9 menyangkut hak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup, yakni
pangan, sandang, kesehatan, pekerjaan, serta pendidikan.
20
Perlindungan terhadap martabat manusia itu sejalan dengan konsep negara hukum. Wiryono Projodikoro
21
sebagaimana dikutif Bahder Johan Nasution, mendefinisikan negara hukum, dimana para penguasa dalam melaksanakan tugas
kenegaraannya terikat dengan hukum.
22
Perlindungan terhadap martabat manusia ini sejalan dengan konsep negara hukum, dimana Indonesia merupakan negara
hukum lihat; UUD NRI 1945.
23
Sesuai pengertian di atas perlindungan HAM sebagai prinsip esensial negara hukum, sejalan dengan sistem konstitusional
Indonesia yang dibangun berdasarkan atas negara hukum dan perlindungan HAM.
24
2. Relasi Agama dan Negara
Persoalan yang kerap mungundang perdebatan dalam sistem politik modern adalah membangun relasi antara agama dan negara. Secara teoritis, relasi agama
dan negara didefinisikan secara beragam. Ran Hirschl mengategorikan relasi agama dan negara kedalam delapan model yakni; model negara ateis, model
20
Secara ontologis, para filsuf Yunani, Skolastik, dan Arab, menyatakan manusia adalah makhluk istimewa. Pada abad ini Max Scheler mengetengahkan bahwa manusia merupakan suatu
makhluk rohani yang melebihi makhluk-makhluk lainya karena akal budinya yang transenden. Lihat, Theo Huijbers, Filsafat Hukum......., 97-98.
21
Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia Jakarta; Dian Rakyat. 1971, hlm. 10 .
22
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung; Mandar Maju, cet 3, 2014 hlm. 1.
23
Sayuti, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia......... 24 Lihat, Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Jakarta; Pustaka Utama Grafiti , 2008 hlm. 36.
Lihat juga Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional di Indonesia Disertasi Pada Universitas
Padjajaran Bandung, 2006, hlm. 6.
10 sekuler tegas assertive,
25
model pemisahan netralitas negara terhadap agama, model agama dalam posisi lemah,
26
model pemisahan formal namun pengunggulan satu agama, model pemisahan akomodatif multikultural,
27
model wadah keagamaan, dan terakhir model agama sebagai sumber hukum negara.
28
Selain delapan model di atas, ada pendapat yang lebih sederhana. Tedi Kholiludin mengutip J. Philip Wogaman, menyatakan empat bentuk relasi gereja
dan negara, yakni; model teokrasi,
29
model erastianisme,
30
model pemisahan agama dan negara ‟secara ramah‟ friendly,
31
dan model pemisahan agama dan negara tidak ramah unfriendly.
32
Musdah Mulia dan Luthfi Assyaukanie,
25
Cina merupakan negara yang termasuk dalam model pertama ini pada 1949 dan di Jamaica melalui gerakan Rastavara. Sementara model kedua menetapkan bentuk sekularisme yang
melampaui netralitas terhadap agama. Ran Hirschl, Comparative Constitutional Law and Religion dalam jurnal Research Handbooks In Comparative Law, editor: Tom Ginsburg, Rosalind Dixon,
Northampton, MA, USA, Edward Elgar Publishing Limited, 2011, hlm. 423.
26
Model ketiga ini menekankan pada keberimbangan negara terhadap agama. Sementara model keempat merupakan penunjukan suatu agama sebagai ‟agama negara‟. Sebagai contoh, kepala
negara Norwegia, seorang pemimpin gereja, Ran Hirschl, hlm. 424-427.
27
Model kelima ini menggambarkan sebuah negara yang memisahkan secara formal antara gereja dan negara tetapi secara politik ada hegemoni gereja atas Negara. Sementara model kelima
diterapkan umumnya pada masyarakat imigran terutama Kanada dengan merefleksikan komitmen terhadap multikulturalisme dan keragaman, Ran Hirschl, hlm. 430-431.
28
Model ketujuh ini, mengakui otonomi hukum adat untuk mengikuti tradisi mereka dalam wilayah hukum terutama dalam masalah hukum keluarga. Sementara model kedelapan ini
merupakan negara teokrasi yang tergambar pada masyarakat primitip seperti Tibet, sekte Mormon awal di Utah serta Iran, Lihat Ran Hirschl, hlm. 433-435
29
J. Philip Wogaman, Christian Persfectives on Politics, Kentucky; Westminster. John Knox Press. 2000, hlm. 250. Lihat juga, Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil
di Indonesia, Salatiga; Fakultas Teologi UKSW. 2014, hlm. 114.
30
Bentuk ini menggambarkan bahwa negara memiliki ‟agama resmi‟, agama yang mapan
dipenuhi hak-haknya sementara agama yang inferior haknya tidak dipenuhi. Lihat, Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia…… hlm. 115.
31
Menurut Tedi, model ini merupakan prinsip yang dipraktikan di Amerika Serikat. Prinsip tidak memapankan agama dalam konstitusi Amerika tidak harus dipahami sebagai suatu yang
negatif. Tedi Kholiludin, hlm. 116.
32
Model ini memisahkan secara legal antara agama dan negara dalam posisi yang antagonistik.
11 mengategorikan tiga kecenderungan relasi agama dan negara, yakni; model negara
agama, model agama sebagai spirit bernegara, dan model negara sekuler.
33
Nasaruddin Umar menyatakan, Indonesia bukan negara agama. Indonesia bukan pula negara yang mengakui adanya salah satu agama resmi.
34
Indonesia adalah negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya
diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia.
35
Ada pendapat menarik dari Sumanto Al-Qurtuby dengan mengutip pernyataan Rais Aam PBNU alm K.H
M.A Sahal Mahfudz yang mengatakan, meskipun negara dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-produknya harus
berlabelkan Islam. Agama cukup menjadi spirit dalam bernegara sehingga tujuan syariat untuk memelihara agama din, akal aql, jiwa nafs, harta mal dan
keturunan nasl terlaksana.
36
Bahkan negara tidak boleh intervensi terhadap keyakinan keagamaan. Negara tidak berhak turut campur terhadap internal keagamaan, negara hanya
dibolehkan melakukan intervensi terhadap agama dalam masalah ekspresi keagamaan. Jazim Hamidi dan M Husnu Abadi berpendapat bahwa campur tangan
33
Sarjana Indonesia sejatinya banyak yang merumuskan model relasi agama dan negara. Meskipun dalam jumlah model yang berbeda namun substansinya hampir sama. Namun pada
prinsipnya adalah “agama adalah agama”. Lihat, Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di Indonesia, jurnal RechtsVinding Online, hlm.2.
34
Karena tidak tegas apakah menganut sistem sekuler atau teokrasi ini Indonesia mengalami banyak persoalan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan.
35
Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, diambil dari situs resmi depag.go.id, Senin, 4 April 2015.
36
Sumanto Al-Qurthubi. Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta; Cermin: 2002, hlm. 86. Buku ini merupakan skripsi di IAIN Walisongo tahun 1999. Lihat juga Neneng Yani Yuningsih,
Pola Interaksi hubungan Antara Agama, Politik dan Negara pemerintah Dalam Kajian Pemikiran Politik Islam, hlm. 14-15.
12 negara terhadap agama hannya sebatas pada fasilitas, sarana, dan prasarana,
37
bukan menentukan sebuah kelompok keyakinan masuk pada kategori agama atau kepercayaan.
3. Perlindungan dari Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut Kepercayaan