Pengenalan iris mata dengan algoritme voting feature interval versi 5 menggunakan ekstraksi ciri log-gabor wavelet

ABSTRACT
MUHAMMAD ZAKI. Iris Recognition Using Voting Feature Interval Version 5 with 1D log-Gabor
Wavelets as Feature Extraction. Under direction of Aziz Kustiyo.
Biometric recognition based on iris patterns has its own advantages because iris patterns are more
stable and reliable as compared to other biometric subjects such as face and fingerprint. This research
provides implementation for recognizing eye images taken from CASIA dataset based on Daugman
methods for extracting features. The system uses an automatic segmentation based on threshold to
localize the iris collarette and normalize the results to constant dimension using Daugman’s rubber
sheet model by remaping each point within the iris region to a pair of polar coordinates. The features
are extracted using 1D log-Gabor wavelets to create template which contains dimension 2 times from
its normalized images. The template data are then splitted into three subsets and then alternately used
for training and testing using voting feature interval version 5. The best recognition of testing data are
obtained from combining vote from left and right eyes rather than using single eye sides.
Keywords: iris recognition, segmentation, voting feature intervals, log-Gabor wavelet.

v

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, identifikasi
seseorang

berdasarkan
biometrik
telah
berkembang dengan pesat di kalangan
akademik dan industri. Metode pengenalan
identitas seseorang yang banyak digunakan di
antaranya berdasarkan nomor identitas unik
(kunci fisik, kartu identitas dan lainnya) atau
berdasarkan ingatan terhadap sesuatu (sandi
rahasia dan lainnya). Metode tersebut banyak
memiliki kekurangan di antaranya adalah kartu
identitas dapat hilang dan sandi dapat lupa dari
ingatan seseorang. Ada dua jenis biometrik di
antaranya adalah physiological (iris mata, wajah
dan sidik jari) dan behavioural (suara dan
tulisan tangan) (Yong et al. 2000).
Pengenalan iris mata adalah jenis biometrik
berdasarkan fitur physiological. Iris memiliki
tekstur yang unik dan cukup kompleks untuk
digunakan dalam biometrik. Dibandingkan

dengan metode biometrik lain seperti
pengenalan wajah, pola iris lebih stabil dan
dapat diandalkan. Iris mata seseorang juga
memiliki pola yang konsisten, tidak seperti
wajah yang relatif memiliki perubahan seiring
dengan bertambah waktu.
Penelitian mengenai pengenalan iris mata
telah dilakukan oleh Daugman (2002) yang
menggunakan Gabor Wavelets dua dimensi
pada ekstrasi ciri serta Hamming distances
sebagai algoritme pengujian. Masek (2003)
melakukan
penelitian
serupa
dengan
menggunakan data dari Chinese Academy of
Science-Institute of Automation (CASIA) dan
Lion’s Eye Institute (LEI). Selain itu, penelitian
Abidin (2011) menggunakan jaringan syaraf
tiruan sebagai algoritme pelatihan dan

pengujian terhadap data CASIA dan
menggunakan dekomposisi wavelet sebagai
ekstraksi ciri.
Sistem pengenalan pola yang dikembangkan
dalam penelitian ini terdiri atas empat tahap.
Tahap pertama adalah proses segmentasi citra
untuk mengambil citra iris mata saja lalu
membuang bagian citra yang lainnya. Pada
tahap kedua, proses normalisasi dilakukan
dengan mengubah dimensi citra iris menjadi
tetap seningga menghasilkan ekstraksi ciri yang
lebih baik. Tahap selanjutnya adalah melakukan
ekstraksi ciri terhadap citra yang sudah
ternormalisasi sehingga dihasilkan template
yang memiliki nilai biner dan dilanjutkan ke
tahap terakhir yaitu melakukan pelatihan serta
pengujian terhadap template tersebut. Pelatihan

dan pengujian template citra dilakukan pada
tiga subset yang berbeda, untuk kemudian

dilakukan perhitungan terhadap akurasinya
menggunakan
3-fold
cross
validation.
Penggunaan algoritme Voting Feature Intervals
versi ke-5 (VFI5) pada penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pengetahuan tingkat akurasi
yang diberikan untuk kemudian dapat
dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui akurasi dari proses pengenalan citra
iris mata menggunakan algoritme VFI5 pada
citra mata kiri, kanan dan gabungan keduanya.
Ruang Lingkup
Penelitian ini memiliki batasan yaitu :
data yang digunakan adalah data citra
mata dari sepuluh orang berbeda yang
berasal dari CASIA,

bobot yang digunakan dalam pelatihan
algoritme VFI5 adalah 1.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai akurasi
algoritme klasifikasi VFI5 terhadap pengenalan
iris mata kiri, kanan dan gabungan vote
keduanya dari individu yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA
Representasi Citra Digital
Citra didefinisikan sebagai suatu fungsi dua
dimensi f(x,y), dengan x dan y merupakan
koordinat spasial, dan f disebut sebagai
kuantitas bilangan skalar positif yang memiliki
maksud secara fisik ditentukan oleh sumber
citra. Suatu citra digital yang diasumsikan
dengan fungsi f(x,y) direpresentasikan dalam
suatu fungsi koordinat berukuran M x N.
Variabel M adalah Baris dan N adalah kolom

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Setiap elemen dari array matriks disebut image
element, picture element, pixel, atau pel
(Gonzales dan Woods 2002).

Gambar 1 Fungsi koordinat sebagai representasi
citra digital.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, identifikasi
seseorang
berdasarkan
biometrik
telah
berkembang dengan pesat di kalangan
akademik dan industri. Metode pengenalan
identitas seseorang yang banyak digunakan di

antaranya berdasarkan nomor identitas unik
(kunci fisik, kartu identitas dan lainnya) atau
berdasarkan ingatan terhadap sesuatu (sandi
rahasia dan lainnya). Metode tersebut banyak
memiliki kekurangan di antaranya adalah kartu
identitas dapat hilang dan sandi dapat lupa dari
ingatan seseorang. Ada dua jenis biometrik di
antaranya adalah physiological (iris mata, wajah
dan sidik jari) dan behavioural (suara dan
tulisan tangan) (Yong et al. 2000).
Pengenalan iris mata adalah jenis biometrik
berdasarkan fitur physiological. Iris memiliki
tekstur yang unik dan cukup kompleks untuk
digunakan dalam biometrik. Dibandingkan
dengan metode biometrik lain seperti
pengenalan wajah, pola iris lebih stabil dan
dapat diandalkan. Iris mata seseorang juga
memiliki pola yang konsisten, tidak seperti
wajah yang relatif memiliki perubahan seiring
dengan bertambah waktu.

Penelitian mengenai pengenalan iris mata
telah dilakukan oleh Daugman (2002) yang
menggunakan Gabor Wavelets dua dimensi
pada ekstrasi ciri serta Hamming distances
sebagai algoritme pengujian. Masek (2003)
melakukan
penelitian
serupa
dengan
menggunakan data dari Chinese Academy of
Science-Institute of Automation (CASIA) dan
Lion’s Eye Institute (LEI). Selain itu, penelitian
Abidin (2011) menggunakan jaringan syaraf
tiruan sebagai algoritme pelatihan dan
pengujian terhadap data CASIA dan
menggunakan dekomposisi wavelet sebagai
ekstraksi ciri.
Sistem pengenalan pola yang dikembangkan
dalam penelitian ini terdiri atas empat tahap.
Tahap pertama adalah proses segmentasi citra

untuk mengambil citra iris mata saja lalu
membuang bagian citra yang lainnya. Pada
tahap kedua, proses normalisasi dilakukan
dengan mengubah dimensi citra iris menjadi
tetap seningga menghasilkan ekstraksi ciri yang
lebih baik. Tahap selanjutnya adalah melakukan
ekstraksi ciri terhadap citra yang sudah
ternormalisasi sehingga dihasilkan template
yang memiliki nilai biner dan dilanjutkan ke
tahap terakhir yaitu melakukan pelatihan serta
pengujian terhadap template tersebut. Pelatihan

dan pengujian template citra dilakukan pada
tiga subset yang berbeda, untuk kemudian
dilakukan perhitungan terhadap akurasinya
menggunakan
3-fold
cross
validation.
Penggunaan algoritme Voting Feature Intervals

versi ke-5 (VFI5) pada penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pengetahuan tingkat akurasi
yang diberikan untuk kemudian dapat
dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui akurasi dari proses pengenalan citra
iris mata menggunakan algoritme VFI5 pada
citra mata kiri, kanan dan gabungan keduanya.
Ruang Lingkup
Penelitian ini memiliki batasan yaitu :
data yang digunakan adalah data citra
mata dari sepuluh orang berbeda yang
berasal dari CASIA,
bobot yang digunakan dalam pelatihan
algoritme VFI5 adalah 1.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai akurasi
algoritme klasifikasi VFI5 terhadap pengenalan

iris mata kiri, kanan dan gabungan vote
keduanya dari individu yang berbeda.

TINJAUAN PUSTAKA
Representasi Citra Digital
Citra didefinisikan sebagai suatu fungsi dua
dimensi f(x,y), dengan x dan y merupakan
koordinat spasial, dan f disebut sebagai
kuantitas bilangan skalar positif yang memiliki
maksud secara fisik ditentukan oleh sumber
citra. Suatu citra digital yang diasumsikan
dengan fungsi f(x,y) direpresentasikan dalam
suatu fungsi koordinat berukuran M x N.
Variabel M adalah Baris dan N adalah kolom
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Setiap elemen dari array matriks disebut image
element, picture element, pixel, atau pel
(Gonzales dan Woods 2002).

Gambar 1 Fungsi koordinat sebagai representasi
citra digital.

1

Iris Mata
Iris mata adalah salah satu organ bagian
dalam mata yang terletak di belakang kornea
dan di depan lensa. Fungsi yang paling penting
dari iris mata adalah mengatur ukuran pupil. Iris
dibagi ke dalam dua wilayah: wilayah dalam
yang dekat dengan pupil dan wilayah luar yang
dekat dengan sclera. Daerah yang terdekat
dengan pupil disebut collarette. Collarette
terdapat antara 20-30 piksel pada citra
berukuran 280 x 320 piksel (Shah & Ross
2006).
Iris mata mulai terbentuk saat bulan ketiga
bayi di dalam kandungan dan strukturnya mulai
membentuk pola saat usia kandungan mencapai
delapan bulan, walaupun perkembangan pigmen
mata dapat terus berlanjut hingga usia satu
tahun setelah kelahiran (Kronfeld 1962, diacu
dalam Daugman 2002). Warna iris ditentukan
terutama oleh kepadatan pigmen melanin pada
lapisan luar dan stroma. Sebagai contoh warna
iris yang biru dihasilkan oleh ketiadaan pigmen
melanin sehingga cahaya yang memiliki
panjang gelombang besar dapat menembus
sedangkan panjang gelombang kecil diuraikan
oleh stroma (Chedekel 1995, diacu dalam
Daugman 2002). Gambar anatomi mata
manusia dapat dilihat pada Gambar 2.

kelas suatu permasalahan yang ditemukan
(Güvenir et al. 1998).
Kebutuhan yang paling penting dalam
membentuk suatu sistem klasifikasi adalah
akurasi prediksinya. Selain itu, lamanya waktu
yang dibutuhkan selama proses pelatihan dan
prediksi idealnya adalah pendek. Ketahanan
sistem terhadap noise serta penanggulangan
terhadap missing value juga harus diperhatikan
dalam membangun sistem tersebut (Güvenir et
al. 1998).
Daugman’s Rubber Sheet Model
Rubber sheet model bertujuan untuk
melakukan normalisasi daerah collarette iris
mata. Rubber sheet model disusun oleh
Daugman dengan konsep setiap titik pada
koordinat wilayah collarette akan dipetakan
kembali ke dalam koordinat baru dengan
dimensi r × θ dimana adalah r resolusi radial
dan θ adalah resolusi angular. Ilustrasi
pemetaan kembali ke dalam koordinat polar
dapat dilihat pada Gambar 3.
θ
0

r 1

x
y

Gambar 3

Ilustrasi Daugman’s rubber sheet
model.

Persaman pemetaan wilayah iris dari
) ke koordinat
koordinat koordinat polar (
kartesian (x, y) adalah sebagai berikut:
(1)
(2)
Gambar 2 Anatomi mata manusia.
Segmentasi
Segmentasi adalah pembagian citra menjadi
beberapa wilayah atau objek. Tingkat
pembagian wilayah tergantung kepada masalah
yang akan diselesaikan, yaitu ketika objek yang
dicari telah berhasil dikenali dan diisolasi
(Gonzales et al. 2003)
Klasifikasi
Algoritme klasifikasi terdiri atas dua
komponen yaitu pelatihan dan prediksi. Pada
tahap pelatihan, dilakukan proses pembentukan
model suatu permasalahan yang berasal dari
data kejadian sebelumnya. Model tersebut
kemudian digunakan untuk memprediksi jenis

dengan dan adalah representasi koordinat
kartesian dari koordinat polar. Variabel r adalah
panjang sumbu polar dan adalah sudut polar.
Rubber
sheet
model
memperhitungkan
pelebaran pupil dan ketidakkonsistenan ukuran
pupil untuk menghasilkan sebuah hasil
normalisasi dengan dimensi yang konstan
(Masek 2003).
Discrete Fourier Transform
Fourier
transform
digunakan
untuk
menganalisis citra pada domain frekuensi.
Dengan transformasi ini, intensitas piksel pada
citra diperlakukan sebagai fungsi yang memiliki
nilai amplitudo pada frekuensi tertentu. Fourier
transform memberikan freksibilitas dalam
desain dan implementasi pada banyak bidang
seperti image enhancement, image restoration

2

dan image compression (Gonzales et al. 2003).
Ketika Fourier transform digunakan pada
sinyal yang diskret, maka digunakan discrete
Fourier transform. Rumus dari DFT satu
dimensi adalah:
(3)
dan inverse-nya adalah:
(4)
dengan
adalah Fourier spectrum,
adalah nilai piksel citra dan N adalah ukuran
dari data yang akan ditransformasikan.
Fast Fourier transform (FFT) adalah
algoritme DFT yang memiliki kompleksitas
lebih baik. DFT biasa akan memiliki
kompleksitas sebesar
sedangkan FFT
.
memiliki kompleksitas sebesar
Log-Gabor Filter
Gabor filter banyak digunakan untuk
karakterisasi tekstur dari suatu citra (Mancas
dan
Gosselin
2006) dengan
mencari
representasi gabungan optimal dari sinyal pada
domain spasial dan frekuensi. Dengan
menggunakan Gabor filter, lokalisasi gabungan
dibentuk baik pada domain spasial maupun
frekuensi.
Kelemahan dari Gabor filter adalah pada
even symmetric filter yang memiliki komponen
DC ketika bobotnya melebihi satu oktav (Field
1987, diacu dalam Masek 2003). Komponen
DC adalah nilai hasil transformasi pada domain
frekuensi awal (Gonzales et al. 2003). Namun,
komponen DC yang bernilai nol dapat diperoleh
pada bobot berapapun jika menggunakan skala
logaritmik pada Gabor filter yang disebut
dengan log-Gabor filter. Respon frekuensi pada
log-Gabor filter memiliki rumus:
(5)
dengan adalah nilai frekuensi,
adalah pusat
frekuensi dan adalah bobot filter.
K-Fold Cross Validation
Cross-validation adalah teknik komputasi
menggunakan seluruh contoh sebagai data
pelatihan dan data tes secara berulang kali
sebanyak K kali menggunakan data tes
sebanyak 1/K bagian data keseluruhan (Stone
1974, diacu dalam Bengio dan Grandvalet
2003). Untuk setiap pengulangan, digunakan
kombinasi data latih dan data tes yang berbeda

dengan pengulangan sebelumnya namun dengan
jumlah data yang sama.
Voting Feature Intervals versi 5
Voting Feature Intervals (VFI) adalah
algoritme klasifikasi non-incremental dan
supervised yang dikembangkan oleh Demiroz
dan Güvenir (1997). Algoritme tersebut
digolongkan sebagai non-incremental karena
semua instance pelatihan diproses secara
bersama-sama. Di sisi lain, supervised
digolongkan terhadap algoritme ini karena
memiliki target output yang diinginkan yaitu
berupa kelas-kelas. Algoritme VFI telah
dikembangkan hingga versi ke-5 yang biasa
disingkat menjadi VFI5.
Algoritme VFI5 memiliki dua fase, yaitu
fase pelatihan dan fase tes (Güvenir et al. 1998).
1. Pelatihan
Pada fase pelatihan, dilakukan pencarian
terhadap nilai EndPoints dari fitur f di setiap
kelas c, yaitu berupa nilai maksimum dan
minimum tiap kelas pada masing-masing fitur
sehingga setiap kelas memiliki dua nilai
EndPoints. Nilai EndPoints kemudian disimpan
dalam bentuk array EndPoints[ f ] dan
dilakukan sorting. Jika nilai fitur berupa linear,
maka point intervals dibuat pada setiap nilai
EndPoints sedangkan range intervals dibuat di
antara nilai-nilai EndPoints dan tidak termasuk
nilai EndPoints itu sendiri. Di sisi lain, jika fitur
berupa nilai nominal, maka cukup point
intervals saja yang dibuat.
Setelah
interval
terbentuk,
langkah
selanjutnya
adalah
menghitung
jumlah
instances pelatihan i pada setiap kelas c dengan
fitur f yang jatuh pada setiap interval yang
bersangkutan yang direpresentasikan oleh
interval_count[f, i, c]. Perhitungan terhadap
setiap kelas c pada setiap interval i pada
dimensi fitur f dilakukan pada prosedur
count_instance. Jika interval i merupakan point
interval dan nilai ef sama dengan nilai pada
batas bawah atau batas atas maka jumlah kelas
instance tersebut (ef) pada interval i ditambah 1.
Jika interval i merupakan range interval dan
nilai ef jatuh pada interval tersebut, maka
jumlah kelas instance ef pada interval i
ditambah 1.
Jumlah vote kelas c untuk feature f pada
interval i dibagi dengan jumlah instance pada
kelas c (class_count[c]) untuk menghilangkan
perbedaan distribusi setiap kelas. Hasil
normalisasi direpresentasikan dalam interval_
vote [f, i, c]. Nilai-nilai pada interval_ vote [f, i,

3

c] dinormalisasi sehingga jumlah vote dari
beberapa kelas pada setiap feature yang sama
adalah 1. Normalisasi ini bertujuan agar setiap
fitur memiliki kekuatan voting yang sama pada
proses klasifikasi yang tidak dipengaruhi
ukuranya. untuk tahap pelatihan algoritme VFI5
dapat dilihat pada Gambar 4.

classify(e); /*example to be classified */
begin
for each class c
vote[c] = 0
for each feature f
for each class c
feature_vote[f, c] = 0; /*vote feature f for
class c */

train(TrainingSet);
begin
for each feature f
for each class c
EndPoints[f] = EndPoints [f]
find_end_Points [TrainingSet, f, c];
sort(EndPoints[f])
if f is linear
for each end point p in EndPoints[f]
form a point interval from end point p
form a range interval between p and the
next endpoint p
else /* f is nominal */
each distinct point in EndPoints[f] forms a
point interval
for each interval i on feature dimension f
for each class c
interval_count [f, i, c] = 0;
count_instances(f, TrainingSet)
for each interval i on feature dimension f
for each class c
interval _vote[f, I, c]=interval_count[f, i,
c]/class_count[c]
normalize interval_vote[f, i, c];

if ef value is known
i = find_interval(f, ef)
for each class c
feature_vote[f, c] = interval_vote[f, i, c]
vote[c] = vote[c]+ feature_vote[f, c]*weight[f]
return the class c with highest vote[c];
end.

Gambar 5 Pseudocode klasifikasi VFI5.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini melalui beberapa tahapan
proses untuk dapat mengenali iris mata setiap
individu menggunakan algoritme VFI5.
Tahapan proses tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6.

end.

Gambar 4 Pseudocode pelatihan VFI5.
2. Klasifikasi
Tahap klasifikasi dimulai dengan inisiasi
nilai vote setiap kelas menjadi 0. Nilai vote
yaitu array yang menampung informasi nilai
interval_vote tiap kelas c dari fitur f di interval i
dimana nilai ef jatuh. Jika ef tidak diketahui,
maka feature tersebut tidak disertakan dalam
voting (memberi nilai vote 0 untuk masingmasing kelas).
Jika nilai ef diketahui, dilakukan pencarian
untuk setiap fitur f berupa nilai interval i di
mana ef jatuh. Lalu nilai setiap kelas c dari fitur
f yang direpresentasikan dengan feature_vote[f,
c] dicari. Nilai tersebut didapat dengan melihat
nilai dari interval_vote tempat i jatuh. Hasil
dari nilai feature_vote kemudian ditambahkan
untuk kemudian menjadi nilai vote untuk setiap
kelas c. Nilai vote dari kelas c menunjukkan
bahwa contoh e termasuk kedalam kelas c.
Pseudocode dari tahap klasifikasi dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 6 Tahapan pengenalan iris mata.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Chinese Academy of Sciences
Institute of Automation (CASIA) versi 3. Tiap
citra berdimensi 280×320 piksel dengan format
JPEG skala keabuan 8 bit. Ada tiga subset data
yang diberi label interval, lamp, dan twins. Data
twins memuat data anak kembar yang diambil
di luar ruangan (outdoor) sedangkan data

4

c] dinormalisasi sehingga jumlah vote dari
beberapa kelas pada setiap feature yang sama
adalah 1. Normalisasi ini bertujuan agar setiap
fitur memiliki kekuatan voting yang sama pada
proses klasifikasi yang tidak dipengaruhi
ukuranya. untuk tahap pelatihan algoritme VFI5
dapat dilihat pada Gambar 4.

classify(e); /*example to be classified */
begin
for each class c
vote[c] = 0
for each feature f
for each class c
feature_vote[f, c] = 0; /*vote feature f for
class c */

train(TrainingSet);
begin
for each feature f
for each class c
EndPoints[f] = EndPoints [f]
find_end_Points [TrainingSet, f, c];
sort(EndPoints[f])
if f is linear
for each end point p in EndPoints[f]
form a point interval from end point p
form a range interval between p and the
next endpoint p
else /* f is nominal */
each distinct point in EndPoints[f] forms a
point interval
for each interval i on feature dimension f
for each class c
interval_count [f, i, c] = 0;
count_instances(f, TrainingSet)
for each interval i on feature dimension f
for each class c
interval _vote[f, I, c]=interval_count[f, i,
c]/class_count[c]
normalize interval_vote[f, i, c];

if ef value is known
i = find_interval(f, ef)
for each class c
feature_vote[f, c] = interval_vote[f, i, c]
vote[c] = vote[c]+ feature_vote[f, c]*weight[f]
return the class c with highest vote[c];
end.

Gambar 5 Pseudocode klasifikasi VFI5.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini melalui beberapa tahapan
proses untuk dapat mengenali iris mata setiap
individu menggunakan algoritme VFI5.
Tahapan proses tersebut dapat dilihat pada
Gambar 6.

end.

Gambar 4 Pseudocode pelatihan VFI5.
2. Klasifikasi
Tahap klasifikasi dimulai dengan inisiasi
nilai vote setiap kelas menjadi 0. Nilai vote
yaitu array yang menampung informasi nilai
interval_vote tiap kelas c dari fitur f di interval i
dimana nilai ef jatuh. Jika ef tidak diketahui,
maka feature tersebut tidak disertakan dalam
voting (memberi nilai vote 0 untuk masingmasing kelas).
Jika nilai ef diketahui, dilakukan pencarian
untuk setiap fitur f berupa nilai interval i di
mana ef jatuh. Lalu nilai setiap kelas c dari fitur
f yang direpresentasikan dengan feature_vote[f,
c] dicari. Nilai tersebut didapat dengan melihat
nilai dari interval_vote tempat i jatuh. Hasil
dari nilai feature_vote kemudian ditambahkan
untuk kemudian menjadi nilai vote untuk setiap
kelas c. Nilai vote dari kelas c menunjukkan
bahwa contoh e termasuk kedalam kelas c.
Pseudocode dari tahap klasifikasi dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 6 Tahapan pengenalan iris mata.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Chinese Academy of Sciences
Institute of Automation (CASIA) versi 3. Tiap
citra berdimensi 280×320 piksel dengan format
JPEG skala keabuan 8 bit. Ada tiga subset data
yang diberi label interval, lamp, dan twins. Data
twins memuat data anak kembar yang diambil
di luar ruangan (outdoor) sedangkan data

4

interval dan lamp diambil di dalam ruangan
(indoor) dan bukan merupakan anak kembar.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data interval karena memiliki kualitas
paling baik dengan detail tekstur iris yang jelas.
Jumlah data yang digunakan adalah 180
yang berasal dari sepuluh individu yang
berbeda, dimana setiap individu memiliki
sembilan citra mata kiri dan kanan. Seluruh data
kemudian dibagi menjadi tiga subset untuk mata
kiri dan kanan yang berjumlah sama (tiga puluh
buah), yaitu fold1, fold2, dan fold3 yang
bertujuan untuk mencari akurasi menggunakan
3-cross-fold validation. Nama dari file dan
indeksnya pada masing-masing orang dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Fold1 menggunakan data citra dengan
indeks nomer 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 dari masingmasing orang untuk proses pelatihan dan data
citra dengan indeks 7, 8 dan 9 untuk pengujian.
Fold2 menggunakan data citra 4, 5, 6, 7, 8 dan 9
pada tahap pelatihan dan data citra 1, 2 dan 3
untuk tahap pengujian. Pada Fold3, digunakan
data citra 1, 2, 3, 7, 8 dan 9 untuk tahap
pelatihan dan data citra 4, 5 dan 6 untuk tahap
pengujian. Pembagian subset dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian subset
Subset
fold1
fold2
fold3

Data Latih
(indeks)
1, 2, 3, 4, 5, 6
4, 5, 6, 7, 8, 9
1, 2, 3, 7, 8, 9
.

Data Uji
(indeks)
7, 8, 9
1, 2, 3
4, 5, 6

Segmentasi
Proses
segmentasi
dilakukan
untuk
mendapatkan titik tengah lingkaran pupil
beserta jari-jarinya. Abidin (2011) melakukan
proses segmentasi melalui tiga tahap:
thresholding, regioning dan labeling, lalu
penghitungan titik tengah dan jari-hari pupil.
Pada tahap thresholding dilakukan proses
untuk mendapatkan nilai piksel citra yang lebih
kecil dari threshold tertentu karena pada
umumnya nilai piksel pupil adalah kecil
(berwarna hitam). Setelah itu, dilakukan
regioning dan labeling untuk mencari luas
wilayah piksel yang saling berkumpul di suatu
tempat dan memberi kumpulan tersebut label.
Label dengan luas terbesar kemudian akan
menjadi region pupil. Proses kemudian
berlanjut dengan mencari titik tengah dan jarijari dari region pupil yang kemudian akan
digunakan untuk proses normalisasi.

Normalisasi
Setelah titik tengah dan jari-jari wilayah
pupil telah tersegmentasi dari citra mata,
dilakukan pengambilan wilayah iris sepanjang
20 piksel ke arah luar pupil. Nilai tersebut
diambil sesuai dengan hasil penelitian Masek
(2003) yang menunjukkan nilai collarette yang
lebih baik pada jarak 20 piksel dengan resolusi
angular sebesar 240 pada dataset CASIA.
Setelah ditentukan wilayah collarete dari citra
mata,
maka tahap selanjutnya adalah
menransformasikan wilayah tersebut ke dimensi
tetap menggunakan transformasi dari koordinat
polar ke koordinat kartesian dengan resolusi
angular sebesar 240.
Transformasi ini
diperlukan karena citra mata memiliki dimensi
yang tidak konsisten dikarenakan pelebaran
pupil akibat tingkat pencahayaan yang berbeda
(Masek 2003). Hasil dari normalisasi akan
memberikan ciri spasial di lokasi iris dari orang
yang sama menjadi sama walaupun kondisi
pencahayaan yang berbeda.
Feature Encoding
Pada proses feature encoding, citra iris yang
telah
dinormalisasi
diekstraksi
ciri
menggunakan 1D log-Gabor wavelet dengan
nilai panjang gelombang yang digunakan adalah
18 dengan
sebesar 0.5 sesuai dengan
penelitian Masek (2003). Setiap baris pada citra
yang telah dinormalisasi, yaitu sebanyak 240
piksel
pada setiap lingkaran collarette
dilakukan proses FFT untuk merepresentasikan
citra pada domain frekuensi. Kemudian setelah
dilakukan proses FFT, nilai tersebut dikalikan
dengan log-Gabor filter dan dilakukan inverse
fast Fourier transform untuk mengembalikan
representasi citra pada domain spasial. Hasil
dari transformasi ini adalah bilangan real dan
imajiner dari setiap nilai piksel.
Langkah selanjutnya adalah mengubah nilai
real dan imajiner dari hasil transformasi citra
menjadi bernilai biner 2 bit yang merupakan
informasi ciri dari citra tersebut. Hal ini
berkaitan dengan penelitian Oppenheim dan
Lim (1981) yang menunjukkan bahwa phase
information lebih memberikan informasi
dibandingkan dengan amplitudo.
Untuk setiap nilai piksel pada citra yang
telah ditransformasi, dicari template yang
merepresentasikannya dengan kriteria sebagai
berikut:
jika nilai real dari piksel tersebut > 0 dan
nilai imajiner > 0, maka nilai template
tersebut adalah 11,

5

jika nilai real > 0 dan nilai imajiner < 0
template piksel adalah 10,
jika nilai real < 0 dan nilai imajiner > 0
template piksel adalah 01,
jika nilai real < 0 dan nilai imajiner < 0
nilai template adalah 00.
dengan demikian, maka didapat template
bernilai biner dengan dimensi 20 x 480.
Template ini kemudian digunakan untuk proses
pelatian dan pengujian.

harddisk Kapasitas 150GB,
monitor pada resolusi 1366 x 768 piksel,
merek emachines model eMD725.
Perangkat lunak berupa:
sistem operasi Microsoft Windows XP
professional,
aplikasi
pemrograman
Matlab
7.1.0.246(R14) Service Pack 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Voting Feature Interval versi 5
Setelah seluruh citra melalui tahap encode,
dilakukan pelatihan dan pengujian terhadap data
template citra. Data template yang berukuran 20
x 480 piksel diubah dimensinya manjadi 1 x
9600 piksel yang kemudian berlaku sebagai
fitur dengan nilai biner. Karena perhitungan
akurasi menggunakan 3-cross fold validation,
maka banyaknya proses pelatihan dan pengujian
adalah tiga kali karena subset akan saling
bergantian untuk menjadi data latih dan data uji.
Pengujian terhadap masing-masing subset
dilakukan terhadap mata kiri, mata kanan dan
gabungan mata kiri dan kanan. Pelatihan
terhadap gabungan mata kiri dan kanan
dilakukan terpisah pada citra mata kiri dan
kanan yang diambil secara bersamaan, lalu
menjumlahkan vote dari masing-masing
pasangan tersebut dimana interval data uji jatuh.
Nilai vote gabungan dari kelas yang memiliki
jumlah terbesar dipilih sebagai kelas dari data
uji. Hasil pengujian masing-masing data uji
pada setiap subset kemudian disimpan untuk
proses perhitungan akurasi.

Segmentasi
Tujuan dari segmentasi adalah untuk
mendapatkan koordinat pusat lingkaran dari
pupil mata pada citra. Untuk mendapatkan
koordinat tersebut, perlu dilakukan beberapa
tahapan yaitu thresholding, regioning dan
labeling serta pencarian nilai piksel pada pusat
lingkaran yang memiliki luas region terbesar.
Pada tahapan thresholding, dilakukan
pencarian terhadap piksel yang memiliki nilai
lebih rendah dari nilai threshold tertentu. Nilai
threshold didapat melalui persentase jumlah
piksel yang memiliki nilai < 100 terhadap total
piksel pada citra. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan intensitas pencahayaan pada
pengambilan citra mata sehingga jika intensitas
pencahayaan rendah, maka nilai piksel
cenderung rendah. Begitu pula sebaliknya, jika
intensitas pencahayaan tinggi, nilai piksel akan
cenderung besar. Contoh hasil thresholding
pada citra dapat dilihat pada Gambar 7.

Perhitungan Akurasi
Perhitungan akurasi yang diperoleh oleh
algoritme VFI5 pada penelitian ini dilakukan
dengan cara :
(6)
Akurasi
menunjukkan
tingkat
penglasifikasian data secara benar terhadap
kelas sebenarnya. Semakin mendekati nilai
100% maka akurasi semakin baik.
Lingkungan pengembangan sistem
Proses
pengerjaan
penelitian
ini
menggunakan perangkat dan perangkat lunak
dengan spesifikasi sebagai berikut:
Perangkat keras berupa Notebook:
processor intel Pentium
@2GHz,
RAM kapasitas 1GB,

Dual-Core

(a)

(b)

Gambar 7 Segmentasi citra mata (a) sebelum
dilakukan segmentasi, (b) setelah
dilakukan segmentasi.
Sebelum dilakukan thresholding (Gambar
7a), rentang nilai piksel adalah 0 sampai 255
sedangkan setelah dilakukan thresholding
(Gambar 7b), rentang nilai piksel menjadi biner,
yaitu 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa
piksel tersebut ≤ threshold dan merupakan
bagian dari objek. Nilai 1 berarti piksel tersebut
memiliki nilai > threshold dan merupakan
background dari objek. Untuk memudahkan
dalam
perhitungan
selanjutnya,
nilai

6

jika nilai real > 0 dan nilai imajiner < 0
template piksel adalah 10,
jika nilai real < 0 dan nilai imajiner > 0
template piksel adalah 01,
jika nilai real < 0 dan nilai imajiner < 0
nilai template adalah 00.
dengan demikian, maka didapat template
bernilai biner dengan dimensi 20 x 480.
Template ini kemudian digunakan untuk proses
pelatian dan pengujian.

harddisk Kapasitas 150GB,
monitor pada resolusi 1366 x 768 piksel,
merek emachines model eMD725.
Perangkat lunak berupa:
sistem operasi Microsoft Windows XP
professional,
aplikasi
pemrograman
Matlab
7.1.0.246(R14) Service Pack 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Voting Feature Interval versi 5
Setelah seluruh citra melalui tahap encode,
dilakukan pelatihan dan pengujian terhadap data
template citra. Data template yang berukuran 20
x 480 piksel diubah dimensinya manjadi 1 x
9600 piksel yang kemudian berlaku sebagai
fitur dengan nilai biner. Karena perhitungan
akurasi menggunakan 3-cross fold validation,
maka banyaknya proses pelatihan dan pengujian
adalah tiga kali karena subset akan saling
bergantian untuk menjadi data latih dan data uji.
Pengujian terhadap masing-masing subset
dilakukan terhadap mata kiri, mata kanan dan
gabungan mata kiri dan kanan. Pelatihan
terhadap gabungan mata kiri dan kanan
dilakukan terpisah pada citra mata kiri dan
kanan yang diambil secara bersamaan, lalu
menjumlahkan vote dari masing-masing
pasangan tersebut dimana interval data uji jatuh.
Nilai vote gabungan dari kelas yang memiliki
jumlah terbesar dipilih sebagai kelas dari data
uji. Hasil pengujian masing-masing data uji
pada setiap subset kemudian disimpan untuk
proses perhitungan akurasi.

Segmentasi
Tujuan dari segmentasi adalah untuk
mendapatkan koordinat pusat lingkaran dari
pupil mata pada citra. Untuk mendapatkan
koordinat tersebut, perlu dilakukan beberapa
tahapan yaitu thresholding, regioning dan
labeling serta pencarian nilai piksel pada pusat
lingkaran yang memiliki luas region terbesar.
Pada tahapan thresholding, dilakukan
pencarian terhadap piksel yang memiliki nilai
lebih rendah dari nilai threshold tertentu. Nilai
threshold didapat melalui persentase jumlah
piksel yang memiliki nilai < 100 terhadap total
piksel pada citra. Hal ini dikarenakan ada
perbedaan intensitas pencahayaan pada
pengambilan citra mata sehingga jika intensitas
pencahayaan rendah, maka nilai piksel
cenderung rendah. Begitu pula sebaliknya, jika
intensitas pencahayaan tinggi, nilai piksel akan
cenderung besar. Contoh hasil thresholding
pada citra dapat dilihat pada Gambar 7.

Perhitungan Akurasi
Perhitungan akurasi yang diperoleh oleh
algoritme VFI5 pada penelitian ini dilakukan
dengan cara :
(6)
Akurasi
menunjukkan
tingkat
penglasifikasian data secara benar terhadap
kelas sebenarnya. Semakin mendekati nilai
100% maka akurasi semakin baik.
Lingkungan pengembangan sistem
Proses
pengerjaan
penelitian
ini
menggunakan perangkat dan perangkat lunak
dengan spesifikasi sebagai berikut:
Perangkat keras berupa Notebook:
processor intel Pentium
@2GHz,
RAM kapasitas 1GB,

Dual-Core

(a)

(b)

Gambar 7 Segmentasi citra mata (a) sebelum
dilakukan segmentasi, (b) setelah
dilakukan segmentasi.
Sebelum dilakukan thresholding (Gambar
7a), rentang nilai piksel adalah 0 sampai 255
sedangkan setelah dilakukan thresholding
(Gambar 7b), rentang nilai piksel menjadi biner,
yaitu 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa
piksel tersebut ≤ threshold dan merupakan
bagian dari objek. Nilai 1 berarti piksel tersebut
memiliki nilai > threshold dan merupakan
background dari objek. Untuk memudahkan
dalam
perhitungan
selanjutnya,
nilai

6

background dan objek ditukar, sehingga
background bernilai 0 dan objek bernilai 1.
Setelah citra melalui tahap thresholding
seperti Gambar 7b, dilakukan labeling
menggunakan fungsi bwlabel pada Matlab.
Fungsi tersebut memberikan nilai 1 pada setiap
piksel yang memiliki jumlah konektivitas secara
vertikal atau horizontal sebanyak ≥ 4 atau ≥ 8
dengan tetangganya yang memiliki nilai yang
sama. Contoh kasus penggunaan bwlabel ada
pada Lampiran 2.
Hasil dari labeling adalah berupa region
yang memiliki indeks 1 sampai N, dengan N
adalah jumlah region yang terdeteksi oleh
fungsi bwlabel. Setelah itu dilakukan
perhitungan terhadap jumlah piksel yang masuk
ke dalam setiap region. Region yang kemudian
dipilih sebagai pupil adalah yang memiliki
jumlah piksel terbanyak. Sebagai ilustrasi pada
Gambar 8, region yang memiliki jumlah piksel
terbanyak adalah region dengan indeks 7. Piksel
yang memiliki indeks region selain 7 kemudian
akan dianggap sebagai background dan diberi
nilai 0 seperti terlihat pada Gambar 9.

dengan garis horizontal. Pencarian akan terus
berlangsung hingga menemukan kondisi ideal
di daerah tengah pupil.
Ilustrasi pencarian titik tengah pupil dapat
dilihat pada Gambar 10. Variabel x0 dan y0
adalah garis vertikal dan horizontal, sedangkan
x1, x2, y1, dan y2 adalah batas wilayah pupil.
Persimpangan antara garis vertikal dan
horizontal adalah koordinat pupil yaitu (x0, y0),
sedangkan diameter pupil didapat dari selisih
antara y2 dan y1 atau x2 dan x1. Selisih yang
terpanjang dianggap sebagai diameter pupil.
Jari-jari pupil didapat dari diameter pupil dibagi
dua.

Gambar 10 Ilustrasi pencarian koordinat pupil
Setelah koordinat titik pusat lingkaran pupil
dan jari-jarinya diketahui, wilayah collarette
yang kemudian digunakan untuk pengenalan
adalah hingga sejauh 20 piksel dari wilayah luar
lingkaran pupil. Ilustrasi wilayah iris tersebut
dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 8 Ilustrasi labeling di setiap region
pada citra mata yang telah diberi
threshold.

Gambar 11 Ilustrasi wilayah collarette.
Normalisasi

Gambar 9 Citra mata dengan region terbesar.
Tahap terakhir dalam proses segmentasi
adalah pencarian koordinat titik tengah pupil
dari citra yang telah dicari region terbesarnya.
Pencarian koordinat pupil dilakukan melalui
pengecekan antara persimpangan garis vertikal

Setalah titik pusat pupil dan jari-jari dari
setiap citra diketahui, perlu dilakukan
transformasi wilayah collarette ke dimensi yang
tetap. Hal ini dikarenakan jari-jari setiap citra
memiliki panjang yang berbeda walaupun citra
tersebut milik orang yang sama. Gambar 12
memperlihatkan dua citra dari orang yang sama
namun memiliki jari-jari yang berbeda. Gambar
12a memiliki jari-jari sebesar 57 piksel
sedangkan Gambar 12b memiliki jari-jari
sebesar 51 piksel. Tidak konsistennya dimensi
dapat menyebabkan ekstraksi ciri menjadi

7

kurang baik dan sukar untuk dilakukan
pembandingan dengan data lainnya (Masek
2003).

13b. Agar proses ekstraksi ciri menghasilkan
output yang lebih baik, maka nilai piksel yang
termasuk noise seperti yang ditandai di dalam
lingkaran pada Gambar 13b diubah nilainya
menggunakan rumus:
(7)

(a)

(b)

Gambar 12 Mata kiri orang ke-1 yang diambil
pada
waktu
berbeda
(a)
pengambilan
pertama
(b)
pengambilan kedua.
Wilayah collarette yang diambil adalah
sejauh 20 piksel ke arah luar dari jari-jari pupil.
Dengan pembagian sudut N sebanyak 240
sepanjang lingkaran pupil, maka akan
menghasilkan array yang berukuran 20 x 240
yang memiliki nilai sepanjang garis putih ke
arah luar dari batas lingkaran pupil pada seperti
Gambar 13a.

dengan
adalah nilai piksel setelah diubah
nilainya. Hasil citra yang telah diubah nilai
noise-nya akan tampak seperti Gambar 13c.
Noise yang terbentuk dapat berasal dari wilayah
pupil atau bulu mata yang ikut ternormalisasi.
Wilayah pupil ikut ternormalisasi dikarenakan
segmentasi yang kurang sempurna.
Feature Encoding
Citra yang telah dinormalisasi kemudian
diekstraksi cirinya menggunakan log-Gabor
filter. Karena citra yang telah dinormalisasi
berdimensi 20 x 240, maka akan dihasilkan
template yang memiliki dimensi 20 x 480
dengan rentang nilai biner, yaitu 0 dan 1.
Dimensi template tersebut kemudian diubah
menjadi ukuran 1 x 9600 yang kemudian
dijadikan fitur untuk proses pelatihan dan
pengujian
menggunakan algoritme VFI5.
Ilustrasi proses feature encoding dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Pelatihan dan Pengujian

(a)

(b)

(c)
Gambar 13 Proses normalisasi (a) ilustrasi
pengambilan
nilai
piksel
sepanjang garis putih ke arah luar
batas jari-jari pupil, (b) hasil
normalisasi dengan noise, (c)
hasil normalisasi dengan nilai
noise diubah.
Citra yang telah ditransformasikan ke dalam
koordinat polar tampak seperti pada Gambar

Proses pelatihan dan pengujian dilakukan
menggunakan algoritme VFI5 terhadap tiga
subset yang saling lepas dari data template mata
kanan, mata kiri dan gabungan keduanya sesuai
dengan 3-cross fold validation. Proses tersebut
dilakukan terhadap keseluruhan 9600 fitur yang
masing-masing memiliki dua EndPoints yaitu 0
dan 1 dan memiliki dua interval saja karena
data dari template yang terbentuk merupakan
data yang berupa point interval. Kemudian dari
masing-masing kelas pelatihan, dihitung vote
dari setiap fitur untuk digunakan pada tahap
pengujian dan dilakukan normalisasi agar
rentang nilainya berkisar 0 sampai 1.
Hasil pengujian yang benar dan salah pada
masing-masing subset dapat dilihat pada Tabel
2. Untuk hasil yang lebih lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 4 sedangkan untuk nilai vote
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Peringkat kemiripan dari setiap data uji
terhadap kelas yang ada dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Beberapa kesalahan terjadi dalam pengujian
kelas citra uji pada setiap subset. Tetapi, pada
pengujian terhadap data vote gabungan tidak
terdapat kesalahan dalam pengujian. Hal ini

8

dikarenakan nilai vote dari salah satu mata yang
memberikan nilai dominan dibandingkan nilai
mata yang lainnya. Sebagai contoh pada Tabel
3, saat dilakukan pengujian terhadap mata
kanan pada subset fold1, terdapat kesalahan
penglasifikasian kelas 2 menjadi kelas 8 (lihat
pada Lampiran 4). Nilai vote untuk kelas uji
dikenali sebagai kelas 2 dan kelas 8 berbeda
tipis sebesar 0.0003 namun karena nilai vote
untuk kelas 8 lebih besar, maka data uji akan
diklasifikasikan sebagai kelas 8. Penambahan
vote mata kiri memberikan nilai vote untuk
kelas 2 lebih besar karena pada mata kiri, nilai
vote untuk kelas 2 jauh lebih besar
dibandingkan untuk kelas 8 dengan selisih
sebesar 0.02 sehingga setelah penggabungan,
nilai kelas akan diberikan pada kelas 2. Hal ini
akan mengkoreksi kelas sebelumnya yang jatuh
pada kelas 8.

koordinat titik tengah pupil dinaikkan sebesar 2
piksel ke arah atas (Gambar 13b) secara
manual, citra tersebut dapat dikenali dengan
benar oleh sistem.

(a)

Tabel 2 hasil pengujian yang benar dan salah
subset
fold1

fold2

fold3

Wilayah
Mata
Kiri
Kanan
Gabungan
Kiri
Kanan
Gabungan
Kiri
Kanan
Gabungan

Klasifikasi Benar
28
29
30
28
27
30
30
28
30

Klasifikasi Salah
2
1
0
2
3
0
0
2
0

Tabel 3 Nilai vote data uji kelas 2 yang salah
diklasifikasi menjadi kelas 8 pada
fold1
Mata

Kelas

Kiri
2
Kanan
2
Total

Dikenali sebagai
kelas ke-(Nilai vote)
2
8
0,1150
0,0950
0,1046
0,1049
0,2196
0,1999

Penyebab kesalahan klasifikasi pada data uji
di antaranya dapat disebabkan oleh kesalahan
pada segmentasi data latih maupun data uji itu
sendiri. Gambar 14 menunjukkan ilustrasi hasil
segmentasi citra mata kiri orang ke-6 yang salah
diklasifikasikan menjadi kelas 10 pada subset
fold1. Hasil segmentasi dari citra orang tersebut
kurang sempurna karena koordinat titik tengah
pupil yang didapat sedikit terlalu bawah
sehingga cukup banyak wilayah pupil bagian
atas yang masuk sebagai wilayah iris dan
wilayah iris bagian bawah ada yang tidak
terambil (Gambar 13a). Namun setelah

(b)
Gambar 14 Ilustrasi wilayah iris (a) sebelum
modifikasi nilai titik tengah, (b)
setelah modifikasi.
Nilai vote sebelum dan sesudah modifikasi
nilai tengah pada citra mata kiri orang ke-6
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel
tersebut terlihat bahwa nilai vote data uji
terhadap kelas 6 lebih kecil dibandingkan kelas
10 sebelum dilakukan modifikasi nilai titik
tengah. Namun setelah dilakukan modifikasi,
nilai vote untuk kelas 6 menjadi lebih besar
dibandingkan dengan kelas 10 sehingga data uji
dikenali dengan benar.
Tabel 4 Nilai vote kelas 6 yang salah dikenali
menjadi kelas 10 pada fold1
Titik
Tengah
Pupil
Awal
Modifikasi

Dikenali Sebagai kelas ke(vote)
6
10
0,100
0,104
0,107
0,102

Ilustrasi lainnya dapat dilihat pada kesalahan
pengujian kelas 10 menjadi kelas 6 pada subset
fold1. Pada Gambar 15a terlihat bahwa data uji

9

telah tersegmentasi dengan baik, namun tetap
menunjukkan kesalahan pengenalan. Hal
tersebut disebabkan oleh data latih banyak yang
tidak tersegmentasi dengan baik seperti terlihat
pada Gambar 15b, sehingga template yang
terbentuk kurang baik dalam mengekstraksi ciri
dari citra tersebut.

pengujian. Abidin mendapatkan akurasi sebesar
92.6% menggunakan ekstraksi ciri Wavelet
transform pada level dekomposisi 3 dan
menggunakan jaringan syaraf tiruan propagasi
balik sebagai algoritme pelatihan dan pengujian.
Pada penelitian ini diperoleh akurasi sebesar
100% menggunakan ekstraksi ciri Log-Gabor
Wavelet satu dimensi dan algoritme VFI5
sebagai pelatihan dan pengujian terhadap
sepasang mata kanan dan kiri.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian
kesimpulan:
(a)

(b)
Gambar 15 Ilustrasi wilayah iris kelas 10 yang
salah diklasifikasikan pada fold1 (a)
citra uji, (b) citra latih.
Akurasi
Setelah seluruh citra uji pada masing-masing
subset melalui tahap pengujian, hasil kelas yang
diberikan pada masing-masing data uji tersebut
dicatat dan dihitung nilai akurasinya. Nilai
akurasi yang dihitung adalah pada masingmasing subset dan bagian mata. Hasil akurasi
yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Akurasi pengujian yang diperoleh
Subset
fold1
fold2
fold3
Rata-rata

Akurasi Bagian Mata (%)
Kiri
Kanan Gabungan
93,333 96,667
100
93,333 90,000
100
100,000 93,333
100
95,555 93,333
100

Perbandingan akurasi yang diperoleh pada
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Lampiran 7. Penelitian
Masek menghasilkan akurasi sebesar 99.9%
dengan menggunakan Log-Gabor Wavelet satu
dimensi sebagai metode ekstraksi ciri dan
Hamming
distances
sebagai
algoritme

ini

dapat

diperoleh

penelitian ini memberikan nilai akurasi
pengenalan iris mata rata-rata sebesar
95,555% untuk mati kiri, 93,333% untuk
mata
kanan
dan
100%
untuk
penggabungan vote kedua mata,
penggunaan
threshold
berdasarkan
proporsi jumlah piksel yang bernilai < 100
memberikan hasil segmentasi yang lebih
baik dibandingkan dengan penggunaan
threshold yang tetap,
kesalahan pengujian diakibatkan oleh
output titik pusat lingkaran pada proses
segmentasi tidak terpilih dengan baik,
yang mengakibatkan banyak wilayah
pupil yang ikut masuk ke dalam data
untuk ekstraksi ciri, sedangkan ada
sejumlah wilayah iris yang tidak masuk ke
dalam data tersebut.
Saran
Saran pada penelitian lebih lanjut adalah
dilakukan penyempurnaan proses segmentasi
dengan melakukan pergeseran titik pusat
lingkaran berdasarkan arah sudut wilayah noise
terhadap titik pusat awal.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin JAZ. 2011. Pengenalan Iris Mata
dengan Backpropagation Neural Network
Menggunakan Praproses Transformasi
Wavelet
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Bolesh WW, Boashash B. 1998. A
Human
Identification
Technique
Using Images of the Iris and Wavelet
Transform. IEEE Transactions on

10

telah tersegmentasi dengan baik, namun tetap
menunjukkan kesalahan pengenalan. Hal
tersebut disebabkan oleh data latih banyak yang
tidak tersegmentasi dengan baik seperti terlihat
pada Gambar 15b, sehingga template yang
terbentuk kurang baik dalam mengekstraksi ciri
dari citra tersebut.

pengujian. Abidin mendapatkan akurasi sebesar
92.6% menggunakan ekstraksi ciri Wavelet
transform pada level dekomposisi 3 dan
menggunakan jaringan syaraf tiruan propagasi
balik sebagai algoritme pelatihan dan pengujian.
Pada penelitian ini diperoleh akurasi sebesar
100% menggunakan ekstraksi ciri Log-Gabor
Wavelet satu dimensi dan algoritme VFI5
sebagai pelatihan dan pengujian terhadap
sepasang mata kanan dan kiri.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian
kesimpulan:
(a)

(b)
Gambar 15 Ilustrasi wilayah iris kelas 10 yang
salah diklasifikasikan pada fold1 (a)
citra uji, (b) citra latih.
Akurasi
Setelah seluruh citra uji pada masing-masing
subset melalui tahap pengujian, hasil kelas yang
diberikan pada masing-masing data uji tersebut
dicatat dan dihitung nilai akurasinya. Nilai
akurasi yang dihitung adalah pada masingmasing subset dan bagian mata. Hasil akurasi
yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Akurasi pengujian yang diperoleh
Subset
fold1
fold2
fold3
Rata-rata

Akurasi Bagian Mata (%)
Kiri
Kanan Gabungan
93,333 96,667
100
93,333 90,000
100
100,000 93,333
100
95,555 93,333
100

Perbandingan akurasi yang diperoleh pada
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Lampiran 7. Penelitian
Masek menghasilkan akurasi sebesar 99.9%
dengan menggunakan Log-Gabor Wavelet satu
dimensi sebagai metode ekstraksi ciri dan
Hamming
distances
sebagai
algoritme

ini

dapat

diperoleh

penelitian ini memberikan nilai akurasi
pengenalan iris mata rata-rata sebesar
95,555% untuk mati kiri, 93,333% untuk
mata
kanan
dan
100%
untuk
penggabungan vote kedua mata,
penggunaan
threshold
berdasarkan
proporsi jumlah piksel yang bernilai < 100
memberikan hasil segmentasi yang lebih
baik dibandingkan dengan penggunaan
threshold yang tetap,
kesalahan pengujian diakibatkan oleh
output titik pusat lingkaran pada proses
segmentasi tidak terpilih dengan baik,
yang mengakibatkan banyak wilayah
pupil yang ikut masuk ke dalam data
untuk ekstraksi ciri, sedangkan ada
sejumlah wilayah iris yang tidak masuk ke
dalam data tersebut.
Saran
Saran pada penelitian lebih lanjut adalah
dilakukan penyempurnaan proses segmentasi
dengan melakukan pergeseran titik pusat
lingkaran berdasarkan arah sudut wilayah noise
terhadap titik pusat awal.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin JAZ. 2011. Pengenalan Iris Mata
dengan Backpropagation Neural Network
Menggunakan Praproses Transformasi
Wavelet
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Bolesh WW, Boashash B. 1998. A
Human
Identification
Technique
Using Images of the Iris and Wavelet
Transform. IEEE Transactions on

10

PENGENALAN IRIS MATA DENGAN ALGORITME VOTING
FEATURE INTERVAL VERSI 5 MENGGUNAKAN EKSTRAKSI
CIRI LOG-GABOR WAVELET

MUHAMMAD ZAKI

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

vi

Signal Processing, Vol. 46, hlm.
1185-1188.
Daugman J. 2002. How iris Recognition
Works. IEEE International Conference on
Image Processing, Vol. 1, hlm: I-33-I36.

Based
on
Iris
Patterns.
15 t h
International Conference on Pattern
Recognition, Vol. 2, hlm: 801-804.

Demiröz
G.
1997.
Non-Incremental
Classification Learning Algorihms Based
on Voting Feature Intervals [Tesis].
Ankara:
Department
of
Computer
Engineering and Information Science,
Institute of Engineering and Science,
Bilkent University.
Demiröz G, Güvenir HA. 1997. Classification
by Voting Feature Intervals. Proceedings of
the 9th European Conference on Machine
Learning, Vol 1224, hlm: 85-92.
Demiröz G, Güvenir HA, Ilter N. 1998.
Learning
Differential
Diagnosis
of
Erythemato Squamous Diseases using
Voting Feature Intervals. Artificial
Intelligence in Medicine, Vol.13, hlm: 147165.
Gonzales RC, Woods RE, Eddins SL. 2003.
Digital Image Processing Using MATLAB.
Prentice Hall : Upper Saddle River, NJ.
Jain AK, Ross A, Prabhakar S. 2004. An
Introduction to Biometric Recognition.
IEEE Transactions on Circuits and
Systems for Video Technology, Vol.
14, hlm: 4-20.
Kohavi R. 1995. A study of cross-validation
and bootstrap for accuracy estimation and
model selection. Proceedings of the 14th
International Joint Conference on Artificial
Intelligence; Quebec, 20-25 Agu 1995, hlm
1137-1143.
Masek L. 2003. Recognition Iris Patterns for
Biometric
Identification
[Skripsi].