2 sosial ekonominya sehari-hari. Selain
itu upaya yang dapat dilakukan adalah pembatasan pembangunan di kawasan
budidaya. Penataan kawasan budidaya
dapat dilakukan dengan mengevaluasi RTRW Kabupaten Sleman. Hasil
evaluasi RTRW dapat menghasilkan informasi terkait tingkat risiko pada
masing-masing kawasan budidaya sehingga dapat dilakukan pembatasan
pembangunan ataupun relokasi pada daerah yang memiliki risiko tinggi.
Hasil evaluasi RTRW juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
untuk menyusun rencana tata ruang yang baru sebagai upaya pengurangan
risiko bencana, karena pengurangan risiko bencana dapat dilakukan salah
satunya melalui rencana tata ruang wilayah.
Berdasarkan faktor-faktor
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Evaluasi RTRW Kabupaten Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana
Gunung Merapi”.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk : 1 mengetahui sebaran tingkat risiko
bencana Merapi di Kabupaten Sleman; 2 mengevaluasi Rencana Tata Ruang
Wilayah RTRW peruntukan kawasan budidaya di Kabupaten Sleman agar
diketahui daerah-daerah kawasan perencanaan yang sesuai dan tidak
sesuai dengan perencanaan kawasan berbasis kebencanaan; dan 3
mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam penataan ruang di
Kabupaten Sleman.
2. Dasar Teori
a. Tata Ruang Berbasis Bencana
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 pengertian penataan ruang
tidak hanya berdimensi perencanaan pemanfaatan ruang, tetapi juga
termasuk dimensi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata
ruang diharapkan dapat membantu mengurangi dampak dari suatu risiko
bencana alam, seperti gempa, tsunami, banjir, letusan gunungapi dan bencana
alam lainnya. Perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian tata ruang wilayah dan kota atau kawasan semestinya harus
mempertimbangkan faktor bencana alam, khususnya pada kota dan
kawasan yang berlokasi pada wilayah rawan bencana alam, hal ini bertujuan
agar dampak negatif akibat bencana dapat diminimalkan.
Hyogo Framework for Action HFA Kerangka Aksi Hyogo dan
UNISDR tahun 2005, dalam Sagala dan Bisri, 2011, juga mengamanatkan peran
3 tata ruang land use planning dalam
pengurangan risiko bencana termasuk melakukan pembatasan pembangunan
di kawasan rawan bencana.
b. Kawasan Rawan Bencana dan
Risiko Bencana
Kawasan rawan bencana bukan sebuah kawasan yang steril dan
bersih dari berbagai macam kegiatan manusia termasuk peruntukannya.
Banyak dijumpai kasus, areal yang ditetapkan sebagai kawasan rawan
banjir, namun dipergunakan untuk permukiman, industri dan pertanian.
Kawasan rawan bencana gunungapi dimanfaatkan untuk pertanian dan
permukiman serta pariwisata, bahkan di zona patahan aktif berkonsterasi
penduduk dan perkotaan. Terkait dengan prediksi tingkat risiko bencana
di masing-masing kawasan rawan bencana jika peruntukan ruang
khususnya kawasan budidaya untuk kegiatan lain, maka dapat
dikelompokkan beberapa tipe risiko yang akan dihadapi yaitu :
1. Risiko tinggi, diprediksi terjadi pada
kawasan rawan bencana yang alokasi peruntukan ruangnya untuk
kegiatan-kegiatan industri, permukiman, pariwisata, dan
perdagangan jasa. Pada lokasi tersebut terdapat konsentrasi elemen
terdampak bencana seperti penduduk, aset masyarakat,
infrastruktur, dan lain-lain. Lokasi ini memiliki tingkat kerentanan
tinggi; 2.
Risiko sedang, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang
alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan-kegiatan pertanian, seperti
pertanian lahan basah, perkebunan, perikanan, peternakan dan
pertambangan. Lokasi tersebut dicirikan dengan kepadatan
penduduk yang sedang dan jumlah aset serta infrastruktur yang lebih
rendah dibandingkan dengan peruntukan permukiman, industri
dan perdagangan jasa. Lokasi ini memiliki tingkat kerentanan bencana
yang relatif menengah sedang; 3.
Risiko rendah, diprediksi terjadi pada kawasan rawan bencana yang
alokasi peruntukan ruangnya untuk kegiatan pertanian, khusunya
pertanian lahan kering yang umumnya dicirikan dengan
kepadatan rendah dan produktivitas lahan yang rendah pula, sehingga
tingkat kerentanan bahaya juga rendah. Pada wilayah tipe ini tingkat
ancaman yang paling tinggi adalah bahaya kekeringan;
4. Risiko sangat rendah, diprediksi
terjadi pada kawasan rawan bencana yang alokasi perutukan ruangnya
4 untuk kegiatan hutan produksi,
dimana pada areal hutan umumnya tidak berpenghuni atau sangat rendah
jumlah penduduk didalamnya. Jika terdapat penduduk umumnya di areal
sekitar hutan yang jumlahnya sedikit dan terpencar. Selain itu aset
produksi hutan tidak rusak akibat bencana atau masih dapat
dimanfaatkan, kecuali jika yang terjadi adalah bencana kebakaran
hutan. Dengan kata lain di luar bencana kebakaran hutan, tingkat
risiko bencana lainnya pada lokasi ini dapat digolongkan tingkat sangat
rendah.
c. Analisis Risiko