Latar Belakang PENDAHULUAN Alienasi Etnis Tionghoa Analisis Semiotik Etnis Tionghoa dalam Film “Babi Buta Yang Ingin Terbang”.

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Multikulturalisme merupakan landasan fundamental bagi berdirinya Republik Indonesia. Hal ini pun terwujud dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap satu. Berbagai jenis manusia dari bermacam- macam suku, agama, ras, dan budaya beroleh tempat hidup di seantero wilayah negeri ini. Koeksistensi dan toleransi merupakan faktor-faktor esensial yang melandasi kehidupan sosial di Indonesia. Meski demikian, konflik-konflik horizontal yang acap kali terjadi pun tidak jarang justru ditimbulkan dari berbagai macam perbedaan tersebut. Pada tahun 1998, iklim politik dalam negeri yang sedang memanas serta menguatnya gelombang tuntutan reformasi dan demokratisasi di berbagai bidang terutama di tubuh pemerintahan, menggoyang kekuasaan rezim Orde Baru kala itu. Peristiwa ini juga dilatarbelakangi krisis multidimensi yang terjadi sejak badai ekonomi dahsyat menjangkiti sebagian besar benua Asia khususnya di negara- negara Asia Tenggara dan Indonesia. Pemerintah tak mampu lagi mengatasi devaluasi rupiah dan fenomena kredit macet yang mengakibatkan ambruknya sendi-sendi perekonomian nasional. Harga-harga kebutuhan pokok terus meroket 2 karena ketersediaannya yang langka dibarengi dengan merosotnya daya beli rakyat 1 . Kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahnya pun semakin meluntur. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis multidimensi tersebut berakibat merebaknya kerusuhan massal di berbagai kota besar di Indonesia. Entah dari mana orkestrasi massa dan kecemburuan sosial tersebut berasal, tindakan-tindakan kekerasan pun dilampiaskan kepada warga minoritas, termasuk penjarahan berbagai properti mereka. Warga etnis Tionghoa pada umumnya merupakan target utama dalam kerusuhan-kerusuhan tersebut. Toko-toko dan tempat usaha mereka dijarah, ribuan orang dibunuh dan para wanitanya diperkosa 2 . Tidak sedikit dari kelompok etnis ini yang memilih untuk eksodus ke luar negeri mencari suaka di tempat lain karena pemerintah Indonesia dan aparat keamanannya sudah tidak dapat lagi menjamin keselamatan mereka. Sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari campur tangan pemerintahan Hindia-Belanda pada jaman kolonial, meskipun komunitas mereka di Nusantara sudah lebih dulu eksis jauh sebelum orang-orang Eropa datang ke Indonesia. Kelompok etnis ini merupakan populasi etnis asing 1 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan edisi Maret 1999 http:www.bi.go.idNRrdonlyres 31 Agustus 2012. 2 Data temuan Tim Gabungan Pencari Fakta kerusuhan Mei 1998 http:semanggipeduli.comtgpfbab5.html 31 Agustus 2012. 3 terbesar di Hindia Belanda kala itu. Jumlah mereka melesat mencapai 1,2 juta pada tahun 1930 Coppel, 1994: 22 . Pada jaman kolonial, pemerintah Hindia-Belanda membuat stratifikasi sosial yang diskriminatif dengan membedakan kelompok ras ke dalam 3 grup: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi Zein, 2000: 150. Etnis Tionghoa diidentifikasikan sebagai kelompok Timur Asing bersama-sama dengan minoritas asing lainnya seperti Arab, Jepang, dan India. Orang Tionghoa pada umumnya dikenal sebagai “minoritas dagang” Coppel, 1994: 45. Segregasi rasial di Hindia-Belanda ini adalah upaya untuk mencegah interaksi langsung antara rakyat pribumi dengan etnis-etnis minoritas, khususnya etnis Tionghoa. Pemerintah kolonial khawatir pergerakan kaum nasionalis yang tengah terjadi di Cina Daratan akan menular ke Hindia-Belanda jika hubungan antar etnis ini dibiarkan tumbuh bebas. Komunitas Tionghoa pun dikonsentrasikan di daerah perkotaan sebagai middleman Belanda untuk kegiatan-kegiatan perniagaan dan ekonomi. Hubungan mereka dengan rakyat pribumi direduksi menjadi sekedar hubungan dagang Zein, 2000: 146-149. Kebijakan diskriminatif ini dipelihara dan tetap dilembagakan ketika Indonesia mendapat kemerdekaannya dari Jepang. Pada tahun 1955, pemerintah Orde Lama dan RRC menandatangani Perjanjian Dwikewarganegaraan untuk menyelesaikan sengketa kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip jus sanguinis RRC yang menyatakan semua orang 4 yang terlahir dari orangtua berdarah Tionghoa adalah warga negara RRC. Dengan diberlakukannya perjanjian ini, maka etnis Tionghoa diwajibkan menyatakan kewarganegaraannya: sebagai WNI atau warga negara RRC 3 . Namun pada tahun 1959 pemerintah memberlakukan PP 101959 yang mengatur tentang larangan bagi WNA untuk terlibat dalam perdagangan kecileceran di tingkat kabupaten ke bawah. Dalam prakteknya aturan ini digunakan untuk melegitimasi perampasan toko dan harta etnis Tionghoa yang belum menyatakan kewarganegaraannya 4 . Pada tahun 1967, Inpres No 14 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina diterbitkan. Produk perundangan ini membelenggu kebebasan berekspresi bagi etnis Tionghoa serta menandai dimulainya kebijakan asimilasi yang berlangsung selama puluhan tahun semasa Orde Baru berkuasa. Warga dari etnis Tionghoa dipaksa oleh negara untuk menanggalkan identitas dan budaya aslinya. Kerusuhan Mei tahun 1998 yang melibatkan etnis Tionghoa sebagai korbannya, sejatinya bukanlah yang pertama kali terjadi. Setidaknya ada 12 kejadian sebelumnya yang berimbas pada kekerasan terhadap etnis Tionghoa 5 . Peristiwa-peristiwa ini sebagian besar disebabkan oleh kebencian rasial tak berdasar yang timbul dari berbagai stereotip negatif yang disematkan kepada etnis Tionghoa. Mereka umumnya dideskripsikan “binatang ekonomi” economic 3 http:en.wikipedia.orgwikiSino-Indonesian_Dual_Nationality_Treaty 31 Agustus 2012 4 http:indonesiamedia.comrubrikbertaberta00september-sistemnilai.htm 31 Agustus 2012 5 http:id.wikipedia.orgwikiTionghoa-Indonesia 21 November 2010 5 animal yang oportunis, kikir dan mata duitan Didi Kwartanada dalam Lembaga Studi Realino, 1996: 24. Sepuluh tahun berselang, pada tahun 2008 sebuah film berjudul Babi Buta Yang Ingin Terbang dirilis dengan penayangan terbatas di dalam negeri. Film ini berkisah mengenai lika-liku kehidupan etnis Tionghoa pasca kerusuhan Mei 1998, sebuah pendekatan yang jarang dikupas film-film bertema serupa sebelumnya. Berbeda dengan film Ca Bau Kan, misalnya, di mana representasi etnis Tionghoa dihadirkan sesuai dengan karakteristik dan stereotip yang berkembang selama ini, Babi Buta Yang Ingin Terbang justru menampilkan sosok-sosok Tionghoa yang tidak pernah atau kalaupun ada, jarang ditampilkan dalam medium film sebelumnya. Dalam film ini, orang-orang Tionghoa tidak melulu digambarkan sebagai orang-orang kaya dengan berbagai privilese dan kehidupan yang serba mudah dan mewah. Mereka diasingkan dan terasing dari identitas-jati diri mereka sendiri. Film ini dibuat oleh Edwin, seorang sutradara muda yang namanya lebih dikenal di kalangan sineas independen. Bagi Edwin, film ini sangat personal karena dirinya sendiri berlatarbelakang Tionghoa. Sebagian besar dari porsi cerita di Babi Buta Yang Ingin Terbang ini diambilnya dari pengalaman pribadinya 6 sebagai orang keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia namun dibelenggu identitas dan kebebasan berekspresinya 6 . Sudut pandang, idealisme dan preferensi Edwin sebagai seorang sutradara yang kebetulan seorang keturunan Tionghoa dalam menggarap sebuah karya film yang personal mengenai isu-isu sosial-budaya etnis Tionghoa adalah sebuah insight yang menarik dan berpotensi untuk dielaborasi lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa Dan Pribumi Di Komplek Puri Katelia Indah Di Kecamatan Medan Johor Kota Medan

10 119 99

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96

IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DALAM FILM(Analisis Semiotik Film Wo Ai Ni Indonesia Karya Viva Westi)

1 6 2

Alienasi Etnis Tionghoa Alienasi Etnis Tionghoa Analisis Semiotik Etnis Tionghoa dalam Film “Babi Buta Yang Ingin Terbang”.

0 3 10

PENUTUP Alienasi Etnis Tionghoa Analisis Semiotik Etnis Tionghoa dalam Film “Babi Buta Yang Ingin Terbang”.

0 3 16

DILEMA IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA Dilema Identitas Etnis Tionghoa Dalam Film Televisi (Ftv) Indonesia (Analsis Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping).

0 1 15

PENDAHULUAN Dilema Identitas Etnis Tionghoa Dalam Film Televisi (Ftv) Indonesia (Analsis Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping).

0 8 51

DAFTAR PUSTAKA Dilema Identitas Etnis Tionghoa Dalam Film Televisi (Ftv) Indonesia (Analsis Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping).

0 2 4

DILEMA IDENTITAS ETNIS TIONGHOA DALAM FILM TELEVISI (FTV) INDONESIA Dilema Identitas Etnis Tionghoa Dalam Film Televisi (Ftv) Indonesia (Analsis Semiotik Tentang Representasi Etnis Tionghoa Di Singkawang Dalam FTV Bakpao Ping Ping).

1 6 18

Pembauran Antara Etnis Tionghoa Dengan Etnis Minangkabau.

2 4 13