Bagian iv sistem proses siklus kebijakan publik
SISTEM, PROSES, &
SIKLUS KEBIJAKAN
(2)
SISTEM, PROSES, DAN
SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK
1. Sistem Kebijakan Publik
Sistem kebijakan publik, menurut
Mustopadidjaja AR (Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja AR, 1988), adalah:
keseluruhan pola kelembagaan dalam
pembuatan ebijakan publik yang
melibatkan hubungan di antara 4 elemen
(unsur), yaitu masalah kebijakan publik,
pembuatan kebijakan publik, kebijakan
publik dan dampaknya terhadap kelompok
sasaran (target groups).
Sistem kebijakan publik dikenal adanya
unsur-unsur : Input -> Proses -> Ouput
.(3)
a. Input : Masalah Kebijakan Publik
Masalah kebijakan publik ini timbul
karena adanya faktor lingkungan
kebijakan publik yaitu suatu keadaan
yang melatar belakangi atau perisiwa
yang menyebabkan timbulnya “ masalah
kebijakan publik” tersebut, yang berupa
tuntutan-tuntutan, keinginan-keinginan
masyarakat atau tantangan dan peluang,
yang diharapkan segera diatasi melalui
suatu kebijakan publik. Masalah itu dapat
juga timbul justru karena dikeluarkannya
suatu kebijakan publik baru.
(4)
b. Process (proses) : Pembuatan Kebijakan
Publik
proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat
politis, di mana dalam proses tersebut terlibat
berbagai kelompok kepentingan yang
berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.
c. Output :
Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian
tindakan yang dimaksudkan untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan
tertentu seperti yang diinginkan oleh kebijakan
publik.
(5)
d. Impact (dampak), yaitu dampaknya
terhadap kelompok sasaran (target groups) kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-kelompok orang-orang, atau
organisasi-organisasi, yang perilaku atau
keadaaanya ingin dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik tersebut.
(6)
2. Proses Kebijakan Publik
a. Perumusan Kebijakan Publik
Tahap ini mulai dari perumusan masalah
sampai dengan dipilihnya alternatif untuk
direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat
yang berwenang.
b. Implementasi Kebijakan Publik
Setelah kebijakan publik disahkan oleh
pejabat yang berwenang, maka kemudian
kebijakan publik tersebut diimplementasikan
(dilaksanakan)
(7)
Mengenai implementasi kebijakan publik, Mustopadidjaja AR (Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja AR,
1988), mengemukakan bahwa dilihat dari
implementasinya, ada tiga bentuk kebijakan publik, yaitu :
1) Kebijakan langsung
yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya : INPRES SD
2) Kebijakan tidak langsung
yaitu kebijakan yang pelaksanannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, dalam hal ini pemerintah hanya mengatur saja.
misalnya : kebijakan pemerintah tentang Investasi Asing.
3) Kebijakan campuran
yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dan bukan pemerintah (swasta)
(8)
c. Monitoring Kebijakan Publik
Monitoring kebijakan publik adalah proses
kegiatan pengawasan terhadap implementasi
kebijakan, yaitu untuk memperoleh informasi
tentang seberapa jauh tujuan kebijakan itu
tercapai. (Hogwood and Gunn, 1989).
d. Evaluasi Kebijakan Publik.
Evaluasi kebijakan publik itu bertujuan untuk
menilai apakah perbedaan sebelum dan
setelah kebijakan itu diimplementasikan, yaitu
perbandingan antara sebelum dan sesudah
(9)
3. Siklus Kebijakan
Publik
Perumusan Kebijaksanaan
Evaluasi Kebijakan
Monitoring Kebijkan
Implementasi Kebijakan
(10)
PERAN INFORMASI DALAM PEMBUATAN
KEBIJAKAN PUBLIK
PENGERTIAN DATA DAN INFORMASI
Data adalah fakta yang sedang tidak digunakan
dalam proses pembuatan keputusan, biasanya di
catat dan di arsipkan tanpa maksud untuk segera
diambil kembal untuk pembuatan keputusan.
Informasi adalah data yang telah disusun
sedemikian rupa, sehingga bermakna dan
bermanfaat untuk membuat keputusan.
(11)
Syarat-syarat informasi yang baik
Parker (Kumorotomo dan Agus Margono,1994) mengemukakan sebagai berikut :
a. Ketersediaan (availability)
Syarat pokok bagi informasi adalah tersedianya itu sendiri. Informasi harus dapat diperoleh bagi yang hendak
memanfaatkannya.
b. Mudah dipahami
Informasi harus mudah dipahami oleh pembuat kebijakan.
c. Relevan
Informasi yang diperlukan harus benar-benar relevan dengan permasalahannya.
d. Bermanfaat
Terkait dengan syarat relevansi, informasi harus bermanfaat bagi pembuat kebijakan.
(12)
e. Tepat waktu
Informasi harus tersedia tepat waktunya, terutama apabila pembuat kebijakan ingin segera
memecahkan masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
f. Keandalan (Reliability)
Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan kebenarannya.
g. Akurat
Informasi seyogyanya bersih dari kesalahan, harus jelas dan secara tepat mencerminkan makna yang terkandung dari data pendukungnya.
h. Konsisten
Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi dalam penyajiannya.
(13)
AGENDA SETTING
1. Isu-Isu KonseptualAgenda setting adalah suatu tahap sebelum
perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaiman isu-isu (issues) itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindak-lanjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah.
Cb and Ross, seperti dikutip oleh Howeltt and Ramesh (1995), mendefinisikan agenda setting sebagai “ Proses dimana keinginan-keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat
diterjemahkan ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian serius dari pejabat-pejabat pemerintah”
(14)
2. Proses Agenda Setting
Systemic Agenda (agenda sistemtik) terdiri atas isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai
pantas mendapat perhatian dari pemerintah dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintahan masing-masing.
(15)
Tiga prasayarat agar isu kebijakan (policy issue)
Tiga prasayarat agar isu kebijakan (policy issue)
itu dapat masuk dalam agenda sistematk,
itu dapat masuk dalam agenda sistematk,
yaitu :
yaitu :
a. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau sekurang-kurangnya menumbuhkan kesadaran masyarakat.
b. Adanya persepsi atau pandangan masyarakat bahwa perlu dilakukan beberapa tindakan
untuk mencegah masalah itu.
c. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari pemerintah
(16)
Governmental Agenda (Agenda Pemerintah) : serangkaian masalah yang secara eksplisit
memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat kebijakan yang sah. Beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah, yaitu :
1) Apabila terdapat ancaman terhadap
keseimbangan antar kelompok, maka kelompok-kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut adanya tindakan pemerintah, untuk
(17)
2) Para pemimpin politik dapat menjadi faktor
penting dalam penyusunan agenda pemerintah. Para pemimpin politik, karena didorong adanya pertimbangan politik dan karena memperhatikan kepentingan umum, selalu memperhatikan
masalah-masalah masyarkat dan mengusulkan upaya-upaya pemecahannya.
3) Timbulkan krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan suatu masalah masuk ke dalam agenda pemerintah.
4) Adanya gerakan-gerakan protes, termasuk tindakan kekerasan, merupakan salah satu
penyebab yang dapat menarik perhatian pembuat kebijakan dan memasukannya ke dalam agenda pemerintah.
(18)
3. Tingkat-Tingkat Kebijakan
Publik
Mengenai tingkat-tingkat kebijakan publik
ini, Lembaga Admistrasi Negara (1997),
mengemukakan sebagai berikut :
a. Lingkup Nasional
1) Kebijakan Nasional
Kebijakan Nasional adalah kebijakan negara
yang bersifat fundamental dan
strategis
dalam pencapaian tujuan nasional/negara
sebagaimana tertera dalam pembukaan
(19)
2) Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden
sebagai
pelaksana UUD, TAP
MPR, UU,
untuk mencapai tujuan
nasional.
3) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan adalah merupakan
penjabaran dari kebijakan
umum
sebagai
strategi pelaksanaan tugas di
bidang tertentu.
(20)
b. Lingkup Wilayah Daerah
1) Kebijakan umum pada lingkup Daerah
kebijakan pemerintah daerah sebagai
pelaksana azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah
2) Kebijakan Pelaksanaan.
a) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan PERDA
b) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan nasional di Daerah
c) Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind) merupakan
pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di
Daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah Daerah
(21)
IMPLEMENTASI, MONITORING, DAN
EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
1. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik merupakan
sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih
penting daripada pembuatan kebijakan.
Secara umum, tugas implementasi adalah
mengembangkan suatu struktur hubungan antara
tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan
dengan tindakan-tindakan pemerintah untuk
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut yang
berupa hasil kebijakan (policy outcomes).
(22)
2. Monitoring Kebijakan Publik
Monitoring adalah proses kegiatan pengawasan terhadap implementasi kebijakan yang meliputi keterkaitan antara implementasi dan
hasil-hasilnya (out-comes) (Hogwood and Gunn, 1989). William N. Dunn (1994), menjelaskan bahwa
monitoring mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
a. Compliance (kesesuaian/kepatuhan)
Menentukan apakah implementasi kebijakan tersebut sesuai dengan standard dan prosedur yang telah ditentukan.
b. Auditing (pemeriksaan)
menentukan apakah sumber-sumber/pelayanan kepada kelompok sasaran (target groups)
(23)
c. Accounting (Akuntansi)
Menentukan perubahan sosial dan ekonomi
apa saja yang terjadi setelah implementasi
sejumlah kebijakan publik dari waktu ke
waktu.
d. Explanation (Penjelasan)
menjelaskan mengenai hasil-hasil kebijakan
publik berbeda dengan tujuan kebijakan
(24)
3. Evaluasi Kebijakan Publik
• Evaluasi kebijakan sebagai suatu pengkajian secara sistemtik dan empiris terhadap akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program
pemerintah yang sedang berjalan dan
kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut.
• Kesulitan dalam evaluasi kebijakan, antara lain
adalah tujuan-tujuan dalam kebijakan publik jarang dilakukan (ditulis) secara cukup jelas, dalam artyi seberapa jauh tujuan-tujuan kebijakan publik itu harus dicapai. Pengembangan ukuran-ukuran yang tepat dan dapat diterima semua pihak sangat sulit dilakukan (Howlett dan Ramesh,1995)
(25)
APA MANFAAT PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PERUMUSAN
KEBIJAKAN PUBLIK ?
1. MEMBENTUK PERILAKU / BUDAYA DEMOKRATIS YAITU KESADARAN MASYARAKAT UNTUK MENGGUNAKAN HAK POLITIKNYA, BERORGANISASI, BERKUMPUL DAN
MENYATAKAN PENDAPAT
2. MEMBENTUK MASYARAKAT HUKUM YAITU MASYARAKAT YANG PATUH PADA HUKUM YANG BERLAKU
3. MEMBENTUK MASYARAKAT YANG BERETIKA / BERMORAL
YAITU KONDISI MSYARAKAT YANG TERBIASA BERSIKAP BAIK DAN TUMBUH SUASANA KEKELUARGAAN, SALING MENGHORMATI, SALING MENGHARGAI HAK – HAK
SEBAGAI SESAMA MANUSIA
4. MEMBENTUK MASYARAKAT MADANI YAITU MASYARAKAT YANG TERDIRI DARI BERBAGAI KELOMPOK YANG
(26)
PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK
BERPERAN AKTIF DALAM
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK ?
A. FAKTOR INTERNAL
:
1. MASYARAKAT TELAH TERBIASA DENGAN
SISTEM LAMA BAHWA PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK ITU ADALAH URUSAN PEMERINTAH.
2. MASYARAKAT TIDAK TAHU ADANYA
KESEMPATAN UNTUK BERPERAN SERTA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
3. MASYARAKAT TIDAK MENGERTI PROSEDUR / LANGKAH UNTUK BERPARTISIPASI
4. MASYARAKAT TIDAK MAU TAHU / ACUH TAK ACUH
(27)
B.
FAKTOR EKSTERNAL :
1. TIDAK DIBUKANYA KEPADA WARGA
UNTUK BERPARTISIPASI
2. ADANYA KESEMPATAN UNTUK
BERPARTISIPASI WARGA TETAPI
BELUM BANYAK DIKETAHUI
3. MASIH ADANYA POLA SENTRLALISTIK
YANG TIDAK SESUAI DENGAN
SEMANGAT OTONOMI
4. ADANYA ANGGAPAN BAHWA BANYAK
UNSUR YANG TELIBAT MAKA
(28)
AKIBAT APABILA MASYARAKAT TIDAK
AKTIF DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN
PUBLIK ?
1. PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
TIDAK AKAN MEMENUHI HAK – HAK
RAKYAT SECARA MENYELURUH
2. KEBIJAKAN PUBLIK BISA JADI TIDAK
SESUAI DENGAN KEBUTUHAN DAN
KEINGINAN MASYARAKAT
3. KEBIJAKAN PUBLIK TIDAK SEJALAN
BAHKAN BERTENTANGAN DENGAN
NILAI – NILAI BUDAYA MASYARAKAT
(29)
PROSES PEMBENTUKAN UU
di DPR
(30)
- Setiap Rancangan Undang-Undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
-
Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat
berasal dari:
1. DPR,
2. Presiden,
3. DPD,
(31)
TINGKAT PEMBICARAAN
Ps. 120 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th. 2001-2002
(1) Pembahasan RUU dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan.
(2) Dua tingkat pembicaraan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), adalah:
a. Tingkat I dalam Rapat Komisi, Rapat Badan
Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia
Khusus, bersama-sama Pemerintah; dan b. Tingkat Il dalam Rapat Paripurna.
(3) Sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat I dan Tingkat
(32)
RUU GANDA
Pasal 118 Peraturan Tata Tertib DPR-RI
Th. 2001-2002
•
Apabila ada dua RUU yang diajukan
mengenai hal yang sama dalam satu
Masa Sidang, yang dibicarakan
adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU
dari Pemerintah atau masyarakat,
dipergunakan sebagai bahan
sandingan.
(33)
PEMBICARAAN TINGKAT I
Pasal 121 (1) Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th. 2001-2002, Pembicaraan Tingkat I meliputi :
a. pemandangan umum Fraksi terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah atau tanggapan
Pemerintah terhadap RUU yang berasal dari DPR; b. jawaban Pemerintah atas pemandangan umum
Fraksi atau jawaban pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Panitia Anggaran, atau pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan
Pemerintah; dan
c. pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi
(34)
Pasal 121 (2) Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat :
a. diadakan Rapat Dengar Pendapat
atau Rapat Dengar Pendapat Umum;
b. diundang pimpinan lembaga tinggi
negara atau lembaga-negara yang
lain apabila ma'-eri RUU berkaitan
dengan lembaga tinggi negara atau
lembaga negara yang lain; dan/ataL!
c.
diadakan rapat intern.
(35)
PEMBICARAAN TINGKAT II
Pasal 122 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
a.Pembicaraan Tingkat II meliputi pengambilan
keputusan dalam Rapat Paripurna, yang
didahului oleh:
1) laporan hasil pembicaraan Tingkat I;
2) pendapat akhir Fraksi yang disampaikan oleh
anggotanya, apabiia dipandang perlu, dapat
pula disertai dengan catatan tentang sikap
fraksinya; dan
(36)
RUU yang sudah disetujui bersama
antara DPR dengan Presiden
1.
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan
oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi undang-undang.
2.
Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU
yang sudah disampaikan kepada Presiden belum
disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR
mengirim surat kepada presiden untuk meminta
penjelasan.
3.
Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut
disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.
(37)
Pasal 125
Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th. 2001-2002
RUU yang berasal dari Pemerintah dapat ditarik
kembali sebelum pembicaraan Tingkat I berakhir.
Pasal 126 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th. 2001-2002
• RUU untuk memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain serta meratifikasi perjanjian internasional yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, dibahas dan diselesaikan menurut ketentuan sebagaimana
(38)
RUU DARI PEMERINTAH
Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
(1) RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau
naskah akademis yang berasal dari Pemerintah
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR dengan Surat Pengantar Presiden.
(2) Surat Pengantar Presiden, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), menyebut juga Menteri
yang mewakili Pemerintah dalam melakukan
(39)
Pasal 124 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
(1) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, ketua rapat
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota.
(2) Pimpinan DPR menyampaikan RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis dari pengusul kepada media massa dan Kantor Berita Nasional untuk disiarkan kepada masyarakat.
(3) Terhadap pembahasan dan penyelesaian selanjutnya berlaku ketentuan, sebagaimana
(40)
DPD dapat mengajukan RUU kepada
DPR yang berkaitan dengan:
1.
otonomi daerah,
2.
hubungan pusat dan daerah,
3.
pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah,
4.
pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta
5.
yang berkaitan dengan perimbangan
(41)
RUU YANG BERASAL DARI DPD:
1. RUU beserta penjelasan/keterangan, dan ataunaskah akademis disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR,
2. kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada
seluruh Anggota.
3. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.
(42)
4. Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan
pembahasannya.
5. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat
kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3
(sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
6. RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut
membahas RUU tersebut.
7. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian
(43)
RUU berasal dar Masyarkat
Dasar hukumnya adalah:
- UU 12/2011, khususnya dalam Pasal
54 ditegaskan bahwa "Masyarakat
berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan
rancangan undang-undang dan
rancangan Peraturan Daerah"
(1)
RUU DARI PEMERINTAH
Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
(1) RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau
naskah akademis yang berasal dari Pemerintah
disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR dengan Surat Pengantar Presiden.
(2) Surat Pengantar Presiden, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), menyebut juga Menteri
yang mewakili Pemerintah dalam melakukan
(2)
Pasal 124 Peraturan Tata Tertib DPR-RI Th.
2001-2002
(1) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, ketua rapat
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota.
(2) Pimpinan DPR menyampaikan RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis dari pengusul kepada media massa dan Kantor Berita Nasional untuk disiarkan kepada masyarakat.
(3) Terhadap pembahasan dan penyelesaian selanjutnya berlaku ketentuan, sebagaimana
(3)
DPD dapat mengajukan RUU kepada
DPR yang berkaitan dengan:
1.
otonomi daerah,
2.
hubungan pusat dan daerah,
3.
pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah,
4.
pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta
5.
yang berkaitan dengan perimbangan
(4)
RUU YANG BERASAL DARI DPD:
1. RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau
naskah akademis disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR,
2. kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada
seluruh Anggota.
3. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.
(5)
4. Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan
pembahasannya.
5. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat
kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3
(sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
6. RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut
membahas RUU tersebut.
7. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian
(6)