Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan su

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk
menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola
lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian
biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop
cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa
pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti
pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau
eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian,
namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial
sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas
ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun
2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk
meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya.
Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan
ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian,
biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti
dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani
adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani
tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut

sebagai peternak.
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan
makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam
arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatbudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama
yang bersifat semusim.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha
tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar
atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua
vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek
hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat
melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan
keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi
sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.
Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasardasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode
budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan
pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi
untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming).

Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan
kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai

intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering
kali disamakan.
Sisi pertanian industrial yang memperhatikan lingkungannya adalah pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti
pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun
lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya.
Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada
pertanian industrial.
Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub
"ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian
ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan
berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.
Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam
volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul
karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan
ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk
pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangi ciri-ciri ini
tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.


MEDAN - Lembaga Studi dan Advokasi Kebijakan (Elsaka) Sumatera Utara
mengungkapkan, sekira 4,2 persen lahan pertanian pangan di Sumatera Utara,
beralih fungsi untuk peruntukkan lain, khususnya untuk perkebunan tanaman keras.
Kondisi ini pun telah mengancam produksi pangan di Sumut, yang tercatat menurun
lebih dari 20 persen setiap tahunnya.
Ketua Badan Pengurus Elsaka, Effendi Panjaitan mengatakan, tingginya angka alih
fungsi lahan ini sebagai dampak langsung dari pertumbuhan industri kelapa sawit di
Sumatera Utara. Laju peralihan fungsi lahan pertanian pangan ini memang mulai
melambat dibandingkan periode sebelumnya, namun tetap menunjukkan
pergerakan yang mengkhawatirkan terhadap ketahanan pangan di Sumut.
"Sejak periode 1998-2006, telah terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian
khususnya sawas, seluas 39.669 hektare (ha). Jumlah itu merupakan 7,55 persen
dari luas baku lahan sawah berpengairan di Sumut," sebutnya, saat mengisi
Seminar bertema Konversi Lahan Pertanian dan Pangan oleh Industri Kelapa Sawit ,
di Medan, Kamis (4/4/2013).
Pada umumnya, tambahnya, alih fungsi itu dilakukan untuk penanaman kelapa
sawit dan subsektor lain di luar sektor pertanian tanaman pangan. Tapi faktanya
lagi, kondisi itu telah membuat produksi padi kita turun higga 23 persen di periode
tersebut. Sementara sejak 2006-2012, laju pertumbuhannya 1,13 persen setiap
tahun.

Effendi juga mengatakan, tingginya tingkat alih fungsi lahan ini, antara lain karena
tidak adanya rehabilitasi oleh pemerintah lokal terhadap lahan pertanian yang
rusak. Kondisi ini menyebabkan petani memilih mengalihfungsikan lahan atau
malah menjualnya. Selain itu kesulitan sarana dan prasaran pertanian dan pastinya
banyaknya gangguan hama yang menyerang tanaman pangan.
"Persoalan penyebab alih fungsi bukan hanya ketertarikan petani pada tanaman
sawit, tapi karena banyaknya masalah di pertanian pangan. Misalnya pasokan air
yang tidak mencukupi sehingga pasokan air ke areal sawah kurang. Belum lagi jika
bicara harga jual produk pertanian pangan masyarakat. Pupuk yang hilang dan

mahal, bencana alam, serangan hama, dan persoalan pembudidayaan lainnya,"
tambahnya.
Oleh karena itu, ia menilai pemerintah harus segera mengantisipasi kondisi ini
karena dengan merehabilitasi lahan pertanian hingga membuat aturan strategis
dan teknis yang melarang alih fungsi lahan pertanian pangan. Pemerintah juga
harus meretas persoalan pembudidayaan serta infrastruktur pertanian. Bukan
hanya irigasi, tapi juga jalan ke areal pertanian.
"Perlu langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi pangan. Pemberian
insentif kepada petani pangan perlu baik berupa jaminan harga, subsidi pupuk atau
benih. Dan yang terpenting adalah secepatnya membangun dan merehabilitasi

infrastruktur pertanian terutama irigasi. Permodalan juga penting saya pikir,"
pungkasnya. (ade)

Langkah itu harus segera dilakukan pemerintah karena penurunan luas lahan
pertanian di Indonesia tiap tahun semakin meningkat.
"Selain itu akan banyak petani yang terancam pekerjaan dan pendapatannya kalau
lahan pertanian terus berkurang khususnya di wilayah pedesaan," kata
Suryadharma Ali Ketua Umum PPP, disela Panen Raya di Desa Watugaluh, Diwek,
Jombang, Jawa Timur, Senin (8/4/2013).
Kondisi yang memprihatinkan ini, menurut Surya, harus segera disikapi semua
pihak khususnya kementerian pertanian yang punya peran penting dalam
mengatasi semakin berkurangnya lahan pertanian.
Selain itu, Suryadharma Ali juga minta pada semua kadernya di DPR-RI untuk
memperjuangkan nasib petani khususnya dalam mendapatkan jaminan
ketersediaan pupuk.
"Untuk itu, dalam waktu dekat PPP juga akan membentuk Paguyuban Petani
Penyanggah Ketahanan Pangan Indonesia (PPPKPI) yang akan menjamin semua
petani di Indonesia, mendapatkan akses kemudahan untuk memperoleh jaminan
ketersediaan pupuk dan harga jual padi yang tinggi," ujar Surya.
Upaya itu dilakukan PPP karena selama ini perhatian kader dan pengurusnya pada

sektor pertanian, perdagangan dan nelayan masih sangat kurang.
Suryadharma Ali Ketua PPP yang juga Menteri Agama ini mengatakan, diharapkan
pertanian di Indonesia ke depan bisa jadi kekuatan pangan nasional dan harus
berbasis pada petaninya, bukan pada kekuatan impor, seperti sekarang.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan ribuan lahan pertanian kini
telah beralih fungsi menjadi kawasan industri maupun perumahan. Kondisi ini
mendesak pemerintah untuk menyiapkan lahan pertanian lebih banyak minimal 10
ribu hektare (ha) per tahun.
"Di banyak Kabupaten, pusat industrilisasi dan perumahan yang berdiri di atas
lahan pertanian produktif. Ini merupakan ancaman serius bagi petani," tegas Ketua
Bidang Perdagangan Dewan Pimpinan Nasional HKTI, Ismed Hasan Putro saat
dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (7/4/2013).
Menurutnya, konversi ribuan lahan pertanian tersebut terjadi akibat tata ruang yang
tidak konsisten. Bekasi misalnya, kata dia, hampir seluruh persawahan telah beralih
menjadi kawasan industri. Sehingga keberadaan lahan pertanian produktif saat ini
jumlahnya semakin menyusut.
"Pemerintah harus menjamin tidak semakin banyak lahan pertanian yang tergerus
untuk dibangun kawasan industri maupun perumahan karena alasan lebih
menguntungkan," ucapnya.

Terkait penambahan 2.000 ha lahan pertanian tahun ini, dinilai Ismed masih sangat
kurang. Dia menyebut, setiap tahun, pembukaan lahan pertanian paling ideal
sekitar 10 ribu ha.

Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dibutuhkan suatu kearifan dan menjaga keseimbangan;
pilihan yang lestari, untuk memenuhi kebutuhan sekarang maupun generasi mendatang. Dalam
pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya lahan pertanian diperlukan perencanaan dan
penanganan yang tepat dan bertanggung jawab, agar lahan tersebut tidak terdegradasi dan tetap
memberikan keuntungan. Degradasi lahan untuk tanah-tanah tropis umumnya disebabkan oleh
erosi. Penanggulangan erosi telah banyak dilakukan dan dikembangkan melalui tekonologiteknologi konservasi tanah dan air.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan
teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Menurut

Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya, sistem perladangan berpindah secara umum
dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis.
Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur
ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem perladangan
berpindah lebih tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya
biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah berasal dari pemberaan dan tanaman beraneka
(mixed cropping).

Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi tertinggi dalam
proses penggunaan lahan, di mana tanah digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga
erosi dan sedimentasi di sungai rendah. Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan
kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman,
sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama pemberaan. Dalam sistem dengan periode
pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan
kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural
mengambil peranan yang lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam peningkatan
agronomik pada sistem perladangan berpindah. Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah
dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah tropis basah.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan
pengalaman masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun
menurun. Berbagai hasil penelitian, dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang
positif dan negatif. Secara negatif, perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan
hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di
Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah.
Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan
resiko lingkungan yang akan terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan
sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada

melakukan perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu
mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i)
pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu
bentuk pertanian konservasi.

Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah merupakan cara penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan
berupaya menghindari terjadi kerusakan tanah, agar tanah dapat berfungsi secara lestari (Arsjad,
2000). Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan pada
sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga
merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada
suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan bisa menjadi
masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling
memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.

Ciri alam yang penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran
matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan
tanah dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari
pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun bahan induk. Sebagai hasil dari proses
tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang

tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang
dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan
olah tanah. Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan
pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan.
Jadi jelas, tanah di luar Jawa sebagian besar merupakan tanah lanjut yang miskin, dan sumber
utama kesuburan tanah adalah bahan organik yang berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman
hutan. Karena keterbatasan pengetahuan, tuntutan keuntungan bisnis, dan batasan waktu, dalam
membuka lahan, biasanya persayaratan yang tertentu untuk usaha pertanian tidak dipahami.
Sehingga untuk mempercepat pekerjaan, digunakanlah mesin-mesin besar dalam memotong
pohon, mengangkutnya dan meratakan tanah. Hasilnya, dalam bentuk permukaan tanah menjadi
rata, tetapi ditinjau dari kualitas tanah telah menjadi rusak, karena bahan organik tanah yang juga
merupakan bahan semen agregat, telah teraduk dan hilang. Jika kemudian turun hujan, maka
dengan mudah tanah dihancurkan untuk kemudian hara terangkut oleh air limpasan permukaan.
Disamping itu, menurut Wani Hadi Utomo (1989) bahwa sampai saat ini tanah masih
diperlakukan sebagai objek saja, yang masih sebatas bagaimana mendapatkan hasil yang
setinggi-tingginya dari usaha yang dilakukan, tanpa memikirkan apa akibat dari tindakan
tersebut. Memang akhir-akhir ini telah tercetus “pertanian konservasi” atau pertanian yang
berkelanjutan, tetapi masih jauh dari pelaksanaannya. Karena, prioritas jangka pendek lebih
diutamakan untuk bagaimana caranya mendapatkan produksi maksimum, sedangkan usaha
konservasinya pada urutan terakhir.

Padahal, seperti yang dikemukakan G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, Mul Mulyani Sutedjo
(2000), bahwa kunci penting dari pengelolaan tanah ditempat mana saja adalah bagaimana
menjaga atau memelihara sebaik-baiknya lapisan tanah-atas (top soil layer) yang tebalnya tidak
lebih dari satu jengkal (kurang lebih 35 sentimeter) agar tetap dalam keadaan baik serta tidak
terangkut ke lain tempat. Jadi pengertiannya adalah mencakup semua tindakan yang bertujuan
melindungi atau mengawetkan tanah agar kesuburannya bertahan dalam jangka panjang.
Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi
konservasi tanah dan air untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya, perlu diperhatikan
beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan
sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal. Kegagalan penerapan teknologi konservasi tanah
selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa
memahami keinginan ataupun kemampuan petani. Dengan kata lain dalam pembangunan
pertanian berkelanjutan perlu ada bottom up planning. Pemilihan teknologi dengan melibatkan
pendapat petani adalah salah satu cara untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)

Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk
pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum sebagai
suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan
sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau
hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan
itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama.
Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam
penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis
tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan
ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi
manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti
perladangan di dunia.
Dalam perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana lingkungan secara
artifisial dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman, tanah, hama, dan lain-lain, yang
berhubungan sangat kompleks. Pembedaan yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya
fase suksesif perladangan, seperti (1) pemilihan (selecting), (2) penebasan (cutting), (3)
pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan (fallowing). Fase 1 sampai
2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua yang tidak relevan bagi keperluan pengolahan
ladang, sedangkan dua fase terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru
ditanam atau tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan
lingkungan yang telah ada, lamanya yang relatif tentang periode-periode penanaman bisa
berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1 sampai 3). Selanjutnya, periode
terlama yang proporsional adalah sebagai representasi dari pemberaan.
Perladangan berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan
berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan secar berpindahpindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan
ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow) hutan tanah lahan perladangan yang telah
diolah beberapa kali dalam siklus tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu sekitar
10 – 15 tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat bahwa
waktu bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang
dihasilkan. Lahajir (2001) mengklasifikasikan hutan sekunder berdasarkan masa bera seperti
berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder
muda dengan masa bera 10 – 5 tahun, dan (3) hutan sekunder termuda dengan masa bera kurang
dari 5 tahun.
Bentuk Pertanian Konservasi
Sistem perladangan berpindah bagi sebagian ahli dianggap sebagai pemborosan dari sumberdaya
alam, atau sangat primitif (FAO Staff 1957), dan dikenal secara relatif mempunyai ouput yang
rendah per unit areanya. Hal ini kalau ditinjau dari segi ekonomi, tetapi mungkin karena
perhatian terhadap sistem inilah yang masih sangat kurang, yang sebenarnya membutuhkan
tindakan yang lebih spesifik untuk menjadi sistem yang dapat diterima, untuk menjadi alternatif
sistem pertanian konservasi.

Perladangan berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan
mampu menyediakan alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya di
hutan tropis basah. Adapun kurangnya peningkatan produktivitas adalah merupakan konsekuensi
dari pengabaian dari sistem ini di dalam kebanyakan penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari
hasil penelitian Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan berpindah tidak sanggup lagi
mencukupi kebutuhan subsisten mereka.
Dalam konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang
menggunakan pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas. Sistem
perladangan dikerjakan hanya 1 – 2 tahun dalam penanaman yang kemudian dilanjutkan dengan
periode bera yang panjang.
Erosi sudah lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat
sedikit studi kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah, sehingga masih
begitu terbatas. Dari studi yang pernah dilakukan menunjukkan pembersihan lahan pada
perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari
sistem dibandingkan pada beberapa bentuk pembersihan lahan (land clearing) dan sistem
pengolahan tanah (tillage). Alasan rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode terbukanya
tanah (setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan tanah
(tillage), dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak terbakar secara horisontal
terhadap kemiringan (slope). Dengan sedikit sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian
bahan kimia yang terbatas sekali, maka sumberdaya air tidak terpengaruh secara serius.
Selama penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari pencucian
(leaching), tetapi hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh tanaman sebagai sisa tanaman
yang tertinggal di lapangan dan pertumbuhan kembali pada masa bera dapat menahan kembali
nutrient.
Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 – 50 tahun di
dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap
lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola
baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan
tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti
pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi,
penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat meningkatkan
penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka
waktu yang lama akan mampu memberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan ratarata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak
areal tanah yang telah terdegradasi.
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan
dalam pertanian modern. Menurut Arsjad (1989), yang mendefinisikan pengolahan tanah
sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan
tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan

tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan
sisa tanaman, dan memberantas gulma. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur
tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu
intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara
berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh
pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh
butir hujan, menyumbat pori-pori tanah. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah,
maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya
erosi. Cara perladangan berpindah dengan :
1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman
sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman
erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman.
Penanaman dilakukan dengan tugal
2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman
saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng
sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang
tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan
tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur
juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Dari sistem perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat
menggunakan sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan ekologi
setempat inilah yang menjadikan sistem perladangan berpindah dapat dikatakan sebagai sistem
pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu
pengetahuan yang juga disesuaikan.
Berdasarkan penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan
lingkungan dan dapat lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam kondisi tropis
basah. Kebanyakan studi tentang perladangan berpindah telah memfokuskan pada efek terhadap
praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk peningkatan secara
agronomi terhadap produksi tanaman di dalam sistem, karena sistem tersebut sudah melekat
sebagai primitif dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan berpindah
lebih sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang hampir sama
dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan daripada dengan sistem pertanian
lainnya. Hal ini sangat tidak realistis untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama
tidak berbahaya seperti hutan alami. Ini adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan
menggunakan hutan dan harus disadari seperti itu.

PENGEMBANGAN agrobisnis nasional, tak terlepas dari peningkatan kemampuan sumber daya
manusia pertanian. Ini di antaranya diperoleh melalui pengembangan ilmu dan kemampuan
usaha berbagai komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi di pasaran.
MENTERI Pertanian, Anton Apriyantono, mengamati tampilan produk sayuran dan buah-buahan
spesifik yang dikembangkan alumni magang Jepang, saat Temu Karya Nasional Ikamaja ke2/2006, di Desa Cibodas, Kec. Lembang, Kab. Bandung, Kamis (9/11) lalu. *KODAR
SOLIHAT/"PR"

Adalah para lulusan magang pertanian di Jepang atau disingkat Ikamaja (Ikatan Keluarga Alumni
Magang Jepang), yang menjadi salah satu pionirnya. Mereka memperkenalkan produk-produk
spesifik asal Jepang, untuk dikembangkan dan dibisniskan secara lokal sampai dikenal menjadi
produk agro "asli" daerah.
Magang usaha pertanian ke Jepang merupakan program dari Departemen Pertanian mulai tahun
1984, bekerja sama dengan asosiasi pertanian Jepang. Siswa peserta umumnya para
pelajar/lulusan Sekolah Pembangunan Pertanian-Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPPSPMA)/ sederajat berusia 22-27 tahun dengan pengalaman usaha bertani minimal 2,5 tahun.
Mereka dididik di Jepang selama 8-12 bulan yang sampai tahun 2006 ini sudah menghasilkan
856 orang lulusan tergabung dalam Ikamaja. Selama di Jepang, para peserta magang
diperkenalkan cara bertani dengan teknik modern, pengembangan wawasan bisnis, pengenalan
komoditas berprospek bisnis, manajemen usaha tani modern, informasi pasar, dll.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pertanian Departemen Pertanian, Ato Suprapto,
menyebutkan, para alumni magang pertanian di Jepang, diharapkan menjadi agen pembangunan
di daerahnya dengan membuka lapangan kerja di lingkungannya. Ilmu pengembangan bisnis dan
usaha tani dari Jepang, diterapkan untuk memperoleh wawasan dan peluang bisnis baru dengan
memanfaatkan potensi sekitar.
Melalui magang bertani di Jepang, peserta diubah pula pandangannya sehingga agrobisnis
menjadi bergengsi. Ini diharapkan menjadi bekal bagi para pemuda tani untuk bersaing secara
tangguh di kancah bisnis pertanian lokal dan internasional.

Menurut Ato, magang pertanian ke Jepang tetap menjadi program tahunan Departemen
Pertanian, di mana tahun 2006-2007 saja, dikirimkan lagi 56 orang pemuda tani. Ini diharapkan
pula menjadi salah satu daya tarik dan inovasi bagi berbagai sekolah pertanian untuk lebih
menarik minat calon siswa.
Menurut Ketua Ikamaja Nasional, Ishak, para lulusan magang pertanian di Jepang sebagian besar
muncul menjadi para pelaku agrobisnis berhasil, sebagian menjadi tenaga penyuluh andal di
daerah, dan sangat sedikit yang gagal. Tentu saja, ini diperoleh melalui keseriusan oleh masingmasing individu yang magang usaha bertani di Jepang tersebut.
Pengamat dari sebuah organisasi pertanian Jepang, Takumi Yamazaki, menilai, secara
kemampuan teknis para pemuda tani Indonesia sudah menyamai dengan Jepang. Namun mereka
mesti dipacu dalam pemanfaatan waktu, di mana para pemuda tani asal Indonesia masih di
bawah peserta magang asal negara lain.
**
IKUT program magang bertani umumnya bukan ajang memperoleh pekerjaan, namun
kesempatan memperdalam dan mengembangkan ilmu bidang yang ditekuni untuk berusaha.
Prinsip ini disadari dan diterapkan oleh Ishak, sehingga berhasil menjadi seorang usahawan
pertanian di daerah asalnya, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kab. Bandung.
Di atas lahan seluas lima hektare milik keluarga, Ishak bersama saudaranya, Bon Bon
Purbansyah, kemudian merintis dan berbisnis berbagai produk pertanian asal Jepang. Sebut saja,
tomat momotaro atau tomat daging, satoimo atau talas jepang, edamame atau kacang kedelai,
bawang daun jepang, kacang bulu jepang, terong nasubi atau terong jepang, cabe jepang, dll.,
menjadi andalan bisnis mereka.
Menurut Ishak, apa yang diperoleh, tak terlepas dari ketekunan, pantang menyerah, dan jeli
menerapkan ilmu magang usaha bertani dari Jepang. Sebelumnya, kemampuan dan pengetahuan
bisnis pertaniannya pun masih pas-pasan dan sama seperti umumnya para petani lain.
Menurut Ishak, bisnisnya dimulai dengan memanfaatkan sisa uang saku yang diperoleh selama
magang di Jepang selama delapan bulan pada tahun 1987. Sepulangnya, ia masih memiliki uang
240.000 yen atau jika dirupiahkan sebesar Rp 1,2 juta, kemudian dijadikan modal usaha bertani.
Berbagai benih buah-buahan dan sayuran asal Jepang yang dibawa, kemudian ditanam dan
tumbuh baik di Desa Cibodas, yang kebetulan memiliki iklim dan syarat tumbuh sesuai. Kontan
saja, produk-produk yang dibudidayakan lalu dikembangkan menjadi bisnis itu menarik
perhatian pasar, apalagi bentuk, rupa, dan rasanya unik.

Disebutkan, pada awalnya produk buah-buahan dan sayuran yang diusahakan, sebatas untuk
memasok konsumsi masyarakat Jepang di Indonesia yang sekira 8.000 orang. Belakangan, usaha
dikembangkan dengan memasok berbagai pasar modern sebagai pasaran utama.
Walau asalnya impor Jepang, karena sudah lama dibudidayakan lokal, produk-produk yang
diusahakannya kini sudah menjadi produk "asli" Kecamatan Lembang. Omzet usaha pun
berkembang menjadi bernilai ratusan juta rupiah per tahun, dan mampu mempekerjakan 60
orang karyawan.
Masih Banyak Petani Terbelit Utang ke Tengkulak
PALEMBANG, KOMPAS.com – Sebagian besar petani padi di Sumatera Selatan masih banyak
terbelit utang pada tengkulak.
Itu terjadi karena mereka kekurangan modal usaha dan kesulitan memperoleh pinjaman lunak
dari perbankan. Akibatnya, produktivitas petani di Sumsel dalam mengelola sawah rendah. Ini
menjadi salah satu kendala peningkatan panen padi di provinsi yang ditargetkan menjadi
lumbung pangan nasional itu.
Tokoh Petani Desa Sumber Mulya, Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan,
Wawan Darmawan mengatakan, petani di daerah masih kesulitan memperoleh pinjaman modal
usaha.
Sekitar 85 persen di antaranya terpaksa berhutang pada tengkulak setiap kali memasuki musim
tanam.
“Rata-rata petani di sini masih butuh tambahan modal usaha setiap musim tanam karena panen
kami baru bisa sekali tanam dalam setahun. Hasil panen sudah habis untuk kebutuhan hidup, tak
bisa lagi menabung,” katanya, Minggu (9/12/012).
Modal menanam padi di Sumsel saat ini berkisar Rp 4 juta per hektar. Modal itu untuk membeli
bibit, pupuk, serta obat hama.
Menurut Badan Pusat Statistik Sumsel, jumlah petani di Sumsel tahun 2010 berjumlah sekitar
1,9 juta jiwa. Bunga pinjaman pada tengkulak sangat tinggi, mencapai 5-7 persen per bulan.
Meskipun memberatkan, petani tak punya pilihan selain meminjam ke tengkulak karena tak
mampu memenuhi syarat jaminan untuk meminjam kredit dari bank.
Sekretaris Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Taufik Gunawan
mengatakan, kurangnya modal usaha membuat daya beli petani turun.
Akibatnya, asupan pupuk dikurangi sehingga tak memenuhi proporsi untuk memperoleh hasil
panen tinggi.

Biasanya, petani padi mengurangi asupan pupuk NPK dan hanya memberi urea. Untuk sawah
pasang surut, petani juga mengurangi penebaran kapur.
Padahal, tebaran kapur dibutuhkan guna menetralkan derajat keasaman air rawa agar padi dapat
tumbuh baik.
Saat ini, rata-rata produksi sawah di Sumse 4,4 ton gabah kering giling (GKG) setiap kali panen
atau di bawah produktivitas rata-rata nasional sebesar 4,9 ton GKG.
Produktivitas sawah ini juga masih kurang dari target produktivitas 5 ton GKG sekali panen.
Hasil panen yang cukup baik hanya terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur yang
mencapai 5,2 ton GKG sekali panen.
Kerja sama BUMN Untuk mengatasinya, Pemerintah Provinsi Sumsel berupaya menggalang
kerja sama dengan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) untuk menjadi penjamin
pinjaman lunak oleh petani.
Saat ini terdapat tiga BUMN dalam program tersebut, yaitu PT Pusri, PT Pertani, dan PT Sang
Hyang Sri.
Di tingkat petani juga dirintis sistem tanggung renteng, yaitu penjaminan atas nama satu orang.
Cara ini diharap mengatasi banyaknya petani yang sertifikat lahannya tidak atas nama sendiri.
Metode tanggung renteng dilakukan dengan mengumpulkan sertifikat lahan petani hingga
mencapai 25 orang kemudian kredit diajukan atas nama satu orang yang sertifikat lahannya atas
namanya sendiri.
Sumber : Sarwindaningrum, Irene. 2012. Masih Banyak Petani Terbelit Utang ke Tengkulak.
http://regional.kompas.com/read/2012/12/10/00385184/Masih.Banyak.Petani.Terbelit.Utang.Ten
gkulak