STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI MENGGUNAKAN METODE PRESTACK DEPTH MIGRATION (PSDM) PADA LINTASAN AK-213 DI DAERAH JAWA TIMUR BAGIAN UTARA

(1)

ABSTRAK

STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI MENGGUNAKAN METODE PRESTACK DEPTH MIGRATION

(PSDM) PADA LINTASAN AK-213 DI DAERAH JAWA TIMUR BAGIAN UTARA

Oleh

AAN KURNIAWAN

Telah dilakukan penelitian studi pencitraan struktur bawah permukaan bumi pada Lintasan AK-213 di daerah Jawa Timur Bagian Utara menggunakan metode Prestack Depth Migration (PSDM). Dengan tujuan untuk mendapatkan citra struktur bawah permukaan bumi yang lebih baik pada daerah dengan struktur geologi yang kompleks dan perubahan variasi kecepatan lateral yang tinggi dengan pembuatan model kecepatan interval yang akurat. Model kecepatan dibuat menggunakan konsep coherency inversion yaitu dengan melakukan penelusuran jejak gelombang tiap-tiap lapisan. Kecepatan interval yang didapatkan kemudian diaplikasikan pada PSDM untuk mendapatkan citra seismik berupa penampang seismik domain kedalaman. Citra seismik hasil dari PSDM pada lintasan AK-213 dibandingkan dengan citra hasil PSTM (Prestack Time Migration) berdasarkan penampakannya dan dengan menganlisis kecepatannya.

Citra seismik hasil PSDM menunjukkan peningkatan kualitas citra yang cukup signifikan, yaitu mampu mempertegas pola refleksi pada horizon dengan variasi kecepatan lateral yang besar dan memberikan resolusi yang lebih koheren dibandingkan citra seismik PSTM, serta mampu menghilangkan efek pull-up anomaly. Studi ini sangat membantu dalam pembuatan konsep eksplorasi dan pengembangan suatu daerah, khususnya untuk daerah dengan struktur geologi yang kompleks dengan perubahan variasi kecepatan lateral yang besar.

Kata Kunci : Prestack Depth Migration, Kecepatan Interval, Struktur Kompleks, Coherency Inversion.


(2)

ABSTRACT

STUDY OF SUBSURFACE IMAGING WITH PRESTACK DEPTH MIGRATION (PSDM) METHOD AT LINE AK-213

IN NORTH EAST JAVA

By

AAN KURNIAWAN

Prestack Depth Migration (PSDM) method has been applied to image the subsurface at Line AK-213 in North-East Java. The aim of this research is to image the subsurface at area with complex structure of geology and strong lateral velocity variation using more accurately interval velocity modeling. Interval velocity model is building with coherency inversion that is ray tracing for every layer. That interval velocity applied to PSDM to get seismic image section depth domain. PSDM seismic section at line AK-213 was compared with PSTM (prestack time migration) seismic section based on its image and velocity model analysis.

Seismic section of PSDM shows a significant image enhancement. It is able to assure the reflection pattern at the horizons with strong lateral velocity variations, makes image resolution more coherence than seismic section of PSTM, and reduces pull-up effect. This study is very valuable to build exploration concept and development area, especially in a complex structure with strong lateral velocity variations.

Keywords : Prestack Depth Migration, Interval Velocity, Strong Lateral Velocity Variations, Coherency Inversion.


(3)

STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN

BUMI MENGGUNAKAN METODE

PRESTACK DEPTH

MIGRATION

(PSDM) PADA LINTASAN AK-213

DI DAERAH JAWA TIMUR BAGIAN UTARA

(Skripsi)

Oleh

AAN KURNIAWAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(4)

Judul Penelitian : STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI MENGGUNAKAN METODE PRESTACK DEPTH MIGRATION (PSDM) PADA LINTASAN AK-213

DI DAERAH JAWA TIMUR BAGIAN UTARA

Nama : Aan Kurniawan

No. Pokok Mahasiswa : 0715051001 Jurusan : Teknik Geofisika

Fakultas : Teknik

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing, Pembimbing I,

Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T. NIP. 19700120 200003 1 001

Pembimbing II,

Dr. Ahmad Zaenudin, M.T. NIP.19720928 199903 1 001

2. Ketua Jurusan Teknik Geofisika

Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T. NIP. 19700120 200003 1 001


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T...

Sekretaris : Dr. Ahmad Zaenudin, M.T. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Muh. Sarkowi, S.Si., M.Si. ...

2. Dekan Fakultas Teknik

Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, DEA NIP. 19650510 199303 2 008


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah dilakukan orang lain, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini sebagaimana disebutkan dalam daftar pustaka, selain itu saya menyatakan pula bahwa skripsi ini dibuat oleh saya sendiri.

Apabila pernyataan saya ini tidak benar maka saya bersedia dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, 9 Mei 2012

Aan Kurniawan NPM. 07 15051 001


(7)

vii

RIWAYAT HIDUP

Aan Kurniawan, lahir di Balekencono, Lampung Timur pada tanggal 21 Maret 1989 dari pasangan Bapak Giran dan Ibu Sarmiyati, merupakan anak terakhir dari lima bersaudara.

Penulis mengenyam pendidikan formalnya dimulai tahun 1994 di TK PKK Balekencono. Kemudian dilanjutkan di SDN 1 Balekencono, Lampung Timur yang diselesaikannya tahun 2001, kemudian penulis lanjutkan di SMPN 1 Batanghari, Lampung Timur dan selesai pada tahun 2004. SMAN 1 Batanghari, Lampung Timur menjadi sekolah pilihan berikutnya yang ditamatkannya pada tahun 2007, sampai akhirnya pada tahun yang sama penulis tercatat sebagai mahasiswa SI Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung melalui jalur SPMB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis terdaftar dan aktif dibeberapa Unit Kegiatan Kemahasiswaan, salah satunya adalah HIMA TG, Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika Unila. Di tahun sebelumnya, 2009, penulis aktif di HMGI, Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia, dan sempat menjabat sebagai Sekretaris Divisi Dana dan Usaha untuk HMGI Regional Lampung. Di tahun 2010 penulis menjadi asisten Geologi Dasar dan Geologi Struktur. Selain di bidang keilmuan, penulis


(8)

viii

juga aktif mengikuti kegiatan organisasi positif lain, kerohanian dan jurnalistik misalnya. Tahun 2009 penulis diamanahkan menjadi Kepala Biro Pengembangan Dakwah di Rohani Islam (ROIS) Unila. Selama menjadi mahasiswa, penulis nyambi bekerja sebagai seorang penyiar radio di salah satu radio Star FM Bandar Lampung, serta di tahun 2010 penulis pernah mendapatkan penghargaan sebagai runner-up Duta Bahasa Provinsi Lampung. Sejak semester satu sampai dengan selesai, penulis terbebas dari biaya SPP, itu dikarenakan penulis mendapat beasiswa OutReach dari I-MHERE. Selain itu penulis juga pernah mendapatkan beasiswa PPA (Prestasi Pengembangan Akademik) pada tahun 2010 dan 2011.

Pada bulan Mei 2011, penulis melaksanakan Kerja Praktek (KP) di PT. Elnusa Tbk. Jakarta. Kemudian, dua bulan berikutnya, Juni dan Juli, penulis melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan Tugas Akhir di tempat yang sama ketika pelaksanakan KP. Hingga akhirnya penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di tahun 2012 tepatnya pada tanggal 7 Mei 2012 dengan skripsi yang berjudul “Studi Pencitraan Struktur Bawah Permukaan Bumi Menggunakan Metode Prestack Depth Migration (PSDM) Pada Lintasan AK-213 di Daerah Jawa Timur Bagian Utara”.


(9)

Doing The Best For Others Is

The Best Treat For Yourself

(Melakukan yang Terbaik untuk Orang Lain Berarti

Melakukan yang Terbaik untuk Diri Sendiri)


(10)

-Kepada

Ayahanda dan Ibunda Terhebat di Dunia

Ayah Giran dan Ibu Sarmiyati

Jikalau Syukur memiliki derajat lebih mulia dibanding Cinta,

Agar engkau tahu,


(11)

xi

SANWACANA

Segala puji bagi Allah SWT, berkat petunjuk-Nya Skripsi ini dapat diselesaikan Dan semoga keselamatan selalu bersama Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya. Amin.

Penelitian dalam skripsi ini dilakukan di PT Elnusa Tbk. Jakarta, Divisi Geoscience service, Unit Geodata Processing dan skripsi ini diberi judul ”Studi Pencitraan Struktur Bawah Permukaan Bumi Menggunakan Metode Prestack Depth Migration (PSDM) Pada Lintasan AK-213 di Daerah Jawa Timur Bagian Utara”. Peneliti menerapkan metode baru dalam mencitrakan struktur bawah permukaan bumi yang kompleks, yaitu PSDM dengan harapan didapatkan hasil pencitraan yang lebih baik.

Banyak pihak yang telah berperan serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. My beloved parents, Bapak Giran dan Ibu Sarmiyati, terima kasih atas kucuran keringat kerja kerasnya dan linangan air mata dalam doa-doanya. 2. Bapak R. Bagus Sapto M., S.Si., M.T., Ketua Jurusan Teknik Geofisika

Universitas Lampung dan sebagai Pembimbing I.

3. Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.T., Sekretaris Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung dan sebagai Pembimbing II.


(12)

xii

4. Bapak Dr. Muh Sarkowi, S.Si, M.Si., Pembantu Dekan III Fakultas Teknik dan sebagai Penguji.

5. Ibu Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A., Dekan Fakultas Teknik Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Drs. Suharno, M.Sc., Ph.D., Guru Besar Universitas Lampung dan Sebagai Pemibimbing Akademik.

7. PT. Elnusa Tbk. Divisi Geoscience service, Unit Geodata Processing sebagai perusahaan yang telah memberi kesempatan untuk melaksanakan penelitian Skripsi.

8. Bapak Bambang Avianthara, Manager Operasional Geodata Processing Division di PT Elnusa Tbk.

9. Bapak Hasan Nurudin, Leader Project PSDM dan pembimbing penelitian Tugas Akhir (Skripsi) di PT. Elnusa Tbk.

10. Kak Bastian, Pembimbing Lapangan, yang selalu sabar memberikan arahan dan bimbingannya, bahkan rela kami sita jam istirahatnya, terima kasih. 11. Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung, Mr.

Rustadi, Mr. Nandi Haerudin, Mr. Alimudin, Mr. Karyanto, Mr. Ordas Dewanto, Mr. Syamsurijal R dan Bunda Ana.

12. My best partner, Nugroho Fitri Atmaja, S.T., Teman diskusi, berbagi, seangkatan dan seperjuangan TA di Jakarta, terima kasih brother untuk persahabatan yang luar biasa.

13. Kak Ginanjar Satriawan, Kak Krisna Andhita, Kak Slamet Pujiono, Kak Adnan, Kak Iyep, Kak Cunuy, Mbak Minarti, Ibu yeni, Kak Fazrin, Mas


(13)

xiii

Jupe, Aksin, dan semua karyawan GDP PT Elnusa Tbk. lt. 14, terima kasih untuk diskusi, kebersamaan, bimbingan, serta motivasinya.

14. My beloved family, Mas Adi, Yuk Mis terima kasih atas dukungan material dan spiritual yang luar biasa. Kang Marno, Kang Yanto, Mbak Widi, Cindy, dan Ibu Sutiyah yang selalu memberikan dorongan, semangat, kepercayaan dan harapan kepada penulis.

15. My best friends, Geofisika 07 Yuni Iswati, Titin Silvia Sakti, Febrina Kartika, Alpan Prananta Barus, M. Yuza Riyadi, Ujang Suardi, Seruni Anjan Prasiwi, Ni Made Y. Megasari, Fitriani, dan Mukti Handayani, terima kasih kebersamaan dan persahabatnya. See you at the Top, kita pasti bisa mewujudkan impian kita semua, Amin.

16. Seluruh teman-teman Angkatan 2007, Fajrien, Rifai, Banu, Rahmat, Rangga, Nando, Ncep, Gunadi, Ariasman, Sinku, Lasmi, Nana, Devi, St, Rini, Kiki, dan seluruh adik-adik tingkat Teknik Geofisika Unila angkatan 2008, 2009, 2010, dan 2011.

17. Dan semua pihak yang telah ikut membantu dalam pembuatan skripsi ini.

Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat menambah referensi pengolahan data seismik dan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian berikutnya.

Bandar Lampung, 9 Mei 2012 Penulis


(14)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

HALAMAN MOTTO ... x

SANWACANA ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tujuan Penelitian ... 3

I.3. Batasan Masalah ... 3

I.4. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kerangka Tektonik ... 4

II.2. Tatanan Struktur ... 5

II.3. Stratigrafi Regional ... 8

II.4. Sistem Petroleum ... 10

III. TEORI DASAR III.1. Konsep Seismik Refleksi ... 12

III.1.1. Hukum Snellius ... 12

III.1.2. Prinsip Fermat ... 13


(15)

xv

III.2. Migrasi Data Seismik ... 15

III.2.1. Prinsip Dasar migrasi Seismik ... 17

III.2.2. Migrasi Sebagai Penjumlahan Difraksi ... 19

III.2.3. Metode Migrasi Kirchhoff ... 20

III.2.4. Aperture ... 20

III.2.5. Prestack Depth Migration dan Variasi Kecepatan Lateral ... 21

III.2.6. Common Offset Pre Stack Migration dan Analisis Kecepatan Migrasi ... 24

III.3. Pemodelan Kecepatan ... 26

III.3.1. Transformasi Dix ...27

III.3.2. Coherency Inversion ... 27

III.3.1. Tomography ... 29

IV. METODE PENELITIAN IV.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

IV.2. Data dan Perangkat Penelitian ... 31

IV.3. Pengolahan Data ... 32

IV.3.1. Import Data ... 32

IV.3.2. Picking Time Migrated Horizon ... 33

IV.3.3. Pemodelan Kecepatan ... 33

IV.3.4. Preliminary PSDM ... 34

IV.3.5. Update Model Kecepatan Interval ... 34

IV.3.6. Iterative PSDM ... 35

IV.3.7. Final PSDM ... 35

IV.4. Diagram Alir ... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Hasil Penelitian ... 37

V.1.1. Interpretasi Horizon ... 37

V.1.2. Pemodelan Kecepatan dan Updating Model Kecepatan ... 38

V.1.3. PSDM ... 41

V.2. Pembahasan ... 44

V.2.1. Analisis Kecepatan ... 44

V.2.2. Perbandingan PSTM dan PSDM ... 45

V.2.3. Analisis Gather ... 48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. Kesimpulan ... 50

VI.1. Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta daerah Cekungan Jawa Timur Utara (ESDM op.cit, Sirait 2007) ... 4

2. Tiga provinsi struktur utama Cekungan Jawa Timur (Satyana dan Purwaningsih, 2003) ... 6

3. Hukum Snellius ... 13

4. Model Jejak Gelombang pada medium non-homogen ... 14

5. Prinsip Huygens ... 15

6. Penampang seismik sebelum dan setelah dimigrasi (Yilmaz, 2001) ... 16

7. Mekanisme Migrasi Secara Manual (Chun, 1981) ... 18

8. Gambar reflektor seismik menurut Prinsip Huygens (Aina, 1999) ... 19

9. Metode migrasi Kirchhoff (Brancoft, 1997) ... 20

10. Skema aperture dari migrasi (Fagin, 1999) ... 21

11. Sketsa variasi kecepatan lateral (Yilmaz, 2001) ... 23

12. Gambar hasil migrasi yang dilakukan dengan kecepatan yang tepat pada penampang offset dan CRP gather (Aina, 1999) ... 24

13. CRP gather yang bergantung pada kecepatan migrasi yang dihasilkan (Juwita, 2001) ... 25

14. Alur kerja velocity model building (Fagin, 1999) ... 26

15. Teknik coherency inversion dengan menghitung semblance pada kurva moveout sepanjang model-based trajectories (Fagin, 1999) ... 28

16. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographic updating (Fagin, 1999) ... 30


(17)

xvii

17. Konfigurasi penembakan off-end ... 32

18. Diagram Alir Pengolahan Data ... 36

19. Penampang TMS dengan interpretasi horizon ... 37

20. Penampang Kecepatan ... 40

21. Penampang Seismik PSTM (TMS) ... 42

22. Penampang seismik hasil PSDM dalam domain waktu (D2T) ... 43

23. Penampang kecepatan interval final ... 44

24. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM dan PSDM ... 46

25. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM dan PSDM ... 47

26. Depth migrated gather pada CRP 3688 initial dan final dan semblance-nya ... 48


(18)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Metode seismik merupakan metode yang dianggap sebagai metode paling baik dalam mencitrakan kondisi bawah permukaan bumi. Metode seismik memanfaatkan prinsip penjalaran gelombang yang bersumber dari sebuah usikan pada suatu medium dan pada suatu jarak tertentu, dimana gerakan partikel tersebut akan diterima dan direkam dalam fungsi waktu. Berdasarkan data rekaman inilah dapat diperkirakan bentuk lapisan atau struktur di bawah permukaan bumi.

Untuk mengubah data rekaman tersebut menjadi sebuah citra yang dapat diinterpretasi, diperlukan proses pengolahan data seismik. Namun terkadang dengan adanya kompleksitas struktur bawah permukaan bumi (subsurface), titik refleksi sinyal atau respon seismik sering mengalami pergeseran kemiringan terhadap posisi sebenarnya. Untuk menempatkan kembali titik refleksi pada posisi sebenarnya maka menuntut adanya inovasi-inovasi baru dalam teknik pengolahan data seismik tersebut. Salah satu proses yang menjadi perhatian penting dalam pengembangan teknik pengolahan data seismik adalah proses migrasi. Migrasi data seismik adalah suatu proses pengolahan data seismik yang bertujuan untuk memetakan event seismik pada posisi yang sebenarnya (Sheriff, 1995).


(19)

2

Migrasi data seismik baru diperkenalkan pada dekade 60-an. Metode ini bertujuan untuk mengembalikan posisi reflektor ke posisi yang sebenarnya. Metode ini bekerja dalam domain waktu, namun terkadang hasil rekaman seismik yang telah dimigrasi belum dapat menggambarkan struktur geologi dengan baik, hal ini disebabkan oleh kompleksitas struktur geologi. Metode ini terus dikembangkan dan akhirnya pada awal dekade 80-an mulai diperkenalkan teknik migrasi pada domain kedalaman yang disebut dengan depth migration. Migrasi dalam domain kedalaman dapat menjadi solusi untuk permasalahan imaging dan positioning pada kasus yang memiliki struktur kompleks yang disertai variasi kecepatan secara lateral. Keakuratan ini disebabkan karena kemampuan metode PSDM untuk fokus terhadap suatu titik reflektor pada kondisi dimana terjadi perubahan kecepatan secara lateral. Pemodelan kecepatan interval (interval velocity model building) mempunyai andil penting dalam pencitraan bawah permukaan bumi. karena pemodelan kecepatan interval dilakukan dengan metode layer stripping (Minarti, 2010).

Pada tahun 2007 dan 2008, bertururt-turut telah dilakukan penelitian mengenai pemodelan kecepatan pada domain kedalaman atau PSDM (Prestack Depth Migration) oleh Triarto dan Marisa. Penelitian tersebut berhasil mencitrakan struktur bawah permukaan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelitian mengenai PSDM pada daerah yang memiliki kompleksitas struktur geologi. Penelitian ini membandingkan hasil pencitraan antara domain kedalaman (PSDM) dengan domain waktu (PSTM) dimana keduanya menggunakan aplikasi metode migrasi Kirchhoff.


(20)

3

I.2. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis penerapan metode Prestack Depth Migration (PSDM) untuk meningkatkan resolusi citra seismik dengan menganalisis variasi kecepatannya.

2. Mendapatkan citra bawah permukaan yang lebih baik dengan melakukan PSDM dan membandingkannya dengan hasil PSTM.

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini membatasi permasalahan pada migrasi prestack domain kedalaman pada data 2 dimensi dengan menggunakan metode Kirchhoff dengan asumsi medium bumi berupa medium isotropi. Dan perbaikan model kecepatan dilakukan dengan menggunakan metode tomografi seismik. Perbandingan citra hasil PSDM dan citra hasil PSTM dilakukan hanya sebatas mengamati perbedaan penampakan dan analisis gather.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

1. Mendapatkan citra struktur bawah permukaan yang baik, sehingga mempermudah tahapan interpretasi.

2. Dapat menunjukkan bahwa pengolahan data seismik dengan menggunakan metode PSDM memberikan hasil pencitraan (imaging) bawah permukaan yang lebih baik dibandingkan dengan PSTM.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kerangka Tektonik

Sejarah tektonik Cekungan Jawa Timur Utara tidak dapat dipisahkan dari sejarah tektonik Pulau Jawa dan sekitarnya, serta tektonik wilayah Asia Tenggara. Tektonik wilayah Asia Tenggara dikontrol oleh interaksi empat lempeng utama, yaitu Lempeng Indo-Australia dibagian Selatan, Lempeng Filipina dan Lempeng Pasifik di bagian Timur, sertaLempeng Eurasia di bagian Utaranya.

Gambar 1. Peta daerah Cekungan Jawa Timur Utara (ESDM op.cit, Sirait 2007) Cekungan Jawa Timur Utara merupakan bagian dari cekungan busur belakang yang berada di pinggiran (tepian) Tenggara Lempeng Eurasia. Cekungan ini


(22)

5

berada pada posisi sebagai cekungan busur belakang (back arc basin) sejak Paleogen.

Berdasarkan kedudukan tektonik saat sekarang, Cekungan Jawa Timur Utara merupakan salah satu dari cekungan-cekungan busur belakang (back arc basin) tersier di tepian Tenggara dari Kraton Sunda atau Sunda Land. Cekungan ini ke arah Utara dibatasi oleh Lengkung Karimunjawa (Karimun Java Arch), ke Utara oleh tinggian Meratus (Meratus high), ke arah Timur oleh Tinggian Masalembo-Doang, ke arah Selatan oleh jalur Pegunungan Selatan (Gambar 1).

I1.2. Tatanan Struktur

Cekungan Jawa Timur dipisahkan menjadi tiga mandala struktur (structural provinces) (Satyana, 2005) dari Utara ke Selatan (Gambar 2) , yaitu:

1. Paparan Utara yang terdiri dari Busur Bawean, Paparan Madura Utara dan Paparan Kangean Utara.

2. Bagian tengah yaitu Tinggian Sentral yang terdiri dari Jawa Utara Laut (Kujung) – Madura – Kangean – Tinggian Lombok.

3. Bagian Selatan dikenal sebagai Cekungan Selatan yang terdiri dari Zona Rembang – Selat Madura – Sub-Cekungan Lombok.

Konfigurasi basement Cekungan Jawa Timur dikontrol oleh dua trend struktur utama, yaitu trend NE – SW yang umumnya hanya dijumpai di mandala Paparan Utara dan trend W – E yang terdapat di Mandala Tinggian Sentral dan Cekungan Selatan. Akibat tumbukan lempeng selama Tersier Awal, Cekungan Jawa Timur terangkat dan mengalami erosi. Deretan perbukitan berarah NE – SW terbentuk di


(23)

6

sepanjang tepi Tenggara Paparan Sunda akibat pemekaran busur belakang. Dari Utara ke Timur, kenampakan struktur utama dalam wilayah tarikan ini adalah Busur Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, dan Tinggian Tuban-Madura Utara. Pengangkatan pada waktu Oligosen Awal menghentikan proses-proses pengendapan dan menyebabkan erosi yang luas. Periode selanjutnya adalah periode tektonik tenang dan akumulasi endapan karbonat hingga Miosen Awal. Periode terakhir adalah periode tektonik kompresi mulai dari Miosen Akhir hingga sekarang. Sesar-sesar normal yang membentuk horst dan graben teraktifkan kembali sehingga menghasilkan struktur-struktur terbalik (inverted relief) (Hamilton, 1979).

Gambar 2. Tiga provinsi struktur utama Cekungan Jawa Timur. Northern Paltform, Central High, dan Southern Basin (Satyana dan Purwaningsih, 2003).

Bagian Utara Cekungan Jawa Timur terdiri dari struktur tinggian dan rendahan dengan trend NE – SW, terlihat pada konfigurasi alasnya seperti Busur Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, Palung Tuban-Camar, Bukit JS-1,


(24)

7

Depresi Masalembo- Doang, dan Paparan Madura Utara. Ke arah Selatan, Paparan Jawa NE, Zona Rembang Madura Kendeng, Zona Madura Selatan, dan Zona Depresi Solo.

Bagian tengah Cekungan Jawa Timur didominasi oleh pola struktur berarah Utara- Timur seperti yang berkembang di Paparan Madura Utara, Tinggian Madura, dan Sub Cekungan Selat Madura. Ke Timur, pola Utara – Timur lebih berkembang, diperlihatkan oleh Sub-Cekungan Sakala, Kangean, Sub-Cekungan Lombok. Umumnya, mandala Paparan Utara, merupakan sisa struktur yang berkembang pada zaman Kapur (sutura Meratus). Selama Eosen hingga Miosen daerah ini berubah menjadi tempat perkembangan terumbu. Pada zaman Tersier Akhir daerah ini menjadi lingkungan yang baik bagi perkembangan fasies karbonat paparan.

1. Mandala Tinggian Sentral merupakan daerah terangkat hasil penyesaran ekstensional Eosen – Oligosen Akhir dan pembalikan struktur Miosen -Resen. Tinggian Sentral berbentuk kemenerusan Tinggian Kujung dan Tinggian Madura-Kangean ke arah Timur. Di Utara, Tinggian Sentral dibatasi oleh sesar-sesar Sepanjang dan Sakala, dan di Selatan oleh Tinggian Madura-Kangean-Sepanjang. Mandala, tegasan tensional Eosen Akhir menyebabkan penurunan regional di daerah ini. Bagian tingginya menjadi tempat perkembangan fasies reefal.

2. Mandala Cekungan Selatan terbentuk oleh sesar ekstensional Eosen – Oligosen Akhir yang dilanjutkan oleh periode struktur terbalik produk kompresi Miosen Awal – Resen. Zona Rembang yang menerus sampai lepas pantai sebagai sesar mendatar (wrench fault) berasosiasi dengan


(25)

8

pengangkatan Kujung, Madura, Kangean, dan Sepanjang ke arah Utara. Pembalikan struktur mengangkat bagian Utara, sedangkan bagian Selatan tetap pada lingkungan batial dalam.

II.3. Stratigrafi Regional

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

1. Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi.

Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Utara, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Utara satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati.


(26)

9

Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong

Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu

Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang– kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.


(27)

10

4. Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

II.4. Sistem Petroleum

Faktor utama sistem petroleum adalah batuan induk, lapisan reservoir pembawa (carrier beds), jalur migrasi, dan mekanisme pemerangkapan. Faktor-faktor tersebut harus ada dan bekerja secara sinergis dalam ruang dan waktu untuk mengakumulasikan hidrokarbon.

Di Cekungan Jawa Timur terdapat beberapa dalaman dan tinggian yang membentuk suatu sistem horst – graben, dan pada tinggian-tinggian tersebut yang akhirnya terumbu Rancak tumbuh setempat membentuk reservoir berumur Miosen Awal.

Berdasarkan perbandingan kasus Resevoir Lapangan Mudi di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban yang juga berada di cekungan Jawa Timur memperlihatkan suatu Carbonate Bank relief rendah yang disusun secara dominan oleh red algae dan foraminifera yang berumur Miosen Awal. Litologi umumnya disusun oleh clean wackestones sampai dengan packstones dengan sedikit kandungan rudstones dan perkembangan grainstone. Sedangkan sebagai batuan


(28)

11

penyekatnya secara onlapping dan overlying adalah batuan serpih Formasi Tuban dan Ngrayong. Sebagai carbonate build-up, penyebaran porositas reservoir sangat heterogen baik secara lateral maupun vertikal. Porositas sekunder terutama dibentuk oleh tahap akhir disolusi dari semen dan butiran yang membentuk rongga-rongga (vugs) dan beberapa rekahan akibat pelarutan atau caverns.

Dua potensi batuan induk yang dikenali di Cekungan Jawa Timur adalah Ngimbang Bawah (Lower Ngimbang) dan Serpih Tawun (Tawun Shales). Potensi batuan reservoir telah teramati pada beberapa interval seperti antara lain Batupasir Ngimbang bagian Bawah, Karbonat Ngimbang bagian Atas, Karbonat Formasi Kujung, Tawun, Ngrayong, Kawengan dan Lidah. Formasi-formasi tersebut secara umum juga memiliki potensi sebagai batuan penutup (seal) karena memiliki interval batulempung/batuserpih yang cukup tebal. Perangkap (trap) stratigrafi umumnya berhubungan dengan tubuh batuan karbonat reefal berumur Oligosen sampai Miosen, sedangkan perangkap struktur banyak berhubungan dengan inversi di Akhir Tersier. Generasi hidrokarbon telah terjadi dalam 2 (dua) periode yaitu di Akhir Oligosen untuk batuan induk Ngimbang bagian Bawah dan di Miosen Tengah untuk batuan induk Tawun.


(29)

III. TEORI DASAR

III.1. Konsep Seismik Refleksi

Metode seismik refleksi merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan perambatan gelombang elastik yang dihasilkan oleh suatu sumber pada permukaan kemudian berpropagasi ke bawah permukaan dan sebagian energinya direfleksikan dan direkam oleh penerima di permukaan. Gelombang elastik terdiri dari dua macam gelombang, yaitu gelombang body yang terdiri dari gelombang P dan gelombang S, dan gelombang permukaan, yaitu gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Pada metode seismik refleksi, jenis gelombang yang digunakan yaitu gelombang body terutama pada gelombang P atau gelombang kompresi. Gelombang kompresi ini atau disebut dengan gelombang suara, yaitu gelombang yang arah gerak partikelnya searah dengan arah rambatnya dan kecepatannya lebih besar dari gelombang S yang arah gerak partikelnya tegak lurus dengan arah rambatnya.

III.1.1. Hukum Snellius

Hukum Snellius menunjukkan hubungan antara sudut refleksi dan sudut refraksi muka gelombang pada batas antar medium yang memiliki perbedaan kecepatan gelombang.


(30)

13

Gambar 3 memperlihatkan penjalaran secara periodik gelombang bidang yang melewati permukaan datar perbatasan antara dua medium. Pada medium pertama

panjang gelombangnya adalah f v1

1 , sedangkan untuk medium kedua panjang

gelombangnnya adalah

f v2

2 . Pada saat gelombang melewati daerah

perbatasan antara dua medium maka harus berlaku kontinuitas untuk gelombang refleksi dan gelombang transmisi. Jika kontinuitas tidak berlaku maka muka gelombang di medium 1 akan mendahului atau justru tertinggal dari muka gelombang di medium 2. Untuk menghindari hal ini dan mempertahankan kontinuitas selama melewati daerah batas dengan panjang gelombang yang berbeda maka gelombang refleksi dan gelombang transmisi haruslah memiliki besar sudut yang berbeda terhadap garis normal bidang batas.

Gambar 3. Hukum Snellius, Penjalaran Sinar Gelombang Melalui Medium Berbeda

III.1.2. Prinsip Fermat

Dalam penjalarannya, gelombang akan memenuhi prinsip Fermat yaitu: “Gelombang yang menjalar dari satu titik ke titik yang lain akan memilih lintasan


(31)

14

dengan waktu tempuh tercepat”. Jejak sinar juga menentukan arah dari aliran energi. Diantara serangkaian sinar dari suatu titik ke titik yang lain, prinsip Fermat dapat diaplikasikan untuk membuang semua jejak sinar kecuali satu jejak sinar yang memiliki waktu tempuh paling cepat. Prinsip fermat digunakan dalam menentukan titik pemantul (reflektor) pada penjalaran gelombang refleksi. Kita ambil contoh pada penjalaran gelombang pantul dalam medium tak homogen. Gambar 4 menjelaskan bagaimana ray akan memilih satu jalur dari sekian banyak ray dengan waktu tempuh minimum.

Gambar 4. Model Jejak Gelombang pada medium non-homogen

Sesuai dengan prinsip Fermat maka dalam menentukan titik reflektor maka haruslah:

(TAP + TPB)direflektor minimum = titik pemantul (1)

Dari rumusan diatas, jika kita menjalarkan gelombang dari kedua titik (titik A dan titik B) menuju titik-titik pemantul (P1,P2,P3,P4,...Pn) maka kita dapat menentukan titik pemantul yang sebenarnya dengan membandingkan nilai-nilai dari

(TAP1 + TBP1), (TAP2 + TBP2), (TAP3 + TBP3) … (TAPn + TBPn). Dari hasil penjumlahan diatas, titik pemantul P tertentu yang memberikan hasil penjumlahan terkecil adalah titik pemantul yang dilewati oleh sinar (rays).


(32)

15

III.1.3. Prinsip Huygens

Gelombang dalam media yang serba sama (homogen) menyebar dari titik sumber sebagai bola yang mengembang dan selama proses pengembangannya gelombang ini akan menciptakan muka-muka gelombang. Prinsip Huygens menyatakan bahwa muka gelombang yang tercipta juga bersifat sebagai sumber gelombang baru. Prinsip Huygens ini dapat diilustrasilkan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Prinsip Huygens

Prinsip Huygens menjelaskan bahwa setiap titik pada muka gelombang merupakan sumber gelombang baru yang menjalar dalam bentuk bola (spherical). Jika gelombang bola menjalar pada radius yang besar, gelombang tersebut dapat diperlakukan sebagai bidang. Garis yang tegak lurus dengan muka gelombang tersebut di sebut wave-path atau rays atau sinar.

III.2. Migrasi Data Seismik

Sejak diperkenalkan perekaman data seismik secara digital, maka proses pengolahan data seismik menjadi lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. Ada tiga tahapan penting dalam pengolahan data seismik, yaitu: dekonvolusi, stacking, dan


(33)

16

migrasi. Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu, tujuannya untuk meningkatkan resolusi dengan mengecilkan bentuk sinyal (wavelet). Stacking menyatukan dimensi offset, mengecilkan volume data ke dalam satu bidang pada offset nol, tujuannya untuk meningkatkan rasio sinyal terhadap noise (S/N ratio), sedangkan migrasi umumnya diterapkan pada data yang sudah maupun belum di-stack (ditumpuk), tujuannya untuk meningkatkan resolusi lateral dengan menghilangkan efek difraksi dan memindahkan ‘events’ lapisan miring pada posisi yang sebenarnya (Gambar 6).

Gambar 5. (a) Sebelum dilakukan migrasi

(b) setelah dilakukan migrasi (Yilmaz, 2001)

Proses migrasi yang menghasilkan penampang migrasi dalam kawasan waktu disebut migrasi waktu. Migrasi ini umumnya berlaku selama variasi kecepatan secara lateral kecil hingga sedang. Jika variasi kecepatan lateral besar, migrasi waktu tidak dapat menghasilkan gambar bawah permukaan dengan baik dan benar. Dalam hal ini perlu digunakan teknik migrasi kedalaman, dimana hasil


(34)

17

migrasi kedalaman akan ditampilkan dalam penampang kedalaman. Dengan demikian, sebetulnya ada dua konsep migrasi yang utama dan dapat dibedakan dari proses migrasinya sendiri serta hasil akhirnya, yaitu migrasi waktu dan migrasi kedalaman (Juwita, 2001).

Dengan kata lain, migrasi data seismik adalah suatu proses untuk memetakan suatu penampang menjadi penampang yang lain dimana event seismik dikembalikan posisinya pada tempat dan waktu yang tepat. Migrasi dapat diklasifikasikan dalam 2 cara yaitu: berdasarkan kawasan migrasi bekerja dan berdasarkan algoritma migrasi.

Berdasarkan kawasan migrasi bekerja, migrasi dibedakan menjadi: 1. Time Migration dan Depth Migration

Time Migration merupakan suatu metode migrasi yang lebih sederhana dari pada Depth Migration. Depth Migration merupakan metode migrasi yang lebih akurat daripada Time Migration pada daerah yang memiliki variasi kecepatan.

2. Post Stack Migration dan Prestack Migration

Post Stack Migration adalah metode yang melakukan proses migrasi setelah proses stack. Prestack Migration merupakan metode yang melakukan proses migrasi sebelum proses stack (Aina, 1999).

III.2.1. Prinsip Dasar Migrasi Seismik

Prinsip dasar dari migrasi seismik dijelaskan pada Gambar 7, terlihat sebuah reflektor miring CD hasil rekaman seismik. Asumsikan bahwa CD termigrasi ke


(35)

18

C’D’ (posisi yang sebenarnya secara geologi) dan titik E’ pada C’D’ hasil migrasi dari titik E pada CD.

Gambar 7. Mekanisme Migrasi Secara Manual (Chun, 1981) Dari gambar di atas, dapat diturunkan persamaan-persamaan sebagai berikut:

x t t V dx 4 2 (2) 2 2 1 1 x t V t

dt (3)

2 2 1 1 x t V x t x (4)

Dip (kemiringan) =

x (5)

Dip semu = x t

(diukur dari unmigrated time section) (6)

A B

x t dt ∆x ∆t dx C D C’ D’ E E’ F 0


(36)

19

dengan t adalah traveltime (s), V adalah kecepatan migrasi (kecepatan medium), x adalah jarak dari titik A dan B, t adalah selisih waktu antara titik C dan D, x

d adalah horizontal time displacements, dt adalah vertikal time displacements, t adalah event time pada posisi yang belum dimigrasi, adalah event time pada posisi yang telah dimigrasi

III.2.2. Migrasi Sebagai Penjumlahan Difraksi

Operasi migrasi merupakan penjumlahan difraksi. Dasar pemikiran untuk pendekatan ini dapat diterangkan dengan menggunakan prinsip Huygens. Berdasarkan prinsip ini, reflektor seismik dapat dipandang sebagai kumpulan titik-titik difraktor yang berdekatan (Gambar 8).

Gambar 8. Gambar reflektor seismik menurut Prinsip Huygens (Aina, 1999) Migrasi pada penampang seismik diperoleh dengan mengembalikan setiap event difraksi yang berbentuk hiperbola ke titik asalnya (puncak). Setiap titik pada hasil penampang migrasi diperoleh dengan menambahkan semua nilai data sepanjang difraksi yang berpusat pada titik itu (Aina, 1999).

: titik difraktor : kurva difraksi


(37)

20

III.2.3. Metode Migrasi Kirchhoff

Migrasi Kirchhoff adalah suatu migrasi yang didasarkan pada diffraction summation (Schneider, 1978). Migrasi Kirchhoff dapat dilakukan dalam suatu migrasi kawasan waktu menggunakan kecepatan RMS dan straight ray, atau dalam migrasi kawasan kedalaman menggunakan kecepatan interval dan ray tracing.

Gambar 9. Metode migrasi Kirchhoff dengan prinsip penjumlahan difraksi (Bancroft, 1997)

Menurut prinsip tersebut, amplitudo pada posisi refleksi yang sebenarnya akan dijumlahkan secara koheren sepanjang kurva difraksi Gambar 9 (Bancroft, 1997). Keuntungan utama dari migrasi Kirchhoff ini adalah penampilan kemiringan curam yang baik. Sedangkan salah satu kerugiannya adalah kenampakan yang buruk jika data seismik mempunyai S/N yang rendah (Schneider, 1978).

III.2.4. Aperture

Aperture adalah jarak atau cakupan suatu data yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pada migrasi Kirchhoff. Aperture harus dapat mencakup setiap reflektor yang menjadi target agar amplitudo dapat dimigrasi ke posisi reflektor sebenarnya. Skema dari aperture ditunjukkan pada Gambar 10.


(38)

21

Jika aperture tidak cukup lebar, maka akan terdapat amplitudo yang tidak termigrasi. Untuk keberhasilan proses imaging ini aperture haruslah cukup lebar untuk mencakup garis sinar refleksi dari setiap target. Aperture setidaknya harus dua kali lebih lebar dari jarak perpindahan lateral antara titik perekaman dengan titik refleksi atau bisa juga merupakan jarak daripada far offset-nya.

Gambar 10. Skema aperture dari migrasi (Fagin, 1999) Dari Gambar 9 kita bisa mendapatkan persamaan (Fagin, 1999):

Aperture = 2X (7)

X = Z * tan (8)

S-Z = Z * (1/Cos - 1) (9)

Aperture dapat juga dirumuskan dengan (Paradigm Geophysical, 2007):

int

75 . 0 max

2

CMP depth

Jumlah CMP di dalam Aperture (10)

dengan X adalah perpindahan horizontal (m), S-Z adalah perpindahan vertikal (m)

III.2.4. Prestack Depth Migration dan Variasi Kecepatan Lateral

Metode Prestack Depth Migration adalah metode yang melakukan proses migrasi dalam kawasan kedalaman (depth) sebelum proses stack. Dengan melakukan

X

S

S Z


(39)

22

metode Prestack Depth Migration, topografi dasar laut yang kompleks, struktur bawah permukaan yang kompleks dan variasi kecepatan yang kompleks dapat digambarkan dengan lebih baik dibandingkan dengan metode Post Stack Time Migration. Pada migrasi konvensional (Post Stack Migration) migrasi dilakukan sesudah stack dan hanya bersifat memindahkan atau memetakan karakter reflektor yang sudah ada pada penampang stack, maka pada Prestack Depth Migration, migrasi dilakukan sebelum stack. Seluruh trace pada CDP gather dimigrasi dengan pendekatan yang lebih akurat sesuai dengan gerak perjalanan masing-masing gelombang seismiknya. Salah satu hasil dari pengolahan Prestack Depth Migration adalah CRP gather yang dicirikan dengan setiap trace mempunyai kedalaman yang sama untuk tiap reflektor yang sama. Proses stacking pada metode Prestack Depth Migration dilakukan pada CRP gather suatu lintasan seismik. Hasil akhirnya adalah depth section (penampang kedalaman) pada lintasan seismik tersebut.

Keunggulan metode Prestack Depth Migration terhadap metode Post Stack Time Migration adalah bahwa Prestack Depth Migration memakai pendekatan perjalanan gelombang (ray tracing) pada lapisan yang sesuai kenyataan, sedangkan Post Stack Time Migration memakai pendekatan perjalanan gelombang lurus pada lapisan yang horisontal (straight ray), tidak memiliki variasi kecepatan lateral (kecepatan perlapisan konstan). Dengan demikian, metode Prestack Depth Migration diharapkan memberikan hasil pengolahan data yang lebih baik pada daerah yang memiliki variasi kecepatan lateral, atau struktur kompleks, misalnya kemiringan (dip) dan patahan (Furniss, 1999).


(40)

23

Variasi kecepatan lateral sering dikarenakan kemiringan yang terjal. Oleh karena itu, algoritma dari migrasi kedalaman harus tidak hanya menangani variasi kecepatan secara lateral tetapi juga mencitrakan dipping event secara akurat. Ketika titik difraksi berada pada lapisan kedua (Gambar 11a), maka raypath-nya dibelokan menurut hukum Snell. Hasilnya pada zero-offset section hampir mendekati hiperbola.

Gambar 11. Sketsa variasi kecepatan lateral (Yilmaz, 2001)

Ketika dilakukan migrasi waktu, kurva difraksi akan menyusut pada puncaknya dan posisi puncaknya tepat pada posisi lateralnya. Namun ketika titik difraksi berada pada lapisan dengan variasi kecepatan lateral yang besar (Gambar 11b), raypath dibelokkan dengan sangat kuat pada batas lapisan sehingga respon pada zero-offset section tidak lagi seperti hiperbola dan puncaknya mengalami pergeseran. Ketika migrasi waktu dilakukan, kurva difraksi menyusut pada puncaknya tetapi tidak fokus dan mengalami pergeseran dari posisi sebenarnya.


(41)

24

Offset 1

Offset kedua

Offset ketiga

Offset Offset Offset

CMP

Berbeda halnya dengan migrasi kedalaman, selain menjumlahkan difraksi dan menempatkan pada puncaknya, migrasi ini juga menempatkan dengan fokus yang lebih baik dan pada posisi lateral sebenarnya. Efek variasi kecepatan lateral akan semakin terlihat pada struktur yang lebih kompleks (Gambar 11c).

III.2.5. Common Offset Pre Stack Migration dan Analisis Kecepatan Migrasi Kirchhoff Prestack Migration dapat dilakukan dengan menjumlahkan keseluruhan titik data masukan yang terletak di sepanjang kurva difraksi.

(a)

(b)

Gambar 12. Gambar hasil migrasi yang dilakukan dengan kecepatan yang tepat pada penampang offset dan CRP gather. (a) Penampang offset yang dimigrasi secara individu dan (b) Gambar gather-gather yang datar setelah Prestack Migration (Aina, 1999)

Prosedur penjumlahan ini dapat dikerjakan dalam satu langkah, tetapi akan lebih menguntungkan bila mengerjakan migrasi pada tiap bidang offset dengan cara


(42)

25

terpisah, kemudian dilakukan stack di semua offset secara bersamaan untuk membuat gambar migrasi. Pemisahan seperti itu memungkinkan hanya dengan migrasi Kirchhoff. Kirchhoff Prestack Migration sering dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama: menjumlahkan titik-titik data dengan offset yang sama, dan langkah kedua: menjumlahkan semua offset (stack). Aliran kerja ini menguntungkan karena langkah-langkah ini memasukkan tahap untuk analisis kecepatan.

(a) (b)

Gambar 13. CRP gather yang bergantung pada kecepatan migrasi yang dihasilkan. (a) CRP gather yang over-corrected dan (b) CRP gather yang under-corrected (Juwita, 2001)

Pada Gambar 12 digambarkan proses kedua langkah ini, yaitu pada saat model kecepatan itu sesuai, maka tiap bidang offset termigrasi dengan tepat CRP gather-nya datar dan dapat di-stack secara bersamaan. Pada saat model kecepatan-gather-nya salah, CRP gather menjadi tidak datar (Gambar 13). Fenomena gather menjadi tidak datar dapat diterangkan sebagai berikut, ketika kecepatan migrasi menjadi sangat lambat, perhitungan travel time sepanjang sinar menjadi terlalu lama. Efek ini kelihatan lebih besar pada offset yang jauh daripada offset yang dekat, sehingga event pada CRP gather tergeser ke atas (Gambar 13a). Jika kecepatan migrasi terlalu cepat hasilnya menjadi under-corrected gather (Gambar 13b) (Juwita, 2001).


(43)

26 Model Kecepatan Awal Time Gathers Tentukan: Kecepatan Lapisan Tentukan: Struktur Lapisan Lapisan Berikut-nya Prestack Depth Migration Depth Gathers Memperbaharui Model Model Kecepatan Terbarukan III.3. Pemodelan Kecepatan

Pada umumnya, pemodelan kecepatan yang digunakan dalam PSDM ialah Velocity Analysis Model Based. Data yang digunakan dalam proses ini adalah time gathers, dan keluarannya adalah model kecepatan final (final velocity model) dalam bentuk kedalaman dan peta kecepatan (jika diinginkan untuk membuat kubus kecepatan) untuk model 3D, atau kedalaman dan penampang melintang kecepatan (digunakan untuk membuat penampang kecepatan) untuk model 2D (Fagin, 1999).

Fasa 1. Membuat Model Awal Fasa 2. Memperbaiki Model

(Layer Stripping) (Globally)

Gambar 14. Alur kerja velocity model building (Fagin, 1999)

Terdapat dua fasa untuk membuat model kecepatan (Gambar 14). Fasa pertama menggunakan pendekatan sekuensial layer stripping, dimana setiap lapisan dianalisis berturut-turut. Informasi sesimik pada time gather dianalisis untuk membuat model kecepatan awal. Pada fasa kedua, model kecepatan awal tersebut diperbaiki dengan menggunakan pendekatan global yang berdasarkan analisis informasi dalam depth gather, yang merupakan hasil dari Prestack Depth Migration. Pada fasa kedua ini diterapkan proses iteratif yang lebih baik daripada


(44)

27

proses sekuensial dan menggunakan Prestack Depth Migration berturut-turut untuk memperbaiki semua lapisan. Setiap tahapan pada proses perbaikan ini seharusnya menghasilkan depth gathers yang lebih baik (datar).

III.3.1. Transformasi Dix

Dix (1955) menurunkan persamaan untuk traveltime, dengan mempertimbangkan raypath bending, pada kasus banyak lapisan yang datar. Dix berpendapat bahwa, untuk sudut kecil Vrms dapat digunakan pada formula moveout dan memprediksi traveltime untuk beberapa offset. Vrms didefinisikan sebagai:

2 1 int i i i rms t t V

V (11)

dengan Vint iadalah kecepatan interval tiap lapisan, tiadalah ketebalan tiap lapisan. Dix juga menurunkan formula untuk kecepatan interval dari traveltime dan Vrms, dan sering disebut sebagai persamaan Dix:

A B A A rms B B rms B A T T T V T V V 2 ) ( 2 ) ( 2 )

int( (12)

dengan Vint(A B) adalah adalah kecepatan interval antara permukaan A dan B, TA adalah normal incidence traveltime untuk permukaan A, TB adalah normal incidence traveltime untuk permukaan B (Fagin, 1999).

III.3.2. Coherency Inversion

Coherency inversion memodelkan kurva ray tracing untuk dibandingkan dengan kurva waktu tempuh sebenarnya dari perekaman yang memiliki kecocokan terbaik dengan refleksi koheren dari gather. Pada ray tracing tidak menggunakan asumsi


(45)

28

Kurva moveout pada tiap

perlapisan diprediksi oleh

ray tracing menggunakan kecepatan interval 10500 ft/s

Offset Time

Moveout dalam CMP time gather

hyperbolic moveout, memperhitungkan variasi kecepatan baik secara lateral maupun vertikal, refraksi dan struktural dip dalam model. Coherency inversion menggunakan pendekatan layer stripping, pemodelan kecepatan dilakukan berurutan satu persatu dari lapisan atas ke lapisan bawahnya secara berurutan. Pemodelan kecepatan pada suatu lapisan memerlukan kecepatan interval dan depth model semua lapisan di atasnya. Pada lapisan yang dimodelkan diberikan kisaran nilai kecepatan untuk membuat model zona waktu tempuh, model ini dikorelasikan dengan rekaman CMP gather untuk menentukan kecepatan interval yang optimum pada lapisan tersebut. Semblance dihitung pada tiap CMP untuk menghitung korelasi antara rekaman CMP gather dengan pemodelan kurva waktu tempuh untuk tiap kecepatan interval yang digunakan, semblance tinggi menunjukkan kecepatan yang tepat untuk memdatarkan gather (Mualimin, 2004).

Gambar 15. Teknik coherency inversion dengan menghitung semblance pada kurva moveout sepanjang model-based trajectories (Fagin, 1999)


(46)

29

Pada coherency inversion identifikasi kecepatan interval dilakukan dengan membuat kurva moveout yang sesuai dengan reflektor (Gambar 15). Kurva moveout ini tidak harus hiperbolik yang penting memiliki koherensi dengan reflektor. Coherency inversion memberikan hasil untuk data seismik dengan empat lapisan cukup akurat dibandingkan dengan Dix based (Fagin, 1999).

III.3.3. Tomography

Model kecepatan awal yang diperoleh dari coherency inversion digunakan untuk melakukan proses PSDM. Pendekatan layer stripping dalam coherency inversion seringkali menghasilkan akumulasi error pada lapisan yang lebih dalam bila pada lapisan di atasnya tidak tepat, sehingga akan menghasilkan error waktu tempuh. Untuk itu dilakukan refining model secara iteratif dengan global tomography. Metode ini disebut global tomography, karena perubahan parameter model kecepatan dan depth dilakukan secara simultan tidak berdasaran pendekatan layer stripping. Pada studi yang telah dilakukan biasa digunakan horizon based tomography dimana model kecepatan interval dari coherency inversion dan residual moveout CRP depth gather sebagai data masukannya. Depth model diperbaiki secara iteratif dengan memodifikasi interface kedalaman dan kecepatan lapisan untuk membuat gather menjadi flat. Dengan ray tracing error dari tiap lapisan digunakan untuk membuat matrix tomography sepanjang lintasan gelombang. Error dari tiap lapisan diselesaikan secara simultan menggunakan metode least square untuk meminimalisasi kesalahan waktu tempuh yang melewati seluruh model (Mualimin, 2004).


(47)

30

Dengan demikian, model based tomography digunakan dengan prinsip mengoreksi kecepatan dari hasil residual moveout dan ray tracing pada kecepatan model. Masukan pada metode ini adalah depth gather untuk meng-update kecepatan interval dengan membuat semblance residual sepanjang horison. Model based tomography digunakan untuk mencari nilai error kecepatan dan meng-upgrade kecepatan menjadi kecepatan yang benar (Fagin, 1999).

Gambar 16 merupakan penggambaran skematik tomography. Pada bagian ini tiap subsurface terdiri atas beberapa bagian dari lapisan-lapisan model dan tiap lapisan terdiri dari deret sel atau matrix tomography. Nilai delay, untuk sebuah source-receiver offset pada sebuah lokasi CRP, didefinisikan oleh analisis residual moveout. Pola lintasan sinar melintasi model yang ditunjukkan untuk lokasi CRP dan offset. Tiap sel lapisan berasosiasi dengan pola lintasan. Warna abu-abu menunjukkan identifikasi raypath transits. Dengan informasi yang baik mengenai lokasi CRP dan offset-nya, prosedur tomography memberikan nilai turunan dari traveltime delay atau kemajuan (dalam hal ini perubahan kecepatan) yang dibutuhkan dalam setiap sel. Perubahan total traveltime yang ada identik dengan depth gather residual moveout.

Gambar 16. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographic updating (Fagin, 1999)


(48)

IV. METODE PENELITIAN

IV.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Divisi Geoscience Service PT. ELNUSA Tbk., Graha Elnusa Jl. TB. Simatupang Kav. 1B lt. 14 Jakarta Selatan, perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa akuisisi, pengolahan, dan interpretasi data seismik refleksi. Waktu penelitian dimulai dari tanggal 6 Juni sampai dengan 5 Agutus 2011 dan dilanjutkan di Laboratorium Geofisika sampai Oktober 2011.

IV.2. Data dan Perangkat Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder seismik refleksi 2D Survey marine daerah Jawa Timur Bagian Utara lintasan AK2103 berupa PSTM.sgy, gather_final.sgy, serta final_velocity.sgy. Lintasan ini memiliki CMP Range dari 700 – 3900. Dengan parameter lapangan lintasan AK-2103 yang diketahui dari data Observer Report adalah sebagai berikut:

1. Source:

- Jenis Bahan : Airgun - SP Interval : 25 m 2. Receiver:

- Jumlah Channel : 324 - Group Interval : 12.5 m


(49)

32

- Metode Penembakan : off-end - Near Offset : 148 m - Far Offset : 4185.5 m 3. Recording System:

- Tape Format : SEGY-32BITS - Low Cut Filter : 4 Hz

- RL : 5000 ms

- SI : 1 ms

Gambar 17. Konfigurasi penembakan off-end

Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan perangkat lunak GeoDepth-EPOS3TE-Paradigm, serta perangkat keras, antara lain Central Processing Unit: Sun Blade 1000/Solaris 2.6, Server: Sun enterprise 4500/Solaris 2.6, 296 MB, 8x100 MHz processor, Network: Workgroupswitch 10-100 MB/s, Dua buah monitor 24 inch, Satu unit DELL Personal Computer, dan Satu buah printer Canon PIXMA iP1880.

IV.3. Pengolahan Data IV.3.1. Import Data

Pada tahap awal dilakukan import ketiga data SEG-Y yakni PSTM, gather final, dan final velocity yang berupa kecepatan RMS, sebagai data input ke software GeoDepth-EPOS3TE-Paradigm, serta beberapa parameter lapangan.


(50)

33

IV.3.2 Picking Time Migrated Horizon

Picking time migrated horizon adalah menentukan pola reflektor dengan membuat garis horizontal pada penampang hasil PSTM sebagai indikasi batas antar lapisan. Proses picking dilakukan pada amplitudo reflektor yang kuat di sepanjang penampang seismik tersebut. Picking horizon haruslah selalu konsisten pada suatu amplitudo reflektor tertentu, karena akan sangat berpengaruh pada pembuatan model kecepatan selanjutnya, yaitu pada saat proses analisis residual di sepanjang horizon. Picking horizon dilakukan di sepanjang peak (puncak) dari trace seismik. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menarik horizon sepanjang lintasan pada penampang seismik.

IV.3.2. Pemodelan Kecepatan

Dalam PSDM, kecepatan yang digunakan adalah berupa Vint , sehingga diperlukan proses inisiasi kecepatan yang akan mentransformasi model kecepatan Vrms menjadi kecepatan interval, transformasi ini dilakukan dengan 2 proses, yaitu:

1. Transformasi Dix untuk 2 horizon pertama

Proses transformasi kecepatan ini menggunakan formula Dix untuk mendapatkan kecepatan interval dengan menggunakan Persamaan 12.

2. Coherency Inversion untuk horizon-horizon berikutnya

Prinsip Coherency Inversion merupakan metode yang menggunakan ray tracing untuk memodelkan kurva traveltime dan kemudian dibandingkan dengan traveltime yang direkam. Moveout digambarkan sebagai semblance maksimum pada setiap CRP gather, yang akan mempresentasikan kecepatan


(51)

34

interval terbaik. Keluaran dari tahapan ini adalah Vint inisial, yang nantinya akan digunakan untuk melakukan PSDM awal/Preliminary PSDM.

IV.3.4. Preliminary PSDM

Mengaplikasikan migrasi dengan menggunakan algoritma Kirchhoff, jenis kecepatan yang digunakan pada proses ini yaitu Initial Interval Velocity (Vint) yang diperoleh dari pemodelan kecepatan di atas (IV.3.3), dan data Final Gather sebagai data input, sehingga menghasilkan penampang seismik awal dalam domain kedalaman (Preliminary PSDM).

IV.3.5. Update Model Kecepatan Interval

Tahapan ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi pencitraan subsurface, dengan meng-update depth model-nya. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan tahap ini. Tahap pertama adalah Horizon Refinement. Setelah melalui tahapan PSDM, tentunya horizon picks yang telah kita buat sebelumnya (IV.3.2) akan bergeser, sehingga perlu melakukan repicking agar horizon tersebut tepat berada pada penampakan amplitudo dari reflektornya. Lalu kita membuat kembali model strukturnya/reload structure model builder. Kedua, Updating kecepatan dengan Residual depth moveout (RDMO) model based Tomography untuk memperkecil error Vint. Ray tracing pada tiap lapisan digunakan untuk membuat matrix tomography sepanjang lintasan gelombang. Error dari tiap lapisan diselesaikan secara simultan menggunakan least squares untuk meminimalisir kesalahan waktu tempuh yang melewati seluruh model.


(52)

35

IV.3.6. Iterative PSDM

Untuk iterative PSDM kecepatan yang digunakan adalah kecepatan hasil Update Velocity Model dari tahapan diatas (IV.3.5). Dengan menggunakan model kecepatan tersebut sebagai data input kecepatan serta data gather final (unmigrated gather), kemudian akan di-apply migrasi. Tahapan ini merupakan tahapan kondisional yang dapat dilakukan berulang-ulang, untuk mengamati perubahan citra seismik yang dihasilkannya. Dengan menggunakan Vint yang terus diperbaharui sampai didapatkan Vint terbaik, dengan membandingkan gather hasil PSDM, maka diharapkan akan diperoleh pencitraan seismik yang paling baik dan sesuai dengan struktur geologi sebenarnya.

IV.3.7. Final PSDM

Jika model kecepatan interval akhir telah diperoleh, maka sama halnya dengan proses PSDM sebelumnya, dengan menggunakan final interval velocity model dan gather final sebagai data input, kemudian diaplikasikan migrasi. Hasil dari Final PSDM ini berupa final depth migrated section, final depth migrated gathers, serta final interval velocity model. Kemudian membandingkan hasil akhirnya dengan hasil dari PSTM.

IV.4. Diagram Alir

Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam diagram alir penelitian (Gambar 18).


(53)

36

Gambar 18. Diagram Alir Pengolahan Data tidak

ya Mulai

CDP Gather

PSTM

Interpretasi Horizon

Pemodelan Velocity

PSDM Run Tomografi/

update Vinterval

Pick. Residual Moveout Gather

Flat? VRMS

TM Stack

Vint

Depth Mig. Section

Selesai Konversi ke-Time

D2T Section Komparasi


(54)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

Dari analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Kecepatan interval yang didapatkan dengan metode dix dan coherency inversion mampu mempresentasikan nilai kecepatan yang sebenarnya.

2. Hasil PSDM memberikan peningkatan citra yang signifikan yaitu mampu memperjelas citra reef build-up, mengeliminir pull-up anomaly dan mempertegas pola reflektor.

VI.2. Saran

Penelitian ini masih menggunakan asumsi medium bumi isotropi, yang menganggap sifat bumi atau medium yang diukur diasumsikan memiliki sifat-sifat fisik yang sama dengan mengabaikan arah penjalaran gelombang seismik. Akan lebih baik lagi jika asumsi medium anisotropi dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi dengan memperhitungkan arah penjalaran gelombang dengan dicocokkan dengan data sumur (well marker).


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Aina, 1999, Penggunaan Metoda Post Stack Time Migration dan Metoda Pre Stack Depth Migration Pada Data Seismik Lapangan Mentari (Skripsi), Prodi Geofisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Bancroft, John C., 1997, A Practical Understanding of Pre- and Post Stack Migrations, Volume 1 (Poststack), Course Notes Series, No. 7, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Chun, J. dan Jacewitz, C.A., 1981, Fundamental of Frequency Domain Migration, Geophysics, 5, 717-733.

Fagin, S., 1999, Model-Based Depth Imaging, Course Notes Series, No. 10, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Furniss, A., 1999, Velocity Modelling for Depth Conversion and Depth Imaging, 24th HAGI Annual Meeting Pre-Course, Surabaya.

Juwita, S., 2001, Penerapan Metode Prestack Depth Migration Pada Data Multiline 2-D Di Lapangan Elang South (Skripsi), Prodi Geofisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, USGS Professional Paper, 1078, 345 p.

Marisa, P., 2008, Analisis Model Kecepatan Pada Migrasi Sebelum Stack Untuk Mencitrakan Struktur Bawah Permukaan Pada Lintasan "ELORA" Cekungan Banggai-Sulawesi Tengah (Skripsi), Jurusan Fisika, UGM, Yogyakarta.

Minarti, 2010, Studi Pencitraan Bawah Permukaan Bumi Menggunakan Metode Pre-Stack Depth Migration (PSDM), (Skripsi) Prodi Geofisika Universitas Hasanuddin, Makasar.

Mualimin, Hisan, R.S., Djoko, S.B., Sumahardi, B., 2004, Velocity Model Building Pada Pre Stack Depth Migration; (Pencitraan Pada Struktur Yang Kompleks), Prosiding PIT HAGI Ke-29, Yogyakarta.


(56)

Palaez, K.P., Balesteros, M.D., Mercado, H.A., Escobar, C.P., Garnica, T.s., Carrillo, Z.C., 2006, Calculation of Phase and Group Angles, Slowness Surface and Ray Tracing in TI Media, CT & F, Vol. 3, No. 2, Columbia. Paradigm Geophysical, 2007, GeoDepth EPOS3TE Tutorial Help, Paradigm

Geophysical Co., Houston.

Satyana, A.H., 2005, Petroleum Geology Of Indonesia: Current Concepts, Pre-Convention Course, Indonesian Association of Geologists 34st, Annual Convention, Surabaya 28 –30 November 2005.

Satyana, A.H, Purwaningsih, Margaretha E.M., 2003, Geochemistry Of The East Java Basin: New Observations On Oil Grouping, Genetic Gas Types And Trends Of Hydrocarbon Habitats, Proceedings Indonesian Petroleum Association, Twenty-Ninth Annual Convention & Exhibition, October 2003.

Schneider, W.A., 1978, Integral Formulation for Migration in Two Dimention and Three Dimention, Geophysics, V.41, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Sheriff, R.E., and Geldart, L.P., 1995, Exploration Seismology, Cambridge University Press, Cambridge.

Sirait, Oktavianus, 2007. Penerapan Filter FK Pada Data Seismik 2D di Daerah Jawa Timur Bagian Utara (Skripsi), Jurusan Fisika Unila, Bandar Lampung.

Triarto, Y.R., 2007, Analisis Velocity Model Building pada PSDM untuk Penggambaran Struktur Bawah Permukaan Daerah ‘X’ (Skripsi), Jurusan Fisika UNDIP, Semarang.

Yilmaz, O., 1987, Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Yilmaz, O., 2001, Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.


(1)

34

interval terbaik. Keluaran dari tahapan ini adalah Vint inisial, yang nantinya akan digunakan untuk melakukan PSDM awal/Preliminary PSDM.

IV.3.4. Preliminary PSDM

Mengaplikasikan migrasi dengan menggunakan algoritma Kirchhoff, jenis kecepatan yang digunakan pada proses ini yaitu Initial Interval Velocity (Vint)

yang diperoleh dari pemodelan kecepatan di atas (IV.3.3), dan data Final Gather sebagai data input, sehingga menghasilkan penampang seismik awal dalam domain kedalaman (Preliminary PSDM).

IV.3.5. Update Model Kecepatan Interval

Tahapan ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi pencitraan subsurface, dengan meng-update depth model-nya. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam melakukan tahap ini. Tahap pertama adalah Horizon Refinement. Setelah melalui tahapan PSDM, tentunya horizon picks yang telah kita buat sebelumnya (IV.3.2) akan bergeser, sehingga perlu melakukan repicking agar horizon tersebut tepat berada pada penampakan amplitudo dari reflektornya. Lalu kita membuat kembali model strukturnya/reload structure model builder. Kedua, Updating kecepatan dengan Residual depth moveout (RDMO) model based Tomography untuk memperkecil error Vint. Ray tracing pada tiap lapisan digunakan untuk membuat matrix tomography sepanjang lintasan gelombang. Error dari tiap lapisan diselesaikan secara simultan menggunakan least squares untuk meminimalisir kesalahan waktu tempuh yang melewati seluruh model.


(2)

35

IV.3.6. Iterative PSDM

Untuk iterative PSDM kecepatan yang digunakan adalah kecepatan hasil Update Velocity Model dari tahapan diatas (IV.3.5). Dengan menggunakan model kecepatan tersebut sebagai data input kecepatan serta data gather final (unmigrated gather), kemudian akan di-apply migrasi. Tahapan ini merupakan tahapan kondisional yang dapat dilakukan berulang-ulang, untuk mengamati perubahan citra seismik yang dihasilkannya. Dengan menggunakan Vint yang terus diperbaharui sampai didapatkan Vint terbaik, dengan membandingkan gather hasil PSDM, maka diharapkan akan diperoleh pencitraan seismik yang paling baik dan sesuai dengan struktur geologi sebenarnya.

IV.3.7. Final PSDM

Jika model kecepatan interval akhir telah diperoleh, maka sama halnya dengan proses PSDM sebelumnya, dengan menggunakan final interval velocity model dan gather final sebagai data input, kemudian diaplikasikan migrasi. Hasil dari Final PSDM ini berupa final depth migrated section, final depth migrated gathers, serta final interval velocity model. Kemudian membandingkan hasil akhirnya dengan hasil dari PSTM.

IV.4. Diagram Alir

Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam diagram alir penelitian (Gambar 18).


(3)

36

Gambar 18. Diagram Alir Pengolahan Data tidak

ya Mulai

CDP Gather

PSTM

Interpretasi Horizon

Pemodelan Velocity

PSDM Run Tomografi/

update Vinterval

Pick. Residual Moveout Gather

Flat? VRMS

TM Stack

Vint

Depth Mig. Section

Selesai Konversi ke-Time

D2T Section Komparasi


(4)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

Dari analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Kecepatan interval yang didapatkan dengan metode dix dan coherency inversion mampu mempresentasikan nilai kecepatan yang sebenarnya.

2. Hasil PSDM memberikan peningkatan citra yang signifikan yaitu mampu memperjelas citra reef build-up, mengeliminir pull-up anomaly dan mempertegas pola reflektor.

VI.2. Saran

Penelitian ini masih menggunakan asumsi medium bumi isotropi, yang menganggap sifat bumi atau medium yang diukur diasumsikan memiliki sifat-sifat fisik yang sama dengan mengabaikan arah penjalaran gelombang seismik. Akan lebih baik lagi jika asumsi medium anisotropi dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi dengan memperhitungkan arah penjalaran gelombang dengan dicocokkan dengan data sumur (well marker).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aina, 1999, Penggunaan Metoda Post Stack Time Migration dan Metoda Pre Stack Depth Migration Pada Data Seismik Lapangan Mentari (Skripsi), Prodi Geofisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Bancroft, John C., 1997, A Practical Understanding of Pre- and Post Stack Migrations, Volume 1 (Poststack), Course Notes Series, No. 7, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Chun, J. dan Jacewitz, C.A., 1981, Fundamental of Frequency Domain Migration, Geophysics, 5, 717-733.

Fagin, S., 1999, Model-Based Depth Imaging, Course Notes Series, No. 10, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Furniss, A., 1999, Velocity Modelling for Depth Conversion and Depth Imaging, 24th HAGI Annual Meeting Pre-Course, Surabaya.

Juwita, S., 2001, Penerapan Metode Prestack Depth Migration Pada Data Multiline 2-D Di Lapangan Elang South (Skripsi), Prodi Geofisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, USGS Professional Paper, 1078, 345 p.

Marisa, P., 2008, Analisis Model Kecepatan Pada Migrasi Sebelum Stack Untuk Mencitrakan Struktur Bawah Permukaan Pada Lintasan "ELORA" Cekungan Banggai-Sulawesi Tengah (Skripsi), Jurusan Fisika, UGM, Yogyakarta.

Minarti, 2010, Studi Pencitraan Bawah Permukaan Bumi Menggunakan Metode Pre-Stack Depth Migration (PSDM), (Skripsi) Prodi Geofisika Universitas Hasanuddin, Makasar.

Mualimin, Hisan, R.S., Djoko, S.B., Sumahardi, B., 2004, Velocity Model Building Pada Pre Stack Depth Migration; (Pencitraan Pada Struktur Yang Kompleks), Prosiding PIT HAGI Ke-29, Yogyakarta.


(6)

Palaez, K.P., Balesteros, M.D., Mercado, H.A., Escobar, C.P., Garnica, T.s., Carrillo, Z.C., 2006, Calculation of Phase and Group Angles, Slowness Surface and Ray Tracing in TI Media, CT & F, Vol. 3, No. 2, Columbia. Paradigm Geophysical, 2007, GeoDepth EPOS3TE Tutorial Help, Paradigm

Geophysical Co., Houston.

Satyana, A.H., 2005, Petroleum Geology Of Indonesia: Current Concepts, Pre-Convention Course, Indonesian Association of Geologists 34st, Annual Convention, Surabaya 28 –30 November 2005.

Satyana, A.H, Purwaningsih, Margaretha E.M., 2003, Geochemistry Of The East Java Basin: New Observations On Oil Grouping, Genetic Gas Types And Trends Of Hydrocarbon Habitats, Proceedings Indonesian Petroleum Association, Twenty-Ninth Annual Convention & Exhibition, October 2003.

Schneider, W.A., 1978, Integral Formulation for Migration in Two Dimention and Three Dimention, Geophysics, V.41, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Sheriff, R.E., and Geldart, L.P., 1995, Exploration Seismology, Cambridge University Press, Cambridge.

Sirait, Oktavianus, 2007. Penerapan Filter FK Pada Data Seismik 2D di Daerah Jawa Timur Bagian Utara (Skripsi), Jurusan Fisika Unila, Bandar Lampung.

Triarto, Y.R., 2007, Analisis Velocity Model Building pada PSDM untuk

Penggambaran Struktur Bawah Permukaan Daerah ‘X’ (Skripsi),

Jurusan Fisika UNDIP, Semarang.

Yilmaz, O., 1987, Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

Yilmaz, O., 2001, Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.