S. Ngaliman Tjondropangrawit Deskripsi Teoritik

berpesan seperti itu, orang itu memohon diri dan memberikan tambahan nama Supadi kepada Ngaliman. Didasari oleh keyakinan yang kuat, setelah mandi air kembang setaman dan atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya secara berangsur-angsur penyakit Ngaliman sembuh. Untuk mengenang jasa baik orang misterius itu, akhirnya nama Supadi ditambahkan di depan nama aslinya, sehingga namanya menjadi Supadi Ngaliman atau disingkat S. Ngaliman yang dikenal sebagai seorang Empu tari tradisi gaya Surakarta sampai akhir hayatnya. Bermula dari cerita spiritual yang unik tersebut, dan meskipun profesi orang tua S. Ngaliman sebagai pedagang batik, namun karena latar belakang lingkungan keluarganya yang tinggal di kampung Kemlayan, memungkinkan S. Ngaliman mengembangkan dirinya sebagai seniman tari dan karawitan. Hal ini terjadi karena kampung Kemlayan didiami oleh para abdi dalem keraton Surakarta dari kalangan pradangga, pengrawit, dan penari. Oleh karena itu, S. Ngaliman kecil mulai tertarik pada dunia karawitan. Proses pembelajaran pada bidang karawitan dimulai ketika ia sering melihat langsung kegiatan latihan karawitan di kampung Kemlayan. Perasaan ingin tahu S. Ngaliman kecil tampaknya tidak bertepuk sebelah tangan. Ngaliman langsung dibimbing oleh R.Ng.Tedjopangrawit kakaknya dan R.L Trunomloyo pamannya di rumah Ki Mloyowitono kakeknya yang mempunyai perangkat gamelan lengkap, baik gamelan Agengmaupun gamelan Carabalen. Pengalamn estetis S. Ngaliman kecil dalam bidang karawitan dimulai pada tahun 1929 sewaktu Ngaliman pulang sekolah waktu itu duduk di kelas IV standard school. Sesampainya di rumah, ia mendengar alunan Gending ijo-ijo yang dimainkan oleh anak-anak sebayanya tanpa didampingi oleh pelatih. Dikarenakan dorongan rasa ingin tahu, S. Ngaliman kecil langsung ikut bermain gamelan. Sejak saat itu, S. Ngaliman tertarik untuk belajar karawitan di kampungnya. Ngaliman belajar di rumah R. Riya Ng. Gunopangrawit kakek buyutnya. Hingga mereka membentuk sebuah komunitas. Komunitas pengrawit anak-anak dimana S. Ngaliman bergabung di dalamnya, sering dipercaya untuk memainkan gamelan Carabalen ketika ada orang yang sedang punya hajat mantu. Seiring dengan bertambahnya usia, pada tahun 1930-an S. Ngaliman belajar karawitan kepada R. Ng. Purwopangrawit, R. Ng. Doyopangrawit, R. Ng. Projopangrawit, dan R. Ng. Mloyowiguno di kampungnya. Mereka adalah anggota kelompok karawitan Papaka Paguyuban Pamudha Kemlayan yaitu kelompok karawitan anak-anak. Setelah itu, pada usia 13 tahun S. Ngaliman magang abdi dalem di keraton Kasunanan Surakarta, yaitu sebagai abdi dalem magang niyaga. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kedudukan S. Ngaliman dikukuhkan sebagai abdi dalem niyaga Kesepuhan reh kiwa menggunakan sebutan Pangrawit, lengkapnya R. L S. Ngaliman Tjondropangrawit. Di sela-sela kesibukannya sebagai abdi dalem yang aktif mengikuti kegiatan kesenian di keraton, S. Ngaliman juga aktif mengikuti kegiatan kesenian di luar tembok istana. Pada tahun 1934 S. Ngaliman masuk menjadi anggota kelompok karawitan Ngesthimoelyo di kampung Kemlayan, yang anggotanya terdiri dari para remaja dan S. Ngaliman termasuk anggota yang termuda yaitu dalam usia 15 tahun. Pengalaman berkesenian di kelompok karawitan Ngesthimoelyo membuat S. Ngaliman pernah mengikuti rekaman karawitan dengan gramofon formasi sebagai penabuh ricikan gong. Selain itu, ia juga ikut lomba karawitan dalam rangka acara Sekatenan Keraton Kasunanan Surakarta. Kelompok karawitan Ngesthimoelyo juga sering mendapat tanggapan untuk pentas ke berbagai tempat, terutama wilayah Surakarta dan sekitarnya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh S. Ngaliman untuk meningkatkan kemampuan bermain karawitan. Meskipun demikian, minat terhadap bidang tari juga terus ditingkatkan olehnya, yaitu dengan belajar tari di pusat kesenian Surakarta di Kepatihan. Setelah 11 tahun magang sebagai abdi dalem, akhirnya pada tahun 1943 S. Ngaliman dipercaya sebagai abdi dalem pengeprak tari bedaya- srimpi dengan mendapat pangkat jajar dan diberi surat kekancingan Wignyohiromo. Baru pada tahun 1952, S. Ngaliman dipromosikan kenaikan pangkatnya sebagai abdi dalem Lurah Miji pengendang dengan nama kekancingan Tjondropangrawit. Sejak saat itu S. Ngaliman diberi kepercayaan menyajikan ricikan kendang pada kelompok karawitan Hamongraras di keraton Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1955 Ngaliman dipindah dalam kelompok karawitan Mandrabuana keraton Kasunanan Surakarta. Di samping bekerja sebagai abdi dalem, tahun 1950 dengan dibukanya sekolah Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta, S. Ngaliman melanjutkan pendidikannya ke sekolah tersebut. S. Ngalimanmasuk ke bagian A dengan syarat penerimaan, harus berijazah sekolah rakyat sekarang SD dan telah dapat menabuh semua instrumen gamelan, meskipun dalam tahap elementer. Adapun jurusan guru karawitan berada di bagian B dengan syarat penerimaan, harus berijazah SLTP atau sederajat dan telah dapat menabuh instrumen gamelan dari jenis balungan sampai dengan tingkat menabuh bonang. Sebagai penata tari tradisi, S. Ngaliman banyak dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai penari, pengrawit, guru tari dan karawitan. Kekuatan garapan tari S. Ngaliman terletak pada perpaduan antara tari dan karawitan sesuai dengan karakter tari dan gendhing. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila karya tari S. Ngaliman banyak dipelajari dan dijadikan materi pembelajaran tari di sanggar-sanggar tari dan lembaga pendidikan seni tari. Dalam pembuatan karya seni tari, pada periode tahun 1950-1990 S. Ngaliman menghasilkan banyak karya seni tari, diantaranya adalah Tari Prawiraguna 1954, Pragmen Sembadra Larung 1956, Tari Krida Warastra 1957, Tari Batik 1958, Tari Retno Tinanding 1958, Sendratari Taman Soka 1959, Tari Burung 1961, Tari Mardisiwi 1961, Tari Gambyong Campursari 1962, Tari Kartini 1963, Tari Panggayuh 1963, Sendratari Joko Tarub 1964, Tari Pejuang 1964, Tari Retno Ngayudyo 1964, Sendratari Nyanyi opera Sembadra Larung 1965, Sendra Tari Rahwana Badra 1966, Sendratari Ciptoning 1967, Tari Yudasmoro 1968, Tari Pemburu Kijang 1969, Sendratari Kumbokarno Gugur 1971, Tari Pamungkas 1971, Prahmen Panji Topeng 1972, Tari Gambyong Pareanom 1972, Tari Karno Tinanding 1972, Tari Srimpi Gambirsawit 1972, Srimpi Lagu Damel 1971, Srimpi Anglir Mendung 1971, Srimpi Kondo Kusumo 1972, Tari Manggolo Retno 1973, Sendratari Begawan Wisrawa 1973, Sendratari Babad Wono Marto 1973, Tari Sancoyo Kusumowicitro 1973, Tari Pawukon 1974, Tari Wiropratomo 1974, Tari Retno Dumilah 1978, Tari Panji Tunggal 1980, Tari Bondan Tani 1982, Srimpi Ludiro Winangun 1987, Tari Bedaya Anglir Mendung 1987 dan Tari Bedaya Pulong 1990. Berdasarkan pada tarian-tarian yang diciptakan oleh S. Ngaliman tersebut, Tari Batiklah yang akan dikaji dalam karya tulis ini. Gaya tari S. Ngaliamn Tjondropangrawit sangat ditentukan oleh faktor lingkungan yang membesarkanya, terutama yang berkaitan dengan spirit berkesenian para seniman kampung Kemlayan Atmaja, 2008 : 88. Makna pengalaman kreatif ini adalah jalinan simbol-simbol budaya Jawa yang berfungsi sebagai penyangga kesenian keraton. Gaya Tari S. Ngaliman Tjondropangrawit dengan latar belakang kampung Kemlayan, merupakan aktualisasi seni tradisi keraton dalam rangka menjaga sistem nilai seninya dan cerita keraton sebagai pusat kebudayaan dan politik. Pengertian dasar bentuk koreografi berkisar tentang wujud “bentuk” dan “gaya”. Bentuk dalam konsep koreografis merupakan prinsip dasar yang hadir dalam struktur internal tari yang meliputi unsur gerak tari, motif gerak tari dan karakterisasi bentuk. Gaya adalah suatu corak yang memberikan ciri pada garapan bentuk tari yang terikat langsung dengan garapan iringan tari, tata rias, dan busana. Secara garis besar, umumnya sistematika garapan gerak tari S. Ngaliman Tjondropangrawit disusun ke dalam tiga bagian, yaitu maju beksan, beksan, dan mundur beksan. Pola garapan gerak ini nampaknya sudah menjadi norma estetis dari tradisi gaya Surakarta.

B. Aspek Pendukung Tari

Suatu seni pertunjukan, khususnya seni tari terdapat berbagai aspek pendukung antara lain gerak, tata rias, tata busana, iringan tari, dan desain lantai. Hal-hal tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang lainya. 1. Gerak Gerak adalah media pokok tari, jadi tidak akan terwujud sebuah tarian kalau tidak ada gerak. Gerak tersebut tidak sembarang gerak yang menjadi gerakan tari. Seperti yang disampaikan oleh La Meri melalui Soedarsono 1975 : 70, bahwa gerak tari adalah gerak yang telah distilir sehingga menjadi bentuk gerak yang ekspresif yang hanya bisa dinikmati dengan rasa. Soedarsono 1978 : 1 mengatakan substansi atau materi tari adalah gerak. Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dari kehidupan manusia untuk menyatakan keinginanya. Dapat dikatan pula bahwa gerak merupakan bentuk refleksi spontan dari gerak batin manusia. Gerak dibagi menjadi 2 jenis yaitu, gerak murni dan gerak maknawi. Gerak murni adalah gerak yang tidak mengandung makna tertentu, sedangkan gerak maknawi adalah gerak yang mengandung makna tertentu Jazuli, 1994: 5. Gerak merupakan hal terpenting dan yang paling dasar dalam sebuah tarian. Gerak di hasilkan karena ada ekpresi dan emosioanal dari dalam tubuh manusia yang diungkapkan melalui media yaitu tubuh manusia itu sendiri. 2. Tata Rias Jazuli 1994:19 mengatakan tata rias panggung untuk panggung, berbeda dengan rias untuk sehari-hari harus disesuaikan dengan situasi lingkungan. Misalnya, cukup dengan polesan dan garis-garis tipis. Tata rias dalam pertunjukan memperlihatkan kejelasan dalam garis-garis wajah serta ketebalanya karena dapat diharapkan memperkuat garis-garis ekspresi wajah dan memberikan bentuk karakter. Fungsi tata rias yaitu, mengubah karakter pribadi menjadi karakter tokoh yang sedang dibawakan untuk memperkuat ekspresi dan untuk menambah daya tarik penampilan. Hal tersebut didukung oleh Harymawan 1988: 134-135 bahwa tata rias dalam pertunjukan kesenian mempunyai fungsi untuk memberikan bantuan dengan jalan mewujudkan dandanan atau riasan dan menjadikan perubahan-perubahan pada personil atau pemain sehingga, tersaji pertunjukan dengan susunan yang kena dan wajar.Di dalam suatu pertunjukan, tata rias sangatlah penting dalam memperkuat karakter tokoh setiap peran yang dibawakan. Hal ini menunjukan bahwa tata rias memudahkan pelaku seni maupun penikmat seni untuk memahami, menjiwai, dan memperkuat pesan serta karakter tokoh yang akan ditampilkan. 3. Tata Busana Tata busana adalah segala sesuatu yang dikenakan atau dipakai oleh seseorang yang terdiri atas pakaian dan perlengkapannya, atau biasanya disebut kostum. Busana merupakan pendukung tarian yang sangat penting, terutama saat melakukan pertunjukan. Seperti yang dikatakan Harry Berristein melalui Onong Nugraha 1982 :1 bahwa kesan pertunjukan atau tarianya dapat ditingkatkan dengan unsur-unsur yang erat hubunganya seperti musik dan busana. Tata busana selain berfungsi sebagai pelindung tubuh penari juga, mempunyai fungsi lain yaitu, memperindah penampilan dan membantu menghidupkan pesan. Pada prinsipnya, busana harus enak dipakai dan sedap dilihat oleh penonton Soedarsono, 1975: 5. Berbagai teori yang sudah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa busana adalah salah satu elemen penting dalam suatu pertunjukan seni. Hal ini dapat dijelaskan bahwa busana selain sebagi pelindung tubuh juga sebagi pendukung karakter tokoh yang dibawakan oleh pelaku seni. Agar mudah dipahami dan dimengerti oleh penikmat seni akan karakter tokoh tang dibawakan.