PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENIMBUNAN PUPUK BERSUBSIDI (Studi Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENIMBUNAN PUPUK BERSUBSIDI

(Studi Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda) (Skripsi)

Oleh

Nur Asiana Siregar

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENIMBUNAN PUPUK BERSUBSIDI

(Studi Pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda) OLEH

NUR ASIANA SIREGAR

Pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi harus dilakukan sesuai dengan dasar hukum, syarat dan prosedur yang berlaku, dan dilakukan secara bertahap mulai dari produsen, distributor, pengecer, hingga ke petani. Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan tindak pidana ekonomi yaitu pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Pemerintah menggolongkan pupuk bersubsidi ke dalam jenis barang yang dalam pengawasan pemerintah yaitu tertera pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan yaitu dengan peraturan Presiden ini, Pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 Tentang Barang-Barang Pengawasan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi; (2) apakah faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif dilakukan melalui pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini, sedangkan yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek dan mengenai pelaksanaannya. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui melalui studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.


(3)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap penimbunan pupuk bersubsidi dilakukan dengan dua cara 1. Upaya preventif dengan cara lebih menitik beratkan pada kegiatan pengawasan untuk pencegahan terjadinya tindak pidana yaitu patroli dan monitoring. Tugas tersebut diberikan kepada badan eksekutif dan kepolisian serta pihak yang terkait dengan pengadaan pupuk selaku badan pengawasan terhadap pengadaan pupuk. 2 Upaya represif dilakukan dengan cara penindakan yang meliputi Pengusutan (penyelidikan dan penyidikan). Penindakan meliputi lembaga peradilan (Pro Justicia) dan tindakan tata tertib oleh pihak pengusut. Faktor penghambatnya adalah faktor undang-undang, yaitu istilah pada UUTPE banyak menggunakan bahasa asing sehingga membuat rancu, belum ada definisi pada UUTPE, berat barang, lama waktu menyimpan barang yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi, sanksi yang dikenakan masih terlalu ringan. Faktor aparat penegak hukum, personil yang khusus menangani tindak pidana ini sedikit. Faktor sarana dan fasilitas, kekurangan mobil patroli. Faktor masyarakat, kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan Faktor kebudayaan yaitu masyarakat menganggap polisi lah yang harus aktif dalam menegakkan hukum dalam tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

Bagian akhir penulisan ini yang disarankan penulis adalah dari segi sosialisasi peraturan mengenai pupuk bersubsidi (preventif) harus lebih sering dilakukan serta penjatuhan sanksi dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1959 (represif). Pemerintah harus merevisi UUTPE, menambahkan peralatan yang lebih canggih dalam hal patroli, perlu adanya penyuluhan hukum oleh pemerintah terutama daerah terpencil yang mayoritas penduduknya petani, mengajak peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana sehingga kedepannya masyarakat lebih aktif.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …. ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tenetang Penegakan Hukum Pidana ... 14

B. Pengertian Tindak pidana ... 18

C. Pengertian Penimbunan Pupuk Bersubsidi ... 20

D. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ... 25

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 29

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 33

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 34


(7)

C. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penimbunan Pupuk Bersubsidi (Studi pada wilayah

Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)... 54

DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran ... 60


(8)

I . P E N D A H U L U A N

A . L a t a r B e l a k a n g

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas kekuasaan (machtsstaat), maka kedudukan hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa kecuali.Ketentuan tersebut tercermin dalam pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

alinea keempat yang menyebutkan bahwa: “…membentuk suatu pemerintahan

negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...berdasarkan Pancasila”.

Negara Indonesia merupakan Negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dengan cara bertani. Menjadi petani di negara agraris seharusnya mendapatkan posisi mulia dan terhormat. Mulia dalam arti mempunyai peran kunci sebagai penyangga pangan bagi sektor lain. Terhormat dalam makna mendapat porsi seimbang dengan peran yang dilakukannya. Berbanding lurus dengan keduanya, suatu hal yang sangat wajar jika pemerintah memberikan kebijakan yang berpihak pada petani. Bukan berarti para petani ingin


(9)

dianakemaskan, minimal petani diberikan hak-haknya didalam kemudahan memperoleh pupuk dengan mudah dan murah.

Program pupuk bersubsidi oleh pemerintah untuk membantu meringankan beban para petani dalam pengadaan pupuk untuk lahan pertanian, dimana hasil pertanian tersebut juga bermanfaat bagi kebutuhan pangan nasional. Pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi harus dilakukan sesuai dengan dasar hukum, syarat dan prosedur yang berlaku, dan dilakukan secara bertahap mulai dari produsen, distributor, pengecer, hingga ke petani.

Proses penyaluran pupuk bersubsidi, seharusnya dapat berjalan dengan baik, namun pada kenyataannya terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan penyaluran pupuk bersubsidi, seperti terbatasnya persediaan pupuk bersubsidi dari pemerintah sendiri, ataupun karena penimbunan pupuk bersubsidi yang dilakukan baik pengecer maupun petani. Yang menjadi masalah adalah jika persediaan pupuk mencukupi dari pemerintah tetapi tidak mencukupi sewaktu penyalurannya sampai ke petani atau petani harus membeli pupuk bersubsidi tersebut dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET). Hal tersebut terjadi karena banyaknya kasus penimbunan.

Pemerintah menggolongkan pupuk bersubsidi ke dalam jenis barang yang dalam pengawasan pemerintah yaitu tertera pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan yaitu dengan peraturan Presiden ini, Pupuk bersubsidi ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Prp Tahun 1962 Tentang Barang-Barang Pengawasan.


(10)

Sedangkan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa Pupuk bersubsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Urea, SP 36, ZA dan NPK.

Penimbunan pupuk bersubsidi banyak terjadi menjelang musim tanam yaitu periode April-September, dimana pada bulan itulah masyarakat yang berprofesi sebagai petani sangat membutuhkan pupuk untuk tanamannya. Karena kelangkaan tersebut mau tidak mau petani yang sangat membutuhkannya harus membeli pupuk bersubsidi dengan harga tidak wajar atau diatas Harga Eceran Tertinggi (HET). Tentu saja hal tersebut sangat merugikan petani. Jika dibiarkan, besar kemungkinan dapat mengganggu stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.

Meskipun pupuk bersubsidi merupakan barang yang pendistribusiannya diawasi oleh pemerintah, tetap saja hal tersebut tidak menyurutkan niat para pelaku penimbunan pupuk bersubsidi. Demi mendapatkan keuntungan yang besar banyak orang tidak ragu melakukan penimbunan pupuk bersubsidi dengan jumlah yang besar. Akibatnya tentu saja dapat menimbulkan kelangkaan penjualan yang menyebabkan masyarakat khususnya petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Tidak jarang pupuk bersubsidi hilang peredarannya dari pasar. Tentu saja dengan kelangkaannya menyebabkan naiknya harga pupuk bersubsidi tersebut secara tidak normal akibat ketidakwajaran dari tingginya permintaan. Jika tidak ditanggapi secara serius, hal tersebut dapat mengancam Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (kamtibmas), karena sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian sebagai petani.

Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan Tindak Pidana Ekonomi (TPE) yang diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt tentang Pengusutan,


(11)

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Didalam UUTPE tidak terdapat pengertian mengenai tindak pidana ekonomi, melainkan hanya berupa suatu perumusan bersifat kategoris, maksudnya yang ada adalah peraturan, baik yang berupa ordonanntie, verordening, undang-undang yang ditentukan maupun peraturan pemerintah yang ditentukan dalam pasal 1 UUTPE sebagai tindak ekonomi1.

Pasal pada Undang-Undang Nomor 7 Drt Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang mengatur tindak pidana ekonomi.

Pasal 1:

1e. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan

a. “Ordonanntie Gecontroleerde Goederen 1948 “Staadblab 1948 No. 144

Sebagaimana diubah dan ditambah dengan Staadblad 1949 No.160. b. “Prijsbeheersing-ordonanntie 1948 (Staadblad 1948 No. 259).

c. “Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang 1951” (Lembaran Negara 1953

No. 4)

d. “Rijsordonanntie1948” (Staadblad 1948 No. 253)

e. Undang-Undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi (Lembaran Negara 1952 No. 33)

f. “Deviezen Ordonantie1940” (Staadblad No. 205).

2e. Tindak-tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 26, 32, dan Undang-Undang Darurat.

3e. Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.

Hal yang menarik dari pengertian tindak pidana ekonomi tersebut diatas adalah apa yang diatur dalam Pasal 1 sub 3e, karena pengertian tindak pidana ekonomi didasarkan pada undang-undang lain yang baru akan dibuat kemudian. Jadi bersifat prosfektif, artinya: pembuat undang-undang tidak secara limitatif

1

. Tri Andrisman. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP (Universitas Lampung:Bandar Lampung.


(12)

menyebutkan undang-undang tertentu saja, tetapi melihat kemungkinan perkembangan tindak pidana ekonomi dimasa yang akan datang2. Salah satu

contohnya adalah dimasukkannya Perpu Nomor 8 Tahun 1962 Tentang Perdagangan Barang- Barang dalam Pengawasan.

Sanksi pada UUTPE selain pidana pokok dan pidana tambahan juga adanya berupa tindakan tata tertib. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi, selain dikenakan sanksi pokok seperti pidana penjara, pelaku juga bisa dikenakan perampasan barang serta pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya tegak atau berfungsinya norma hukum seacara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua obyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang melakukan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan dan memastikan tegaknya hukum, apabila diperlukan aparat penegakan hukum diperkenankan menggunakan daya paksa.

2

Tri Andrisman. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP (Universitas Lampung:Bandar Lampung. 2008) h. 13


(13)

Mengingat demikian banyaknya instansi (stuktur kelembagaan) dan pejabat (kewenangan) yang terkait dibidang penegakan hukum tampaknya memerlukan peninjauan dan penataan kembali seluruh stuktur kekuasaan/kewenangan penegakan hukum. Jadi refomasi penegakan hukum mengandung arti reformasi kekuasaan/kewenangan di bidang penegakan hukum3.

Dewasa ini banyak terjadi kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana penimbunan pupuk bersudsidi, hal tersebut dapat kita lihat kasusnya pada Putusan Pengadilan No. 94/Pid B/2009/PNKLD. Bahwa terdakwa Supriyanto (44) pada hari selasa tanggal 16 Desember 2008 sekitar jam 20.00 WIB bertempat di Dusun Harjosari RT/RW 04/05 Desa Merbau Mataram Kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yang dengan sengaja memperjual belikan pupuk urea bersubsidi tidak sesuai peruntukannya. Hal tersebut terungkap dalam sidang tuntutan perkara penimbunan pupuk bersubsidi di Pengadilan Negeri Kalianda yang dipimpin Majelis Hakim Chandra Gautama SH. Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan terdakwa dan barang bukti serta petunjuk yang terungkap di persidangan ternyata terdapat persesuaian satu sama lain yang menunjukkan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana dalam dakwaan Pasal 6 ayat (1) huruf b jo Pasal (1) sub 3e Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi jo Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 prp 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan ; maka oleh karena itu

3

. Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggukangan Kejahatan


(14)

pengadilan berkesimpulan dan berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ; dengan sengaja menyimpan atau menimbun dan memperjual-belikan pupuk urea bersubsidi tidak sesuai peruntukannya ; dan pengadilan tidak melihat atau menemukan baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat dijadikan dasar untuk menghapuskan kesalahan terdakwa, maka berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf b jo pasal 1 sub 3e Undang - Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi jo Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 prp 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan, maka terdakwa tersebut harus dijatuhi pidana ; penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp. 100.000,00 subsidier kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan.

Atas dasar latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul: „’ Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penimbunan Pupuk

Bersubsidi (Studi pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)’’

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi (Studi pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)?


(15)

b. Apakah faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi (Studi pada Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kalianda)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan skripsi ini dibatasi pada penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi dan faktor penghambatnya, sedangkan dari sisi wilayah hukum dibatasi pada Kepolisian Resor Lampung selatan, Kejaksaan Negeri Kalianda dan Pengadilan Negeri Kalianda.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

c. Untuk mengetahui dan memahami penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

d. Untuk mengetahui dan memahami faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis yaitu: a. Secara teoritis adalah untuk memperluas cakrawala berfikir bagi penulis serta

untuk memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.


(16)

b. Secara Praktis adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pembinaan hukum nasional khususnya dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi

2. Tahap Aplikasi

3. Tahap Eksekusi

Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan system pemidanaan, pada hakekatnya merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua

4


(17)

adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum pidana5.

Penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara preventif dan represif. Yaitu : 1) Non Penal

Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.

2) Penal

Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum6.

Penegakan hukum yang berkeadilan sarat dengan etis dan moral. Penegasan tidak beralasan selama kurun waktu lebih dari empat dasawarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian hukum dan hidup dalam intimitas yang tidak sempurna antar sesama. Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana karena didalamnya terlibat subyek yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing. Faktor moral sangat penting dalam menentukan corak hukum

5

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum

Pidana (PT. Citra Adtya Bakti : Bandung. 2005) h. 30

6

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum


(18)

suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin terwujud.

Penegakan hukum adalah sarana yang didalamnya terkandung nilai atau konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan kandungan hukum bersifat abstrak. Penegakan hukum secara konkret merupakan berlakunya hukum positif dalam praktek sebagaimana sehausnya dipatuhi. Oleh karena itu keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.7

1. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti atau ingin diketahui.8

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam skripsi ini, maka di bawah ini ada beberapa konsep yang

7

Soerjono Soekamto. Pengantar Penelitian Hukum (UI Press: Jakarta. 1986) h. 125

8 ibid


(19)

bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan acuan dalam memahami skripsi ini.

Adapun pegertian dasar yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Penegakan Hukum adalah penerapan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan ketentuan normatif baik dalam bentuk kegiatan aplikasi maupun eksekusi9

b. Pelaku adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan10

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut11

d. Penimbunan adalah proses, cara, perbuatan menimbun; pengumpulan (barang-barang)12

e. Pupuk Bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah disektor pertanian (pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 Tentang Penetapan Barang Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan )

A. Sistematika Penulisan

9

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum

Pidana (PT. Citra Adtya Bakti : Bandung. 2005) h. 57

10

KUHP, Pasal 55 ayat (1)

11

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Rajawali Press: Jakarta. 1986) h. 54

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke III (Balai


(20)

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan Latar Belakang dari penulisan. Permasalahan dan Ruang Lingkup untuk mencapai Tujuan dan Kegunaan Penelitian selanjutnya diuraikan mengenai Kerangka Teoritis dan Konseptual yang diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan mengenai penegakan hukum Pidana, pengertian hukum pidana, pengertian tindak pidana.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dilakukan untuk memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.


(21)

Merupakan bab yang menjelaskan tentang pokok masalah yang akan dibahas yaitu analisis yuridis penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi dan faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

V. PENUTUP

Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran-saran penulis mengenai apa yang harus kita tingkatkan dari pengembangan teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelitian demi perbaikan dimasa mendatang.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum Pidana

Pencapaian supremasi hukum yang kita harapkan, bukan dari faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyarakat.

Arah kebijakan dibidang hukum yang ditetapkan dalam GBHN 1999 pada dasarnya ditujukan untuk menegakkan kembali supremasi hukum melalui penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen. Untuk mendukung penegakan hukum yang benar-benar optimal, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh antara lain, yaitu pembaharuan peraturan Perundang-undangan mengenai pupuk bersubsidi.

Langkah utama dalam rangka pembaharuan peraturan perundang-undangan adalah dengan mencabut atau menyempurnakan dan menetapkan peraturan perundang-undangan baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian diharapkan peraturan perundang-undangan yang


(23)

baru atau yang telah disempurnakan tersebut akan benar-benar dapat dijadikan pedoman atau pegangan bertindak bagi aparat penyelenggara negara dan setiap anggota masyarakat.

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy’’ (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai1.

Penetapan prioritas dari pencabutan, penyempurnaan, dan penetapan peraturan perundang-undangan baru terutama ditujukan untuk mendukung pemulihan ekonomi yang meliputi bidang pertanian, industri, dan perdagangan. Komponen struktur ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum, lembaga-lembaga tersebut mempunyai pelekatan, fungsi-fungsi tersendiri itu antara lain adanya Lembaga Pemasyarakatan bahkan termasuk lembaga penasehat hukum. Secara lebih mendalam lagi, masing-masing lembaga tersebut memiliki undang-undang sendiri sebagai dasar hukum bekerjanya, disamping undang-undang hukum pidana.

Penegak hukum itu sendiri sebenarnya merupakan pembuatan keputusan dalam fungsinya penegakan hukum. Karena penegak hukum menempatkan diri digaris depan dalam pengambilan keputusan, maka mereka mempunyai kedudukan penting dalam proses kriminalisasi, yaitu memulai menggerakkan sistem

1

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Citra Aditya Bakti : Bandung.


(24)

peradilan pidana yang dapat menghasilkan seseorang disebut dan diperlakukan sebagai penjahat. Artinya, penegak hukum dapat mencatat, memanggil, memberi teguran, mendamaikan, mengusut, menahan, melepaskan atau sama sekali tidak menanggapi laporan. Dengan demikian penegak hukum memiliki keleluasan dalam memilih tindakan yang diambil terhadap pelaporan atau orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan. Namun perlu dicatat, bahwa adalah keliru untuk menyamakan begitu saja antara diskresi dengan kesewenang-wenangan atau berbuat sekehendak hati.

Pilihan penegak hukum terhadap salah satu tujuan organisasi akan berpengaruh terhadap skala prioritas kejahatan yang akan ditanggulangi. Pilihan terhadap tujuan mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, akan memberi prioritas penanggulangan terhadap kejahatan yang dapat mengancam dan mengganggu Kamtibnas.

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum terrtentu untuk memaksakan sanksi guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang diumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.di dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870-1874) salah


(25)

seoarang tokoh Sosiological Juisprudence, hukum adalah as a tool of social engineering disamping as a tool of social control2.

B. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, yang dilakukan dengan suatu maksud, serta terhadap perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan sudah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya itu, maka ia tidak dapat dipidana. Selanjutnya untuk menguraikan pengertian tindak piadana ini dikemukakan pendapat para sarjana atau para pakar hukum , antara lain:

1. Pompe, memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang yang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum3

2. Simons, memberikan pengertian bahwa tindak pidana adalah “kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum,

2 Satjipto Raharjo. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis

(Genta Publishing:Yogyakarta. 2004) h. 21

3


(26)

yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang

mampu bertanggungjawab”4

3. Moeljatno, memberikan pengertian perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbutan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar

larangan tersebut”5

4. Wirjono Prodjodikoro, memberikan pengertian tindak pidana adalah “suatu

perbutan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”6

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar hukum diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat dalam memberikan definisi mengenai tindak pidana itu sendiri. Moeljatno merumuskan merumuskan unsur-unsur perbutan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

A. perbuatan (manusia);

B. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); dan

C. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)7

Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini merupakan

4

Moelyatno. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta. 1993) h. 5

5ibid

. h. 54

6

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Eresco : Bandung. 1986) h. 55

7


(27)

konsekuensi logis dari asas legalitas sebagai prinsip kepastian. Perumusan delik

dalam KUHP biasanya dimulai dengan kata “barangsiapa” kemudian diikuti

penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang diperintahkan oleh undang-undang.

C. Pengertian Penimbunan Pupuk Bersubsidi

Hak dan kewajiban produsen pupuk bersubsidi yaitu menjamin kelancaran arus barang melalui penyederhanaan prosedur penebusan pupuk dalam mendukung kelancaran pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi, hak dan kewajiban distributor pupuk bersubsidi yaitu melaksanakan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan produsen dan bertanggung jawab atas kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah penyalurannya, sedangkan hak dan kewajiban pengecer pupuk bersubsidi yaitu melakukan penyaluran pupuk bersubsidi secara langsung hanya kepada petani atau kelompok tani sesuai dengan peruntukannya.

Penimbunan adalah proses, cara, perbuatan menimbun; pengumpulan (barang-barang)8. Sedangkan Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan

penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan di tingkat pengecer resmi atau kelompok tani. bahwa guna mengawasi pengadaan dan penyaluran pupuk yang memperoleh subsidi, dipandang perlu menetapkan pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan.

Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan Tindak Pidana Ekonomi (TPE) yang diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt tentang Pengusutan,

8


(28)

Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Didalam UUTPE tidak terdapat pengertian mengenai tindak pidana ekonomi, melainkan hanya berupa suatu perumusan bersifat kategoris, maksudnya yang ada adalah peraturan, baik yang berupa ordonanntie, verordening, undang-undang yang ditentukan maupun peraturan pemerintah yang ditentukan dalam pasal 1 UUTPE sebagai tindak ekonomi9.

Pelaksanaan Pasal 3 Peraturan Presiden RI No.77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang Dalam Pengawasan, serta untuk menjamin terciptanya kelancaran pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008 mengenai Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian yang menegaskan tanggung jawab Produsen, Distributor, Pengecer dan pengawasan terhadap pelaksanaan di lapangan.

Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan Tindak Pidana Ekonomi (TPE). Hal tersebut dikarenakan pupuk bersubsidi merupakan salah satu jenis barang yang diawasi oleh pemerintah. Pengawasan peredaran pupuk bersubsidi diperlukan untuk membantu para petani dalam upaya peningkatan produksi tanaman pangan maupun upaya untuk meningkatkan produksi tanaman perkebunan.

Pupuk bersubsidi hanya dapat disalurkan oleh distributor dan pengecer resmi, dimana dalam penyimpanan pupuknya sendiri dilakukan didalam gudang. Dimana

9

Tri Andrisman. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP (Universitas Lampung: Bandar Lampung.


(29)

didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perubahan Undang-Undang No.. 2 Prp Tahun 1960 Tentang Pergudangan menjadi Undang-Undang, bahwa: Pemilik dan/atau penguasa gudang diwajibkan :

a. mendaftarkan gudangnya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

b. mengadakan administrasi yang teratur dan cukup jelas dari keluar masuknya barang-barang digudangnya sehingga dapat diketahui asal dan harga pembelian serta tujuan dan harga penjualan barang-barang, agar dapat mudah diikuti jalannya peredaran barang-barang tersebut;

c. memberi segala keterangan mengenai persediaan dan mutasi barang-barang perniagaan yang diminta oleh Menteri Perdagangan dan/atau instansi-instansi Pemerintah yang berwenang dalam hal ini.

d. ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak dikenakan/berlaku bagi lumbung-lumbung Desa yang biasa digunakan untuk menyimpan padi.

Mengenai subjek hukum dalam tindak pidan ekonomi diatur pada pasal 15 ayat(1) UUTPE :

Jika suatu tindak pidana ekonomi oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman penjara serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, orang atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memeberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu, atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun kedua-duanya.


(30)

Berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat (1) di atas, dapat diketahui bahwa dalam hal terjadi tindak pidana ekonomi, maka subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan adalah

1. badan hukum

2. orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin ; atau ;

3. kedua-duanya.

Subjek hukum tindak pidana ekonomi adalah : 1. orang

2. badan hukum

Selain harus terdafdar secara resmi, dalam melakukan penyimpanan seperti menyimpan pupuk pun, dilarang menyimpan barang dalam gudang melebihi jangka waktu yang diterapkan oleh Menteri Perdagangan. Jika terjadi penyimpanan pupuk bersubsidi di gudang melebihi kapasitas dan jangka waktu yang diperbolehkan, maka pemilik (distributor/pengecer) atau penanggungjawab gudang dapat dikenakan sanksi pidana maupun administratif karena hal tersebut dapat dirumuskan sebagai perbuatan menimbun pupuk bersubsidi.

Jika terjadi tindak pidana ekonomi, yang berhak untuk menyidik atau dalam tindak pidana ekonomi adalah sebagai pengusut yaitu, ketentuan pasal 17 ayat (1) UUTPE, maka pejabat yang berwenang mengusut atau menyidik tindak pidana ekonomi terdiri dari :

1. Polisi


(31)

3. Jaksa

4. Petugas tertentu yang ditunjuk oleh Presiden cq. Menteri.

Petani adalah profesi paling banyak ditekuni masyarakat Indonesia. Meskipun kebijakan pemerintah kadang kurang berpihak kepada petani, namun selama ini petani tetap saja turun ke sawah untuk menanam padi. Apalagi demografi petani di Indonesia sebagian besar hanya menjadi buruh dan tidak memiliki lahan garap sendiri. Sehingga ketika harga jual komoditas tanamnya jatuh mereka hanya bisa meratapi nasibnya dan berharap kerugian yang disandangnya tidak terlalu besar.

Kesejahteraan petani sebagian besar masih di bawah standar. Walaupun begitu, mereka tetap saja menggeluti profesi itu tanpa pernah mengeluh. Petani hanya berharap kebijakan yang dikeluarkan bisa membuat petani bahagia dan melanjutkan aktivitasnya pada musim tanam berikutnya. Untuk itulah, pemerintah harus menegakkan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Soerjono Soekanto menyatakan agar suatu kaedah hukum atau peraturan tertulis benar-benar tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit empat faktor, yaitu (1) kaedah hukum atau peraturan itu sendiri; (2) petugas yang menegakkan atau yang menerapkan;(3) fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum; (4) warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut .

Pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu baik ditinjau dari sudut kehidupan nasional maupun internasional .


(32)

Muladi juga menemukakan beberapa karakteristik operasional atau fungsionalisasi hukum pidana materiil di masa mendatang. Beberapa karakteristik tersebut menurut adalah sebagai berikut:

a. Hukum pidana mendatang, dibentuk tidak hanya sekedar alasan sosiologis, politis dan praktis, namun secara tidak sadar harus disusun dalam kerangka ideologi nasioanal.

b. Hukum pidana mendatang harus memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.

c. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab.

d. Hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif (sebagai bagian dan politik kriminal dan penegakan hukum)

e. Hukum pidana mendatang harus tanggap terhadap perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsi didalam masyarakat10

Berdasarkan kelima karakteristik operasional hukum pidana materiil yang dikemukakan oleh Muladi di atas, dapat dikatakan bahwa ketiga macam keberlakuan kaedah merupakan prasyarat berfungsinya suatu kaedah hukum.

E. Tinjauan Terhadap Undang - Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

10


(33)

Upaya-upaya sosial sosial baik secara preventif maupun represif merupakan bagian dari upaya-upaya penegakan hukum. Penegakan hukum adalah cara hukum itu ditegakkan serupa pemilihan sarana apa yang dipandang paling efektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan (Sudarto, 1986:106). Dalam arti singkat penegakan hukum merupakan suatu sistem aksi atau sistem proses untuk menjalankan hukum. Dalam arti sempit penegakan hukum adalah menjalankan hukum. Sedangkan dalam arti luas adalah menjalankan hukum yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara, yang terdiri atas pengertian polisi, kejaksaan dan kehakiman, sedangkan pengertian tidak terbatas adalah tugas-tugas dari pembentukan hukum atau undang-undang, hakim, jaksa, polisi, aparat pemerintah, pamong praja, lembaga pemasyarakatan dan aparat eksekusi lainnya.

Secara khusus dalam bidang hukum pidana penegakan hukum merupakan proses pelaksanaan hukum untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum bertentangan dengan melawan hukum. Menentukan tentang perbuatan melanggar hukum itu terjadi sesuai dengan ketentuan hukum pidana formil. Masalah penegakan hukum adalah cara bagaimana cara hukum itu ditegakkan berupa pemilihan sarana apa saja yang dipandang paling obyektif dan bermanfaat untuk mencapai tujuan.

Penimbunan pupuk bersubsidi merupakan Tindak Pidana Ekonomi (TPE), dimana tata cara tata cara pengusutan TPE diatur dalam Bab III sampai dengan pasal 26 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Istilah pengusutan dalam UUTPE sebenarnya sama dengan istilah penyidikan dalam KUHAP. Digunakan istilah pengusutan karena sewaktu UUTPE dibuat, hukum acara pidana yang


(34)

berlaku adalah HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), dan pada masa itu HIR menggunakan istilah pengusutan untuk menyebut istilah penyidikan. Serta dengan berlakunya KUHAP, maka HIR tidak berlaku lagi, dengan demikian hukum acara pidana yang dipakai oleh UUTPE adalah KUHAP.

pengertian pengusut yang pada umumnya dibebani pengusutan tindak pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) UUTPE tidak dapat hanya dikaitkan dengan pengertian penyidik seperti yang terdapat pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP, tetapi juga harus dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP menerangkan kalau yang dimaksudkan dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu adalah antara lain termasuk juga Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dan berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUTPE maka pejabat yang berwenang mengusut tindak pidana ekonomi terdiri dari:

1.Polisi

2.PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 3.Jaksa

4.Petugas tertentu yang ditunjuk oleh Presiden cq. Menteri11

Penuntutan dalam perkara TPE adalah Jaksa Ekonomi, hal tersebut ditentukan dalam pasal 35 UUTPE yaitu:

1. Pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang

11


(35)

semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi.

2. Pengadilan tersebut pada ayat (1) Pengadilan Ekonomi.

Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi adalah menggunakan hukum pidana sebagai sanksinya yang berupa pidana. Jika ada yang sampai tertangkap menimbun pupuk, pelaku harus dihukum berat. Karena sudah membuat harga pupuk melambung tinggi dan menyusahkan petani. Faktor penegak hukum terutama hukum pidana memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum pidana itu sendiri, kalau peraturan sudah baik, akan tetapi kualitas petugasnya kurang baik, maka kemungkinan besar akan timbul masalah.

UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk defenisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi.

Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum


(36)

acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP).

Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi

pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi

pidana ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No 7 Drt 1955’

Tindakan tatatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada dibawah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila hakim tidak menentukan lain.12

Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.

Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan, yaitu :

12


(37)

1. UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap ketentuan Pasal (1) sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal (6) ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.

2. UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu :

a. memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;

b. menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;

c. melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).

3. UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1. Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif.


(38)

III. METODE PENELITIAN

Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah dan menyimpulkan data yang dapat memecahkan suatu permasalahan1

A. Pendekatan Masalah

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris yang dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek dan mengenai pelaksanaannya.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data berasal dari dua sumber yaitu data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data berupa data primer dan data sekunder:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di lapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden,

1


(39)

dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penelitian.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian.

Data sekunder tersebut meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu, yaitu terdiri dari ketentuan perundang-undangan:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang No. 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan hukum primer yang berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain, yang merupakan peraturan pelaksana yang menerangkan lebih lanjut dari bahan hukum primer, yaitu:

1. Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan.

2. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 21/M-DAG/Per/VI/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.


(40)

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang meliputi: literatur, kamus besar bahasa Indonesia, karya-karya ilmiah, bahan seminar, surat kabar dan pendapat para ahli sebagai pelengkap.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejalah atau seluruh unit yang akan diteliti2. Objek dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga yang menangani penimbunan pupuk bersubsidi di propinsi Lampung. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode

purpossive sampling, yaitu menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi dengan masalah yang hendak diteliti dengan menggunakan metode ini diharapkan penelitian dapat dengan mudah mengetahui permasalahan yang ada dan dengan metode ini juga kemungkinan dapat mewakili dan menjawab semua permasalahan.

Sampel dalam penelitian ini yang akan dijadikan responden sebagai berikut:

a. Polisi Kepolisian Resort Lampung Selatan : 2 orang

b. Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda : 2 orang

c. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 2 orang

Jumlah 6 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

2

Ronny Hanitijo Soemitro. Metedologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia.


(41)

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian menggunakan dua cara, yaitu a. Prosedur pengumpulan data

1.Studi lapangan (field research) ini dilakukan dengan maksud memperoleh data primer yaitu dilakukan dengan mengadakan studi lapangan pada Kepolisian Resor Lampung Selatan, Kejaksaan Negeri Kalianda dan Pengadilan Negeri Kalianda. Metode yang digunakan dalam memperoleh data primer ini adalah wawancara, yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu.

2.Studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu dengan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku atau referensi dan menelaah peraturan perundang-undangan, juga informasi lainnya yanga ada hubungannya dengan penelitian.

b. Prosedur Pengolahan Data,

1. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekyrangan dan kesalahan.

2. Evaluasi, yaitu kegiatan memeriksa atas kelangkapan data, kejelasannya, konsistensinya dan relevansinya terhadap topik penulisan skripsi ini.


(42)

3. Sistematisasi Data, yaitu berupa penyajian uraian dalam bentuk kalimat secara sistematik sehingga memiliki arti, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yang menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran sebagai rekomendasi.


(43)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi yang terjadi dilaksanakan melalui dua jalur yaitu, jalur non penal dan penal. Jalur non penal lebih menitikberatkan pada upaya preventif, yaitu dengan lebih diarahkan kepada sifat sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur tentang penimbunan pupuk bersubsidi. Sedangkan jalur penal yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan atau tindak pidana, dengan dilakukannya penyidikan oleh kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan untuk selanjutnya dapat diproses melalui Pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

2. Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi antara lain:

a. Undang-undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau UUTPE masih bersifat Undang-Undang Darurat sehingga pengaturan dan penjatuhan sanksi pidananya


(44)

perlu diperbaharui karena masih menggunakan sistem Undang-Undang Dasar Sementara, kemudian unsur-unsur kurang jelas sehingga tidak bisa membuat jera.

b.Faktor aparat penegak hukum, yaitu berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan, penegak hukum sepertinya menilai persoalan ini ringan. Selain itu, personil yang khusus menangani tindak pidana ini juga sedikit. Perhatian penegak hukum, khusus nya kepolisian lebih terfokus pada kejahatan-kejahatan konvensional seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, dll yang memang lebih sering terjadi dibandingkan tindak pidana khusus seperti tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi ini.

c. Faktor Sarana dan Fasilitas, dalam melaksanakan Patroli yang daya jangkaunya luas, Polres Lampung Selatan kekurangan mobil patroli, hal tersebut membuat anggota kepolisian tidak maksimal dalam melakukan patroli dan monitoring.

d. Faktor Masyarakat, Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah menjadikan penegakan hukum terhadap penimbun pupuk bersubsidi akan sulit dilakukan. Hal tersebut tentu saja akan merugikan bagi keberlangsungan kehidupan hukum, sebab hukum telah kehilangan salah satu subjek yang terpenting dalam penegakan hukum yaitu peran serta masyarakat dalam kontrol sosial.

e. Faktor Kebudayaan, budaya masyarakat yang kurang peduli untuk melaporkan adanya penimbunan pupuk bersubsidi oleh distributor atau pengecer yang tidak resmi. Masyarakat cenderung menganggap polisi lah


(45)

yang harus aktif dalam menegakkan hukum dalam tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :

A. Saran

1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi dari segi sosialisasi peraturan mengenai pupuk bersubsidi (preventif) harus lebih sering dilakukan oleh aparat kepolisisan beserta lembaga-lembaga hukum lainnya yang berkaitan dengan pengadaan pupuk bersubsidi serta penjatuhan sanksi dengan penggunaan Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1959 (represif).

2. Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pupuk bersubsidi dari segi Undang-undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau UUTPE masih bersifat Undang-Undang Darurat sehingga pemerintah harus segera merevisi UUTPE agar sanksi lebih berat sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek jera, penambahan dan pelatihan personil aparat penegak hukum kepolisisan dan lembaga terkait yang khusus menangani tindak pidana ekonomi, sarana dan fasilitas yaitu dengan menambahkan peralatan yang lebih canggih, Faktor masyarakat banyak yang belum memahami bahwa penimbunan pupuk bersubsidi merupakan tindak pidana ekonomi sehingga perlu adanya penyuluhan hukum oleh pemerintah terutama daerah terpencil yang mayoritas penduduknya petani, kebudayaan


(46)

masyarakat yang kurang peduli untuk melaporkan adanya penimbunan pupuk bersubsidi harus diubah dengan mengajak peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana sehingga kedepannya masyarakat lebih aktif.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2006. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung. ---, 2008. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Ashofa, Burhan, 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Edisi III. Balai Pustaka Jakarta.

Moelyatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Nawawi arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Pers, Jakarta. ---, 1984. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, dan Srimamuji, 1985. Penelitian Hukum. PT Rajawali. Jakarta Universitas Lampung. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Lampung.

University Press. Bandar Lampung. Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.


(48)

Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan.

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. www.google.com/acsespunya.multiply.com/journal.


(49)

(50)

(51)

(52)

(53)

(1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pupuk

Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan.

Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 21/M-DAG/PER/6/2008 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. www.google.com/acsespunya.multiply.com/journal.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)