masalah adat lainnya. Dengan demikian nampak perbedaan antara Ter Haar dan Van Vollenhoven mengenai terjadinya adat.
Jika Van Vollenhoven menganggap adat sudah menjadi hukum adat apabila adat itu sudah seharusnya dituruti anggota
masyarakat, sedangkan Ter Haar adat itu bukanlah hukum adat apabila tidak dipertahankan dalam bentuk keputusan para pejabat
adat. Jadi menurut Ter Haar apa yang sudah diputuskan saja menjadi hukum adat.
b.
Hazairin, hukum Adat adalah resapan endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah–kaidah adat itu berupa kaidah–
kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu
43
.
2. Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan
secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud
44
. Masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang patuh
pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari
43 Soepomo, Loc. cit.
44 Soerjono Soekanto dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia,
Rajawali, Jakarta, 1981, hlm. 106
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari para
penguasa adat. Pada dasarnya masyarakat adat terbagi menjadi tiga :
b.i.1.
Masyarakat adat
yang susunan
kekerabatannya kebapakan atau patrilinial adalah kekerabatan yang mengutamakan keturunan manurut garis keturunan laki-laki.
b.i.2.
Mayarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan atau matrilinial adalah kekerabatan yang lebih
mengutamakan keturunan menurut garis wanita.
b.i.3.
Masyarakat adat yang bersendi pada kebapakan dan keibuan atau parentalbilateral adalah
kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak dan ibu. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih atau
altenerend adalah kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena
adanya pengaruh dari faktor lingkungan, waktu dan tempat
45
. Masyarakat adat suku Sasak Lombok di Kecamatan Jonggat
Kabupaten Lombok Tengah termasuk dalam masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan atau Patrilineal ini terbukti
45 Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung,
Jakarta, 1987, hlm. 23
dengan peranan laki–laki dalam keluarga sangat dominan khususnya dalam hal mengambil keputusan dan kewenangan mewarisnya.
Di dalam masyarakat hukum adat tampak dalam tiga wujud hukum adat, yaitu sebagai berikut
46
:
1.
Hukum yang tidak tertulis jus non sciptum
2.
Hukum yang tertulis jus sciptum hanya sebagian kecilnya saja, misalnya peraturan perundang–undangan yang dikeluarkan raja–
raja atau sultan–sultan dahulu seperti pranata–pranata di Jawa, peswara–peswara atau titisswara–titisswara di Bali dan sarakata–
sarakata di Aceh.
3.
Uraian–uraian hukum secara tertulis, lazimnya uraian–uraian ini adalah merupakan suatu hasil penelitian riset yang
dibukukan,seperti antara
lain buku–buku
hasil DjoyodigunoTirtawinata yang berjudul “Hukum Perdata Adat Jawa
Tengah”.
Secara formal penetapan petugas hukum mengandung peraturan hukum, akan tetapi kekuatan material dari pada kekuatan
hukum itu tidak sama apabila penetapan itu di dalam kenyataan sehari–hari dituntut oleh masyarakat, sehingga penetapan itu
mempunyai kekuatan material seratus persen. Sebaliknya apabila penetapan tersebut tidak dituruti dalam kehidupan sehari–hari oleh
masyarakat, meskipun formal mengandung peraturan hukum kekuatan materialnya adalah nihil.
Tebal tipisnya kekuatan material suatu peraturan adat adalah tergantung dari faktor–faktor sebagai berikut
47
:
46 Soehardy, Pengantar hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung 1982,
hlm. 16 47 Soebakti Poesponoto,
Asas–asas dan Hukum Adat, Pradnya Paramitha Jakarta 1985, hlm.30
1.
Lebih atau kurang banyak frequente penetapan–penetapan yang serupa yang memberikan stabilitas pada peraturan hukum yang
diwujudkan oleh penetapan–penetapan itu.
2.
Seberapa jauh keadaan sosial di masyarakat yang bersangkutan mengalami perubahan.
3.
Seberapa jauh peraturan yang diwujudkan itu selaras dengan sistem adat yang berlaku.
4.
Seberapa jauh peraturan itu selaras dengan syarat–syarat kemanusiaan.
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan