Local Leadership in Rural Era Decentralization: Study Leadership of Jawara in Tangerang Coastal Village

KEPEMIMPINAN ELIT LOKAL DI PEDESAAN PADA
ERA DESENTRALISASI
Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang

AHMAD TARMIJI ALKHUDRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kepemimpinan Elit Lokal di
Pedesaan pada Era Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir
Tangerang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Ahmad Tarmiji Alkhudri
NIM: I353100111

SUMMARY
AHMAD TARMIJI ALKHUDRI. Local Leadership in Rural Era
Decentralization: Study Leadership of Jawara in Tangerang Coastal Village.
Supervised by RILUS A. KINSENG and SAID RUSLI.
The research was motivated by the dynamics in the implementation of
regional autonomy at the grass roots. The dynamics of the open space and the
emergence of new growth of local institutions that enliven the democratization of
Indonesia during the past decade. One of them was a jawara who is an important
entity in the map of the history of Banten. Related to that, the purpose of this
study seeks to explain the political leadership of kejawaraan Tangerang on the
coastal communities. Above objectives outlined by the spirit of the analysis of the
implementation of regional autonomy in a more practical level. First, the context
of the historical, social, and networking of jawara in Tangerang Coastal Village.

Second, the leadership and the consolidation of power in Tangerang Coastal
Village of jawara who originally non-governing elite (the rulled class) a
governing elite (the rulling class). Third, leadership style, policy programs, and
leadership implications for the welfare of rural coastal communities in Tangerang.
Of these is expected to obtain a preliminary design of the implications of local
leadership in rural elites. In addition, the study sought to analyze and provide
solutions that are born of the implications inherent dynamics of leadership for the
creation of a new civic space in rural communities in coastal Tangerang.
The methodology in this study using the critical paradigm, qualitative research
methods to approach the case, by selecting one case in which the dynamics of
coastal rural development under the leadership of the new champion of the elite of
society. The data collection techniques using literature studies, field observations,
and in-depth interviews. The results showed that the jawara is a social entity of
the Banten. Jawara is a product of social struggle. The study also found that
social networking is to jawara the unity that binds the ties of kinship, seguruseelmu, cultural values, eclecticism, trusts, and mass organizations. Meanwhile,
the leadership style of jawara, in the context of the rural local village chief in
three areas of research, the results varied. Rsd, head of the village of Tanjung
Burung tend to display an authoritative style. Gnwn, head of the village of
Tanjung Pasir located at the intersection of exploitative-authoritative style.
Meanwhile, Spr have authoritative consultative leadership style. Implications of

leadership of jawara on one side open and egalitarian attitudes inkusif growth in
managing government. On the other hand showed spontaneous attitude and proinstant capitalists who, in turn, led to the marginalization of the community.
Keywords: autonomous decentralized, leadership of Jawara, and rural

RINGKASAN
AHMAD TARMIJI ALKHUDRI. Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada
Era Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang. Dibimbing
oleh RILUS A. KINSENG dan SAID RUSLI.
Penelitian ini dilatari oleh adanya dinamika dalam implementasi otonomi
daerah di akar rumput. Dinamika tersebut membuka ruang baru tumbuh dan
bermunculannya institusi-institusi lokal yang meramaikan demokratisasi
Indonesia dalam kurun satu dasawarsa terakhir. Salah satunya ialah jawara yang
merupakan entitas penting dalam peta sejarah Banten. Terkait hal itu, tujuan
penelitian ini berusaha untuk menjelaskan kepemimpinan politik kejawaraan pada
masyarakat pesisir Tangerang.
Tujuan di atas dijelaskan melalui semangat dalam analisa implementasi
otonomi daerah pada tataran yang lebih praksis. Pertama, konteks historis, sosial,
dan jaringan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang. Kedua, kepemimpinan dan
konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang yang semula non
governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class).

Ketiga, gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan
terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang. Dari ketiga hal
tersebut diharapkan dapat diperoleh desain awal tentang implikasi kepemimpinan
elit lokal di pedesaan. Selain itu, penelitian ini berusaha menganalisa dan
memberikan solusi dari implikasi bawaan yang dilahirkan dari dinamika
kepemimpinan tersebut terhadap terciptanya ruang kewargaan baru pada
masyarakat pedesaan di pesisir Tangerang.
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan paradigma kritis, metode
riset kualitatif dengan pendekatan kasus, yaitu dengan memilih satu kasus di
wilayah pedesaan pesisir yang dinamika pembangunannya di bawah
kepemimpinan jawara sebagai elit baru masyarakat. Adapun teknik pengumpulan
data menggunakan kajian kepustakaan, observasi lapangan, dan wawancara
mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jawara merupakan entitas sosial dari
masyarakat Banten. Jawara adalah produk pergumulan sosial. Penelitian ini juga
menemukan bahwa jejaring sosial yang mengikat kesatuan jawara ialah ikatan
kekerabatan, seguru-seelmu, nilai budaya, eklektisisme, trust, dan organisasi
massa. Sementara itu, gaya kepemimpinan jawara, dalam konteks lokal pedesaan
yang menjadi kepala desa di tiga wilayah penelitian, hasilnya variatif. Rsd, Kepala
Desa Tanjung Burung cenderung menampilkan gaya otoritatif. Gnwn, Kepala

Desa Tanjung Pasir berada pada persinggungan gaya eksploitatif-otoritatif.
Sementara itu, Spr memiliki gaya kepemimpinan otoritatif-konsultatif. Implikasi
dari kepemimpinan jawara di satu sisi membuka tumbuhnya sikap egaliter dan
inkusif dalam menata pemerintahan. Di sisi lain menunjukkan sikap spontaninstan dan pro pemodal yang pada gilirannya memunculkan marginalisasi
masyarakat.
Kata kunci: otonomi-desentralisasi, kepemimpinan jawara, dan pedesaan

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KEPEMIPINAN ELIT LOKAL DI PEDESAAN PADA
ERA DESENTRALISASI
Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang


AHMAD TARMIJI AKHUDRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Lala M. Kolopaking, Ph.D

Judul Tesis

Nama

NIM

: Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era
Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir
Tangerang
: Ahmad Tarmiji Alkhudri
: I.353100111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Ketua

Ir. Said Rusli, MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 4 Maret 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dharul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT. Puja-puji, yang
terungkap dan tak terungkap lewat bahasa, baginya yang membuat lembaranlembaran ini hadir ke dunia, dan selaksa lipat aksara yang tertatah di dalamnya.
Shalawat dan salam semoga tercurah untuk utusan-Nya, Rasulullah Muhammad
SAW., keluarga, sahabatnya, juga kita semua. Aamiin.
Selaur garis panjang, terlalu panjang malah, sudah terlewati. Seperti
laiknya, ketika perjalanan menyusur sebuah garis telah tiba di satu titik, dan harus

digores lagi sebuah garis baru untuk dijelajah, selalu terbetik bermacam rasa yang
terpadu: bangga, bahagia, dan haru, tapi juga galau, gelisah, dan sendu. Maka, tak
ada pilihan selain menegak-negakkan kepala dan menegap-negapkan langkah saat
meninggalkan garis yang penuh jejak dan kenangan, dan memulai segores garis
yang perawan dan menantang. Pun tak tersedia pilihan kecuali memberaniberanikan hati, meneguh-neguhkan semangat, dan meyakin-yakinkan diri bahwa
bekal yang dipulung senyampang perjalanan silam niscaya berguna di
petualangan mendatang.
Dalam perjalanan yang terlalu panjang menuju titik ini, tesis ini, ada
banyak tangan yang menuntun, ada banyak kaki yang mengantar, ada banyak
telinga yang mendengar, ada banyak mulut yang menghibur, ada banyak hati yang
mengerti. Ucapan terima kasih, betapapun ditatah dengan aksara emas, atau katakata berhias, takkan pernah membayar semuanya dengan lunas dan tuntas. Tapi
hanya kata sederhana inilah yang bisa diberikan, beserta seuntai doa tulus nan
bersahaja: Dia Yang Tak Buta dan Tak Pelupa yang akan mengganjar dengan
selaksa kali, saat ini dan nanti.
Terima kasih ini, penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu
memudahkan penyusunan tesis ini. Untuk Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.
Agr., (Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan), Dr. Ir. Lala M. Kolopaking (Penguji).
Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Rilus A. Kiseng, MA., dan Ir. Said Rusli, MA, yang
telah memberikan bimbingan, memberikan nasehat, meminjamkan bahan-bahan
referensi, dan motivasi yang tak mengenal ruang, batas, dan waktu. Dengan tulus

kepada keduanya, penulis ucapkan banyak terima kasih seraya memohonkan
kepada Allah SWT agar diberikan balasan kebaikan, ketulusan dan keikhlasan
yang telah dicurahkan selama ini. Selanjutnya, untuk seluruh dosen Program Studi
Sosiologi Pedesaan, Departemen SKPM, Dekanat, serta seluruh sivitas akademika
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan
kemudahan selama masa-masa perkuliahan, penulis haturkan terima kasih.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya terutama kepada Dr. Komarudin, M.Si (Dekan FIS-UNJ), Dra.
Evy Clara. M.Si, Dr. Eman Surachman, MM., Dian Rinanta Sari, S.Sos.
(Pimpinan Jurusan Sosiologi, FIS-UNJ), Dr. Muhammad Zid, M.Si. dan Asep
Suryana, M.Si., yang telah banyak membantu memberikan nasehat, arahan, dan
spirit untuk studi S2.
Tak lupa juga untuk para informan, aparatur pemerintah, tokoh, dan
masyarakat di tiga desa penelitian, penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih
juga untuk sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan 2010, pemicu gagasan dan
pemacu semangat, kebersamaan kita walaupun singkat tapi sangat berarti. Kepada

para pustakawan Perpustakaan IPB, FEMA, DOKIIS; Pustakawan Labsosio UNJ;
Perpustakaan Nasional; Perpustakaan LIPI; Perpustakaan FISIP-UI; Perpustakaan
Somantri Brodjonegoro; yang sangat banyak menyediakan dan menyumbangkan

berbagai bahan bacaan.
Dan, akhirnya untuk Ayahanda dan Ibunda, dua kaki yang menopang
paling kokoh, dua tangan yang menuntun paling lembut, dan dua hati yang
mengerti paling dalam. Juga untuk Teh Subaikah dan Teh Kokom, keduanya
adalah tangan-tangan yang membukakan mata bahwa belajar dan belajar adalah
kebutuhan asasi dalam hidup. Dan, untuk kemenakanku Kiki, Fachri, dan si kecil
Zahira, yang beranjak besar dan mulai belajar terbang. Terima kasih atas semua
yang telah diberikan selama perjalanan hidup ini.
Untuk pamungkas prakata ini, Milan Kundera pernah berujar bahwa
menjadi penulis bukanlah untuk mengkhutbahkan kebenaran, namun untuk
menggali dan menemukan kebenaran, kendati hanya seserpih. Maka, melalui tesis
ini ku gali dalam-dalam kebenaran tersebut. Namun, tesis ini bukanlah tanpa
cacat, kekurangan sejatinya sudah pasti ada. Oleh karena itu, “Jika aku sesat,
maka kesesatan itu buat diriku sendiri, dan jika aku terpimpin, maka itulah wahyu
dari Tuhanku. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Dekat (QS. Saba‟:
50)”
“Wamataufiqi illa billah, ilaihi tawakkaltu wa ilaihi unibu” (hanya kepada
Allah kami memohon taufik, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri dan
kembali).
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

Ahmad Tarmiji Alkhudri

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR DAN BOX
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

xiii
xiv
xiv
1
1
3
4
5

TINJAUAN PUSTAKA
6
Memahami Jawara: dari non Governing Elite menjadi Governing Elite
6
Gaya Kepemimpinan
9
Demokratisasi di Pedesaan dan Politik Kekerabatan/Keluarga
11
Kajian-Kajian Tentang Jawara (Local Strongmen): Mengawali Kritik,
Menemukan Signifikansi Penelitian
12
Kerangka Konseptual
15
METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma, Pendekatan, dan Metode Penelitian
Lokasi, Waktu, dan Tahapan Periodeisasi Penelitian
Peran Peneliti
Informan Penelitian
Fokus Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data
Strategi Validasi Temuan Penelitian

16
16
17
18
18
19
21
22

PESISIR TANGERANG DALAM POTRET TIGA DESA
Pengantar
Deskripsi Sosiografis dan Geopolitik Kewilayahan
Karakteristik Kultur dan Pendidikan Masyarakat Pesisir
Potensi SDA dan Sosial-Ekonomi Pesisir
Pesisir Tangerang dalam Transisi dan Tarik-Menarik Kepentingan Jakarta
– Banten
Ikhtisar

23
23
24
27
31

MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI
TANGERANG: Dialektika Budaya Lokal Banten-Betawi-China
Pengantar
Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir
Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi
Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran
Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi –
Desentralisasi
Ikhtisar

34
36
37
37
37
43
44
47
51

KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI KEKUASAAN JAWARA
PESISIR
Pengantar
Sumber Kekuasaan dan Ideologi Politik Jawara
Strategi Politik Jawara: Pragmatisme dalam Balutan Golok, Putaran
Tasbih, dan Kepentingan Corporate
Mengkonsolidasikan Pemerintahan
Ikhtisar

52
52
52
55
59
61

GAYA, KEBIJAKAN, DAN IMPLIKASI KEPEMIMPINAN JAWARA
PESISIR
Pengantar
Gaya Kepemimpinan dan Kebijakan Jawara Pesisir
Persepsi Masyarakat
Implikasi Kepemimpinan Jawara
Ikhtisar

63
63
63
64
66
72

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

74
74
75

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

76
80
85

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Tabel 4.10
Tabel 4.11
Tabel 4.12
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9
Tabel 6.1
Tabel 6.2
Tabel 6.3
Tabel 6.4
Tabel 6.5
Tabel 6.6
Tabel 7.1
Tabel 7.2
Tabel 7.3
Tabel 7.4
Tabel 7.5
Tabel 7.6

Empat Jenis Gaya Kepemimpinan
Informan Penelitian
Kontekstualisasi Fokus Penelitian
Kompisisi Penduduk Pesisir Teluk Naga
Tingkat Pendidikan Masyarakat Pesisir Teluk Naga
Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Teluk Naga
Fasilitas Pendidikan
Karakter Masyarakat Pesisir
Pembangunan Sosial dan Ekonomi
Infratruktur dan Sanitasi
Sarana Kesehatan
Jenis Tangkapan Ikan
Tangkapan Dominan
Kalender Musim Penangkapan Ikan
Sumber Potensi Pesisir
Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan
Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli
Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif
Konstruksi jawara atribut/symbol
Konstruksi jawara psikologi mitos
Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga
Grup Kondangan
Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang
Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan
Politik Formal
Potret Politik Kekerabatan/Keluarga
Praktik Sosial Pragmatisme Jawara
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa)
Tanjung Burung
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa)
Tanjung Pasir
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa)
Muara
Pencitraan Elit Jawara (Kepala Desa) di Tiga Desa
Penguasaan Aset Pesisir oleh Pemodal dalam Kuasa
Kepemimpinan Jawara
Kebijakan Kepemimpinan Jawara di Teluk Naga
Persepsi Stakeholders Pesisir Terhadap Kepemimpinan Elit
Jawara
Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Kepemimpinan
Pandangan Keluarga Miskin Tentang Pendidikan dan FaktorFaktor Penghambatnya
Kredensialisme Pendidikan Per Tahun

10
19
19
27
28
28
29
30
31
31
31
32
33
33
33
42
42
42
42
42
45
46
48
50
53
56
59
60
60
61
63
64
64
66
71
72

DAFTAR GAMBAR DAN BOX

Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 4.1
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 6.1
Gambar 7.1
Gambar 7.2
Gambar 7.3

Box 5.1
Box 5.2
Box 6.1

Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi
Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi
Kerangka Konseptual Tesis
Peta Teluk Naga
Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong
Potret Pesta Hajatan di Pedesaan
Faktor-Faktor yang Mempersatukan
Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten
Peta Kepemimpinan Jawara dari Propinsi – Pedesaan
Pola Hubungan Patronase Jawara Pesisiran
Potret Marginalisasi Masyarakat Pesisir Teluk Naga
Kapitalisasi Lahan Tambak
Potret SMP BKP Tanjung Burung (Salah Satu Wilayah
Penelitian)

7
8
15
26
45
47

Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga
Beberapa Mantra Jawara
Sketsa Terpilihnya Rsd

38
39
53

48
51
54
67
68
72

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3

Lima Konstruksi Sosial Jawara
Persepsi Masyarakat Pesisir
Gambar-Gambar Penelitian

80
82
84

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran baru
dalam konteks ketatanegaraan dan pembangunan nasional di Indonesia.
Pembangunan yang pada masa Orde Baru mengusung sentralisasi bergeser
menjadi desentralisasi. Momentum otonomi daerah yang dilegalisasi melalui UU
No. 32 Tahun 2004 menjadi tonggak peralihan kebijakan tersebut. Dari sinilah
kemudian agenda pembangunan nasional yang diidealisasikan mengakar ke
bawah, mengedepankan kearifan lokal dan mengusung kepentingan masyarakat
disemaikan. Dalam konteks ini pembangunan daerah diarahkan untuk
kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Dalam perjalanannya saat ini, kebijakan otonomi daerah yang sudah
memasuki lebih dari satu dasawarsa telah memunculkan dialektika pembangunan
nasional. Struktur sosial dan organisasi sosial birokrasi ketatanegaraan berubah,
terdistribusikan dari pusat ke daerah. Kepemimpinan politik pun sudah berpindah
dari pusat menuju daerah. Namun, pertanyaannya sudahkah implementasi dari
otonomi daerah dengan kebijakan desentralisasinya tersebut mampu
mengintrodusir pembangunan yang berkeadilan. Sudahkah kebijakan tersebut
menyejahterakan masyarakat atau hanya memindahkan kekuasaan plus
kesejahteraan elit dari tingkat pusat ke raja-raja kecil di daerah. Kedua pertanyaan
tersebut menjadi proposi penting yang sering muncul dalam wacana dan
penelitian tentang demokratisasi-desentralisasi, yang dalam kurun 2005-2007
melalui Pilkada telah berlangsung 282 kali pemilihan kepala daerah di tingkat
kabupaten/kota (Sudiarto: 2011).
Terkait hal itu, mengutip beberapa penelitian, seperti Abrori (2003), Choi
(2007), Buehler (2007), Yusoff (2010), dan Alamsyah (2010) menjelaskan bahwa
desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru telah memunculkan “orang-orang
kuat lokal”. Mereka memasuki berbagai aspek kehidupan di daerah dan memberi
pengaruh signifikan terhadap perubahan di tingkat lokal. Dalam konteks ini,
kebijakan otonomi-desentralisasi tidak hanya membuka ruang baru bagi sirkulasi
elit lokal dalam kancah politik pembangunan saat ini, namun juga mempengaruhi
munculnya oligarki kekuasaan dan politik kekerabatan/ kekeluargaan di dalam
ruang demokratisasi. Salah satu elit lokal yang menjadi “orang kuat lokal”
tersebut adalah “jawara”.
Kemunculan jawara sebagai elit lokal memiliki sejarah sendiri dan selalu
berupaya untuk beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang
berubah-ubah. Menurut Ekadjati (1995: 223-224) kemunculan jawara sebagai elit
lokal tak lepas dari sifat legendaris dan kharismatis yang melekat pada diri jawara
yang lambat laun menjadikan kelompok masyarakat ini dipandang sebagai sebuah
lembaga adat dan mereka dipandang sebagai kelompok elit dalam stratifikasi
sosial masyarakat Banten (Ekadjati, 1995: 223-224). Sebagai kelompok sosial
yang telah dipandang menjadi sebuah elit lokal, tentunya kelompok jawara
memiliki sumber kekuasaan. Dalam konteks budaya lokal, sumber kekuasaan

2

yang dimiliki jawara dapat menjadi faktor integrasi dan dapat pula menjadi faktor
konflik. Keduanya tidak dapat dilepaskan dari empat hal, yakni kesaktian,
keberanian, kepemimpinan informal, dan perintah (Sunatra, 1997: 217).
Dalam konteks kekinian, sumber kekuasaan Jawara tidak hanya ditentukan
dan identitik dengan kesaktian semata, namun dapat juga berupa pengakuan
simbolisasi identitas kejawaraan dan faktor penguasaan ekonomi, termasuk di
dalamnya penguasaan jaringan, dan posisi-posisi penting dalam bidang bisnis.
Alamsyah (2010) dalam kajiannya tentang Bantenisasi Demokrasi menguraikan
bahwa dominasi kekuasaan politik Jawara di Serang telah menjadi kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial yang khas. Dari tingkat propinsi hingga desa-desa
kekuasaan pemerintahan didistribusikan dan dipegang oleh jawara. Identitas
jawara menjadi instrumen dan ciri penting dari peta politik demoktatisasi lokal
yang tumbuh di Banten pasca-Soeharto. Dalam konteks ini menurut Alamsyah
(2010) telah terjadi proses polarisasi Bantenisasi kekuasaan politik jawara.
Sementara itu, kajian Hidayat (dalam Nordholt dan Klinken 2009: 267303) berupaya menjelaskan kekuasaan dari keluarga X (penguasa Banten),
menguraikan bagaimana keluarga ini meraih dan mengkonsolidasikan
kekuasaannya pasca-Soeharto. Kombinasi antara jaringan sosial, politik uang,
intimidasi, penguasaan atas proyek-proyek pembangunan pemerintah adalah
beberapa faktor yang memungkinkan keluarga X dapat meraih dan
mengkonsolidasikan kekuasaannya. Tuan Besar, begitu istilah yang diberikan
Hidayat untuk orang paling berkuasa dalam keluarga X, berperan besar dalam
mengendalikan sepak-terjang keluarga ini. Tuan Besar tak memiliki kekuasaan
formal – non governing elite, tetapi ia berperan penting dalam mengendalikan
pemerintahan lokal di belakang layar, yang dikonseptualisasikan Hidayat sebagai
shadow-state (Hidayat dalam Nordholt dan Klinken 2009: 303).
Kajian lainnya dilakukan oleh Abrori (2003), yang menjelaskan bahwa
Keberadaan jawara sebagai elit sosial berpengaruh dan cenderung mendukung
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Orientasi politik jawara
memperlihatkan perilaku yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Untuk itu,
mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka. Pengejaran
nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena
mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan
politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah
dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah, dan kepala
desa (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan
tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural.
Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan
dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat
patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Jawara pun
berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan
militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan
bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional,
penguasaan
pada
lembaga-lembaga
strategis,
legitimasi
struktural,
patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan
jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal.
Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembagalembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang

3

berseberangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis. Kekuasaan
yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan
persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem
pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat
dukungan dari mitra-mitranya, juga karena pola interaksi yang mereka
kembangkan adalah model patrimonial di mana ketua jawara diakui sebagai
patronnya. Dengan model ini, upaya kontrol (pengawasan) terhadap lembagalembaga berseberangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif
karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk
memobilisasi massa yang mereka miliki. Dengan sistem pemerintahan yang
menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan
demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada
tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah memunculkan terjadinya
decivilisasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak
tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya.
Dari beberapa kajian tersebut, terdapat beberapa “kekosongan analisa”
yang menjadi celah dan titik signifikansi kebaruan kajian ini. Baik Alamsyah,
Hidayat, maupun Abrori, pertama, gagal melihat aspek-aspek kesejarahan jawara
secara komprehensif, di mana akar keberadaan jawara berada di pedesaan dan
salah satunya berawal dari pesisir. Kedua, dalam penelusuran penulis hampir tidak
ada satupun literatur mengkaji tentang elit jawara di pesisir Tangerang – padahal
kejawaraan di Tangerang memiliki ciri yang unik antara persinggungan budaya
Banten, Betawi, dan China. Ketiga, Alamsyah, Hidayat, dan Abrori fokus melihat
kepemimpinan jawara pada konteks makro, dan meninggalkan analisis pada
konteks mikro. Keempat, pilihan wilayah pesisir menjadi penting sebab
masyarakat pesisir merupakan kelompok yang paling marginal sekaligus
merupakan basis massa jawara.
Keempat hal di atas menjadi poin penting yang signifikan dan relevan
untuk dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, pada titik inilah, tulisan ini
bermaksud untuk mengisi “kekosongan-kekosongan kajian dan analisa” tentang
kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang pada masa desentralisasi,
seperti yang nampak kosong pada kajian Alamsyah, Hidayat, dan Abrori.

Permasalahan Penelitian

Secara empiris pedesaan pesisir merupakan ruang sosial yang signifikan
pada era desentralisasi sebagai lokus kajian sosiologi pedesaan. Terlebih lagi bagi
pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan pinggiran dari kawasan metropolitan
Jakarta. Keberadaannya tidak hanya dilihat dari potensi sumberdaya alam yang
dimiliki, tetapi juga dilihat sebagai instrumen politik negara. Pada posisi ini secara
keseluruhan, ruang sosial pesisir Tangerang memiliki dinamikanya yang
mendalam sebagai produk kontestasi negara, pasar, dan masyarakat yang menetap
di area tersebut. Dalam konteks ini, peran signifikan desentralisasi-otonomi
pesisir berkelitkelindan dengan dinamika kepemimpinan kuasi pemerintahan
lokal, elit lokal, dan kemunculan orang kuat lokal dalam hal ini “Jawara”.

4

Kekuasaan jawara sebagai orang kuat lokal dalam prosesnya hadir dan
beradaptasi dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik. Otoriterianisme dan
industrialisasi (pembangunan) menjadi titik penting yang mengubah posisi jawara
dari sekedar buruh, petani, petambak, nelayan, dan penjaga keamanan (security
informal), non pemerintahan (non-governing), kelas yang dikuasai (the rulled
class) menjadi kepanjangan tangan rezim yang hidup dari rente proyek-proyek
pemerintah dan pemodal swasta. Pola relasi sosial jawara dengan jaringannya dari
patron-klien menjadi hubungan fungsional yang kemudian bersifat pragmatisopportunis. Dengan posisinya tersebut, pada masa otoritarianisme jawara dan
keturunannya mengakumulasi beragam sumberdaya yang dimilikinya tersebut
sebagai modal untuk meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pada masa
desentralisasi.
Sumber kekuasaan jawara diperoleh melalui basis ekonomi, di samping
pola lama yaitu melalui kharisma/citra, keturunan, dan jaringan yang disesuaikan
dengan iklim demokrasi-desentralisasi. Karena tumbuh dan ditopang oleh rente
dari proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta, maka kekuasaan jawara lebih
banyak ditujukan untuk menguasai sektor-sektor strategis dan melayani pemodal.
Posisi yang strategis tersebut dalam konteks geopolitik Tangerang semakin
menjadikan posisi jawara kian mapan dan signifikan. Dalam kenyataan ini, politik
pembangunan dan kebijakan jawara sebagai pemimpin di pedesaan pesisir
Tangerang perlu ditinjau dan di analisa. Apakah kedekatannya dengan pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan pemodal membawa perbaikan dan signifikansi bagi
pembangunan masyarakat pesisir Tangerang, atau sebaliknya politik
pembangunan semakin membuat masyarakat pesisir tak berdaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian ini:
1. Bagaimana konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di Pedesaan
Pesisir Tangerang?
2. Bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya
kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir
Tangerang yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi
governing elite (the rulling class)?
3. Bagaimana gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi
kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir
Tangerang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka
tujuan yang akan dicapai penelitian ini ialah:
1. Mengkaji konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di pesisir
Tangerang;
2. Menganalisa kemunculan kepemimpinan jawara yang semula non
governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling
class);

5

3. Mengkaji gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi
kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir
Tangerang.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan atau signifikansi dari penelitian ini secara umum diharapkan
dapat menambah khasanah keilmuan tentang dinamika otonomi daerahdesentralisasi yang ternyata mampu membuka ruang bagi munculnya
kepemimpinan entitas lokal “jawara” menjadi elit baru dipanggung demokratisasi
Indonesia. Dinamika otonomi-desentralisasi ini secara lebih kongkret akan dilihat
dari kepemimpinan dan politik pembangunan yang dilakukan oleh Jawara dalam
setting desa – memiliki pengaruh signifikan bagi berlangsungnya hegemoni
jawara di Banten – tingkat propinsi. Selain itu, secara khusus tulisan ini dapat
menjadi bahan diskusi tentang:
a. Kajian awal mengenai kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir
Tangerang.
b. Sudut pandang otonomi daerah-desentralisasi dan ruang sosial pedesaan
pesisir Tangerang yang merupakan penyangga ibukota Jakarta, menjadi
kekhasaan dialektika kejawaraan di Tangerang dalam tarik-menarik
kontestasi Negara (Jakarta) dan Banten.
c. Membaca dan memahami realitas sistem bantenisasi birokrasi yang
berwajah oligarki-monarkhi kejawaraan dan politik kekerabatan, yang
ironisnya hadir dalam ruang demokratisasi Indonesia.
d. Membangun tesis tentang adanya gejala theatrical leadership
(kepemimpinan teater) di pedesaan pesisir Tangerang khususnya, dan
Banten pada umumnya. Teathrical leadership ialah suatu epifenomena di
mana dalang kepemimpinan adalah orang tua; tokoh utamanya sebagai
pemimpin adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, panggungnya
adalah desa, banten; penulis skenarionya para pemodal; sementara rakyat
sebagai pemilih adalah penonton; sistem politiknya, politik
keluarga/kekerabatan; pemerintahannya, oligarki; dan demokrasinya,
demokrasi kontekstual/bantenisasi demokrasi.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Memahami Jawara: dari Non Governing Elite menjadi Governing Elite

Jawara merupakan entitas penting dalam sejarah dan realitas masyarakat
Banten. Jawara sering diidentikkan sebagai seorang yang memiliki keberanian,
agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), dan terbuka/blakblakan (Hudaeri, 2002: 2). Versi tentang munculnya jawara beragam, pertama
sebutan jawara hadir pada masa kerajaan Sunda. Kedua, ada yang mengatakan
bahwa kelompok jawara itu muncul seiring dengan berdirinya Kesultanan Banten
tahun 1552 (Halwany dan Chudari, 1993: 69-70; Sunatra, 1997: 184). Ketiga,
jawara merupakan organisasi tukang pukul, yang awalnya berasal dari istilah orok
lanjang “bayi menjelang dewasa” (Ekadjati, 1995: 223).
Keempat, kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka adalah golongan yang
dilahirkan oleh Kiayi yang kemudian disebut jawara (Sunatra, 1997: 185).
Kelima, pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 memaknai jawara sebagai
kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara
dipersamakan dengan kelompok “bandit sosial”. Istilah ini disematkan kepada
orang-orang yang mengacau dan memberontak terhadap pemerintah Kolonial
Belanda terutama pada masa Daendels (Sunatra, 1997: 180-181). Keenam, dalam
perkembangan selanjutnya, jawara diartikan sebagai orang yang berani merampok
(jalma wani rampog) atau pembohong atau penipu (jalma wani rahul)
(Kartodirdjo, 1984: 43).
Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Banten. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu
memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk
mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik.
Bahkan kemudian, ada yang menggunakan istilah bandit lokal untuk
menggambarkan betapa citra jawara itu begitu negatif. Buruknya citra jawara
mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif
kaum jawara dengan mengemukakan bahwa bahasa kirata jawara itu adalah
jagoan yang berani tetapi ramah (jalma wani ramah). Mereka sebenarnya
pelindung masyarakat pedesaan dan sangat patuh kepada kaum ulama. Mereka
tidak melakukan kejahatan untuk keuntungan dirinya sendiri, karena jawara
bukanlah pencuri atau perampok (Adimihardja dalam Sunatra, 1997: 181).
Keenam versi tentang jawara di atas menjadi penanda dialektika Jawara.
Pun demikian menjadi proses periodeisasi eksistensi jawara. Era Kerajaan Sunda,
Kesultanan Banten, dan Pra kemerdekaan, jawara dan segala atributnya dicitrakan
sebagai pejuang rakyat. Era awal kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru citra
jawara mengalami pasang surut dan terdikotomikan antara negatif dan positif.
Dalam dua periodeisasi tersebut posisi jawara adalah sebagai kelas yang dikuasai
(the rulled class) dan non-governing class.

7

Gambar 2.1 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi

Penguasa
(The Rulling Class)

Yang dikuasai
(The Rulled Class)

Elit Penguasa

Kaum Jawara

Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar

Momentum otonomi daerah menjadi titik balik pemanfaatan perbaikan
citra jawara di mata masyarakat. Pemberlakuan sistem otonomi daerah yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 membuka ruang baru bagi
sirkulasi politik kejawaraan di daerah. Menurut pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya,
pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” (UUD 1945, pasal 18).
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi otonomi
daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”

Terbukanya peluang dan ruang sosial politik pada era otonomidesentralisasi seperti nampak dalam penjelasan di atas membuka kesempatan
Jawara untuk mengisi dan mengkonsolidasikan kekuatan politik di daerah dan
pedesaan. Pada periodeisasi desentralisasi ini posisi sosial Jawara daerah dan
pedesaan naik menjadi kelas elit, kelas penguasa (the rulling class), dan
governing class.

8

Gambar 2.2 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi

Penguasa
(The Rulling Class)

Yang dikuasai
(The Rulled Class)

Elit Jawara

Masyarakat/Rakyat

Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar

Menurut Pareto, yang disebut dengan elit adalah sekelompok kecil
individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat
kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto menggolongkan
masyarakat ke dalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite).
Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang
memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing
elite). Pareto menjelaskan antara governing elite dan non-governing elite
senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga
terjadilah sirkulasi elit. Setiap elit yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila
secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi
sirkulasi elit akan tetap berjalan karena secara individual baik elit keturunan
maupun elit yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai
dengan waktu dan sebab-sebab biologis (Varma, 2007: 204).
Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk
apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah (the rulling
class) dan kelas yang diperintah (the rulled class). Kelas yang memerintah
memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari
kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan
kekerasan (Varma, 2007: 206-207). Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai
kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat.
Definisi ini kemudian didukung oleh Robert Michel (dalam Niel, 1984: 35) yang
berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan.
Sementara itu, bila merujuk pada dasar pandangan Weber, transformasi
kedudukan jawara dari the rulled class menjadi the rulling class – istilah Mosca
atau dari non governing elite menjadi governing elite – istilah Pareto, tentunya
meniscayakan terjadinya transformasi otoritas atau kedudukan jawara. Kedudukan
jawara yang semula bersifat karismatik-tradisional mengalami pergeseran ke arah
legal-formal.1 Pergeseran dipengaruhi oleh terbukanya ruang politik desentralisasi
1

Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih
ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis.
Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu:
adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide

9

yang terjadi di masyarakat. Dalam posisi ini, jawara mampu memanfaatkan basis
massa untuk melakukan konsolidasi politik dengan memainkan keran kekuasaan
dan gaya kepemimpinan politiknya.2 Realitas inilah yang menjadi sisi menarik
dari dinamika demokrasi Indonesia saat ini.

Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan muncul dalam wujud kemampuan untuk memimpin,
mengajak dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian
tujuan tertentu. Menurut Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2006) kepemimpinan
merupakan proses sosial yang diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan
seseorang atau badan untuk menggerakan warga masyarakat. Dengan demikian
kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakan orang
lain untuk mencapai suatu tujuan. Selain sebagai proses sosial, Koentjaraningrat
(dalam Komarudin, 2011: 60) memberi pengertian kepemimpinan sebagai
kedudukan. Dalam konteks ini kepemimpinan merupakan suatu kompleksitas dari
sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseoarang atau badan.
Menurut Locke (1997) konsepsi kepemimpinan terkait pada tiga hal
utama, yaitu: Pertama, kepemimpinan menyangkut „orang lain‟, bawahan atau
pengikut, kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika
tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua
kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung
makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka. Kedua,
kepemimpinan merupakan suatu „proses‟. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti
melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi
otoritas. Walaupun posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong
proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk
membuat seseorang menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus „membujuk‟
yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa
seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta
adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Konsep otoritas
tradisional bersumber atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian
tradisi. Kekuasaan yang legal formal atau berdasarkan hukum adalah kekuasaan yang didasarkan
atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang
kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. (Schaft,
1995: 206; Albrow 1996: 38; dan Wrong (Ed.), 2003: 299-230).
2
Amitai Etzioni (1961) yang membagi masyarakat atau massa ke dalam tiga kategori besar.
(1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial
terikat secara politik pada suatu organisasi sosial-politik, karena loyalitas normatif yang
dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisiskrisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis
terhadap krisis-krisis empirik yangdihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrab dengan
modernitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit
(berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi.
Sementara itu, massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada
mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi
politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum.

10

orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para
pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi,
menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan
hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.
Dari beberapa definisi di atas, pada dasarnya ”kepemimpinan adalah
masalah nilai antara pemimpin dan yang dipimpinnya.” Karena ia masalah nilai
maka setidaknya ada tiga hal utama yang dapat mengukur efektifitas dan
keberhasilannya. Pertama, kepercayaan (trust). Sebagaimana dijelaskan oleh
Fukuyama (1995) kepercayaan ialah harapan yang tumbuh di dalam suatu
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan
penerapan terhadap pemahaman ini. Kedua, program kerja dan kebijakan publik.
Ketiga, partisipasi masyarakat.
Sementara itu, gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam
pengklasifikasian tipe kepemimpinan, gaya kepemimpinan memiliki tiga pola
dasar yaitu, mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan hubungan kerja,
dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Moenir AS (1988: 255)
mengelompokkan gaya kepemimpinan dalam dua kubu yaitu gaya dominatif dan
gaya persuasif. Gaya dominatif adalah gaya yang “keras”, di sini pemimpin
menunjukkan kekuasaannya dengan kekuatan dan kekerasan agar keberhasilan
kepemimpinan tercapai. Dengan gaya ini terlihat unsur kemanusiaan kurang
dihargai.
Sebaliknya kubu kedua yaitu gaya persuasif adalah gaya yang berlawanan
dengan gaya pertama, di mana kepemimpinan menyelaraskan tingkah laku
kepemimpinannya dengan situasi lingkungan dalam arti pemimpin menciptakan
perpaduan yang serasi untuk mencapai tujuan. Dalam gaya ini faktor manusiawi
menjadi pertimbangan utama dalam pencapaian tujuan. Di antara dua kubu yang
bertentangan itu terdapat dua sub kubu, yang dapat dipandang sebagai kubu
peralihan. Dengan demikian gaya kepemimpinan ada empat jenis, yang masingmasing dapat berdiri sendiri, atau rangkaian tahap dari yang lain. Keempat gaya
tersebut oleh Rensis Likert disebut dengan Leadership`s Systems.
Tabel 1.1 Empat Jenis Gaya Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan
Kubu
Dominasi

Persuasif

Dimensi Tujuan Organisasi
Jenis

1. Eksplotatif-Otoritatif

Dimensi Satu (Jangka Pendek)

2. Otoritatif

Dimensi Dua (Jangka Menengah)

3. Konsultatif
4. Partisipatif

Dimensi Tiga (Jangka Panjang)

Gaya eksploitatif-otoritatif adalah gaya kepemimpinan yang ditandai
dengan sikap pemimpin yang cenderung memeras kelompok orang yang
dipimpinnya, tidak menghargai pendapat atau saran. Mitos ketakutan yang
diciptakan menjadi bagian dari gaya kepemimpinan ini. Kedua, gaya
kepemimpinan otokratif lebih lunak dari gaya pertama, namun pengambilan
keputusan masih tetap berada pada pemimpin dan ciri lainnya seperti sedikit
memberi kelonggaran untuk memberi pendapat dan saran sedikit sekali
memberikan pelimpahan dalam pengambilan keputusan, peranan sanksi atas

11

pelanggaran masih ditonjolkan untuk menegakkan disiplin. Kemudian pemberian
penghargaan masih kurang. Ketiga, Gaya konsultatif. Gaya ini memberikan
kemudahan dan ruang pendapat atau saran sudah mulai terbuka. Keempat, gaya
partisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang menekankan tumbuhnya ide
partisipatif dan adanya keterbukaan program-program kepemimpinan yang
memihak kepada masyarakat sebagai kelompok yang dipimpinnya.

Demokratisasi di Pedesaan dan Politik Kekerabatan/Keluarga
Demokratisasi di pedesaan sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun
1998, memasuki era baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan,
memainkan peran di dalam politik pedesaan hingga arena politik daerah. Aktoraktor lokal atau orang kuat lokal (local strongmen/bossism) yang terorganisasi dan
memiliki simbol kultural lokal–jawara, berada dipanggung politik.
Kemunculannya tidak terlepas dari adanya jaringan atau ikatan kekuarga (clan),
kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan
adanya integrasi sosial, kelompok kekerabatan yang besar, kelompok kekerabatan
yang berdasarkan asas unilinear.
Bangunan ikatan keluarga (clan) tidak terlepas dari siapa patron awal yang
membangun pondasi yang kuat. Klan tersebut mampu berada pada level kekuatankekuatan yang mapan untuk kemudian dikonsolidasikan pada tataran elit yang
kemudian menjadi kekuatan pada tingkat lokal dan nantinya pada tingkatan skala
nasional. Klan atau jaringan keluarga pada ranah pangung politik sangat berperan
besar, di mana nantinya dapat mempengaruhi proses politik atau sebuah kebijakan
dan efek sosial politik dari opini politik klan yang dibangun.
Politik klan (keluarga/kekerabatan) muncul di era reformasi seiring
perubahan peta pembangunan lokal, regional, dan global. Secara pararel konteks
pembangunan3 daerah telah memunculkan dinamika perubahan arah
pembangunan (Pike, at.al, 2006). Politik kekerabatan merupakan salah satu
impact dari logika pembangunan tersebut. Politik kekerabatan merupakan pola
hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan
(unilineal discent associations). Formasi sosial dan aliansi politik yang terbentuk
juga bertumpu pada pertalian perkawinan dan hubungan darah (Kurtz 2001).
Struktur politik kekerabatan itu bersifat tertutup di mana elemen-elemen
penyangganya (keluarga, suku, klan, faksi) merupakan entitas yang saling melekat
dan menyatu. Mereka dituntut saling mendukung dan menopang guna
mempertahankan struktur dan menjaga tradisi politik kekerabatan yang dianut
3

Ide foucault yang melakukan kritik terhadap wacana modernisme dengan pendekatan poststruktural melalui pembongkaran hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan digunakan
oleh Arturo Escobar dan Mansur Faqih untuk membongkar hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan dibalik wacana teori pembangunan sebelumnya, yaitu teori–teori modernisasi yang
hadir di dunia ketiga semasa perang dingin dalam bentuk wacana developmentalisme. Pendekatan
ini telah melahirkan teori pembangunan baru, yang melihat pembangunan bukan pesoalan
kebijakan, tetapi juga sebagai masalah wacana yang dapat kita sebut dengan teori pembangunan
poststruktural (Escobar, 2005; Rhicard Peet dan Hartwick Elaine, 2009). Wacana inilah yang
kemudian menjadi diskursus yang menyentuh ranah praktis, termasuk dalam hal ini kepemimpinan
politik jawara.

12

bersama. Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentimen
primordialitas dan politik pragmatisme. Menurut Colin Hay (2007) dalam “Why
We Hate Politics”, ketika arena