HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI GURU DAN LITERASI INTERNET (Studi pada Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang)Bandarlampung Dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang)

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI GURU PADA INTERNET DAN

LITERASI INTERNET

(STUDI PADA MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) MODEL 1

BANDARLAMPUNG DAN MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 TANJUNGKARANG)

Oleh

Balqis Nur Kemalasari

Persepsi guru pada internet menjadi sangat penting dalam menentukan gaya implementasi TIK di sekolah. Tujuan penelitian ini: 1. Mengungkapkan persepsi guru pada internet dan literasi-internet di Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang. 2. Mengetahui hubungan antara persepsi guru pada internet dengan literasi internet guru di Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang. Sampel acak (random sampling) diaplikasikan pada 2 MAN di Kota Bandar Lampung sebagai populasi sampel. Penelitian ini menggunakan teori Technological Acceptance Model (TAM) Davis (1989) dan metode penelitian kuantitatif dengan mengaplikasikan mode survey.

Penelitian menyatakan hubungan yang kuat antara persepsi dan literasi internet. Persepsi guru mengenai kemanfaatan atau Perceived Usefulness (PU) dan Persepsi Kemudahan Penggunaan atau Perceived Ease of Use (PEOU) secara positif berinterelasi dengan tingginya Literasi Internet guru. Pada Madrasah Aliyah Negeri 1 dengan angka korelasi Spearman 0.658 dan MAN 2 Tanjungkarang dengan 0.534. Namun demikian, faktor mental dan kultural seperti gender order, dan latar belakang linguistik menentukan dinamika kesenjangan digital pada lokal ini. Penelitian mengungkapkan skill access yang tinggi gagal mengakibatkan usage access yang tinggi.


(2)

INTERNET AND INTERNET LITERACY

(STUDY AT

MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) MODEL 1 BANDARLAMPUNG

AND MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 TANJUNGKARANG) By

Balqis Nur Kemalasari

Teacher’s prerception towards internet contribute to school’s ICT implementation. The purposes of this research are: 1. to reveal teacher’s perception and internet-literacy of Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung and Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang, 2. to know the releationship between teacher’s perception and internet -literacy of Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung and Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang. The research obtains sampling through random sampling technique and sets 11 MA (Islamic Hischool) in Bandarlampung as the sample population. Meanwhile, 2 of the national MA adjusted to be the sample and the teacher as the analysed unit. This research employs the theory of Technological Acceptance Model (TAM) Davis (1989) and quantitative method which makes it attributable to go with survey mode.

The research states a strong relationship between perception and internet literacy. Teacher’s perception about Perceived Usefulness (PU) and Perceived Ease of Use (PEOU) positively interrelated to the hight of teacher’s internet literacy remains R=0.658 on MAN 1 (Model) Bandarlampung and 0.534 MAN 2 Tanjungkarang. Never the less, mental and cultural factors such as gender order and linguistic banckground adjust a particular dinamic of digital devide in this local. The research reveals a fact that high rate of teacher’s skill access fails to make high rate of internet usage.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Penulis dilahirkan di Pringsewu pada 6 April 1987, sebagai anak kedua dari enam bersaudara, dari Ibu Ani Eka Jayaningsih dan Bapak Samsul Alam Ratu.

Penulis mengambil pendidikan di Sekolah Dasar Muhammadiyah Pringsewu, lulus pada 2001, lulus dari di SMPN 4 (sekaran SMPN 3) Pringsewu pada 2003, dan lulus dari SMA 1 Pringsewu pada 2005.

Pada 2005, penulis menerima pendidikan Sastra Inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing Teknokrat. Pada 2006, penulis meraih satu tempat di Jurusan Ilmu Komunikasi Unila melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa penulis berproses dalam kancah organisasi bahasa Inggris: English Society (ESo), pergerakan mahasiswa di Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Keluarga Besar Mahasiswa (BEM-U KBM), dan dengan dimediasi oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) penulis menemukan minat ruhiyah-imaniyah yang bertumbuh. Untuk kemudian, menemukan keinginan mempelajari tauhid yang mengakibatkan keserasian dengan Mahasiswa Pencinta Islam (MPI) Lampung.


(8)

Segala puji bagi Allaah Subhanawata’ala yang Maha Hidup dan Maha Memelihara: dan tidak ada yang terlantar dalam pemeliharaannya. Perjumpaan denganNya (o, kelezatan tiada tara), dikehendakiNya hanya bagi sebagian dari penduduk janna yang beruntung, yang menukarkan dunia dengan keridhoan. Shalawat kepada Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasalaam yang kita harapkan dengan kerinduan yang syahdu untuk bermajelis di kehidupan masa depan di hari kesudahan. Bolehkah Saya peruntukan penulisan ini kepada yang mencintai tanpa syarat dan yang Saya syukuri:

 Umi Dra. Ani Eka Jayaningsih

 Buya Samsul Alam Ratu

 Ayah Tugiman Muslam dan Ibu Maryani

 Om dan Tante

 Kakakku (dan Arai) dan adik-adik

 Sepupu

 Jiwa-jiwa berharga yang tidak terhitung yang tersedia karena Allaah

Dan

Berhargaku, Ilmu Komunikasi Universitas Lampung.

Beliau memediasi pentenagaan yang mewah (yang tidak sanggup Saya beli) dan penyemangatan hebat dengan berkesederhanaan.


(9)

Beban itu letaknya pada persepsi. Jika kamu persepsikan tidak ada beban maka beban itu tidak ada.

(Konsensus)

New media adalah dunia baru dan literasi media adalah

‘kitabnya’.Seumpama menggunakan mesin cuci baru dengan merujuk kepada buku petunjuk penggunaannya (:bukan dalam konteks menggantikan kedudukan Kitab yang mulia (AL-Quran) (di cakupannya yang sungguh besar)).


(10)

Segala puji dan syukur bagi Allaah Subhanawata’ala, karena atas kehendakNya skripsi ini dapat menemui final yang telah dirindukan secara tak terperi. Skripsi dengan judul ‘Hubungan Antara Persepsi Guru dan Literasi Internet (Studi pada Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang)’ adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini Penulis mengekspresikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.Si, selaku PR 1 Universitas Lampung. Terima kasih kepada Beliau. Bapak dari Kemurahan hati, kebaikan prasangka, dan mengantarkan mahasiswa pada kelulusan. Semoga Allaah menjaga kesehatan Beliau, menetapkan kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir.

2. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Penulis berterimakasih atas pengarahan Beliau. Bapak dari kemampuan empati termengagumkan, semoga Allaah menjaga kesehatan Bapak untuk pembangunan FISIP dan Pembangunan UNILA: pembangunan bangsa. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.


(11)

untuk pembangunan FISIP dan Pembangunan UNILA: pembangunan bangsa. Semoga baginya adalah kelezatan pertolongan Allaah, keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir.

4. Bapak Drs. Pairul Syah, M.Si selaku PD 3 FISIP Unila. Penulis berterimakasih atas pengarahan Beliau. Bapak dari pengakomodiran mahasiswa (yang sepele seperti Penulis), semoga Allaah menjaga kesehatan Beliau untuk pembangunan FISIP dan Pembangunan UNILA: pembangunan bangsa.

5. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Penulis berterimakasih dan mensyukuri terpapar kerja leadership Beliau. Bapak dari segala keberjalanan fungsi organisasi Jurusan Ilmu Komunikasi Unila, semoga Allaah menjaga kesehatan Beliau untuk pembangunan FISIP dan Pembangunan UNILA: pembangunan bangsa. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.

6. Ibu Dra. Ida Nurhaida, M.Si, selaku Ketua Penguji serta Pembimbing Utama atas kesediannya memberikan bimbingan, empati, pemeliharaan level ibu, dan waktu berharga Beliau bagi kebaikan skripsi ini. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.


(12)

dengan literasi membaca derajat tinggi, dan secara sederhana menjadi kontributif pada mimpi pendidikan Penulis. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.

8. Ibu Hestin Oktiani, S.Sos, M.Si, sebagai dosen pengelola PKL Jurusan. Ibu dari kelembutan jiwa (o, betapa anggunnya). Perkataannya adalah ketulusan yang selalu sampai sebagai penggembiraan (di hati). Selalu ingin menyapa Beliau di jalan. Bertukar salam. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.

9. Agung Wibawa, S.IP, M.Si selaku pembimbing proposal PKL. Alhamdulillah, Beliau bersedia memediasi ke PKL termimpi: kelas trigger media literasi bagi anak usia sekolah. Hanya mimpi yang sangat kuat yang dapat menjadi kenyataan. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.

10. Ibu Nanda Utaridah, S.Sos.,M.Si selaku Pendadar makalah PKL. Pembimbingan Beliau adalah pertolongan yang seketika, total dan yang dilakukan dengan ringan hati. Terimakasih yang manis kepada Ibu. Semoga Allaah menetapkan baginya dan keluarganya, keluarga besarnya, keturunan-keturunannya hingga hari akhir kelezatan pertolongan Allaah dan pertolongan yang tuntas.


(13)

12. Fairy floss merah muda, Ghina Safitri: Ma Sya Allaah. Dayang Berliana: the bowing flower. She’s now women already. Revi Remota, ingin memiliki: o, betapa... mahalnya. Rahayu Cookie Agustina, simply like her: Friendable one. Esy Andriani: keep up the happy baking, sewing, knitting, and cat-hugging: to die for stuffs. thanksez. De Pahini: Lady in Honour of man and in the jacket of too. Prima Helau Budi: you’ll braid her hair and you’ll beyond compare. Up next: heatless curl (!) hits with crazy mounts of volume. Yay! Helmayati a.k.a Ema Sada: in my life I really am happy to hi you; to then I through one of the toughest day with and it remained lighter: (hug). Ayu-Retno: Jam of happy machines. What are you made of?Sugar? Hayatunnisa Fahmiati: the cold never bother. Widya Ningsih: once upon a dream in a lovelyish garden at tea time, we will lough the past. Marlia Alvionita: worth having convey always with: in bold qualitative type of converse. Eva Etiningtyas: simply likable habibty saliha sister in Islam. Evi Suryanti: corious nose. Nita Basuki: judes tapi acting. Yuli Sukino: reach !!!

13. Semua crue Proyek Penelitian. Secara khusus; Jerry Pratama: good to know him. Hand-full of help. Dwi Hardoyo: thank in deep deep deed (lol). Dewi Alivia kamu oke-ku: punya pendapat sendiri itu bagus.

14. Kawan-kawan yang menghafal Quran dan mahir membacanya, yang diliputi malaikat yang taat lagi baik: Badan Pengurus Harian Masjid Alwasi’i: Ma Sya Allaah. Dan kawan-kawanku shaliha yang mempelajari Quran di Ma’had


(14)

Syafi’i).

15. Yang setia pada adrenalinya di Teknokrat English Club (TEC), English Society (Eso)-Unila, KAMMI Komisariat Sosial, BEM-U KBM Unila, dan MPI Muslimah, setiap mereka meninggalkan perhiasan untuk Saya simpan. 16. Jiwa-jiwa yang berharga, yang Saya tiada kesanggupan untuk

menghitungnya: yang memediasi pertolongan dan penjagaan tak berputus (aamiin) dari Allaah Yang Maha Lembut. Transaksi Anda kepada Allaah tidak ada merugi.

17. Audien skripsi ini, mohon memafaafkan penulisan Saya yang ceroboh dengan kekurangan (bertumpah-tumpah).

18. Bolehkah Saya menyapa Balqis Nur Kemalasari, yang telah terkuraskan untuk mengusahakan skripsi ini menjadi kenyataan (yang terjadi hanya dengan pembakatan dari orang-orang lain). Hi dan Barokalloh untuk diri Saya.

Terima kasih telah menjadi kontributif. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

BandarLampung, Oktober 2014 Penulis,


(15)

Halaman

HALAMAN JUDUL LUAR ... i

ABSTRAK... ii

HALAMAN JUDUL DALAM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTTO ...viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C.Tujuan Penelitian ... 15

D.Kegunaan Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 17

B. Konsep Dasar Literasi Internet ... 19

1. Tinjauan Internet ... 31


(16)

E. Konsep Dasar Adopsi TIK ... 54

F. Landasan Teori ... 55

G. Kerangka Pikir ... 62

H. Hipotesis ... 69

III. METODE PENELITIAN A.Metodologi Penelitian ... 70

B.Definisi Konsep ... 71

C.Definisi Operasional ... 73

D.Populasi dan Sampel ... 80

E. Teknik Pengumpulan Data ... 82

F. Teknik Analisis Data ... 84

G.Sumber Data ... 87

H.Teknik Pengolahan Data ... 87

I. Teknik Pemberian Skor ... 88

IV. Gambaran Umum Penelitian A. Kesiapan Teknologi Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung ... 90

B. Kesiapan Teknologi Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Karang ... 94


(17)

B. Uji Realibilitas ... 101

C. Asumsi Dasar ... 102

D. Gambaran Umum Responden ... 105

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 105

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 106

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku ... 107

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Bidang studi ... 108

5. Karakter Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 109

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Gadget Informasi yang Dimiliki ... 110

7. Karakteristik Responden Berdasarkan Rata-Rata Lama Akses (kontak) Internet Perhari ... 111

8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jalur Akses (kontak) ke Internet ... 113

9. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Menggunakan Internet ... 113

10.Rata-rata menggunakan internet ... 114

11.Intensitas Akses Internet ... 116

12.Karakteristik Responden Berdasarkan Aktifitas Online ... 116

E. Analsis Jawaban Responden ... 119

F. Pengujian Hipotesis ... 150


(18)

B. Saran ... 186 DAFTAR PUSTAKA


(19)

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Laporan Pembangunan Manusia 2013 yang dikeluarkan badan PBB untuk program pembangunan, United Nation Development Program (UNDP), baru-baru ini memperlihatkan bahwa Indonesia dalam kemajuan yang kuat dalam setiap indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam 40 tahun terakhir. Nilai IPM Indonesia pada 2012 meningkat menjadi 0,629, menjadikannya naik tiga posisi ke peringkat 121 dari peringkat 124 pada 2011 (0,624), dari 187 negara (VOA News. Oktober 2011). Namun demikian, ruang improvisasi adalah keluasan tersendiri bagi negara ini, bahwa perbaikan-perbaikan dapat dititi secara lebih. Menurut artikel yang sama, meski naik tiga peringkat, IPM Indonesia masih di bawah rata-rata dunia 0,694 atau regional 0,683. Tiba pada sebuah fonis bahwa Indonesia dikategorikan sebagai ’Negara Pembangunan Menengah’ bersama 45 negara lainnya.

Indonesia menetapi predikat developing country yang merujuk pada arti ’negara sedang berkembang’. Penempatan eufimisme itu bekerja membenamkan predikat yang lebih berterus terang dan dekat dengan nilai autentik, walaupun tidak dipopulerkan, yaitu underdeveloped (terbelakang) atau less developed (kurang maju). Seperti telah disebut pada sumber-sumber jurnalistik, Indonesia dikumpulkan dengan 45 negara lainnya dalam menjadi terbelakang dan kurang maju.


(20)

Dalam kerangka berlepas diri dari ketertinggalan dan meningkatkan daya saing, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memprogramkan implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam sistem pendidikan karena TIK dinilai dapat berfungsi sebagai sumber, sarana belajar, dan cara berkomunikasi yang efisien. Menyebut pengelolaan yang bijaksana maka TIK dapat dimanfaatkan untuk mengatasi disparitas pendidikan yang pada hakikatnya memang selalu ada. Seperti perbedaan letak geografis, kekurangan guru pada jumlah dan kualitas, isu perbedaan sosial-ekonomi dan sejumlah variasi permasalahan lainnya.

Sejak tahun 1994 TIK menjadi mata pelajaran wajib dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai SLTA yang mengajarkan keterampilan komputer dan internet (ICT Literacy). Kemudian TIK juga diimplementasikan dalam sistem sekolah termasuk dalam proses belajar mengajar. Fakta yang mengemuka mengenai pelaksanaanya bahwa, pada derajat tertentu, terjadi kesenjangan. Terdapat sekolah-sekolah yang berhasil mengimplementasikannya dengan baik, dan sebagian lain mengalami kendala: Bahwa sekolah tidak memiliki laboratorium komputer, putus koneksitas internet, ketidakberdayaan guru dalam Internet Literacy maupun mispersepsi, ketiadaan kepemimpinan teknologi, dan sejumlah permasalahan lainnya.

Persepsi guru dalam menggunakan internet sebagai teknologi baru, menjadi sangat penting dalam menentukan gaya implementasi TIK di sekolah. Dapat ditelisik dari teori TAM yang menyatakan bahwa persepsi kemanfaatan dan


(21)

kemudahan penggunaan dari teknologi, utamanya komputer, dapat menentukan perilaku. Seperti yang telah dipertegas oleh Davis (1989): “The Technology Acceptance Model (TAM) is an information systems theory that models how users come to accept and use a technology. The model suggests that when users are presented with a new technology, a number of factors influence their decision about how and when they will use it, notably: Perceived usefulness (PU) - This was defined by Fred Davis as” the degree to which a person believes that using a particular system would enhance his or her job performance“. Perceived ease -of-use (PEOU)- Davis defined this as ”the degree to which a person believes that using a particular system would be free from effort” (h. 319).

Tujuan utama TAM adalah untuk memberikan dasar bagi penelusuran pengaruh faktor eksternal terhadap kepercayaan, sikap, dan tujuan penggunaan. TAM menganggap bahwa dua keyakinan mandiri, yaitu persepsi manfaat (Perceived Usefulness, disingkat PU) dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease-of-Use, disingkat PEOU), adalah pengaruh utama yang mendesak perilaku penerimaan teknologi. Menggunakan atau tidak menggunakan teknologi (dalam kasus ini, internet), menurut Davis, akan ditentukan oleh persepsi individu mengenai teknologi sendiri. Masih menurut Davis, seseorang menggunakan sebuah teknologi bagi perbaikan performa kerja dan nilai kemudahan sebagai sesuatu yang dituju. Sifat digital dan virtual dari banyak produk dan jasa TIK memungkinkan ongkos marjinal yang nol atau pun menurun. Dalam perspektif ini (zero or declining marginal cost), perbaikan performa kerja dicapai dengan, bahkan, tanpa membanting tulang (berusaha).


(22)

Fakta yang mengemuka hari ini bahwa berkembang sejumlah mispersepsi mengenai internet. Pertama, e-education dan e-learning membawa sifat anti sosial. Meniadakan KAP (Komunikasi Antar Pribadi) sebagai medium-tradisi aktifitas transfer moral guru-murid untuk pada gilirannya membahayakan tujuan pendidikan: mengukuhkan moralitas manusia. Kedua, adopsi teknologi internet dinilai kompeks sehingga dilihat lebih menjadi monopoli laki-laki dibanding perempuan. Ketiga, internet digaris-atasi dari sisi fatalitasnya: konten negatif internet menimpakan petaka kemanusiaan pada masyarakat modern hari ini.

Mispersepsi pertama, E-education dan e-learning membawa sifat anti-sosial. Meniadakan KAP (Komunikasi Antar Pribadi) sebagai medium-tradisi aktifitas transfer moral guru-murid untuk pada gilirannya membahayakan tujuan ultimatum pendidikan: Pengukuhan moralitas manusia. Dalam Stroll (1995) dan Turkle (1996), Internet menyebabkan orang terisolasi secara sosial dan terputus dari hubungan sosial yang sejati karena interaksi sosial dilakukan melalui medium yang melemahkan hubungan sosial (dalam Outhwait, 2008, Ed-ke 2, h. 408).

E-learning dan e-education terjadi dalam kancah Computer-Mediated Communication (cmc); antara pembelajar dengan fasilitator-fasilitatornya dalam komunikasi dengan diwakili oleh e-mail, kanal chatting, atau melalui video conference. Sementara itu, komunikasi yang termediasi oleh teknologi komputer dicurigai melemahkan transfer moral guru-murid. Seide dengan itu bahwa KAP menyifati secara tunggal kemampuan transfer-moral. Ekstensinya, e-learning dan e-education gagal memberikan kepercayan bahwa pendidikan akan sampai pada


(23)

tujuan hakikatnya: mengukuhkan moralitas manusia. Moral, menurut pendapat umum, menjadi pelajaran terinti dalam setiap kelas.

Mispersepsi kedua, adopsi teknologi internet dinilai kompeks sehingga dilihat lebih menjadi monopoli laki-laki dibanding perempuan. Brenston pada 1990 menegaskan sebuah konsep, bahwa sesuatu yang sukses menetap di masyarakat yaitu laki-laki ditipekan sebagai dominator dunia fisik. Fonis dominasi pada alam dan pemetaan dunia teritorial maskulin telah berhasil membangun aku-diri laki-laki pada kemampuan untuk mengembangkan kontrol. Deteksi yang muncul, laki-laki menerima dominasi dan kekuasaan sebagai takdir. Selama mereka mengembangkan keragu-raguan, sulit bagi perempuan untuk menggunakan teknologi (Women, Men and Technology: An exploration of the impact on women of the male technological world view, 2012). Secara umum, perempuan tidak berpikir bahwa mereka mempunyai bakat yang sama untuk mendominasi teritori yang terlanjur mendapat label sebagai teritori maskulin. Dalam beberapa hal, ini mengakibatkan kerugian. Misalnya dalam penguasaan teknologi TIK dan internet.

Mispersepsi ketiga, Internet digaris-atasi dari sisi fatalitasnya: konten negatif internet menimpakan petaka kemanusiaan pada masyarakat modern hari ini. Penggunaan individual dengan bimbingan self-censorship (sensor diri) yang lemah memunculkan isu-isu adiksi game, pornografi, penipuan, perjudian dan lain-lain. Kasus adiksi game lee Seung Seoup (28) (: meninggal karena Starcraft), Peter Burkowski (18), Shawn Wolly (21) (: bunuh diri karena Everquest), Xiau Yi (13) (: bunuh diri dengan lompat dari gedung karena War Craft), Chen Jung Yu


(24)

(23), Qiu Ching Wei (: membunuh temannya karena Dragon Sabre) dan lainnya memberikan pangukuhan nama buruk pada internet. Konten erotika juga menjadi wilayah yang disatukan dengan online-game (selain kekerasan), walaupun isu erotika dan pornografi di internet memiliki bagan tersendiri. Pada saat yang sama, isu penipuan juga menjadi bagian yang kuat dalam definisi negatif internet.

Menerima dan menggunakan teknologi secara keliru, sebagian masyarakat dunia telah mendorong kelahiran prejudis mengenai internet. Pada saat yang sama, mendapat terpaan demarketing internet, sebagian masyarakat lain bersikap skeptis dan memilih berjarak dengan akses teknologi terkait (dengan menafikan kemanfaatan internet). Ini kemudian, mengeja alienasi diri masyarakat dari, yang disebut Nasution (1998) sebagai; mendapatkan pengetahuan (acquiring knowledge), menyerap pengetahuan (absorbing knowledge) dan mengkomunikasikan pengetahuan (communicating knowledge) (h. 74). (Digital Divide) itu kemudian mendekatkan masyarakat kepada kesenjangan-pengetahuan (knowledge-gap) yang mengindikasikan bahaya keterbelakangan dan kekurangmajuan. Sementara itu, keterbelakangan dan kekurangmajuan akan dengan mudah mendamparkan masyarakat pada kemiskinan.

Fonis tertentu menyatakan bahwa agamawan menyumbangkan partisipasi terbesar pada pengalaman menjadi alergi teknologi internet. Meletakan penghargaan yang tinggi pada kebenaran dan kesucian, kelompok Islam tertentu menjadikan internet, dengan potensi serba-ada (pada sisi fatalitasnya; pornorgafi, penipuan, game,


(25)

perjudian, dan variasi dari kata kejahatan cyber atau apa pun yang dianggap melenakan), sebagai kandidat yang sempurna untuk diharamkan.

Menelisik fenomena ini dengan mengaitkannya pada perspektif ideologi agama, pemilihan lokasi penelitian akan serasi dengan wilayah pendidikan agama sebagai agen konservasi nilai-nilai dan penegakan agama sendiri. Dalam kasus ini, Madrasah Aliyah menjadi cocok dengan kategori tersebut. Madrasah Aliyah Negeri (atau yang swasta), menurut Ida Nurhaida (dalam komunikasi personal) mewarisi ide-ide dan sikap sosial tertentu dari kelompok Islam tertentu sebagai pewakaf yang mentenagai berdirinya sarana pendidikan ini. Konsep ide dan sikap itu kemudian dieja dalam gaya mendidik. Bicara spesifik pada kajian TIK, maka ideologi akan juga memproduksi sikap khas terhadap teknologi internet: menerima atau tidak menerima dan seberapa besar? (18 November 2013). Ini, dalam perspektif ilmu, menjadi sebuah isu.

Madrasah Aliyah Negeri (Model) 1 Bandar Lampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang, didudukan pada posisi yang sama di liganya yang khusus: liga MA dan pada peyandangan ‘Negeri’. Sebagai lembaga, MA menyandang ‘Islam’ untuk menunjukan kualitas yang representatif: kualitas ’khas’ lingkungan Islami dalam adopsi Internet. Apakah kedua sekolah ini telah memenuhi harapan-harapan tentang implementasi TIK pada sekolah Islam permodelan? Apakah pembesar pendidikan Islam di dua sekolah tersebut telah memenuhi kriteria mapan dalam literasi Internet? Riset ini melihat kepada fokus


(26)

yang berkaitan dengan ideologi Islam: bagaimana ideologi berhubungan dengan persepsi dan adopsi internet, yang pada gilirannya mempengaruhi literasi internet.

Pada saat yang sama, MA Negeri menyandang fungsi permodelan bagi MA Swasta lainnya. Dengan demikian, sebagai panyandang ‘model’, dua sekolah ini menerima tekanan yang lebih untuk membakati kualitas ‘model’ dalam kerja pendidikannya, dalam kasus ini pada tata-kelola implementasi TIK. Selain itu, MA juga mendapat generalisasi dalam penilaian masyarakat sebagai sekolah menengah: bahwa MA juga memiliki keanggotaan pada liga yang umum, sehingga kebutuhan tampil prima ada pada keterdesakan tinggi. Ditambah prejudis alergi teknologi yang melekat pada lingkungan Islam (sesuatu yang layak dibuktikan secara terbalik), sehingga MA memiliki alasan yang lebih lengkap lagi untuk cenderung pada mengusahakan peningkatan.

Sejalan dengan kebijakan nasional, 11 MA yang terdiri dari dua MA Negeri dan sembilan MA Swasta di Kota Bandar Lampung telah menerapkan TIK dalam kurikulum yang, pada derajat tertentu, berintegrasi pada proses belajar-mengajar. Fakta mengenai tata kelola TIK di sekolah bisa sangat beragam, bahwa sekolah; (a) memiliki laboratorium dan koneksi internet, pada saat yang sama, mengintegrasikan fasilitas itu dalam proses belajar, (b) memiliki laboratorium namun terputus dari akses internet, (c) tidak memiliki laboratorium komputer (maka ketiadaan jaringan internet menjadi kepastian berikutnya). Sementara itu, yang menjadi kesepahaman bahwa sarana dan prasarana (; laboratorium komputer dan, khususnya, koneksi Internet) adalah kondisi yang harus dipenuhi untuk


(27)

mencapai keterampilan TIK dan menetapi kemapanan literasi TIK. Pada saat yang bersamaan, diduga terdapat keberagaman kesiapan menginternalisasi TIK dalam mengajar. Ini juga mengisyaratkan suatu asosiasi pasti pada perbedaan literasi internet antar pengampu pendidikan. Maka muncul sebuah kepentingan untuk mengukur kesiapan guru dalam implementasi TIK dengan mengungkapkan literasi internetnya.

Wilayah latar belakang dari sebuah proposal penelitian mendapatkan beban untuk memburai kelayakan teliti hingga setiap sel dari tubuh penelitian mendapatkan argumentasi dan justifikasi. Maka maraton justifikasi ini tiba pada tugas-tugas justifikasi tingkat detil: Mengapa meneliti guru (lintas mata pelajaran)? Mengapa bukan guru TIK saja? Mengapa bukan murid? Untuk diketahui bahwa penelitian ini berbagi kehormatan yang sama dengan sejumlah penelitian lain dalam memusatkan objek formalnya pada literasi internet di populasi besar kota Bandar Lampung (pada pembangunan bangsa melalui teknologi). Peletakan objek material pada siswa (di Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menegah Kejuruan, negeri dan swasta) telah menjadi monopoli dari penelitian-penelitian sebelumnya dan penelitian yang sedang terjadi. Mengeluarkan diri dari fonis plagiarisme, penelitian ini menggeser objek materialnya kepada guru (di wilayah penelitian Madrasah Aliyah).

Berikutnya, setelah alasan yang situasional itu, fakta bahwa guru bebas dari tanggungan untuk memenuhi standar kompetensi tertentu mengenai literasi TIK, membesarkan risiko kesenjangan literasi TIK antar guru. Siswa, bagaimanapun,


(28)

berhubungan dengan TIK dengan cara yang asimetris dengan cara guru. Siswa mendapatkan pengajaran TIK untuk tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima beban standar kompetensi dan mencapainya. Serasi dengan penegasan Wahyudi, ini pada giliranya bartanggung jawab atas perbedaan penguasaan TIK yang non-ekstrim antar siswa (2010), (ditelisik dari tingkat adopsi internetnya). Sebaliknya antar guru. Dengan kata-kata yang sedikit, kesenjangan literasi TIK kemungkinan diproduksi-lebih dari entitas guru. Kejadian yang bernilai organik. Bahkan terdapat tendensi bahwa terampil-TIK hanya menjadi monopoli guru TIK saja.

Sementara itu, tendensi berjaraknya guru dengan kemapanan literasi TIK, pada gilirannya, mendukung potensi pemburukan performa kerja pendidikan. Ini dapat dikenali sebagai makar pada keberhasilan pendidikan anak: pendidikan bangsa. Esensinya, kejanggalan sosial, seumpama tipis keterampilan TIK dan kesenjangan literasi internet antar guru di lingkungan pendidikan, selalu menjadi motif yang baik dan jitu dalam melejitkan derajat layak teliti. Untuk kemudian penelitian ilmiah dapat memetakan anatomi kekalutan sosial yang menimpa kelompok masyarakat tertentu: sebuah kejadian yang harus dipenuhi untuk memproduksi pemecahan masalah sosial terkait. Dalam perspektif ini, penelitian akan sangat dekat dengan usaha pemakmuran bumi: dengan menyediakan usaha memecahkan permasalahan sosial.

Fokus Kekomunikasian

Disamping motivasi empiris yang telah dipapar, kajian persepsi melekat pada penelitian ini dalam rangka menebalkan nilai keilmuan komunikasi melalui


(29)

partisipasi faset Psikologi Komunikasi. Dibutuhkan pernyataan yang tegas mengenai bagaimana tema penelitian ini menjadi relevan dengan liga keilmuannya. Mengingat ada jarak yang harus dipelihara antar ranah penelitian ilmu. Demikian penjelasan ini dibobot perlu untuk menegaskan kedudukan sesungguhnya; bahwa penelitian ini berada dalam hajat Ilmu Komunikasi. Reputasi rakus (multidisiplin: masuk ke kajian ilmu-ilmu lain) yang melekat pada Ilmu komunikasi membuat pelajar Ilmu Komunikasi lebih bekerja keras dalam memurnikan penelitiannya di hadapan masyarakat ilmu. Abdul Firman Ashaf, dalam komunikasi personal, menyatakan bahwa setiap tindakan manusia mendapat klaim sebagai tindakan komunikasi sehingga setiap fenomena sosial layak menjadi dasar dari bangunan penelitian komunikasi dengan menunjukan derajat kejernihan faset komunikasinya. Ilmu Komunikasi juga memiliki karakter omni-present (hadir dimana saja) (24 April, 2009) sehingga pada perspektif humanisme, IT menjadi relevan sebagai ingroup dari kajian Komunikasi-Sosial Pembangunan.

Masih mengenai ’persepsi’, yaitu bagaimana persepsi bertanggungjawab pada pembangunan. Nasution menyatakan bahwa pembangunan ada pada urutannya, yaitu: individu, institusional, nasional dan internasional (1998). Tujuan pembangunan dapat seraksasa mungkin, namun pembangunan adalah kerja berlapis yang terjadi mula-mula pada situasi Need of Achievement (n/Ach) yang, oleh McLelland (1971), diklaim berada pada wilayah psikologi yaitu persepsi (: kognisi (pikiran) dan afeksi (perasaan)) manusia. Pembangunan Internasional, nasional, institusional dan individu tidak mendahului pembangunan individu di


(30)

kancah persepsi. Maka tidak ada pembangunan apa pun sebelum pembangunan di kancah persepsi itu terjadi. Dengan demikian, menelisik pada kajian terkait, penelitian ini menegakan kasusnya.

Tujuan Khusus

Ida Nurhaida mengklaim bahwa disertasi dan tesis banyak bermain pada produksi teori-teori ilmu, sementara itu, kerja akademis sekancah skripsi Strata Satu (S1) layak menempati usaha mendorong persoalan sosial tertentu pada finalnya (komunikasi personal, 16 Juni 2013). Sebuah pernyataan yang perlu bahwa penelitian ini ada untuk memenuhi kaidah tersebut. Penelitian ini menempati posisi pra-riset bagi sebuah tema besar penelitian tertentu mengenai e-readiness (yang dibaca sebagai kesiapan dalam menerima dan menggunakan teknologi internet). Riset ini menyediakan basis informasi yang dibutuhkan untuk memproduksi model adopsi TIK dan perangkat enabler seumpama digital-device tertentu dimasa depan.

Sekelompok pra-riset mengakibatkan topik dalam lingkungan grand-penelitian tersebut menjadi lengkap. Pada saat yang sama, sebagai sesuatu yang mandiri, penelitian ini mendapatkan beban melanjutkan tradisi penelitian, meneruskan, dan mengembangkan sesuatu atas dasar studi-studi sebelumnya yang berada dalam topik dan tradisi penelitian yang sama baik ingroup proyek penelitian bahkan outgroup. Kerja skripsi ini, selain sekelompok skripsi ingroup lainnya, diharapkan final pada menyediakan basis informasi yang pada gilirannya memperbesar


(31)

potensi pemecahan kekalutan sosial dan penguraian simpul pembangunan negeri dari sisi Komunikasi Inovasi pada TIK di wilayah pendidikan Bandar Lampung.

Panduan Penulisan Karya Ilmiah

Berikut ini yang menjadi penjelasan cabang, namun dibutuhkan untuk mencapaikan audien dari skripsi ini pada kesepahaman terkait panduan penulisan karya ilmiah yang digunakan. Terdapat sejumlah kerangka rujukan siap pakai yang tersedia untuk membimbing penulisan karya ilmiah, namun American Psychological Association (APA) memproduksi sebuah mode yang dirancang serasi bagi dokumentasi penelitian-penelitian sosial. Bahwa ilmu sosial memberikan penekanan pada informasi waktu karya tertentu dibuat, sehingga kutipan mode APA lebih banyak mengedepankan catatan waktu dalam tubuh teks penelitiannya.

APA, pada derajat tertentu, menyediakan model mengutip adaptif pada jenis-jenis sumber yang majemuk: Sesuatu yang ditiadakan oleh panduan-panduan lokal penulisan karya ilmiah. Misalnya, bagaimana mengutip dari tangan ke dua, sumber yang hilang nasabnya, sumber tutur, catatan kuliah atau seminar, video, film, rekaman, dan pelbagainya. Pada saat yang sama, APA memberikan format yang khas pada masing-masing sumber yang majemuk itu pada kutipan di dalam text (in-text citation) dan daftar pustaka. Misalnya kutipan dari sumber buku akan dibedakan secara morfologi dengan sumber ensiklopedia. Bentuk-bentuk yang asosiatif. Ini memampukan audien karya ilmiah mendapatkan pengetahuan yang seketika--- bahwa potongan ilmu tertentu diambil dari sumber jenis tertentu.


(32)

Esensinya, kutipan model APA bekerja menciptakan keteraturan-keteraturan yang perlu dan memudahkan.

Disamping itu, APA seumpama didesain untuk memudahkan peneliti mencabut diri dari fonis plagiarisme dengan menyediakan model mengutip dari sumber berkekurangan secara legal. Dalam kasus ini pada bibliografinya: autor, tanggal terbit, dan semacamnya. Kemudahan ini melunakkan usaha peneliti untuk mencapai kredibilitas penelitian.

Berikutnya, bahwa menginternalisasi standar APA di penelitian lokal, pada derajat tertentu, meningkatkan sisi homofili dengan penelitian internasional. Usaha mengadaptasi APA dalam tata-penulisan riset ini dilakukan dengan kesengajaan dan kesadaran penuh untuk mengurangi jarak dengan riset kelas dunia. Dengan demikian, mempresentasikan hasil temuan dengan pakem yang disetujui secara internasional adalah kecenderungan yang layak.

B. Rumusan Masalah

Secara rinci, masalah yang akan diungkapkan dari penelitian ini adalah:

1. Seberapa besarkah kemanfaatan internet (PU) dan kemudahan penggunaan (PEOU) internet dalam persepsi guru MAN 1 (Model) Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang?

2. Apakah ada hubungan antara persepsi guru pada internet dengan literasi internet guru MAN 1 (Model) Bandarlampung dan MAN 2 Tanjungkarang?


(33)

C. Tujuan penelitian

1. Mengungkapkan persepsi guru pada internet dan literasi-internet di Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang.

2. Mengetahui hubungan antara persepsi guru pada internet dengan literasi internet guru di Madrasah Aliyah Negeri 1 (Model) Bandarlampung dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjungkarang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoretis, hasil temuan penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Komunikasi di bidang komunikasi pembangunan, khususnya Komunikasi Inovasi di bidang TIK.

2. Secara praktis:

a. Pengetahuan tentang hubungan persepsi dengan literasi internet guru MA dapat menjadi masukan bagi pemegang kebijakan dalam merancang strategi transformasi pendidikan modern melalui e-education: Departemen Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional dan Dinas Pendidikan Provinsi. Khususnya Departemen Agama dan Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung.

b. Melanjutkan tradisi penelitian, meneruskan, dan mengembangkan sesuatu atas dasar studi-studi sebelumnya yang berada dalam topik dan tradisi penelitian yang sama (Walizer & Wienir, 1993, h. 128).

c. Penelitian ini mengambil beban untuk menjawab prejudis yang ada mengenai keterbukaan Madrasah Aliyah dalam menerima dan menggunakan


(34)

teknologi internet. Maka fonis alergi teknologi yang melekat pada lingkungan Islam menjadi sesuatu untuk dibuktikan atau dibuktikan secara terbalik.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

1. Perbedaan Koneksitas Internet pada pola Adopsi Internet oleh Remaja SMA Swasta (Studi pada SMA Muhammadiyah 2, SMA Arjuna, dan SMA YAPL Panjang Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/ 2010). Perbedaan fasilitas koneksi ke internet antar sekolah SMA Swasta menibakan pada kesenjangan digital. Dideteksi bahwa memiliki atau tidak memiliki akses pada internet menyebabkan disparitas mutu pendidikan. Berikutnya, perbedaan pola adopsi internet siswa SMA Swasta tidak menunjukan derajat yang signifikan. Siswa SMA Muhammadiyah 2 (yang telah terkoneksi) dan SMA Arjuna (yang belum terkoneksi) menunjukkan derajat persamaan tertentu dalam adopsi internet secara personal. Sementara itu, sisiwa SMA YPPL Panjang menempati pola adopsi yang senjang secara signifikan dengan pola yang mengemuka dari kedua sekolah yang lain. Penulis mendapati tidak ada perbedaan signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam pengadopsian internet juga dalam perbandingan usia (antar kelas 10 di masing-masing sekolah) (Wahyudi, 2010, p. 106-110).


(36)

2. Self Cencorship dan Tanggung Jawab Sosial Media Massa. Sekolah Tinggi Komunikasi London School of Public Relation (STIKOM LSPR) 2009.

Pada tingkatan individual, self cencorship merupakan rambu-rambu atau tanda-tanda dan juga konsep diri atau pilihan nilai seseorang dalam menghadapi berbagai masalah, namun dalam tingkatan organisasi dan masyarakat, terlebih lagi media masa, self censorship adalah sensor diri dan tindakan pengawasan yang dilakukan sendiri terutama dalam memenuhi berbagai kepentingan, yakni masyarakat dan pasar. Tindakan self-censorship tidak hanya untuk menghadapi isu-isu sensitif, tetapi juga dalam proses seleksi atau editing media, kreatifitas iklan, yang disebut juga soft censorship. Secara internal, media terus melakukan self-cencorship ini seperti pemilihan judul berita di surat kabar sebagai proses editing. Persoalan-persoalan yang timbul akibat pemberitaan di media menuntut adanya self censorship. Dalam menghadapi tuntutan publik, media pun dengan kesadaran (awareness) terus berupaya meningkatkan kualitas dengan cara menyensor isi media untuk mengurangi kontroversi atau untuk memenuhi selera publik dan industri. Meski dalam sistem pers liberal sekalipun, self censorship merupakan evidensi dalam proses seleksi (Chomsky dan Herman, 1994) (Artini, 2009, h. 17-32).

3. Studi McClelland: ’ The Achieving Society’.

McClelland (1961) melakukan studi tentang dorongan psikologis yang memotivasi suatu masyarakat untuk mencapai kemajuan. Antara lain


(37)

berkesimpulan bahwa untuk memajukan sebuah masyarakat harus dimulai dengan mengubah sikap mental (attitude) para anggotanya. Kebutuhan untuk mencapai sesuatu (need for achievement atau n/ Ach) merupakan dorongan pada seseorang untuk menghadapi tantangan, mengatasi oposisi, dan berhasil menangani berbagai kesulitan. Masyarakat yang terdiri dari pribadi-pribadi yang mencapai sesuatu (achieving personalities) akan menjadi suatu masyarakat yang juga mencapai sesuatu, dan karena itu akan berkembang dan maju. Menurut penelitian ini, sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang telah maju ternyata didorong oleh „kebutuhan untuk pencapaian sesuatu‟ atau „need for achievement’. Sebagai contoh McClelland mengutip negara-negara Yunani klasik, Spanyol, Inggris sebelum Revolusi Industri dan Amerika selama satu setengah abad sejak tahun 1800 yang memiliki semangat pencapaian yang tinggi telah mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Sementara itu bila motivasi pencapaian di suatu negara tampak rendah, dapat diperkirakan bahwa pertumbuhan ekonominya rendah, atau setidaknya kurang bertumbuh (seperti dikutip dalam Nasution, 1998, h. 112-113).

B.Konsep Dasar Literasi Internet

Segera setelah internet menghantam keluarga akar rumput, masyarakat kemudian bertransformasi kepada budaya yang sama sekali berbeda– dan media literasi menjadi sebuah keahlian penting untuk dapat melanjutkan hidup dalam kultur termediasi (oleh komputer pada CMC). Perkembangan dalam ranah media-media komunikasi telah didampingi oleh beberapa format baru mengenai literasi. Seperti literasi informasi, literasi komputer, dan literasi visual. Maka literasi internet


(38)

harus didahului dengan literasi komputer atau mode mutakhir lainnya seumpama gadget keluaran terbaru (yang masih dalam famili komputer sehingga ia tidak mendapat pembedaan berarti). Namun demikian, konsep dasar literasi internet berinternalisasi dengan materi literasi media yang general dengan dikotomi yang cair: bahwa literasi internet meliputi keterampilan penggunaan TIK untuk sehari-hari yaitu kemampuan menggunakan internet. Sementara itu, literasi media adalah kecerdasannya. Kerja literasi media pada situasi akses internet adalah misalnya pada kemampuan membobot baik-buruk secara jitu konten media, mendeteksi hoax, menentukan website yang dapat dipercaya dan tidak. Esensinya, dalam litersi internet terdapat literasi informasi dan literasi media sekaligus.

Selanjutnya, menjadi kekhasan internet bahwa teknologi ini lebih privat dalam penggunannya. Oleh karena itu, kendali literasi media dan kendali diri (self-censoreship) personal lebih bertanggungjawab atas konsumsi informasi melalui internet dibanding kendali sosial atau faktor situasional lainnya.

James Potter mendefinisikan, Literasi media (Internet) adalah sekumpulan perspektif yang secara aktif kita gunakan menghadapi media untuk menginterpretasikan makna sebuah pesan yang kita temui. Literasi media akan mampu meningkatkan pemahaman seseorang terhadap berbagai isi pesan media, ia memberikan pengetahuan mengenai bagaimana memprogram otak kita terhadap isi media, serta memperkuat individu dalam melakukan kontrol terhadap media (Ditjen Kominfo RI, 2010). Pada tahun 1992 Aspen Institute of Media Literacy, sebuah konfrensi yang menggawangi gerakan media literasi di AS, dimana


(39)

Patricia Aufderheide menulis laporan tentang definisi media literasi berikut: ’The ability to access, analyze, evaluate, and create messages in a variety of forms’. Maka literasi media (Internet) adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan membuat pesan dalam kemajemukan bentuk dan jenis (SilverBlatt, Mei, 2008).

Pada tahun 1946, Edgar Dale menjadi yang terhulu dalam mendefinisikan literasi jenis mutakhir: “bahwa literasi adalah kemampuan untuk berkomunikasi melalui tiga cara; membaca dan menulis, bicara dan mendengarkan, memvisualkan dan mengamati--- cetak, audio, dan visual. Literasi ini secara umum ada pada dua level. Pertama, level melatih, reaksi inisiatif (initiative reaction). Disitu kita mengkomunikasikan hal sederhana, makna literal dari apa yang tertulis, yang dikatakan atau digambarkan. Pada tataran kedua, kita masuk dalam interaksi yang kreatif, dapat membaca makna antar kalimat, menggambarkan hubungan-hubungan, memahami implikasi dari apa yang dituliskan, dikatakan, dan didengar” (Silverblatt, Mei. 2010). Definisi ini memiliki aksen yang teknis

mengenai bagaimana ‟teks‟-media melalui terpaan-kritis yang terjadi pada tiga

tahapan: teks-konteks-kognisi sosial.

Audien dari media masa kemudian pada situasi itu, mempelajari apa yang pembicara, penulis, peraga tertentu coba untuk sampaikan, yang membutuhkan literasi pada derajat yang lebih besar. Pada akhirnya, khalayak media belajar membaca lebih dari makna literal kata, untuk mengevaluasi, dan mengaplikasikannya pada situas-situasi baru. Mereka menggunakan cara yang


(40)

beragam dalam menggunakan pesan. Silverblatt juga mengelaskan respon (dalam tataran feed back) sebagai tindakan tidak mengkritisi atau menerima, atau sebagai tindakan mengkritisi dan mengevaluasi. Di wilayah literasi yang baru, proses ini melibatkan membaca-kritis, mendengarkan-kritis, dan observasi-kritis. Adalah pemikiran tentang apa yang dibaca, didengar, dan dilihat.

Kemampuan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skill)

Literasi media adalah berpikir secara kritis yang menyanggupkan khalayak media massa mengkode informasi yang mereka terima melalui saluran media massa. Steven Schafersman mendefinisikan: “Berpikir-kritis artinya perpikir secara tepat untuk mencapai pengetahuan yang relevan dan dapat diandalkan tentang dunia...beralasan, reflektif, bertanggung jawab, dan jitu dalam memusatkan fokus

dalam menentukan apa yang layak dipercayai dan tidak… seseorang yang berpikir

kritis dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang layak, mengumpulkan informasi yang relevan, secara efisien dan kreatif dari pesan tertentu, membuat rasionalisasi logis dari informasi, dan berakhir pada kemampuan untuk meyimpulkan konsep yang terpercaya dan dapat diandalkan tentang dunia yang memungkinkannya untuk bertahan dan sukses… perpikir kritis menyanggupkan seseorang untuk, sebagai contoh, secara bertanggungjawab menilai kandidat politik, representatif dalam menjuri pengadilan, mengevaluasi keterdesakan sosial akan perencanaan tenaga nuklir, dan mengukur akibat dari pemanasan global” (dalam Silverblatt, Mei. 2010). Schafersman membeber ide bahwa berpikir kritis memungkinkan seseorang tampil sebagai warga dunia yang bertanggungjawab. Cenderung kontributif pada masyarakat, dan pada saat yang sama, kualitas itu


(41)

akan berhalo-effect pada berusahanya seseorang untuk terputus dari partisipasi menambah permasalahan sosial.

National Association for Media Literacy Education (NAMLE), menibakan pada kancah praktis dari berpikir kritis:

„Pendidikan media literasi ... secara aktif menyemangati kerja berpikir kritis di setiap kelas belajar ... pendidikan literasi media mengajarkan untuk tidak melatih siswa mempertanyakan apakah ada bias pada pesan tertentu (karena semua pesan media adalah bias) namun lebih kepada, apa substansi, penyebab, dan dampak yang mungkin muncul dari bias‟.

Ini salah satunya yang mencegah seseorang menjadi bulan-bulanan media massa. Anak-anak sekali pun.

Sebuah elemen esensial dari berpikir kritis yang ada dalam literasi media adalah inquiry (menelusur, meneliti, membedah), sikap mempertanyakan (the act of questioning) menurut seorang pendidik di AS, Hobbs dalam Silverblatt (Mei, 2010), akademika dan advokat dalam literasi media pendidikan, menyatakan:

“At the center of media literacy education must be the pedagogy of inquiry, which is the act of asking questions about media texts…The cultivation of an open, questioning, reflective, and critical stance towards symbolic texts should be the pole of the media literacy umbrella, as it is the concept most likely to ensure its survival.”

Adalah sikap mempertanyakan teks media dan pengelolaan yang terbuka, dan tanggap mengenai pandangan kritis mengenai teks-teks simbolik.


(42)

Pandangan kritis dan kemampuan menyimak adalah kualitas tambahan pada literasi media. Elizabeth Thoman, pendiri dari Center for Media Literacy (CML), meneliti bahwa, belajar menganalisis dan mempertanyakan apa yang ada dalam konteks, bagaimana ia dikonstruksi dan menelisik nilai-nilai apa yang mungkin terabaikan. Kemampuan-kemampuan analisis-kritis paling baik dipelajari melalui kelas-kelas aktifitas berkelompok berbasis inquiry (inquiry-based classes) atau kelompok interaktif. Hobbs (seperti dikutip dalam Silverblatt, Mei, 2007) bahwa pendidikan literasi media telah melejitkan rata-rata derajat berpikir-kritis pada siswa:

“bahwa anak-anak kelas 11 yang menerima pengajaran dan kursus litrasi

media menunjukkan derajat literasi yang lebih dibandingkan dengan kelompok pengendali yang tidak mendapat terpaan literasi media. Pendidikan literasi media meningkatkan kemampuan baca, melihat, mendengar media teks, audio, dan video text, analisis teks dan interpretasi, juga kemampuan menulis.”

Ranah aplikatif ini adalah fakta menyegarkan dari dunia barat mengenai ketahanan generasi mudanya. Anak-anak akan dimampukan membobot baik-buruk dengan jitu: memperbijak gaya anak dalam konsumsi media. Misalnya bahwa mereka akan melihat dengan jernih upaya pelecehan (attempt to rape) perempuan yang dilakukan Brutus pada Olive di setiap episode Popeye the Sailorman, untuk kemudian kehilangan selera pada tayangan ini dan judul lain yang mirip secara muatan.


(43)

Otonomi

Literasi media melengkapi khalayak media dengan kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan yang mandiri untuk memilih program media mana dan menginterpretasi informasi yang mereka terima melalui saluran komunikasi massa. Menurut W. James Potter, komunikator media sering kali menggiring khalayak media pada pemikiran yang umum, ‟dimana pikiran diambil kendali tanpa kesadaran konsumen media‟: National Telemedia Council AS menyebutkan bahwa merespon kepada passive mindset ini, literasi media meningkatkan konsumsi-pintar (mindful viewing) dan tanggap-membobot (reflective judgment): Media literasi adalah kemampuan untuk memilih, memahami konteks dari konten media, dampak, industri dan produksi, mengevaluasi, merespon secara kritis kepada media yang kita konsumsi (Silverblat, Mei, 2010).

Media memberikan kerangka rujukan dalam bersikap dan berperilaku mengenai hal yang majemuk. Liliweri menjelaskan peristiwa ini dalam teori hierarki efek, yaitu efek kognitif (pesan komunikasi massa mengakibatkan khalayak berubah dalam hal pengetahuan, pandangan dan pendapat terhadap suatu yang diperolehnya), efek afektif (pesan komunikasi massa mengakibatkan berubahnya perasaan tertentu dari khalayak), dan efek konatif (2004, h. 39) (pesan komunikasi massa mengakibatkan orang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Media menjual konsep tentang bagaimana adab bertransaksi komunikasi, misalnya, antara remaja kepada orang tua, guru, tetangga, hewan peliharaan, teman laki-laki atau perempuan. Dengan mula-mula mengisi sisi kognisi (pikiran) dengan memberikan konsep-konsep yang pada gilirannya


(44)

membimbing afeksi (perasaan) tertentu pada objek persepsinya. Berikutnya persepsi akan lebih sering menjadi rezim dari konasi. Bahwa persepsi (pikiran dan perasaan) seseorang akan memproduksi sikap lanjutan pada objek persepsi. Misalnya persepsi anak muda pada bagaimana seharusnya hidup di usia itu dijalankan: Apa yang layak ia lakukan pada masa-masa mudanya: apa yang pantas menjadi main consern: apa yang diawalkan dan diakhirkan.

Keseluruhan proses itu tampil sebagai yang bertanggung jawab dalam membentuk konsep diri untuk kemudian melahirkan sikap hidup. Misalnya, seseorang melewatkan pengetahuan tentang hakikat penciptaan dirinya (yaitu untuk mengibadahi Alloh saja) maka dia, akan dengan sangat mudah, tiba pada mengabaikan pengetahuan bahwa mati dan mati muda itu ada. Penjelasan yang mungkin, ini kemudian yang memberikan dorongan untuk seseorang menunda-nunda ketaatan. Atau sebaliknya: seorang muslim berhasil mendeteksi hakikat fungsi dan kesementaraan hidupnya di bumi. Maka dia melihat kepada sumber-sumber Al-hak dan Ats-sunnah sebagai cara tahu Islam, meyakininya dan melaksanakannya tanpa ragu-ragu. Untuk kemudian menetapi tauhid (penghambaan kepada Alloh saja). Pada saat yang sama, menghamba dengan gaya penghambaan yang merujuk kepada Rasulullah dan menghidupkan kepribadian Islam dalam dirinya (sebagai satu-satunya konsep kepribadian yang layak ditetapi muslim). Untuk kemudian, sedini mungkin, mencapai kelezatan beribadah kepada Alloh.


(45)

Komisioner FCC (Federal Communication Commition) Michael Copps mendapati bahwa penyemangatan pada kritis-mandiri menjadi sangat penting bagi perkembangan anak dan remaja: “(Studi dari literasi media) mengajarkan anak-anak tidak hanya bagaimana menggunakan media namun bagaimana media memperalat mereka. Anak-anak butuh megetahui bagaimana pesan tertentu dirancang dan mengapa, perangkat apa yang digunakan untuk mencengkram perhatian mereka dan apa yang dikaburkan. Pada sebuah budaya dimana media bisa sangat persuasif dan invasif, anak-anak perlu berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Tidak ada pendidikan anak yang lengkap tanpa ini” (Silverblatt, Mei, 2010).

Konteks

Literasi media memasok pengetahuan tentang dampak dari konstruksi pesan media. Cary Bazalgette (seperti dikutip dalam Silverblatt, Mei, 2007), akademisi-media dari Inggris menyatakan, “Mengevaluasi konten...menyimpulkan tubuh penelitian substansial mengenai masyarakat yang lebih luas, budaya, ekonomi, politik dan konteks-konteks sejarah dimana kontent media diproduksi. Pengaruh pada media meliputi: sejarah, gepolitik, ekonomi, dan konteks kultural, sama kuatnya dengan dampak industri media dan tradisi-tradisi juga formula genre media.”


(46)

Memahami Proses Komunikasi Massa

Diluar kerangka mengajar tentang teks-teks tertentu, literasi media lebih kental kepada pemahaman tentang proses komunikasi media. Model komunikasi dasar terdiri dari elemen-elemen berikut:

a. Komunikator adalah pribadi yang mengirim pesan. b. Pesan adalah informasi yang dikomunikasikan.

c. Saluran merujuk pada melalui media apa pesan dikomunikasikan. Sebagai contoh, suara, tatapan mata, and ekspresi wajah digunakan sebagai saluran komunikasi interpersonal.

d. Audien terdiri dari pribadi atau khalayak yang menerima pesan.

Dalam komunikasi massa, media cetak, foto, film, radio, televisi, dan internet ada sebagai saluran komunikasi dan informasi kepada sejumlah besar masyarakat yang berpisahan dengan komunikator media dalam waktu atau ruang.

Model Komunikasi Massa

Saat Marshall McLuhan menyatakan, ‟The medium is the message,’ (media adalah pesannya) Ia berpikir bahwa media telah mengubah model komunikasi tradisional. Saluran-saluran komunikasi massa saat ini diasumsikan sebagai pengendali utama yang menentukan pilihan komunikator, pesan, dan audien.

Model Komunikasi Post-modern

Kehadiran komunikasi digital mengekspansi proses literasi media, menyatukan karekteristik interaktif khas dari media baru (new media). Media digital menginternalisasi sebuah partisipasi interaktif yang, akademisi-media Kathleen


(47)

Tyner, kategorikan sebagai‟ kritis, investigatori, dan penggunaan-kreatif pada informasi‟ (Silverblatt, Mei, 2007).

Dengan kalimat yang sedikit, media literasi dapat disarikan dalam poin-poin padat, setelah sebelumnya diurai secara komprehen;

a. sadar etika konsumsi media, b. kritis terhadap isi media,

c. sedikit-banyak tahu tentang dampak media,

d. memiliki pengetahuan bagaimana media diproduksi,

e. tahu bagaimana menggunakan media (Kritis Media Anak, 2010).

Bagaimana pun, mengisolasi masyarakat informasi (disegala umur) dari media adalah mutlak tidak mungkin. Dibanding menciptakan isolasi, membuat imunitas dengan menyemai literasi media menjadi lebih nyata (tangible). Konten anti-sosial yang mengancam peradaban manusia hari ini seumpama sex, kekerasan, bahasa kasar, konsumerisme, mistik, dan gosip yang memiliki sifat misleading (sesat), offensive (mencetuskan permusuhan) dan variasi lainnya dari kata bahaya, layak mendapatkan counter-attack (serangan–balik). Dunia bersepakat untuk mendapatkan imun dan perlawanan itu dengan media literasi yang membimbing individu kepada konsumsi-cerdas media dan, pada saat yang sama, mentenagai individu untuk melakukan radiasi cerdas-konsumsi media kepada khalayak yang lebih luas lagi.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam kerja penyemaian literasi media, cenderung kepada media literasi untuk masuk di kurikulum belajar pada wilayah


(48)

muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Indonesia. Hal yang sama telah dimulai pada 1960 di Britania Raya dan Australia. Kritis bermedia di kancah nasional telah mendapat monentum pencetus (trigger) pada Gemas Pedas (Gerakan Media Sehat dan Pemirsa Cerdas) (Kritis Media Anak. 2010). Penetrasi Literasi Media pada pendidikan resmi di sekolah mendapat keterdesakan untuk populer. KPI dalam kerja preventif ini mengembangkan bakat untuk menyegarkan kejenuhan bermedia. Visioner dan relevan. Menjadikannya layak menerima dukungan utuh dari masyarakat besar khalayak media.

Disamping itu, kerja literasi media layak diteruskan pada tataran aksi, setelah seseorang mapan pada tataran konsep. KPI dalam kuliah-kuliah umum mengajak khalayak media menggencarkan aduan pada tayangan dengan muatan anti-sosial. Pada saat yang sama, memberikan dukungan pada tayangan-tayangan pro-sosial. Penolakan dan penyemangatan sosial, pada derajat tertentu, menunjukkan kendali atas langgeng atau matinya sebuah program acara di TV. Menyitir pada keterangan Mutmainah Armando, pada sebuah sub acara „Talk Show‟ seorang

pesenter mengucap „bismillah’ sebelum mencicipi wine (yang dihukumi haram

dalam Islam) (Kritis Media Anak. 2010). KPI, menurut Armando, akan merasa cukup dengan sebuah pesan singkat aduan sebagai dasar gerak. Situasi itu menyatakan bahwa gerakan sosial memiliki daya tertentu dalam meniadakan kelanjutan dari kekacauan publik. Dalam kasus ini, kekacauan publik di kancah media massa.


(49)

Dalam kasus tersebut, kognisi dan afeksi tentang media literasi telah mencapai aspek konatifnya: dimana feedback muncul dalam tindakan yang diharapkan. Literasi media pada derajat yang tinggi akan memproduksi perilaku yang terukur pada tataran aksi (act), seperti yang disebut oleh Silverblatt bahwa tidak mengkritisi artinya menerima, dan tindakan mengkritisi berarti juga mengevaluasi. Dalam konteks penggunaan internet, net-citizen telah memiliki kanal-kanal respon. Situs jejaring sosial hari ini termasuk yang memberikan layanan terkait. Bahkan dengan memberikan sejumlah opsi feed-back yang merinci pada alasan penolakan konten tertentu. Finalnya, pengelola website dapat mengatur information-flow lebih kepada yang dibutuhkan dan disukai konsumen.

1. Tinjauan Internet

Internet bertanggungjawab atas merevolusinya dunia komputer dan komunikasi. Betapa internet memediasi pertukaran informasi dalam sistem yang mendunia,

telah memetaforakan „gunting besar‟ yang memotong-motong jarak geografis.

Jarak seumpama menemui kematiannya. Foster, Kesselmen dan Tuecke (2001) mendapati bahwa, dengan internet, interaktifitas antar individu dibebaskan dari selisih jarak fisik. Memediasi distiributor informasi, dan bahkan menjadi sistem komputer global atau grid, yang menyuplai kekuatan komputer dengan cara analog ke sistem lain.

Internet dibuat pada 1973 oleh US Deffence Advance Research Projects Agency (DARPA) yang memulai program riset meneliti teknik dan teknologi untuk mengembangkan komunikasi yang memungkinkan komunikasi transparan melalui


(50)

berbagai jaringan. Ini dinamakan teknik dan sistem jaringan yang dihasilkan dari

riset itu disebut ‟internet‟. Pada 1986, US Nation Science Foundation (NSF)

memulai pengembangan alat komunikasi utama untuk internet. Di Eropa juga dimulai pembuatan konektivitas internasional pertama ke lebih dari 100 ribu komputer pada jaringan skala besar (Outhwaite, 2008). Seperti radio dan telefon, internet juga pada mulanya menjadi monopoli militer AS sebelum inovasi ini mengalami difusi ke seluruh dunia. Menjadikannya bercakupan-lebih untuk menyifati media-cyberspace.

Dukungan bagi komunitas internet datang dari US Federal Government, sebab internet adalah awalnya adalah bagian dari riset yang ditenagai oleh pemerintah federal dan kemudian menjadi bagian utama dari infrastruktur AS. Selama akhir 1990-an dengan hadirnya world wide web (www) populasi pengguna internet dan konstituen jaringan berkembang secara internasional dan mulai merambah pengguna komersial. Dewasa ini, sebagian besar dari sistem ini terdiri dari fasilitas jaringan privat di institusi pendidikan dan riset, bisnis, dan organisasi pemerintah di seluruh dunia (Outhwaite, ed. Ke-2, 2008).

Slevin pada 2000 menyebutkan bahwa internet dalam artian sempit tidak bersifat langsung atau bermediasi. Medium teknologi ini menawarkan potensi untuk interaksi yang tidak disediakan oleh medium lain. Pertukaran informasi melalui bentuk yang tradisional, seumpama surat membutuhkan lebih banyak waktu dibanding e-mail, dan akibatnya secara kulitatif memodifikasi sifat dari interaksi.


(51)

Selain itu, berbeda dengan komunikasi telefon, Internet bisa melibatkan sekaligus banyak aktor dan memulai proses interaksi tidak hanya meluas ke banyak orang, tetapi juga menciptakan pengetahuan dan sinergi baru (dalam Outhwait, 2008, ed. Ke-2, h. 408). Karena itu, ada harapan yang besar TIK mempercepat pembangunan. Nasution (1998) memuat laporan Digital Opportunity Inniciative keluaran 2000 terkait intergrasi TIK ke pembangunan nasional yang menyeluruh dapat membantu implementasi, memperluas lingkup, jangkauan dan meningkatkan hasil dari kebanyakan faktor-faktor penting pembangunan. Lebih jauh lagi, laporan ini mencatat sejumlah karakteristik yang unik dari TIK yang dapat secara dramatis meningkatkan komunikasi dan pertukaran informasi untuk memperkuat dan menciptakan jaringan ekonomi dan sosial yang baru. Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

a. TIK bersifat pervasif dan lintas bidang atau crosscutting. Dapat diterapkan ke seluruh bidang. Pribadi, bisnis, dan pemerintahan.

b. TIK adalah pendorong penting (key enabler) dalam penciptaan jaringan (creation of network), memungkinkan peningkatan hasil yang responsial: bahwa pengguna meningkat di kancah network exteralities.

c. TIK membantu penyebarluasan informasi dan pengetahuan dengan memisahkan isi dari lokasi fisiknya. Arus informasi ini impervious terhadap batas geografis—memungkinkan masyarakat terpencil menjadi terintegrasi dengan jaringan global dan membuat informasi, pengetahuan, dan budaya menjadi aksesibel, secara teoretis, bagi siapa saja.

d. Sifat digital dan virtual dari banyak produk dan jasa TIK memungkinkan ongkos marjinal yang nol atau pun menurun (zero or declining marginal


(52)

cost). Replikasi isi dapat dikatakan geratis terlepas dari volumenya, dan biaya marginal untuk distribusi dan komunikasi boleh dibilang mendekati nol. Sebagai hasilnya, TIK dapat secara radikal menurunkan biaya transaksi.

e. Kemampuan TIK untuk menyimpan, menelusuri, menyortir, menyaring, mendistribusikan dan berbagi informasi tanpa batas dapat menuju ke effeciency gains yang substansial dalam produksi distribusi, dan pasar. TIK merampingkan mata rantai suplai dan produksi dan membuat banyak proses dan transaksi bisnis menjadi lebih lean dan efektif.

f. Peningkatan efisiensi dan penurunan biaya yang dibawa oleh TIK mengarahkan pada penciptaan produk, jasa dan saluran distribusi baru dikalangan industri tradisional, sekaligus di kalangan model bisnis yang inovatif dan keseluruhan industri baru. Aset yang tidak teraba seperti modal intelektual semakin menjadi sumber nilai yang menentukan (key source of value).

g. TIK memfasilitasi disintermediation karena memungkinkan bagi pengguna untuk mendapatkan produk dan jasa langsung dari penyedia orisinal, mengurangi kebutuhan dan perantara. Hal ini bukan saja menjadi sumber penting efisiensi, tetapi telah menjadi salah satu faktor yang mengarahkan pada penciptaan dari yang disebut ’market of one’.

h. TIK bersifat Global. Melalui penciptaan dan perluasan networks, TIK mampu melampaui hambatan kultural dan linguistik dengan menyediakan bagi individu dan kelompok kemampuan untuk tinggal dan bekerja dimana saja, memungkinkan komunitas lokal menjadi bagian dari ekonomi


(53)

jaringan global tanpa mengenal kebangsaan, dan menggugat struktur kebijakan, hukum dan peraturan di lingkungan antar bangsa-bangsa (h. 227-229).

Sumber-sumber saintifik menampilkan TIK dalam reputasi yang baik sebagai medium dan alat capai peradaban manusia, namun menurut Nasution (1998), TIK bukan sebagai tujuan itu sendiri namun pembangkit kemampuan (enabler) yang penuh daya untuk pembangunan (h. 299). Pendidikan (selain elemen utama lainnya) mendapat keterdesakan untuk berdampingan dengan TIK dengan tujuan memperkuat sisi enabler-nya sendiri yang pada gilirannya memberikan efek halo pada kemampuan yang berarti bagi pendidikan jitu: pembangunan jitu bangsa. Dalam kancah pendidikan, paradigma dan pengetahuan disusun untuk, menurut Nasution, menuju suatu kondisi: pengetahuan untuk pembangunan (knowledge for development) dan pembangunan berbasis pengetahuan (knowledge based developement) (1998). Menurut pandangan ini, pembangunan bukan hanya ditentukan oleh modal, dan tenaga kerja saja, tapi oleh faktor kunci yaitu pengetahuan. Nasution (1998) menegaskan, tanpa pengetahuan yang cukup, peningkatan kehidupan suatu bangsa akan sulit dicapai (h. 68). TIK mendistribusikan ilmu dengan nol biaya atau nyaris nol (zero or declining marginal cost) dan variasi dari kemudahan lainnya. Dengan demikian, kualitas ini layak dimanfaatkan secara habis-habisan (juga) di wilayah pendidikan menjitukannya dalam bertanggung jawab mengelola distribusi ilmu dan pengetahuan anak: ilmu dan pengetahuan bangsa.


(54)

C.Konsep Dasar Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sesori stimuli) (Rahkhmat, 2007, h. 51). Persepsi mengacu pada proses dengan mana kita menyadari banyak stimulus yang mengenai alat indra kita. Persepsi berlangsung dalam tiga tahap: Stimulasi alat indra terjadi, stimulasi ini ditata, dan stimulasi ini ditafsirkan-dievaluasi (DeVito, 1997, h. 75). Dengan demikian persepsi menempati wilayah kognisi (pikiran) dan afeksi (perasaan) manusia.

1. Tiga Tahap dalam Proses Persepsi

a. Terjadinya Stimulasi alat Indra (Sensory Stimulation)

Pada tempat pertama, alat –alat indra distimulasi (dirangsang) dan menerima stimulus (rangsangan). Namun pengindraan tidak selalu dalam kesiagaan untuk menangkap stimulus. Seseorang menangkap apa yang bermakna bagi dirinya dan tidak menangkap apa yang kelihatannya tidak bermakna.

b. Stimulasi Terhadap Alat Indra Diatur.

Stimulasi terhadap alat indra diatur oleh beberapa prinsip: proksimitas (proximity), atau kemiripan. Orang yang memiliki kemiripan fisik akan dipersepsikan bersama-sama sebagai satu unit. Misalnya bahwa dua orang yang sering bersama sebagi satu unit pasangan. Pesan berikutnya yang datangnya segera setelah pesan pertama, akan dikelompokan sebagai yang berkaitan menurut pola tertentu. Berikutnya, kelengkapan (closure) bahwa kita memandang gambar atau pesan yang kurang lengkap sebagai gambar


(55)

atau pesan yang lengkap. Kita akan mempersepsikan serangkaian titik atau garis putus yang ditata dalam pola melingkar sebagai sebuah lingkaran. Demikian pula, kita melengkapi pesan yang kita dengar dengan bagian-bagian yang tampaknya logis untuk melengkapi pesan itu.

c. Stimulasi Alat Indra Ditafsirkan-Dievaluasi.

Ini merupakan proses subjektif yang melibatkan evaluasi di pihak penerima. Penafsiran- evaluasi seseorang tidak selalu ditentukan oleh faktor luar namun sangat dipengaruhi oleh masa lalu, kebutuhan, keinginan, sisitem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadan fisik dan emosi pada saat itu dan sebagainya yang ada pada diri seseorang.

Selain itu, proses penafsiran–evaluasi juga dalam dominasi perseorangan: setiap orang unik dalam kerja penafsiran-evaluasi. Dalam sistem nilai orang Cina, pipi tembam adalah bakat rezeki yang disyukuri, bagi sebagian Korea-nonkonservatif, pipi tembam memburukan percaya diri dan yang membuat mereka pergi kepada oprasi penirusan. Niqab dan burqa mungkin dipersepsi sebagai penjara perempuan, yang lain melihat itu murni sebagai penghambaan perempuan muslimin kepada Raab-nya dan pembebasan atas penyalahgunaan seksualitas. Mula-mula persepsi tersebut terjadi pada individu dan perspektif

2. Proses yang memengaruhi persepsi

Antara kejadian stimulasi (sampainya sebuah pesan, keberadaan seseorang, senyum, atau lirikan mata) dengan evaluasi atau penafsiran terhadap stimulasi tersebut, persepsi dipengaruhi oleh berbagai proses psikologis penting. Enam


(56)

Proses utama itu: teori kepribadian implisit (implisit Personality Theory), ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya (self fullfiing prophecy), aksentuasi perseptual (perceptual accentuation), primasi-resensi (primacy-recency), konsistensi (consistency), stereotip (stereotyping) ( DeVito, 1997, h. 77). Proses ini yang mengatur apa yang menjadi perhatian kita, apa yang diluar perhatian kita, apa yang berhasil kita simpulkan atau yang tercecer tanpa dimaknai; dan membantu menjelaskan mengapa kita membuat perkiraan tertentu dan tidak membuat perkiraan lain tentang seseorang (atau sesuatu). Namun fakta mengejutkannya, enam proses ini juga menjadi hambatan potensial dalam mencapai persepsi yang akurat.

Teori Kepribadian Implisit

Mengacu pada teori kepribadian individual yang diyakini seseorang dan yang mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada orang lain (Devito, 1997, h. 89). Teori ini membimbing anda untuk merujuk pada sebuah sistem aturan yang menyatakan karakteristik apa yang asosiatif dengan karakteristik tertentu. Dalam teori perseorangan, agamawan yang dipersepsi memiliki penghargaan yang tinggi pada kesucian dan kebenaran akan cocok dengan sifat waspada teknologi internet karena fatalitas pornografi, perjudian, game, dan variasi kejahatan cyber lainnya atau apa pun yang dianggap melenakan seperti terjebak pada pembicaraan yang sia-sia di jejaring sosial.

Dalam lingkungan teori kepribadian implisit, fungsi ini dinamakan ‟efek halo‟. Mempercayai seseorang memelihara sebuah kepribadian positif, maka kita


(57)

menyimpulkan bahwa ia akan memonopoli kualitas positif liannya. Selain itu, efek halo terbalik menjelaskan: jika diketahui seseorang menghidupkan sejumlah kualitas negatif maka kita cenderung memfonisnya pada sifat-sifat negatif lainnya yang asosiatif.

Waspada Hambatan Potensial. Ada dua hambatan potensial yang mencegah orang dari persepsi-jitu:

1. Mempersepsikan kualitas-kualitas dalam diri seseorang yang menurut ‟teori‟ seharusnya dimilikinya, padahal tidak demikian. Sebagai contoh, kita melihat niat baik seorang kawan padahal sebenarnya ia bermaksud mengurangi beban pajak penghasilannya.

2. Mengabaikan kualitas atau karakteristik yang tidak sesuai dengan teori kita. Misalnya kita mungkin mengabaikan sikap negatif pada diri kawan kita padahal kualitas itu dengan cepat kita deteksi pada lawan kita (Devito, 1997, h. 78).

Ramalan yang Terpenuhi dengan Sendirinya (Self Fullfilling Prophecy) Terjadi bila anda membuat ramalan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena anda membuat ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar. Jika kita mengharapkan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu atau jika kita meramalkan tentang suatu karakteristik atau situasi, ramalan kita akan dengan sendirinya terpenuhi dengan sendirinya (Devito, 1997, h. 78-79). Seumpama seorang percaya IT dan internet ditipekan sebagai wilayah laki-laki


(58)

dibanding perempuan. Maka mempelajari teknologi ini akan membebani dalam persepsi perempuan. Orang ini memenuhi sendiri ramalanya.

a. Aksentuasi Perseptual

Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang ingin kita lihat dan yang kita harapkan. Kita melihat orang yang kita sukai lebih tampan dan lebih pandai dari orang yang tidak kita sukai. Seperti orang yang haus melihat bayangan air (fatamorgana) (DeVito, 1997, h. 79-80). Hambatan perseptual dapat meneror aktifitas persepsi yang berakibat; 1) mendistorsi persepsi kita tentang realitas; membuat kita melihat apa yang kita butuhkan atau inginkan dibanding apa yang nyata ada, dan sebaliknya. 2) menyaring dan mendistorsi informasi yang mungkin merusak atau mengancam citra-diri kita yang pada gilirannya mempersulit upaya peningkatan-diri. 3) memandang orang lain memiliki karakteristik atau kualitas negatif yang sebenarnya ada pada diri kita. Psiko-analisis mekanisme defensif (deffence mechanism) menyebut ini proyeksi. 4) mengingat dan melihat kualitas dan atau karakteristik positif lebih dari kualitas negatif (dinamakan efek poliana), yang pada gilirannya mendistorsi persepsi kita tentang orang lain. 5) merasakan perilaku tertentu dari orang lain hanya sebagai menunjukkan bahwa ia menyukai kita hanya karna sebenarnya ia ingin disukai. Sebagai contoh, sikap bersahabat dan ramah dari seorang wiraniaga kita terima sebagai tanda bahwa ia menyukai kita, padahal sebenarnya itu bagian dari strategi persuasi dan penjualan tertentu.


(1)

Brenston, Margaret. (1998). Worlds Apart: Women, Men and Technology:An exploration of the impact on women of the male technological world view. (tt, 2012). Diunduh dari http://www.medialit.org/reading-room/worlds-apart-women-men-and-technology. Diakses pada 23 November 2013 5:50WIB.

Bungin, Burhan.(2010). Metodologi penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana.

Carver, C.S., & Scheier, M.F. (1998). On The Self-Regulation: A control theory approach to human behaviour. New York: Cambridge University Press. Dalam Michael S Gazzaniga. & Todd F. Heatherton. (2003). Psychological Science: mind, Brain, and Behavior (hal.287). London: W.W. Norton & Company, Inc.

Chuttur, M. Yasser. (2009). Overview of the Technology Acceptance Model: Origins, Developments and Future Directions. Dalam Working Papers of Information Systems. Vol. 9. Artikel 37. Diunduh dari http://sprouts.aisnet.org/9-37. Diakses pada 9 Desember 2013 7:00 WIB.

Data Statistik Indonesia: Karakteristik Penduduk. (2014). Diunduh dari http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=210&Itemid=210&limi t=1&limitstart=4. Diakses pada 30 April 2014 7:00 WIB.

Davis, F. D. (1989). Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of Information Technology, New York; MIS Quarterly.

DeVito, Joseph. A. (1997). Komunikasi Antar Manusia (Kuliah Dasar). Jakarta: Proffesional Books.


(2)

Foster, Ian. Kesselmen, Carl. & Tuecke, Steven. (2001). The Anatomy of the Grid:

Enabling Scanable Virtual

Organisation.http://toolkit.globus.org/alliance/publications/papers/anatomy. pdf. Diakses pada 9 Desember 2013 7:00 WIB.

Gazzaniga, Michael S. & Heatherton, Todd F. (2003). Psychological Science: mind, Brain, and Behavior. London: W.W. Norton & Company, Inc.

Ghazali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Menggunakan Program SPSS. Jogjakarta: Gajah Mada Press. Dalam Duwi Priyatno. (2013). Mandiri Belajar Analisis dengan SPSS, (h.30), Jogjakarta: Mediakom.

Ghobadi, Shahla. & Ghobadi, Zahra. (2013). Digital Devide And Interrelated Access Gaps: A Cognitive Investigation (h.3-4). Diunduh dari http://www.academia.edu/2921949/Digital_Divide_and_Interrelated_Acces s_Gaps_A_Cognitive_Investigation. Diakses pada 30 Mei 2014 Jam 14:53 WIB.

Hobbs, Renee. (2007). Reading the Media: Media Literacy in High School English. New York, NY: Teachers College Press, Columbia University. Dalam Art Silverblatt. A Comprehensive Definition of Media Literacy (Mei, 2010). Diunduh dari http://www.gmlpstl.org/a-comprehensive-definition-of-media-literacy/2010/. Diakses pada 7 Desember 2013 6:09 WIB.

How to Use Technology To Make You More Aware And Alive oleh Richard Byrne. Disampaikan dalam seminar kepada khalayak acara peresmian majalah Media&Value. (tt, 2012). Diunduh dari


(3)

http://www.medialit.org/reading-room/how-use-technology-make-you-more-aware-and-alive. Diakses pada 23 November 2013 6:21 WIB.

Kaelan. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner: Bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama, dan Humaniora. Yogyakarta: Paradigma.

Kerlinger, Fred N. (2000). Asas-asas Penelitian Behavioral. Jogjakarta: GAJAH MADA UNIVERSITY PRESS.

Komunikasi Tradisional oleh Riza faisal. [presentasi]. Materi disampaikan pada kuliah terbatas di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP-Unila (2010).

Korpela, Jukka. (13 Ferbruari 2014). Human languages IT and communication: English - the universal language on the Internet? Diunduh dari

https://www.cs.tut.fi/~jkorpela/lingua-franca.html. Diakses pada 12 Juni 2014 jam 11:00 WIB.

Kritis Media Anak oleh Nina Mutmainah Armando. [presentasi]. Materi disampaikan pada kuliah umum di FISIP-Unila (2010).

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta. Prenada MediaGroup.

Literasi Media (Internet) Untuk Mencerdaskan Bangsa. (Ditjen Kominfo RI, 2012).

McCLelland, D. (1961). The Achieving Society. Princeton: Van Nostrad. Dalam Zulkarimen Nasution, (2008) Ed. Revisi. Komunikasi Pembangunan:


(4)

Pengenalan teori dan Penerapannya, (h. 112-113), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Nasution, Zulkarimen. (2008). Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakrta: PT.RajaGrafindo Persada.

Outhwaite, William. (2008). Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group (ed. Ke-2).

Patton, Michael Mc Queen. (1980). Qualitative Evaluation Methodes. Sage Production: Bevery Hills. Dalam Kaelan (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner: Bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama, dan Humaniora (h. 175). Yogyakarta: Paradigma.

Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rudestam, Kjell Erik. (1992). The Conflict of Interpretation, North Western University Press: Evanston.

Sekaran, Uma. (1992). Research Method for Bussiness: A Skill Building Approach. Vol. 2. NewYork: John Wiley n Sons. Dalam Duwi Priyatno. (2013). Mandiri Belajar Analisis dengan SPSS, (h.30). Jogjakarta: Mediakom.

Silverblatt, Art. (Mei, 2010). A Comprehensive Definition of Media Literacy. Diunduh dari http://www.gmlpstl.org/a-comprehensive-definition-of-media-literacy/2010/. Diakses pada 7 Desember 2013 jam 1:09 WIB.


(5)

Singarimbun, Masri & Effendi, Sofyan. (2008). Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES.

Slevin, James. (2000). The Internet and Society. Cambridge, UK: Polity.Dalam William Outhwaite (ed. Ke-2). Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern (h.408). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Reaserch Design. Bandung: Alfabeta.

Stroll (1995) & Turkle (1996). Dalam William Outhwaite. (ed. Ke-2). Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern (h. 409). Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Turckle, Sherry. (1995). Life On The Screen: Identity in the Age of The Internet. New York: Touch Stone.

OECD: Undestanding the Digital Devide. (2001). Diunduh dari www.oecd.org. Diakses pada 11 November 2013 Jam 11:00 WIB.

Van Dijk, J. A. G. M. (2005). The deepening divide: Inequality in the information society. Dalam Shahla Ghobadi. (2013). Digital Devide And Interrelated Access Gaps: A Cognitive Investigation (h.3-4). Diunduh dari http://www.academia.edu/2921949/Digital_Divide_and_Interrelated_Acces s_Gaps_A_Cognitive_Investigation. Diakses pada 30 Mei 2014 Jam 14:53 WIB.

Van Dijk, J. (1999) The network society, Social aspects of new media. Sage Publications. Limited,Thousand Oaks, CA. Dalam Shahla Ghobadi. (2013) Digital Devide And Interrelated Access Gaps: A Cognitive Investigation


(6)

(h.4). Diunduh dari http://www.academia.edu/2921949/Digital_Divide_and_Interrelated_Acces s_Gaps_A_Cognitive_Investigation. Diakses pada 30 Mei 2014 Jam 14:53 WIB.

Voaindonesia.com. (19 Maret 2013). Nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Naik Dikarenakan Peningkatan Angka Harapan Hidup dan Angka Harapan Lamanya Bersekolah. Diunduh dari http://m.voaindonesia.com/a/1624179.html. Diakses pada 9 Desember 2013 jam 10:12 WIB.

Wahyudi, Heru. (2010). Perbedaan Koneksitas Internet pada Pola Adopsi Internet oleh Remaja SMA Swasta( Studi pada SMA Muhammadiyah 2, SMA Arjuna dan SMA YPPL Panjang Bandar Lampung tahun Pelajaran

2009/ 2010). FISIP: UNILA.

Walizer, Michael H., & Wienir, Paul L. (1993). Metode dan Analisis Penelitian, Jakarta: Penerbit Erlagga.

24% of Web Content is Now in Chinese, Will Soon Surpass English [Infographic]. (April 2014). Diunduh dari http://www.techinasia.com/dominant-languages-on-internet-english-chinese/. Diakses pada 06 Juni 2014 Jam 13:00 WIB.