Nusyus suami dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh:

HESTI WULANDARI 106044101400

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2010M/1431H


(2)

ِﻢْﻴِﺣﱠﺮﻟاِنَﺎﻤْﺣﱠﺮﻟاِﷲاِﻢْﺴِﺑ

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, pencipta dan penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayahnya kepada penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Seterusnya salawat serta salam ke atas junjungan nabi Muhammad SAW serta keluarga, para sahabat baginda yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama ini yang mana telah menyelamatkan umat manusia dari alam kegelapan menuju kealam yang terang-benderang.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) dalam Jurusan Ahwal Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha sendiri, namun juga karena bantuan, motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang terlibat dalam proses menyiapkan skripsi ini. Untuk itu, dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, diantaranya yang terhormat :


(3)

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. A. Basiq Djalil, S.H., M.H., dan Drs. Kamarusdiana, S.Ag., M.A., selaku Ketua dan Sekretaris Progam Studi Ahwal Syakhsiyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

4. Drs. A. Basiq Djalil, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu bersama penulis dalam rangka menyiapkan skripsi ini. Terima kasih juga atas segala kesabaran dalam memberi petunjuk, ajaran dan masukan kepada penulis hingga tuntas sudah skripsi ini. Hanya Allah saja yang selayaknya membalas jasanya.

5. Seluruh staff pengajar (dosen) Progam Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah banyak menyumbangkan ilmu, petunjuk dan ajarannya sepanjang penulis berada disini. Selain itu, terima kasih juga kepada seluruh staff perpustakaan dan karyawan yang telah banyak memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.


(4)

dan Ibunda Trisnawati. Terima kasih atas segala pengorbanan mereka yang telah memberikan curahan kasih sayang, membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan baik moril maupun materi kepada penulis dengan penuh kesabaran, perhatian serta pengorbanan yang tidak terbalas, senantiasa memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga Adinda dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala jasa pengorbanan kalian akan senantiasa terpahat diingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan yang diimpikan.

8. Kepada ahli keluarga tersayang dan tercinta kakakku Galuh Yuni Utami dan

Adikku Imam Pambudi Prabowo tidak lupa juga sanak saudara yang dikasihi bang Iqbal Arief Kasuki yang telah banyak memotivasi dan senantiasa memberikan semangat dan bantuan kepada penulis untuk mencapai kejayaan yang diimpikan.

9. Kepada para sahabat seperjuangan Eli, Fitri, Sa’dah, Stephy, Lulu, Ewi, Aminah, Anis, Arud, Eko, Fandi dan Maul serta teman-temanku yang lain dari Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum angkatan 2006-2007 yang tidak sempat penulis catatkan disini. Terima kasih atas segala partisipasi dan semangat yang diberikan serta dukungan yang tidak putus-putus kepada penulis sepanjang menyiapkan skripsi ini.


(5)

vii

diharapkan didalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulis ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, 3 Juni 2010 Penulis


(6)

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...…..6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Review Studi Terdahulu………...8

E. Metodologi Penelitian………...10

F. Sistematika Penulisan………...11

BAB II NUSYUZ SUAMI dan AKIBAT HUKUMNYA ... 13

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz Suami...13

B. Kriteria Nusyuz Suami... 20

C. Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz pada Suami...24

D. Kaidah Penyelesaian Nusyuz Suami...26

E. Akibat Nusyuz Suami... 32


(7)

ix

A. Hak Gugat Istri Ketika Suami Nusyuz... 36

B. Kompensasi Gugat Karena Nusyuz Suami... 39

C. Wewenang Hakim Terhadap Nusyuz Suami…………... 43

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN NUSYUZ SUAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan HUKUM POSITIF ... 51

A. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam... 51

B. Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Positif...56

C. Persamaan dan Perbedaan Antara Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam dengan Hukum Positif...60

D. Solusi Perbandingan………...62

E. Analisis Penulis………...63

BAB V PENUTUP ………... 66

A. Kesimpulan………...66

B. Saran………...67


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1 Pencantuman berdasarkan ketuhanan yang maha esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan yang maha esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama dan kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani saja tetapi juga mempunyai unsur batin atau rohani.2

Setelah berlangsung akad nikah maka suami dan istri akan diikad oleh ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan kehidupan suami istri. Agama menetapkan bahwa suami bertanggung jawab mengurus kehidupan istri. Oleh karena itu, suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari istrinya. Penetapan ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita tetapi

1

Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 1 ayat 2

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), h. 43


(9)

hanya menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga disebabkan telah terjadinya akad nikah. Allah menganugerahkan laki-laki kekuatan jasmani untuk berusaha dan dalam menghadapi persoalan laki-laki lebih banyak menggunakan akal fikiran dibanding wanita. 3

Di dalam perkawinan, Islam menempatkan wanita pada kedudukan yang terhormat dan kepadanya diberikan hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Wanita (istri) adalah pasangan dan partner pria (laki-laki) dalam membina rumah tangga dan mengembangkan keturunan hal ini sebagaimana yang tersirat di dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa ayat satu. Dalam sebuah perkawinan derajat suami istri sama, jika ada perbedaan maka itu hanya akibat fungsi dan tugas utama yang diberikan Allah kepada keduanya sehingga kelebihan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain tetapi saling melengkapi, bantu membantu dan saling menopang. 4

Tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga yaitu untuk mendapatkan keturunan yang saleh, dapat hidup tentram, tercipta suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang. Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab qabul yang dilakukan oleh calon suami dan wali nikah pada waktu akad nikah. 5

3

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Isalam tentang Perkawinan, cet ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 27-28

4

Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Kompilasi Jurnal Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UNI Syarif Hidayatullah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 35-36.


(10)

Sesuai dengan prinsip perkawinan yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat.6

Kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah lahir (sandang, pangan dan papan) dan batin (menggauli istri secara baik, menjaga dan melindungi istri, dan harus dapat mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah). Sedangkan kewajiban istri terhadap suami adalah menggauli suami dengan baik, memberikan rasa cinta kasih yang seutuhnya untuk suami, taat dan patuh kepada perintah suami selama suami tidak menyuruh untuk melakukan perbuatan maksiat, menjaga diri dan harta suami jika suami tidak ada di rumah, dan menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak disenangi oleh suami. Adapun kewajiban bersama antara suami dan istri yaitu memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut serta memelihara kehidupan rumah tangga bersama yang sakinah, mawaddah dan rahmah.7

Tercapainya tujuan tersebut sangat bergantung pada eratnya hubungan antara kedua suami istri dan pergaulan baik antara keduanya. Maka akan eratlah

5

Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Usuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 96

6

Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Usuliyah, h. 186

7


(11)

hubungan antara keduanya apabila masing-masing suami dan istri tetap menjalankan kewajibannya sebagai suami istri yang baik.8 Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT Qs. al-Baqarah : 228.

Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk selamanya sampai matinya salah seorang dari suami istri tersebut. Inilah yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu ada hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bilamana hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudharatan akan terjadi, dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.9

Adapun kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian salah satunya adalah perkara nusyuz. Secara harfiyah nusyuz adalah membangkang atau tidak tunduk kepada Tuhan. Dalam Islam, tidak ada ketundukan selain hanya kepada Allah SWT.

Tidak bisa kita memahami nusyuz dengan baik tanpa terlebih dahulu memahami hakikat perkawinan dalam Islam. Perkawinan harus dibangun di atas lima prinsip dasar. Pertama, prinsip mitsaqan ghalizan (komitmen yang amat serius). Perkawinan adalah komitmen antara dua orang yang memiliki kesederajatan yang berjanji untuk membentuk keluarga sakinah. Kedua, prinsip

8

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. Ke-27, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 339

9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 190


(12)

mawaddah warahmah (cinta kasih yang tidak mengenal batas). Ketiga, prinsip

mu’asyarah bil ma’ruf (berbuat santun dan terpuji, serta jauh dari segala bentuk kekerasan). Keempat, prinsip al-musawah (kesederajatan) dan yang Kelima, prinsip monogami. Jadi, barang siapa yang menyimpang dari prinip-prinsip tersebut dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Penyimpangan terhadap komitmen bersama ini berarti penyimpangan terhadap perintah Tuhan.

Ketika menyebut kata nusyuz, maka tergambar di fikiran kita seorang perempuan yang durhaka atau yang tidak taat dan tidak melaksanakan tanggungjawab mereka sebagai seorang istri. Sebenarnya nusyuz tidak hanya berlaku pada istri namun nusyuz juga bisa berlaku pada suami.10 Hal ini sebagaimana yang tersirat di dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa ayat 128 bahwa

nusyuz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh istri tetapi dapat juga dilakukan oleh suami. Selama ini yang selalu diangkat kepermukaan adalah nusyuz istri. Sementara istri atau suami keduanya adalah manusia biasa yang tidak menutup kemungkinan bisa berbuat kekeliruan atau melakukan kesalahan.11

Kompilasi Hukum Islam telah mencoba mengatur persoalan nusyuz

sebijaksana mungkin untuk menjamin hak masing-masing suami istri sebagaimana yang telah tercantum. Namun demikian, dalam persoalan nusyuz ini

10

Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, cet ke. 1, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007), h.19

11

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 291


(13)

Kompilasi Hukum Islam masih terlihat bias gender sebab masalah nusyuz di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya berlaku bagi pihak perempuan saja, sementara laki-laki yang mangkir dari tanggung jawabnya tidak diatur. Oleh sebab itu, pasal ini terlihat mengekang kebebasan hak-hak perempuan dan tidak mendudukkan hubungan suami istri secara seimbang.12 Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pun tidak ada menyinggung hal ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi mengenai persinggunggan yang berlawanan yang terjadi antara hukum Islam dan hukum positif mengenai nusyuz suami. Karena pemahaman masyarakat yang dibangun dengan paradigma yang memarjinalkan perempuan saja, bahkan hal ini juga didukung seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas tersebut, maka penulis ingin mengangkat masalah dengan menjadikan fokus penelitian skripsi yang berjudul ”Nusyuz Suami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1 Pembatasan Masalah

Yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengenai

nusyuz suami yang banyak masyarakat tidak mengetahui akan hal ini, bahkan di

12


(14)

dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri hanya mengatur tentang nusyuz istri saja. Padahal di dalam al-Qur’an dinyatakan secara tegas bahwa nusyuz tidak hanya berlaku pada wanita saja, namun laki-laki pun bisa dikatakan nusyuz. Jadi, penulis merasa bahwa ada bias gender dalam penggunaan kata nusyuz. Apakah kata

nusyuz ini hanya diperuntukkan untuk wanita yang durhaka saja dan laki-laki

tidak. Atau apakah kedua-duanya dapat dikatakan nusyuz jika mengingat bahwa laki-laki juga adalah manusia biasa, yang merupakan seorang mukallaf, dimana setiap perbuatan yang dilakukan pasti ada konsekwensinya.

2 Perumusan Masalah

Mengenai nusyuz istri diperkuat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 84 ayat 1. Adapun mengenai nusyuz suami tidak disinggung di dalam hukum positif baik di Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan padahal dalam Al-Quran sudah jelas memuat akan adanya nusyuz suami ini. Untuk itu, penulis merumuskan masalah yang terjadi antara hukum Islam dan hukum positif mengenai nusyuz suami. Penulis merinci rumusan diatas kedalam pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan nusyuz suami ?

2. Apa saja kriteria nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam ? 3. Apakah faktor penyebab dari nusyuz suami ?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka yang menjadi tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk memberikan gambaran bagaimana cara menyikapi akibat dari

nusyuz suami.

b) Untuk memberikan gambaran hal-hal yang menyebabkan nusyuz suami. c) Untuk memberikan gambaran atau penjelasan tentang pandangan hukum

Islam terhadap perkara nusyuz suami.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan studi hukum Islam di bidang Ahwal As-Syakhsiyah mengenai nusyuz suami.

b) Hasil penelitian ini berguna bagi para pihak yang berkepentingan atas permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas.

c) Hasil penelitian ini akan berguna bagi akademisi beserta masyarakat secara umum dalam rangka mengkaji persoalan mengenai nusyuz suami. D. Review Studi Terdahulu

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/tesis/disertasi yang secara khusus membahas tema atau judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Fakultas Hukum Universitas lain pada umumnya. Hemat penulis ada beberapa karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini khususnya


(16)

di Fakultas Syari’ah dan Hukum di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu :

1. Maisaroh, “Pencabutan Hak Hadhanah Terhadap Istri Akibat Perceraian

Karena Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang)”, Skripsi S1

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Skripsi ini menjelaskan tentang alasan-alasan yang diajukan suami terhadap tingkah laku istri yang suka merokok, keluar malam, tidak jujur karena meminjam uang kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami. Dengan kelakuan istri tersebut yang dianggap nusyuz karena telah menelantarkan anak-anak dan keluarganya, maka pengadilan mengabulkan permohonan talak dan hak asuh anak yang jatuh kepada suami.

2. Nur Shollah , “Kekerasan karena Istri Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan

Agama Jakarta Selatan)”, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

Skripsi ini menjelaskan tentang arti sebuah pernikahan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman terhadap pasangan terutama istri. Seorang suami tidak berhak melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun meskipun istrinya

nusyuz. Dan terdapat saran agar suami senantiasa menjadi kepala keluarga

yang dapat membimbing keluarganya tanpa menggunakan kekerasan dan istri sudah seharusnya mentaati semua perintah suami.


(17)

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati. Sedangkan yang dimaksud penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data melalui Library Research yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari dan membaca yang terdiri dari :

• Bahan Dokumen Primer yang bersumber pada perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian

• Bahan Sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmiah, buku-buku wajib, artikel dan majalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Tehnik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan teknik analisa data secara kualitatif (qualitative content analysis)


(18)

4. Tehnik penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Penulis berpedoman kepada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapat gambaran mengenai isi dari seluruh skripsi ini maka penulis mengurainya ke dalam lima (5) bab. Pembagian ini dibuat agar dalam pengembangannya dapat lebih sistematis Secara garis besar isi skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menguraikan nusyuz suami dan akibat hukumnya yang berisi pengertian dan dasar hukum nusyuz suami, kriteria nusyuz suami, faktor penyebab terjadinya nusyuz pada suami, kaidah penyelesaian nusyuz suami dan akibat

nusyuz suami.

Bab ketiga merupakan kajian tentang hak istri dan wewenang hakim terhadap nusyuz suami yang membahas tentang hak gugat istri ketika suami

nusyuz, kompensasi gugat karena nusyuz suami dan wewenang hakim terhadap


(19)

Bab keempat membahas tentang analisa perbandingan nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif yang terdiri dari nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam, nusyuz suami dalam perspektif hukum positif, persamaan dan perbedaan antara nusyuz suami dalam perspektif hukum Islam dengan hukum positif, solusi perbandingan dan analisis penulis.

Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan penulis dalam tulisan, beserta saran.


(20)

NUSYUZ SUAMI dan AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz Suami a. Pengertian nusyuz :

Secara kebahasaan, nusyuz dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang

berarti tempat tinggi atau sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri atau perubahan sikap suami atau isteri. Dalam pemakaiannya, arti kata an-nusyuuz ini kemudian berkembang menjadi al-’ishyaan yang berarti durhaka atau tidak patuh. Disebut nusyuz karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia tidak merasa perlu untuk patuh. Ibnu Manzur dalam kitabnya, Lisan al-’Arab

(Ensiklopedi Bahasa Arab), mendefinisikan an-nusyuuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau isteri) terhadap pasangannya. Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili mengartikan an-nusyuuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan suami-isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau rasa benci terhadap pasangannya.1

Para ulama memberi berbagai definisi tentang nusyuz. Menurut Imam

Syirazi, nusyuz ialah istri yang bersikap durhaka, angkuh serta ingkar terhadap

1

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam vol-4, cet. Ke-1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1353-1354


(21)

apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka mengenai tanggung jawab yang perlu dilaksanakan terhadap suami. Namun, berdasarkan nash-nash dari al-Qur’an dan Hadits, nusyuz tidak hanya berlaku dikalangan istri bahkan ia juga berlaku di kalangan suami. Maka nusyuz boleh dikatakan sebagai suami atau istri yang tidak melaksanakan tanggung jawab mereka terhadap pasangan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Allah SWT kepada mereka.2

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena

meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya baik meninggalkan kewajiban secara materil atau non materil. Sedangkan nusyuz yang mengandung arti luas yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam jangka waktu tertentu yang sangat lama dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik antara suami dan istri. 3

Menurut pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari yaitu firman Allah SWT ”Jika

seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz”, maksud ayat tersebut

adalah istri khawatir akan nusyuz dari suaminya. Firman Allah SWT ”Atau

2

Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, cet ke. 1, (Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007), h. 1-2

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 193


(22)

bersikap tidak acuh”, artinya berpaling dengan muka atau membawa pemberian yang pernah ia berikan kepadanya.4

Di dalam kitab Tafsir Jalalain karangan Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti mengartikan nusyuzan sebagai sikap tak acuh hingga berpisah ranjang darinya dan melalaikan pemberian nafkahnya, ada kalanya karena marah atau karena matanya telah terpikat oleh wanita yang lebih cantik dari istrinya. Sedangkan I’radhan (memalingkan muka darinya) 5

Nusyuz pihak suami terhadap istri lebih banyak berupa kebencian atau

ketidaksenangannya terhadap istri sehingga suami menjauh atau tidak memperhatikan istrinya. Selain istilah nusyuz pihak suami ada juga istilah i’rad

(berpaling). Perbedaan antara keduanya adalah jika nusyuz maka suami akan

menjauhi istrinya sedangkan i’rad adalah suami tidak menjauhi istri melainkan hanya tidak mau berbicara dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada istrinya. Dengan demikian maka setiap nusyuz pasti i’rad akan tetapi setiap i’rad belum tentu nusyuz.6 Sedangkan Nahas memberikan perbedaan arti nusyuz dan i’radh. Ia

4

Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 111

5

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti; penerjemah Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, cet. Ke-7, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h. 420

6


(23)

menterjemahkan nusyuz dengan menjauhkan dirinya dan i’radh dengan tidak mencampurinya. 7

Dalam prakteknya nusyuz suami bisa berbentuk perkataan, perbuatan atau kedua-duanya. Yang berbentuk perkataan misalnya suami suka memaki-maki dan menghina isteri. Sedangkan yang berbentuk perbuatan misalnya suami mengabaikan hak isteri atas dirinya, berfoya-foya dengan perempuan lain, menganggap isterinya seolah-olah tidak ada.8

Nusyuz adalah durhaka. Jadi, nusyuz suami adalah sikap suami yang telah meninggalkan kewajiban-kewajibannya, bertindak keras kepada istri, tidak menggaulinya dengan baik, tidak pula memberikan nafkah dan bersikap acuh tak acuh kepada sitri. 9

b. Dasar Hukum Nusyuz Suami

Kemungkinan nusyuz tidak hanya datang dari istri akan tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa 4:12810

7

Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Medan: Kencana Prenada Media Group, 1962), h. 316

8

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1354

9

M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, cet. Ke-1,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 251


(24)

⌧ ☺ ☺ ☯ ⌧ ☯ ⌧ ⌧ ☺ ☺

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menerangkan bagaimana cara yang mesti dilakukan oleh suami istri. Apabila istri merasa takut dan khawatir terhadap suaminya yang kurang mengindahkannya atau kurang perhatian kepadanya atau mengacuhkannya.11 Hal ini juga seperti yang tertera dalam hadits Rasulullah SAW :

َﺣ

ْ َ

َ

ْﺑا

ِﻢْﻴِﻜ

وِﺎ

َلَﺎَََ

ِ ْﻴِِﺑَا

ْ َ

ِﺔَ

:

ْ

:

َلَﺎَََ

؟

ِ ْﻴََ

َﺎَِﺪَﺣَا

َجْوَز

َﺣ

ﺎَ

ِﷲا

َلْﻮ َرﺎَ

:

ِ ْﻴَْﻟا

ِ

ﱠ ِا

َﺮ ْﻬَ

َ َو

ْ ﱢََ

َ َو

َ ْ َﻮْﻟَا

ِبِِِِﺮ َ

َ َو

َ ْﻴَﺴَْآا

اَذِا

ﺎَﻬﺴْﻜََو

َ َْآَا

اَذِا

ﺎَﻬﻤَ ْﻄَ

)

ور

ا

ا

ﻟاو

دواد

ﻮﺑاو

ﺪﻤﺣ

نﺎ ﺣ

ﺑا

ﺻو

يرﺎﺨ ﻟا

و

ﺑاو

ئﺎﺴ

ﻢآﺎ ﻟاو

(

12

10

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), h. 210

11


(25)

Artinya: Dari hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya, ia berkata : Saya bertanya: Ya Rasulullah! Apa kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya? Rasullah bersabda : ”Engkau beri makan dia apabila engkau makan, engkau beri pakaian kepadanya apabila engkau berpakaian, jangan engkau pukul mukanya, jangan engkau jelek-jelekkan dia dan jangan engkau jauhi (seketiduran) melainkan di dalam rumah. (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Buhkari sebagiannya dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nisa 4: 129

⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Dan didukung pula dengan hadits Rasulullah SAW :

َلﺎَ

َْ

ﷲا

َ ِ َر

ِﻚِﻟﺎَ

ْﺑ

ََا

ْ َ

:

َجﱠوَﺰَ

اَذِا

ِﺔﱠﺴﻟا

ِ َ

َﻟا

َﻰ َ َﺮْﻜِﻟا

َﺮﻟا

َﺎهَﺪِْ

َمَﺎََا

ِ ْﻴ

ِِﻟا

َﻰ َ

ْﻴﱠﻟا

َجﱠوَﺰَ

اَذِاَو

َﻢَﺴََو

ًﺎ َْ

ِﺮْﻜ

َ َﺛ

ﺎَهَﺪِْ

َمَﺎ َا

ْ َﻟ

ِْ

ْﻮََﻟَو

َﺔَﺑَ ِ

ْﻮﺑَا

َلَﺎ

َﻢَﺴَ

ﱠﻢﺛ

ًﺎ

َﻢﱠَ َو

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ِﱠﻟا

َﻰﻟِا

َ ََر

ًﺎﺴََا

ﱠنِا

13

Artinya: Dari Anas bin Malik RA, dia berkata, ”Termasuk as-Sunnah, jika

seorang laki-laki menikahi gadis daripada janda, maka dia menetap disisinya selama 7 hari, kemudian dia membagi (diantara istrinya) dan

12

Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam, (Qahirah: Darul Hadits, 2003), hadits ke-955, h. 175

13

Abdullah bin Abdurrahman bin Shahih bin Ali Bassam, Taisirul-allam Syarh Umdatul-Ahkam, (Jeddah: Maktabah As-Sawadi Lit-Tauzi’, 1992), hadits ke 307


(26)

jika menikahi janda, maka dia menetap di sisinya selama 3 hari kemudian membagi (diantara istrinya)”. Abu qilabah berkata ”sekiranya aku menghendaki tentu dapat kukatakan, ”Sesungguhnya Anas memarfu’kannya kepada nabi SAW”.

Suami dikatakan nusyuz apabila tidak adil ketika melayani istri-istrinya seperti di dalam hadits yang telah dinyatakan sebelum ini yaitu Allah SWT akan membangkitkan suami yang tidak adil terhadap istri-istrinya pada hari kiamat dalam keadaan bahu yang senget sebelah. Selain itu tindakan tidak memberi nafkah kepada istri sedangkan ia adalah seorang yang berkemampuan juga dianggap sebagai nusyuz. Memberi nafkah kepada istri merupakan kewajiban bagi setiap suami sebagaimana firman Allah SWT dalam Qs. At-Thalaq 65:7

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya, Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Berkata dan berlaku kasar kepada istri seperti menghardik, menghina dan memukul tanpa sebab sedangkan istri taat dan tidak durhaka kepada suaminya juga dianggap sebagai nusyuz.


(27)

Berdasarkan kepada nash-nash al-Qur’an dan Sunnah diatas maka jelaslah menunjukkan nusyuz tidak hanya berkemungkinan berlaku kepada istri saja tetapi suami juga dapat dikategorikan nusyuz.

B. Kriteria Nusyuz Suami

Kriteria nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai berikut :

1. Sikapnya menampakkan tanda-tanda ketidakpedulian, seperti meninggalkan

istri dari tempat tidur kecuali sekedar melakukan sesuatu yang wajib, atau kebencian terhadap istrinya terlihat nyata dari sikapnya. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa 4: 128

2. Meninggalkan suatu kewajiban, seperti tidak memenuhi nafkah. Hal ini

banyak dibicarakan dalam fiqih imamiyah yaitu tentang pelanggaran terhadap kewajiban nafkah yaitu tidak memberi nafkah dengan sengaja

padahal ia tahu dan ia mampu untuk menafkahi keluarganya.14 Hal ini

sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT Qs. At-Thalaq 65 : 7. Sudah menjadi ketetapan agama bahwa suami harus memberikan belanja untuk makan, minum dan pakaian serta tempat tinggal untuk istri dan anak-anak yang sesuai dengan tingkat kemampuannya.15

14

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?; Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, cet ke-1, (Jakarta: Lentera, 2001), h.156-159

15

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, cet. Ke-1, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997), h. 33


(28)

3. Keangkuhan, kesewenang-wenangan, dan kesombongan seorang suami terhadap istri. Hal ini sebagaimana nabi Rasulullah SAW bersabda :

َلَﺎ

َﺎﻤﻬَْ

ﷲا

َ ِ َر

ِصَﺎ ﻟا

ْﺑوﺮْﻤَ

ِ ْﺑ

ِﷲاِﺪَْ

ْ َ َو

:

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ِﷲا

لْﻮ َر

َلَﺎ

َﻢﱠَ َو

:

ِتْﻮ َ

ْ َ

َ ﱢﻴَ

ْنَا

ًﺎﻤْﺛِا

ِءْﺮَﻤْﻟﺎِﺑ

ﻰََآ

)

ﺮﻴﻏو

دواد

ﻮﺑا

اور

ﻴ ﺻ

ﺪﺣ

(

16

Artinya : Dari Abdullah Ibn Amr Ibn Al-’Ash dia berkata : Rasulullah

bersabda : Cukuplah dosa seseorang apabila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya)

4. Nusyuz sebagai kedurhakaan suami yaitu yang mempunyai perangai yang

kasar atau tindakannya yang membahayakan istri.17 Perlakuan kasar kepada istri mencakup ucapan yang menyakitkan atau tindakan yang menyakiti fisiknya. Bentuk tindakan yang menyakitkan perasaan istri misalnya mencari kesalahan istri, menghianati kesanggupan janji-janji kepada istri dan lain-lain. 18

5. Sikap tidak adil suami kepada para istrinya (khusus pelaku poligami) yaitu suami yang beristri 2 atau sampai 4 orang terkena kewajiban untuk berlaku adil kepada istrinya. Keadilan yang dimaksud adalah memperlakukan sama

16

Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dasyiqiy, Riyadhus Sholihin, (Bairut: Darul Fikr, 1994), hadits ke-6, h. 155

17

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, h. 152

18


(29)

dalam hal-hal yang bersifat dhahir yaitu dalam pemberian nafkah, pergaulan dan kebutuhan seksual. Sedangkan dalam hal cinta yang bersifat bathin, suami tidaklah dituntut seperti halnya perlakuannya dalam urusan dhahir.19 Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah Qs. An-Nisa 4 : 129 dan sabda nabi Muhammad SAW :

َلَﺎ

َﻢََ َو

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ِﱠﻟا

ﱠنَا

َةَﺮَْﺮه

ﻰِﺑَا

ِ َ

:

َﻰﻟِا

َلﺎَﻤَ

ِنَﺎ َأ

َﺮْ ا

َﻟ

ْ ََﺎآ

ْ َ

َِﺎ

ِ َو

ِﺔَ َﺎﻴِﻟا

َمْﻮَ

َءَﺎ

َﺎﻤهَﺪْﺣِا

)

ﻴ ﺻ

ﺪ و

ﺔ ﺑر او

ﺪﻤﺣا

اور

(

20

Artinya : Dari Abu Hurairah sesungguhnya nabi SAW telah bersabda :

Barang siapa ada baginya dua istri, lalu ia condong kepada salah seorang, maka akan datang padanya hari kiamat dalam keadaan sebelah dari barangnya miring atau senget. (Riwayat Ahmad dan Imam yang empat dan sanadnya sahih)

6. Segala sesuatu yang dilakukan suami dalam menggauli istrinya dengan cara

yang buruk21seperti tidak memberikan kebutuhan seksual istri22 dan

menyenggamai istri pada waktu haid23

7. Tidak mau melunasi hutang mahar.Perintah untuk membayar mahar kepada

wanita yang menjadi istrinya tersebut sebagaimana diatur di dalam al-Qur’an Qs. An-Nisa 4 : 4

19

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 102-103

20

Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam, hadits ke-991, h. 181

21

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), h. 193

22

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 57

23


(30)

☺ ⌧

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Seorang suami yang tidak melunasi mahar istrinya yang masih dihutanginya berarti telah menipu istrinya, maka suami yang memiliki kemampuan untuk membayar hutang mahar kepada istri, namun tidak mau melunasinya berarti telah berbuat durhaka terhadap istrinya.24

8. Menarik kembali mahar tanpa keridhaan istri. Di dalam Qs. An-Nisa 4: 21 ⌧

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Ayat diatas dengan tegas mencela suami yang meminta atau menarik kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya baik menarik seluruhnya atau sebagiannya karena mahar itu mutlak menjadi hak istri, maka menarik kembali berarti merampas hak orang. Perbuatan semacam ini tidak ubahnya

24


(31)

orang yang melakukan perampasan. Merampas harta orang adalah suatu perbuatan yang sudah jelas terlarang.25

9. Mengusir istri keluar dari rumah artinya melarang istri untuk tinggal serumah dengannya. Selama seorang wanita menjadi istri dari seorang laki-laki, ia mempunyai hak untuk bertempat tinggal di rumah yang ditinggali suaminya. Sekiranya suami punya masalah dengan istri, maka ia tidak boleh semena-mena mengusir istri dari rumahnya, sehingga ia kehilangan hak untuk tinggal di dalam rumahnya. 26

10.Menuduh istri berzina tanpa bukti yang sah.27 11.Menceraikan istri dengan sewenang-wenang.28 C. Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz pada Suami

Sebab-sebab yang melatarbelakangi nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai

berikut:

1. Kurangnya didikan agama, sehingga suami tidak mengetahui hak dan

kewajibannya dalam berumah tangga.

2. Karena istri lebih dari satu, sedangkan syarat-syaratnya tidak mencukupi.29 Dan suami lebih condong kepada salah satu dari istrinya sehingga mengabaikan istrinya yang lain. 30

25

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 24-28

26

Ibid, h. 110-111

27

Ibid, 124

28


(32)

3. Pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga yang dimaksud adalah adanya wanita idaman lain suami selain istri. Suami tertarik kepada perempuan lain sehingga dia lupa kepada istri dan keluarganya. 31

4. Cemburu yang berlebihan. Apabila kecemburuan tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan permusuhan antara suami istri.

5. Suami adalah seorang yang pemalas yang tidak senang memikul tanggung

jawab sebagai kepala keluarga.32 Jika istri bekerja untuk menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga bukan berarti suami bebas secara penuh atas nafkah yang menjadi tanggung jawabnya terhadap keluarga.

6. Rasa bosan. Hal ini akan timbul dalam sebuah hubungan jika tidak

didasarkan atas cinta yang dalam dan mulai timbul rasa jenuh.33

7. Karena suami menganggap istrinya tersebut tidak lagi menarik atau sudah tua atau sakit-sakitan dan tidak dapat memenuhi seleranya sehingga dia enggan untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 34

8. Tidak tertarik lagi kepada istrinya karena istrinya kurang memperhatikan perawatan fisik. 35

29

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), cet. Ke-1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 31

30

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 37

31

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 37

32

Ibid, h. 120

33

Mufidah, C.H., Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 195-201.

34


(33)

9. Emosi yang tidak stabil karena tekanan di luar keluarga. 36

10.Kesal atas perlakuan istri yang dirasakan tidak menyenangkan dirinya.37

11.Karena pengaruh kebiasaannya yang buruk dalam pergaulan di luar rumah

tangga misalnya kebiasaan main judi, minum-minuman keras dan melakukan akhlak buruk lainnya.38

D. Kaidah Penyelesaian Nusyuz Suami

Syara’ telah menetapkan tindakan yang perlu diambil oleh seorang istri

dalam menangani nusyuz suami. Sekiranya nusyuz berlaku di pihak suami,

tindakan yang dilakukan oleh istri seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an ialah dengan menasehati kemudian diikuti dengan perdamaian dan memperbaiki diri dari pihak istri jika ada sikap istri yang tidak disukai suami atau dengan mengurangi hak-hak daripada istri. Kaedah yang ketiga adalah membuat pengaduan kepada hakim atau menggugat cerai. Sekiranya ketiga kaidah ini akan dijelaskan sebagai berikut :

Kaedah pertama : nasehat

Suami istri mempunyai hak yang sama antara satu sama lain dalam melaksanakan tugas mengajak ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Istri berhak menasehati suami agar kembali bertanggung jawab kepada keluarga

35

Ibid, h. 61

36

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 78

37

Ibid, h. 29

38


(34)

dan mengingatkan mereka tentang azab yang bakal diterima bagi suami yang mengabaikan dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap istri dan keluarganya. 39

Allah SWT telah mensifatkan suami itu sebagai pemimpin bagi istri dan keluarga, bukan berarti istri tidak ada hak untuk menegur suami yang nusyuz. Mereka perlu menjalankan tugas mereka sebagai istri untuk menasehati suami agar kembali ke jalan yang benar. Semoga dengan nasehat akan menyadarkan suami untuk dapat kembali melaksanakan tanggung jawab mereka.40

Kaedah kedua : perdamaian

Jika seorang istri merasa suaminya kurang memerhatikannya karena beberapa hal seperti karena urusan pekerjaan sehingga tidak ada waktu lagi bagi suami untuk mengurus rumah tangganya terlebih lagi istrinya. Maka apabila pihak istri merasa takut terjadi sesuatu hal yang tidak baik karena suaminya lebih mementingkan urusan pekerjaannya daripada keluarga, lebih baik kalau istri mengadakan perdamaian dengan suaminya.41

Perdamaian yang dimaksud adalah istri yang mengurangi hak-haknya yang perlu ditunaikan oleh suami seperti mengurangi kadar mahar yang tertangguh, nafkah atau hak-hak persamaan (bagi yang berpoligami). Tindakan

39

Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, h. 22-23

40

Ibid, h. 25

41


(35)

istri seperti ini bertujuan mengembalikan ketentraman dan keamanan dalam kehidupan rumah tangga. Tindakan perdamaian ini juga merupakan salah satu

kaedah untuk menghadapi nusyuz di pihak suami. Sebagaimana firman Allah

SWT dalam QS. An-Nisa 4:128

⌧ ☺

☺ ☯

⌧ ☯ ⌧

⌧ ☺

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Menurut pendapat Ibnu Jarir Ath-Thabari firman Allah ”Maka keduanya

dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya”, Allah mengatakan kepada

mereka berdua, ”Tidak mengapa” maksudnya adalah istri yang khawatir

suaminya nusyuz atau berpaling darinya maka tidak mengapa jika ia memilih

mengalah dan tetap memenuhi hak suaminya agar tali perkawinan antara

keduanya tetap berlanjut.42 Firman Allah SWT ”Jika kamu memperbaiki

(pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu dari nusyuz dan sikap acuh

42

Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), h. 111


(36)

tak acuh”, artinya jika kalian telah berbuat baik terhadap istri kalian dan apabila kalian membenci sikap dan perilaku mereka, bersabarlah dan penuhilah hak-hak mereka. Selain itu perlakukanlah ia dengan baik dan bertakwalah kepada Allah atas tindakan zalim mereka. 43

Menurut ayat terakhir jika terjadi satu peristiwa antara suami istri yaitu setelah istri memerhatikan keadaan suaminya dan dia merasa khawatir dan takut suaminya akan menyia-nyiakannya atau mengalami kekurangan belanja. Maka baiknya kedua belah pihak melakukan perdamaian dengan cara yang baik bukan merajuk kepada suaminya supaya gilirannya sebagai istri diserahkan saja kepada madunya.44 Hal ini terlihat seperti hadits yang berikut ini :

َِﺔَ ْ َز

ِ ِْﺑ

َةَدْﻮَ

ﱠنَا

َﺔَ َِﺎ

ْ َ

ﱠﻟا

َنَﺎآَو

َﺔَ َِﺎ ِﻟ

َﺎﻬَ ْﻮَ

ْ ََهَو

ﻢِﺴَْ

َﻢََ َو

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ِ

َِﺔَ ِﺎَ ِﻟ

َةَدْﻮَ

َمْﻮََو

ﺎَﻬَ ْﻮَ

)

(

45

Artinya: Dari Aisyah bahwa sesungguhnya Saudah binti Zam’ah hibahkan hari

gilirannya kepada Aisyah maka nabi SAW menggilir bagi Aisyah harinya dan hari Saudah (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Sa’id Ibnu Manshur juga meriwayatkan dari Sa’id Ibnu Musayyib bahwa putri Muhammad bin Maslamah adalah istri Rafi’ bin Khudaij. Lalu Rafi’

43

Imad Zaki Al-Barudi, penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-Nisa (Tafsir Qur’an Wanita), h. 113

44

Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 316

45

Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam, hadits ke-994, h. 181


(37)

menjadi tidak suka terhadapnya entah karena sudah tua atau lainnya, lalu ia ingin menceraikannya. Maka istrinya itu berkata ”Jangan kau cerai aku, aku rela menerima apa saja yang akan kau berikan padaku.”

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah berkata : ”firman Allah ...dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)....” turun pada seorang lelaki yang punya seorang istri yang telah melahirkan beberapa anak untuknya, kemudian ia ingin menceraikannya dan ingin menikah dengan yang lain. Istrinya memohon kepadanya agar dia tetap dijadikan istrinya walaupun tidak mendapat giliran.”46

Selain hadits tentang Saudah dan seorang istri yang habis melahirkan ada juga hadits dari Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair berkata ketika turun ayat ”Jika seorang istri takut suaminya nusyuz atau bersikap tak acuh”, kemudian datanglah seorang wanita kepada suaminya dan ia berkata ’Saya ingin mendapat pembagian nafkah darimu’, sebelum itu ia telah ditinggalkan tetapi tanpa diceraikan dan tidak pula didatanginya. 47

Imam Nawawi juga menyatakan apabila telah jelas tanda-tanda nusyuz

pada suami disebabkan umur istri telah lanjut ataupun dalam keadaan sakit dan pada waktu itu istri berpendapat dengan mengurangi hak-haknya seperti mengurangi nafkahnya, hak kesamarataan dan seumpamanya dapat menjernihkan

46

Jalaluddin As-Suyuthi, penerjemah Tim Abdul Hayyie, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, cet. Ke-1, (Jakarta: Gema Insani. 2008), h. 204-205

47

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti; penerjemah Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, h. 421


(38)

hubungan mereka semula, maka itu dibenarkan.48 Maka tidak ada salahnya bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian yang dilakukan dengan merelakan haknya itu adalah dalam hal bergilir dan pemberian nafkah demi mempertahankan keutuhan keluarga karena hal itu lebih baik daripada perceraian dan perpisahan.

Hal ini juga didukung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1) ”Hakim memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. dan (2) ”Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang”.

Kaedah ketiga : membuat pengaduan kepada hakim

Sekiranya semua kaedah yang telah disebutkan diatas tadi tidak dapat mengubah sikap suami, maka istri hendaklah mengambil alternatif untuk membuat pengaduan atau memasukkan gugatan ke pengadilan agama. Hal ini karena jika ia dibiarkan berlarut berkemungkinan akan memburukkan lagi keadaan yang sudah ada.

Muhammad Uqlah juga menegaskan bahwa istri tidak seharusnya berdiam

diri apabila suaminya tetap nusyuz sekalipun kesemua kaedah yang telah

disebutkan diatas telah digunakan. Ini karena jika dibiarkan keadaan akan

48

Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam,.h. 23-24


(39)

bertambah buruk. Sebaiknya istri hendaklah mengadu kepada pihak-pihak yang dapat menyelesaikan permasalahan mereka seperti ke konsultan hukum atau mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Seterusnya pengadilan akan mengambil tindakan yang sewajarnya dalam menyelesaikan nusyuz suami.49

E. Akibat Nusyuz Suami

Di dalam melanggengkan hubungan suami dan istri diperlukan adanya kesepahaman dan kesetaraan dalam menjalankan roda rumah tangga melalui rambu-rambu ”hak dan kewajiban suami istri”, tanpa harus ada yang menjadi superioritas di satu sisi tetapi muncul subordinasi di pihak lain.50 Maka ketika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulangkali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, al-Qur’an seperti yang terdapat dalam Qs. An-Nisa 4:128 menganjurkan perdamaian dimana istri diminta untuk lebih bersabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu.51 Namun jika jalan perdamaian tidak berhasil maka dapat diambil jalan cerai baik itu cerai talak yang akan dilakukan suami atau cerai gugat yang dilakukan istri.

49

Norzulaili Mohd. Ghazali, Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, h. 24-25

50

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 18

51

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 211


(40)

Berikut ini adalah akibat dari nusyuz suami : 1. Terlantarnya istri dan anak52

2. Retaknya hubungan suami istri atau terjadinya ketegangan antara mereka

karena istri selalu merasa tertekan.53 3. Istri dapat mengajukan gugatan cerai

Ketika suami nusyuz dan akibatnya istri meminta cerai maka terjadilah

khulu’. Syarat sah terjadinya khulu’ adalah adanya sesuatu yang diserahkan kepada suami dari benda-benda yang layak untuk diberikan yang berasal dari pemberian suami sebagai pihak yang berhak menjatuhkan talak. Akan tetapi seorang suami tidak boleh memberikan suatu tekanan kepada istri.54

4. Hilangnya hak untuk mendapatkan tebusan atau kompensasi

Haram hukumnya menyakiti istri supaya dia minta khulu’. Suami

diharamkan menahan dan menghalangi sebagian dari hak-hak istrinya dengan cara menyakiti hatinya supaya nantinya istri tersebut minta lepas dan menebus dirinya dengan khulu’. Suami yang melakukan hal demikian akan dikutuk dan

52

Muhammmad Thalib, 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, h. 39

53

Ibid, h. 80

54

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 697


(41)

dilaknat oleh Allah SWT, hal ini sebagaimana didalam firman-Nya Qs. An-Nisa 4: 1955

⌧ ☺

⌧ ☺

☺ ⌧

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Menurut kelompok dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang menyatakan bahwa tidak dibolehkan khulu’ kecuali jika terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak istri. Maka pada saat itu bagi suami diperbolehkan untuk menerima fidya (tebusan). Khulu’ tidak disyari’atkan kecuali dalam kondisi seperti ini sehingga tidak diperbolehkan melakukan khulu’. Demikian juga menurut Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahim, Atha’, Al-Hasan dan jumhur ulama. Imam Malik dan Al-Auza’i mengatakan Seandainya suami mengambil

55

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h. 24


(42)

suatu tebusan dari istrinya yang hal itu membahayakan istrinya tersebut, maka ia harus mengembalikannya dan jenis talaknya adalah talak raj’i. 56

Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa suami dilarang mengambil tebusan dari istrinya kecuali jika istrinya telah nusyuz sebelumnya.57 Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tebusan itu hanya diberikan sewaktu istri

nusyuz saja. Maka ketika terjadi nusyuz pada suami dan istri mengguggat cerai, tebusan yang seharusnya diberikan untuk suaminya sebagai ganti dari kebebasannya itu akan hilang atau suami yang nusyuz tidak dapat tebusan dari istri yang meminta cerai.

56

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No.1/1974 sampai KHI, h. 308-309

57

Abd. Al-‘Adzim Ma’ani dan Ahmad al- Ghundur, Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 125


(43)

A. Hak Gugat Istri Ketika Suami Nusyuz

Perceraian sebagai sesuatu perbuatan yang halal namun tidak dusukai Allah SWT. Tidak disukai perceraian karena ia memilki berbagai dampak negatif bagi kedua belah pihak maupun anak keturunannya. Dampak tersebut antara lain secara psikologi, moral, sosial dan ekonomis. 1

Perceraian memang tidak selamanya buruk, sebab boleh jadi dengan perceraian seseorang kemudian akan mendapat pengganti yang lebih baik, sehingga tujuan perkawinan diharapkan dapat tercapai. Melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang sama sekali tidak bisa dihindari dalam kehidupan perkawinan, maka islam pun memberikan legislasi akan adanya

perceraian.2 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang menegaskan bila

seseorang dihadapkan pada suatu dilema, maka dia dibenarkan untuk memilih melakukan kemudharatan yang paling ringan di antara beberapa kemudharatan yang sedang dihadapinya.3

1

Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Salehah, cet. Ke-3, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 224

2

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 5

3

Ibid, h. 6


(44)

Istri berhak untuk mengajukan gugatan manakala suami menyimpang dari tujuan perkawinan seperti meninggalkan istri dalam waktu tertentu tanpa persetujuan istri, melakukan pelecehan dan kekerasan atau menyengsarakan istri atau tidak lagi mampu melaksanakan nafkah lahir batin.4

Al-Quran Qs. an-Nisa 4 : 128 menjelaskan bahwa seorang istri berhak

menuntut cerai seandainya merasa khawatir atas kekejaman suami.5 Dengan

demikian apabila istri khawatir suami tidak menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan syari’ah dalam ikatan perkawinan, istri dapat melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan menyerahkan kembali seluruh atau sebagian harta kekayaan yang diterimanya dari suaminya. Akan tetapi jika istri tidak mampu membayar masih ada cara lain untuk memutuskan ikatan perkawinan itu melalui

mubarat yaitu tidak ada pembayaran pengganti yang harus diberikan dan

perceraian itu sendiri sah, semata-mata berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. 6

Seperti yang telah ditetapkan syariah yaitu diberikan hak bagi suami untuk menceraikan istrinya maka istri juga dapat menuntut cerai kalau cukup alasannya. Apabila suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai (khulu’). Sering terjadi kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap istri karena

4

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 30-31.

5

A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h.252

6


(45)

dikalangan masyarakat dimana perceraian tidak diperkenankan. Islam dengan sikap membolehkan cerai karena inisiatif istri telah menyelamatkan banyak keluarga muslim serta tidak mengakibatkan anak-anak sengsara. 7

Seorang istri boleh mengajukan gugat cerai kepada suaminya karena suaminya sering melakukan perbuatan zina, pemabuk, penjudi, penipu, perampok dan tindakan-tindakan yang negatif lainnya yang jelas-jelas keluar dari riil yang telah digariskan agama. 8

Hal ini juga didukung dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 39 ayat (1) yang berbunyi: ”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dan pasal 39 ayat (2) yang berbunyi: ”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.9 Serta pasal 40 (1) yang berbunyi ”Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan”. Dan Kompilasi Hukum Islam pasal 132 yang berbunyi ”Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,

7

A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 259

8

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, cet. Ke-1, (Jakarta: Darussalam, 2004), h. 261

9

Penjelasan pasal 39: Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah 1) Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pamadat, penjudi, 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut, 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun, 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat, 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan, 6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.


(46)

yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman”.

B. Kompensasi Gugat Karena Nusyuz Suami

Menurut bahasa khulu’ berarti talak tebus yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan membayar atau mengembalikan mahar dari pihak istri.10 Artinya tebusan yang dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya agar suaminya itu dapat menceraikannya. 11

Hal ini telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 124 yang berbunyi : ”Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 116”.

Kompensasi atau pembayaran ganti rugi merupakan kesepakatan suami atau istri. Istri boleh mengembalikan semua atau sebagian akan tetapi tidak boleh lebih dari maskawin.12

Menentukan ganti rugi yang dianggap sesuai dan suami akan menerimanya lalu menceraikan istrinya. Menurut para ulama pertimbangan itu sepatutnya tidak melebihi mas kawin yang diberikan oleh si suami. 13

10

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga ; Panduan Perkawinan, cet. Ke-1, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 2

11

Hasan Ayyub; penerjemah M. Abdul Ghoffar, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 305

12

A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h. 253

13

Abdurrahman; penerjemah Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, cet ke-1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 110


(47)

Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti istri) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya. 14

Para sahabat Abu Hanifah mengatakan jika kemudharatan berasal dari pihak istri maka bagi suami diperbolehkan untuk mengambil apa yang pernah diberikannya kepada istrinya tanpa meminta tambahan. Dan jika kemudharatan itu berasal dari pihak suami maka ia tidak boleh mengambil sesuatu apapun. 15

Syaikh Taqiyyuddin berkata, khulu’ yang diperbolehkan dalam sunnah rasul adalah jika seorang istri membenci kelakuan suaminya kemudian ia menebus dirinya seperti layaknya tawanan perang. Jika suami tidak menyukai sang istri, akan tetapi ia tetap mempertahankan istrinya dengan tujuan supaya sang istri melepaskan dirinya dan membayar denda ganti, maka hal ini dianggap menzalimi istri. Pada kondisi seperti ini suami dilarang mengambil uang yang diberikan oleh istri sebab khulu’nya jadi tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Qs. An-Nisa 4 : 1916

14

Kamil Muhammad U’waidah; penerjemah M. Abdul Goffar. EM, Fiqh Wanita, cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 445

15

Ibid, h. 310

16

Saleh bin Fauzan; penerjemah Abdullah Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mustafa, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 695


(48)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Ketika istri menggugat cerai suami maka ia harus memberikan tebusan sebagai ganti kebebasannya. Masalah tebusan bagi seorang istri apabila mengajukan cerai gugat, hal ini perlu dikaji ulang. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas

َﻢﱠَ َو

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ﱠ ِﱠﻟا

ِ ََا

ْﻴَ

ِ ْﺑ

ِ ِﺑَﺎﺛ

َةاَﺮْ ا

ﱠنَا

سﺎﱠَ

ِ ْﺑا

ِ َ

:

ِﷲا

َلْﻮ َر

َﺎ

ْ َﻟَﺎ َ

َر

َلﺎََ

ِمَ ْ ِ ا

ِ

َﺮْﻜﻟا

َﺮْآَا

ﱢِﻜَﻟَو

ِْد

َ َو

ِ َْ

ِ

ِ ْﻴََ

ْﻴِ َا

َﺎ

ْﻴَ

ْﺑ

ِﺑَﺎﺛ

ِﷲا

لْﻮ

ْ َﻟَﺎ َ

؟

ََِْﺪَﺣ

ِ ْﻴََ

َ ْ

ﱢدَﺮ َا

َﻢﱠَ َو

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

:

ْﻢَ َ

,

ِ ْﻴََ

ﷲا

ﱠﻰ َﺻ

ِﷲا

لْﻮ َر

َلَﺎ َ

َﻢَﱠَ َو

:

ًﺔََْﻴِْﻄَ

ﺎَﻬ ﱢَ َو

َﺔَِْﺪَ ﻟا

ِ ََْا

)

ﺎﻬ ﻄﺑ

ﺮ او

ﺔ اور

و

يرﺎﺨ ﻟا

اور

(

17

Artinya : Dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang

kepada nabi SAW, lalu berkata : Ya Rasulullah! Tsabit bin Qais itu saya tidak cela dia tentang akhlak dan tidak agama, tetapi saya tidak suka ia mengerjakan pekerjaan kufur didalam islam. Maka Rasulullah SAW bersabda : Apakah engkau akan mengembalikan kebunnya

17

Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam, (Qahirah: Darul Hadits. 2003), hadits ke-1000, h. 182


(49)

kepadanya? Ia menjawab : Iya. Rasulullah SAW bersabda kepada Tsabit : Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan talak satu.

Berdasarkan hadits di atas bahwa istri Tsabit mengajukan cerai bukan karena ia mendapat tekanan, kekerasan dan penganiayaan dari suaminya tetapi semata-mata karena ”kekufuran” yaitu banyak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama atau sering melakukan kemaksiatan dan perceraian itu untuk keselamatan dan kebaikan si suami sendiri. Hal ini memberikan pemahaman bahwa gugat cerai dapat dikenakan iwadl18 apabila semata-mata karena inisiatif si istri saja, tanpa mengalami kekerasan dan penganiayaan baik secara fisik maupun psikis. Tetapi kalau sebaliknya, dimana istri sudah ditinggalkan selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun, tidak diberi nafkah lahir dan batin, nafkah anak, istri mendapat penganiayaan dan berbagai bentuk kekerasan. Maka ada kemungkinan tebusannya akan hilang.19

Jika seorang suami bertindak kasar, memukul, menyengsarakan atau menolak memberikan nafkah, giliran bermalam (pelaku poligami) dan lain sebagainya yang semuanya itu dimaksudkan agar sang istri membayar tebusan atas dirinya, lalu istri melakukannya, maka khulu’ yang dilakukannya tersebut tidak sah dan tebusan seperti itu sama sekali tidak dapat diterima yang demikian itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sya’abi, Nakha’i, Qasim bin

18

Iwadl adalah uang tebusan atau ganti rugi atas suatu harta benda yang dirusakkan atau dihilangkan. Hal ini dapat dilihat dalam istilah kamus fiqih oleh M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah. AM.

19

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h. 32-33


(50)

Muhammad, Urwah, Amr bin Syu’aib, Hamid bin Abdurrahman, Zuhri, Malik, Tsauri, Qatadah, Syafi’i, Ishak dan Ahmad. Sedangkan menurut Abu Hanifah

khulu’ tetap sah dan tebusannya tetap berlaku tetapi si suami berdosa dan

bermaksiat.20

C. Wewenang Hakim Terhadap Nusyuz Suami

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,

profesional dan berpengalaman di bidang hukum 21 seorang hakim juga wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hal ini berdasarkan asas social justice.22 Hal ini juga seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Qs. As-Syad 38: 26

Artinya: Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

20

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h. 316

21

Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 31-32

22


(51)

adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Seorang hakim dapat memberikan nasehat kepada kepada istri agar bisa mengambil hati suaminya seperti meringankan tuntutan nafkah, giliran, pemberian mahar dan lain-lain demi melegakan hati suami. Hal ini boleh dilakukan sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Jawahir. Disamping itu masih

banyak riwayat lain yang menguraikan hal tersebut. Dalam kitab Shahih

al-Habibi dijelaskan, Imam Ja’far Shadiq as pernah ditanya tentang firman Allah

SWT ”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap berpaling

suaminya” Beliau menjawab :” Ia adalah seorang wanita yang telah bersuami

namun suaminya tidak menyukainya dengan mengatakan, ’Saya ingin menceraikanmu.’ Kemudian ia mengatakan, ’Jangan kau lakukan hal itu karena aku tidak suka kau mencelaku. Pikirkanlah malamku. Lakukanlah apa saja yang kau mau. Segala milikku adalah milikmu. Biarkanlah aku dengan keberadaanku.’ Inilah yang dinamakan perdamaian.23

Sebagai seorang hakim yang bijaksana seharusnya terlebih dahulu baginya untuk mengetahui kewajiban dan hak suami istri, mengetahui hukum dan beberapa tuntutan syariat. Mengetahui latar belakang kehidupan kedua belah pihak. Dan juga harus memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam

23

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh, Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, cet. Ke-1, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 157


(52)

menangani masalah seperti ini, sehingga dia bisa mengambil keputusan yang tepat. Adapun yang harus dihindari adalah menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak bermanfaat seperti menganjurkan pihak yang teraniaya melakukan hal-hal yang tidak perintahkan syariat dan tidak rasional. Karena pada dasarnya seorang hakim harus memfokuskan diri pada satu tujuan, yaitu sebuah perbaikan yang akan dicapai melalui upayanya dalam berijtihad. Maka sudah seharusnya dia memahami langkah-langkah penyelesaian yang seharusnya diambil. Bahkan tidak mustahil dia mengambil langkah untuk menceraikan demi kebaikan keduanya.24

Apabila suami dan istri sudah tidak dapat hidup bersama dengan bahagia dan apabila perkawinan mereka tidak lagi membawa kasih sayang, maka Allah tidak memaksakan suami atau istri untuk tetap bertahan dalam suatu perkawinan yang kacau. Allah SWT menganjurkan hendaklah ditunjuk seorang penengah (hakam) dari pihak suami-istri agar dapat melanjutkan perkawinan mereka, akan tetapi apabila perundingan untuk merukunkan keduanya tidak berhasil dan apabila mereka tidak mungkin hidup bersama kembali, maka barulah mereka boleh bercerai. 25

Seorang istri dapat pergi ke hakim mengadukan perihal kelakuan suaminya dan secara resmi menuntut cerai. Apabila pengaduannya benar, hakim

24

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh, Perceraian Salah Siapa?, h. 130-131

25

Hisahiko Nakamura, Perceraian Orang Jawa, (Jakarta: Gadjah Mada University Press. 1991), h. 31-32


(53)

akan memanggil suaminya dan mengurus perkaranya. Namun, jika suaminya menolak maka hakim sendirilah yang akan menetapkan perceraian mereka sehingga berlaku dan dianggap sah. 26

Hal ini disebabkan karena telah tersedianya seperangkat hukum positif yang mengatur perceraian. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah diatur bahwa perceraian dilaksanakan melalui sebuah lembaga, yakni Pengadilan Agama.27 Pada pasal 65 dari aturan tersebut dinyatakan bahwa prosedur perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.

Terjadinya perceraian atau tidak, biasanya setelah diputuskan oleh Pengadilan Agama. Pengadilan Agamalah yang akan memberikan kata akhir terjadi atau tidaknya suatu perceraian. Perceraian hanya akan terjadi apabila majelis hakim berpendapat bahwa segala ketentuan hukum yang disyari’atkan untuk cerai telah terpenuhi, setelah upaya mejelis hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai dipandang tidak berhasil. 28

Para ahli fiqih menyarankan sebelum hakim mengambil keputusan seharusnya melakukan beberapa tahapan berikut ini:

26

A. Rahmani, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), h.225

27

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h. 26

28


(54)

1. Memaksa suami untuk memberikan nafkah dengan cara memberikan pelajaran atau mengurung dalam tahanan. Pendapat ini dipilih oleh al-Muhaqqin dan Ibnul Borroj.

2. Hakim memberikan nafkah kepada istri dari hasil denda yang dikenakan

kepada suaminya. Hal ini dikemukakan oleh Syekh ath-Thusi, al-Muhaqqiq dan Shahibur Riyadh.

3. Menyewakan rumah, barang, perlengkapan dan harta milik suami. Bahkan

sebagian ulama memperbolehkan untuk menjualnya. Hal ini dikemukakan oleh Syeikh ath-Thusi dalam kitab al-Khilaf dan al-Mabsuth, demikian dikatakan juga al-Muhaqqiq.

Bahkan berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah banyak berlaku mengatakan, perlu memaksa suami agar memberi nafkah yang selama ini dia abaikan sebelum vonis cerai dijatuhkan untuk kemudian suami dituntut untuk menceraikan atau hakim sendiri yang akan memutuskan.29 Hal ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 136 (2) poin a yang berbunyi: ”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

Yang menjadi pegangan hakim dalam memutuskan berapa nafkah yang harus ditanggung suami adalah disesuaikan dengan kemampuan penghasilan mereka pada saat itu. Tingkat kesulitan yang cukup serius terjadi pada anak-anak

29

Ali Husain Muhammad Makki al-Amili; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh, Perceraian Salah Siapa?, h. 158-159


(55)

korban bercerai dari ayah yang bukan PNS, karena tidak ada instrumen khusus yang dapat digunakan untuk mengontrol pemenuhan nafkah. Sistem hukum yang ada tidak cukup berpihak pada anak. Karena sekalipun telah ada keputusan hukum dari pengadilan, tidak ada upaya paksa yang dapat dilakukan oleh pengadilan untuk menekan orang tua (ayah) melaksanakan kewajibannya. Sikap aparat penegak hukum pun belum responsif terhadap kepentingan perempuan dan anak30

Gugat cerai hanya dapat diminta dalam keadaan yang luar biasa dan tidak diperkenankan dengan alasan yang lemah. Perceraian mungkin akan diberikan oleh hakim dengan alasan sebagai berikut :

1. Perlakuan menyakitkan baik lahir maupun batin yang biasa diterima istri. Apabila si istri seorang perempuan malang yang diperlakukan semena-mena, dianiaya oleh sikap brutal suaminya.31

2. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan tersebut

3. Ketidakmampuan yang tidak dapat disembuhkan

4. Karena ada bahaya. Apabila ia terhalang dengan suatu bahaya yang kritis sehingga tidak bisa hidup dibawah perlindungan suaminya. Maka ia boleh mengajukan permohonan cerai. Ada beberapa macam karena bahaya kritis

30

Anik Farida dkk, Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h. 62

31


(1)

67

67 4. Adapun akibat dari nusyuz suami adalah terlantarnya anak dan istri serta

dapat dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga yang berakibat istri dapat mengajukan gugat cerai kepada hakim selaku pemberi keadilan setelah proses damai tidak berhasil. Dan hak suami atas tebusan gugat cerai dari istrinya tidak berlaku atau tidak sah. Ketika tidak dijumpai di dalam hukum positif mengenai nusyuz suami, maka seorang hakim harus berijtihad untuk mengambil sebuah kemaslahatan.

B. Saran

Penulis dapat memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait dalam hal ini, yaitu sebagai berikut :

1. Perlunya merevisi ulang Undang-Undang Perkawinan yang menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia. Dan menambahkan sedikit pengaturan mengenai masalah nusyuz suami. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi rakyat saat ini.

2. Ada baiknya apabila perkara nusyuz suami ini dimasukkan ke dalam kurikulum fiqih yang ada di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah agar dapat dikaji lebih dalam dan rinci lagi.

3. Diperlukan adanya sosialisasi sejak dini mengenai masalah nusyuz suami ini bagi suluruh masyarakat islam di Indonesia melalui khutbah jum’ah, ceramah-ceramah majelis ta’lim dan lain sebagainya.


(2)

Ad-Dasyiqiy, Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An-Nawawi. Riyadhus Sholihin. Bairut: Darul Fikr. 1994

Al-Barudi, Imad Zaki; penerjemah Tim Penerjemah Pena. Tafsir Al-Quran Al-Azhim Lin-Nisa (Tafsir Qur’an Wanita). Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2007.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. 2002.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: Sinar Grafika. 2006

Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki; penerjemah Muhdhor Ahmad Assegaf & Hasan Saleh. Perceraian Salah Siapa?: Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, cet. Ke-1. Jakarta: Lentera. 2001.

Al-Asqalani, Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar. Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam. Qahirah: Darul Hadits. 2003.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad; penerjemah S. ZIyad Abbas. Fiqh Wanita Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2009.

Al-Jumaili, Sayyid; penerjemah Zaid Husein Alhamid. Ahkamul Mar’ah Fil Qur’an (Hukum-Hukum Wanita Dalam Al-Qur’an), cet. Ke-1. Indonesia: Dar El Fikr. 1987.

Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin; penerjemah Bahrun Abu Bakar. Terjemahan Tafsir Jalalain berikut asbabun nuzul jilid 1, cet. Ke-7. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2007.

Al-Munajjid, Syaikh Muhammad Shalih; penerjemah Laila Iksa. 40 Kiat Islami Membina Rumah Ideal, cet. Ke-1. Jakarta: Cv. Pustaka Mantiq. 1994.


(3)

69

Al-Qur’an dan Terjemah. Surabaya: Fajar Mulya. 2002.

Ayyub, Hasan; penerjemah M. Abdul Ghoffar. Fiqih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.

As-Suyuthi, Jalaluddin; penerjemah Tim Abdul Hayyie. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, cet. Ke-1. Jakarta: Gema Insani. 2008.

Baltaji, Muhammad; penerjemah Afifuddin Said. Kedudukan Wanita dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, cet. Ke-1. Solo: Media Insani Publishing. 2007.

Bassam, Abdullah bin Abdurrahman bin Shahih bin Ali. Taisirul-allam Syarh Umdatul-Ahkam. Jeddah: Maktabah As-Sawadi Lit-Tauzi’. 1992.

Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir Al-Ahkam. Medan: Kencana Prenada Media Group. 1962.

Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, cet. Ke-1. Surabaya: P.T. Bina Ilmu Offset. 1995.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.

Fauzan, Saleh bin; penerjemah Abdullah Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani dan Budiman Mustafa. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005

Farida, Anik., Ahmad, Haidlor Ali., Anwar, Sumarsih., MTT, Abdul Malik., Sila, Muh.Adlin. Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2007.

G, As-Sadlani,S.; penerjemah M. Abdul Ghofar. Dlowabithuhu, halathuhu asbahuhu, thuruqul wiqoyah minhu, wasail, lia ajihi fi dlouil qur’an was sunnah (nusyuz, konflik suami istri dan penyelesaiannya). Jakarta: Pustaka Kautsar. 1993.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, cet. Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

Ghazali, Norzulaili Mohd. Nusyuz, Syiqaq, dan Hakam menurut Al-Qur’an, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, cet. Ke-1. Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. 2007.


(4)

H. Mufidah, C. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-Malang Press. 2008

Hasan, M.Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja. 2003 Hosseini, Ziba Mir. Perkawinan Dalam Kontroversi 2 Mazhab; Kajian Hukum

Keluarga Dalam Islam, cet ke-1. Jakarta: ICIP. 2005.

Indra, Hasbi & Ahza, Iskandar & Husnani. Potret Wanita Salehah, cet. Ke-3. Jakarta: Penamadani. 2004.

Kamaruddin, Zaleha dan Abdullah, Raihana. Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam. Malaysia: Zebra Editions SDN.BHD. 2002

Rusdiana, Kama dan Arifin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2007

Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan, cet ke-1. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. 1995.

Ma’ani, Abd. Al-‘Adzim dan Al-Ghundur, Ahmad. Hukum-hukum dari al-Qur’an dan Hadits Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata.Islam di Indonesia, cet. Ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.

M, Ridwan. Kekerasan Berbasis Gende, cet ke-1. Yogyakarta: PSG dan Fajar Pustaka. 2006.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Isalam tentang Perkawinan, cet ke-1. Jakarta: Bulan Bintang. 1974.

Muhaimin, Abd. Wahab Abd. Kompilasi Jurnal Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: 1998.

Mujieb, M. Abdul & Tholhah, Mabruri & M.,Syafi’ah A. Kamus Istilah Fiqih, cet. Ke-1. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994.

Nakamura, Hisahiko. Perceraian Orang Jawa. Jakarta: Gadjah Mada University Press. 1991.


(5)

71

Nasif, Fatima Umar; penerjemah Burhan Wirasubrata & Kundan D.Nuryakien. Menggugat Sejarah Perempuan; Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntutan Islam. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim. 2001.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih Undnag-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), cet. Ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2004.

Rahmani, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. 2002.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, cet. Ke-27. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994. Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: P.T.Karya Toha Putra. 1978. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-6. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2003.

Rossatria, Eri. Relasi Suami Istri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita dan UIN Syarif Hidayatullah. 2004.

Selamat, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), cet. Ke-1. Jakarta: Kalam Mulia. 1998.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Graha Paramuda. 2008.

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: El-Kahfi. 2008

Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: P.T.Raja Grafindo Persada. 2005.

Sutarmadi, A dan Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajeman Keluarga. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta: Prenada Media Kencana. 2006.


(6)

Taimiyah, Ibnu; penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri An-Naba. Majmu’ Fatawa Tentang Nikah. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002.

Thalib, Muhammmad. 20 Perilaku Durhaka Suami Terhadap Istri, cet. Ke-1. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 1997.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Citra Umbara. 2007

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Usman, Rahmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

U’waidah, Kamil Muhammad ; penerjemah M. Abdul Goffar. EM. Fiqh Wanita, cet. Ke-1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1998.

Zein, Satria Efendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana. 2004.