Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

(1)

ORIENTASI NILAI KELUARGA ETNIS TIONGHOA YANG MENITIPKAN ORANGTUA DI PANTI JOMPO (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan

Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

ANGELINE N. SITOMPUL

090901049

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

ABSTRACT

The family of Chinese communities emphasize filial piety to parents. At the present time, in nursing homes often encountered parents who are ethnic Chinese. Most of the Chinese people choose to leave their elderly parents in nursing homes. The purpose of this study was to describe the value of the family in the Chinese community and the reasons why family entrust the elderly in nursing home. This study describes the kinship system of Chinese society, the role of the family to parents, and the parents’ position in the Chinese community. This research is a descriptive study using qualitative research methods. Data collected by observation, interview, and literature study techniques. Interpretation of data explained the closeness of the family relationship of parents who live in nursing homes, family background underlying entrust parent in a nursing home, and the family's perception of the nursing home itself. The Chinese community embraced patrilineal system and the important role of parents in the family. Families entrust parents due to economic factors and special handling needs of the parents who suffer stroke.


(3)

ABSTRAK

Pada keluarga masyarakat etnis Tionghoa menekankan hal berbakti kepada orangtua. Pada masa sekarang ini, di panti jompo sering dijumpai orangtua yang beretnis Tionghoa. Sebagian masyarakat Tionghoa memilih untuk menitipkan orangtua yang sudah lanjut usia di panti jompo. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan nilai keluarga dalam masyarakat etnis Tionghoa dan alasan keluarga menitipkan orangtuanya. Penelitian ini memaparkan sistem kekeluargaan masyarakat Tionghoa, peran keluarga terhadap orangtua, dan posisi orangtua pada masyarakat etnis Tionghoa.

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil deskripsi dan interpretasi data berupa penggambaran dan penuturan dalam bentuk kalimat yang menjelaskan hubungan kedekatan keluarga terhadap orangtua yang tinggal di panti jompo, latar belakang yang mendasari keluarga menitipkan orangtua di panti jompo, dan persepsi keluarga terhadap panti jompo itu sendiri. Masyarakat etnis Tionghoa menganut sistem patrilineal yang berdasarkan garis keturunan ayah dan pentingnya peran orangtua dalam keluarga. Keluarga menitipkan orangtua karena faktor ekonomi yang tidak mampu dan kebutuhan orangtua dalam penanganan khusus bagi yang menderita penyakit stroke.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal Mahakudus, karena hanya atas limpahan berkat, restu dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)” ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa banyak bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak. Bantuan tersebut mengiringi perjalanan penulis selama masa studi, termasuk dalam penyusunan skripsi ini. Tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, perhatian dan kasih sayang. Beliau juga senantiasa menyediakan waktu dan tenaga untuk pembimbingan mulai dari awal hingga selesainya penyusunan skripsi ini serta memberikan masukan, ide-ide dan pengetahuan kepada penulis.


(5)

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Para dosen di Departemen Sosiologi yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu yang telah mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi.

5. Kak Fenny, Kak Betty dan Bang Abel di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

6. Sr. Theresia Sinaga, selaku pimpinan Graha Residen Karya Kasih yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk meneliti di Karya Kasih. 7. Papa, Mama, Abangnda Henry, Adinda Cynthia dan Adinda Felix, sebab

mereka ialah cahaya dan alasan sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat CJ8, yakni Yuliana Martha Tresia, Utari Sitorus, Cronika Lumbantoruan, Carolin, Onik, Carina yang selalu ada untuk berbagi suka dan duka, memberi bantuan doa, dorongan dan pengaruh yang positif bagi penulis.

9. Teman-teman seperjuangan di Departemen Sosiologi, yakni Melita Sitinjak, Dian Afrilia, Willer Lumbangaol, Serdita, Noni, Bertha, Sopia Winda, Risman Sitompul dan teristimewa teman-teman stambuk 2009 yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang mana kesemuanya senantiasa mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap semoga Allah Yang Maha Kuasa melimpahi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dengan rahmatNya yang kudus. Semoga skripsi ini


(6)

membawa manfaat bagi rekan-rekan pembaca. Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam skripsi ini. Kritik, masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati yang terbuka dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2015


(7)

DAFTAR ISI

Abstract ... i

Abstrak ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 10

1.4.2 Manfaat Praktis ... 10

1.5 Definisi Konsep ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Orientasi Nilai ... 13

2.2 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Tionghoa ... 17

2.2.1 Peran dan Posisi Orangtua dalam Keluarga Etnis Tionghoa ... 25

2.2.2 Peran Keluarga Ideal dalam Merawat Orangtua ... 26

2.3 Pendekatan Teori Struktural dan Fungsional dalam Keluarga ... 28

2.3.1 Aspek Struktural ... 30

2.3.2 Aspek Fungsional ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi Penelitian ... 34

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 35

3.3.1 Unit Analisis ... 35

3.3.2 Unit Informan ... 35


(8)

3.5 Interpretasi Data ... 38

3.6 Jadwal Kegiatan ... 39

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 39

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA ... 41

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Polonia ... 41

4.1.2 Gambaran Yayasan Karya Kasih Medan ... 44

4.1.2.1 Sejarah Berdirinya Yayasan Karya Kasih ... 44

4.1.2.2 Struktur Kepengurusan Karya Kasih ... 46

4.1.2.3 Visi dan Misi Karya Kasih ... 49

4.1.2.4 Kelas Hunian Panti Jompo Karya Kasih ... 50

4.2 Gambaran Umum Orangtua Lansia di Panti Jompo Karya Kasih ... 52

4.2.1 Data Orangtua Etnis Tionghoa di Panti Jompo Karya Kasih ... 52

4.2.2 Kegiatan Yang Dijalani Orangtua Sehari-hari ... 56

4.3 Profil Informan ... 58

4.4 Konsep Keluarga Menurut Informan ... 64

4.4.1 Keluarga Inti (Nuclear Family) ... 64

4.4.2 Kerjasama dan Pembagian Kerjasama ... 64

4.5 Posisi Orangtua dalam Keluarga Menurut Informan ... 66

4.5.1 Posisi Orangtua Semasa Hidup ... 66

4.5.2 Posisi dan Penghormatan Orangtua Setelah Meninggal ... 68

4.6 Orientasi Nilai Informan Menitipkan Orangtua di Panti Jompo ... 69

4.6.1 Menitipkan Orangtua di Panti Jompo Hal Yang Wajar ... 69

4.6.2 Merupakan Alternatif Terbaik... 69

4.6.3 Untuk Kenyamanan Orangtua ... 70

4.7 Latar Belakang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo ... 71

4.7.1 Faktor Ekonomi ... 71

4.7.2 Faktor Untuk Mengurangi Beban Pikiran ... 72

4.7.3 Faktor Kondisi Rumah Informan Yang Berukuran Kecil ... 72

4.7.4 Faktor Kondisi Fisik dan Psikis Orangtua Lansia ... 73


(9)

BAB V PENUTUP ... 79

5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82 Interview Guide


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Census Bureau (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling terikat karena kelahiran, pernikahan, adopsi ataupun tinggal bersama. Mengacu pada definisi di atas, keluarga memiliki dua karakteristik, yakni orang-orang saling berhubungan karena ikatan darah ataupun hukum dan mereka harus tinggal bersama di dalam satu rumah tangga. DeGenova (2008) mengkategorikan beberapa bentuk keluarga berdasarkan struktur dan hubungan di antara orang-orang yang berada dalam keluarga tersebut, salah satunya ialah keluarga inti. Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan anak-anak yang belum menikah (DeGenova, 2008). Semakin beragamnya anggota keluarga, di mana mengikutsertakan orang lain di luar ayah, ibu dan anak-anak untuk tinggal bersama dalam satu rumah, maka keluarga tersebut tidak lagi merupakan keluarga inti.

Berns (dalam Lestari, 2012) menyebutkan ada lima fungsi dasar dari keluarga, yaitu reproduksi, sosialisasi/edukasi, penugasan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi/pemeliharaan. Dengan reproduksi, keluarga mempertahankan populasi yang ada di masyarakat. Dengan sosialisasi/edukasi, keluarga menjadi sarana transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan dan teknik ke generasi selanjutnya. Dalam hal penugasan peran sosial, keluarga memberikan identitas ras, etnik, religi, sosial ekonomi dan peran


(11)

gender pada anggotanya. Keluarga juga menyediakan tempat berlindung, makanan dan jaminan kehidupan. Selain keempat hal di atas, keluarga juga memberikan pengalaman interaksi sosial pertama bagi anak sehingga dapat memberikan rasa aman bagi anak.

Mengacu pada penjelasan di atas, maka keluarga memiliki fungsi dan peran yang utama di dalam masyarakat. Sebuah keluarga memiliki ikatan batin yang kuat karena berasal dari suatu ikatan darah yang sama. Anak memiliki ikatan darah yang kuat dengan orangtuanya terkhusus ibu yang mengandung dan melahirkannya. Melalui ikatan darah yang kuat, tentu naluri ibu juga sangat kuat dan jarang salah apabila ada sesuatu yang terjadi terhadap anaknya dan sudah menjadi tanggung jawab bagi seorang ibu untuk merawat anaknya. Peran ayah pun sangat besar dalam pembentukan karakteristik anak dan apabila anaknya sudah besar dan beranjak dewasa, sudah menjadi tanggung jawab anaklah untuk merawat kedua orangtuanya yang sudah tua dan lanjut usia. Bahwa pada umumnya, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dimana masing-masing anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan intensif antar anggota keluarga. Dalam hal ini, merawat orangtua merupakan fungsi sosial anak dalam keluarga yang disesuaikan dengan status, peranan, jenis kelamin, dan umur anggota-anggota keluarga. Anak bersifat fungsional di dalam keluarga terhadap orangtuanya yang sudah lansia. Bagi keluarga pada umumnya anak mempunyai peranan dan tanggung jawab utama dalam merawat dan pemenuhan kebutuhan materiil maupun secara moriil bagi orangtuanya.


(12)

Adapun kewajiban seorang anak untuk merawat orangtuanya dapat dilakukan sendiri di dalam rumah, namun adakalanya anak atau keluarga dan sanak saudara memilih untuk memberikan perawatan khusus bagi orangtua lansia yang kita kenal sebagai rumah atau panti jompo. Anak tidak mampu merawat sendiri orangtua dapat dikarenakan faktor pekerjaan yang padat dan juga ada diantara orangtua lansia yang tidak memiliki anak sehingga keluarga dan sanak saudara yang berperan dalam merawat mereka juga tidak bersedia meluangkan waktu dalam merawatnya.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010), secara umum jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan. Jumlah penduduk lanjut usia perempuan (9,75 juta orang) lebih banyak dari jumlah penduduk lanjut usia laki-laki (8,29 juta orang) Peningkatan usia harapan hidup penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ada kenaikan sebanyak 6 juta orang dibanding tahun 1995 dimana lansia berjumlah lebih kurang 12 juta orang. Badan Pusat Statistik memprediksikan persentase penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2010 dan menjadi 11,34% pada tahun2020(http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docma n&Itemid=114

Pada negara-negara berkembang dan maju yang di dalamnya terdapat banyak kota-kota besar, banyak terjadi perubahan-perubahan pada aspek

diakses pada hari Sabtu, 13 April 2013 pukul 09.10). Gejala bertambahnya jumlah warga lansia dapat dikatakan bersifat universal, dan terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara maju.


(13)

kehidupan sosial. Tonnies (dalam Waluya, 2007) menyatakan bahwa masyarakat berubah dari masyarakat sederhana yang memiliki hubungan erat dan kooperatif menjadi masyarakat besar yang memiliki hubungan khusus dan impersonal. Gejala ini tampak jelas pada masyarakat perkotaan di mana terjadi perpecahan dalam masyarakat, keterasingan individu dan melemahnya ikatan sosial akibat pencarian kekuasaan dan perubahan sosial budaya menuju individualisasi. Perubahan ini semakin nyata dan terlihat jelas ketika seorang anak menitipkan orang tuanya yang sudah berusia lanjut di panti jompo.

Panti jompo merupakan rumah tempat mengurus dan merawat orang jompo (orang yang sudah berusia lanjut). Panti jompo sebagai wadah sosial yang disediakan bagi orangtua lansia yang membutuhkan perhatian dan perawatan secara khusus. Para lanjut usia dirawat dan diberi fasilitas serta pelayanan yang memadai supaya tidak terlantar, bagi yang tidak punya sanak saudara atau mereka ingin hidup tenang jauh dari keramaian.

Nilai budaya adalah wujud ideal dari kebudayaan yang merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Secara fungsional, nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan manusia. Orientasi nilai budaya (cultural value orientation) yang dikembangkan oleh Clyde Kluckhohn dan istrinya, Florence Kluckhohn pada bukunya yang berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952, dalam Pelly, 1994). Mereka beranggapan bahwa dalam rangka sistem budaya dari tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai


(14)

dalam hidup. Dengan demikian, maka sistem nilai budaya itu juga befungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, konsep-konsep itu telah berakar di dalam mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang singkat.

Pada masyarakat etnis Tionghoa, menghormati orangtua menjadi nilai budaya dan prinsip moral bagi kehidupan sosial dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dengan perayaan hari raya Ceng Beng yang menjadi tradisi bagi masyarakat Tionghoa. Perayaan ini dilaksanakan setiap tahun biasanya jatuh pada tanggal 5 April dengan berziarah ke makam leluhur, orangtua ataupun sanak saudara yang sudah meninggal. Perayaan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap bakti leluhurnya dan penghormatan bagi anggota keluarga yang sudah meninggal. Masyarakat Tionghoa mengadakan upacara-upacara penghormatan untuk memperingati kepergian nenek moyang leluhur mereka. Mereka sadar bahwa dengan adanya leluhur mereka, mereka lahir ke dunia dan memiliki keturunan. Mereka mempercayai bahwa leluhur mereka akan selalu mendoakan mereka agar keturunan-keturunan mereka senantiasa diberkati oleh Sang Pencipta. Masyarakat Tionghoa senantiasa memiliki sikap saling menghormati terhadap orangtua, keluarga, bahkan nenek moyang leluhur. Seperti halnya pada tradisi perayaan Ceng Beng ini yang masih tetap dibudayakan oleh masyarakat Tionghoa. Hal itu menjadi suatu tanda bahwa mereka memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap orangtua walaupun sudah meninggal sekalipun.

Berdasarkan kebudayaannya, etnis Tionghoa berlandaskan pada ajaran Konfusius yang menekankan pentingnya hubungan dengan keluarga. Ajaran


(15)

Konfusianisme merupakan ajaran moral yang menjadi suatu kepercayaan pada masyarakat tradisional etnis Tionghoa, dimana dalam ajaran tersebut ditekankan kepatuhan anak terhadap orangtua. Anak memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap kedua orangtuanya. Dan orangtua pun memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya. Besar harapan orangtua terhadap anaknya untuk mencapai kesuksesan kelak. Harapan tersebut dirasakan oleh anak sehingga menjadi dorongan dan semangat dalam kehidupan dan diwujudkan dengan berbakti kepada orang tua (filial piety), yaitu: rasa hormat dan patuh anak kepada orangtuanya. Para leluhur yang sudah meninggal saja masih mereka hormati apalagi di saat orangtua masih hidup. Mereka akan menyempatkan diri untuk mewujudkan cinta kasih, rasa sayang dan rasa hormat mereka terhadap orangtua dengan menjaga, merawat dan memenuhi kebutuhan orangtua di masa tua.

Pada umumnya, bantuan-bantuan yang diberikan anak sebagai bentuk perawatan terhadap orang tua mereka yang berusia lanjut diberikan oleh anak perempuan karena anak perempuan dianggap memiliki sifat merawat dan memiliki waktu yang lebih banyak untuk merawat orang tua dibandingkan dengan laki-laki. Namun, kenyataan pada kebudayaan Tionghoa menunjukkan bahwa anak laki-laki tertua dianggap memiliki tanggung jawab penuh terhadap orang tuanya sebab mereka akan menetap dan kelak akan menggantikan posisi orang tuanya. Sementara, anak perempuan akan pergi dan tinggal bersama suaminya dikarenakan oleh kebudayaan Tionghoa yang menganut sistem partrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal menganut garis keturunan yang didasarkan pada pihak


(16)

ayah (pihak laki-laki) sehingga garis keturunan diteruskan dengan membawa marga ayah (pihak laki-laki).

Masyarakat Tionghoa sulit membangun rasa percaya terhadap orang lain yang bukan keluarga dan juga kerabatnya apalagi yang berbeda etnis. Hal ini dapat kita lihat bahwa masyarakat etnis Tionghoa hanya akan menjalin hubungan bisnis dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan saja dan tak jarang mereka menjalin hubungan kerjasama dalam bidang pekerjaan hanya dengan kaum etnisnya. Mereka menitipkan orangtua mereka sendiri di panti jompo berarti mereka percaya bahwa panti jompo tersebut dapat menjamin rasa aman dan nyaman bagi orangtuanya.

Panti jompo yang terdapat di kota Medan salah satunya adalah Panti Jompo Karya Kasih yang terletak di jalan Mongonsidi Medan yang menjadi lokasi penelitian ini. Adapun panti jompo yang berada di wilayah Medan antara lain panti jompo Hisosu yang terletak di jalan Iman Bonjol, Dusun Kenanga-Brahrang Medan Binjai, Panti Jompo Yayasan Guna Budi Bhakti yang terletak di jalan Medan-Belawan km 16, Panti Jompo Yayasan Himpunan Sosial & Olahraga Sumatera Utara yang terletak di jalan Linjum Brahrang dan Panti Jompo milik Yayasan Harapan Jaya yang berada di jalan A.M.D Kompleks Graha Sultan, Medan Marelan.

Di panti-panti jompo yang berada di Medan tersebut tak jarang dijumpai orangtua lansia yang beretnis Tionghoa. Dalam keluarga etnis Tionghoa, hubungan keluarga yang paling penting adalah hubungan antara orangtua dan anak, terutama hubungan antara ayah dengan anak laki-lakinya. Walaupun hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya dituntut kepatuhan tanpa syarat dan


(17)

penghormatan dari sang anak, tetapi sebenarnya hubungan ini mengandung ketergantungan satu sama lain yang sangat besar. Dalam diri seorang ayah, terpendam semacam sindrom kekhawatiran akan masa tuanya kelak, tetapi disisi lain ia tidak ingin kekhawatiran tersebut dapat terbaca oleh anaknya, karena bagaimanapun posisi anak harus tetap inferior (inferior dimaksudkan bahwa anak memiliki posisi yang lebih rendah atau berada di posisi lebih bawahan daripada orangtua). Hal ini berkaitan dengan jaminan orangtua yang didapatkan dari anaknya kelak jika orangtua tidak mampu lagi bekerja memenuhi kebutuhannya (Wibowo, 2008).

Panti Jompo Karya Kasih merupakan salah satu panti jompo yang ada di kota Medan yang mewadahi fasilitas dalam kegiatan jasmani para orangtua. Di Panti Jompo Karya Kasih yang bertempat di jalan Mongonsidi Ujung No. 3 ini menjadi sebuah wadah sosial bagi pelayanan orangtua lansia yang membutuhkan uluran kasih dan perhatian khusus yang berada di sekitar kawasan kota Medan. Panti Jompo Karya Kasih merupakan yayasan sosial dibawah naungan gereja Katolik Medan. Dalam panti jompo ini mayoritas terdapat orangtua yang beretnis Tionghoa dengan jumlah keseluruhan orangtua sekitar 106 orang dan 80% dari keseluruhan orangtua yang menetap di Panti Jompo Karya Kasih ini beretnis Tionghoa sedangkan selebihnya ada yang beretnis Batak, Jawa dan India.

Nilai kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa yang menjadi salah satu alasan bagi sebagian orang mengapa panti jompo bukan menjadi suatu pilihan dalam perawatan orangtua lanjut usia. Menitipkan orangtua yang sudah berusia lanjut yang memerlukan perawatan ekstra ke panti jompo dianggap sebagai perbuatan yang tidak terpuji


(18)

dan bertolak belakang apabila ditinjau dari akar kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa yang sangat menjunjung tinggi nilai penghormatan terhadap orangtua. Hal inilah yang menarik untuk diteliti.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana orientasi nilai keluarga etnis Tionghoa yang menitipkan orangtua di panti jompo?

2. Mengapa keluarga etnis Tionghoa memilih untuk menitipkan orangtuanya di panti jompo?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana orientansi nilai keluarga etnis Tionghoa yang menitipkan orangtua di panti jompo.

2. Untuk mengetahui adakah faktor perubahan nilai sosial yang terjadi dalam kaitannya terhadap orangtua yang dititipkan di panti jompo khususnya dan orangtua etnis Tionghoa Medan umumnya.

3. Untuk mengetahui seberapa besar bentuk perhatian dan kasih sayang keluarga terhadap orangtuanya. Apakah bukan hanya ketidakmampuan tetapi juga ketidakmauan dalam merawat orangtua mereka (ketidakmampuan disini karena adanya faktor kesibukan).

4. Untuk menganalisis dalam bentuk apakah kebutuhan yang diinginkan oleh orangtua lansia (moril atau materiil).

1.4 Manfaat Penelitian


(19)

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti dan kalangan akademik untuk menambah pengetahuan dalam memahami permasalahan yang berkaitan dengan hubungan keluarga antara anak dengan orangtua yang sudah lanjut usia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini ialah :

1. Memberikan gambaran orientasi nilai sosial keluarga secara umum pada masyarakat etnis Tionghoa di Medan.

2. Memberikan kesadaran bagi masyarakat mengenai peran anak atau keluarga terhadap orangtua lansia yang seharusnya dijalankan.

3. Memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan mengenai peran sosial yayasan panti jompo sebagai sebuah wadah gerakan sosial dalam upaya pelayanan dan penanganan orangtua lansia.

1.5 Definisi Konsep

Orientasi : peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar; pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.

Nilai : sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Menurut Soerjono Soekanto, nilai sebagai konsepsi (pemikiran) abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai sosial


(20)

Orientasi nilai : bersifat komplek tetapi berpola pada prinsip yang mengutamakan tatanan dan langsung pada tindakan dan pikiran manusia yang berhubungan dengan solusi dalam memecahkan masalah.

Nilai budaya : wujud ideal dari kebudayaan yang merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Nilai berdasarkan pada sistem, seperti sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, dan sebagainya.

Panti jompo : rumah tempat mengurus dan merawat orang jompo (orang yang sudah berusia lanjut).

Yayasan : badan hukum yang tidak mempunyai anggota, dikelola oleh sebuah pengurus dan didirikan untuk tujuan sosial.

Konfusianisme : suatu ajaran moral sebagai pandangan atau paham yang menjadi dasar kepercayaan etnis Tionghoa dalam menjaga hubungan sosial antar manusia terutama orangtua dengan anak. Ajaran moral dan etika Konfusius ini bersifat humanis religius untuk bertujuan menciptakan keharmonisan hubungan antar umat manusia dan yang berakar kuat pada penekanan konsep bakti; bentuk penghormatan anak terhadap orangtua.

Filial piety : berasal dari bahasa Inggris yang berarti bakti. Bakti yang dimaksudkan ialah suatu rasa, bentuk dan tanda hormat anak kepada orangtuanya.


(21)

Patrilineal : mengenai hubungan keturunan melalui garis kerabat pria saja, bapak. Patrilineal ini adalah sistem kekerabatan masyarakat yang melalui garis keturunan laki-laki (ayah). Sistem kekerabatan patrilineal ini terdapat pada masyarakat etnis Tionghoa seperti dalam pembahasan ini dan secara umum pada masyarakat etnis Batak.

Konsanguinal : menekankan pada pentingnya ikatan-ikatan darah, seperti hubungan antara seseorang dengan orang tuanya dianggap lebih penting daripada ikatan antara suami atau isterinya. Konsanguinal merupakan suatu sistem keluarga yang dideskripsikan menurut Clayton.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Orientasi Nilai

Orientasi ialah peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar; pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan. Menurut Kluckhohn (dalam Mulyana, 2004), nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir. Definisi ini berimplikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya.

Kluckhohn mengungkapkan ada enam implikasi terpenting, yaitu sebagai berikut: a. Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional)

dan proses ketertarikan dan penolakan menurut kata hati.

b. Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi tidak selalu bermakna apabila diverbalisasi.

c. Apabila hal itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik oleh individu atau kelompok.

d. Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa pada dasarnya disamakan (aquated) daripada diinginkan, ia didefenisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosiol budaya untuk mencapai keteraturan dan menghargai orang lain dalam kehidupan sosial.

e. Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends).


(23)

f. Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.

Pandangan Kluckhohn itu mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang diinginkan baik itu materi, benda atau gagasan mengandung nilai, karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, seperti makanan, uang, rumah, kebenaran, kejujuran dan keadilan. Menurut Kattsoff (dalam Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah, 2010) mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua, nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Sedangkan Sadulloh (2004) mengemukakan tentang hakikat nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedonisme, hakikat nilai adalah pleasure atau kesenangan, sedangkan menurut formalisme, nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal rasional dan menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat dan makna nilai adalah sesuatu hal sesuatu hal yang dihubungkan dengan akal rasional, logis dan bergantung pada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Nilai itu sendiri adalah sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti penilaian baik atau buruknya sesuatu, penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau


(24)

kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar yang dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam bertindak atau berbuat sesuatu hal dalam kehidupan sosial.

Orientasi nilai dapat dikatakan bersifat komplek tetapi berpola pada prinsip yang mengutamakan tatanan dan langsung pada tindakan dan pikiran manusia yang berhubungan dengan solusi dalam memecahkan masalah. Lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia menurut Kluckhohn (dalam Pelly, 1994) :

a. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia

Ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan. Pada agama Budha misalnya, pola-pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju arah tujuan bersama dan memadamkan hidup baru. Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang hidup manusia dapat mengusahakan untk menjadikannya suatu hal yang indah dan menggembirakan.

b. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia

Kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk memungkinkan hidup, kebudayaan lain menganggap hakikat karya manusia itu untuk memberikannya kehormatan, ada juga kebudayaan lain yang menganggap karya manusia sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.

c. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu Kebudayaan memandang penting dalam kehidupan manusia pada masa lampau, keadaan serupa ini orang akan mengambil pedoman dalam


(25)

tindakannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa lampau. Sebaliknya ada kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Dalam kebudayaan ini perencanaan hidup menjadi suatu hal yang sangat amat penting.

d. Masalah mengenai hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia hanya dapat bersifat menyerah tanpa dapat berusaha banyak. Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam sebagai lawan manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukan alam. Kebudayaan lain masih ada yang menganggap bahwa manusia dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.

e. Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya

Ada kebudayaan yang memntingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Tingkah lakunya akan berpedoman pada tokoh-tokoh pemimpin. Kebudayaan lain mementingkan hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya dan berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya merupakan suatu hal yang penting dalam hidup terutama menjaga hubungan baik dengan keluarga. Kecuali pada kebudayaan lain yang tidak menganggap manusia tergantung pada manusia lain, sifat ini akan menimbulkan individualisme.

Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda-beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada. Sementara itu


(26)

Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan menunjukkan titik kelemahan dari kebudayaan Indonesia. Kelemahan utama antara lain mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan tanggung jawab.

2.2 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Tionghoa

Keluarga dalam masyarakat Tionghoa merupakan pranata sosial yang paling penting. Adapun masyarakat Tionghoa memegang suatu landasan sebagai ajaran moral yang sudah menjadi suatu kepercayaan di masa Tionghoa kuno yaitu ajaran Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme. Dimana menurut Konfusius, keharmonisan dalam masyarakat bersifat hirarkis dan anti egaliter yang didasarkan pada jenis kelamin, usia, pertalian saudara, dan fungsi sosial. Konfusianisme menekankan dalam lima norma dasar tentang hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat. Dalam etika konfusian kelima norma dasar kesopanan tentang hubungan dalam masyarakat tersebut menjadi tuntunan hidup bermasyarakat. Kelima norma dasar tersebut meliputi hubungan antara raja dengan rakyatnya yaitu kesetiaan mutlak rakyat kepada penguasa, kebaktian kepada orang tua (filial piety) yaitu rasa hormat dan patuh anak kepada ayahnya, cinta kasih dalam hubungan suami dengan istri, rasa hormat adik kepada kakaknya, dan sifat dapat dipercaya dalam hubungan antar teman (Hidajat Z.M, 1993).

Dari lima hubungan sosial yang diatur Konfusius di atas, mayoritas mengatur hubungan antara atasan terhadap bawahan dan tiga diantaranya adalah


(27)

hubungan kekerabatan. Artinya dalam hubungan sosial yang terjadi, baik dalam pemerintahan maupun kekerabatan, seperti diatur dalam lima hubungan utama tersebut, dituntut suatu kepatuhan tanpa syarat dari bawahan terhadap atasannya. Hal inilah yang dimaksudkan sistem kekeluargaan bersifat hirarkis, dalam hubungan keluarga yang memiliki kekuasaan tertinggi berada pada orangtua. Oleh karena itu, dalam keluarga Tionghoa pada masa tradisional khususnya hubungan keluarga yang paling penting adalah hubungan antara orangtua dan anak, terutama hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya, karena ayah merupakan pemimpin dalam keluarga dan anak laki-laki sebagai calon pemimpin bagi keluarganya kelak sehingga ayah sangat berperan dalam keluarga untuk mendidik dan membina anak laki-lakinya dengan keras dan penuh kebajikan. Hubungan seperti inilah menekankan pada sistem konsanguinal dimana pentingnya ikatan darah (Wibowo, 2008).

Dalam masyarakat yang didominasi filsafat Konfusianis, baik sebagai ajaran moral maupun filsafat pemerintahan, masyarakat Tionghoa sangat mengutamakan dan menjunjung tinggi kualitas hubungan sosial. Bagi masyarakat Tionghoa, hubungan sosial menjadi semacam tolak ukur kualitas kehidupan seseorang. Semakin baik seseorang mengatur kualitas hubungannya dengan lingkungan sosialnya, maka ia akan semakin dihormati lingkungannya. Oleh karena itu, banyak institusi-institusi sosial dibentuk untuk tujuan mempererat hubungan sosial dan meningkatkan moralitas kemanusiaan individual, seperti yang diajarkan Konfusius. Untuk tujuan ini, hampir setiap penguasa dari setiap zaman mencoba berbagai bentuk lembaga sosial agar tercapai kondisi sosial yang harmonis. Dari sekian banyak lembaga sosial yang pernah dibentuk, ternyata


(28)

model institusi sosial berdasarkan kekerabatanlah yang paling sesuai dan mampu bertahan dalam setiap zaman. Hampir semua lembaga sosial dibentuk berdasarkan institusi keluarga dan berisikan keluarga-keluarga yang bernaung dalam satu unit. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya unit sosial saja yang bertumpu dan berintikan keluarga, tetapi juga unit ekonomi, politik bahkan keamanan (Wibowo, 2008).

Keluarga dalam masyarakat etnis Tionghoa mampu memainkan peranan yang sangat menentukan, dimana keluarga sebagai unit sosial yang paling dasar menjadi unit dasar yang memegang hak kepemilikan properti utama, seperti rumah dan tanah. Dengan demikian, keluarga merupakan suatu unit sosial dasar dari kegiatan produksi, distribusi, sekaligus konsumsi, yang dikelola secara kolektif kekerabatan di bawah pimpinan seorang kepala keluarga (Wibowo, 2008). Oleh karena itu, hubungan yang baik antar anggota dalam unit sosial yang paling dasar dapat menjadi titik tolak hubungan sosial yang baik pada unit yang makin besar dalam masyarakat, bangsa, maupun negara. Atas dasar kondisi demikian, dalam masyarakat Tionghoa tradisional, keluarga ikut berperan penting dalam kehidupan ekonomi, kontrol sosial, pendidikan moral, bahkan pemerintahan, karena keluarga merupakan bentuk miniatur sebuah negara, seperti yang dikatakan Konfusius bahwa “(bentuk) pemerintahan kerajaannya bertumpu pada aturan keluarga....” Zhong Yong (IX:7 dalam Wibowo, 2008).

Konfusius hidup pada tahun 551-479 SM yang dilahirkan di daerah Chou di propinsi Shantung. Buah pikirannya merupakan suatu filsafat sosial yang memimpikan suatu negara kesatuan untuk seluruh daerah Cina dan seluruh peradaban manusia. Konfusius tertarik pada suatu masyarakat umat manusia yang


(29)

ideal. Pikirannya didasarkan atas buah pikiran dari tokoh-tokoh masa kuno Cina yaitu azas peraturan kuno yang merupakan pembentuk pemerintahan yang telah terbukti kebaikannya dan yang sampai sekarang menjadi sumber segala peraturan. Konfusius yakin bahwa untuk menghasilkan moral yang baik, tidak akan dicapai dengan kekuatan raja, bangsawan atau kelas-kelas lainnya. Akan tetapi hanya bisa dicapai dengan memelihara upacara-upacara tradisional, serta meyakini bahwa pengolahan sifat-sifat yang ideal itu haruslah diserahkan kepada kaum cendikiawan para sarjana. Para sarjana-sarjanalah yang ahli dalam tradisi ritual dan yang mengutamakan kepentingan keluarga. Sedangkan di Indonesia, Konfusius ini dikenal dengan nama Khong Hu Chu atau Kung Fu Tze dianggap sebagai nabi yang mengajarkan agama, padahal yang sebenarnya ia seorang ahli sastrawan dan seorang filsuf. Di Indonesia Khong Hu Chu diakui sebagai agama resmi yang terdapat pada Penpres No 1 Tahun 1962 dan UU No. 5 Tahun 1969 (Hidajat Z.M, 1993: 29-30).

Bagi pengikut Konfusius berpendapat bahwa manusia dapat mencapai keharmonisan yang terbaik antara langit dan bumi. Titik berat dari paham ini terletak pada kekuatan manusia, bukan lagi pada fenomena-fenomena alam dengan dunia supranaturalnya. Konfusius selalu menekankan pada pemeliharaan sopan santun. Sopan santun ini terutama dalam realitas pembinaan keharmonisan sosial yaitu melalui lima hubungan sosial yang telah disebutkan pada paragraf pertama, yaitu hubungan antara pemerintah dan para menteri dengan rakyat, hubungan antara ayah dengan anak-anak laki, hubungan antara saudara laki-laki tertua dengan yang lebih muda, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara teman dengan teman. Kelima hubungan akan mengikat tali persaudaraan


(30)

yang dapat memungkinkan hidup bersama dalam suasana selalu bekerjasama. Kerjasama inilah berarti terlihat adanya keharmonisan antara semua individu-individu dan semua anggota masyarakat dan negara (Hidajat Z.M, 1993).

Dalam keluarga etnis Tionghoa, yang paling penting diantara kelima hubungan sosial tersebut ialah hubungan keluarga antara orangtua dan anak, terutama hubungan antara ayah dengan anak laki-lakinya. Hubungan yang menggunakan sistem keluarga konsanguinal, yang menekankan pada pentingnya ikatan darah, mengalahkan ikatan suami-istri. Walaupun hubungan antara ayah dan anak laki-lakinya dituntut kepatuhan tanpa syarat dan penghormatan dari sang anak, tetapi sebenarnya hubungan ini mengandung ketergantungan satu sama lain yang sangat besar. Seorang ayah dalam sebuah keluarga merupakan pusat kekuasaan yang bertugas mengawasi dan mengontrol kekayaan keluarga serta mengatur perkawinan anak-anaknya. Dimana sang ayah pun membutuhkan anak laki-laki untuk menggantikan posisinya kelak dan hal ini berkaitan dengan jaminan orangtua yang didapatkan dari anak-anaknya kelak jika orangtua telah uzur dan tidak mampu lagi bekerja memenuhi kebutuhannya (Wibowo, 2008). Dan setelah ayahnya meninggal, anak laki-laki tertualah yang akan menggantikan kedudukan ayahnya dan kekuasaan di dalam keluarga berada di bawah pimpinan anak laki-laki tertua. Anak sulung ini akan menerima yang paling banyak harta warisan orangtuanya, dan harta warisan ini hanya diberikan kepada anak-anak laki-laki saja, sedangkan anak-anak perempuan tidak diberi apa-apa (Hidajat Z.M 1993). Demikianlah keterkaitan erat hubungan sosial antara orangtua dengan anaknya terlebih antara ayahnya dengan anak laki tertua, dimana anak laki-laki memiliki peran penting di dalam keluarga masyarakat Tionghoa.


(31)

Apabila dasar-dasar hubungan-hubungan sosial dalam ajaran Konfusianisme dapat dijalankan khususnya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, maka hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat luas juga tidak akan mendapatkan suatu hambatan ataupun masalah. Semua hal berawal dari keluarga, suatu sikap dan sifat seseorang paling dominan terbentuk di dalam keluarga karena keluarga memiliki peran paling utama dalam membentuk sebuah hubungan sosial, sehingga apabila dasar-dasar hubungan sosial seperti dalam ajaran Konfusianisme dalam masyarakat Tionghoa dapat dijalankan dengan baik di dalam keluarga tentu saja hubungan-hubungan sosial dengan masyarakat luas juga akan tercipta baik dan harmonis.

Etnis Tinghoa sebagai salah satu etnis yang menganut prinsip keturunan secara patrilinial sehingga peranan laki-laki di dalam suatu keluarga sangat besar. Dimana dalam setiap keluarga inti (nuclear family) biasanya yang memegang peranan penting adalah ayah dan anak laki-laki terutama anak laki-laki yang tertua di dalam keluarga. Semua keluarga inti setelah ayahnya meninggal akan beralih ke dalam kekuasaan anak laki-laki, semua anggota keluarga berada dibawah kekuasaannya. Biasanya anak sulung ini juga akan mendapat bagian warisan keluarga dengan jumlah yang paling banyak apabila dibandingkan dengan para saudaranya yang lain, sedangkan anak perempuan menurut adat tidak akan beroleh apa-apa. Maka bagi etnis Tionghoa nilai anak laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai anak perempuan. Oleh sebab itu peranan anak laki-laki lebih besar dalam keluarga masyarakat Tionghoa dan masyarakat tersebut senantiasa menuntut agar mendapatkan lebih banyak keturunan (anak laki-laki) di dalam keluarga mereka (Hidajat Z.M, 1993).


(32)

Pada etnis Tionghoa dikenal adanya bentuk keluarga inti (nuclear family) dan bentuk keluarga luas (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin, sedangkan keluarga luas (extended family) adalah suatu bentuk keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari nenek, ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin dan sudah kawin dan tinggal dalam satu atap atau satu rumah. Jadi perbedaan antara keluarga inti dan keluarga luas itu didasarkan pada keanggotaannya. Terkhusus mengenai keluarga luas (extended family) sudah menjadi suatu kebiasaan dimana masyarakat etnis Tionghoa hidup secara berkelompok di dalam satu rumah tanpa menimbulkan perselisihan antar sesama anggota keluarganya.

Seperti yang dikemukakan oleh Baker (dalam Wibowo, 2008) menyatakan bahwa adanya bentuk keluarga besar yang menjadi cita-cita ideal masyarakat Tionghoa. Bentuk keluarga ideal yang diharapkan adalah sebuah keluarga yang terdiri dari sekelompok kerabat, berisi lima generasi, tinggal seatap, memiliki anggaran bersama, dan makan dari dapur yang sama. Keluarga semacam ini dipimpin seorang laki-laki tertua sebagai kepala keluarga. Bentuk keluarga yang seperti ini disebut juga bentuk keluarga patrilineal yang merupakan sistem kekerabatan masyarakat Tionghoa melalui garis keturunan laki-laki (ayah) dimana artinya orang-orang yang menempati rumah tersebut berasal dari pihak laki-laki, dan anak perempuan setelah menikah akan tinggal menetap di sekitar kediaman kerabat suaminya yang juga akan hidup mengelompok di dalam satu rumah. Pendapat Baker yang diungkapkannya mengenai keluarga ideal dalam masyarakat Tionghoa yang sebenarnya adalah bentuk keluarga luas (extended family) yang


(33)

berdasarkan kenggotaannya; terdiri dari beberapa keluarga inti yang hidup dalam satu satuan unit kekerabatan.

Berbicara mengenai etnis Tionghoa tentu tidak terlepas dari adat istiadat, religi dan kebudayaannya. Kebudayaan sebagai salah satu bentuk kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat; tanpa adanya masyarakat, kebudayaan tidak akan terbentuk. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sistem nilai budaya ini merupakan suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari anggota suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Hal ini umumnya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pemberi arah dan pendorong kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1988).

Dalam kebudayaannya, masyarakat etnis Tionghoa memiliki sikap pola kehidupan berusaha dimana sikap pola kehidupan berusaha yang dimaksudkan ialah seperti keuletan, kerajinan, ketekunan bekerja, dan juga sifat hemat yang mereka miliki. Sikap-sikap seperti ini mengandung nilai estetika diri seperti dorongan dan spiritual yang tinggi yang menjadi tonggak bagi sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa untuk maju dalam bidang pekerjaan. Hal ini yang tentunya perlu untuk ditiru dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai


(34)

cermin dalam tata kehidupan masyarakat, agar masyarakat mampu berjuang dan berupaya untuk memperoleh kesejahteraan sosial dan ekonomi.

2.2.1 Peran dan Posisi Orangtua dalam Keluarga Etnis Tionghoa

Pada etnis Tionghoa yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal menggambarkan bahwa posisi orangtua khususnya ayah adalah posisi yang tertinggi dalam keluarga (keluarga inti). Peran orangtua sangat besar dan penting dalam perkembangan didik anak. Prinsip dasar etik moral bagi masyarakat etnis Tionghoa dahulu adalah kepatuhan akan keturunannya pada tradisi yang berlaku, dengan memelihara etik hubungan sosial dalam keluarga dan dalam masyarakat, secara baik dan harmonis. Itulah sebabnya adalah keharusan bagi setiap orangtua agar mendidik anak-anaknya patuh dan taat kepada orangtua (Hidajat Z.M, 1993). Orangtua merawat dan membesarkan anak, dimana peran afeksi orangtua ialah memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap anaknya. Anak yang kekurangan kasih sayang akan tumbuh secara menyimpang, kurang normal, atau mengalami suatu gangguan baik kesehatan fisik maupun psikis dalam masyarakat seperti munculnya rasa malas yang dapat mempengaruhi proses perkembangan didik anak.

Pada masyarakat etnis Tionghoa, ada kecenderungan masyarakat lebih memikirkan status ekonomi dengan berusaha mengejar kekuasaan dan kekayaan, positifnya mereka memiliki semangat dan daya juang yang tinggi serta kerja keras dengan kegigihan yang tinggi. Tetapi menjadi dampak negatif bagi keluarga atau anak, orangtua cenderung lebih memikirkan urusan bisnis dan pekerjaan daripada merawat anaknya secara langsung. Hal itu dapat kita lihat khususnya pada keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke atas. Anak-anak balita saja


(35)

biasanya dirawat oleh babysitter apalagi yang sudah bersekolah. Orangtua hanya akan membiarkan anak-anaknya mandiri dengan bertumbuh kembang sendiri dan merawat dirinya sendiri atau dibantu oleh asisten rumah tangga. Sementara orangtua akan lebih sibuk mengurusi urusan pekerjaan atau bisnis daripada mengurus anaknya sendiri.

Cara, tindakan dan perilaku seperti inilah yang akan menjadi pandangan bagi sebagian besar keluarga masyarakat Tionghoa. Mayoritas masyarakat etnis Tionghoa ingin praktis dan tidak perlu repot dalam mengurus anak tetapi kembali lagi kepada masyarakat itu sendiri merekalah (orangtua) yang menentukan bagaimana dirinya seharusnya bersikap dalam mengurus anak dan keluarga, masih ada orangtua etnis Tionghoa yang mengurus anak secara langsung. Orangtua yang mampu mengurus dan memberikan perhatian serta kasih sayang secara langsung terhadap anaknya sejak kecil menanamkan pola nilai dalam keluarga dimana keluarga memiliki ikatan batin yang kuat dan menjadi prioritas yang nomor satu yang harus diperjuangkan dan keluarga juga merupakan tujuan hidup seseorang. Rasa perhatian dan kasih sayang pun akan timbal balik diberikan oleh anak apalagi disaat orangtua sudah tua dan sangat membutuhkan perhatian dari anaknya, anak pun akan lebih menghargai kedua orangtuaya karena merasakan secara langsung.

2.2.2 Peran Keluarga Ideal dalam Merawat Orang Tua menurut Etnis Tionghoa

Menurut tradisi Tionghoa kuno, tanggung jawab dalam merawat orang tua terletak di pundak anak laki-laki tertua, dimana anak laki-laki memiliki peran lebih besar dibandingkan anak perempuan, dan nilai anak laki-laki juga tinggi di


(36)

dalam keluarga. Anak laki-laki tertualah yang bertanggung jawab lebih besar dalam merawat orangtua. Jika ada diantara anak-anaknya ada seorang sanak saudara tidak menikah, maka tanggung jawab sanak saudara yang harus merawat orangtuanya tersebut. Hal ini berlaku mutlak pada zaman dahulu sehingga pada zaman dahulu, orangtua pada masyarakat etnis Tionghoa menduduki posisi paling tinggi dalam keluarga. Sudah menjadi tugas menantu dari anak laki-laki tertua yang harus bertanggung jawab membantu suami dalam merawat orangtuanya, walaupun bagi kalangan orang yang mampu menggaji pembantu rumah tangga, akan tetapi anak dan menantu tetap wajib mengawasi langsung keperluan dan perawatan orangtuanya diakses pada hari Jumat, 12 April 2013 pukul 09.24). Ini merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh anak sebagai rasa baktinya terhadap orang tua dalam tradisi masyarakat Tionghoa.

Anak perempuan pun bukan berarti tidak memiliki tanggung jawab dalam mengurus orangtuanya hanya saja peran perempuan di dalam keluarga lebih kecil dibandingkan laki-laki sehingga dianggap sedikit memiliki tanggung jawab dalam merawat orangtuanya dan diharapkan anak laki-laki lah yang dapat merawat orangtuanya. Karena peranan dan tanggung jawab yang sedikit dalam keluarga, anak perempuan tidak memiliki wewenang dalam merawat dan mengurus orangtuanya. Bagi anak-anak perempuan, ketergantungan mereka terhadap keluarga lebih tinggi dibanding laki-laki, dan perempuan sebagai individu yang merupakan bagian dari keluarga yang tidak dapat berbuat banyak (Wibowo, 2008: 67-68).


(37)

Selain itu, bukan hanya karena peranannya yang kecil dalam keluarga, masyarakat etnis Tionghoa memiliki sistem kekerabatan patrilineal yang hubungan kekerabatan berdasarkan garis keturunan laki-laki sehingga apabila anak perempuan sudah menikah maka anak perempuan tersebut akan ikut bersama suaminya dan (atau) tinggal bersama keluarga dari pihak suaminya. Bagi seorang perempuan menikah, maka perempuan tersebut akan terputus hubungan kekerabatan dengan keluarganya, ditandai dengan penggunaan nama marga suami (Wibowo, 2008: 64).

2.3 Pendekatan Teori Struktural Fungsional Dalam Keluarga

Ritzer (2009: 21) konsep utama dalam teori ini adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manisfest, dan keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan mempengaruhi akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya, jika tidak fungsional maka struktur tidak akan nada atau akan hilang dengan sendirinya. Konsep teori ini dalam keluarga dapat dilihat berdasarkan pada sistem (aturan orangtua dalam keluarga), subsistem (anak), struktur keluarga (hubungan orangtua dan anak), pembagian peran, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban, menjalankan fungsi, mempunyai aturan dan nilai/ norma yang harus diikuti dan mempunyai tujuan. Penganut teori ini cenderung melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial.


(38)

Secara ekstrim, penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.

Penerapan teori Struktural Fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (Herien, 2009: 20), bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tersebut tidak memliliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah. Menurut Leslie dan Korman (dalam Ihromi, 2004), diantara Sosiolog Amerika pendekatan Fungsional Struktural paling sistematis diterapkan dalam kajian terhadap keluarga oleh Talcott Parsons. Penerapan teori ini pada keluarga oleh Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi.

Aplikasi Teori Struktural Fungsional dalam Keluarga:

a. Berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak perempuannya.

b. Setiap masyarakat mempunyai peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan orang harus berperilaku.

c. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-anak (intact families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya


(39)

(single families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat, atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain. d. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib

(social order). Ketertiban keluarga akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.

e. Terdapat dua bentuk keluarga, yaitu: keluarga inti (nuclear family): ayah, ibu, anak dan keluarga luas (extended family): ayah, ibu, anak, kakek, nenek.

f. Struktur dalam keluarga dapat dijadikan institusi keluarga sebagai sistem kesatuan dengan elemen-elemen utama yang saling terkait ialah status sosial dan fungsi dan peran sosial. Status sosial ialah pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lain-lain, sedangkan fungsi dan peran sosial ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat memotivasi tingkah laku seseorang yang menduduki status sosial tertentu, contohnya: peran instrumental yaitu: mencari nafkah; peran emosional ekspresif yaitu: pemberi cinta, kasih sayang).

2.3.1 Aspek Struktural

Ada tiga elemen utama dalam struktur internal yaitu: status sosial, fungsi sosial dan norma sosial yang ketiganya saling kait-mengkait. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu: suami, istri dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak-anak balita, anak remaja dan lain-lain. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada anggota keluarga seperti bapak, ibu dan anak-anak dalam sebuah keluarga, serta memberikan rasa


(40)

memiliki karena ia merupakan bagian dari sistem keluarga. Keberadaan status sosial secara instrinsik menggambarkan adanya hubungan timbal-balik antar anggota keluarga dengan status sosial yang berbeda.

2.3.2 Aspek Fungsional

Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Arti fungsi disini dikaitkan dengan bagaimana subsistem dapat berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan sosial. Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai fungsi yang sama seperti yang dihadapi oleh sistem sosial yang lain yaitu menjalankan tugas-tugas, ingin meraih tujuan yang dicita-citakan, integrasi dan solidaritas sesama anggota, memelihara kesinambungan keluarga. Keluarga inti maupun sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang hampir sama yaitu ada diferensiasi peran, struktur yang jelas yaitu ayah, ibu dan anak-anak.

Sebagai sebuah sistem, keluarga dapat terpecah apabila salah satu atau lebih anggota keluarga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam keluarga hingga menyebabkan terjadinya keluarga disfungsi. Hal ini tentu akan mempengaruhi keutuhan keluarga sebagai sebuah sistem. Disfungsi diartikan sebagai tidak dapat berfungsi dengan normal sebagaimana mestinya. Keluarga disfungsi dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial terkecil dalam masyarakat dimana anggota-anggotanya tidak atau telah gagal manjalankan fungsi-fungsi secara normal sebagaimana mestinya. Keluarga disfungsi berarti hubungan yang terjalin di dalamnya tidak berjalan dengan harmonis, seperti fungsi masing- masing anggota keluarga tidak jelas atau ikatan emosi antar anggota keluarga kurang terjalin dengan baik (Siswanto, 2007: 135). Keluarga yang mengalami


(41)

disfungsi sangat berpengaruh pada sosialisasinya dalam keluarga, disfungsi sosialisasi keluarga merupakan suatu hal yang disebabkan gagalnya keluarga dalam menjalankan fungsi sosialisasi yang seharusnya dilakukan oleh keluarga tetapi dijalankan oleh orang lain atau lembaga lain.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Studi deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya (Best, dalam Sukardi, 2004).

Penelitian deskriptif dapat berupa studi kasus yang merupakan penelitian mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus menghasilkan yang selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan arsip. Studi kasus adalah salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang lebih menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis (Bungin, 2007: 229). Dalam penelitian ini, studi kasus deskriptif melihat gambaran nilai sosial keluarga terhadap orangtuanya yang dititipkan di panti jompo.


(43)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat peneliti melakukan penelitian yang terkait mengenai judul dan masalah penelitian dimana banyaknya keluarga lebih memilih untuk menitipkan orangtua di panti jompo khususnya pada etnis Tionghoa. Lokasi penelitian tersebut ialah Panti Jompo Karya Kasih yang terletak di Jalan Mongonsidi Ujung No. 3 Medan. Panti jompo ini menyediakan fasilitas yang cukup memadai untuk kebutuhan para orangtua yang berusia lanjut. Di panti jompo ini terdapat 108 orangtua dari berbagai suku dan agama, yang diantaranya beretnis Tionghoa, Batak, Jawa dan India.

Alasan peneliti memilih lokasi ini ialah karena berdasarkan hasil observasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua yang tinggal di Panti Jompo Karya Kasih adalah orangtua yang beretnis Tionghoa, dimana ada sebanyak 66 orang beretnis Tionghoa dari jumlah keseluruhan 106 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suster Theresia yang adalah pimpinan Graha Residen Senior (atau yang kita sebut sebagai panti jompo), Panti Jompo Karya Kasih memiliki jam kunjungan bagi orangtua yang harus rutin dikunjungi oleh keluarga-keluarga para orangtua lansia yang tinggal di panti jompo ini. Keluarga tersebut memiliki kewajiban untuk mengunjungi orangtua mereka sesuai dengan waktu kunjungan yang biasa mereka lakukan. Hal demikianlah yang dapat memudahkan peneliti untuk melakukan wawancara terhadap keluarga, anak ataupun sanak saudara dari orangtua lansia yang beretnis Tionghoa tersebut.


(44)

3.3 Unit Analisis Dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian atau unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007: 76). Adapun dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah keluarga etnis Tionghoa yang termasuk di dalamnya orangtua beretnis Tionghoa yang tinggal di Panti Jompo Karya Kasih dan anak dari orangtua yang beretnis Tionghoa tersebut.

3.3.2 Unit Informan

Informan merupakan subjek memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007:76). Informan adalah orang yang diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara. Menurut Bungin (2007: 108) orang yang dikatakan sebagai informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Dalam penelitian ini, unit informan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: informan kunci dan informan biasa.

Adapun informan kunci dan informan biasa dikategorikan sebagai berikut: a. Informan Kunci

Adapun yang menjadi informan kunci adalah pihak keluarga dari orangtua beretnis Tionghoa yang dititipkan dan menetap di Panti Jompo Karya Kasih. Pihak keluarga merupakan anak dan sanak keluarga (saudara dan keponakan) dari orangtua yang beretnis Tionghoa tersebut yang dititipkan di Panti Jompo Karya Kasih.


(45)

b. Informan Biasa

Yang menjadi informan biasa adalah pengurus Panti Jompo Karya Kasih. Adapun pengurus Panti Jompo Karya Kasih dikepalai oleh seorang suster/biarawati. Sedangkan yang mengelola Panti Jompo Karya Kasih adalah Keuskupan Agung Medan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah wawancara secara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet (Bungin, 2007:107). Data biasanya dicatat dalam tulisan dan direkam dengan voice recorder atau video recorder untuk pengambilan suara dan gambar. Data tidak sebagai apa yang diberikan oleh alam, tetapi merupakan hasil interaksi penulis dengan sumber data. Data yang diambil berdasarkan rekaman suara ataupun video juga harus seizin unit informan.

Hasil penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Menurut Bungin (2007: 108) sumber data terbagi dua yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data yang secara langsung memberikan data kepada pengumpul data. Adapun teknik pengumpulan datanya ialah berdasarkan wawancara dan observasi langsung.

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan


(46)

pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007: 108). Peneliti mengharapkan perolehan informasi dari responden mengenai suatu masalah yang diteliti, yang tidak dapat terungkap melalui penggunaan teknik kuesioner. Oleh karena itu, maka dalam melaksanakan wawancara mendalam, pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan kepada responden tidak dapat dirumuskan secara pasti sebelumnya, melainkan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan banyak bergantung dari kemampuan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan sesuai dengan jawaban responden. Dengan kata lain, di dalam wawancara mendalam berlangsung suatu diskusi terarah di antara peneliti dan responden menyangkut masalah yang diteliti. Di dalam diskusi tersebut peneliti harus dapat mengendalikan diri, sehingga tidak menyimpang jauh dari pokok permasalahan serta tidak memberikan penilaian mengenai benar atau salahnya pendapat atau opini responden (Basuki, 2006: 118).

Teknik pengumpulan data primer berikutnya adalah melalui observasi atau pengamatan langsung. Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Bungin, 2007: 115). Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman pada desain penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut. Observasi berbeda


(47)

dengan wawancara yang tidak harus selaku berkomunikasi secara lisan terhadap objek yang diteliti.

Teknik pengumpulan data sekunder dikemukakan juga oleh Bungin bahwa data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data sekunder dapat diperoleh melalui buku atau studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan langkah awal yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan menelaah buku-buku, majalah-majalah, brosur-brosur, dokumen-dokumen, yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Singarimbun, 1985: 45).

3.5 Interpretasi Data

Analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memfokuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. (Bogdan & Biklan, dalam Moleong, 2006: 280-281).

Akhirnya perlu dikemukakan bahwa analisis data dilakukan dalam proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan penelitian.


(48)

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1. Pra proposal 

2. ACC penelitian  3. Penyusunan proposal

penelitian

 

4. Seminar proposal penelitian

5. Revisi proposal penelitian

6. Penelitian lapangan     7. Pengumpulan data dan

analisa data

     

8. Bimbingan skripsi      9. Penulisan laporan akhir      

10. Sidang meja hijau 

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengalami beberapa kendala dan keterbatasan yaitu:

1. Dalam memilih informan, peneliti kesulitan menemui para informan yang tepat yang mengetahui sebagian besar mengenai kebudayaan etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan oleh karena informan tidak mampu menjelaskan secara ilmiah hanya berdasarkan tradisi kebudayaan dalam keluarganya.


(49)

2. Dalam memperoleh informasi dari informan, peneliti kesulitan untuk bertemu dengan informan kunci karena informan memiliki kesibukan dan diantaranya berdomisili di luar kota Medan.

3. Peneliti merasa kesulitan dalam memperoleh data-data tertulis disebabkan masih sedikitnya referensi-referensi yang berkaitan dengan keluarga etnis Tionghoa beserta nilai dan kebudayaannya dan juga yang berkaitan dengan kehidupan sosial orangtua di panti jompo.


(50)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Polonia

Kota Medan merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Gunawan (2014, dalam Jakarta Post, 2014) menyebutkan bahwa Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Secara geografis, kota Medan terletak pada 3,30°-3,43° LU dan 98,35°-98,44° BT. Berdasarkan situs resmi Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Medan, dijelaskan bahwa wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi cenderung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan juga dilalui oleh dua sungai, yaitu: Sungai Deli dan Sungai Babura. Sebelah Selatan, Barat dan Timur Kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang Serdang dan sebelah Utara Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka

(http://www.blh-pemkomedan.info/website-2013/kategori/2012/11/kondisi-geografis.html diakses pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 11.15 WIB).

Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan (http://pemkomedan.go.id/selayang_informasi.php diakses pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 11.15 WIB). Salah satu Kecamatan dari 21 Kecamatan tersebut ialah Kecamatan Medan Polonia. Kecamatan Medan Polonia terletak di wilayah Selatan Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Baru; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Maimun; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Johor;


(51)

sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Petisah. Kecamatan Medan Polonia memiliki luas wilayahnya 8.92 Km2 dengan jumlah penduduk 53.427 Jiwa pada tahun 2012 hari Selasa, 3 Juni 2014 pukul 14.15 WIB).

Di Kecamatan Medan Polonia ini terdapat Bandara Internasional Polonia sebagai pelabuhan udara yang sudah dialihfungsikan hanya pendaratan bagi angkatan udara. Walaupun bukan sebagai daerah pusat industri, di Kecamatan Medan Polonia ini juga terdapat beberapa jenis usaha industri seperti industri perabot rumah tangga dari kayu, houlding & komponen bahan bangunan, sepatu, konveksi, pengolahan kopi, kerupuk ubi/kue-kue. Sebagai informasi bagi investor dan masyarakat pada Kecamatan Medan Polonia ini terdapat: kurang lebih 2 (dua) buah Hotel (Hotel Polonia, Hotel Tiara), Taman Hiburan/Rekreasi di Tugu Ahmad Yani serta 1 (satu) unit Lapangan Golf Polonia; dan 1 (satu) buah Universitas Swasta (PT Harapan).

Adapun terdapat 5 kelurahan di kecamatan Medan Polonia, yaitu: Tabel 1. Kelurahan di Kecamatan Medan Polonia

No Kelurahan Alamat

1 Sari Rejo Jl. Sejati No. 1 2 Suka Damai Jl. DC Barito No.1 3 Polonia Jl.Balai Desa No.83 4 Anggrung Jl.Dr. Cipto I Gg. Sudiman 5 Madras Hulu Jl. T Cik Ditiro


(52)

Adapun fasilitas dan pelayanan yang tersedia di kecamatan Medan Polonia adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Pelayanan Umum No Jenis Pelayanan Keterangan 1 Air Bersih 5684 Pelanggan 2 Listrik 11592 Pelanggan 3 Telepon

4 Gas 1274 Pelanggan 5 Lapangan Olahraga 6 Buah

6 Rumah Sakit 3 Buah 7 Rumah Ibadah 59 Buah 8 Puskesmas 1 Buah

Tabel 3. Pendidikan

No Jenis Pendidikan Keterangan 1 SD/Sederajat 19 Buah 2 SLTP/sederajat 8 Buah 3 SMU/Sederajat 9 Buah 4 Akademi 5 Universitas 1 buah


(53)

Tabel 4. Perdagangan

No Jenis Perdagangan Keterangan 1 Pasar Tradisional 3 Buah 2 Plaza/Mall 1 Buah 3 Pasar Grosir 7 Buah

Sumber: Website resmi Pemerintah Kota (Pemko) Medan

4.1.2 Gambaran Yayasan Karya Kasih Medan 4.1.2.1Sejarah Berdirinya Yayasan Karya Kasih

Tahun lima puluhan merupakan tahun-tahun penuh keprihatinan bangsa kita. Perekonomian sangat mengenaskan. Harga-harga melambung tinggi, sementara pekerjaan sukar didapat, ditambah lagi situasi politik nasional dan internasional yang sungguh tidak menguntungkan, menambah beban dan penderitaan rakyat, maka banyaklah masyarakat yang miskin di negara kita, termasuk di daerah Sumatera Utara ini.

Pastor Siegfried Antonius Van Dam seorang imam yang berhati mulia, sungguh tergugah melihat situasi yang dialami oleh rakyat miskin. Beliau ingin berbagi rasa dengan mereka, beliau ingin memberikan bantuan pertolongan sekecil apapun yang mampu diberikan, tanpa pamrih tanpa membeda-bedakan suku, ras dan agama. Dimatanya semua adalah sama; sama-sama citra Tuhan yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dan semua itu harus ditolong. Untuk itu dengan bermodalkan tekad dan semangat pelayanan, serta dibarengi keyakinan bahwa Tuhan akan menolong dan member jalan keluar atas setiap tujuan yang luhur dan mulia, maka pada Agustus 1958 beliau pun memberanikan diri, mendirikan sebuah yayasan bersama-sama dengan Bapak Karel Amiruddin dan


(54)

kemudian diubah pula menjadi Yayasan Karya Kasih pada 27 Juni 1959. Data tersebut diambil berdasarkan yang tertulis pada buku album kenangan 50 tahun Karya Kasih yang diterbitkan pada tahun 2008 dimana yayasan karya kasih terbentuk pada 17 Agustus 1958. Terbentuknya yayasan karya kasih pada tahun 1958 diketahui dari hasil wawancara dengan informan biasa Suster Theresia, selaku pimpinan Panti Jompo Karya Kasih Medan.

Dalam buku kenangan 50 tahun Karya Kasih menceritakan kisah Pastor A. Van Dam yang tidak saja memperhatikan orang miskin, Pastor A Van Dam juga mempedulikan dan memperhatikan kaum orangtua lansia yang turut serta menjadi keprihatinannya. Bermula dari perjalanannya berkeliling ke daerah-daerah kumuh di pinggiran kota Medan; ia begitu terenyuh melihat banyaknya orang-orang tua yang terlantar berjalan tertatih-tatih menyelusuri jalan-jalan dengan tak tentu arah. Ada yang mengulurkan tangannya mengharapkan belas kasih orang, ada pula dengan tangannya yang lemah mengais-ngais tong sampah mencari sesuatu yang masih bisa dimakan ataupun digunakan. Pastor A. van Dam berpikir sungguh tak adil bila seseorang ketika dimasa mudanya berjuang dan bekerja keras menghidupi keluarga, tetapi setelah tua, tidak diurus dan tak dihiraukan lagi, keberadaan mereka dianggap sebagai beban dan menjadi urusan saja. Pastor A. van Dam melihat sangat jauh ke dalam hati sanubari para jompo itu, bahwa kita pun kelak akan menjadi jompo juga.

Berdasarkan buku album kenangan 50 tahun Karya Kasih yang peneliti kutip menjelaskan bahwa antara tahun 1959 sampai 1963, yayasan Karya Kasih telah berhasil pula membangun 10 pintu rumah sederhana yang diperuntukkan kepada orang-orang jompo. Sesuai dengan keberadaan keluarga orang-orang


(55)

jompo tersebut, sebagian biaya hidup mereka ditanggung keluarga, namun sebagian besar ditanggung oleh yayasan Karya Kasih, bahkan banyak yang gratis karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Lokasi awal rumah jompo terletak di jalan Binjai, dipinggiran kota Medan. Selanjutnya di tahun 1970, rumah jompo ini dipindahkan ke jalan Mongonsidi Ujung No. 2 Kompleks Karya Kasih yang sekarang berada, namun pada waktu itu masih berupa rumah sederhana yang dibeli oleh Karya Kasih. Tiga tahun kemudian, rumah jompo ini dikembangkan dengan membangun sebuah gedung bertingkat yang mampu menampung 25 orang jompo. Peresmian gedung ini dilakukan pada tanggal 29 Desember 1973. Pada tahun 1980, gedung ini diperluas lagi hingga mampu menampung 40 orangtua lanjut usia.

4.1.2.2Struktur Kepengurusan Karya Kasih

Adapun Karya Kasih saat ini dikelola oleh sebuah manajemen dengan susunan sebagai berikut :

Keterangan:

Direktris dan Kabag Oasis Bethsaeda : Sr. Ignasia Simbolon, KSSY Gambar 1. Struktur Kepengurusan


(56)

Kabag RB dan Neursery : Sr. Marsiana Angkat, KSSY Kabag Umum : Sr. Vincentin Sinaga, KSSY Kepala Klinik Umum dan Gigi : Dr. Felix Tandiono

Kepala Laboratorium : Dr. Y.A.Juwana

Setiap pengurus yayasan karya kasih memiliki tugasnya masing-masing. Berdasarkan hasil wawancara, diketahuilah tugas-tugas dari setiap pengurus Yayasan Karya Kasih seperti yang diuraikan berikut ini:

a. Direktris dan kabag Oasis Bethsaeda memiliki tugas sebagai berikut:

1. Memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan bagi Yayasan Karya Kasih sesuai dengan persetujuan gereja Katolik.

2. Merencanakan suatu pembangunan (renovasi bangunan, dan pembaharuan fasilitas) Karya Kasih.

3. Mengelola keuangan yayasan bersama dengan gereja Katolik yang diperoleh dari pihak donatur atau pihak keluarga.

b. Kabag Graha Residen Senior memiliki tugas sebagai berikut:

1. Menjalankan kebijakan dari gereja dan direktris dan kabag oasis betshaeda.

2. Bertanggungjawab bagi pemenuhan kebutuhan orangtua di Graha Residen Senior (Panti Jompo) Karya Kasih.

3. Mewawancarai pihak keluarga yang menitipkan orangtuanya di Karya Kasih dan menerima bergabungnya orangtua lansia yang baru. 4. Memiliki wewenang untuk menerima perawat yang ingin bekerja di


(57)

c. Kabag RB dan Neursery memiliki tugas sebagai berikut:

1. Memberikan pelatihan dan pengawasan bagi suster perawat yang bekerja di Karya Kasih.

2. Bertanggungjawab untuk merawat dan melayani orangtua lansia. 3. Mengawasi orangtua lansia dan menyampaikan kebutuhan lain yang

diinginkan orangtua kepada kabag Graha Residen Senior. d. Kabag Umum menjalankan tugas sebagai berikut:

1. Mengatur berjalannya kegiatan orangtua lansia di Panti Jompo Karya Kasih.

2. Menentukan menu-menu makanan yang akan disajikan kepada orangtua dan mengawasi pengolahan makanan tersebut.

3. Turut mengawasi orangtua dan mengawasi berjalannya kegiatan yang dilakukan orangtua di Panti Jompo Karya Kasih.

4. Bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan orangtua dari segi makanan dan juga kenyamanan orangtua bertempat tinggal di Karya Kasih.

e. Kepala Klinik Umum dan Gigi memiliki tugas sebagai berikut:

1. Melayani orangtua dan mendengarkan keluhan penyakit orangtua yang tinggal di Panti Jompo Karya Kasih.

2. Memberikan perawatan medis bagi orangtua lansia yang sakit.

3. Memberikan pengarahan kepada orangtua demi upaya menjaga kesehatan dan pola hidup orangtua dengan baik.


(58)

f. Kepala Laboratorium memiliki tugas sebagai berikut:

1. Memeriksa tekanan darah orangtua yang tinggal di Panti Jompo Karya Kasih.

2. Memberikan vaksinasi kepada orangtua apabila diperlukan.

3. Melayani keluhan yang diderita oleh orangtua yang tinggal di Karya Kasih.

4.1.2.3Visi dan Misi Karya Kasih

Menjalankan sebuah yayasan bukanlah hal yang mudah, selain harus membentuk struktur kepengurusan, yayasan juga harus memiliki visi dan misi yang jelas. Adapun dalam mengemban tugasnya, Yayasan Karya Kasih mempunyai visi sebagai berikut: “Membela hidup secara bermutu penuh integritas dan bermartabat.”

Untuk mewujudkan visinya menjadi suatu karya nyata, maka Perkumpulan Rohani Karya Kasih dan seluruh warganya mempunyai misi sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan pemeliharaan bagi kaum lanjut usia untuk dapat memaknai hidup secara bermutu dan bermartabat.

b. Membela hidup penuh integritas bagi kalangan yang kurang berdaya dan diperlakukan dengan kurang adil.

c. Menyelenggarakan balai pengobatan umum bagi warga lanjut usia dan masyarakat ekonomi lemah.

d. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar saling memperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan.


(59)

e. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna memajukan hormat dan pemberdayaan hidup sesuai dengan martabat manusia.

f. Menolong Pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial.

4.1.2.4Kelas Hunian Panti Jompo Karya Kasih

Panti Jompo Karya Kasih atau yang lebih dikenal dengan Graha Residen Senior bertujuan untuk menampung semua kebutuhan warga lansia ini, serta memberikan pelayanan yang lebih maksimal. Karya Kasih memiliki sebuah gedung baru yang berlantai tiga dengan kategori tiga kelas hunian, yaitu: kelas sosial, kelas standard, dan kelas VIP.

Menurut Barger, kelas sosial adalah stratifikasi sosial masyarakat yang dikelompokkan berdasarkan ekonomi (penghasilan) seseorang atau individu. Secara sosiologis, pembagian kelas hunian di Panti Jompo Karya Kasih ini dapat menggambarkan pula kelas dan status sosial keluarga dalam masyarakat. Kelas hunian didasarkan pada kemampuan ekonomi (keuangan) pihak keluarga dalam membiayai orangtua masing-masing yang tinggal di Panti Jompo Karya Kasih.

a. Kelas Sosial

Kelas sosial ini terdiri dari 65 kamar tidur yang diperuntukkan bagi orang-orang yang dalam keuangan mereka kurang mampu. Bayaran (tarif) untuk kelas sosial ini sangat bervariasi, sesuai dengan kemampuannya. Di dalam ruangan kamar terdapat 5 tempat tidur bagi orangtua. Untuk kelas ini sebagian besar masih ditempatkan di gedung yang berlantai dua, orangtua tidak didampingi secara khusus kecuali yang menderita penyakit stroke akan tinggal di lantai bawah dan apabila membutuhkan sesuatu dapat dengan mudah memanggil perawat.


(1)

82

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Heru A.M. 2006. Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Bonavia, David. 1982. Cina Dan Masyarakatnya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

DeGenova, M.K. 2008. Intimate relationship marriages & families. America, New York: Mc Graw Hill.

Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.

Ihromi, T.O. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Khairuddin, H. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty.

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Lestari, S. 2012. Psikologi keluarga: penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

M, Hidajat Z. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.

Moleong, Lexi. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(2)

83

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Narwoko, Dwi J & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Pelly, Usman. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ritzer, George. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sadulloh, U. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1985. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental (Konsep, Cakupan dan Perkembangannya). Yogyakarta: Andi.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sofyan, Sauri dan Herlan Firmansyah. 2010. Pendidikan Nilai. Bandung: Grapindo.


(3)

84

Tan, Mely G. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Waluya, B. 2007. Sosiologi: menyelami fenomena sosial di masyarakat. PT Grafindo Media Pratama.

Wibowo, Priyanto. 2008. Perubahan Sosial Cina Tahap Pertama: Mao dan

Pedesaan (1949-1959). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sumber Lain : Internet:

April 2013 pukul 09.24

16.00

http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&Itemid= 114 diakses pada hari Sabtu, 13 April 2013 pukul 09.10

2014 pukul 16.10


(4)

85

pukul 11.00.

Jurnal:

Puspitawati, Herien. 2009. Keterkaitan Sistem Keluarga dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

Wirotomo, Paulus. 1994. Sosialisasi Dalam Keluarga Indonesia. Jakarta: Fisip UI.

Skripsi:

Pin, Pin. 2013. Kajian Lansia Perspektif Budaya Tionghoa. Tesis (S2) Tidak Diterbitkan. Medan: Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(5)

1. Bagaimana hubungan kedekatan Anda dengan orangtua Anda selama ini? INTERVIEW GUIDE

Nama :

Nama Orangtua :

Umur :

Umur Orangtua :

Alamat :

Status :

2. Apa harapan Anda terhadap orangtua Anda?

3. Bagaimana orangtua bisa kenal atau tahu tentang panti jompo Karya Kasih ini? Atau Anda yang memberitahukan kepada orangtua Anda?

4. Tolong ceritakan bagaimana awalnya orangtua Anda masuk ke panti jompo? Siapa yang memutuskan agar orangtua tinggal dipanti jompo? Dan siapa yang membantu kepindahan waktu itu? Kapan?

5. Bagaimana reaksi dan sikap orangtua Anda, ketika Anda mengutarakan untuk menempatkan orangtua Anda di panti jompo?

6. Apakah awalnya ada penolakan dari orangtua Anda?

7. Sudah berapa lama orangtua Anda tinggal di panti jompo? Pada waktu itu umur orangtua Anda berapa tahun?

8. Seberapa sering Anda mengunjungi orangtua Anda di panti ini? Kalau jarang mengapa?

9. Biasanya ketika kunjungan, apa saja yang dilakukan dan dibicarakan? 10.Apa yang mendasari Anda mengunjungi orangtua Anda?

11. Pernah tidak orangtua Anda merasa tidak senang dikunjungi oleh keluarga? Mengapa demikian?

12.Menurut Anda, apakah orangtua Anda merasa senang tinggal di panti jompo Karya Kasih?

13.Menurut Anda selama orangtua Anda tinggal di panti jompo apakah pernah merasa sedih? Dan jika iya, mengapa demikian?

14. Menurut Anda, apakah orangtua Anda merasa betah tinggal di panti jompo ini? Kenapa?

15.Kalau boleh tahu, apa yang mendasari orangtua Anda tinggal di panti jompo? 16.Kenapa akhirnya memilih panti jompo Karya Kasih sebagai tempat perawatan

orangtua Anda? Apakah Anda merasa kesulitan dalam merawat orangtua Anda? Jika ya, apa faktor kesulitan tersebut?


(6)

17.Bagaimana fasilitas dan pelayanan yang disediakan di panti jompo Karya Kasih ini? Apakah Anda dan orangtua Anda sudah merasa puas?

18. Apa kesan yang terdapat di panti jompo ini?

19. Apa yang membuat panti berbeda dari rumah tempat tinggal Anda dan

keluarga Anda?

20.Apa yang membuat panti jompo Karya Kasih berbeda dari panti jompo yang lain?

21.Menurut Anda, biaya hidup di panti jompo ini termasuk kategori mahal, sedang atau murah? Mengapa demikian?

22.Bagaimana nilai kebudayaan etnis Tionghoa itu sendiri terhadap orangtua dan keluarga?

23.Apakah Anda tahu tentang ajaran moral Konfusianisme? Tolong jelaskan.

24.Bagaimana orientasi atau pandangan Anda terhadap kebudayaan etnis

Tionghoa dan ajaran Konfusius tersebut?

25.Bagaimana penerapan ajaran Konfusius itu di dalam keluarga Anda?

26.Apakah keluarga Anda masih tetap memegang ajaran Konfusius atau malah sudah meninggalkannya? Kalau iya, mengapa ajaran tersebut ditinggalkan? 27.Bagaimana pandangan Anda sebagai anak apabila menitipkan orangtua di

panti jompo?

28.Anda sudah menjelaskan mengenai nilai budaya etnis Tionghoa terhadap orangtua dan keluarga pada pertanyaan no. 22, bagaimana nilai kebudayaan itu sendiri di dalam keluarga Anda?

29.Apabila Anda menerapkan nilai tersebut di dalam keluarga apakah benar bentuk penghormatan orangtua dengan cara menitipkan orangtua di panti jompo? Apa alasan Anda?

30.Menurut Anda, apakah hal wajar atau tidak wajar menitipkan orangtua di panti jompo? Apa alasan Anda menyatakan demikian?

31.Apakah keluarga besar atau teman-teman atau tetangga atau orang yang dekat dengan Anda ada juga yang menitipkan orangtua mereka di panti jompo? Siapakah mereka? Ada berapa banyak?


Dokumen yang terkait

Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Gizi pada Manula di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

5 54 65

Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA.

14 112 194

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

1 17 56

PENANAMAN NILAI-NILAI NASIONALISME PADA ETNIS TIONGHOA Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Pada Etnis Tionghoa (Studi Kasus pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kampung Loji Wetan Kelurahan Kedung Lumbu Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta).

0 1 18

PENANAMAN NILAI-NILAI NASIONALISME PADA ETNIS TIONGHOA Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Pada Etnis Tionghoa (Studi Kasus pada Keluarga Etnis Tionghoa di Kampung Loji Wetan Kelurahan Kedung Lumbu Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta).

0 2 16

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

0 1 9

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

0 0 12

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

0 0 20

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

0 0 4

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

0 0 2