Formulasi Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata) dan Brotowali (Tinospora crispa) Sebagai Inhibitor α-Glukosidase dan Analisis Sidik Jari Menggunakan Teknik Kromatografi

ii

ABSTRAK
RONA JUTAMA YONANDA Formulasi Ekstrak Sambiloto (Andrographis
paniculata) dan Brotowali (Tinospora crispa) sebagai Inhibitor α-Glukosidase dan
Analisis Sidik Jari Menggunakan Teknik Kromatografi. Dibimbing oleh
LATIFAH K. DARUSMAN dan WULAN TRI WAHYUNI.
Sumber bahan alam yang berpotensi sebagai penghambat aktivitas αglukosidase di antaranya adalah sambiloto dan brotowali. Penelitian ini bertujuan
memperoleh formula ekstrak sambiloto dan brotowali dengan penghambatan kerja
enzim α-glukosidase tertinggi dan informasi sidik jari formula tersebut. Metode
ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dan ultrasonikasi dengan pelarut air,
etanol 30%, dan 70%. Ekstrak sambiloto ultrasonikasi dan ekstrak brotowali
maserasi menggunakan etanol 70% menunjukkan nilai IC50 terendah, berturut
turut 55.36 dan 68.28 ppm. Formula ekstrak sambiloto dan brotowali dengan
nisbah konsentrasi 2 IC50:1 IC50 merupakan formula paling baik dengan inhibisi
28.11%. Pada analisis kromatografi lapis tipis, fase gerak optimum pemisahan
komponen sambiloto yaitu etil asetat sedangkan untuk ekstrak brotowali adalah
campuran kloroform:etanol:etil asetat (0.487:0:0.513). Pemisahan komponen
formula dilakukan menggunakan fase gerak tunggal etil asetat. Analisis formula
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan kondisi pemisahan ekstrak
sambiloto tidak menunjukkan komponen yang berasal dari ekstrak brotowali,

sehingga masih perlu dilakukan pengoptimuman kondisi pemisahan formula.
ABSTRACT
RONA JUTAMA YONANDA Formulation of Sambiloto (Andrographis
paniculata) and Brotowali (Tinospora crispa) Extract as An α-Glucosidase
Inhibitor and Fingerprints Analysis Using Chromatography Techniques
Supervised by LATIFAH K. DARUSMAN and WULAN TRI WAHYUNI.
Two of many potential sources of natural materials as an α-glucosidase
inhibitors are sambiloto and brotowali. The aims of the study were to obtain the
best formula of sambiloto and brotowali extract with highest α-glucosidase
enzyme inhibition including its fingerprint information. Extractions were carried
out using maceration and ultrasonication methods with water, ethanol 30%, and
70% as the solvents. Sambiloto ultrasonication extract and brotowali maceration
extract using ethanol 70% as solvent showed the lowest IC50 value, respectively
55.36 and 68.28 ppm. Both of extracts were then formulated. Formula of
sambiloto and brotowali with the concentration ratio of 2 IC50:1 IC50 was the best
formula with inhibition value 28.11%. In thin layer chromatography separation,
ethyl acetate was the optimum mobile phase for sambiloto extract and
chloroform: ethanol: ethyl acetate (0.487: 0: 0.513) is the optimum mobile phase
composition for brotowali extract. Ethyl acetate used as mobile phase in formula
separation. Formula analysis using high performance liquid chromatography

technique with optimum separation condition of sambiloto extract did not show
components from brotowali extract, so the separation condition of the formula still
need to be optimized.

1

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) atau yang lebih
dikenal dengan kencing manis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gangguan
metabolik yang ditandai dengan tingginya
kandungan gula darah (hiperglikemia)
(Poretsky 2009). DM merupakan penyakit
dengan jumlah penderita yang cukup tinggi di
dunia. Menurut World Health Organization
(WHO) melalui riset yang dilakukan oleh
Wild et al. (2004), jumlah penderita DM pada
tahun 2000 mencapai 171 juta jiwa dan
diperkirakan angka ini akan naik menjadi 366
juta jiwa pada 2030. Sedangkan penderita DM

di Indonesia mencapai 8.426 juta jiwa pada
2000 dan diperkirakan akan naik menjadi
21.257 juta jiwa pada 2030. Sedangkan
menurut penelitian yang dilakukan federasi
diabetes internasional, pada 2010 penderita
DM dalam rentang usia 20-79 tahun
diperkirakan telah mencapai 284 juta jiwa,
dan pada 2030 akan mencapai 438 juta jiwa.
Pengobatan DM dapat dilakukan lewat
terapi insulin atau pengobatan oral dengan
obat antidiabetes sintetik. Namun, kedua cara
pengobatan ini membutuhkan biaya yang
cukup besar dan memiliki efek samping
terhadap pasien. Oleh karena itu, pengobatan
tradisional menggunakan produk alam
semakin
diminati
masyarakat
karena
dipercaya lebih aman untuk dikonsumsi.

Penelitian mengenai potensi antidiabetes dari
produk alam kini semakin banyak dilakukan.
Dari beragam jenis tumbuhan obat yang
terdapat di Indonesia, terdapat beberapa
tanaman yang dipercaya memiliki potensi
aktivitas antidiabetes, di antaranya adalah
sambiloto (Andrographis paniculata) (Ahmad
et al. 2006) dan brotowali (Tinospora crispa)
(Tinospora crispa) (Noor et al. 1989). Herba
sambiloto dan brotowali telah dimanfaatkan
sejak lama oleh penduduk Indonesia karena
khasiatnya sebagai obat bagi berbagai
penyakit. Herba sambiloto dikenal memiliki
aktivitas
antipiretik,
diuretika,
dan
antidiabetik (Yulinah et al. 2001). Sedangkan
herba brotowali dikenal memiliki aktivitas
antidiabetik, antihepatitis, dan dipercaya dapat

menyembuhkan gatal-gatal pada kulit
(Kresnady 2003).
DM tipe II adalah DM yang tidak
bergantung insulin yang awalnya disebabkan
oleh peningkatan kadar gula darah
pascamakan (Postprandial hyperglycemia).
Postprandial hyperglycemia terjadi akibat
penyerapan hasil pemecahan karbohidrat.
Pemecahan ini dibantu oleh enzim, seperti

enzim α-glukosidase dan α-amilase. Jika
enzim tersebut dihambat kerjanya oleh bahan
tertentu, maka dapat mengurangi pemecahan
karbohidrat
dan
disakarida
sehingga
penyerapan gula oleh tubuh menjadi
terhambat (Sunil 2009).
Sriyapai et al (2009) menemukan adanya

aktivitas
hipoglikemia
serbuk
batang
brotowali terhadap pasien yang memiliki
gangguan metabolisme. Di sisi lain, Ahmad
et al. (2006) menemukan bahwa ekstrak
etanol herba sambiloto memiliki aktivitas
hipoglikemia yang cukup baik.
Kombinasi dari kedua ekstrak herba
tersebut, dengan formula tertentu, diduga
dapat menghasilkan aktivitas inhibisi enzim αglukosidase yang lebih baik. Potensi
kombinasi ekstrak herba sambiloto dan
brotowali sebagai antidiabetes melalui
mekanisme inhibisi α-glukosidase akan diteliti
dan menjadi fokus pada penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan memperoleh formula
gabungan ekstrak sambiloto-brotowali dengan
aktivitas inhibisi α-glukosidase terbaik dan
mendapatkan sidik jari formula serta ekstrak

tunggal sambiloto dan brotowali.

TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto (Andrographis paniculata)
Herba
sambiloto
(Andrographis
paniculata) (Gambar 1) merupakan salah satu
bahan obat tradisional yang banyak digunakan
dan telah dikenal sejak abad ke-18. Sambiloto
banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan
nusantara. Secara taksonomi, sambiloto
diklasifikasikan
ke
dalam
divisi
Spermathophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Dycotyledonae, subkelas Gamopetalae,
ordo Personales, famili Acanthaceae,
subfamily Acanthoidae, genus Andrographis,

dan
spesies
Andrographis
paniculata
(Dalimunthe 2009).
Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka
seperti kebun, tepi sungai tanah kosong yang
agak lembab atau di pekarangan. Herba
sambiloto merupakan tanaman tahunan
bercabang, dapat mencapai tinggi 60-70 cm
dengan daun tunggal, bertangkai pendek, letak
berhadapan bersilang, pangkal dan ujung
meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau
tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2-8
cm, dan lebar 1-3 cm (Subramanian et al.
2008). Bunga berbibir bentuk tabung kecil,
warnanya putih bernoda ungu. Sambiloto
dikenal dengan beberapa nama lain, seperti ki

1


PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) atau yang lebih
dikenal dengan kencing manis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gangguan
metabolik yang ditandai dengan tingginya
kandungan gula darah (hiperglikemia)
(Poretsky 2009). DM merupakan penyakit
dengan jumlah penderita yang cukup tinggi di
dunia. Menurut World Health Organization
(WHO) melalui riset yang dilakukan oleh
Wild et al. (2004), jumlah penderita DM pada
tahun 2000 mencapai 171 juta jiwa dan
diperkirakan angka ini akan naik menjadi 366
juta jiwa pada 2030. Sedangkan penderita DM
di Indonesia mencapai 8.426 juta jiwa pada
2000 dan diperkirakan akan naik menjadi
21.257 juta jiwa pada 2030. Sedangkan
menurut penelitian yang dilakukan federasi
diabetes internasional, pada 2010 penderita

DM dalam rentang usia 20-79 tahun
diperkirakan telah mencapai 284 juta jiwa,
dan pada 2030 akan mencapai 438 juta jiwa.
Pengobatan DM dapat dilakukan lewat
terapi insulin atau pengobatan oral dengan
obat antidiabetes sintetik. Namun, kedua cara
pengobatan ini membutuhkan biaya yang
cukup besar dan memiliki efek samping
terhadap pasien. Oleh karena itu, pengobatan
tradisional menggunakan produk alam
semakin
diminati
masyarakat
karena
dipercaya lebih aman untuk dikonsumsi.
Penelitian mengenai potensi antidiabetes dari
produk alam kini semakin banyak dilakukan.
Dari beragam jenis tumbuhan obat yang
terdapat di Indonesia, terdapat beberapa
tanaman yang dipercaya memiliki potensi

aktivitas antidiabetes, di antaranya adalah
sambiloto (Andrographis paniculata) (Ahmad
et al. 2006) dan brotowali (Tinospora crispa)
(Tinospora crispa) (Noor et al. 1989). Herba
sambiloto dan brotowali telah dimanfaatkan
sejak lama oleh penduduk Indonesia karena
khasiatnya sebagai obat bagi berbagai
penyakit. Herba sambiloto dikenal memiliki
aktivitas
antipiretik,
diuretika,
dan
antidiabetik (Yulinah et al. 2001). Sedangkan
herba brotowali dikenal memiliki aktivitas
antidiabetik, antihepatitis, dan dipercaya dapat
menyembuhkan gatal-gatal pada kulit
(Kresnady 2003).
DM tipe II adalah DM yang tidak
bergantung insulin yang awalnya disebabkan
oleh peningkatan kadar gula darah
pascamakan (Postprandial hyperglycemia).
Postprandial hyperglycemia terjadi akibat
penyerapan hasil pemecahan karbohidrat.
Pemecahan ini dibantu oleh enzim, seperti

enzim α-glukosidase dan α-amilase. Jika
enzim tersebut dihambat kerjanya oleh bahan
tertentu, maka dapat mengurangi pemecahan
karbohidrat
dan
disakarida
sehingga
penyerapan gula oleh tubuh menjadi
terhambat (Sunil 2009).
Sriyapai et al (2009) menemukan adanya
aktivitas
hipoglikemia
serbuk
batang
brotowali terhadap pasien yang memiliki
gangguan metabolisme. Di sisi lain, Ahmad
et al. (2006) menemukan bahwa ekstrak
etanol herba sambiloto memiliki aktivitas
hipoglikemia yang cukup baik.
Kombinasi dari kedua ekstrak herba
tersebut, dengan formula tertentu, diduga
dapat menghasilkan aktivitas inhibisi enzim αglukosidase yang lebih baik. Potensi
kombinasi ekstrak herba sambiloto dan
brotowali sebagai antidiabetes melalui
mekanisme inhibisi α-glukosidase akan diteliti
dan menjadi fokus pada penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan memperoleh formula
gabungan ekstrak sambiloto-brotowali dengan
aktivitas inhibisi α-glukosidase terbaik dan
mendapatkan sidik jari formula serta ekstrak
tunggal sambiloto dan brotowali.

TINJAUAN PUSTAKA
Sambiloto (Andrographis paniculata)
Herba
sambiloto
(Andrographis
paniculata) (Gambar 1) merupakan salah satu
bahan obat tradisional yang banyak digunakan
dan telah dikenal sejak abad ke-18. Sambiloto
banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan
nusantara. Secara taksonomi, sambiloto
diklasifikasikan
ke
dalam
divisi
Spermathophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Dycotyledonae, subkelas Gamopetalae,
ordo Personales, famili Acanthaceae,
subfamily Acanthoidae, genus Andrographis,
dan
spesies
Andrographis
paniculata
(Dalimunthe 2009).
Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka
seperti kebun, tepi sungai tanah kosong yang
agak lembab atau di pekarangan. Herba
sambiloto merupakan tanaman tahunan
bercabang, dapat mencapai tinggi 60-70 cm
dengan daun tunggal, bertangkai pendek, letak
berhadapan bersilang, pangkal dan ujung
meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau
tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2-8
cm, dan lebar 1-3 cm (Subramanian et al.
2008). Bunga berbibir bentuk tabung kecil,
warnanya putih bernoda ungu. Sambiloto
dikenal dengan beberapa nama lain, seperti ki

2

oray atau ki peurat (Jawa barat), bidara, takilo,
sambiloto (Jawa Tengah), pepaitan, ampadu
(Sumatera), Kirayat (India), dan the creat
(inggris) (Dalimunthe 2009).
Daun dan bagian lainnya dari herba
sambiloto telah banyak digunakan sebagai
bahan obat untuk berbagai penyakit.
Sambiloto mengandung andrografolida, suatu
diterpena lakton kristalin, tak berwarna, dan
memiliki rasa pahit (Ahmad et al. 2006).
Andrografolida merupakan bahan aktif utama
di samping komponen lainnya seperti 14deoksi-11,12-didehidroandrografolida,
dan
14-deoksiandrogrofolida. Menurut penelitian
yang telah dilakukan, dilaporkan bahwa
sambiloto memiliki aktivitas hipotensif yang
aktivitasnya berkorelasi kuat terhadap
keberadaan senyawa andrografolida (14deoksi-11,12-didehidroandrografolida dan 14deoksiandrogrofolida).
Aktivitas
antitrombotik, antikanker, dan antioksidan
dari sambiloto juga telah dilaporkan
(Subramanian et al. 2008).

tumbuhan ini yang banyak dimanfaatkan
adalah bagian batangnya. Batang herba
brotowali secara tradisional digunakan
sebagai obat antidiabetes, tekanan darah
tinggi, antimalaria, dan penambah nafsu
makan (Amom et al. 2008).

Gambar 2 Herba Brotowali
(Sumber : www.herbstohealth.blogspot.com)
Brotowali mengandung zat pahit
tinokriposid, damar lunak, pati, glikosida,
pikroretosid, harsa, kolumbin, kaokulin atau
pikrotoksin, dan beberapa alkaloid seperti
aporfin, beberin, dan palmatin. Senyawa yang
paling penting yang terdapat pada batang
brotowali diduga merupakan senyawa
tinokrisposid yang memiliki aktivitas sebagai
antimalaria, antiinflamasi, dan antidiabetes
(Marthianti 2006).

Gambar 1 Herba Sambiloto
(Sumber :
(www.herbal.medicalonlinemedia.com)
Brotowali (Tinospora crispa)
Herba brotowali (Tinospora crispa)
(Gambar 2) telah lama digunakan sebagai
tumbuhan obat oleh warga Asean karena
dipercaya
memiliki
khasiat
dalam
menyembuhkan berbagai macam penyakit,
baik penyakit dalam maupun luar. Secara
taksonomi, brotowali diklasifikasikan ke
dalam
divisi
Magnoliophyta,
kelas
Magnoliopsida, ordo Ranunculales, famili
Menispermaceae, genus Tinospora, dan
spesies Tinospora Crispa.
Tumbuhan ini menyukai tempat yang
panas untuk tumbuh, dapat tumbuh mencapai
ketinggian 2.5 m, ukuran batang sebesar jari
kelingking, daun tunggal agak bundar, ujung
meruncing dengan panjang 7-12 cm, lebar 510 cm dan memiliki rasa pahit. Bagian

Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit metabolik kronis yang ditandai
dengan kandungan gula darah di atas normal.
DM Secara klasik dikelompokkan ke dalam
dua tipe, yaitu DM tipe I dan tipe II
berdasarkan sebab timbulnya penyakit.
Namun, menurut Poretsky (2009), terdapat
dua pengelompokan DM lain di samping tipe I
dan II. Kedua tipe DM tersebut adalah
Gestational DM (GDM) dan DM yang
disebabkan oleh sebab spesifik seperti
penyakit exocrine pancreas, kelainan genetik
pada sel-β, dan keberadaan zat kimia & obatobatan serta kelainan genetika.
DM Tipe I bergantung terhadap hormon
insulin. DM tipe I disebabkan oleh kurangnya
produksi insulin oleh pankreas akibat
rusaknya sel-β pankreas yang bertanggung
jawab dalam produksi insulin sel, sehingga
insulin yang dihasilkan tidak cukup untuk
mengubah gula yang berada dalam darah

3

menjadi gula interseluler, akibatnya terjadi
penumpukan gula di dalam darah. Sedangkan
DM tipe II tidak bergantung terhadap hormon
insulin. DM tipe II dapat disebabkan oleh
abnormal atau rusaknya permukaan sel yang
berfungsi sebagai reseptor, kerusakan di
bagian dalam sel (post-receptor defects), atau
kombinasi keduanya. DM dapat menyebabkan
komplikasi penyakit lain bagi penderitanya,
seperti aterosklerosis, tekanan darah tinggi,
gagal ginjal, dan infeksi (Ahmad et al. 2006).
Postprandial
hyperglycemia
atau
peningkatan kadar gula kadar setelah makan
merupakan salah satu gangguan awal sebelum
berkembangnya penyakit DM tipe II lebih
jauh di dalam tubuh. Menghambat kenaikan
gula darah setelah makan merupakan
pengobatan awal bagi penderita DM tipe II
(Sunil
2009).
Pencegahan
terjadinya
Peningkatan kadar gula darah pascamakan
dapat dilakukan dengan menghambat laju
hidrolisis karbohidrat melalui penghambatan
enzim α-glukosidase. Hanya monosakarida,
seperti glukosa dan fruktosa yang langsung
dapat terserap masuk ke dalam aliran darah,
sedangkan
karbohidrat
kompleks,
oligosakarida, dan disakarida harus dipecah
sebelum dapat masuk ke aliran darah (Sunil
2009).
α-Glukosidase
α-Glukosidase merupakan enzim yang
bekerja pada usus halus manusia dan berperan
dalam produksi glukosa. Enzim ini
menghidrolisis karbohidrat dari makanan
menjadi glukosa dan monosakarida lain
(Sugiwati et al.2006). Cara kerja enzim ini
adalah dengan mengkatalisis hidrolisis ikatan
α-Glikosidik α-1,4 pada oligosakarida dan αD-Glikosida (Sou et al. 2000). Sejak awal
tahun 1990, kelas baru dalam golongan obat
antidiabetik, yaitu inhibitor α-Glukosidase,
dianggap merupakan pendekatan yang baik
dalam pengobatan DM.
Produk awal inhibitor α-Glukosidase yang
dijual bebas adalah Akarbosa yang diproduksi
oleh Bayer Jerman AG dengan nama dagang
Glucobay®. Inhibitor α-Glukosidase menunda
pemecahan oligosakarida dan disakarida
menjadi monosakarida dengan menginhibisi
α-Glukosidase pada small intestinal brush
border (Ye et al. 2002).
Aktivitas inhibisi α-Glukosidase dapat
diuji baik secara in vitro maupun in vivo. Uji
in vivo biasanya menggunakan mencit sebagai
hewan uji. Uji in vitro menurut Li et al.
(2010), dapat dilakukan dengan menggunakan

pseudo substrate (substrat semu) p-nitrofenil
glukopiranosida (p-NPG) di dalam buffer
fosfat yang ditambahkan ekstrak uji. Reaksi
tersebut akan menghasilkan glukosa dan pnitrofenol yang berwarna kuning dan dapat
dideteksi pada panjang gelombang sekitar 400
nm (Gambar 3) yang diukur intensitasnya
dengan metode spektrofotometri (Sugiwati et
al. 2009). Kontrol positif dapat menggunakan
akarbosa.
OO
N+

N+

O

OH

-O

O
OH
OH
O

O

OH

OH
OH

HO
OH

OH
OH

Gambar 3 Reaksi hidrolisis p-NPG oleh
enzim α-Glukosidase menjadi pnitrofenol dan glukosa (Sugiwati
et al. 2009).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses transfer
selektif suatu komponen dari suatu fase
pelarut (biasanya air) ke pelarut lain yang
berbeda nilai kepolarannya (biasanya pelarut
organik) (Meloan 1999). Proses ekstraksi
terjadi akibat nilai konstanta distribusi solut
yang berbeda di kedua fase. Proses transfer ini
menggunakan prinsip like dissolve like.
Pelarut polar akan melarutkan komponen
polar, sedangkan pelarut non-polar akan
melarutkan komponen non-polar (Skoog et al.
2004). Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses ekstraksi, di antaranya
jenis dan volume pelarut, jumlah sampel, suhu
dan waktu ekstraksi. Faktor-faktor tersebut
harus dioptimasi sedemikian rupa untuk
menghasilkan nilai recovery yang baik.
Separasi selektif dari komponen target dengan
rendemen maksimum dan atau penghilangan
interferen merupakan tujuan utama proses
ekstraksi (Dobiàš et al. 2010).
Dalam konteks analisis tanaman obat,
proses ekstraksi akan memisahkan senyawa
metabolit yang larut dari sel yang tak larut
dalam pelarut. Produk yang diperoleh dari
tanaman dalam bentuk cairan, semi-padat,
maupun serbuk merupakan campuran
metabolit yang kompleks, seperti flavonoid,

-

4

alkaloid, lignin, terpenoid, dan lain
sebagainya (Henda et al. 2008). Proses
industri tanaman obat dimulai dengan tahap
ekstraksi dengan berbagai macam teknik dan
teknologi. Teknik umum yang biasa
digunakan untuk ekstraksi komponen
fitokimia tanaman obat adalah maserasi,
infusi, perkolasi, digesti, dekoksi, soxhletasi,
ekstraksi arus-terbalik, microwave assisted
extraction (MAE), ekstraksi ultrasonik,
supercritical fluid extraction, pressurized
liquid extraction, dan subcritical water
extraction merupakan beberapa teknik yang
dapat digunakan untuk ekstraksi komponen
fitokimia dari tanaman obat (Kumar et al
2006).
Subramanian et al (2008) memperoleh
ekstrak sambiloto dengan teknik maserasi
dingin menggunakan etanol 20% sebagai
pelarut selama 7 hari, sedangkan Ahmad et al.
(2006) menggunakan teknik ekstraksi refluks
dengan air , etanol 95%, 50%, dan 20%
sebagai pelarut. Noor et al. (1989)
menggunakan air sebagai pelarut dengan
teknik ekstraksi refluks untuk memperoleh
ekstrak herba brotowali.
Maserasi. Maserasi merupakan salah satu
teknik ekstraksi klasik dengan merendam
sampel dalam pelarut yang sesuai selama
beberapa waktu (biasanya selama 24 jam).
Metode ini digunakan untuk sampel yang
tidak tahan panas. Proses ekstraksi yang
terjadi pada teknik maserasi merupakan difusi
molekular yang berjalan sangat lambat,
pengadukan perlahan membantu terjadinya
difusi dan memastikan pengumpulan larutan
berkonsentrasi tinggi pada permukaan
partikel. (Kumar et al. 2006). Pelarut akan
menembus dinding sel tanaman dan masuk ke
dalam rongga sel simplisia yang mengandung
zat aktif dan melarutkannya (Indraswari
2008). Kelebihan metode ini adalah murah,
sederhana, dan menghindari kerusakan
komponen yang tidak tahan panas. Sedangkan
kekurangannya antara lain tidak efisien karena
tidak ada gaya lain yang membantu proses
ekstraksi (hanya direndam), membutuhkan
pelarut yang banyak, dan waktu ekstraksi
yang dibutuhkan cukup lama.
Ultrasonikasi.
Ekstraksi
ultrasonik
merupakan
metode
ekstraksi
dengan
menggunakan gelombang ultrasonik. Metode
ini tidak membutuhkan waktu yang lama
dibandingkan dengan metode maserasi
ataupun
soxhletasi.
Prinsip
ekstraksi
ultrasonik adalah peningkatan transfer massa
yang disebabkan oleh meningkatnya penetrasi
pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat

efek kapiler. Gelembung kavitasi akan
terbentuk pada dinding sel tanaman akibat
adanya gelombang ultrasonik. Efek dari
pecahnya gelembung kavitasi ini dapat
mengakibatkan peningkatan pori-pori dinding
sel. Pecahnya gelembung kavitasi disebabkan
oleh tipisnya bagian kelenjar dalam sel
tumbuhan yang mudah dirusak dengan
sonikasi. Hal tersebut memudahkan pelepasan
komponen esensial ke dalam pelarut
(Melecchi et al. 2006)
Dengan kata lain, gelombang ultrasonik
dapat memfasilitasi terjadinya pembengkakan
sel dan pelarutan komponen dalam tanaman
yang disebabkan pembesaran pori-pori
dinding sel. Pembengkakan pori yang lebih
besar akan meningkatkan transfer massa
sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan
mengurangi waktu ekstraksi (Melecchi et al.
2006). Kelebihan lain dari ekstraksi ultrasonik
adalah keterulangan ekstraksi baik, waktu
ekstraksi yang jauh lebih singkat, lebih
efisien, dan dapat digunakan untuk ukuran
sampel yang beragam. Ekstraksi ultrasonik
sangat baik digunakan untuk ekstraksi
komponen organik polar (Said 2009).
Uji Toksisitas Larva Udang (Brine Shrimp
Lethality Test).
Komponen
bioaktif
hampir
selalu
memiliki efek racun pada konsentrasi tinggi.
Farmakologi
dapat
dikatakan
sebagai
toksikologi pada dosis rendah, begitu pula
sebaliknya, toksikologi dapat dikatakan
sebagai farmakologi pada dosis tinggi
(McLaughlin et al. 1998). Letalitas in vivo
organisme sederhana dapat digunakan untuk
memprediksi aktivitas sitotoksik dari ekstrak
bahan alam (Mann et al. 2011). Pengujian
sitotoksisitas menggunakan larva udang air
laut (Artemia salina) merupakan metode yang
aman, praktis, dan murah. Telur udang
(Artemia salina) dapat dengan mudah
diperoleh dan disimpan bertahun-tahun dalam
keadaan kering. (McLaughlin et al. 1998).
Udang air laut termasuk ke dalam divisi
Arthropoda, kelas Crustacea. Siklus hidupnya
dimulai saat penetasan telur. Telur yang
awalnya inaktif, ketika terkena air laut akan
mengalami rehidrasi dan pertumbuhan
berlanjut hingga menetas menjadi larva. Larva
tersebut sangat sensitif terhadap zat racun.
Nisbah antara larva mati dan hidup yang
dikoreksi terhadap kontrol digunakan sebagai
perkiraan toksisitas bahan (Milhem et al.
2008), biasanya dinyatakan sebagai nilai
LC50, yaitu konsentrasi bahan atau zat yang

5

mengakibatkan kematian pada 50% binatang
uji.
Analisis Sidik Jari dan Kromatografi
Secara umum, satu atau dua komponen
aktif farmakologis digunakan sebagai penciri
untuk mengevaluasi kualitas dan autentisitas
tanaman obat. Namun, penentuan seperti ini
tidak memberikan gambaran utuh susunan
komponen suatu produk herbal karena efek
terapi yang dihasilkan biasanya merupakan
hasil dari beragam komponen yang terdapat di
dalam produk tersebut (Liang et al. 2004).
Oleh karena itu diperlukan suatu gambaran
utuh komponen-komponen yang terdapat di
dalam suatu tumbuhan dan merupakan suatu
sidik jari sehingga dapat digunakan sebagai
kontrol kualitas dan autentisitas suatu produk
obat (Cui et al. 2009).
Analisis sidik jari merupakan teknik
analisis yang dikembangkan dengan tujuan
kontrol kualitas (autentisitas, identitas, mutu,
dan reliabilitas) obat herbal yang berasal dari
tumbuhan. Metode kromatografi dapat
digunakan sebagai penduga konsistensi
kualitas dan stabilitas ekstrak atau produk
herbal lewat observasi visual (kromatogram)
dan dilakukan dengan pembandingan pola
sidik jari dengan sidik jari standar (Rajkumar
& Sinha 2010).
Cui et al. (2009) melakukan analisis sidik
jari komponen aktif sambiloto menggunakan
metode KCKT pada beberapa tanaman
sambiloto dengan tempat tumbuh berbeda.
Kromatografi. Kromatografi merupakan
teknik pemisahan berdasarkan perbedaan daya
adsorpsi suatu komponen di antara dua fase
(fase gerak dan diam). Teknik pemisahan ini
dilakukan dengan melewatkan fase gerak yang
mengandung sampel melalui fase diam di
dalam suatu sistem tertentu sehingga terjadi
partisi komponen dalam sampel di antara fase
gerak dan fase diam. Komponen yang
memiliki rasio distribusi lebih besar terhadap
fase diam akan membutuhkan waktu lebih
lama untuk melewati sistem tersebut, begitu
juga sebaliknya (Harvey 2000).
Beberapa teknik kromatografi seperti
kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas
(KG), dan elektroforesis kapiler telah secara
luas digunakan dalam analisis sidik jari. Sidik
jari
kromatografi
merupakan
pola
kromatorgrafik dari ekstrak yang mengandung
komponen kimia yang aktif secara
farmakologi. Profil kromatografik dapat
menyatakan ekstrak yang dianalisis memiliki

persamaan atau perbedaan sehingga dapat
digunakan sebagai alat kontrol kualitas suatu
ekstrak atau produk herbal (Liang et al. 2004).
Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi
lapis tipis (KLT) merupakan salah satu teknik
kromatografi
partisi. KLT menggunakan
lapisan tipis silika gel, alumunium oksida,
atau selulosa sebagai fase diam yang
dilapiskan pada gelas, kaca, atau logam. Fase
geraknya adalah pelarut atau campuran pelarut
yang ditempatkan pada bejana pengembang.
Sampel diaplikasikan pada bagian bawah pelat
KLT, pelat ini kemudian ditempatkan pada
bejana pengembang yang telah jenuh oleh fase
gerak pengembang. Perbedaan nisbah
distribusi komponen pada dua fase akan
menghasilkan
pemisahan
komponenkomponen
penyusunnya.
KLT
dapat
digunakan untuk pemisahan senyawa yang
berbeda seperti senyawa organik dan senyawa
organik sintetik, serta kompleks anorganikorganik (Gritter et al. 1991).
KLT dapat memberikan informasi
mengenai banyaknya komponen yang terdapat
di dalam suatu sampel dan dapat pula
digunakan untuk tujuan identifikasi dengan
membandingkan nilai retention factor (Rf)
komponen uji dengan Rf standar dalam
kondisi sistem yang sama. Rf adalah
perbandingan jarak tempuh komponen dengan
garis depan pelarut. KLT merupakan teknik
yang cepat, meyakinkan, dan murah sehingga
secara luas digunakan dalam analisis produk
herbal. KLT memiliki kelebihan dalam
menguji banyak contoh pada satu pelat di saat
yang sama (Gu et al. 2006). Saat dilakukan
analisis campuran kompleks seperti sampel
herba menggunakan KLT, konsentrasi dari
solut seringkali tidak diketahui, trial and error
perlu dilakukan pada pelat KLT dengan tujuan
mengetahui konsentrasi yang tepat untuk
penotolan sampel, konsentrasi yang digunakan
untuk penotolan sampel biasanya disesuaikan
dengan metode deteksi yang digunakan
(Fernand 2003).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
merupakan salah satu teknik kromatografi
cair. KCKT memiliki kelebihan dibanding
kromatografi gas yang hanya terbatas pada
sampel tahan panas dan volatile, sampel yang
tidak tahan panas dan nonvolatile dapat
dianalisis menggunakan metode ini. Pada
KCKT, sampel cair atau sampel padat
dilarutkan dalam pelarut yang sesuai,
kemudian dilewatkan melalui kolom oleh fase
gerak cair. Pemisahan komponen di dalamnya

6

ditentukan oleh interaksi komponen
dengan fase diam (Harvey 2000).
KCKT dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif maupun kualitatif bagi sampel
industri kosmetik, farmasi, dan lain
sebagainya. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dari analisis menggunakan KCKT
antara lain waktu pemisahan yang cepat, dapat
menganalisis sampel yang beragam, dan
presisi pengukuran yang lebih baik (Harvey
2000).

Gambar 4 Skema umum instrumen KCKT
(Harvey 2000)
KCKT merupakan metode yang umum
digunakan dalam analisis obat herbal karena
mudah digunakan dan tidak terbatas oleh sifat
volatilitas dan stabilitas dari komponen
sampel. Secara umum KCKT dapat
menganalisis hampir seluruh komponen dalam
obat herbal. Kolom fase terbalik pada KCKT
merupakan kolom yang paling banyak
digunakan
dalam
pemisahan
analitis
komponen obat herbal. Kondisi pemisahan
optimum menggunakan KCKT dipengaruhi
banyak faktor, seperti komposisi fase gerak,
pengaturan pH, tekanan pompa, dan lain
sebagainya (Liang et al. 2004).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
daun dan batang sambiloto, batang brotowali,
etanol 30% dan 70%, air suling, telur udang
laut (Artemia salina Leach), enzim αglukosidase
(Sigma-Aldrich),
K2HPO4,
KH2PO4, serum bovin albumin, p-nitrofenil
glukopiranosida (p-NPG) (Sigma-Aldrich),
dimetil sulfoksida (DMSO), Na2CO3, HCl,
Glucobay®(Bayer) akarbosa, aseton, metanol,
kloroform, etil asetat, dan diklorometana p.a.
Alat yang digunakan antara lain peralatan
kaca sederhana, neraca analitik, pelat KLT,

oven, microplate reader, bejana pengembang,
ultrasonic bath dengan frekuensi 38 kHz,
sentrifus, Camag Linomat 5, penguap putar,
dan alat kromatografi cair kinerja tinggi
Hitachi 20-AD.
Metode
Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahap
(Lampiran 1). Tahap pertama adalah ekstraksi
herba sambiloto (daun dan batang) dan
brotowali (batang) menggunakan pelarut
etanol dan air, kemudian dilakukan pengujian
aktivitas inhibisi α-glukosidase pada beberapa
konsentrasi dari masing-masing ekstrak
tersebut hingga diperoleh nilai IC50. Tahap
kedua adalah memformulasikan ekstrak
dengan IC50 terendah dari kedua ekstrak,
kemudian diuji kembali aktivitas inhibisi αglukosidase dari masing-masing formula
tersebut. Tahap ketiga adalah melakukan
analisis sidik jari formula terbaik dan masingmasing ekstrak tunggal dengan menggunakan
KLT lalu dilanjutkan dengan KCKT.
Preparasi Contoh
Daun dan batang sambiloto serta batang
brotowali yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Tawangmangu, Jawa Tengah,
Indonesia.
Sampel dikeringkan hingga kadar air
kurang dari 10% di dalam oven bersuhu tidak
lebih dari 50 oC. Setelah itu, digiling hingga
menjadi serbuk. Serbuk ini selanjutnya
disebut simplisia.
Penentuan Kadar Air (AOAC 1999)
Masing-masing
simplisia
ditimbang
sebanyak 3 g kemudian dimasukkan ke dalam
cawan porselen yang telah dipanaskan
sebelumnya di dalam oven bersuhu 105 oC
selama 30 menit dan telah diketahui bobotnya.
Cawan porselin berisi sampel tersebut
kemudian dipanaskan di dalam oven bersuhu
105 oC selama 3 jam lalu didinginkan di
dalam eksikator dan ditimbang. Pemanasan
kembali dilakukan di dalam oven hingga
diperoleh bobot konstan.
Kadar air (%) =

A−B
× 100 %
A

Keterangan:
A = bobot simplisia sebelum dikeringkan (g)
B = bobot simplisia setelah dikeringkan (g)
Maserasi
Masing-masing
simplisia
ditimbang
sebanyak 25 g, lalu ditambahkan pelarut (air

6

ditentukan oleh interaksi komponen
dengan fase diam (Harvey 2000).
KCKT dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif maupun kualitatif bagi sampel
industri kosmetik, farmasi, dan lain
sebagainya. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dari analisis menggunakan KCKT
antara lain waktu pemisahan yang cepat, dapat
menganalisis sampel yang beragam, dan
presisi pengukuran yang lebih baik (Harvey
2000).

Gambar 4 Skema umum instrumen KCKT
(Harvey 2000)
KCKT merupakan metode yang umum
digunakan dalam analisis obat herbal karena
mudah digunakan dan tidak terbatas oleh sifat
volatilitas dan stabilitas dari komponen
sampel. Secara umum KCKT dapat
menganalisis hampir seluruh komponen dalam
obat herbal. Kolom fase terbalik pada KCKT
merupakan kolom yang paling banyak
digunakan
dalam
pemisahan
analitis
komponen obat herbal. Kondisi pemisahan
optimum menggunakan KCKT dipengaruhi
banyak faktor, seperti komposisi fase gerak,
pengaturan pH, tekanan pompa, dan lain
sebagainya (Liang et al. 2004).

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
daun dan batang sambiloto, batang brotowali,
etanol 30% dan 70%, air suling, telur udang
laut (Artemia salina Leach), enzim αglukosidase
(Sigma-Aldrich),
K2HPO4,
KH2PO4, serum bovin albumin, p-nitrofenil
glukopiranosida (p-NPG) (Sigma-Aldrich),
dimetil sulfoksida (DMSO), Na2CO3, HCl,
Glucobay®(Bayer) akarbosa, aseton, metanol,
kloroform, etil asetat, dan diklorometana p.a.
Alat yang digunakan antara lain peralatan
kaca sederhana, neraca analitik, pelat KLT,

oven, microplate reader, bejana pengembang,
ultrasonic bath dengan frekuensi 38 kHz,
sentrifus, Camag Linomat 5, penguap putar,
dan alat kromatografi cair kinerja tinggi
Hitachi 20-AD.
Metode
Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahap
(Lampiran 1). Tahap pertama adalah ekstraksi
herba sambiloto (daun dan batang) dan
brotowali (batang) menggunakan pelarut
etanol dan air, kemudian dilakukan pengujian
aktivitas inhibisi α-glukosidase pada beberapa
konsentrasi dari masing-masing ekstrak
tersebut hingga diperoleh nilai IC50. Tahap
kedua adalah memformulasikan ekstrak
dengan IC50 terendah dari kedua ekstrak,
kemudian diuji kembali aktivitas inhibisi αglukosidase dari masing-masing formula
tersebut. Tahap ketiga adalah melakukan
analisis sidik jari formula terbaik dan masingmasing ekstrak tunggal dengan menggunakan
KLT lalu dilanjutkan dengan KCKT.
Preparasi Contoh
Daun dan batang sambiloto serta batang
brotowali yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Tawangmangu, Jawa Tengah,
Indonesia.
Sampel dikeringkan hingga kadar air
kurang dari 10% di dalam oven bersuhu tidak
lebih dari 50 oC. Setelah itu, digiling hingga
menjadi serbuk. Serbuk ini selanjutnya
disebut simplisia.
Penentuan Kadar Air (AOAC 1999)
Masing-masing
simplisia
ditimbang
sebanyak 3 g kemudian dimasukkan ke dalam
cawan porselen yang telah dipanaskan
sebelumnya di dalam oven bersuhu 105 oC
selama 30 menit dan telah diketahui bobotnya.
Cawan porselin berisi sampel tersebut
kemudian dipanaskan di dalam oven bersuhu
105 oC selama 3 jam lalu didinginkan di
dalam eksikator dan ditimbang. Pemanasan
kembali dilakukan di dalam oven hingga
diperoleh bobot konstan.
Kadar air (%) =

A−B
× 100 %
A

Keterangan:
A = bobot simplisia sebelum dikeringkan (g)
B = bobot simplisia setelah dikeringkan (g)
Maserasi
Masing-masing
simplisia
ditimbang
sebanyak 25 g, lalu ditambahkan pelarut (air

7

suling,
etanol
30%, dan etanol 70%)
sebanyak 125 mL, didiamkan selama 3 × 24
jam, disaring setiap 24 jam dan dilakukan
penambahan kembali pelarut. Ekstrak disaring
dan pelarutnya diuapkan menggunakan
penguap putar sebelum dilakukan pengeringan
beku hingga diperoleh ekstrak kering.
Ultrasonikasi
Masing-masing
simplisia
ditimbang
sebanyak 25 gram, lalu masing-masing
ditambahkan pelarut (air suling, etanol 30% ,
dan 70%) sebanyak 125 mL, kemudian
ditempatkan di dalam ultrasonic bath selama
30 menit dengan frekuensi gelombang 38
kHz. Ekstrak disaring dan pelarutnya
diuapkan menggunakan penguap putar lalu
dilakukan pengeringan beku hingga diperoleh
ekstrak kering.

2008). Campuran pereaksi diinkubasi pada
suhu 37 oC selama lima menit. Setelah lima
menit, ditambahkan larutan enzim αglukosidase sebanyak 25 µL, kemudian
diinkubasi kembali selama 15 menit.
Dilakukan penambahan Na2CO3 200 mM
sebanyak 100 µL untuk menghentikan reaksi
enzim. Akarbosa digunakan sebagai kontrol
positif dengan melarutkan tablet akarbosa
dalam buffer fosfat pH 7.0 dan HCl 2N (1:1)
dengan konsentrasi 1%. Kemudian larutan
disentrifusa dan supernatannya diambil
sebanyak 1 µL dan dimasukkan ke dalam
sistem pereaksi seperti sampel. Sistem
pereaksi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Sistem pereaksi pengujian aktivitas
enzim α glukosidase
Volume (µL)

Uji Toksisitas Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)
Penetasan telur udang dilakukan dengan
memasukkan sebanyak ± 100 mg telur udang
ke dalam wadah berisi air laut yang diberi
suplai udara menggunakan aerator selama 48
jam. Larutan uji yang digunakan memiliki
konsentrasi 2500, 1000, 750, 500, dan 250
ppm.
Dipipet sebanyak 10 ekor larva udang
dalam maksimum 1000 µL air laut ke dalam
wadah uji, kemudian ditambahkan 1000 µL
masing-masing ekstrak dengan konsentrasi
dua kali lebih besar dari konsentrasi yang
diinginkan. Setiap konsentrasi uji dilakukan
empat kali pengulangan. Perlakuan untuk
kontrol sama seperti di atas, hanya saja tanpa
penambahan sampel. Larutan didiamkan
selama 24 jam, lalu dihitung jumlah kematian
larva udang pada masing-masing wadah dan
dilakukan koreksi terhadap kontrol.
Nilai LC50 diperoleh dari hubungan antara
konsentrasi
(x)
dengan%
mortalitas
menggunakan metode regresi.
Uji Inhibisi Enzim α-glukosidase (Sugiwati
et al. 2009).
Masing-masing ekstrak yang akan diuji
dilarutkan di dalam dimetil sulfoksida
(DMSO) dengan konsentrasi 2000 ppm.
Larutan enzim dibuat dengan melarutkan
sebanyak 1 mg enzim α-glukosidase dalam 10
mL buffer fosfat 100 mM (pH 7.0) yang
mengandung 200 mg serum bovin albumin.
Sebanyak 0.5 mL larutan enzim tersebut
diencerkan 100 kali dengan buffer fosfat pH
7.0 sebelum digunakan. (Subramanian et al.

Larutan

Blanko

Kontrol
(+)

Kontrol
(-) (So)

Sampel
(S1)

Ekstrak

-

-

25

25

Buffer

50

50

25

25

Substrat

25

25

25

25

Inkubasi 37 oC, 5 menit
Buffer

25

-

25

-

Enzim

-

25

-

25

o

Inkubasi 37 C, 15 menit
Na2CO3

100

100

100

100

Larutan tersebut kemudian diukur
absorbansnya
menggunakan
microplate
reader pada 400 nm. Sampel dan kontrol
positif dilakukan tiga kali ulangan (triplo).
Persentase
Inhibisi
dapat
dihitung
menggunakan persamaan sebagai berikut :
Persentase Inhibisi

=

K − ( S1 − S 0 )
× 100%
K

K
S1

: absorbans kontrol - blanko
: absorbans sampel dengan penambahan
enzim
absorbans sampel tanpa penambahan
S 0:
enzim
Nilai IC50 diperoleh dengan memplot
konsentrasi ekstrak dengan log persen inhibisi
ekstrak menggunakan analisis regresi. Nilai
adalah
nilai
konsentrasi
yang
IC50
menghambat 50% kerja enzim.

8

Formulasi
Ekstrak
Sambiloto
dan
Brotowali
Formula ekstrak yang dibuat terdiri atas
beberapa komposisi (Tabel 2) yang
merupakan gabungan dari masing-masing
ekstrak sambiloto dan brotowali dengan nilai
IC50 terendah. Kemudian dilakukan pengujian
aktivitas inhibisi α-glukosidase dari formulaformula tersebut hingga diperoleh nilai IC50.
Pada formula terbaik (nilai IC50 paling rendah)
dilakukan analisis sidik jari menggunakan
KLT lalu dilanjutkan dengan KCKT sebagai
pembanding.
Tabel 2 Komposisi formula ekstrak kasar
sambiloto dan brotowali

Formula
A
B
C
D
E

Perbandingan komposisi ekstrak
(IC50)
Sambiloto
1 IC50
2 IC50
1 IC50
11/2 IC50
1/2 IC50

Brotowali
1 IC50
1 IC50
2 IC50
1/2 IC50
11/2 IC50

Pemilihan Fase Gerak Terbaik
Enam jenis pelarut yang memiliki tingkat
polaritas berbeda diujikan sebagai fase gerak,
yaitu etanol, metanol, aseton, diklorometana,
etil asetat, dan kloroform pada pelat KLT
yang telah ditotolkan masing-masing ekstrak
sambiloto, brotowali, serta formula sambiloto
dan brotowali. Kemudian pelat dimasukkan ke
dalam bejana berisi fase gerak tersebut.
Pengembangan dihentikan ketika fase gerak
telah mencapai ± 1 cm dari tepi atas pelat
KLT. Kemudian pelat diangkat, dikeringkan
dan dideteksi dengan lampu UV 254 nm dan
366 nm. Tiga fase gerak yang menghasilkan
pita terbanyak dan terpisah dipilih untuk
digunakan sebagai fase gerak (A, B, C) pada
analisis sidik jari. Ketiga fase gerak tersebut
dikombinasikan menggunakan rancangan
simplex centroid axial design dengan
komposisi
seperti
pada
Tabel
3.
Pengembangan
komponen
kemudian
dilakukan di dalam bejana pengembang.
Deteksi komponen dilakukan di bawah lampu
UV dengan panjang gelombang 254 nm dan
366 nm. Dihitung nilai Rf dari masing-masing
pita yang terbentuk. Data yang diperoleh
kemudian diolah menggunakan peranti lunak
Stat ease Design Expert 8.0.6 trial version,
sehingga dapat ditentukan komposisi fase
gerak terbaik untuk pemisahan komponen
dalam ekstrak.

Tabel 3 Komposisi fase gerak menggunakan
simplex centroid axial design
Fase
gerak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perbandingan komposisi fase
gerak (v/v/v)
A
B
C
1
0
0
0
0
1
0
1
0
½
0
½
0
½
½
½
½
0
1/3
1/3
1/3
1/6
2/3
1/6
1/6
1/6
2/3
2/3
1/6
1/6

Analisis
Sidik
Jari
Menggunakan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Ekstrak sambiloto, formula, dan standar
andrografolida (senyawa penciri pada
sambiloto) diinjeksikan ke dalam alat KCKT
dengan pemisahan menggunakan kolom fase
terbalik. Fase gerak yang digunakan adalah
metanol:air (52.5:47.5) dengan laju alir 1
mL/menit, volume injeksi sampel 10 µL pada
panjang gelombang 220 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kadar Air Simplisia
Simplisia
disiapkan
dari
tanaman
sambiloto dan brotowali yang telah
dikeringkan di bawah suhu 50 oC hingga
kandungan airnya kurang dari 10%, kemudian
digiling dan ditentukan kadar airnya
menggunakan metode gravimetri tak langsung
pada suhu 105 oC.
Penentuan kadar air pada penelitian ini
bertujuan mengetahui kandungan zat pada
sampel yang dinyatakan dalam persen bahan
kering (Harjadi 1986). Menurut Harjadi
(1986), jumlah air yang terkandung dalam
bahan bergantung pada perlakuan yang telah
dialami bahan tersebut, kelembaban udara
dan faktor lainnya.
Dalam ruang lingkup analisis tanaman
obat, kadar air menjadi sangat penting. Selain
karena dapat digunakan sebagai parameter
ketahanan bahan dalam penyimpanan
(Winarno 1992), kadar air juga berperan
sebagai faktor koreksi terhadap rendemen
hasil ekstraksi bahan. Kadar air simplisia
sambiloto yang diperoleh adalah 5.47% dan
brotowali 4.67% (Lampiran 2). Hasil tersebut
masih berada di bawah persyaratan
maksimum kadar air untuk bahan baku obat

8

Formulasi
Ekstrak
Sambiloto
dan
Brotowali
Formula ekstrak yang dibuat terdiri atas
beberapa komposisi (Tabel 2) yang
merupakan gabungan dari masing-masing
ekstrak sambiloto dan brotowali dengan nilai
IC50 terendah. Kemudian dilakukan pengujian
aktivitas inhibisi α-glukosidase dari formulaformula tersebut hingga diperoleh nilai IC50.
Pada formula terbaik (nilai IC50 paling rendah)
dilakukan analisis sidik jari menggunakan
KLT lalu dilanjutkan dengan KCKT sebagai
pembanding.
Tabel 2 Komposisi formula ekstrak kasar
sambiloto dan brotowali

Formula
A
B
C
D
E

Perbandingan komposisi ekstrak
(IC50)
Sambiloto
1 IC50
2 IC50
1 IC50
11/2 IC50
1/2 IC50

Brotowali
1 IC50
1 IC50
2 IC50
1/2 IC50
11/2 IC50

Pemilihan Fase Gerak Terbaik
Enam jenis pelarut yang memiliki tingkat
polaritas berbeda diujikan sebagai fase gerak,
yaitu etanol, metanol, aseton, diklorometana,
etil asetat, dan kloroform pada pelat KLT
yang telah ditotolkan masing-masing ekstrak
sambiloto, brotowali, serta formula sambiloto
dan brotowali. Kemudian pelat dimasukkan ke
dalam bejana berisi fase gerak tersebut.
Pengembangan dihentikan ketika fase gerak
telah mencapai ± 1 cm dari tepi atas pelat
KLT. Kemudian pelat diangkat, dikeringkan
dan dideteksi dengan lampu UV 254 nm dan
366 nm. Tiga fase gerak yang menghasilkan
pita terbanyak dan terpisah dipilih untuk
digunakan sebagai fase gerak (A, B, C) pada
analisis sidik jari. Ketiga fase gerak tersebut
dikombinasikan menggunakan rancangan
simplex centroid axial design dengan
komposisi
seperti
pada
Tabel
3.
Pengembangan
komponen
kemudian
dilakukan di dalam bejana pengembang.
Deteksi komponen dilakukan di bawah lampu
UV dengan panjang gelombang 254 nm dan
366 nm. Dihitung nilai Rf dari masing-masing
pita yang terbentuk. Data yang diperoleh
kemudian diolah menggunakan peranti lunak
Stat ease Design Expert 8.0.6 trial version,
sehingga dapat ditentukan komposisi fase
gerak terbaik untuk pemisahan komponen
dalam ekstrak.

Tabel 3 Komposisi fase gerak menggunakan
simplex centroid axial design
Fase
gerak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perbandingan komposisi fase
gerak (v/v/v)
A
B
C
1
0
0
0
0
1
0
1
0
½
0
½
0
½
½
½
½
0
1/3
1/3
1/3
1/6
2/3
1/6
1/6
1/6
2/3
2/3
1/6
1/6

Analisis
Sidik
Jari
Menggunakan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Ekstrak sambiloto, formula, dan standar
andrografolida (senyawa penciri pada
sambiloto) diinjeksikan ke dalam alat KCKT
dengan pemisahan menggunakan kolom fase
terbalik. Fase gerak yang digunakan adalah
metanol:air (52.5:47.5) dengan laju alir 1
mL/menit, volume injeksi sampel 10 µL pada
panjang gelombang 220 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kadar Air Simplisia
Simplisia
disiapkan
dari
tanaman
sambiloto dan brotowali yang telah
dikeringkan di bawah suhu 50 oC hingga
kandungan airnya kurang dari 10%, kemudian
digiling dan ditentukan kadar airnya
menggunakan metode gravimetri tak langsung
pada suhu 105 oC.
Penentuan kadar air pada penelitian ini
bertujuan mengetahui kandungan zat pada
sampel yang dinyatakan dalam persen bahan
kering (Harjadi 1986). Menurut Harjadi
(1986), jumlah air yang terkandung dalam
bahan bergantung pada perlakuan yang telah
dialami bahan tersebut, kelembaban udara
dan faktor lainnya.
Dalam ruang lingkup analisis tanaman
obat, kadar air menjadi sangat penting. Selain
karena dapat digunakan sebagai parameter
ketahanan bahan dalam penyimpanan
(Winarno 1992), kadar air juga berperan
sebagai faktor koreksi terhadap rendemen
hasil ekstraksi bahan. Kadar air simplisia
sambiloto yang diperoleh adalah 5.47% dan
brotowali 4.67% (Lampiran 2). Hasil tersebut
masih berada di bawah persyaratan
maksimum kadar air untuk bahan baku obat

9

tradisional, yaitu 10% (SK
(
Menkes RI No
KES/SK/VII/1994). Kadaar air
661/IMENK
simplisia sambiloto lebihh tinggi dibanddingkan
b
d
dikarenakan
dengan brotowali
bagian
tumbuhan sambiloto yang dijadikan siimplisia
berasal darii daun dan baatang lunak sehingga
lebih banyaak menganduung air, seddangkan
simplisia brrotowali berassal dari batanng kaku
yang lebih sedikit menngandung airr. Oleh
karena itu, dengan perlaakuan preparrasi dan
mungkinan perbedaan
analisis yanng sama kem
kadar air siimplisia sambbiloto dan brrotowali
sangat munggkin terjadi.

rendemen paada ekstrak dengan pelarutt yang
memiliki polaaritas cukup ttinggi menunjjukkan
banyaknya komponen
k
poolar yang teerdapat
pada tanamann brotowali.

Ekstraaksi Simplisiaa Sambiloto dan
d
Brotow
wali
Jenis ekkstraksi yangg digunakan adalah
maserasi daan ultrasonikkasi menggunnakan 3
jenis pelarutt, yaitu air, etaanol 30%, dann etanol
70%. Eksttraksi samppel sambilotto dan
brotowali deengan metodee maserasi dilakukan
3 ulangan setiap
s
perlakuuan. Penggunnaan air
dan etanol sebagai
s
pelaruut bertujuan menarik
m
senyawa pollar yang mem
miliki aktivitas sebagai
obat.
Polaritass suatu pelarrut lazim dinnyatakan
dalam indekks polaritas. Semakin
S
besarr indeks
polaritas, semakin
s
polaar pelarut tersebut,
t
begitu pulaa sebaliknyaa. Menurut Snyder
(Lampiran 3)
3 indeks polaaritas air adalaah 10.2,
sedangkan indeks
i
polarittas etanol adaalah 4.3.
Polaritas etaanol 30% daan etanol 70%
% dapat
ditentukan dari hasil kali proporsii etanol
dengan inddeks polaritassnya lalu diitambah
hasil kali proporsi air
a
dengan indeks
polaritasnyaa.
Polaritas etanol 30%
berdasarkann
perhitunggan
adalah
8.43
sedangkan etanol
e
70% addalah 6.07.
Maserassi.. Rendemenn ekstrak kerinng yang
diperoleh
untuk
s
sampel
saambiloto
menggunakaan pelarut aiir, etanol 30%, dan
etanol 70%
% berturut-turrut adalah 19.19%,
1
25.60%, dann 26.39%, seddangkan untukk sampel
brotowali adalah 11.000%, 12.86%
%, dan
Gambar 5). Rendemen ekstrak
11.28% (G
terendah, baaik untuk sam
mbiloto dan brrotowali
adalah eksttrak air. Padaa sambiloto, ekstrak
etanol 70%
% merupakaan ekstrak dengan
rendemen tertinggi,
t
diiikuti ekstrak etanol
30%, dengann perbedaan yang
y
kecil. Tinngginya
rendemen ekstrak
e
etanol 70% terkait dengan
banyaknya
pada
t
tanaman
komponenn
y
memilikii polaritas meendekati
sambiloto yang
polaritas etanol
e
70%. Sedangkann pada
brotowali, ekstrak etanol 30% merrupakan
ekstrak denngan rendemen tertinggi, diikuti
dengan ekkstrak etanoll 70%. Tinngginya

Gambar 5 R
Rendemen ekkstrak sambiloto &
b
brotowali
metoode maserasi.
Ultrasoniikasi. Rendem
men ekstrak kering
yang diperooleh untuk sampel sam
mbiloto
menggunakann pelarut air, etanol 30%
%, dan
etanol 70% berturut-turuut adalah 15
5.88%,
s
14.89%, dan 17.13%, sedanngkan untuk sampel
brotowali adaalah 11.39%, 11.19%, dan 8.16%
(Gambar 6).. Rendemen ekstrak sam
mbiloto
tertinggi merrupakan eksttrak hasil ek
kstraksi
menggunakann etanol 70%
%, sedangkan
n pada
brotowali eksstrak air mengghasilkan rendemen
yang paling tinggi. Secarra umum rendemen
metode ultraso
onikasi
ekstraksi mennggunakan m
lebih rendah dibandingkan
d
n rendemen ek
kstraksi
menggunakann metode maserasi.

Gambar 6 R
Rendemen eksstrak sambilotto &
b
brotowali
metoode ultrasonik
kasi.
Penggunaaan pelarut polar pada ek
kstraksi
simplisia sam
mbiloto dan brrotowali didaasarkan
atas polarittas komponnen yang diduga
d
memiliki keeaktifan padaa kedua tan
naman
tersebut.
Pada
sam
mbiloto,
teerdapat
mponen
andrografolidda yang merrupakan kom
utama pembberi efek obbat pada tan
naman
sambiloto yaang mudah llarut dalam etanol,
e

10

metanol, assam asetat, piridina,
p
dan aseton
(Wongkittippong et al. 2004). Sedangkkan pada
brotowali, yang
y
dinyatakkan oleh Nooor et al
(1989), ekstrak air brotoowali memiliiki efek
hipoglikemiia, namun bellum diketahuii secara
pasti kom
mponen apa yang sajaa yang
bertanggungg jawab terhaadap aktivitas ekstrak
brotowali seebagai obat.
Uji Tok
ksisitas Larvaa Udang ekstrak
Pada peenentuan tokksisitas larva udang
digunakan ekstrak
e
yang berasal
b
dari saatu jenis
metode ekkstraksi, yaaitu ekstrak hasil
maserasi. Dilakukan
D
emppat kali pengulangan
untuk setiapp

Dokumen yang terkait

KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

0 3 17

SKRIPSI KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

0 3 14

I. PENDAHULUAN KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

0 2 6

II. TINJAUAN PUSTAKA KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

0 19 21

III. METODE PENELITIAN KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

1 5 10

V. SIMPULAN DAN SARAN KOMBINASI DEKOK SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.) DAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. f.) SEBAGAI ANTIHIPERURISEMIA PADA MENCIT GALUR Swiss webster.

0 8 28

Perbandingan Efek Antipiretik Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f. )Ness) dan Brotowali (Tinospora crispa,L) pada Mencit Swiss Webster Jantan.

0 0 15

FORMULASI DAN UJI STABILITAS SEDIAAN GEL ANTISEPTIK DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees.).

0 0 16

Formulasi dan uji stabilitas sediaan gel antiseptik dari ekstrak etanol daun sambiloto (andrographis paniculata nees.) COVER

0 1 16

Khasiat Kombinasi Obat Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Ness), Brotowali (Tinospora crispa (L) Mier), dan Mimba (Azadirachta indica) terhadap Serangan Asma - Ubaya Repository

0 0 1