T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha tidak lain
adalah untuk mendapatkan laba atau keuntungan ekonomis. Kegiatan usaha yang
dilakukan pun beraneka ragam bentuk dan jenisnya tergantung minat dan kemampuan
pelaku usaha tersebut dalam mengelola usahanya. Orang – orang yang memilih
menjadi pelaku usaha itu jumlahnya tidak sedikit sehingga secara otomatis
menimbulkan kompetisi atau persaingan antara para pelaku usaha tersebut.
Pengaruh persaingan terhadap aktivitas ekonomi sekurang – kurangnya bisa
dirumuskan dalam empat hal, yaitu :1
1. Pelaku pasar dituntut untuk terus memperbaiki produk dan/atau jasa yang
dihasilkannya;
2. Pelaku pasar dituntut untuk terus mengembangkan dan melakukan inovasi baru di
bidangnya;
3. Pelaku pasar didorong untuk memberikan produk dan/atau jasa yang terbaik bagi
konsumen;
4. Pelaku pasar didorong untuk menghasilkan produk dan/atau jasa secara efisien.
Menurut Van Apeldorn bahwa tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
secara damai.2 Maka untuk menjamin adanya persaingan yang sehat diantara para

pelaku usaha tersebut, diperlukan adanya norma hukum yang mengatur perilaku dari

1

Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: antara Kebutuhan Harmonisasi dan Potensi
Benturannya – Studi Transplantasi Doktrin yang dikembangkan dari Tradisi Common law pada Undangundang Perseroan Terbatas, Penerbit Griya Media, Salatiga : 2009, h. 20
2
C.S.T. Kansil dan Cristine Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, PT. Rineka Cipta,
Jakarta: 2014, h. 37

1

para pelaku usaha agar tidak terjadi konflik. Di sisi lain Mochtar Kusumaatmadja
mengungkapkan :

Hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan
kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan
atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam

arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.3
Oleh karena itu, untuk menjamin adanya dasar pedoman perilaku dari para
pelaku usaha dalam menjalankan usahanya maka haruslah dibentuk suatu produk
hukum atau peraturan perundang undangan yang khusus mengatur hal tersebut agar
tercipta kedamaian, keteraturan dan ketertiban. Satjipto Rahardjo juga pernah
mengungkapkan bahwa adanya peraturan dalam masyarakat merupakan conditio sine
qua non bagi berjalannya kegiatan ekonomi.4

Hukum yang mengatur mengenai persaingan usaha di negara Republik
Indonesia sekarang ini tertuang dalam produk hukum berupa Undang – undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(selanjutnya disebut UU Antimonopoli). Telah diketahui bahwa dalam pembentukan
UU Antimonopoli didasarkan pada pemikiran jaminan pembangunan bidang ekonomi
harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat, demokrasi dalam bidang
ekonomi bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi didalam proses produksi (non
diskriminasi) dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif

3


Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional , Penerbit
Binacipta, Bandung, 1995, h. 13
4
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan sosial, penerbit Masagung, Jakarta : 1990, h.2

2

dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi
pasar yang wajar di tanah air Indonesia.5
Pada tahun 2010, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
memeriksa dugaan pelanggaran Pasal 4 (oligopoli), Pasal 5 (penetapan harga) dan
Pasal 11 (Kartel) UU Antimonopoli berkaitan dengan Industri Minyak Goreng Sawit
di Indonesia yang diduga dilakukan oleh PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam
Permai, dan kawan – kawan (selanjutnya disebut Terlapor). Kemudian para Terlapor
tersebut dinyatakan terbukti telah melanggar Pasal 11 UU Antimonopoli berdasarkan
putusan Majelis Komisi yang diketuai oleh Dedie S. Martadisastra. Ada hal yang
menarik dan perlu diamati dalam putusan ini yaitu dalam pertimbangan putusan
tersebut Majelis Komisi menggunakan istilah indirect evidence sebagai bukti utama
telah terjadinya pelanggaran Pasal 11 UU Antimonopoli.

Dalam rumusan Pasal 11 UU Antimonopoli disebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Dari rumusan pasal tersebut kartel merupakan salah satu perjanjian
yang menggunakan konsep pendekatan rule of reason. Rule of reason adalah suatu
pendekatan yang menentukan bahwa meskipun suatu perbuatan telah memenuhi
rumusan undang – undang, namun jika ada alasan objektif yang dapat membenarkan

Baca bagian konsideran Undang – undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
5

3

perbuatan tersebut maka perbuatan tersebut bukan merupakan suatu pelanggaran. 6
Artinya penerapan hukum atas pelanggaran Pasal 11 Antimonopoli ditentukan oleh
akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan tersebut mempunyai akibat yang
dilarang yaitu terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Jadi,
meskipun ada kartel yang dilakukan oleh pelaku usaha, belum tentu secara serta merta

pelaku usaha telah berbuat suatu pelanggaran, pelanggaran itu terjadi ketika ada akibat
yang dilarang yaitu monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Susanti Adi Nugroho menjelaskan bahwa untuk menerapkan prinsip rule of
reason, tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum tetapi penguasaan terhadap

ilmu ekonomi.7 Pendapat dari Susanti tersebut tentu saja dapat diterima sebab untuk
menentukan ada atau tidaknya suatu akibat berupa persaingan usaha tidak sehat atau
monopoli sudah tentu diperlukan analisis ekonomi yang menggunakan metode tertentu
yang sejatinya dipelajari oleh para ahli ekonomi atau para sarjana ekonomi.
Putusan KPPU nomor 24/KPPU-I/2009 menjelaskan bahwa indirect evidence
terdiri dari :8
a. Bukti Komunikasi (communication evidence). Bukti komunikasi dapat berupa
fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak
terdapat substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam perkara
ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung
dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari
2009. Dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain
mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi;
b. Bukti ekonomi (economic evidence). Terdapat 2 (dua) tipe bukti ekonomi yaitu
bukti yang terkait dengan struktur dan perilaku. Dalam perkara ini, industri minyak

goreng baik curah dan kemasan memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada
6

Susanti Adi Nugroho., Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya , Penerbit Kencana, Jakarta : 2012, h.711
7
Ibid.
8
Putusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 24/KPPU-I/2009

4

beberapa pelaku usaha (oligopoli). Adapun bukti ekonomi yang berupa perilaku
tercermin dari adanya price parallelism.
c. Bukti Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam
kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan
atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.
Kemudian pada tahun 2011, para Terlapor dapat bernapas lega karena
Mahkamah Agung membatalkan putusan Majelis Komisi berdasarkan putusan
Mahkamah Agung nomor 582 K/PDT.SUS/2011. Pembatalan putusan Majelis Komisi

oleh Mahkamah Agung tersebut disebabkan karena menurut Majelis Hakim yang
mengadili menyatakan alat bukti indirect evidence tidak diatur dalam sistem perundang
undangan di Indonesia.
Indirect evidence atau sering juga disebut sebagai Circumstantial evidence

sendiri merupakan bukti yang didasarkan pada inferensi dan bukan pada pengetahuan
pribadi atau observasi.9 Dalam Black’s Law Dictionary edisi ke 9 dijelaskan bahwa
bukti tidak langsung diterapkan pada fakta pokok secara tidak langsung atau melalui
media fakta lain dengan mendirikan keadaan tertentu atau fakta kecil sudah
digambarkan sebagai pembuktian dari mana fakta pokok diekstraksi dan dikumpulkan
oleh proses inferensi khusus.10 Menurut A. B. Sidarta, inferensi adalah tindakan akal
budi berupa tindakan memunculkan sebuah proposisi yang dinamakan kesimpulan dari

9

Disari kembali dari Blacklaw 9th edition :circumstantial evidence. (18c) 1. Evidence based on
inference and not on personal knowledge or observation. - Also termed indirect evidence; oblique
evidence. Cf. direct evidence (1). [Cases: Criminal Law C=>338(2), 552; Evidence C=>100,587.]2. All
evidence that is not given by eyewitness testimony. "Indirect evidence (called by the civilians, oblique,
and more commonly known as circumstantial evidence) is that which is applied to the principal fact,

indirectly, or through the medium of other facts, by establishing certain circumstances or minor facts,
already described as evidentiary, from which the principal fact is extracted and gathered by a process of
special inference ...." Alexander M. Burrill, A Treatise on the Nature, Principles and Rules of
Circumstantial Evidence 4 (1868).
10
ibid

5

atau berdasarkan proposisi (proposisi – proposisi) anteseden (premis atau premis premis).11 Circumstantial evidence atau indirect evidence atau bukti tidak langsung
masih terus menuai perdebatan di dalam hukum persaingan usaha, khususnya dalam
membuktikan adanya kartel. Ada beberapa pihak yang mendukung pembuktian ini
untuk diterapkan namun ada juga pihak yang tidak sependapat dengan alat bukti
tersebut dipakai untuk membuktikan adanya kartel antar pelaku usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) termasuk pihak yang setuju dan
sering menggunakan jenis bukti ini khususnya dalam perkara kartel. Dalam JFTC
KPPU Workshop: Indirect Evidence Kontroversi dan Analisanya dalam Hukum
Ekonomi, KPPU mengungkapkan bahwa penggunaan indirect evidence itu perlu atas
dasar bahwa pelaku usaha yang melakukan kolusi tidak lagi hidup di jaman batu,
dimana segala perjanjian harus dituangkan mentah-mentah di atas kertas

bertandatangan dan berstempel.12 Dalam upaya menjerat kartel di tengah-tengah
ketidakmungkinan menemukan hardcore evidence itulah, muncul sebuah evolusi
pembuktian bernama Indirect Evidence13. Bukti-bukti secara tidak langsung tersebut
berupa hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan tool-tools ekonomi yang
memang secara ilmiah diakui dan bisa menunjukkan korelasi antara satu fakta dengan
fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan (kolusi) di dalamnya.14

11
B. Arief Sidharta, Pengantar Logika : Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah,
Refika Aditama, Bandung : 2008, h. 41
12
Diunduh dari http://www.kppu.go.id/id/blog/2012/03/indirect-evidence-kontroversi-dananalisanya-dalam-hukum-ekonomi tanggal 01, September 2016, 5:09:10 WIB
13
Ibid.
14
Menakar Kekuatan Circumstantial Evidence di Persaingan Usaha Diunduh dari :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53eb8b6298328/menakarkekuatancircumstantialevidencedi
persainganusaha tanggal 01 September, 2016, pukul 4:47:46 WIB

6


Pasal 42 UU Antimonopoli menyebutkan bahwa alat bukti terdiri dari:15
a.
b.
c.
d.
e.

keterangan saksi,
keterangan ahli,
surat dan atau dokumen,
petunjuk dan
keterangan pelaku usaha.
Dalam rumusan Pasal 42 UU Antimonopoli tidak disebutkan indirect evidence

sebagai salah satu jenis alat bukti dalam membuktikan adanya pelanggaran dalam
persaingan usaha. Lalu pertanyaan yang muncul adalah apa yang menjadi alasan
Majelis Komisi memutus suatu perkara kartel tanpa didasari alat bukti yang secara
tegas tertera atau tercantum dalam rumusan Pasal 42 UU Antimonopoli. Dalam UU
Pasal 42 Antimonopoli tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai alat bukti petunjuk

sehingga semakin membuat para penegak hukum kesulitan untuk memahami indirect
evidence sebagai alat bukti petunjuk.

Menurut KPPU alat bukti petunjuk merupakan indirect evidence yang dapat
diterima dalam hukum persaingan. Di

Australia, untuk menentukan adanya

kesepakatan (meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya
perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstantial
evidence) bisa dipakai yakni berupa petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk

tindakan bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang

15

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat

7

serupa (dalam kasus price fixing) dan lain sebagainya.16 Penjelasan mengenai alat bukti
petunjuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 UU Antimonopoli kemudian
dicantumkan dalam Pasal 72 ayat (3) Peraturan Komisi Persaingan Usaha nomor 1
Tahun 2010 yang berbunyi sebagai berikut : 17 Petunjuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan
diyakini kebenarannya.
Penjelasan mengenai alat bukti petunjuk dalam Peraturan Komisi nomor 1
Tahun 2010 ini pun juga masih tidak menemukan jalan keluar berupa kesepahaman
antara Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Mahkamah Agung. Hal ini
dibuktikan dengan adanya putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tahun 2011
dalam memeriksa perkara kartel minyak goreng yang membatalkan putusan Majelis
Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 24/KPPU-I/2009. Ketidak sepahaman
antara Majelis Hakim Komisi dengan Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat
mengakibatkan adanya iklim praktek penegakan hukum yang kurang baik di negara
ini. Walaupun telah diketahui bersama bahwa Mahkamah Agung mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pada Majelis Komisi, hal ini tidak serta merta
mengakibatkan pendapat dari Majelis Komisi tidaklah mempunyai dasar hukum yang
perlu dipertimbangkan secara seksama dari segi keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

16

Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, Kurnia Toha, L. Budi Kagramanto, M. Hawin,
Ningrum Natasya Sirait, Sukarmi, Syamsul Maarif, Udin Silalahi, Hukum Persaingan Usaha Antar Teks
dan Konteks, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta : 2009, h.329
17
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara

8

Menurut penulis kiranya khusus dalam pembuktian atas dugaan pelanggaran
kartel antar pelaku usaha para hakim dapat mempertimbangkan jenis pembuktian
circumstantial evidence atau indirect evidence sebagai salah satu alat bukti dalam

mengungkap kegiatan kartel, karena dalam perkara kartel selain membuktikan adanya
kesepakatan, hakim juga perlu untuk melihat akibat yang ditimbulkan dari kartel
trersebut apakah merugikan publik atau tidak.
Atas dasar pernyataan yang sudah penulis ungkapan di atas, maka penulis
mempunyai inisiatif untuk meneliti masalah hukum yang terjadi dalam penegakan UU
Antimonopoli terkait penggunaan jenis pembuktian circumstantial evidence atau
indirect evidence sebagai salah satu jenis alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 42 UU

Antimonopoli dalam bentuk tesis dengan judul : CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE
DALAM MEMBUKTIKAN ADANYA KARTEL DI INDONESIA.

B. Rumusan Masalah
Dengan melihat adanya masalah dalam penggunaan konsep circumstantial
evidence pada kasus kartel, maka penulis perlu untuk merumuskan masalah agar

penulisan ini terfokus dan terarah pada masalah yang sudah diungkapkan pada latar
belakang masalah. Rumusan masalah yang penulis munculkan adalah:
1. Bagaimana konsep pembuktian kartel dalam Hukum Persaingan Usaha?
2. Apakah Circumstantial Evidence

dapat dijadikan salah satu cara untuk

membuktikan dugaan kartel di Indonesia?

9

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian hukum ini dimaksudkan untuk :
1. Menemukan serta menjelaskan konsep pembuktian kasus kartel dalam hukum
persaingan usaha.
2. Menemukan serta menjelaskan konsep circumstancial evidence dalam konteks
hukum persaingan usaha.

D. Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat baik dari segi teoritis
maupun segi praktek sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis. Manfaat penelitian ini sebagai upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya terhadap pelanggaran dibidang
persaingan usaha yang tidak sehat dan juga dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan para pembentuk undang – undang dalam usaha memperbaiki atau
merevisi undang – undang nomor 5 tahun 1999 agar dapat sesuai dengan
perkembangan jaman.
2. Kegunaan Praktis. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran atau sudut
pandang yang dapat menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam mengadili
perkara perdata khusus atas dugaan pelanggaran UU Antimonopoli

E. Metode Penelitian
Penulisan tesis ini dalam penelitiannya menggunakan metode penelitian hukum
normatif dengan menggunakan pendekatan undang – undang (statute aprroach) di

10

mana penulis akan menganalisa alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 42 UU
Antimonopoli kemudian dikaji dengan teori-teori hukum pembuktian secara umum
kemudian mengerucut pada sistem pembuktian dalam persaingan usaha. Kemudian
penulis juga menggunakan pendekatan konsep (concept approach) untuk mengurai
konsep pembuktian kartel dengan menggunakan circumstantial evidance. Selain yang
sudah disebutkan, penulis juga menggunakan pendekatan kasus (case approach)
sebagai analisa penulis terhadap putusan kartel yang pernah diputus oleh Majelis
Komisi KPPU. Oleh karena itu bahan – bahan hukum yang akan digunakan adalah :18
1. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari UU Antimonopoli, Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab undang-undang Hukum Acara
Perdata, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal 5 dan Pasal 11 Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang – undangan dan putusan hakim.
2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen – dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi : buku
– buku teks, kamus – kamus hukum, jurnal - jurnal hukum dan komentar –
komentar atas putusan pengadilan.

18

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Prenamedia, cetakan ke -12 Jakarta :
2016, h. 181

11