim sendiri juga istirahat di kamarnya. Ia telah diberi ijin oleh Pak Muslim kalau mau membaca-baca koleksi perpustakaan pribadinya.

Siang itu ia tidak langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat buku yang ada di kamar itu. Banyak judul-judul baru terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak. Tiba-tiba kedua matanya tertuju pada warna sampul sebuah buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku itu.Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu. Ia mencoba mengetes ingatannya. Di mana ia pernah memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat tempat-tempat ia bisa mengambil dan membaca buku. Akhirnya ia ingat di kamar Mari di Subang Jaya, saat ia pertama kali tiba di Malaysia. Ia tersenyum bahagia ingatannya masih tajam.

Ia buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia bagai tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda tangannya sama dengan yang ia baca di Subang Jaya: Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala Lumpur. Pikirannya langsung nyambung ke Prof. Datin Laila Abdul Majid. Diakah pemilik buku ini? Dan ia yakin buku yang ada di tangannya adalah buku yang beberapa tahun lalu ia pegang di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau pusing. Ia merasa lelah dan harus istirahat. Masalah buku itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim nanti.

Lima belas menit sebelum azan Ashar berkumandang ia telah bangun. Pak Muslim telah duduk dengan pakaian rapi siap ke masjid di ruang tamu.

"Bagaimana istirahatnya? Enak?" " Alhamdulillah. Sudah segar kembali Pak." "Berarti sudah siap bertemu Agustin ya?" "Jadi malam ini Pak?" "Lhaiyalah?" "Cepatsekali." "Kenapa berlambat-lambat jika bisa cepat." "Di mana akan ketemu Pak." "Di sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul mereka di

Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana. Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di sini."

Hati Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka akan sangat cepat proses untuk bertemu dengan calon isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang ada di hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap dan merapikan pakaiannya. la kembali keluar dari kamarnya sambil membawa buku bersampul biru tua itu.

"Dari mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul. Hatinya penasaran.

Pak Muslim mengulurkan tangannya. Zul mem-berikan buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak Muslim mengamati buku itu.

"Isteri saya yang bawa." "Dari mana dia dapat?" "Saya tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita

tanyakan."

Usai shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya berkumandang Pak Muslim Usai shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya berkumandang Pak Muslim

"Jadi nanti pertemuannya alami saja Zul. Kita pulang dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang tamu. Kita langsung ngobrol dan bincang-bincang santai saja?"

"Saya cuma pakai sarung saja begini Pak?" "Lha memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa terus

hilang ketampananmu?" "Nggak sih Pak. Nggak apa-apa." "Agustin sekarang aku lihat agak berubah." "Berubah bagaimana?" "Jadi lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali

bertemu bersama isteri di Semarang, ia kurus, agak sayu dan tampak lebih tua dari umurnya."

"Kalau begitu bagus lah Pak." "Ya, rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin

tambah umur tapi wajahnya semakin tambah muda." "Amin ya Rabb." Azan Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. Shalat

sunnah didirikan. Lalu iqamat disuarakan. Shaf-shaf dirapikan. Dan sang Imam mengucapkan takbiratul ihram. Zul mengikuti takbir Imam dengan hati bergetar. Shalat jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan. Dalam sujud Zul berdoa agar dilimpahi kebaikan dunia dan akhirat, serta diberi pasangan hidup yang menjadi penyejuk hati, teman sejati dalam mengarungi hidup beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

Selesai shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin. Yang dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya. Zul sampai di Selesai shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin. Yang dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya. Zul sampai di

Pak Muslim sudah mengucapkan salam. Dua Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan...

Pandangannya bertatapan dengan pandangan seorang perempuan berwajah bersih, wajah yang dibalut jilbab putih bersih. Wajah yang pernah ia kenal. Mata yang pernah ia kenal. Dan...

"Z...zul!" Dari bibir perempuan itu tersebutnamanya Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak oleh keharuan luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar ke seluruh syarafnya. Tak terasa airmatanya meleleh.

Lidahnya kelu. Perempuan berwajah bersih itu adalah Mari. "Ja..j.adi ternyata kau Zul!" Zul tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk dengan

airmata berderai.

"Yang dimaksud temannya Pak Muslim ini kau Zul?" Zul kembali mengangguk. "Ini tidak mimpi kan?!" seru Mari. "Ti...tidak Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka suara

dengan tangis yang pecah. Begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim langsung mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya isteri Pak Muslim yang masih bingung.

"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak Muslim heran.

Zul dan Mari menjawab serentak: "Iya!" Pak Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa

membendung tangisnya. Isteri Pak Muslim belum mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada Mari

"Zul bilang namanya Siti Martini." kata Pak Muslim. Mari menyela "Benar, nama saya memang Siti Martini. Itu nama kecil saya."

Pak Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana Zul nyaris gila dan binasa. Sampai akhirnya ia memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga opsi. Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih menikahi Mari. Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan mendapati rumah telah kosong. Seorang perempuan Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan- kawan digrebeg karena dianggap bertindak asusila.

"Saat itu aku lihat Zul sangat terpukul. Aku masih ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya atas apa yang dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!' Aku melihat bagaimana ia membaca lagi nama inisial Siti M di koran itu dengan hati hancur. Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.''

Mendengar cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadi-jadi. Perempuan berjilbab itu jadi tahu betapa Zul sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak Muslim untuk mencintainya.

Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata. Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak itu ia merasa Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata. Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak itu ia merasa

"Subhanallah. Allah tidak mempertemukan di Subang Jaya Malaysia, tapi Allah mempertemukan di Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim dengan berlinang airmata.

"Jadi tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak Muslim. Pertanyaan itu malah dijawab dengan derai airmata oleh

Mari. Semuanya kemudian diam. Masing-masing menyelami

perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri. Keheningan tercipta sesaat lamanya. Zul teringatbuku bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan me-ngambilnya.

"Kalau boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok sekarang ada di sini?" kata Zul.

Mari dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari merasa lebih berhak menjawab,

"Itu buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen sekaligus sahabatku. Saat kaubaca di kamarku di Subang Jaya, saat itu aku masih kuliah semester tiga. Aku kuliah di UKM mengambil part time. Sambil kerja."

Zul mengangguk. la langsung bertanya, "Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menye-butkan

dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?"

Mari mendesah lalu menjawab, "Untuk apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku toh

sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan terus sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan terus

Zul diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya kira- kira sama denganmu."

Pak Muslim dan isterinya tersenyum. "Oh ya saya masih bingung. Namamu itu yang benar

siapa tho? Zul memperkenalkan dengan nama Siti Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi kau mengatakan pada isteriku dengan nama Agustina. Isteriku kalau memanggilmu Agustin. Di koran kau pakai nama Asma Maulida? Banyak nama samaran ya?"

Mari menata tempat duduknya dan menjawab, "Baiklah saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya semua

itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru mem-bolehkan mengganti nama yang dirasa kurang cantik untuk ditulis di ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata. Teman saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat, atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari. la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari. Saya bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida. Karena saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan sebagai Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya. Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru mem-bolehkan mengganti nama yang dirasa kurang cantik untuk ditulis di ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata. Teman saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat, atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari. la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari. Saya bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida. Karena saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan sebagai Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya. Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada

"O begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana Maulida, M.Ec?"

"Iya begitu." Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah dan

membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat untuk menikah secepatnya. Dan dua minggu setelah itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama dalam kesucian. Dan beribadah bersama, saling mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas mahligai iman dan takwa.

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Kini tibalah saatnya kita semua mendengar nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat prof.Dr.Mamduh Hassan Al Gonzouri. Beliau adalah ketua Ikatan Doktor Cairo dan direktor Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar saraf terkemuka di Timur

Tengah, yang tidak lain adalah juga pensyarah bagi kedua mempelai. Kepada Professor Mamduh dipersilakan”.

Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu.

Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai k acamatanya,lalu…

Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya.

dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa

Ambillah

mutiaranya mutiaranya

Hadirin yang terhormat, Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang

pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak

kalah terhormatnya, seorang ladydari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung,

adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan!

Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya

dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak ambil peduli.

Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di

Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak mentah-mentah.

“Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah.

Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti. Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.

Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting gelas yang ada

berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga.

Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajipannya

pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan

seorang leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi

biaya maha besar? Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan

akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman

Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan

“Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata

beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang –orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang

Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu

Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu. Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang

sah di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri yang diakui negara dan

diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga isteri saya

agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat

“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang

kesengsaraan seperti iniMaafkan kanda!. “

“Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar.

Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya

dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing- masing dari kami akan menerima penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.

Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam

Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu

wa Ta’ala. Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.

Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.

Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah

perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami

isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika

percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua. Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat adalah cinta yang diberikan

Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya

iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan- jalan lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali

Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang

tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan. Tetangga-tetangga

kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata

Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya seperti saudara sendiri.

yang menawari isteri agar menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk.

Ada

Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.

Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu- satunya mereka patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat

itu pangkatnya naik menjadi jeneral. Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua

berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak- rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak- rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat

Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil meminta beliau bersabar,

sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu data pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister. Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi

keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar

mimpi indah kita.” Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan

keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntah-muntah. Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala

Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang

kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku

memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak:

“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk “Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk

dana tambahan.” Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London.

Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.

Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu wa

Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup.

Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta,

dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”

Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu sedang mengusap

Kamera itu juga merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan segenap hadirin yang

cucuran

airmatanya.

menghayati cerita itu dengan saksama.

Sekedear Berbagi Ilmu