Keterbukaan Informasi Persidangan

KETERBUKAAN INFORMASI PERSIDANGAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz1
Akhir-akhir ini, layar kaca rumah kita amatlah sarat dengan pemberitaan seputar
dugaan rekayasa terhadap kasus-kasus hukum. Sebutlah di antaranya kasus
Bibit-Chandra dan Antasari Azhar yang kian mencuat pasca proses pembuktian
di persidangannya masing-masing. Bak efek bola salju, fakta-fakta hukum yang
terjadi di dalam persidangan segera bergulir cepat dan merebak luas di tengahtengah masyarakat. Salah satu di antara penyebab utamanya karena media
massa elektronik secara jeli dan cekatan mampu menyiarkan jalannya proses
persidangan tersebut secara langsung ke mata dan telinga masyarakat.
Inilah kali pertama dalam sejarah sistem hukum Indonesia bahwa suatu kasus
hukum benar-benar “ditelanjangi” oleh media massa secara transparan dengan
maksud untuk menguak kebenaran yang sesungguhnya. Dengan kata lain,
media massa dan sebagian masyarakat yang mulai goyah kepercayaannya
terhadap sistem hukum yang ada, mencoba untuk mengambil peran sebagai
“penyidik publik” guna menggali banyak hal yang tersembunyi di balik kasuskasus hukum tersebut. Akhirnya, masyarakat menjadi tercerahkan dalam menilai
suatu kasus hukum berdasarkan ragam informasi yang tersedia dari berbagai
perspektif dan sudut pandang yang berbeda-beda.
Larangan Liputan Langsung
Akan tetapi, situasi yang tengah berkembang seperti sekarang ini ternyata
memperoleh perhatian miring dari sebagian kalangan dan institusi pemerintah,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) misalnya. Berdasarkan hasil Rapat Dengar

Pendapat Umum (DPR) dengan Komisi I DPR beberapa hari lalu, KPI berencana
untuk menata ulang liputan langsung stasiun televisi dari ruang sidang
pengadilan sebagaimana dilansir oleh Antara (11/11).
Dengan kata lain, stasiun televisi akan dilarang untuk melakukan liputan
langsung terhadap proses jalannya persidangan, baik yang disiarkan secara
langsung (live) maupun disiarkan secara tunda (live recording). Alasannya sangat
sederhana, KPI menilai bahwa liputan langsung dapat memengaruhi opini publik

                                                        
1

Staf Ketua Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia
(ISHI). Tulisan merupakan pendapat pribadi.

1

sebelum adanya vonis resmi dari majelis hakim dan dikhawatirkan akan
menimbulkan ekses yang bisa membahayakan banyak pihak.
Namun untuk “memperhalus” larangannya tersebut, KPI memperkenankan
stasiun televisi untuk melakukan liputan langsung dengan cara mewancarai

majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan kuasa hukum menjelang dan seusai
jalannya sidang berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP)/Standar
Program Siaran (SPS).
Mereformasi Pengadilan
Belum reda keterkejutan kita atas munculnya “syarat tambahan” terhadap
proses

penahanan

Bibit-Chandra

oleh

karena

adanya

kekhawatirkan

pembentukan opini publik dari keduanya, kini nampaknya KPI juga dihinggapi

oleh rasa kekhawatiran yang sama atau bahkan lebih akut dari itu. Di era
keterbukaan seperti sekarang ini, berkomunikasi dan memperoleh informasi
dengan berbagai saluran yang tersedia telah menjadi tuntutan dan kebutuhan
hidup bagi masyarakat dunia (Shrivastava, 2009). Lebih tegas lagi, hal tersebut
menjadi hak fundamental warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28F
UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Menilai akan banyaknya ekses negatif akibat liputan langsung proses
persidangan adalah kesimpulan yang tidak tepat. Terbukanya akses liputan
langsung justru dimaksudkan untuk membenahi dan membangun sistem hukum
dan wajah peradilan Indonesia agar menjadi lebih transparan, akuntabel, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Baik secara implisit maupun eksplisit, berbagai
undang-undang terkait dengan lembaga peradilan justru sengaja didesain untuk
mengedepankan

prinsip-prinsip

keterbukaan

persidangan,


sebagaimana

misalnya terdapat dalam Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 153 ayat (3)
KUHAP, Pasal 40 UU MA, dan Pasal 40 UU MK.
Dengan adanya liputan langsung terhadap proses persidangan, masyarakat
diharapkan dapat memperoleh sumber informasi dan data primer untuk
kemudian dijadikan medium pencerdasan dan pengembangan budaya sadar
hukum. Menurut Hedieh Nasheri (2002), tren dunia hukum saat ini pun
memperlihatkan bahwa stasiun televisi di beberapa negara tengah berlomba
untuk mengembangkan Courtroom Television Network yang secara khusus

2

menayangkan proses persidangan dan analisa kasus-kasus hukum yang
memperoleh perhatian publik, misalnya pada Court TV di Kanada dan truTV di
Amerika Serikat. Sementara itu, guna kepentingan reformasi pengadilannya,
pemerintah Armenia secara resmi membangun Court TV sejak tahun 2003.
Alhasil, enam bulan sejak pertama kali mengudara, program “My Rights”
langsung menempati rating tertinggi di Armenia berdasarkan penilaian warga
negaranya.

Logika Terbalik
Alih-alih untuk menahan laju pembentukan opini publik, secara inkonsisten KPI
justru mempersilahkan stasiun televisi untuk mewancarai JPU dan para pihak
yang sedang berperkara, termasuk kepada majelis hakim sekalipun. Padahal
sejatinya majelis hakim sebagai pemutus perkara harus terjaga tugas mulianya
agar tidak “dipancing” ataupun “terpancing” untuk memberikan komentar
terhadap potensi kasus ataupun perkara hukum yang sedang ditanganinya.
Berbeda dengan hal-hal yang disampaikan di dalam proses persidangan
sebagai nilai dan fakta hukum, segala data dan informasi serta keterangan yang
diberikan di luar persidangan justru sama sekali tidak dapat dijadikan fakta
hukum, bahkan cenderung mengakibatkan terjadinya pembentukan public
opinion, atau dalam bahasa Plato disebut sebagai published opinion.
Tentu kita semua memahami bahwa terhadap persidangan-persidangan tertentu
yang dikecualikan oleh undang-undang, misalnya terkait dengan perkara asusila,
pornografi, dan anak-anak, publik tidak perlu secara gamblang mengetahui
jalannya persidangan. Oleh karenanya, majelis hakim pada awal ataupun di
tengah jalannya persidangan dapat menyatakan proses persidangan tertutup
untuk umum, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Akan tetapi
sebaliknya, sepanjang majelis hakim menyatakan persidangan terbuka untuk
umum,


maka

apapun

dinamika

yang

terjadi

selama

berlangsungnya

persidangan, publik memilik hak dan akses penuh untuk mengetahuinya sebagai
bagian atas pelaksanaan hak memperoleh informasi (right to information).
Oleh sebab itu, keputusan untuk menyatakan keterbukaan persidangan
hendaknya tetap diberikan kepada majelis hakim sebagai bentuk diskresi
dengan penuh rasa tanggung jawab, sebab tentunya mereka lebih mengetahui

kebutuhan penyelesaian perkara yang sedang ditangani, dan bukan diserahkan
3

kepada pihak ketiga yang justru dapat berpotensi menimbulkan kecurigaan di
tengah-tengah masyarakat. Lagipula, dengan atau tanpa adanya liputan proses
persidangan, kemungkinan terbentuknya opini publik akan selalu tetap terbuka.
Oleh karena itulah sedari awal para hakim telah dituntut untuk menjaga
independensinya agar tidak terpengaruh oleh opini publik ataupun berbagai
tekanan dalam bentuk apapun. Hal demikian telah pula dijadikan komitmen
bersama para Hakim di seluruh dunia sebagaimana tertuang sebagai prinsip
pertama dan utama dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 yang
menegaskan, “A judge shall exercise the judicial function independently … free
of any extraneous influences, inducements, pressures, threats or interference,
direct or indirect, from any quarter or for any reason”.
Dengan demikian, KPI sebaiknya mengurungkan niatnya atau setidak-tidaknya
mengkaji kembali rencana kebijakannya tersebut yang justru dapat menghambat
proses reformasi hukum dan peradilan di Indonesia. (*)

4