Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah

ABSTRACT
Restystika Dianeswari. Marital Readiness, Basic Task, and Crisis Task
Fulfillment in Preschool Families. Supervised by Euis Sunarti.
The aimed of this research was to analyze the difference, correlation, and
influence of marital readiness, basic task and crisis task fulfillment in preschool
families. Ninety preschool families (children age three, four, and five years old)
was chosen by simple random sampling in Bubulak, Bogor, East Java. This study
showed a difference among marital readiness of husband and wife, where
husband had higher score than wife. There was no significant correlation between
marital readiness of husband, wife, and basic task of the family but positive
correlation was found between husband’s marital readiness (intellectual,
emotional, and social dimenssion), wife’s marital readiness (intellectual
dimenssion) and family crisis task. Husband’s marital readiness (intelectual and
social readiness dimension) had a positif influence toward family crisis task.
Keywords : basic task, crisis task, marital readiness, preschool, family
ABSTRAK
Restystika Dianeswari. Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas
Krisis pada Keluarga Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan, hubungan, dan pengaruh
kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga
prasekolah. Sebanyak 90 keluarga prasekolah (anak umur tiga, empat, dan lima

tahun) dipilih di Desa Bubulak, Bogor, Jawa Barat dengan teknik simple random
sampling. Penelitian ini menunjukkan perbedaan antara kesiapan menikah suami
dan istri dengan nilai kesiapan menikah suami yang lebih tinggi daripada istri.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kesiapan menikah suami, istri, dan
pemenuhan tugas dasar keluarga tetapi hubungan yang positif terdapat diantara
kesiapan menikah suami (dimensi intelektual, sosial, dan emosi), kesiapan
menikah istri (dimensi kesiapan intelektual) dan pemenuhan tugas krisis keluarga.
Kesiapan menikah suami (dimensi intelektual dan sosial) memiliki pengaruh
positif terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga.
Kata kunci: tugas dasar, tugas krisis, kesiapan menikah, keluarga prasekolah,

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk
dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa
perubahan ini berdampak pada kondisi, kesempatan, masalah, janji, dan tantangan
baru bagi keluarga sehingga sumberdaya yang ada di keluarga bertambah.
Diperlukan sebuah keluarga yang fleksibel dalam menghadapi kondisi ini agar

terhindar dari krisis. Maka dari itu, individu yang akan menikah harus
mempersiapkan diri untuk memasuki pernikahan agar tercipta keluarga yang tahan
terhadap perkembangan yang semakin kompleks.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Individu yang telah menikah tentunya menginginkan
sebuah keluarga yang sukses. Sukses maksudnya dapat menyelesaikan dengan
baik masalah atau krisis yang terjadi selama tahap kehidupan keluarga sehingga
menjadi lebih berdaya. Kesuksesan keluarga dapat dilakukan dengan melihat
kesiapan menikah dari individu tersebut (Gunarsa dan Gunarsa 2002).
Kesiapan menikah diartikan dalam Duvall (1971) sebagai laki-laki dan
perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan secara fisik, emosi,
tujuan, keuangan, dan pribadi telah siap untuk bertanggung jawab dalam
komitmen pernikahan. Menurut Hill, Oesterle, dan Hawkins (2004), sebagai
seorang dewasa muda yang akan menikah setidaknya harus mencapai kematangan
fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan
sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki
tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan
pribadi. Hurlock (1980) menyebutkan persiapan pernikahan termasuk dalam

keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak,
mengatur keuangan kelaurga, dan pendidikan seks. Syarat minimal bagi calon
pasangan untuk menuju pernikahan mencakup tiga hal, yaitu mampu memperoleh
sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan
keluarga, memiliki kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola

2

keluarga sebagai ekosistem, dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan
fungsi, peran, dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Untuk itu, dapat
dirangkum bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi sebuah pernikahan
yaitu, usia, pendidikan, dan perencanaan karir (Knox 1985). Penelitian yang
dilakukan Rutledge (1968) diacu dalam Olson dan Fowers (1986) menyebutkan
bahwa menyiapkan pernikahan merupakan upaya untuk mencegah perceraian.
Sebagai upaya pencegahan, seseorang dapat melakukan hal-hal seperti
mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat kesuksesan menikah, masingmasing individu mengukur hubungan dengan pasangan lainnya, dan melakukan
intervensi terhadap pasangan yang bermasalah (Olson & Fowers 1986).
Kesuksesan keluarga juga dapat dilihat dari kemampuan keluarga
menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Fungsi keluarga dapat dijalankan
melalui tiga tugas, yaitu tugas dasar, krisis, dan perkembangan (Epstein dalam

COPMI 2003). Tugas–tugas ini merupakan langkah awal untuk mencapai
keberfungsian keluarga yang juga menjadi syarat kesuksesan keluarga. Tugas
dasar, tugas yang pertama kali dipenuhi oleh sebuah keluarga. Menurut BKKBN,
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal dasar yang
harus dicapai keluarga. Tugas perkembangan, merupakan serangakaian kewajiban
yang harus dipenuhi oleh seseorang maupun keluarga selama kehidupannya yang
akan mempengaruhi keberhasilan pada tugas perkembangan selanjutnya. Terakhir
adalah tugas krisis, yaitu bagaimana keluarga dapat berhadapan dengan krisis atau
masalah yang dialaminya.
Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis menutut adanya peran
yang jelas dalam keluarga. Dijelaskan oleh Peterson (2009) bahwa beberapa
peneliti setuju peran yang jelas dalam keluarga berhubungan dengan kemampuan
keluarga untuk berhadapan dengan kehidupan yang modern saat ini, krisis yang
tidak dapat terprediksi, dan perubahan yang biasa terjadi dalam keluarga untuk
mencapai keluarga yang sukses. Krisis ini akan terjadi ketika keluarga tidak
mampu memenuhi pemenuhan tugas perkembangan keluarganya. Pada level
tertentu keluarga akan rentan terhadap masalah, namun ada kalanya keluarga juga
akan tahan terhadap masalah. Keluarga yang hidup pada zaman dan
perkembangan yang kompleks, akan memberikan tekanan yang lebih pada


3

keluarga sehingga krisis keluarga juga lebih kompleks. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa untuk memprediksi sebuah keluarga akan rentan atau tidak
terlihat dari pemenuhan tugas dasarnya (Duvall 1971).
Krisis terjadi sepanjang masa tahap perkembangan keluarga, termasuk
masa anak prasekolah. Pada umumnya, pada tahap keluarga ini suami dan istri
mulai merencanakan untuk menambah anak. Duvall (1971) menyebutkan bahwa
bertambahnya anggota keluarga dapat menyebabkan krisis pada keluarga. Apabila
dalam masa ini hadir anggota keluarga baru, maka perhatian untuk anak
prasekolah akan berkurang. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa
perkembangan anak usia prasekolah mulai berubah dari otonomi ke inisiatif
sehingga anak mulai banyak bertanya dan terlibat dalam lingkungan sosial.
Orangtua perlu memperhatikan anak pada usia ini karena masa ini merupakan
awal terbentuknya pribadi anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti
ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kesiapan menikah, pemenuhan tugas
dasar dan krisis dalam keluarga.
Rumusan Masalah
Pernikahan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya
ketika mereka telah memasuki usia dewasa muda. Dewasa muda yang akan

menikah paling tidak harus mencapai kematangan-kematangan yang disesuaikan
dengan kesiapan dirinya untuk menikah seperti kematangan fisik, psikologis dan
emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga
yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap
pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi (Hill, Oesterle, dan
Hawkins 2004).
Tidak

semua

orang

memperhatikan

kesiapan-kesiapan

menjelang

pernikahan yang mungkin akan berdampak pada perceraian. Indonesia termasuk
negara yang memiliki angka perceraian cukup tinggi dibandingkan dengan

negara-negara berkembang lainnya. Mahkamah Agung Republik Indonesia
Direktorat Jendral Peradilan Agama (2011) menyebutkan angka perceraian di
Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2009 tercatat terdapat 250.000
kasus perceraian. Dibandingkan tahun 2008, kasus perceraian pada tahun 2009

4

meningkat sebanyak 50.000 kasus. Penyebab perceraian dikelompokkan menjadi
empat masalah pada tahun 2007, yaitu:
1.

Salah satu pasangan meninggalkan kewajiban. Masalah ini terdiri dari
salah satu pasangan tidak bertanggung jawab, masalah ekonomi keluarga,
dan perkawinan yang dipaksa.

2.

Perselisihan terus menerus yang disebabkan ketidakharmonisan pribadi,
gangguan pihak ketiga, dan faktor politis.


3.

Masalah moral yang terdiri atas masalah poligami yang tidak sesuai
peraturan, cemburu yang berlebihan, dan krisis akhlak.

4.

Kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Gambar 1 perceraian yang paling tinggi terjadi karena

ketidakharmonisan pasangan suami istri yang mencapai 55.093 kasus.

Gambar 1 Faktor penyebab perceraian tahun 2007
Sumber : Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama 2008

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2010), sumbangan paling
besar terhadap perceraian adalah pernikahan dini. Pada tahun 2009, ketua KPAI
menyatakan bahwa terdapat 34 persen pernikahan dini di Indonesia. Pernikahan
dini menjadi pemicu perceraian dikarenakan kematangan usia seorang individu

yang dibawah umur 18 tahun dirasa belum cukup. Kasus ini terjadi karena
seseorang tidak mampu untuk mengembangkan kemampuannya sehingga tidak
ada pilihan lain selain menikah. Pernikahan dini tidak hanya terjadi pada
masayarakat bawah saja, namun sudah mulai merambah ke masyarakat kota yang

5

sebenarnya memilliki kapasitas untuk mengembangkan kemampuannya. Namun
tidak hanya pernikahan dini saja yang menyebabkan masalah perceraian. Komisi
Penyiaran Indonesia (2011) menyebutkan bahwa tayangan Infotainment yang
menampilkan serentetan kasus perceraian yang dilakukan oleh artis-artis juga
mempengaruhi perkawinan masyarakat Indonesia.
Perceraian ini akan terjadi ketika keluaga tidak mampu menyelesaikan
krisis yang ada di keluarga. Krisis pada masa prasekolah yaitu ketidakmampuan
keluarga dalam melakukan koping terhadap perhatian, waktu, dan energi terhadap
kebutuhan anak usia prasekolah (Duvall 1971). Bertambahnya anggota keluarga
akan menimbulkan krisis bagi anak prasekolahnya berupa kurangnya perhatian
orangtua akan kebutuhan anak. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa
orangtua perlu perhatian ekstra terhadap anak prasekolah karena pada masa inilah
pribadi anak terbentuk.

Krisis lain yang pada umunya terjadi pada masa ini adalah hilangnya
privasi antara suami dan istri dapat merenggangkan hubungan diantaranya.
Hubungan yang renggang ini akan mengakibatkan perceraian apabila suami dan
istri tetap tidak kompak dalam urusan rumah tangganya. Perceraian akan
memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan anak seperti kehilangan salah
satu orangtua, kehilangan sumber ekonomi, minimnya stimulasi pengasuhan dari
orangtua, dan banyaknya konflik antara orangtua akibat perceraian (Hughes
2009).
Bedasarkan rumusan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah contoh?
2. Seberapa besar tingkat pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga?
3. Adakah perbedaan pada tingkat kesiapan menikah suami dan istri?
4. Adakah hubungan dan pengaruh antara kesiapan menikah dengan pemenuhan
tugas dasar dan tugas krisis keluarga?

6

Tujuan
Tujuan umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis kesiapan
menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah.
Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Mengidentifikasi tingkat kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas
krisis pada keluarga anak prasekolah
2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri
3. Menganalisis hubungan antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas
dasar dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah
4. Menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis
pada keluarga anak prasekolah.

Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini menyediakan informasi yang bermanfaat bagi
masyarakat, terutama keluarga, mengenai pemenuhan tugas dasar dan krisis serta
keterkaitannya dengan kesiapan menikah. Bagi pemerintah atau institusi terkait,
penelitian ini dapat menjadi masukan untuk membuat program yang sesuai bagi
keluarga untuk membawa keluarga kepada kesuksesan keluarga. Bagi peneliti,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengatahuan baru dalam bidang
keluarga, khususnya kesiapan menikah dan pemenuhan tugas dasar dan krisis
pada tahap keluarga prasekolah.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Kesiapan menikah
Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki
maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara
fisik, emosi, finansial, tujuan, keuangan, dan kepribadian untuk bertanggung
jawab dalam pernikahannya. Komitmen bagi mereka yang ingin menikah timbul
dari keterkaitan emosi, salah satunya rasa cinta. Namun tidak semua orang yang
sangat ingin menikah memiliki kesiapan-kesiapan sebelum menikah (Blood
1962). Knox (1985) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi kesiapan
menikah, yaitu umur, pendidikan, dan rencana karir. Lain halnya dengan Rice
(1983) yang menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
faktor yang menentukan seseorang siap atau tidak menikah antara lain usia,
lamanya pasangan saling mengenal, kematangan sosial, motivasi untuk menikah,
pengertian cinta menurut pasangan, kesiapan pasangan dan kemauan untuk
tanggung jawab dalam pernikahan, kesiapan untuk setia terhadap satu pasangan,
kesiapan emosi untuk menjadi orangtua, telah menyelesaikan pendidikan, serta
kesiapan dan kemauan orangtua untuk menikahkan anaknya.
Usia merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur kesiapan
menikah menurut Rice (1983). Maka dari itu, seseorang yang menikah pada usia
muda memiliki masalah dan ketidakpuasaan dibandingkan seseorang yang
menikah pada usia lebih tua (Lee 1977 diacu dalam Rice 1983). Berkebalikan
dengan penelitian yang dilakukan Oktaviani (2010) yang menyebutkan bahwa
umur berhubungan negatif dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai
pernikahan. Semakin tua usia seseorang saat menikah, semakin

sedikit pula

pengetahuan yang dimilikinya yang diduga karena keterpaparan informasi yang
masih sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain usia, faktor lain yang
diperlukan dalam mengenali pasangan yakni menyadari perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh pasangan karena perbedaan inilah yang mengganggu
ketenangan dan suasana aman dalam berkeluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002).
Sebelum memasuki gerbang pernikahan, individu harus menyiapakan
beberapa kesiapan. Apabila tidak menyiapakan keterampilan-leterampilan tersebut
maka akan berdampak pada gagalnya fungsi keluarga. Dijelaskan dalam Burgess

8

dan Locke (1960) bahwa seseorang yang akan menikah harus memenuhi
sumberdaya ekonomi, sumberdaya manusia, dan kematangan pribadinya. Menurut
Rapaport dalam Duvall (1971), terdapat sepuluh kriteria kesiapan menikah, antara
lain:
1.

Siap untuk menjadi pasangan setia

2.

Siap untuk berubah dari kehidupan yang bebas menjadi hubungan yang
mendalam dengan pasangannya

3.

Memiliki kelembutan dan kasih sayang untuk pasangannya

4.

Peka terhadap emosi dan kehidupan orang lain

5.

Berbagi keintiman dengan orang lain

6.

Menyatukan rencana yang dimilikinya dengan pasangannya

7.

Memiliki penilaian yang realistis mengenai pasangannya

8.

Berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarganya kelak

9.

Memiliki rancangan atau rencana mengenai masalah keuangan

10.

Siap untuk menjadi istri atau suami
Blood (1962) menyebutkan bahwa kedewasaan emosi adalah konsep yang

paling penting dalam kesiapan seseorang untuk menikah. Artinya, ketika
seseorang sudah mencapai kematangan emosinya maka ia telah mencapai masa
kedewasaannya. Namun, tidak semua orang yang telah dewasa adalah orang yang
matang secara emosi. Perbedaan kematangan emosional inilah yang menyebabkan
wanita lebih siap menjalankan peran dan tugasnya dirumah, sedangkan pria lebih
mencari sukses di luar rumah (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Seseorang dikatakan
matang secara emosi ketika telah mengembangkan kemampuan untuk
membangun dan menjaga hubungan personal (Blood 1962). Kedewasaan akan
datang sendirinya sebagai hasil dari keberhasilan dalam bersosialisasi di rumah
maupun diluar rumah (peer group, sekolah, tempat kerja, dan pasangan).
Seseorang yang sudah matang akan memungkinkan dirinya untuk menghasilkan
pernikahan dan pengasuhan yang sukses pula. Blood (1962) mengukur
kematangan emosi dari empati, stabilitas, dan tanggung jawab. Namun adapula
seseorang yang sudah matang secara emosi namun tidak memiliki pengalaman
yang cukup dalam kehidupan remajanya tapi sudah siap untuk menikah. Tidak
hanya kematangan emosi, kematangan sosial pun menjadi aspek kesiapan

9

menikah. Blood (1962) mengartikan kematangan sosial sebagai salah satu aspek
kesiapan menikah yang berasal dari terpenuhinya aspek-aspek kehidupan seorang
remaja. Kematangan sosial dapat terlihat dari seberapa lama mengenal orang lain
dan memiliki kehidupan yang mandiri. Mengenal orang lain merupakan salah satu
cara untuk mematangkan sosial seorang remaja. Bagi remaja yang hanya
mengenal sedikit orang, akan lebih lama merasa cocoknya karena masih mencari
kepribadian baru dari temannya. Mengenal tidak hanya dari banyaknya orang
yang dikenal, tapi juga kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Saat seseorang sudah matang secara emosi dan sosial, maka ia dapat
melanjutkan hubungannya dengan pasangan ke jenjang yang lebih serius, yaitu
pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa ketika seseorang siap
untuk

menikah

maka

ia

harus

sudah

menyelesaikan

semua

tugas

perkembangannya yang sesuai dengan umur pada saat ia akan menikah.
Pernikahan memiliki tiga fungsi penting menurut Landis dan Landis (1970), yaitu
menyediakan keadaan fisik untuk anak dan keluarga, mengembangkan
kepribadian secara alami seperti menyediakan fasilitas untuk anak agar dapat
sukses dalam kehidupan sosialnya, dan mempertemukan emosi antara orangtua
dan anak dalam keluarga. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui alasan
seseorang

menikah.

Bagi

perempuan

didapatkan

alasan

seperti

untuk

mendapatkan rasa aman dalam keuangan, dukungan emosi, dan prestis. Alasan
menikah bagi laki-laki antara lain menciptakan kehidupan normal, kehidupan
rumah, dan kepemimpinan.
Keberfungsian Keluarga
Konsep keberfungsian keluarga pertama kali muncul untuk melakukan
terapi pada keluarga dan salah satu model keberfungsian keluarga yang digunakan
hingga saat ini adalah McMaster Model of Family Functioning. Model ini
menggunakan teori struktural fungsional yang mellihat keluarga sebagai suatu
sistem sosial namun lebih menekankan pada fungsi keluarga seperti menyediakan
kebutuhan fisik dan psikologi keluarga (Toly 2009). Megawangi (2005)
mengatakan bahwa teori struktural fungsional merupakan sebuah pendekatan yang
dikembangkan oleh sosiolog yang diterapkan dalam keluarga. Teori ini
dikembangkan pada abad ke-20 oleh William F. Ogburn dan Talcot Parson, dua

10

orang sosiolog ternama. Pendekatan ini mengakui adanya keberagaman dalam
masyarakat yang menjadi sumber dalam struktur masyarakat.
Model fungsi keluarga McMaster merupakan model yang menggunakan
pendekatan struktur dan organisasi. Toly (2009) menyebutkan fokus pada model
ini ada tiga, yaitu tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas perkembangan yang
terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga, dan tugas krisis seperti cara
keluarga dalam menangani masalah. Sejalan dengan model fungsi keluarga
McMaster, the procces of family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang
menjelaskan bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam
menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan karena fokus dalam model
ini adalah penyelesaian ketiga tugas tersebut baik secara fisik, biologi, maupun
sosial. Model ini mengidentifikasi tujuh objek yang dapat menunjukkan
berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan.
Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian tugas, peran yang jelas, komunikasi,
interkasi langsung dalam keluarga, keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan
norma (Trangkasombat 2006). Perbedaan dalam model ini dengan model
McMaster adalah model ini digunakan untuk memahami tentang keluarga
sedangkan McMaster untuk terapi keluarga.
Tugas Dasar merupakan hal-hal dasar yang perlu dipenuhi oleh keluarga.
kebutuhan ini termasuk dalam istirahat, tidur, makan, minum, sex, dan oksigen.
Menurut Maslow (1970), manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang
paling rendah, yaitu kebutuhan dasar, sebelum memenuhi kebutuhan yang paling
tinggi, yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini umumnya muncul ketika
ada sebuah motivasi dari luar (lapar, haus, panas, atau dingin) sehingga muncul
kebutuhan. Misalnya saat seseorang lapar, maka ia akan mencari cara apapun
yang dapat memenuhi memenuhi rasa laparnya. Selama belum terpenuhi
kebutuhannya, maka ia akan selalu memikirkan keinginannya. Setelah
terpenuhinya salah satu kebutuhan, maka kebutuhan lainnya akan mucul dan
begitu seterusnya (Maslow 1970). Setiap orang dapat dan berkeinginan untuk
mencapai tingkat aktualisasi diri, namun sering terhambat dengan kejadiankejadian ditingkat paling rendah. Kejadian seperti perceraian atau kehilangan

11

pekerjaan menjadi penyebab hambatan individu untuk menuju ke tingkat
selanjutnya.
BKKBN membagi kategori kesejahteraan keluarga ke dalam tiga
tingkatan, yaitu pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Keluarga pra KS
adalah keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja yang
termasuk dalam sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Keluarga KS
I adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis.
Keluarga KS II adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
pengenbangannya, sedangkan KS III adalah keluarga yang belum dapat
memberikan suambangan maksimal kepada masyarakat. Keluarga yang dapat
memenuhi kebutuhan semua kebutuhan merupakan keluarga dengan golongan KS
III plus.
Tugas

merupakan

Krisis

periode

krusial

pada

setiap

tahapan

perkembangan keluarga. Sunarti (2007) menjelaskan bahwa krisis keluarga datang
saat masalah yang diterima keluarga lebih banyak dari sumberdaya dan perilaku
koping keluarga. Sumberdaya yang digunakan untuk koping berupa fisik dan
materi

(pendapatan,

peralatan,

ruang,

tabungan,

kesehatan,

pendidikan,

pengalaman, ide, dan intelektual), integrasi keluarga (komunikasi, tujuan, nilai,
loyalitas, dan kerjasama), dan kemampuan adaptasi keluarga dalam menghadapi
masalah atau krisis. Sumberdaya didapatkan keluarga dari keluarga besar dan
teman yang berupa dukungan, bantuan, serta kemampuan pemecah masalah
(Smart dan Smart 1980).
Masalah atau stressor yang menghadang keluarga diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Keberhasilan
keluarga dalam menghadapi krisis dipengaruhi kemampuan keluarga dalam
menghadapi masalah/krisis sebelumnya. Stressor merupakan kejadian atau transisi
yang mempengaruhi kehidupan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau
kesulitan lainnya yang membuat keluarga semakin dalam keadaan yang sulit.
Namun tidak semua stressor akan berdampak buruk pada kehidupan keluarga,
tergantung dari tipologi keluarga, sumberdaya, kemampuan koping strategi dan
penyelesaian masalah, harapan, serta kerentanan keluarga.

12

McCubbin dan Thompson (1987) menjelaskan bahwa keluarga yang
tertimpa krisis dapat terlihat dari kadaan keluarga yang mulai tidak stabil. Untuk
mengembalikan kestabilan itu, keluarga akan melakukan trial and error untuk
mengurangi ketegangan yang ada dalam keluarga sehingga dapat dikatakan bahwa
krisis keluarga merupakan masa transisi keluarga dari situasi yang tidak stabil
menjadi situasi stabil dan di dalamnya terdapat usaha keluarga untuk memperbaiki
dan

beradaptasi

dengan

perubahan.

Ketidakmampuan

keluarga

dalam

menyesuaikan perilaku terhadap perubahan dalam masyarakat akan menimbulkan
ketegangan emosi yang akan berakibat pada perpisahan atau perceraian. Keluarga
modern lebih berpengalaman menghadapi krisis daripada keluarga terdahulu
karena memiliki karakteristik yang kompleks walaupun tekanan yang dihadapinya
lebih besar (Locke dan Burgess 1960).
Krisis terjadi disepanjang siklus hidup keluarga dan terjadi ketika keluarga
tidak mampu memenuhi tugas perkembangan individu maupun keluarganya
(Duvall 1971). Begitupula dengan keluarga anak prasekolah, masing-masing
memiliki tugas perkembangan dirinya maupun keluarganya. Krisis pada masa
prasekolah umumnya tidak mampu melakukan koping terhadap hilangnya energi,
perhatian, dan waktu terhadap kebutuhan anak prasekolah dan hilangnya privacy
antara pasangan (Duvall 1971). Penelitian yang dilakukan Lee et al. (2010)
menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antarpasangan antara lain masalah
hubungan dengan pasangan, anak, keuangan, tanggung jawab dalam rumah
tangga, kesehatan, keluarga besar, rahasia, dan perpindahan rumah.
McCubin (1987) menyebutkan masa parsekolah merupakan masa yang
membutuhkan kedisiplinan sehingga anak dapat melakukan kegiatannya secara
disiplin. Hurlock (1980) membedakan ke dalam dua kelompok bahaya atau krisis
bagi anak usia prasekolah, yaitu dampak psikologis dan fisik. Adapaun yang
termasuk dalam bahaya psikologis antara lain bahaya dalam berbicara, emosi,
sosial, bermain, perkembangan konsep, moral, penggolongan jenis kelamin,
kepribadian, dan hubungan keluarga. Bahaya fisik di antaranya adalah kematian,
penyakit, kecelakaan, penampilan fisik yang kurang menarik, dan kegemukan.
Tugas Perkembangan merupakan tugas-tugas yang selalu muncul
disetiap tahapan perkembangan hidup seseorang atau selama seseorang hidup

13

(Duvall 1971). Pemenuhan tugas-tugas perkembangan ini akan membawa
kebahagiaan dan kesiapan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan
selanjutnya. Apabila seseorang gagal untuk memenuhi kebutuhannya, maka akan
mempengaruhi pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya, ketidakbahagiaan,
dan ditolak oleh masyarakat (Duvall 1971).
Sama seperti tugas krisis, tugas perkembangan membutuhkan dukungan
dari pihak lain. Dukungan tersebut umunya datang dari dalam diri individu
tersebut, namun dipengaruhi dari apa yang diharapkan oleh orang lain atas
perilaku seorang individu tersebut. Permasalahan umumnya terjadi pada
pemenuhan tugas perkembangan adalah belum matanganya seseorang, tekanan
dari lingkungan, ambisi, dan orientasi nilai (Duvall 1971). Tugas perkembangan
sejatinya akan terus dihadapi oleh seseorang selama ia hidup. Maka dari itu,
terdapat tugas perkembangan sesuai dengan umur yang diselaraskan dengan
pencapaian kematangan/kedewasaan. Duvall (1971) menyebutkan bahwa terdapat
empat asumsi mengenai tugas perkembangan. Adapun asumsi tersebut ialah
inidvidu menerima perilaku baru yang dihasilkan dari apa yang diharapkan orang
lain maupun ketika melihat orang lain lebih dewasa, membentuk konsep diri yang
baru, melakukan koping secara efektif terhap permasalahan-permasalahan yang
akan dihadapi, dan berkeinginan keras untuk mencapai tugas perkembangan
selanjutnya.
Tidak
perkembangan.

hanya

individu,

Sejalan

dengan

namun
tugas

juga

keluarga

memilliki

tugas

perkembangan

individu,

tugas

perkembanagn keluarga akan selalu dihadapi selama rentang hidup keluarga
tersebut. Keluarga memiliki tanggung jawab, tujuan, dan tugas perkembangan
yang sejalan dengan perkembangan anggota keluarganya. Duvall (1971)
mengatakan bahwa tugas perkembangan keluarga muncul ketika anggota keluarga
dapat memenuhi semua kebutuhannya dan merasa puas sehingga akan
melanjutkan ke tugas perkembangan yang selanjutnya.

15

KERANGKA PEMIKIRAN
Menikah merupakan sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya
dewasa muda. Untuk menuju ke pernikahan, persiapan sebelum menikah harus
dilakukan. Siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi adalah beberapa
hal yang perlu disiapkan bagi seseorang yang akan menikah. Kesiapan-kesiapan
tersebut diharapkan dapat membentuk pribadi yang tahan terhadap perkembangan
yang kompleks. Kesuksesan keluarga menjadi tujuan dalam setiap pernikahan.
Kesuksesan keluarga dapat dilihat dari kesiapan menikah dan kemampuan
keluarga dalam menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Tiga tugas dalam
fungsi keluarga yang menjadi langkah awal menuju kesuksesan keluarga adalah
tugas dasar, perkembangan, dan krisis.
Faktor lain yang mempengaruhi kesuksesan keluarga adalah umur,
pendidikan, dan pekerjaan. Umur menjadi prediksi seseorang telah matang dan
dewasa sehingga dianggap mampu untuk bertanggung jawab dalam membangun
rumah tangga. Pendidikan dan pekerjaan menjadi akses bagi keluarga untuk
mendapatkan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan krisis keluarga.
Semakin tinggi pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan
semakin baik sehingga keluarga memiliki pendapatan yang tinggi pula yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kesiapan menikah yang semakin
baik diasumsikan memiliki pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis yang baik
pula. Pemenuhan tugas dasar menjadi langkah awal bagi keluarga untuk
memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya. Kemampuan keluarga dalam
memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya terlihat dari pemenuhan tugas
dasarnya. Tugas perkembangan dan krisis akan terus ada sepanjang tahap
perkembangan kehidupan dan kemampuan keluarga maupun individu dalam
memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya akan mempengaruhi kesuksesan
pemenuhan tugas perkembangan dan krisis selanjutnya. Krisis keluarga terjadi
ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangannya dan apabila ini
terus terjadi, maka akan menyebabkan perceraian. Pemenuhan tugas dasar
diasumsikan lebih diketahui oleh istri karena pengelolaan rumah tangga dilakukan
oleh istri. Waktu yang lebih banyak dihabiskan oleh istri dan anak juga menjadi
asumsi bahwa pemenuhan tugas krisis keluarga dan anak lebih diketahui oleh istri.

16

Krisis pada masa prasekolah umumnya ada dua, yaitu hilangnya privasi
antara suami dan istri serta ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping
waktu, energi, dan perhatian terhadap kebutuhan anak prasekolah. Masa
prasekolah merupakan masa terbentuknya pribadi anak. Anak prasekolah
memiliki ciri-ciri keras kepala karena sifatnya yang masih egosentris dan insiatif
karena rasa ingin tahunya. Untuk itu dibutuhkan bimbingan orangtua agar anak
dapat berkembangan dengan optimal.

Kesiapan menikah
1. Kesiapan emosi
2. Kesiapan sosial
3. Kesiapan intelektual
4. Kesiapan moral
5. Kesiapan individu
6. Kesiapan finansial
7. Kesiapan mental

Karakteristik contoh:
1. Usia menikah
2. Usia sekarang
3. Pendidikan
4. Pendapatan
5. Pekerjaan
6. Besar keluarga

Tugas Dasar

Tugas Krisis

Tugas Perkembangan

Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak ditelliti

Gambar 2 Kerangka pemikiran Analisis Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas
Dasar dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah

17

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang
dilakukan pada satu waktu. Pemillihan tempat dilakukan dengan cara pupossive,
yaitu Desa Bubulak. Bubulak dipilih karena dari seluruh Kelurahan di Bogor
Barat, Kelurahan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum
berkembang dan memiliki keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke
bawah paling banyak. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak
prasekolah di tempat tersebut untuk menganalisis kesiapan menikah suami istri,
pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis. Waktu pengambilan data dari penentuan
contoh hingga wawancara dilaksanakan dari bulan Juni hingga Juli 2011.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan
anak prasekolah di Desa Bubulak. Menurut Hurlock (1980) masa awal anak-anak
berada pada rentang umur dua hingga enam tahun Tempat yang dipilih untuk
menjadi lokasi penelitian adalah RW 01, 02, 03, 06, 07, 08, 09, dan 11 di Desa
Bubulak. Lokasi penelitian memiliki 13 RW, namun hanya dipilih delapan Rw
saja karena kebanyakan keluarga yang ada lima RW lainnya merupakan rumah
orangtua contoh sehingga contoh hanya datang pada saat ada posyandu diadakan.
Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 90 keluarga yang diambil dari
delapan RW di Desa Bubulak dengan metode simple random sampling. Jumlah
populasi ditentukan dari delapan RW yang sudah dipilih. Kriteria untuk contoh
penelitian ini adalah keluarga utuh dengan anak pertama usia prasekolah.

18

Kota Bogor

Purpossive
Kecamatan Bogor Barat

Purpossive
Kelurahan Bubulak

Purpossive
N= 118

Total
n= 90

Simple random
Sampling

Gambar 3 Metode Penarikan Contoh Penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan bantuan kuesioner
kepada contoh untuk mengunpulkan karakteristik keluarga, membantu melakukan
recall kesiapan menikahnya, pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga.
Karakteristik keluarga terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia saat menikah,
usia saat ini, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Kesiapan menikah diukur
melalui tujuh dimensi, yaitu intekektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial,
dan mental.
Pengembangan kuesioner diawali dari definisi kesiapan menikah menurut
Duvall (1971) yang harus siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi.
Definisi dari Duvall kemudian dilanjutkan dengan melihat perkembangan yang
harus dicapai sebagai dewasa muda. Menurut Papalia dan Olds (1986) seorang
dewasa muda harus dapat mengembangakan kemampuan intelektual, sosial,
emosi, dan moralnya. Selain itu, ada kesiapan khusus yang harus dipersiapkan
oleh seorang dewasa muda untuk menikah. Untuk kesiapan intelektual dan moral,
kuesioner yang digunakan dikembangkan dari Personal Value Scale (Schott1985).
Kesiapan emosi dan sosial dikembangakan dari konsep kecerdasan emosi dan
keterampilan sosial dalam Goleman (1994). Kesiapan individu, finansial, dan
mental dikembangkan dari konsep yang dikemukakan oleh Rapoport dalam
Duvall (1971). Kuesioner pemenuhan tugas dasar dikembangkan dari indikator

19

keluarga pra-sejahtera menurut BKKBN, sedangkan pemenuhan tugas krisis
dikembangkan dari krisis menurut Duvall (1971) dan Hurlock (1980). Pernyataan
mengenai pemenuhan tugas krisis keluarga diturunkan dari tugas perkembangan
keluarga, orangtua, dan anak usia prasekolah menurut Duvall (1971). Namun
karena ada beberapa kesamaan tugas krisis yang dikembangkan dari Duvall
maupun Hurlock, maka beberapa pernyataan digabung agar tidak mengakibatkan
overlaping. Instrumen kesiapan menikah dan tugas dasar memiliki nilai cronbach
alpha sebesar 0,6. Untuk tugas krisis nilai reliabilitasnya sebesar 0,9. Data
sekunder didapatkan dari data monografi desa. Berikut adalah tabel variabel dan
responden yang digunakan sebagai alat ukur
Tabel 1 Variabel dan responden yang digunakan dalam kuesioner
No
1

2

3

4

Variabel
Karakteristik keluarga:
a. Jenis Kelamin
b. Besar keluarga
c. Usia
d. Pendidikan
e. Pekerjaan
f. Pendapatan
Kesiapan menikah pasangan
a. Kesiapan Emosi
b. Kesiapan Sosial
c. Kesiapan Intelektual
d. Kesiapan Moral
e. Kesiapan individu
f. Kesiapan finansial
g. Kesiapan mental
Tugas dasar keluarga
a. Sandang
b. Pangan
c. Papan
d. Kesehatan
Tugas Krisis
a. Tugas krisis terkait anak
b. Tugas krisis terkait hubungan
suami dan istri
c. Tugas krisis terkait kesiapan
sekolah anak

Responden

Suami
Istri

Suami
Istri

Istri

Istri

Menurut BKKBN, kebutuhan dasar keluarga antara lain sandang, pangan,
papan, pendidikan, dan kesehatan. Namun indikator menyelesaikan pendidikan
hingga sembilan tahun tidak dimasukkan ke dalam item pernyataan karena kriteria
keluarga yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang
anaknya belum menempuh wajib belajar. Contoh yang akan dijadikan penelitian

20

adalah pasangan suami istri dengan asumsi memiliki kesiapan menikah yang
berbeda-beda. Pemenuhan tugas dasar ditanyakan kepada istri dengan asumsi istri
lebih banyak dirumah dan pengelolaan rumah tangga yang dipegang oleh istri.
Waktu yang dihabiskan oleh istri dan anak juga menjadi asumsi istri lebih
mengetahui pemenuhan tugas krisis dalam keluarga.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan
proses editing, coding, scoring, entering, cleaning, dan analyzing yang
menggunakan bantuan program komputer yang sesuai. Karakteistik keluarga
dianalisis dengan menggunakan frekuensi dan tabulasi silang. Umur suami dan
istri dikelompokkan menurut Hurlock (1980), yaitu dewasa awal, madya, dan
akhir. Berdasarkan BKKBN, besar keluarga dapat dikelompokkan menjadi
keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7
orang). Pendapatan perkapita keluarga dikategorisasi sesuai dengan pendapatan
per kapita di perkotaan Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 yang
kemudian dikelompokkan menjadi baik dan kurang.
Secara keseluruhan, kategori pengelompokkan untuk kesiapan menikah,
tugas dasar, dan tugas krisis dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Nilai
tersebut didapatkan dari rumus interval kelas yang disajikan berikut ini
Interval kelas (A) = skor maksimum (NT) - skor minimum (NR)
Jumlah Kelas
Adapun variabel, skala, dan kategori skor disajikan pada tabel berikut ini
Tabel 2 Variabel, skala data, dan kategori skor
No
1

2

Variabel
Karakteristik keluarga
a. Jenis Kelamin
b. Besar keluarga

Skala Data

Kategori skor

Nominal
Rasio

[1] Laki-laki; [2] Perempuan
[1] Keluarga kecil (≤ 4 orang); [2] Keluarga sedang
(5-6); [3] Keluarga besar (≥ 7 orang)
[1] Dewasa awal (18-40); [2] Dewasa madya (4060)
[0] tidak sekolah; [1-6] SD; [7-9] SMP; [10-12]
SMA; [13-16] Sarjana (S1); [17-18] master (S2);
[20-23] doktor (S3)
[0] tidak bekerja; [1] PNS; [2] karyawan swasta; [3]
wiraswasta; [4] buruh; [5] kyai/ustad/guru agama
BPS kota di Jawa Barat (2010)
[1] ≤ Rp 212.210[2] >Rp 212.210

c. Usia

Rasio

d. Pendidikan

Rasio

e. Pekerjaan

Nominal

f. Pendapatan

Rasio

Kesiapan menikah
a. Kesiapan Emosi (10)
b. Kesiapan Sosial (7)

Ordinal
Ordinal

Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-10)
Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)

21

Lanjutan Tabel 2
No

Variabel
c. Kesiapan
Intelektual (6)
d. Kesiapan
Moral
(11)
e. Kesiapan individu
(12)
f. Kesiapan finansial
(8)
g. Kesiapan mental
(5)
3 Tugas Dasar (7)
4 Tugas Krisis
a. Tugas Krisis Anak
Prasekolah (10)
b. Tugas
Krisis
Hubungan
Suami
istri (3)
c. Tugas Krisi Kesiapan
Memasuki
usia
Sekolah (2)

Skala Data
Ordinal

Kategori skor
Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)

Ordinal

Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-11)

Ordinal

Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-12)

Ordinal

Rendah (0-2); Sedang (3-5); Tinggi (6-8)

Ordinal

Rendah (0-1); Sedang (2-3); Tinggi (4-5)

Ordinal

Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)

Ordinal

Rendah (0-3); Sedang (4-6); Tinggi (7-10)

Ordinal

Rendah (0-1); Sedang (2); Tinggi (3)

Ordinal

Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2)

Data yang telah diskoring kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Data juga dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Uji statistik yang
digunakan adalah:
a. Uji korelasi Pearson untuk melihat hubungan kesiapan menikah, pemenuhan
tugas dasar, dan tugas krisis.
b. Uji beda t-test untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah suami dan
istri
c. Uji regresi linear berganda untuk melihat pengaruh kesiapan menikah
terhadap pemenuhan tugas krisis. Pengaruh kesiapan menikah dan tugas dasar
tidak dilakukan dalam penelitian ini karena pemenuhan tugas dasar yang
seragam sehingga tidak terlihat adanya pengaruh antara kesiapan menikah
suami dan istri dengan pemenuhan tugas dasar. Model regresi kesiapan
menikah terhadap pemenuhan tugas krisis dapat didefinisikan dalam
persamaan sebagai berikut:
Pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis
Y= ẞ0 + ẞ1X11+ ẞ2X12+ ẞ3X13+ ẞ4X14+ ẞ5X15+ ẞ6X16+ ẞ7X17++ ẞ8X21+
ẞ9X22+ ẞ10X23+ ẞ11X24+ ẞ12X25+ ẞ13X26 + ẞ14X27e

22

Keterangan :
Y
= Pemenuhan tugas dasar
X11
= Kesiapan intelektual suami
X12
= Kesiapan emosi suami
X13
= Kesiapan sosial suami
X14
= Kesiapan moral suami
X15
= Kesiapan individu suami
X16
= Kesiapan finansial suami
X17
= Kesiapan mental suami
X21
= Kesiapan intelektual istri
X22
= Kesiapan emosi istri
X23
= Kesiapan sosial istri
X24
= Kesiapan moral istri
X25
= Kesiapan individu istri
X26
= Kesiapan finansial istri
X27
= Kesiapan mental istri
e
= Galat
Definisi Operasional
Keluarga adalah sekumpulan orang yang terdiri atas suami, istri, dan anak yang
dipersatukan oleh pernikahan, hubungan darah atau adopsi
Besar keluarga adalah jumlah orang yang berada dalam suatu tumah tangga yang
terdiri atas ayah/suami, ibu/istri, anak, dan lainnya yang terikat
pernikahan atau adopsi
Pendapatan per kapita adalah jumlah uang per bulan yang diterima ayah atau
ibu yang bekerja dan kemudian dibagi setiap anggota keluarga
Pendidikan

adalah lamanya

seseorang menempuh

jalur formal

untuk

mendapatkan pengetahuan atau ilmu
Lama Pernikahan adalah lamanya suami istri membentuk sebuah rumah tanngga
Keluarga Prasekolah adalah suami dan istri yang memiliki anak pertama usia
tiga sampai lima tahun.
Kesiapan Menikah adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang individu
yang

akan

menikah

perkembangannya

yang

sebagai

terdiri

remaja

atas

dan

pemenuhan

lainnya

yang

tugas
dapat

membantunya dalam kehidupan berkeluarga nantinya. Kesiapan
menikah diukur melalui kesiapan emosi, sosial, moral, intelektual, dan
kesiapan lainnya (individu, finansial, dan mental)

23

Kesiapan Emosi adalah potensi diri untuk merasakan, menggunakan,
mengkomunikasikan, mengendalikan, mendidentifikasi apa yang
dirasakan dalam dirinya.
Kesiapan Sosial adalah kemampuan untuk bergaul atau berhubungan dengan
orangtua maupun orang lain di sekitarnya.
Kesiapan Moral adalah kemampuan seseorang dalam membedakan mana yang
baik dan buruk serta mana yang benar dan salah yang menjadi nilai
absolut dalam diri manusia
Kesiapan Intelektual adalah kemampuan daya tangkap, daya pikir, dan daya
ingat serta memecahkan masalah
Tugas Dasar adalah peubah yang harus dipenuhi oleh keluarga yang menjadi
awal pemenuhan tahapan selanjutnya.
Tugas Krisis adalah tahapan kritis dalam tahap perkembangan keluarga atau
individu yang dicirikan dari ketidakmampuan keluarga atau individu
dalam menangani stres dalam kehidupannya karena kekurangan
sumberdaya dalam menangani stres tersebut. Tugas krisis diukur
melalui indikator yang dikembangkan dari Duvall (1971) dan Hurlock
(1980)

25

HASIL PENELITIAN
Gambaran umum lokasi penelitian
Desa Bubulak, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat menjadi
pilihan sebagai lokasi penelitian karena diantara seluruh Kecamatan Bogor Barat,
Keluarhan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembangan
dengan jumlah masyarakan menengah ke bawah yang lebih banyak. Berdasarkan
data monografi desa, luas kelurahan adalah 157,085 Ha. Luas daerah ini
diperuntukkan untuk beberapa hal seperti jalan, sawah, ladang, bangunan umum,
pemukiman, jalur hijau, pekuburan, dan lai-lain. Sebanyak 68,265 Ha digunakan
sebagai ladang dan 47,2 Ha dijadikan perumahan. Desa Bubulak berada dalam
dataran rendah dengan ketinggian 160 meter dari permukaan laut. Batas sebelah
utara Keluarahan Bubulak adalah Kelurahan Semplak, sedangkan batas selatannya
adalah Kelurahan Margajaya. Batas sebelah barat adalah Keluarhan Situgede dan
batas timurnya adalah Kelurahan Sindangbarang. Jarak Kelurahan Bubulak ke
pusat pemerintahan kecmatan sejauh 6 km, sedangkan ke pemerintahan pusat kota
sejauh 9 km. Desa Bubulak memiliki 13 RW dengan jumlah kepala keluarga per
tahun 2010 sebanyak 3437 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki sebanyak
6280 orang dan perempuan 6194 orang. Untuk penduduk musiman, terdapat 137
kepala keluarga yang tercatat di Desa Bubulak1.
Karakteristik keluarga
Besar keluarga
BKKBN menyebutkan bahwa keluarga dengan anggota tiga sampai empat
orang termasuk dalam kategori keluarga kecil. Hampir seluruh contoh (98,8%)
memiliki besar keluarga kecil (Tabel 3). Satu contoh lainnya anggota keluarga
sebanyak lima orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah sebesar 3,21 orang
atau tiga orang dengan standar deviasi sebesar 0,437.

1

Data monografi Desa Bubulak per tahun 2010

26

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga

Jumlah

Persentase

Kecil (3-4 orang)
Sedang (5-7 orang)
Besar (≥ 8 orang)
Total

89
1
0
90

98,8
1,1
0
100

Keterangan:
Nilai minimum-maksimum
: 3-5
Rata-rata±sd besar keluarga contoh : 3,21±0,437

Lama menikah contoh
Gambar 4 menunjukkan bahwa hampir setengah contoh (48,9%) menikah
selama lima tahun. Satu contoh menikah selama tiga tahun dan terdapat dua
contoh yang sudah menikah selama 10 tahun. Lama menikah contoh berada dalam
rentang tiga sampai sepuluh tahun. Rata-rata lama menikah contoh adalah 5,13

persentase (%)

tahun dengan standar deviasi sebesar 1,144.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

48,9

24,4

20
2,2

1,1

1,1

2

lama menikah (tahun)

3

4

5

6

7

9

10

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah
Usia suami dan istri saat ini
Hurlock (1980) membagi usia dewasa kedalam tiga kategori, yaitu dewasa
muda (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir ( >60 tahun).
Terlihat dari Tabel 4 bahwa hampir seluruh suami dan istri (94,4% dan 98,9%)
berada dalam rentang usia dewasa muda dengan rentang usia 22 sampai 47 tahun.
Rata-rata umur suami saat ini adalah 32,94 tahun, sedangkan umur istri saat ini
adalah 28,08 tahun. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara usia suami
dan istri dengan nilai p value sebear 0,000.

27

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia saat ini
Suami

Kategori

Istri

Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Dewasa muda (18-40)
85
94,4
89
98,9
Dewasa madya (40-60)
5
5,6
1
1,1
Total
90
100
90
100
Keterangan:
Nilai minimum-maksimum umur suami dan istri saat ini : 22-47
Rata-rata±sd umur suami dan istri saat ini
: 30,5±4,8
P value
: 0,000

Total
Jumlah Persentase
174
96,7
6
3,3
180
100

Usia menikah suami dan istri
Blood (1962) menyatakan bahwa umur merupakan indikator seseorang
sudah matang dan dewasa. Kematangan seseorang yang akan menikah diperlukan
untuk membentuk komitmen dalam pernikahan. Undang-undang no. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan menikah pada
usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Berdasarkan
undang-undang tersebut, terlihat dalam penelitian ini bahwa seluruh laki-laki
menikah lebih dari umur 19 tahun dan hanya terdapat satu perempuan (1,1%)
yang menikah saat umur 16 tahun (Tabel 5). Perbedaan yang sangat signifikan
terdapat antara umur menikah suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,000.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan umur menikah
Kategori

Jumlah

Suami
≤19 tahun
0
>19 tahun
90
Istri
≤16 tahun
1
>16 tahun
89
Keterangan :
Nilai minum-maksimum umur menikah suami
Rata-rata±sd umur menikah suami
Nilai minum-maksimum umur menikah istri
Rata-rata±sd umur menikah suami
P value

Persentase

Jumlah

Total
Persentas

0
100

0
90

0
100

1,1
98,9

1
89

1,1
98,9

: 20-39
: 27,8±4,2
: 16-36
: 22,9±3,7
: 0,000**

Pekerjaan suami dan istri
Gambar 5 menjelaskan bahwa 41,1 persen suami bekerja sebagai buruh.
Buruh disini antara lain buruh bangunan, buruh pabrik, sopir, dan penjaga
warung. Untuk istri, hampir seluruhnya (87,8%) tidak bekerja atau sebagai ibu
rumah tangga.

persentase (%)

28

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

87,8

41,1
31,1

25,6

1,1

1,1

0

2,2 3,3 3,3 2,2 1,1

Suami

Istri

PNS

Karyawan

Wiraswasta

Buruh

Kyai/guru agama/ustadz

Tidak bekerja/IRT

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan
Lama pendidikan suami dan istri
Pendidikan merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Pendidikan akan memberikan wawasan, pengetahuan, dan membentuk perilaku
yang baik2. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan
minimal sembilan tahun menurut Undang-undang No. 47 tahun 2008. Tabel 6
menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami menempuh sekolah formal kurang
dari sembilan tahun dengan nilai rata-ata dan standar deviasi sebesar 9,7 dan 2,8.
Sama halnya dengan suami, istri juga menempuh pendidikan formal kurang dari
sembilan tahun sebanyak 65,6 persen. Rata-rata istri menempuh pendidikan
selama 8,84 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 3,1. Terdapat perbedaan
pendidikan yang signifikan antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar
0,049.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan
Pendidikan
≤ 9 tahun
> 9 tahun

Suami
Jumlah
48
42
90

Persentase
53,3
46,7
100

Istri
Jumlah
59
31
90

Persentase
65,6
34,4
100

Total
Keterangan:
Nilai minimal-maksimal lama pendidikan suami dan istri : 0-16
Rata-rata±sd lama pendidikan suami dan istri
: 9,3±3,1
P value
: 0,049

2

Total
Jumlah
107
73
180

Persentase
59,4
40,6
100

http://umum.kompasiana.com/2009/06/30/pendidikan-sebagai-salah-satu-faktor-untuk-meningkatkankualitas-hidup-manusia-bag-1/

29

Pendapatan per kapita
Garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS
tahun 2010 adalah Rp212