Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PESISIR DAN LAUT
Ivan Razali
Abstract
There are two contradictory facts about seashore and ocean community. The first,
seashore and ocean natural have rich natural resources. The second, seashore and ocean
community are repressed of serious poverty. The national development of Indonesia must
gives priority to seashore and ocean development program. It means, national
development must pay attention to using of seashore and ocean resources and how to
empower the seashore and ocean community, pass through seashore and ocean sector
approach, by using community-based fishing system management is appropriate. By this
policy, seashore and ocean resources can used to increase the community of seashore and
ocean social welfare.
Keywords: poverty, natural resources, community based
Pendahuluan
Negara Indonesia terkenal memiliki
potensi kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini
sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara
kepulauan (archipelagic state), yang memiliki
17.508
gugusan

pulau-pulau.
Potensi
sumberdaya pesisir di Indonesia dapat
digolongkan sebagai kekayaan alam yang dapat
diperbaharui (renewable resources), tidak dapat
diperbaharui (non-renewable resources), dan
berbagai macam jasa lingkungan (environmental
service).
Kekayaan alam Indonesia tersebut
dibuktikan dengan berbagai ragam sumberdaya
hayati pesisir yang penting seperti hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
rumput laut, dan perikanan.
Hutan
mangrove misalnya adalah
daerah/zona yang unik, yang merupakan
peralihan antara komponen laut dan darat, yang
berisi vegetasi laut dan perikanan (pesisir) yang
tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara
sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang

selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut
serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi
laut dan perikanan (pesisir) mangrove dicirikan
oleh jenis-jenis tanaman bakau (rhizopora spp.),
api-api (avicenia spp.), prepat (sonneratia spp.)
dan tinjang (bruguiera spp.)
Data luas hutan mangrove di dunia ini
sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesia
terdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang

tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia
(Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun
1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove
seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas
tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat
60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988).
Hutan mangrove di Sumatera terutama
tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena: 1)
Pantai Timur mempunyai dataran lebih rendah
dibanding pantai Barat Sumatera. 2) banyak

sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir
ke Pantai Timur. Kondisi ini mendorong
pertumbuhan mangrove di muara sungai makin
subur dan makin luas, karena banyak endapan
yang terbawa arus sungai (Dahuri, 1997).
Selanjutnya potensi laut yang penting
lainnya adalah ekosistem terumbu karang yaitu
ekosistem yang khas untuk daerah tropis.
Terumbu karang merupakan keunikan di antara
asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya
dibentuk oleh kegiatan biologis.
Terumbu
adalah endapan-endapan masif yang penting dari
kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh
karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo
Medreporaria = Scleractinia) dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium
karbonat. (Nybakken, 1992).
Di Indonesia, ekosistem terumbu karang
menempati kira-kira 7.500 km2 yang terbentang

sepanjang 17.500 km dengan potensi yang dapat
dimanfaatkan seperti berbagai jenis ikan hias,
lobster, penyu, kima, teripang, dan lain-lain.

Ivan Razali adalah Dosen Departemen Administrasi Negara FISIP USU
61

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

Terumbu karang juga dimanfaatkan untuk bahan
bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan udara
dan bahan baku industri pupuk. (Dahuri, 2000).
Potensi laut yang penting lainnya adalah
Padang Lamun (seagrass), yang merupakan
komponen utama yang dominan di lingkungan
pesisir. Biasanya berkembang pada perairan
dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan
laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu
karang. Komunis padang lamun di Indonesia
merupakan terluas.

Rumput laut berbeda dengan padang
lamun, dimana komunitas rumput laut
berkembang pada substrat yang keras sebagai
tempat melekat. Jadi mereka mampu
mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam
ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut.
(Nybakken, 1992). Beberapa jenis rumput laut
dijadikan makanan ternak, bahan baku obatobatan, agar-agar dan lain-lain. Dari 555 jenis
rumput laut di Indonesia, sekitar 4 jenis yang
telah
dikomersilkan yaitu Euchema,
Gracillaria, Gelidium, dan Sargasum. Potensi
rumput laut di Indonesia dapat dilihat dari
potensi lahan budidaya rumput laut yang
tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi ini
secara keseluruhan mencakup areal seluas
26.700 ha dengan potensi produksi sebesar
482.400 ton per tahun. (Dahuri, 2000).
Sektor terpenting lainnya di daerah peisisr
dan laut adalah sektor perikanan yang

merupakan suatu sektor penting karena dengan
peningkatan ekspor perikanan, sesuai dengan
tujuan pembangunan dalam sektor perikanan
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan
pendapatan masyarakat pesisir dan melepaskan
Indonesia dari krisis ekonomi saat ini. Di sektor
perikanan terkandung kekayaan laut yang sangat
beragam, antara lain dari jenis-jenis ikan pelagis
(cakalang, tuna, layar) dan jenis ikan dumersal
(kakap, kerapu). Selain itu, terdapat juga biota
lain yang dapat ditemukan di seluruh pesisir di
Indonesia, seperti kepiting, udang, teripang,
kerang dan lain-lain. Pemanfaatan dan
pengelolaan jenis-jenis biota tersebut, kadangkadang kurang begitu dikenal ataupun belum
dimanfaatkan
secara
optimal
untuk
meningkatkan perekonomian nelayan Indonesia
dan sebagai salah satu sumberdaya penting yang

dapat meningkatkan devisa negara.

62

Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Pesisir

dan

Budaya

Besarnya potensi kelautan tersebut
ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan
masyarakat nelayan. Hal ini terlihat dimana
kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat jauh
berbeda dengan potensi sumberdaya alamnya.
Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya
sumbangan sektor kelautan selama Pelita VI
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Nasional yaitu 12,1% dengan laju pertumbuhan

3,8% jauh di bawah laju pertumbuhan rata-rata
seluruh sektor sebesar 7,4% (Waspada, 18
Maret 2000).
Nelayan adalah suatu fenomena sosial
yang sampai saat ini masih merupakan tema
yang sangat menarik untuk didiskusikan.
Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang
selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal,
miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa
baik secara ekonomi maupun politik.
Kemiskinan yang selalu menjadi “trade
mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat
dibenarkan dengan beberapa fakta seperti
kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat
pendapatan dan pendidikan yang rendah,
rentannya
mereka
terhadap
perubahanperubahan sosial, politik, dan ekonomi yang
melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap

intervensi pemodal, dan penguasa yang datang.
Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984)
menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di
daerah Jepara sebagian berasal dari golongan
sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari
Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara juga
menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk
Desa Pantai Sumatera Utara berpendapatan 25 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989). Rata-rata
pendapatan perkapita nelayan tersebut tidak
lebih 15 ribu/bulan. Padahal pendapatan
perkapita penduduk Sumatera Utara rata-rata
37.267 rupiah/ bulan (BPS, 1989).
Beberapa tulisan mengenai nelayan yang
menggambarkan tentang kemiskinan/ kondisi
ekonomi nelayan seperti berikut ini. Tulisan
Mubyarto (1984) misalnya, menganalisis
perekonomian masyarakat nelayan miskin di
Jepara. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan
nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya
tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas

kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak,
miskin dan miskin sekali di satu pihak.
Penelitian
ini
menunjukkan
adanya

Razali, Strategi Pemberdayaan…

dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap
nelayan miskin. Hampir sama dengan penelitian
di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno
(1988) juga melihat kemiskinan nelayan di
Kepulauan Riau. Menurut Mubyarto dkk,
kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan
oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan
kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin.
Hampir sama dengan asumsi yang
dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh
struktur, Resusun (1985) juga menemukan data

bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten
Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok
nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan,
yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayan
kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh
nelayan yang punya modal (punggawa) dan
pedagang (pa’bilolo) yaitu sawi bagang atau
Pa’bagang atau pembantu utama punggawa
dalam menangani kegiatan operasi penangkapan
ikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Resusun di
atas juga menunjukkan adanya struktur
hubungan sosial yang khas pada masyarakat
nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak
seimbangan antara yang mempunyai modal
usaha dan para pekerjanya. Hubungan itu
adalah antara punggawasawi/pa’bagang yang
bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun sawi
perlu sang punggawa sebagai sumber lapangan
kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi.
Seorang punggawa akan berusaha supaya sawi
yang dipercayai menetap diusahanya. Akibatnya
terjadi hubungan yang selalu merugikan sawi.
Karena seringkali kerelaan punggawa untuk
meminjamkan uang kepada sawi berdasarkan
motivasi agar sawi tetap berada di lingkaran
setan. Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali
harus dibalas dengan jasa yang sangat
berlebihan.
Hal ini terlihat dalam penelitian yang
dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari,
Kabupaten Bulukumba menyebutkan bahwa
seorang istri sawi mengerjakan apa saja di
rumah isteri punggawa untuk membalas jasa
punggwa membantu suaminya.
Sejalan dengan hal di atas di Propinsi
Sumatera Utara hasil penelitian-penelitian
mengenai nelayan cenderung juga menunjukkan
kondisi yang sama yaitu nelayan hidup dalam
kemiskinan.
Misalnya penelitian yang
dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa Bagan
Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang
menyebutkan akibat struktur patron dan klien

antara pemborong dan nelayan, maka nelayan
Desa Bagan Deli menjadi miskin.
Harahap
(1992,1993,1994,)
telah
melakukan
serangkaian
penelitian
yang
berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tiga
desa di Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penyebab kemiskinan nelayan adalah faktor
budaya dan rusaknya sumberdaya alam
khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir)
mangrove yang telah diubah menjadi tambak
udang. Selain faktor-faktor di atas yang
mnyebabkan nelayan miskin juga adanya
konflik nelayan tradisional terhadap pemilik
alat-alat tangkap modren seperti pukat harimau.
Konflik itu terjadi karena pukat harimau
melakukan penangkapan ikan di zona
penangkapan nelayan tradisional. Salah satu
penyebab konflik adalah adanya penabrakan
nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan
Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian
nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban
meninggal 5 orang, hilang 31 orang , sejak tahun
1993 sampai Juli 1998.
Berbicara
kondisi
sosial
budaya
masyarakat nelayan di Sumatera Utara
khususnya berasal dari etnis Melayu adalah
berbicara mengenai kemiskinan nelayan Melayu
yang merupakan salah satu pribumi (host
population) di Sumatera Utara yang seharusnya
dominan, tetapi ternyata juga mengalami pasang
surut kehidupan ekonomi, politik dan
kebudayaan terutama setelah penyerahan
kedaulatan. Menurut catatan sampai sekarang
belum juga bangkit dari ketenggelamannya dan
masih belum ada usaha untuk menariknya ke
luar dari pertapaannya yang cukup lama.
Sudah barang tentu etnis Melayu
Sumatera Timur ini pernah mempunyai etos
kerja yang tinggi. Namun melihat keadaan dan
kondisi suku-bangsa ini pada masa ini dibanding
dengan suku-suku bangsa lain sadar atau tidak
sadar terus berkompetisi, terlihat dalam
kenyataan etnis Melayu terus tertinggal.
Menurut Pelly (1987) kemunduran etos kerja
pada suku-bangsa Melayu harus dilihat dari
proses sejarah sekalipun ironis.
Di satu pihak proses sejarah menunjukkan
betapa kemakmuran orang Melayu di zaman
kolonial telah merosotkan tanggung jawab
bangsawan Melayu terhadap masa depan orang
Melayu itu sendiri. Di lain pihak kemakmuran
itu menaikkan status mereka. Pelly (1987) juga
menyatakan kemunduran yang mematahkan
63

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

kebanggaan Melayu itu adalah karena perubahan
ekologi. Perubahan ekologi akibat migrasi dari
berbagai suku-bangsa dan ras ke Sumatera
Timur telah merombak jumlah dan komposisi
penduduk dan menyebabkan orang Melayu
menjadi kelompok minoritas di negerinya
sendiri. Perubahan ini seumpama air bah yang
digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial
yang secara paksa melanda kehidupan sosial
budaya masyarakat Melayu.
Setidaknya ada dua gelombang migrasi
yang terjadi pada penghujung abad ke 19 dan
permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur.
Penguasa
Kolonial
Belanda
membuka
perkebunan yang pada mulanya mendatangkan
orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang
merupakan gelombang migrasi pertama. Orang
Cina bekas kuli kebon ini keluar dari
perkebunan menetap di kota-kota Sumatera
Timur, seperti Medan, Pematang Siantar, dan
Tanjung Balai mengembangkan lapangan
perdagangan bersama dengan kelompok etnis
lain, seperti Minangkabau, Mandailing dan
Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan
migran gelombang kedua, yang tujuannya selain
berdagang juga banyak untuk menjadi pekerja di
kantor, sebagai guru atau ulama.
Akibat migrasi yang terjadi dalam dua
gelombang itu Orang Melayu kelihatan menjadi
minoritas dalam jumlah populasi, walaupun
kedudukan mereka dalam bidang politik dan
budaya masih tetap dominan. Namun akhirnya
perubahan demografis diikuti perubahan ekologi
yang paling mendasar yaitu tanah-tanah Orang
Melayu dijadikan perkebunan. Dengan demikian
perubahan terjadi pada sistem ekonomi rakyat
walaupun kepada Sultan diberikan royalti dan
ganti rugi.
Orang
Melayu
kehilangan
tradisi
maritimnya karena ketiadaan komoditi. Tradisi
pertanian komoditi eksport dan tradisi maritim
adalah lambang etos kerja Orang Melayu.
Sebagai penunggu tanah bekas, menanti
panen tembakau untuk menanam pala dan
palawija telah menanamkan kebiasaan hidup
santai, karena ketergantungan kepada bantuan
Sultan sebagai kebijakan (policy) pemerintah
Kolonial Belanda. Sementara perkembangan
kota menuntut pekerjaan baru seperti
pertukangan, perdagangan, jasa, industri dan
kepegawaian.
Selain tidak tertarik dan kalah bersaing
dengan suku-bangsa lain, pendidikan yang
rendah akhirnya dalam okupasi baru itu Orang
64

Melayu tidak kebagian. Muncullah tradisi
“menepi pada suku-bangsa Melayu itu“.
Seperti diketahui kebudayaan suatu
masyarakat yang faktornya sangat ditentukan
oleh lingkungan fisik dan sosial budaya
memberikan bentuk tentang apa dan bagaimana
kehidupan yang memuaskan. Kehidupan “di
tengah” tidak lagi memberi kepuasan kepada
mereka akibat perubahan lingkungan tadi.
Akhirnya hidup di tepi pantai lebih memberi
kepuasan. Namun laut tidak menggugah lagi dan
tidak dapat meningkatkan kehidupan yang lebih
baik. Kehidupan diterima dengan pasrah dan
mereka tidak dapat ke luar dari lingkaran setan
yang menjerat mereka dalam kehidupan miskin
yang mendasar.
Pendekatan Pembangunan Sektor Kelautan
Pengalaman krisis ekonomi yang melanda
Indonesia menampilkan sisi lain, bahwa
kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan
mengambil langkah pembangunan industri
melalui subsitusi impor ternyata membutuhkan
biaya yang mahal dan ketergantungan yang
besar industri Indonesia terhadap investasi,
teknologi, bahan baku, bahkan ketergantungan
politik kepada negara-negara industri maju.
Pergeseran kebijakan politik yang melawan arus
atau
kepentingan
negara-negara
maju,
cenderung ditanggapi oleh negara-negara maju
dengan memanfaatkan ketergantungan itu untuk
menekan atau memaksakan agenda-agenda
kepentingannya.
Oleh karena itu, pemerintah harus
menggeser strategi pertumbuhan ekonomi dan
proses industrialisasi yang berbasis pada industri
subsitusi impor (berbahan baku impor) ke proses
industrialisasi yang lebih mengedepankan
sektor-sektor yang berbasis pada kekuatan
sumberdaya alam dalam negeri.
Sektor
kelautan
dan
perikanan
menyumbang secara signifikan sekitar 1,87 %
pada Produk Domestik Bruto sampai kuartal III
tahun 1998. Terdepresinya rupiah terhadap dolar
ke titik terendah dan berdampak pada
merosotnya kontribusi ekonomi sektor-sektor
lain, justru meningkatkan kontribusi ekspor
komoditi perikanan pada devisa negara. Hal
tersebut dicapai karena di sektor perikanan pada
faktor produksinya menggunakan mata uang
rupiah sementara transaksi penjualan ke pasar
dunia menggunakan nilai dolar.

Razali, Strategi Pemberdayaan…

Sementara itu tingkat kesejahteraan para
pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini masih
di bawah sektor-sektor lain. Menurut sumber
terbaru dari BPS, 1998 jumlah masyarakat
miskin di Indonesia mencapai 49.000.000 jiwa,
dari data tersebut sekitar 60 % nya merupakan
masyarakat pesisir.
Agar
kita
dapat
memanfaatkan
sumberdaya perikanan sebagaimana yang kita
harapkan, maka pertama yang harus kita lakukan
adalah
menyatukan
kesamaaan
visi
pembangunan
perikanan,
yaitu
“suatu
pembangunan
perikanan
yang
dapat
memanfaatkan sumberdaya ikan beserta
ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan
dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama
nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan”.
Untuk mewujudkan visi pembangunan
perikanan tersebut di dalam menghadapi
segenap peluang dan tantangan milenium ke-3
serta untuk menjadikan sektor perikanan
menjadi sektor andalan (leading sector), terdapat
tiga syarat mutlak yang harus terpenuhi.
Pertama, sektor perikanan harus mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi secara
nasional (makro) melalui peningkatan devisa,
peningkatan
pendapatan
rata-rata
para
pelakunya
serta
mampu
meningkatkan
sumbangannya terhadap Produk Domestik
Bruto. Kedua, sektor perikanan harus mampu
memberikan keuntungan secara signifikan
kepada para pelakunya dengan cara mengangkat
tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan
yang pada saat ini masih sangat tertinggal
dibanding dengan sektor-sektor lain. Ketiga,
pembangunan
perikanan
yang
akan
dilaksanakan selain dapat menguntungkan
secara ekonomi juga harus ramah secara
ekologis, artinya pembangunan harus memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan
baik terhadap sumberdaya perikanan itu sendiri
maupun ekosistem lainnya.
Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat
nelayan beberapa faktor harus diperhatikan,
misalnya kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat nelayan. Untuk alternatif yang
diberikan adalah pemberdayaan masyarakat
nelayan
dengan
kerangka
pengelolaan
sumberdaya kelautan berbasis komunitas
(Community-Based
Fishing
System
Management).

Community-Based
Management

Fishing

System

Pengelolaan laut dan perikanan (pesisir)
yang telah dilakukan negara belum sepenuhnya
mampu melindungi laut dan perikanan (pesisir)
dari eksploitasi manusia, baik itu dari pengusaha
maupun dari masyarakat sendiri. Bersamaan
dengan itu, partisipasi masyarakat belum secara
penuh terlibat dalam pengelolaan laut dan
perikanan (pesisir). Dengan perkataan lain,
pengelolaan laut dan perikanan (pesisir) dengan
perspektif produksi, efisiensi, sosial, ekonomi
dan lingkungan harus menjadi komitmen dan
tujuan dari pengelolaan laut dan perikanan
(pesisir). Artinya pengelolaan sumberdaya laut
dan perikanan (pesisir) yang secara turun
temurun dan berkelanjutan telah dipraktekkan
dan dikembangkan oleh masyarakat laut dan
pesisir harus digunakan untuk kesejahteraan
mereka.
Namun konsep sistem laut dan perikanan
(pesisir) kerakyatan pemerintah di atas,
mengabaikan sejarah (ahistoris). Karena
mengabaikan secara hukum keberadaan dan
keterampilan rakyat/ penduduk yang bermukim
di dalam dan sekitar laut dan perikanan (pesisir).
Posisi rakyat dalam berhadapan dengan
pemerintah dan pengusaha sangat lemah.
Karena pelestarian laut dan perikanan (pesisir)
(manfaat ekologis) hanya dimungkinkan bila
rakyat dilibatkan secara maksimal sehingga
tingkat kesejahteraan mereka semakin baik
(manfaat ekonomi). Banyak manfaat yang
diperoleh
dengan
pola
pengembangan
Community Based Fishing System Management,
antara lain:
1. Memelihara fungsi lingkungan dengan
memanfaatkan sumberdaya di dalamnya
secara lestari (sustainability).
2. Meningkatkan pendapatan (income
generating) anggota komunitas yang
taat pada prinsip pemerataan dan
keadilan sosial (equity and social
justice).
3. Meniingkatkan
partisipasi
politik
masyarakat lokal yang dilandasi pada
adanya keswadayaan ekonomi dan
politik (self reliance).
Selain manfaat di atas, CBFSM juga
mempunyai manfaat secara ideologis yaitu:

65

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

1. Pembangunan berpusat pada masyarakat
lokal, tidak lagi semata berbasis pada
negara (pemerintah).
2. Tanggung jawab mengelola sumberdaya
alam pada masyarakat lokal, bukan
hanya pada negara/ pemerintah.
3. Akses dan pengendalian sumberdaya
terbuka luas untuk masyarakat lokal,
tidak eksklusif semata di tangan negara
(pemerintah).
Secara sosial dan politik, CBFSM juga
bermanfaat sebagai berikut:
1. Meningkatkan keadilan sosial.
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya.
3. Prioritas pembangunan sesuai dengan
kebutuhan lokal.
4. Manfaat sumberdaya secara langsung
dapat dinikmati penduduk lokal.
5. Sarana produksi cenderung berskala
kecil dan menengah.
6. Dari aspek teknis dan ekonomis lebih
efisien.
7. Masyarakat lokal langsung dapat lebih
mudah mengendalikan sumber dayanya
secara berkelanjutan.
Oleh karena itu agar sistem laut dan
perikanan
(pesisir)
kerakyatan
dapat
memperoleh manfaat secara ekologis dan
ekonomis paling tidak harus memiliki ciri yaitu:
1. Aktor utama pengelolaan laut dan
perikanan (pesisir) adalah masyarakat
setempat. Artinya masyarakat harus
diberi hak dan kewajiban secara resmi.
2. Lembaga
pengelolaan
dibentuk,
dilaksanakan dan dikontrol secara
langsung oleh masyarakat setempat.
3. Ada wilayah yang jelas, yang memiliki
kepastian hukum yang mendukungnya.
Hukum itu bisa hukum negara atau
hukum adat setempat. Artinya ada
pengakuan negara atas hukum adat dan
hak ulayat komunitas.
4. Interaksi antara masyarakat dengan laut
dan perikanan (pesisir) setempat bersifat
erat dengan langsung (kelangsungan
hidup mereka memang sangat ditopang
dari pemanfaatan hasil laut dan
perikanan (pesisir).
5. Pengetahuan lokal posisinya sangat
penting
dan
melandasi
bentuk
66

6.

7.

8.
9.

pengelolaan laut dan perikanan (pesisir)
setempat.
Teknologi yang digunakan memang
sangat dikuasai masyarakat setempat
dan menjadi tradisi mereka. Artinya
strategi pengelolaan sesuai dengan
kebutuhan aktual dan kapasitas lokal.
Dalam melaksanakan hasil-hasil laut
dan perikanan (pesisir) itu aspek
kelestariannya sangat diperhatikan
sekalipun itu mereka memanfaatkan
untuk mendapatkan uang sebanyakbanyaknya.
Sistem ekonomi didasarkan pada
kesejahteraan bersama
Keaneka ragaman mendasari berbagai
bidangnya, seperti dalam hal: jenis dan
hayati, pola budaya dan pemanfaatan
sumberdaya, sistem sosial dan lain-lain.
Hal ini juga untuk mengurangi tekanan
eksploitasi
terhadap
satu
jenis
sumberdaya.

Penutup
Berkaitan
dengan
pemberdayaan
masyarakat pesisir dan laut, yang lebih penting
dari sejumlah prasyarat di atas adalah adanya
pemahaman secara eksternal terutama internal
mengenai pranata-pranata tradisional dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
dipraktekkan masyarakat setempat. Pranata ini
penting dicermati khususnya yang berkaitan
dengan organisasi dan peraturan pemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya yang ada. Karena
telah
sama-sama
kita
ketahui
bahwa
permasalahan utama pembangunan dalam
rangka meningkatkan taraf kesejahteraan warga
desa, bukanlah bermuara pada persoalan
ketersediaan sarana fisik, teknis dan uang.
Banyak contoh-contoh bagaimana sarana fisik
dibangun dan bantuan keuangan diberikan
kepada warga desa tetapi akhirnya sia-sia. Hal
ini disebabkan oleh keberadaan mereka yang
tidak memiliki kemampuan dalam manajemen
bantuan langsug.
Persoalannya adalah bagaimana menumbuhkan organisasi-organisasi desa yang baik,
produktif dan mampu bersaing, sehingga dapat
bernegosiasi dan tawar menawar dengan
pemerintah maupun agen-agen pembangunan
lainnya dalam pelaksanaan pembangunan di
desa mereka sendiri. Bantuan berupa uang atau
sarana fisik tidak akan memberi arti apapun bagi

Razali, Strategi Pemberdayaan…

peningkatan ekonomi penduduk tanpa ada
kemampuan di kalangan penduduk untuk
mengatur secara sosial dalam mengamankan,
memelihara, dan mengembangkan bantuan itu.
Potensi kemampuan berkelompok ini
tergantung pada besarnya persinggungan nilainilai dan norma-norma yang dimiliki bersama
dalam suatu komunitas dan kemampuan
seseorang untuk mendahulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi. Dengan kata
lain kemampuan berkelompok hanya dapat
terjadi jika ada saling percaya di antara anggota
kelompok atau komunitas bersangkutan.
Kepercayaan itu sendiri berakar pada norma
sosial, adat istiadat dan etika sosial yang
dimiliki setiap kelompok atau komunitas secara
bersama-sama. Pada saat suatu masyarakat
memiliki saling percaya yang kuat maka pada
saat itu modal sosial yang dimiliki masyarakat
tersebut juga tinggi.
Banyak contoh dikemukakan para ahli
pembangunan bahwa masyarakat yang memiliki
modal sosial yang tinggi cenderung merupakan
masyarakat yang berproduktifitas tinggi. Dengan
kata lain, dalam konteks pembangunan,
demokratisasi tidak semata berarti suatu
pembangunan harus mengutamakan manusia,
yang lebih penting adalah di dalam proses itu
selalu mendayagunakan adat istiadat, nilai-nilai
dan etika yang memang milik masyarakat
tersebut. Inilah yang disebut pembangunan
berwawasan kebudayaan.
Daftar Pustaka
Anonimus, 1997, Beberapa Pengertian Tentang Mangrove, Dalam Panduan Pela-tihan
Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove
Secara
Terpadu
dan
Berkelanjutan. Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup, Universitas Brawi-jaya, Malang.
Anwar, Jazanul, Sengli J. Damanik, Naza-ruddin
Hisyam dan Anthony J. Whitten, 1984,
Ekologi Ekosistem Sumatera, Gadjah Mada
University Press, Yogjakarta.
Batoro, Jati,
1997,
Petunjuk Pembuatan
Herbarium, Dalam Panduan Pelatihan
Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove
Secara
Terpadu
dan
Berkelanjutan,
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya,
Malang.

Dahuri, Rokhmin,
1997,
Pengembangan
Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Berganda Ekosistem Mangrove di Sumatera,
Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan
Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara
Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya.
Malang.
________, 2000, Reposisi Pembangunan
Perikanan Indonesia Dalam Rangka
Pemberdayaan
Masyarakat
Pesisir,
Makalah
Dalam
Seminar
Sehari
Kementerian Eksplorasi Laut: Mampukah
Menjamin Hak-hak Nelayan Tradisional,
JALA, SNSU dan FISIP USU, Medan.
________, 2000, Pemberdayaan Wilayah
Pesisir Yang Berbasis Pada Pemberda-yaan
Masyarakat, Makalah disampaikan pada
Rapat Kerja Center For Regional Resource
Development
and
Community
Enpowerment (CRES-CENT). Bogor 20 23 April 2000, Bogor.
Dartius,
1988,
Faktor-faktor Lingkungan
Hidup dan Sosial Ekonomi Dalam
Pengelolaan Mangrove Sepanjang Pesisir
Sumatera Utara (Tahap I),
Laporan
Penelitian Tidak Dipublikasikan, Lembaga
Penelitian USU, Medan.
Harahap, R, Hamdani, 1992, Nelayan dan
Kemiskinan (Studi Antropologis Di Desa
Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu,
Kabupaten
Deli
Serdang),
Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian USU.
________, 1993, Kearifan Ekologi Masya-rakat
Nelayan Desa Jaring Halus, Keca-matan
Secanggang, Kabupaten Langkat Propinsi
Sumatera Utara, Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian USU.
________, 1994,
Orientasi Nilai Budaya
Nelayan Propinsi Sumatera Utara (Studi
Perbandingan
Terhadap
Masyarakat
Nelayan Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat dan
Masyarakat Nelayan Cina di Desa Su-ngai
Berombang, Kecamatan Panai Hilir,
Kabupaten Labuhan Batu), Laporan
Penelitian, Lembaga Penelitian USU.

67

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, Mei 2004, Volume 3, Nomor 2, Halaman 61 - 68

________, 1994, Keterkaitan Faktor Kebudayaan Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Masyarakat Nelayan dan Pelestarian
Lingkungan Di Daerah Pantai Timur
Sumatera Utara,
Tesis S2,
Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
Lubis, Kamaluddin, 1991, Hukum Sebagai
Sarana Rekayasa Konflik Kepentingan
Dalam Pemanfaatan Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove di Sumatera Utara,
Dalam Seminar Nasional Kehidupan
Nelayan dan Aspek Hukumnya di Wilayah
Pantai Pesisir Timur, Fakultas Hukum
USU, Medan.

Dalam Pelatihan dan Pengembangan
Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan
Berkelanjutan. Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud,
Malang.
Rambe, Saruhum, 1997, Laut dan perikanan
(pesisir) Desa (Studi Mengenai Pengelolaan
Laut dan perikanan (pesisir) Oleh
Masyarakat Lokal di Desa Jaring Halus,
Kecamatan Secanggang, Langkat), Jurusan
Antropologi FISIP USU, Medan.

Mubyarto, Loekman Soetrisno dan Michael
R.Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan
Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa
Pantai. Rajawali. Jakarta.

Resusun, Demianus, 1985, Dayung Basah
Periuk Berisi. Studi Tentang Beberapa
Aspek Sosial Ekonomi Nelayan Bagang di
Pulau Sembilan,
Dalam Muklis dan
Kathryn Robinson. Masyarakat Pantai.
Lembaga
Penelitian
Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.

Mubyarto dan Loekman Soetrisno, 1988, Studi
Pengembangan Desa Pantai di Provinsi
Riau. Pusat Pembanganunan Pe-desaan dan
Kawasan UGM, Yogjakarta.

Rizal, Jufrina, 1985, Kehidupan Wanita Bira.
Dalam Muklis dan Kathryn Robinson.
Masyarakat Pantai, Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Nybakken, James, W, 1992, Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Soewito, 1984, Status Ekosistem Laut dan
Perikanan (pesisir) Mangrove Dalam
Kaitannya Dengan Kepentingan Peri-kanan
di
Indonesia
dan
Kemungkinan
Pengembangannya,
Dalam Prosiding
Seminar II Ekosistem Mangrove, LIPI,
Jakarta.

Pandia Setiaty. 1996. Pengelolaan Laut dan
perikanan (pesisir) Bakau di Kabupaten
Langkat Sumatera Utara Yang Berdi-mensi
Sosial Ekonomi, Berwawasan Lingkungan
Serta Menunjang Pembangunan Daerah.
PUSLIT SDAL-USU. Medan.
Pariwono, John, I, 1997, Dinamika Perairan
Pantai di Daerah Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove, Makalah Dalam
Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Proyek Pengembangan Pusat Studi
Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud,
Malang.
Pelly, Usman, 1987, Etos Kerja Orang Melayu Dalam Perubahan Sosial, Kertas Kerja
Simposium LIPI, Jakarta.

Qoid, Abdul dan Mimit Primyastanto, 1997,
Analisis Kelayakan Finansial Proyek Laut
dan perikanan (pesisir) Mangrove, Makalah
68