Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari uraian di atas tampak jelas ada gap antara konsepsi yang diidealkan dan praktek konkrit dalam implementasi PHBM di kawasan hutan di Jawa.

Beberapa hal yang teridentifikasi sebagai penyebab kegagalan implementasi PHBM antara lain:

• Dengan sering terjadinya perubahan kebijakan P(BM dan juga adanya pertentangan sejumlah klausul seperti mengenai bagi hasil menunjukkan bahwa PHBM mengandung masalah yang bersumber pada kebijakan.

• Sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta skill mengenai kebijakan dan implementasi PHBM juga tidak dilakukan secara intensif sampai pada tingkat

lapangan. Bahkan beberapa pegawai tingkat menengah Perhutani sering kali tidak mau mengakui/mengetahui keberadaan SK Perhutani yang baru.

• Berbagai program baru yang muncul belakangan setelah P(BM juga telah menyebabkan PHBM tidak lagi menjadi hal yang utama dalam pengelolaan

hutan oleh Perhutani. Sebagai contoh, upaya untuk mendorong KPH mempunyai kemandirian terutama dalam finansial telah menyebabkan para Administratur lebih memprioritaskan kegiatan-kegiatan bersifat profit dari pada program-program orientasi sosialnya kuat seperti P(BM.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah terjadi suatu

104 | Oleh karena itu dibutuhkan tawaran kebijakan agar proses pengelolaan hutan

di Jawa benar-benar mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan dikelola secara dialogis atau berbasis konsensus para pihak yang berkepentingan.

Opsi Pertama:

Memperbaiki Instrumen Implementasi PHBM dalam Tata Kelola Hutan Jawa PHBM masih diyakini sebagai sebuah gagasan yang masih tetap relevan. Disain subtansi PHBM yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan lain justru fondasi penting. Mekanisme PHBM yang berbasis kemitraan, konsensus dan kolaborasi merupakan gagasan yang perlu terus dikedepankan.

Sedangkan disain proses juga bukanlah hal yang bermasalah karena telah memberikan peran dan fungsi masing-masing aktor sesuai dengan kapasitas dan porsinya. Bahkan, secara normatif, peran yang ada sudah dirumuskan dengan baik sebagaimana berikut: (1) Pemerintah Daerah. Memainkan fungsi fasilitasi berjalannya proses sinergi antara negara, masyarakat dan sektor privat di ranah tata kelola pemerintahan lokal, (2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM diharapkan memainkan peran penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, (3) Lembaga Ekonomi Masyarakat. Lembaga ekonomi masyarakat berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat, (4) Lembaga Sosial Masyarakat. Lembaga sosial masyarakat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas, (5) Usaha swasta. Usaha swasta berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal, (6) Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada PHBM, dan (7) Lembaga Donor, berperan untuk memberikan dukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di PHBM (CIRAD-CIFOR-FKH UGM-Perhutani, tt).

Persoalan PHBM muncul karena instrumentasi PHBM tidak dikembangkan dengan baik. Instrumen yang dimaksud di sini mengacu pada segala sarana

| 105 implementor untuk mencapai misi kebijakan. Instrumen bisa menunjuk pada

sarana atau bisa juga menunjuk pada aktivitas. Instrumen kebijakan terdiri dari beberapa tipe, yaitu:

insentif finansial, dan (3) transfer informasi (Bruijn & Hufen, 1998: 12-13, 18).

instrumen regulatif,

Strategi ini dimulai dengan mendorong sosialisasi lebih intens tentang skema PHBM dalam tata kelola hutan Jawa. Informasi tentang PHBM selama ini ternyata tidak selalu bisa terkomunikasikan dengan baik, bahkan terhadap aparat Perhutani terutama mereka yang menjadi ujung tombak di lapangan (street-level bureaucracy). Maka tidak mengherankan apabila gagasan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDH bagi mereka tampaknya asing. Diseminasi informasi juga diperlukan bagi pemangku kepentingan yang lain, seperti birokrasi di pemerintahan daerah, aparat desa, tokoh masyarakat, hingga petani hutan.

Pada aspek regulasi, perlu penguatan adanya penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak/juknis) detail, bukan hanya prinsip-prinsip dasar, yang bisa menjadi panduan pelaksanaan PHBM di lapangan. Panduan tersebut akan menjadi standar acuan utama sehingga bisa menjadi pijakan apakah tindakan yang ada di lapangan sudah sesuai dengan prosedur atau tidak. Segala bentuk penyelewengan akan mudah terlihat dari ketidakpatuhan pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tersebut.

Tentu saja, proses tersebut harus diikuti oleh adanya diseminasi panduan kepada para pemangku kepentingan. Pemahaman akan panduan bukan hanya penting bagi aparat Perhutani tapi juga bagi masyarakat secara umum. Dengan adanya kesepahaman yang sama maka konsensus bisa dibangun dengan lebih mudah.

Selain itu, ada juga kebutuhan untuk mendorong penguatan kapasitas, khususnya teknokratis dan komunikasi LMDH. Kapasitas teknokratis ini penting agar pengurus LMDH mampu menyusun dan memahami berbagai dokumen, kontrak, dan surat-surat kerjasama yang pasti akan selalu ada terutama dalam konteks bagi hasil. Pada saat yang sama, kapasitas komunikasi LMDH dalam konteks antar LMDH maupun LMDH dengan institusi-institusi yang lain juga penting untuk dikembangkan.

Opsi Kedua:

Peluang Diskresi Proses Implementasi PHBM dalam Tata Kelola Hutan Jawa Opsi ini dengan asumsi tidak ada masalah dalam disain PHBM dan atau para pihak yang kepentingan dapat menerima PHBM. Kegagalan optimalisasi implementasi PHBM di kawasan hutan di Jawa justru dikarenakan ruang diskresi dalam proses implementasi PHBM sangat kecil. Pelaksana di lapangan tidak bisa melakukan inovasi dalam proses implementasi PHBM.

Oleh karena itu kebijakan P(BM yang menekankan adanya fleksibilitas, akomodasi dan adaptasi dan mengkombinasikan aspek kesejahteraan dan aspek keberlanjutan menjadi lebih relevan. Adaptasi dan fleksibilitas terhadap dinamika proses yang ada sangatlah urgent karena pada dasarnya keberhasilan

implementasi PHBM akan lebih ditentukan oleh kesepakatan para pemangku kepentingan dari pada kejelasan panduan atau prosedur semata (sebagaimana tawaran opsi pertama).

Bila opsi ini yang dipilih maka ada kebutuhan untuk merumuskan seberapa jauh ruang diskresi tersebut akan dibuka. Hal ini penting untuk dikedepankan untuk menghindari adanya pembenaran atas segala penyelewengan yang berdalih merupakan diskresi yang positif.

Opsi Ketiga: Hutan Rakyat sebagai Tawaran Baru bagi Tata Kelola Hutan Jawa

Opsi ini melihat bahwa PHBM baik dari sisi disain substansi maupun implementasi sesungguhnya memang bermasalah. Hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa struktur atas akses dan kontrol masyarakat atas sumberdaya hutan sebagai akar permasalahan, hakekatnya tidak pernah tersentuh oleh berbagai skema perhutanan sosial dari negara (cq. Perhutani) di Pulau Jawa, termasuk oleh skema PHBM (Plus) sekalipun. Negara melalui PHBM hanya menyinggung aspek urgensi mewujudkan kesadaran tanggungjawab sosial (social responsibility) dari perusahaan; yaitu Perhutani, tanpa pernah mau serius membongkar sumber utama persoalan; yakni tata kuasa kehutanan Jawa. Padahal jelas bukan lagi menjadi rahasia, bahwa penyerahan otoritas pengelolaan hutan negara di Jawa kepada otoritas tunggal Perhutani justru banyak mendatangkan kegagalan. Termasuk yang terpenting adalah semakin merosotnya daya dukung ekologi hutan Jawa yang terbukti dengan semakin

| 107 Oleh sebab itu, semakin penting untuk kembali lagi menggagas perlunya

disain baru untuk menggantikan PHBM dengan menjadikan rakyat sebagai pemegang otoritas yang sesungguhnya dalam pengelolaan SDH di Jawa. Dalam rangka kebutuhan ini, maka konsolidasi praktek-praktek cerita sukses (success story) pengelolaan SDH oleh rakyat di berbagai wilayah di seluruh Pulau Jawa menjadi relevan sebagai prakondisi yang harus dilakukan untuk

basis justifikasi mengenai memadainya kapasitas masyarakat. Tahap selanjutnya adalah merumuskan rute jalan advokasi, melalui negosiasi

ke Negara, untuk 'merebut' orotitas pengelolaan hutan negara di Jawa dari BUMN kepada rakyat (MDH). Tentu opsi ini merupakan revolusi tata kuasa kehutanan Jawa, dengan berbagai konsekuensi transisi yang juga harus diperhitungkan. Namun sekali lagi hal ini menjadi agenda dan tanggungjawab moral Negara untuk menyelesaikannya.

Opsi Keempat: Pengakuan atas Keragaman Tata Kelola Hutan Jawa

Berangkat dari realitas bahwa tidak ada model dan pihak tunggal dalam tata kelola hutan (forestry governance) di Jawa, maka pengakuan secara formal terhadap keragaman tata kelola yang ada harus menjadi arus utama yang diniscayakan. Apabila pada kawasan hutan di Jawa (di luar kawasan yang dikelola Perhutani) terdapat model hutan tanaman rakyat (HTR) dan hutan kemasyarakatan (HKm) yang relatif berhasil, maka mendorong pengakuan terhadap gelagat praktek replikasi kedua prototipe forestry governance tersebut di dalam kawasan hutan Perhutani harus sudah mulai dipertimbangkan.

Dengan demikian harus ada negosiasi yang berujung pada titik temu antara masyarakat (kalangan masyarakat sipil) dengan Negara, dimana masing- masing harus mau mengakui dan menghormati praktek-praktek ragam forestry governance yang secara faktual sesungguhnya memang telah berjalan

di dalam kawasan hutan Perhutani. Melalui identifikasi antara wilayah- wilayah yang masih mempraktekkan rejim PHBM dan yang sama sekali sudah

di luar kendali Perhutani, selanjutnya harus mengadvokasikan pengakuan (recognition), terutama untuk region yang faktanya relatif mandiri di luar kendali Perhutani, agar menjadi jaminan perlindungan kepastian hukum

108 | bagi kelangsungan eksistensi masing-masing model forestry governance yang

bersangkutan. Pengakuan atas praktek-praktek forestry governance, di luar skema PHBM,

yang dijalankan di dalam kawasan hutan Perhutani ini pada akhirnya juga akan bermuara pada pengelolaan hutan oleh rakyat sepenuhnya. Namun oleh sebab gelagat praktek forestry governance yang telah berjalan saat ini

spesifik sesuai dengan dinamika lokalitas setempat, maka upaya transisional transformasi dan advokasi pengakuannya untuk kemudian berakhir menjadi

hutan 'milik' rakyat juga akan bersifat terseleksi.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

EFEKTIVITAS siaran dialog interaktif di Radio Maraghita sebaga media komunikasi bagi pelanggan PT.PLN (persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Kelurahan Lebakgede Bandung

2 83 1

Tinjauan Tata Cara Penjualan Pupuk Urea Bersubsidi Pada PT. Pupuk Kujang Cikampek

3 56 1

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Prosedur Promosi Jabatan Karyawan pada PT. PLN (PERSERO) Distribusi Jawa Barat dan Banten UPJ Majalaya

3 53 1

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Divisi Humas Dan Rumah Tangga Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Jawa Barat

5 91 1

Tinjauan seksi penagihan terhadap tata usaha piutang pajak kantor pelayanan pajak Bandung Karees Wilayah VII Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat

2 91 29