Iddah dan Ihdad Wanita Karier : Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:
AHMAD FAHRU
NIM : 1111044100061

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M

ABSTRAK
Ahmad Fahru 1111044100061, Iddah Dan Ihdad Wanita Karier ( Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif ) Konsentrasi peradilan agama Program Studi

Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum (UIN) I Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1437 H/2015 M. x + 55 halaman.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan tentang
bagaimana penerapan hukum yang digambarkan al-Quran dan al-Hadis serta hukum
KHI dalam menyikapi konsep Iddah dan Ihdad bagi wanita karier. Keadaan yang
biasa ditemui, seorang wanita selain menjadi ibu rumah tangga, ia juga memiliki
andil dalam keuangan keluarga dengan bekerja diluar rumah. Pembahasan dalam
penelitian ini berusaha menguak semua yang berkaitan dengan kebebasan wanita
dalam melakukan kegiatan diluar rumah akan tetapi ia juga mempunyai beberapa
peraturan agama yang menunutut dan membatasai yang layak untuk dijadikan sebuah
penelitian. permasalahan yang menjadi latar belakang penulis adalah mengapa masa
berkabung istri yang kematian suaminya selama masa iddah 4 bulan 10 hari.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan hukum positif terhadap
Iddah dan Ihdad wanita karier, dan untuk menjelaskan pandangan hukum Islam
terhadap Iddah dan Ihdad wanita karier tersebut.
Penulis mempergunakan metode kepustakaan atau library research yaitu
dengan cara membaca, mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan
masalah yang menjadi bahasan serta di dukung dengan wawancara di masyarakat,
dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan marupakan
suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan.

Metode yang akan digunakan adalah memperoleh data yang valid dan akurat.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa
penetapan hukum Iddah dan Ihdad bagi wanita adalah sesuatu yang beralasan, baik
dari segi agama maupun dari segi kebaikan bagi si perempuan. Akan tetapi beberapa
larangan bagi seorang perempuan yang menjalankan iddah dan ihdad bisa dicarikan
beberapa alasan untuk menjadi sebuah hukum yang sesuai disetiap zaman dan
keadaan.
Kata Kunci
Pembimbing
DaftarPustaka

: Wanita Karier, Iddah dan Ihdad, Hukum Islam dan Positif
: Dr. Hj. Azizah, MA
: 1979-2013
v

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan ini, Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa

Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat
hingga akhir zaman. ini di persembahkan kepada Alm. Ayahanda Hj. Samalih dan
Ibunda Hj. Haironih yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang,
serta doa tanpa mengenal lelah sedikitpun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan,

namun

syukur

Alhamdulillah

berkat

rahmat

dan


hidayah-Nya,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1.

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Arif Furqon, MA, Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi


3.

Dr. Hj. Azizah, MA dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga,
dan pikiran selama membimbing penulis.

4.

Segenap Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5.

Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6.


Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Ahmad Fatih yang selalu
membimbing dan kepada adinda Muhammad Fahri, Wildan Anshori dan
Ahmad Hanif yang senantiasa memberikan do’a dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.

7.

Sahabat seperjuangan penulis : Muhammad Munzir Kamil, Muhammad
Shandika Rizkiandi, Arif Maulana Thoir, Muhammad Nazir, Semua temanteman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Beserta teman bercanda coy Chairul Amin S.Thi. yang bersedia
menemani waktu-waktu luang sebagai sebuah refresing dalam penulisan ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
vii

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini


Jakarta, 20 November 2015

Achmad Fahru

viii

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAH DOSEN PEMBIMBING............................................ ii
LEMBAR PENGESAH DOSEN PENGUJI SIDANG...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................ iv
ABSTRAKSI......................................................................................................

v

KATA PENGANTAR .....................................................................................

vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................


ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang Masalah..................................................................
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................
D. Review Studi Terdahulu..................................................................
E. Metodologi Penelitian....................................................................
F. Sistematika Penulisan ....................................................................
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH DAN IHDAD WANITA
KARIER...............................................................................................
A. IDDAH...........................................................................................
1. Pengertian..................................................................................
2. Dasar Hukum dan Macam-Macam Iddah.................................
3. Manfaat dan Hikmah Iddah .....................................................
B. IHDAD...........................................................................................
1. Pengertian..................................................................................
2. Syarat- Syarat.............................................................................
3. Dampak Hukum.........................................................................

BAB III GAMBARAN-GAMBARAN UMUM TENTANG WANITA
KARIR...............................................................................................
A. Pengertian Wanita Karier...............................................................
B. Syarat- syarat Wanita Karier..........................................................
C. Faktor-faktor Pendorong Wanita Berkarier...................................
D. Dampak Wanita Karier..................................................................

11
11
16
16
17
19
21
23
23
23
24
29
31

31
33
36
39
39
41
44
45

BAB IV WANITA KARIER DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF................................................................... 51
A. Ketentuan Syariat Islam Tentang Iddah dan Ihdad Wanita
Karier…………………………………………………………….
B. Ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.....................................
C. Iddah dan Ihdad Wanita Karier......................................................

ix

51

52
56

BAB V PENUTUP...........................................................................................

60

A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran-saran.....................................................................................

60
62

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

63

LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................

65

x

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia modern dewasa ini, Banyak kaum wanita
muslimah yang aktif di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, olah raga, ketentaraan, maupun bidang bidang lainya. Boleh
dikata, hampir disetiap sektor kehidupan umat manusia, wanita muslimah
sudah terlibat; bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, Tetapi juga
dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, Tukang parkir,
buruh bangunan, satpam, dan lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga
tidak mau ketinggalan dari kaum pria.Bidang bidang olahraga keras yang
dulu dipandang hanya layak dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak
diminati dan dilakukan oleh kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga,
karate, bahkan tinju.
Wanita

sebagai warga negara

maupun sumber daya insani

mempunyai kedudukan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama
dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang. Peranan
wanita sebagai

mitra sejajar pria diwujudkan melalui peningkatan

kemandirian

peran

aktifnya

mewujudkan

keluarga

dalam

beriman

dan

pembangunan,
bertaqwa,

termasuk

sehat,

serta

upaya
untuk

pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, dalam Program
Pembangunan Nasional (2000-2004) ditentukan Program Peningkatan
Kualitas Hidup Perempuan,yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan

11

12

dan peranan perempuan sebagai individu,yaitu baik sebagai insan dan sumber
daya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis
terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang, sebagai makhluk sosial
yang merupakan agen perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas dan
peranan perempuan terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan,
sosial, dan budaya.1
Islam, sebagai agama yang memberikan rahmat kepada penganut
Islam

mengangkat derajat perempuan pada posisi yang tinggi. Semua

manusia dalam Islam, baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai porsi
yang sama, dalam melakukan semua kegiatan yang bisa membuatnya lebih
beriman dan berbuat baik.
Batasan penangguhan waktu bagi seorang perempuan. Penangguhan
waktu itu bisa disebut dengan Iddah, sedangkan alasan penangguhan waktu
adalah berkabung atau yang disebut dengan Ihdad. Sebagaimana penjelasan
yang lalu, wanita diberikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan
yang bertujuan untuk membuat dia lebih baik, dihadapan agama maupun
masyarakat. Salah satu dari sekian banyak kegiatan itu adalah wanita
dibolehkannya beraktifitas diluar lumah dengan izin wali atau dengan
kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain wanita karier.
Wanita karier adalah wanita sibuk, wanita kerja, yang waktunya diluar
rumah kadang-kadang lebih banyak dari pada di dalam rumah. Demi karier
1

Artikel,MengajiHukum,Http://Supanto.Staff.Hukum.Uns.Ac.Id/2010/01/10/PerlindunganHukum-Wanita. Diakses (7 Mei 2015).

13

dan prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa
mengenal lelah. “waktu adalah uang” merupakan motto mereka sehingga
waktu satu detik pun sangat berharga. Persaingan yang ketat antar sesamanya
dan rekan rekan antar sesamanya dan rekan rekan seprofesinya, memacu
mereka untuk bekerja keras. Mereka, mau tidak mau, harus mencurahkan
segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga, demi keberhasilan dalam
keadaan demikian, jika wanita kerier tersebut seorang wanita muslimah yang
tiba tiba ditinggal mati oleh suaminya, aktivitasnya dihadapkan kepada
ketentuan agama yang disebut Iddah dan Ihdad.2
Masa Iddah atau masa tunggu atau masa berkabung di dalam UU. No. 1
Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11, dan kemudian lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. (1) waktu tunggu bagi
seorang janda sebagai maksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang
ditentukan sebagai berikut:
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.3
Masa berkabung bagi seorang isteri yang di tinggal mati suaminya,
masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya,

2

Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer ( Jakarta: Pt pustaka Firdaus, 2009), h. 11.
3
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, h. 169.

14

antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan
terpaksa.”4 Sedangkan Ihdad (berkabung), menurut Ibnu Kasir berkata:”
Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
laki-laki”. Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang kematian seorang
suami.5 Kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, dan tuntutan bagi seorang
wanita untuk mempertahankan keluarga setelah ia ditinggal wafat oleh suami.
Dengan melihat anjuran islam akan dibolehkannya wanita bekerja diluar
rumah, akan tetapi terdapatnya batasan-batasan yang sebagaian batasannya
terlihat memberatkan, sehingga seakan-akan dibutuhkan penjelasan dan
penjabaran bagaimana hubungan wanita karier dengan batasan Iddah dan
Ihdad.
Para fuqaha’ berbeda pendapat bahaw wanita yang sedng berihdad
dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki
kepadanya.seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap
bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup
dengan warna, kecuali warna hitam.6

4

Para fuqaha berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang
memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki laki kepadanya, seperti
perhiasan intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan dan
dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam. Imam
Malik tidak memakruhkan memakai celak karena terpaksa (karena sakit mata, misalnya)
lihat Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap (
Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 342.
5
Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam AshShabuni, (Surabaya Jl. Rungkut Industri,2003), h .306.
6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Ed. Pertama, Cet Ke 3 ( Jakarta: Kencana,
2008), h. 304

15

Wanita yang ditinggal mati suaminya, mereka tidak menerima nafakah,
sedangkan mereka butuh nafkah untuk hidup. Sehingga harus keluar rumah di
waktu siang untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, dia juga harus tinggal
di rumah yang ditempatinya saat terjadi perceraian. Jika haknya di dalam
rumah suami yang telah meninggal tidak terpenuhi atau ahli waris suami
tidak memberi haknya tersebut maka dia boleh pindah, karena ada alasan.
Tinggal di rumahnya adalah ibadah sedangkan ibadah gugur karena alasan
yang dibenarkan.7
Kenyataan yang ada adalah kepedulian sebagian masyarakat dalam
menyikapi batasan yang ditentukan oleh agama, sehinga terdorong untuk
membahas tentang hubungan Iddah dan Ihdad bagi wanita karier, karena
sebelah pihak terlihat ketidak adilan bagi seorang wanita, dengan jarak yang
begitu lama sehingga menjadi alasan untuk melanggar peraturan agama itu
sendiri.
Dari beberapa latar belakang masalah diatas, maka penulis akan
berusaha mencoba membahas permasalahan yang menjadi latar belakang
penulis adalah mengapa masa bergabung istri yang kematian suaminya
selama masa iddah 4 bulan 10 hari? yang semoga bisa membantu terutama
bagi penulis senidiri dalam menyelesaikan masa pendidikan penulis dalam
setara S1. Oleh sebab itu penulis memberikan judul untuk penelitian ini

7

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah Asep Sobari Dkk, (Jakarata: Al-I’tisom,
2008), h. 524

16

dengan judul: “IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER” (Persepektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang membahas tentang wanita karir ini mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas seperti masalah pro dan kontrak iddah dan
ihdad wanita karir. Dengan melihat Apakah adanya keseimbangan iddah dan
ihdad wanita karir yang telah ditentukan dalam hukum islam dan hukum
posititf.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempfokuskan pada studi iddah
dan ihdad wanita karir

dengan harapan dapat menemukan penyelesain.

Penelitian ini diharapkan bisa dikaji dan diaplikasikan dalam realitas sosial.
2. Perumusan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas maka merumuskan permasalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-undang No.
1tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam?
b. Bagaimana elastisitas ketentuan syariat islam tentang pelaksanaan
Iddah dan Ihdad wanita karier?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian

17

a. Untuk menjelaskan pandangan hukum positif terhadap Iddah dan
Ihdad wanita karier.
b. Untuk Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap Iddah dan Ihdad
wanita karier.
2. Kegunaan Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah-masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelesaikan dan mencari
jawaban atas masalah masalah tersebut dengan upaya sebagai berikut:
a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis
ilmiyah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di
bidang ilmu hukum Keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan.
b. Secara Praktis
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas khususnya
kepada masyarakat yang awam terhadap ilmu pengetahuan, dalam
bersikap dan bertindak mengenai larangan

Iddah dan Ihdad bagi

wanita karier sesuai dengan hukum Islam.

D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan studi kepustakaan (library research) yang penulis lakukan
di Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama, maka terdapat beberapa
literatur tesis dan skripsi yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan,
yaitu:

18

1. Tesis, Aida Humaira, NIM: 03.2.00.1.01.01.0016 2005. Konsep Nafkah
Dalam Hukum Islam (Analisa Atas Nafkah Keluarga Dari Isteri Karier).
Mahasiswa Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah JakartacKonsentrasi
Syariah. Pada tesis ini, mengungkapkan secara mendalam pendapat atau
pandangan para ulama muslim tentang hukum nafkah dari wanita karir
dan mengetengahkan pendapat-pendapat yang objektif menegnai wanita
karir dari sudut pandangan syariat islam untuk menghindari interpensi
yang kaku terhadap teks-teks keagamaan serta mengetahui implikasiimplikasi sosial yang muncul akibat pemberian nafkah dari wanita karir.
2. Skripsi, Arofatul Inayah, NIM: 102044124993 2006. “ Problematika
Pernikahan Wanita Karier Dan Pengaruh Terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah”. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Program
Studi Peradilan Agama. Berdasarkan hasil penelitian, skripsi ini
menyatakan bahwa pada umumnya wanita yang memilih untuk
berkerja/berkarir adalah karena adanya alasan-alasan tertentu, antara lain
yang menjadi faktor adalah masalah ekonomi. Selama wanita tersebut
dapat/sanggup untuk menjalankan fungsi ganda (sebagai ibu dan karirnya)
maka kerukunan rumah tangganya akan dapat dipertahankan. Sebaliknya
jika dia tidak sanggup untuk melaksanakan fungsi gandanya, maka tentu
akan ber akiabat tidak baik bagi kelangsungan rumah tangganya.
3. Skripsi, Heni “Dilema Peraktek Ihdad( Studi Sosiologi Hukum Pada
Masyarakat Kebayoran Lama)”, Nim: 106043201334, 2010. Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi Peradilan Agama. Penelitian

19

ini, mendasarkan bagaimana tanggapan masyarakat tehadap hukum ihdad
dari segi pesikologi. Bangaimana masyarakat menanggapi semua
ketentuan-ketentuan yang ada dalam ihdad, terutama pada masyarakat
kebayoran lama. Dari pada itu, penelitian ini memberikan titik fukos pada
tanggapan masyarakat terhadap diadakannya hukum ihdad di masyarakat
kebayoran lama.
Menurut penulis, kajian-kajian diatas (tesis dan skripsi) hanya
membahas tentang hakikat wanita karir, nafkah wanita karir, pernikahan
wanita karir, serta dilema praktik ihdad pada masyarakat. Kajian skripsi ini
berusaha melengkapi kajian-kajian yang telah ada dan membahas sisi-sisi
lainnya yang belum disentuh dengan mengupas secara menyeluruh mengenai
ihdad wanita karir yang terdapat dalam hukum islam, baik ihdad yang
ditinggal mati suaminya maupun ihdad wanita hamil.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun untuk
menjawab

permasalahan

penelitian

atau

rumusan

masalah.8Untuk

memperoleh bahan yang di perlukan di dalam penulisan skripsi ini, penulis
mempergunakan metode kepustakaan atau library research yaitu dengan cara
membaca, mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah
yang menjadi bahasan serta di dukung dengan wawancara di masyarakat,
dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan

8

Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif
Puti Media, 2012), h. 3.

Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta:

Permata

20

marupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan
yang bersangkutan. Metode yang akan digunakan adalah memperoleh data
yang valid dan akurat. Penelitian ini meliputi beberapa hal
1. Sumber Data
Untuk sumber data, penulis menggunakan data yang diambil dari bahanbahan pustaka yang diperoleh buku-buku, kitab-kitab yang berhubungan
dengan permasalahan ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka menyusun dan mengumpul bahan bagi skripsi ini,
penulis menggunakan satu macam teknis pengumpulan data yaitu melalui
penelitian kepustakaan (Library Research). (Library Research) Penulis
menggunakan buku-buku yang relevan, yang sesuai degan judul skripsi
ini.
3. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul dan mengidentasikan semua data,
penulis mulai mengolah data yang ada dimana semua data yang
terkumpul dianalisis dan menghasilkan pemaparan serta gambaran yang
bersifat pengamatan awal hingga akhir.
4. Metode Penulisan
Sedangkan dalam teknik penulisan, penulis berpandukan pada
buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012.

21

F. Sistimatika Penulisan
Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menguraikan beberapa
hal sitimatika penulisan sebagai berikut:
BAB I

: Dalam hal ini penulis mengetengahkan gambaran
pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan, Tujuan dan Kegunaan, Review
studi terdahulu, Metodologi Penelitian dan Sistematika
penulisan.

BAB II

: Bab ini dapat dilihat sekilas pandang tentang, pengertian
Iddah dan Ihdad, syarat-syarat Iddah dan Ihdad, dan
dampak hukum Iddah dan Ihdad.

BAB III

: Pada bab seterusnya penulis menguraikan pembahasan
umum mengenai pengertian wanita karier, syarat-syarat
wanita karier, faktor-faktor pendorong wanita berkarier,
dan dampak wanita karier

BAB IV

:

Manakala

problematika

dalam

bab

ini

penulis

menerangkan

Iddah dan Ihdad Wanita Karier Dalam

Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Ketentuan
syariat Islam tentang iddah Wanita Karier, Analisis Iddah
dan Ihdad wanita karier dalam hukum Islam dan hukum
positif

22

BAB V

: Pada

Bab yang terakhir

ini merupakan bagian dari

penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran yang
menyangkut jawaban dari perumusan masalah.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER
A. Tinjaun Umum Tentang Iddah
1. Pengertian Iddah
Menurut bahasa kata Iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan
kata al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja‘adda-ya฀uddu yang
berarti menghitung. Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang
dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama dari kata al-‘adad adalah ala’dad begitu pula bentuk jama dari kata ‘Iddah adalah al-‘idad. Secara
(etimologi) berarti:“menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk
maksud Iddah karena masa itu si perempuan yang beriddah menunggu
berlakunya waktu.9
Pengertian Iddah secara istilah, para ulama banyak memberikan
pengertian yang beragam, seperti Muhammad al-Jaziri memberikan
pengertian bahwa iddah merupakan masa tunggu seorang perempuan yang
tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang
juga didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama
masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki.10
Pengertian yang tidak terlalu berbeda, juga diungkapkan oleh Sayyid Sabiq
9

Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.

303.
10

Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh,(Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra,1969),
jilid 4, h. 513.

23

24

bahwa ‘Iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah
pisah dari suaminya. Kedua pengertian ulama ini sedikit beriringan yang
menekankan pada masa menunggu dan ketentuan untuk menikah dalam masa
tunggu tersebut.11 Selain kedua pendapat diatas juga ada sebuah pendapat
bahwa Iddah merupakan Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan
definisi ‘Iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui
kesucian rahim atau untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela
sungkawa) terhadap suaminya.12
Dari definisi diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa
tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun
bela sungkawa atas suaminya, Selama masa tersebut perempuan (isteri)
dilarang menikah dengan laki- laki lain.

2. Dasar hukum dan macam-macam Iddah
Secara umum, pembagian iddah sebagai berikut:
a. ‘Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali
Haid
b. Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan:

11

As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jakarta:PT Pena Pundi Aksara), h. 196.
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, cet. II, (Semarang : Toha Putra,
1998), h. 103.
12

25

1) Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil.
2) Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan Dari
keempat bagian itu jika diperincikan terbagi menjadi:
a) Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq,
baik raj’i maupun ba’in, baik ba’in sughra maupun kubra atau
karena fasakh seperti murtadnya suami atau khiyar bulug dari
perempuan sedangkan isteri masih mengalami haid maka
‘Iddahnya dengan tiga kali haid. Sekalipun ketentuan ini harus
memenuhi syarat.13 Selain itu ada pula ketentuan bahwa iddah
berdasarkan haid juga berkaitan dengan isteri yang ditinggal
mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam
dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan
sebelum putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia
wajib beriddah berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid
dan

suaminya

meninggal

maka

ia

ber’iddah

dengan

berdasarkan haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang
13

Syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya ‘iddahnya selesai dengan
dua kali haid.
b. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila ia hamil ‘iddahnya selesai
sampai ia melahirkan.
c. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki berdasarkan akad yang shahih. Ulama
Hanafiyyah, Hanabilah, dan Khulafa ar-Rasyidun berpendapat bahwa khalwat
berdasarkan akad yang sahih dianggap dukhul yang mewajibkan ‘iddah. Sedangkan
ulama Syafi฀iyyah dalam mazhab yang baru (qaul al-jadid) berpendapat bahwa khalwat
tidak mewajibkan ‘iddah.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jakarta:PT Pena
Pundi Aksara), h. 278.

a.

26

merupakan ‘Iddah atas kematian suami karena hikmah ‘Iddah
di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak
untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri
secara syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid
tidak ada suami secara syar฀i maka tidak wajib berduka atas
suami.
b) Iddah berdasarkan bilangan bulan
Apabila perempuan (istri) merdeka dalam keadaan tidak hamil
dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam
bentuk perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena
sebab apapun baik karena dia masih belum dewasa atau sudah
dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun
atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian
putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak,
atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang lain maka
‘Iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah
dalam Surat at-Talaq (65): 4.
          
             
     
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu

27

iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya”. (Q.S. At-thalak: 4).

Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan masih
mengalami haid Iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan
firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) : 234.
        
           
      
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat”. (Q.S.Al-Baqarah: 234)
c) Iddah berdasarkan meninggalnya suami
Dalam poin ini, terbagi menjadi dua bagian, diantaranya;
Pertama, isteri yang tidak dalam keadaan hamil ‘Iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah
(2) : 234.
        
           
      

28

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat”. (Q.S.Al-Baqarah: 234)

Dalam hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil
atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu pula apakah
sudah melakukan hubungan atau belum karena ‘Iddah dalam
kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan
rasa belas kasih atas kematian suami sehingga disyaratkan
bahwa akadnya sahih, jika akadnya fasid maka ‘Iddahnya
dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim.
Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka
sementara jika isteri adalah hamba sahaya dan hamil maka
„Iddahnya sama dengan isteri yang merdeka yaitu sampai
melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid
‘Iddahnya adalah dua kali haid. Kedua, apabila isteri dalam
keadaan hamil ‘Iddahnya sampai melahirkan
d) Iddah bagi perempuan yang belum di dukhul
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul
(hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami
maka wajib bagi isteri untuk beriddah sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya perkawinan

29

disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban
‘Iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak
disyaratkan adanya hubungan seks (dukhul) hakiki akan tetapi
adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber’iddah
sebaliknya jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib
ber’Iddah kecuali telah terjadi dukhul hakiki (hubungan seks).
Dan tidak ada kewaj iban ‘iddah bagi isteri yang dicerai
sebelum dicampuri (qabla ad-dukhul) berdasarkan firman
Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49
          
         
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaikbaiknya”. (Q.S al-Ahzab (33) : 49)
3. Manfaat dan Hikmah Iddah
Dalam pensyari'atan Iddah ada beberapa hikmah, yaitu untuk:
a. mengetahui

kekosongan

rahim

dari

janin

untuk

menghindari

percampuran dua sperma dari dua lelaki atau lebih di dalam satu rahim
yang akan berakibat percampuran nasab dan mengacaukannya, dampak
demikian termasuk kerusakan yang tidak dikehendaki oleh syari'at
maupun oleh hikmah itu sendiri dan harus dicegah.

30

b. mengagungkan nilai akad nikah serta mengangkat derajatnya dan
menampakkan kemuliaannya,
c. memperpanjang waktu rujuk bagi suami yang mentalaknya, karena
boleh jadi suaminya menyesal dan ingin kembali kepadanya, karena
itulah disediakan waktu yang cukup memungkinkan bagi suami untuk
rujuk,
d. memenuhi hak suami dan menampakkan pengaruh kesendiriaannya
tanpa didampingi suami yaitu berupa larangan bagi si istri untuk
bersolek, karena itulah disyari'atkan berkabung atas kematian suami
lebih lama dari berkabung atas kematian orangtua maupun anaknya,
e. bersikap hati-hati untuk menjaga hak suami, kemaslahatan istri itu
sendiri, hak anak dan hak Allah, karena dalam beriddah itu ada 4
macam hak.Allah swt mendudukkan status kematian itu sebagai :
1) batas akhir pemenuhan suatu perjanjian yakni akad nikah yang
batas akhirnya adalah wafat
2) batas akhir penyempurnaan mahar yang terhutang,
3) batas akhir keharaman anak tiri menurut pendapat sebagian
shahabat dan tabi'in seperti Zaid bin Tsabit dan Imam Ahmad bin
Hanbal dalam salah satu dari dua riwayatnya, karena maksud
beriddah itu tidak semata-mata kekosongan rahim dari janin, tetapi
kekosongan rahim itu sendiri merupakan bagian dari maksud serta
hikmah pensyari'atan iddah.

31

Menurut pendapat Imam Nawawi, hikmah bisa dilihat dari kata
Iddah

yang

bentuk

jamaknya

adalah

'adad

biasanya

berarti

penghitungan masa suci/haidl atau penghitungan bulan. Iddah dalam
pengertian syara' adalah suatu nama untuk waktu tunggu bagi seorang
janda untuk mengetahui kekosongan rahimnya dari janin atau untuk
semata-mata melaksanakan kegiatan ibadah yang diperintahkan oleh
Allah s.w.t. atau untuk berdukacita atas kematian suaminya, Istilah
iddah itu bersumber dari ayat AlQuran dan Hadits Nabi, kemudian
menjadi Ijma' Ulama. Iddah disyari'atkan untuk:
a. menjaga & memelihara keturunan dari kekacauan nasab,
b. menjaga hak suami-istri, anak serta calon suami berikutnya.
Maksud utama dalam beriddah adalah semata-mata faktor
'ubudiyahnya berdasarkan dalil bahwa janda itu tidak berakhir
iddahnya dengan 1x quru' walau rahimnya telah bersih dari janin
dengan 1x quru' tersebut.
B. Tinjaun Umum Tentang Ihdad
1. Pengertian Ihdad
`

Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, Ihdad berasal dari kata

ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata
hadda. Secara etimologis (lughawi) ihdad

berartial-Man’u(cegahan atau

larangan). Berdeda dengan Abdul Mujieb yang menjelaskan dengan gamblang
bahwa Ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya. Masa tersebut

adalah empat bulan sepuluh hari disertai dengan

32

larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah,
kecuali dalam keadaan terpaksa.14
Jika dilacak menggunakan pendapat para ulama yang terdapat pada
karya-karya mereka Ihdad adalah menampakkan kesedihan. Adapun Ihdad
secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias dan
termasuk di dalam pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam
kondisi tertentu, dan yang demikian adalah Ihdad atau tercegahnya seorang
perempuan untuk tinggal pada suatu tempat kecuali tempat tinggalnya sendiri.
Para ulama banyak meberikan penjelasan tentang ihdad. Sayyid Abu
Bakar al-Dimyati, definisi Ihdad adalah:”Menahan diri dari bersolek/berhias
pada badan. Dengan ungkapan yang berbeda, Wahbah al-Zuhaili memberikan
definisi tentang makna ihdad: ”Ihdad ialah meninggalkan harum haruman,
perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun
yang tidak”. 15Lebih mendalam Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa
Masatersebutadalah 4 bulan 10 hari, denganlarangan-larangannya, antara lain:
bercelakmata, berhiasdiri, keluar rumah kecuali dengan keadaan terpaksa”.16
Dari kedua pendapat diatas jika dilihat dengan teliti mendekati
pengertian yang diungkapkan oleh Ali al-Salusi, bahwa ihdad secara etimologi
adalah mencegah, dan diantara pencegahan tersebut adalah pencegahan
seorang perempuan dari bersolek, dan termasuk dalam kategori makna Ihdad
secara bahasa adalah menjelaskan kesedihan, adapun Ihdad menurut
14

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), h. 342.
15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), h. 343.
16
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih munakahat. ( jakarta: kencana, 2008), h. 302

33

terminologi adalah pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari
bersolek dan termasuk dalam makna ihdad adalah suatu masa tertentu di antara
masa-masa yang di khususkan, begitu juga di antara makna Ihdad adalah
mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.17
2. Syarat Ihdad
Mengenai pembahasan tentang syarat Ihdad adalah membicarakan
tentang siapa saja yang diberikan kewajiban untuk melakukan Ihdad. Dalam
masalah ini landasan para ulama adalah: Hadits Nabi S.A.W:
َ ْ‫ﺣﻤَﯿْﺪِ ﺑْﻦِ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻗَﺎلَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ زَﯾْﻨَﺐَ ﺑِﻨ‬
‫ﺖ‬
ُ ْ‫ﻦ اﻟْ ُﻤﺜَﻨﱠﻰ ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤﱠﺪُ ﺑْﻦُ ﺟَﻌْﻔَﺮٍ ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺷُﻌْﺒَﺔُ ﻋَﻦ‬
ُ ْ‫ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ ُﻣﺤَﻤﱠ ُﺪ ﺑ‬
‫ُأمﱢ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ُﺗ ُﻮﻓﱢﻲَ ﺣَﻤِﯿﻢٌ ﻟِﺄُمﱢ ﺣَﺒِﯿﺒَﺔَ ﻓَﺪَﻋَﺖْ ﺑِﺼُﻔْﺮَةٍ ﻓَﻤَﺴَﺤَﺘْﮫُ ﺑِﺬِرَاﻋَﯿْﮭَﺎ وَﻗَﺎﻟَﺖْ إِﻧﱠﻤَﺎ أَﺻْﻨَﻊُ ھَﺬَا ﻟِﺄَﻧﱢﻲ‬
َ‫ﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠﮫِ وَاﻟْﯿَﻮْمِ اﻟْﺂﺧِﺮِ أَنْ ﺗُﺤِﺪﱠ ﻓَﻮْق‬
ُ ِ‫ﺖ رَﺳُﻮلَ اﻟﻠﱠﮫِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮫُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﯾَﻘُﻮلُ ﻟَﺎ ﯾَﺤِﻞﱡ ﻟِﺎﻣْﺮَأَةٍ ﺗُﺆْﻣ‬
ُ ْ‫ﺳَﻤِﻌ‬
ُ‫ﺛَﻠَﺎثٍ إِﻟﱠﺎ ﻋَﻠَﻰ َزوْجٍ أَرْﺑَﻌَﺔَ أَﺷْﮭُﺮٍ وَﻋَﺸْﺮًا وَﺣَﺪﱠﺛَ ْﺘﮫُ زَﯾْﻨَﺐُ ﻋَﻦْ أُﻣﱢﮭَﺎ وَﻋَﻦْ زَﯾْﻨَﺐَ زَوْجِ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮫ‬
َ‫ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ أَوْ ﻋَﻦْ اﻣْﺮَأَةٍ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺾِ أَزْوَاجِ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮫُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ‬
Artinya: “Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan
padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’
berkata aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim
(saudara laki-lakinya) meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi
Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian
mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata
sesungguhnya aku memakai wangi-wangian ini karena aku mendengarkan
Rasulullah S.A.W bersabda “Tidak boleh seorang perempuan yang beriman
kepada Allah dan hari akhir berkabung untuk orang mati kecuali untuk
suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan Ummi Habibah
memberitahukan tentang ibunya dan tentang Zainab isteri Rasulullah,
yang menjadi bagian isteri Rasul”.18
Para ulama Madzhab sepakat atas wajibnya perempuan yang
ditinggal mati suaminya untuk melakukan Ihdad (berkabung), baik

17

Ali al-Salusi (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar),
Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah, (Maktabah Dar alQur’an Qatar, Cet 7, Juz II, 2002), h. 72.
18
Muslim bin Hajjaj, h. 202-203.

34

perempuan itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun
non-muslimah, kecuali Hanafi. Madzhab ini mengatakan bahwa, perempuan
dzimmi, dan yang masih kecil tidak harus menjalani Ihdad. Sebab mereka
berdua adalah orang-orang yang tidak dikenai kewajiban (ghair mukallaf).19
Pada kesempatan lain, Imam Syafi’i di dalam kitabnyaal-Umm
mengatakan: “Allah Swt. Memang tidak menyebutkan Ihdad di dalam alQur’an, namun ketika Rasullah Saw memerintahkan wanita yang ditingal
mati oleh suaminya untuk berihdad, maka hukum tersebut sama dengan
kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. Di dalam kitabnya, dengan kata
lain, kekuatan hukum yang ditetapkan berdasar hadits Rasullah Saw sama
dengan kekuatan hukum yang ditetapkan berdasar al-Qur’an. Pendapat
diatas diikuti atau dikutip oleh Chuzaimah.20 Pengkajian hukum Islam
semakin

berkembang,

dengan

buktinya

adanya

pembahasan

yang

mengatakan bahwa ihdad juga hendaknya dilakukan oleh seorang suami
yang telah ditinggal meninggal

oleh istrinya. Kajian demikian adalah

berupa kajian yang mengusung kesetaraan tentang sikap dan persamaan.
Indonesia adalah salah satu negara yang memberikan perhatian khusus
dengan ditemukannya peraturan tersebut; diantaranya:
a. Isteri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa Iddah sebagai tanda turut berduka cita, dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Artinya, masa berkabung yang

19

Muhammad Jawwad Muhgniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), h.

471.
20

Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: Pt Pustaka Firdaus, 2009), h. 12.

35

dimaksudkan KHI dalam Pasal 170, adalah sebagai masa tunggu, di
mana seorang perempuan dalam konteks ini adalah isteri, boleh
menikah lagi atau dalam bahasa hukum Islam biasa disebut dengan
Iddah yang memiliki konsekuensi untuk melakukan Ihdad, yakni masa
menunggu di mana seorang tidak diperbolehkan berhias dengan tujuan
untuk menghindari fitnah dan pernyataan KHI tersebut terdapat pada
ayat Al-Qur’an serta hadits Nabi yang menyatakan masa empat bulan
sepuluh hari sebagai masa berkabung dan berikut pernyataan KHI
dalam Pasal 170, Bab XIX, 102 dalam poin berikutnya:
b. Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung
menurut kepatutan. Dari teksini pula, dapat dipahami bahwa antara
laki-laki dan perempuan memiliki nilai atau porsi yang sama di mata
hukum. Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan keumuman
disyari’atkannya melakukan masa berkabung dan bukan hanya
perempuan yang harus melakukan masa ber-Ihdad atau dengan istilah
masa berkabung. Adapun masa Iddah tidak dinyatakan sama dengan
Ihdad dalam hal keumumannya, karena berbeda dengan Ihdad, Iddah
dalam pensyari’atanya dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan
sedangkan Ihdad adalah sebagai penghormatan seorang terhadap
pasangannya yang telah meninggal, dan sebagai pencegah dari fitnah.

Dua poin diatas, menggambarkan bahwa seorang laki-laki juga
dianjurkan

untuk melakukan hal yang sama seperti perempuan ketika

36

suaminya meninggal. Akan tetapi penulis tidak akan panjang lebar tentang
ihdad bagi laki-laki, karena pada intinya ihdad diberikan kepada perempuan
yang dengan itu bisa memberikan imbas positif bagi perempuan itu sendiri,
karena tidak bisa dipungkiri bahwa penetapan Hukum Islam adalah
memberikan kemaslahatan bagi penerima hukum itu sendiri. Kesimpulan ini
penulis ambil dari berbagai pendapat para ulamadiantaranya, SayyidSabiq,21
Sayyid Abu Bakar al- Dimyathy,22 dan Dr. Wahbah al-Zuhaili.
3. Dampak Hukum
Para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-Ihdad
dilarang memakai semua perhiasan, sebagaimana hadis Nabi:
‫ﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ أَﯾﱡﻮبُ ﻋَﻦْ ﺣَﻔْﺼَﺔَ ﻋَﻦْ أُمﱢ ﻋَﻄِﯿﱠﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛُﻨﱠﺎ ﻧُﻨْﮭَﻰ أَنْ ﻧُﺤِﺪﱠ‬
َ ٌ‫ﺣَﺪﱠﺛَﻨِﻲ أَﺑُﻮ اﻟﺮﱠﺑِﯿﻊِ اﻟﺰﱠھْﺮَاﻧِﻲﱡ ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺣَﻤﱠﺎد‬
‫ج أَرْﺑَﻌَﺔَ أَﺷْﮭُﺮٍ وَﻋَﺸْﺮًا وَﻟَﺎ ﻧَﻜْﺘَﺤِﻞُ وَﻟَﺎ ﻧَﺘَﻄَﯿﱠﺐُ وَﻟَﺎ ﻧَﻠْﺒَﺲُ ﺛَﻮْﺑًﺎ ﻣَﺼْﺒُﻮﻏًﺎ‬
ٍ ْ‫ﻋَﻠَﻰ ﻣَﯿﱢﺖٍ ﻓَﻮْقَ ﺛَﻠَﺎثٍ إِﻟﱠﺎ ﻋَﻠَﻰ زَو‬
ٍ‫ﻃﮭْﺮِھَﺎ إِذَا اﻏْﺘَﺴَﻠَﺖْ إِﺣْﺪَاﻧَﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺤِﯿﻀِﮭَﺎ ﻓِﻲ ﻧُﺒْﺬَةٍ ﻣِﻦْ ﻗُﺴْﻂٍ وَأَﻇْﻔَﺎر‬
ُ ‫وَﻗَﺪْ ُرﺧﱢﺺَ ﻟِﻠْ َﻤﺮْأَةِ ﻓِﻲ‬
Artinya: “Kami melarang wanita yg melakukan ihdad karena kematian
seseorang lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya yaitu
empat bulan sepuluh hari, & kami melarangnya untuk bercelak, memakai
minyak wangi, memakai pakaian berwarna warni, & diperbolehkan bagi
seorang wanita memakai qusth & adzfar jika telah bersuci dari masa
haidlnya.” [HR. Muslim No.2740].

21

Beliau mengungkapkan Sayyid Sabiq juga tegas mengatakan, wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya wajib berihdad s