Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP
KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA
TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

RINGKASAN

AGUS MULYADI. Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar
Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting (Rattus
norvegicus). Dibawah bimbingan Dr. Nastiti Kusumorini dan Drs. Pudji
Achmadi.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bST terhadap
kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang
dihubungkan dengan tampilan anak.

Sampel tikus (Rattus norvegicus) yang


digunakan sebanyak 36 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu
kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik
minyak jagung (kelompok M) dan kelompk kontrol (K) yang tidak diberi
perlakuan apapun. Tikus (Rattus norvegicus) disuntik pada hari ke-4 sampai hari
ke-12 kebuntingan. Perlakuan dilakukan dalam 4 kali pengulangan. Setelah umur
kebuntingan mencapai 13, 17, dan 21 hari, kadar glukosa darah, cairan amnion
dan bobot fetus diamati dan dibandingkan pada masing-masing umur kebuntingan
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bovine somatotropin (bST) tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak
menginduksi perubahan apapun terhadap bobot fetus.

ABSTRACT
The aims of this research was to study influence of bST for blood and
amnion glucose rate during gestation period which related to foetus performance.
There are 36 rats (Rattus norvegicus) that devided into 3 treatment group that
are the groups treated by injected bST (group H), treated by corn oil (group M),
and the groups which has no any treatment (group K).

The rats (Rattus


norvegicus) was injected with bST and corn oil on 4 until 12 days of gestation.
The experiment used 4 repetitions. When pregnant age reached days 13, 17 and
21, blood glucose rate, amnion glucose rate, and foetus wight mains perceived
and compared at each the pregnant age. The results showes that bST did not
influence blood and amnion glucose rate and did not induce any changes in
average fetal weights.

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP
KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA
TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul

: Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa
Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting.

Nama penulis : Agus Mulyadi
NRP

: B04103004

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Nastiti Kusumorini

NIP. 131 669 942

Drs. Pudji Achmadi
NIP. 131 956 684

Mengetahui :
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
NIP. 131 129 090
Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 13
Agustus 1984 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Bapak M.
Yakub Rais dan Ibu Maatu M. Yakub.
Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Kandai I
Dompu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP 1

Dompu dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas penulis
diselesaikan di SMU 1 Dompu dan lulus pada tahun 2003.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2004 penulis mulai menduduki bangku
perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.
Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif di Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FKH-IPB sebagai pengurus pada tahun 2005-2006. Penulis
juga aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia dan Himpro
Ornithologi dan Unggas 2005-2006. Disamping itu penulis juga terdaftar sebagai
pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) dan Dewan Keluarga Mushola (DKM)
AN-NAHL.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuntikan
Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus
Betina Bunting”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW baserta keluarga, sahabat, dan umatnya.
Terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, motivasi, inspirasi,
pengarahan, koreksi, saran, serta pengorbanan dalam penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan banyak ilmu, kesempatan, pengarahan, koreksi, saran, dan
pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. Selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan banyak pengarahan, saran, dan
pengorbanan dalam penelitian.
4. Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution, selaku dosen penilai skripsi.
5. drh. Dudung Abdullah, selaku pembimbing akademik.
6. Program Hibah Kompetitif (PHK) A-3 FKH IPB yang telah membiayai
dan mendukung terlaksananya penelitian.
7. Mama, Dae, dan Dae lamu-koe tercinta, kakakku Adhim, adikku Ayu
Mutmainnah serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril
dan materil.

8. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, terutama Pak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida yang
telah banyak mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga selama penelitian.
9. Teman-teman sepenelitian, Widia, Ulil, Metha, Athien, dan Intan,
terimakasih atas kebersamaan dan semangat yang telah diberikan.

10. Teman-teman Wisma Hattori (Adhim, Daeng, Berri, Lando, Dedi,
Gunawan, dan Jemix).
11. Teman-teman terbaikku (Bheta, Bhonex, Zaldi, Daeng, Agung, Adam,
Ilham, Adji, dan Berri).
12. Gymnolaemata 40, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi
penulis berharap tulisan ini dapat memberikan warna baru dalam khasanah bidang
veteriner terutama penggunaan hormon. Di luar kekurangan yang ada, penulis
juga

berharap

tulisan ini


membutuhkannya.

dapat

bermanfaat

bagi

semua

pihak

yang

Untuk itu penulis sangat berharap kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

Penulis


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI......................................................................................

i

DAFTAR TABEL..............................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR.........................................................................

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang.......................................................................
Tujuan Penelitian...................................................................
Manfaat Penelitian.................................................................


1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Hewan Coba...........................................................................
Klasifikasi........................................................................
Biologi Reproduksi Tikus................................................
Fisiologi Kebuntingan............................................................
Hormon reproduksi..........................................................
Fungsi estrogen pada masa kebuntingan.................
Fungsi progesteron pada masa kebuntingan............
Plasenta............................................................................
Nutrisi embrio...................................................................
Nutrisi fetus......................................................................
Pertumbuhan embrio dan fetus........................................
Sirkulasi fetus...................................................................
Cairan amnion dan allantois............................................
Somatotropin

Struktur dan biosintesis somatotropin...............................
Reseptor dan kerja somatotropin.......................................
Efek somatotropin terhadap kadar glukosa.......................
Bovine Somatotropin (bST)..............................................

4
4
4
5
6
6
7
7
10
12
13
16
16
18
20
22
24

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian................................................
Bahan dan Alat.......................................................................
Metode Penelitian..................................................................
Persiapan tikus percobaan..........................................
Perlakuan....................................................................
Pengambilan darah.....................................................
Pengambilan cairan amnion.......................................
Pengambilan dan penimbangan fetus.........................
Pengukuran kadar glukosa..........................................
Analisis statistik……………………………………..
Parameter yang diamati……………………………..
Diagram penelitian......................................................

26
26
26
26
27
27
27
27
28
28
28
29

HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................

30

KESIMPULAN...................................................................................

34

SARAN.............................................................................................. .

34

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................

35

LAMPIRAN.........................................................................................

40

DAFTAR TABEL

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP
KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA
TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

RINGKASAN

AGUS MULYADI. Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar
Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting (Rattus
norvegicus). Dibawah bimbingan Dr. Nastiti Kusumorini dan Drs. Pudji
Achmadi.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bST terhadap
kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang
dihubungkan dengan tampilan anak.

Sampel tikus (Rattus norvegicus) yang

digunakan sebanyak 36 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu
kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik
minyak jagung (kelompok M) dan kelompk kontrol (K) yang tidak diberi
perlakuan apapun. Tikus (Rattus norvegicus) disuntik pada hari ke-4 sampai hari
ke-12 kebuntingan. Perlakuan dilakukan dalam 4 kali pengulangan. Setelah umur
kebuntingan mencapai 13, 17, dan 21 hari, kadar glukosa darah, cairan amnion
dan bobot fetus diamati dan dibandingkan pada masing-masing umur kebuntingan
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bovine somatotropin (bST) tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak
menginduksi perubahan apapun terhadap bobot fetus.

ABSTRACT
The aims of this research was to study influence of bST for blood and
amnion glucose rate during gestation period which related to foetus performance.
There are 36 rats (Rattus norvegicus) that devided into 3 treatment group that
are the groups treated by injected bST (group H), treated by corn oil (group M),
and the groups which has no any treatment (group K).

The rats (Rattus

norvegicus) was injected with bST and corn oil on 4 until 12 days of gestation.
The experiment used 4 repetitions. When pregnant age reached days 13, 17 and
21, blood glucose rate, amnion glucose rate, and foetus wight mains perceived
and compared at each the pregnant age. The results showes that bST did not
influence blood and amnion glucose rate and did not induce any changes in
average fetal weights.

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP
KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA
TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul

: Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa
Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting.

Nama penulis : Agus Mulyadi
NRP

: B04103004

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 131 669 942

Drs. Pudji Achmadi
NIP. 131 956 684

Mengetahui :
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
NIP. 131 129 090
Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 13
Agustus 1984 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Bapak M.
Yakub Rais dan Ibu Maatu M. Yakub.
Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Kandai I
Dompu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP 1
Dompu dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas penulis
diselesaikan di SMU 1 Dompu dan lulus pada tahun 2003.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2004 penulis mulai menduduki bangku
perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.
Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif di Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) FKH-IPB sebagai pengurus pada tahun 2005-2006. Penulis
juga aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia dan Himpro
Ornithologi dan Unggas 2005-2006. Disamping itu penulis juga terdaftar sebagai
pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) dan Dewan Keluarga Mushola (DKM)
AN-NAHL.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuntikan
Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus
Betina Bunting”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW baserta keluarga, sahabat, dan umatnya.
Terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, motivasi, inspirasi,
pengarahan, koreksi, saran, serta pengorbanan dalam penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan banyak ilmu, kesempatan, pengarahan, koreksi, saran, dan
pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. Selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan banyak pengarahan, saran, dan
pengorbanan dalam penelitian.
4. Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution, selaku dosen penilai skripsi.
5. drh. Dudung Abdullah, selaku pembimbing akademik.
6. Program Hibah Kompetitif (PHK) A-3 FKH IPB yang telah membiayai
dan mendukung terlaksananya penelitian.
7. Mama, Dae, dan Dae lamu-koe tercinta, kakakku Adhim, adikku Ayu
Mutmainnah serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril
dan materil.
8. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, terutama Pak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida yang
telah banyak mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga selama penelitian.
9. Teman-teman sepenelitian, Widia, Ulil, Metha, Athien, dan Intan,
terimakasih atas kebersamaan dan semangat yang telah diberikan.

10. Teman-teman Wisma Hattori (Adhim, Daeng, Berri, Lando, Dedi,
Gunawan, dan Jemix).
11. Teman-teman terbaikku (Bheta, Bhonex, Zaldi, Daeng, Agung, Adam,
Ilham, Adji, dan Berri).
12. Gymnolaemata 40, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi
penulis berharap tulisan ini dapat memberikan warna baru dalam khasanah bidang
veteriner terutama penggunaan hormon. Di luar kekurangan yang ada, penulis
juga

berharap

tulisan ini

membutuhkannya.

dapat

bermanfaat

bagi

semua

pihak

yang

Untuk itu penulis sangat berharap kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI......................................................................................

i

DAFTAR TABEL..............................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR.........................................................................

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang.......................................................................
Tujuan Penelitian...................................................................
Manfaat Penelitian.................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Hewan Coba...........................................................................
Klasifikasi........................................................................
Biologi Reproduksi Tikus................................................
Fisiologi Kebuntingan............................................................
Hormon reproduksi..........................................................
Fungsi estrogen pada masa kebuntingan.................
Fungsi progesteron pada masa kebuntingan............
Plasenta............................................................................
Nutrisi embrio...................................................................
Nutrisi fetus......................................................................
Pertumbuhan embrio dan fetus........................................
Sirkulasi fetus...................................................................
Cairan amnion dan allantois............................................
Somatotropin
Struktur dan biosintesis somatotropin...............................
Reseptor dan kerja somatotropin.......................................
Efek somatotropin terhadap kadar glukosa.......................
Bovine Somatotropin (bST)..............................................

4
4
4
5
6
6
7
7
10
12
13
16
16
18
20
22
24

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian................................................
Bahan dan Alat.......................................................................
Metode Penelitian..................................................................
Persiapan tikus percobaan..........................................
Perlakuan....................................................................
Pengambilan darah.....................................................
Pengambilan cairan amnion.......................................
Pengambilan dan penimbangan fetus.........................
Pengukuran kadar glukosa..........................................
Analisis statistik……………………………………..
Parameter yang diamati……………………………..
Diagram penelitian......................................................

26
26
26
26
27
27
27
27
28
28
28
29

HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................

30

KESIMPULAN...................................................................................

34

SARAN.............................................................................................. .

34

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................

35

LAMPIRAN.........................................................................................

40

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.

Biologi reproduksi tikus putih...................................................
Sumber energi embrio tikus.......................................................
Perkembangan dan pertumbuhan tikus pada masa embrional...
Diferensiasi dan organogenesis tikus.........................................
Rataan kadar glukosa darah dan bobot fetus pada hari ke-13
Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot
fetus pada hari ke-17.................................................................
Tabel 7. Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot
fetus pada hari ke-21.................................................................

DAFTAR GAMBAR

5
11
14
15
30
31
31

Halaman
Gambar 1. Kontrol sekresi somatotropin..................................................

PENDAHULUAN

19

Latar Belakang
Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam
rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor
peternakan berperan penting melalui penyediaan protein hewani, seperti daging,
susu, dan telur untuk makanan sehari-hari. Apabila bangsa Indonesia memenuhi
asupan kecukupan nilai gizi tinggi, maka akan memiliki sumberdaya manusia
sehat, cerdas, dan kuat.
Kenyataan yang terjadi saat ini, penyediaan protein hewani untuk
memenuhi

kebutuhan

masyarakat

belum

sepenuhnya

terpenuhi

karena

pertambahan penduduk yang lebih cepat dari peningkatan produksi pangan
terutama protein hewani.

Meningkatnya kebutuhan konsumsi daging akibat

peningkatan taraf hidup, kenaikan tingkat pendidikan dan pengetahuan
menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa
diimbangi oleh peningkatan populasi ternak.
Sebagai gambaran, kebutuhan konsumsi daging di Indonesia baru
terpenuhi 56% dari daging ayam, 23% terpenuhi dari daging sapi. Khusus untuk
memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih mengimpor 50 ribu ton daging
dan 400 ribu ekor sapi setiap tahunnya dari negara lain dan yang diuntungkan
adalah peternak negara lain (Yudhoyono, 2006). Menurut Riady (2006) telah
terjadi peningkatan permintaan daging sapi, sejalan dengan peningkatan
pertumbuhan penduduk sebesar 1.45% yang tidak diiringi kelahiran ternak sapi
yang besarnya 20% per tahun, sehingga terdapat kekurangan pasokan dalam
negeri sebesar 28-29%. Selain itu populasi ternak khususnya ternak sapi menurun
rata-rata 0.98%, yaitu dari 11137 ribu ekor menjadi 10680 ekor, dalam kurun
waktu lima tahun (2001-2005).
Keberhasilan peningkatan populasi ternak sangat tergantung dari sistem
reproduksi ternak tersebut.

Suatu usaha yang dapat meningkatkan kuantitas

hewan ternak dapat dilakukan melalui suatu penelitian dasar di bidang fisiologireproduksi, terutama usaha pengembangan ternak politokus (ternak yang dapat
menghasilkan anak lebih dari satu dalam satu kali kebuntingan) sehingga usaha
peningkatan kebutuhan pangan asal protein hewani dapat cepat tercapai.

Permasalahannya tidak hanya berhenti disini, jumlah anak yang banyak jelas
membutuhkan suplai nutrisi yang cukup dari induk. Nutrisi merupakan faktor
yang penting. Tanpa nutrisi yang baik dan dalam jumlah yang memadai, maka
pertumbuhan anak tidak akan optimal.
Selama kebuntingan, anak hewan harus mendapat nutrisi sebagai
penunjang pertumbuhan selanjutnya. Jika selama kebuntingan kurang mendapat
asupan nutrisi yang cukup, akan menjadi bakalan yang merugikan peternak,
sekalipun merupakan keturunan dari bibit unggul. Tingkat ketersediaan nutrisi
yang rendah dari induk dapat dikaitkan dengan kinerja tubuh yang tidak optimal
selama masa fetus.

Apabila tubuh induk tidak mampu bekerja sebagaimana

mestinya maka anak yang banyak tidak akan bertahan hidup sehingga anak yang
lahir nanti jumlahnya sedikit.
Untuk mengatasi kecukupan nutrisi selama kebuntingan agar anak-anak
yang dilahirkan optimal, maka diperlukan suatu suplemen dari luar tubuh untuk
mengoptimalkan metabolisme induk sehingga kecukupan nutrisi untuk anak
terpenuhi. Salah satu suplemen yang mungkin bisa memperbaiki nutrisi induk
adalah hormon somatotropin.

Kerja hormon somatotropin ini adalah

mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan cara
memobilisasi pemecahan asam lemak dan menstimulus glukoneogenesis (Tortora
dan Anagnostakos, 1990). Adanya proses glukoneogenesis akan meningkatkan
glukosa yang beredar di dalam darah induk. Keadaan tersebut akan memperbaiki
asupan glukosa dari induk ke anak sehingga tampilan anak yang dilahirkan
menjadi lebih baik.
Melihat kondisi pertumbuhan ternak yang belum optimal, selanjutnya
mengamati pentingnya peranan somatotropin pada periode kebuntingan, dan
tersedianya hasil bioteknologi somatotropin, serta didukung oleh studi-studi
penelitian yang telah dilakukan pada berbagai objek dan metode penyuntikan
somatotropin selama ini, penelitian tentang pengaruh penyuntikan somatotropin
terhadap kadar glukosa darah dan cairan amnion menarik untuk dilakukan. Dari
berbagai hasil penelitian yang telah dipelajari, belum banyak data mengenai
pengaruh penggunaan somatotropin terhadap kadar glukosa darah dan cairan
amnion selama kebuntingan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian somatotropin
terhadap kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang
dihubungkan dengan tampilan anak.

Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini tentu akan diperoleh tambahan informasi
mengenai aspek-aspek penggunaan soamtotropin pada hewan bunting serta
efeknya terhadap ketersediaan glukosa dalam darah dan cairan amnion yang
dihubungkan dengan tampilan anak.

TINJAUAN PUSTAKA

Hewan Coba
Hewan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih yang
termasuk hewan bersifat politokus.

Tikus putih sudah sejak lama digunakan

sebagai hewan laboratorium untuk kepentingan medis maupun penelitian karena
relatif lebih murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Untuk penelitian dalam
bidang reproduksi, tikus adalah hewan yang tepat untuk digunakan karena
memiliki siklus reproduksi yang pendek, mudah berkembang biak dengan jumlah
keturunan yang cukup banyak (Harkness dan Wagner, 1983) dan daya adaptasi
yang sangat tinggi pada berbagai macam kondisi iklim dan lingkungan (Poole,
1989).

Klasifikasi
Klasifikasi tikus putih menurut Robinson (1979) :
Class

: Mamalia

Subclass

: Eutheria

Order

: Rodentia

Suborder

: Myomorpha

Superfamily

: Muiroidea

Subfamily

: Murinae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus norvegicus

Biologi reproduksi tikus
Reproduksi adalah proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup yang
dimulai sejak bertemunya sel telur betina dengan sel sperma dari jantan, menjadi
makhluk hidup baru yang disebut zigot, yang disusul dengan kebuntingan dan
diakhiri dengan kelahiran anak (Hernawati, 2001). Tikus termasuk hewan yang
memperlihatkan gejala birahi lebih dari dua kali dalam setahun, dengan selang
birahi yang relatif pendek yaitu 4-5 hari. Data biologi reproduksi tikus disajikan
pada tabel 1.
Tabel 1. Data Biologi Reproduksi Tikus Putih
Parameter

Keterangan

Lama bunting

20-22 hari

Kawin sesudah beranak

1-2 jam

Umur disapih

21 hari

Umur dikawinkan / pubertas

10 minggu

Siklus kelamin

Poliestrus

Siklus estrus

4-5 hari

Lama estrus

9-20 jam

Perkawinan

Pada waktu estrus

Ovulasi

8-11 jam sesudah kawin

fertilisasi

7-10 jam

Berat lahir

5-6 g

Berat dewasa

Jantan : 300-400 g
Betina : 250-300 g

Jumlah anak

Rata-rata sembilan ekor

Plasenta

Diskoidal, hemokorial

Uterus

2 kornua, bermuara sebelum serviks

Perkawinan kelompok

3 betina 1 jantan

Sumber : (Smith dan Mangkoewidjaja, 1988)

Fisiologi Kebuntingan
Kebuntingan merupakan keadaan dimana fetus sedang berkembang di
dalam uterus seekor hewan betina (Frandson, 1992). Suatu interval waktu yang
disebut periode kebuntingan (gestasi), terentang dari saat proses fertilisasi
(pembuahan ovum) sampai lahirnya anak.

Hal ini mencakup fertilisasi atau

persatuan antara ovum dan sperma, nidasi atau implantasi, perkembangan
membran fetus dan berlanjut ke pertumbuhan fetus (Mannan, 2002).
Periode kebuntingan sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lainnya,
begitu pula variasi antar individu dalam satu spesies tertentu. Saat terjadinya
fertilisasi, sperma harus berada di dalam saluran alat kelamin betina untuk jangka
waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara selektif. Ternak politokus
memiliki jarak-jarak yang jelas antara blastosis (embrio yang sedang berkembang)
di dalam uterus. Implantasi dari satu blastosis menyebabkan timbulnya wilayah

refraktori di dalam endometrium yang menghambat terjadinya implantasi lain di
daerah yang sangat berdekatan (Mannan, 2002).
Pertumbuhan makhluk baru dari hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa
setelah proses perkawinan berlalu mempunyai tiga periode, yaitu : periode ovum,
periode embrio, dan periode fetus. Roberts (1971) mengatakan bahwa periode
ovum dimulai pada saat terjadinya proses fertilisasi sampai saat terjadinya proses
implantasi, periode embrio dihitung mulai terjadinya proses implantasi sampai
saat terjadinya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam dan periode fetus
dihitung mulai dari setelah pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam,
terbentuknya anggota gerak (extremitas) sampai fetus lahir.

Hormon reproduksi
Terjadinya kebuntingan pada hewan diawali dengan pembuahan sperma
terhadap sel telur dan diakhiri dengan kelahiran. Untuk menjaga kebuntingan,
tubuh melakukan persiapan-persiapan yaitu pembentukan plasenta, pertumbuhan
uterus, serta memproduksi hormon-hormon yang berperan dalam kebuntingan.
Diantara hormon yang berperan dalam kebuntingan adalah estrogen dan
progesteron. Pada saat hewan bunting estrogen dan progesteron diproduksi oleh
ovarium, plasenta (Guyton, 1994), dan korpus luteum (Garverick et al., 1992).

Fungsi estrogen pada masa kebuntingan
Pada hewan politokus seperti tikus estrogen akan menyebabkan
pertumbahan vaskularisasi pembuluh darah dan pertumbuhan endometrium yang
mengakibatkan adanya reaksi desidual di tempat terjadinya implantasi. Estrogen
menyebabkan peningkatan aliran darah secara tidak langsung, yaitu melalui
peningkatan prostaglandin yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
pada miometrium maupun pada endometrium (Scharmm et al., 1984). Estrogen
mempengaruhi uterus untuk mempertahankan lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus dengan meningkatkan
proliferasi sel-sel uterus.
Konsentrasi estrogen pada tikus bunting tidak berubah mulai hari ke-2
sampai hari ke-12 kebuntingan, setelah itu meningkat secara berangsur-angsur

sampai akhir kebuntingan yaitu hari ke-22 (Taya dan Greenwald, 1981),
sementara itu Tuju (1996) melaporkan bahwa konsentrasi estrogen tidak berubah
dari hari ke-4 sampai dengan hari ke-12 kebuntingan dan selanjutnya akan
berangsur meningkat sampai akhir kebuntingan. Pada akhir kebuntingan estrogen
diperlukan dalam jumlah banyak untuk perkembangan kelenjar susu, pengendoran
ligament-ligament pelvis, memprakarsai tonus uterus, relaksasi serviks dan
mensensitifkan uterus terhadap oksitosin (Mannan, 2002).

Fungsi progesteron pada masa kebuntingan
Progesteron merupakan hormon steroid yang terdiri dari 21 atom karbon.
Konsentrasi progesteron meningkat setelah terjadinya ovulasi dan semakin
meningkat terutama setelah periode plasentasi (Manalu dan Sumaryadi, 1995).
Pada hewan bunting, progesteron meniadakan terjadinya ovulasi (Partodihardjo,
1992).

Progesteron merangsang deferensiasi sel-sel endometrium dan

menyiapkan implantasi, bersamaan dengan ini terjadi penurunan proliferasi dan
penurunan reseptor estrogen (down regulation) (Okulicz dan Balsamo, 1993).
Selanjutnya progesteron berfungsi mencegah kontraksi uterus sehingga tidak
terjadi abortus (Putnam et al., 1975).
Tuju (1996) melaporkan konsentrasi progesteron pada tikus bunting tidak
mengalami perubahan dari umur kebuntingan ke-4 sampai dengan umur
kebuntingan ke-12 sedangkan Rodway dan Rothchild (1980) menyatakan bahwa
dalam serum tikus bunting konsentrasi progesteron mulai meningkat pada umur
kebuntingan ke-12.

Peningkatan konsentrasi progesteron selama kebuntingan

dalam serum induk, terbukti meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
kelenjar susu selama kebuntingan (Tuju dan Manalu, 1995).

Plasenta
Plasenta merupakan suatu tenunan yang tumbuh dari embrio dan
induknya, dan terjalin saat proses pertumbuhan embrio yang memerlukan
kebutuhan penyaluran zat makanan dari induk ke anak dan sebaliknya, sisa
makanan anak dikeluarkan ke induk (Mannan, 2002). Menurut Guyton (1995)
fungsi utama plasenta memungkinkan difusi bahan makanan dari darah induk ke

darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus kembali masuk ke induk. Pada
awal kebuntingan, permeabilitas plasenta relatif kecil, karena tebal membran vili
belum berkurang ke ketebalan minimum. Akan tetapi ketika plasenta bertambah
tua, permeabilitasnya meningkat secara progresif sampai akhir kebuntingan.
Jaringan luar tropoblas mengalami perubahan morfologi menjadi amnion,
allantois, khorion, dan kantong kuning telur (Yolk sac).

Mc. Donald (1980)

melaporkan bahwa dengan meningkatnya ukuran embrio, proses difusi zat
makanan menjadi tidak cukup untuk mempertahankan hidup dan meneruskan
pertumbuhannya. Membran ekstra embrional berkembang sebagai sarana untuk
mencukupi kebutuhan meningkatnya nutrisi yang lebih banyak. Proses ini disebut
plasentasi. Amnion adalah lapisan yang menyelubungi fetus pada bagian dalam.
Allantois adalah lapisan yang terdapat di antara amnion dan khorion. Khorion
adalah lapisan yang menyelubungi fetus di bagian luar. Menurut Frandson (1992)
plasenta terdiri dari susunan membran sedemikian rupa yang berisikan selaput
khorion, allantois, amnion, dan kuning-kuning telur vestigal.
Lapisan sel allantois pada bagian dalam menjadi satu atau berhimpitan
dengan sel – sel membran khorion. Arteri dan vena yang datang dari plasenta ke
tubuh embrio terdapat pada lapisan membran allantois dan khorion. Ruang yang
terbentuk

karena

pembentukan

gelembung

amnion

berisi

cairan

yang

konsentrasinya amat kental dan disebut cairan amnion. Cairan amnion berfungsi
untuk mengatur tekanan dalam pertumbuhan embrio dan mengurangi goncangan
dari luar serta tempat menampung zat buangan embrio melalui urethra.
Sedangkan ruang yang terbentuk karena gelembung allantois berisi cairan
allantois. Kantong allantois mempunyai fungsi sebagai tempat pembuangan urin
melalui urachus. Urachus adalah suatu saluran urin yang menghubungkan
kantong urin dan kantong allantois melalui tali pusar (Mannan, 2002).
Kantong kuning telur (yolk sac) tumbuh pada awal pertumbuhan embrio,
dan terhenti saat setelah amnion dan allantois terbentuk sempurna. Lapis luar
tropoblas tumbuh menjalar menyelimuti seluruh permukaan endometrium.
Penjalaran tropoblas masing-masing hewan bervariasi sesuai dengan bentuk dan
ada tidaknya karankula.

Pada sapi dan domba lapisan luar tropoblas yang

berhubungan dengan epitel karankula segera melarutkan sel-sel epitel vili
tropoblas (Mannan, 2002).
Difusi oksigen melalui membran plasenta hampir mirip dengan difusi
oksigen melalui membran paru.

Oksigen yang terlarut di dalam darah yang

terdapat dalam sinus-sinus plasenta yang lebar mudah melalui membran vili
masuk ke dalam darah fetus karena selisih tekanan oksigen dari darah induk
dengan darah fetus. Pada pO2 yang rendah, hemoglobin fetal dapat membawa 20
sampai 30 persen oksigen lebih banyak dari pada yang dapat dibawa oleh
hemoglobin induk. Selain itu konsentrasi hemoglobin fetus sekitar 50 persen
lebih besar daripada konsentrasi hemoglobin induk. Hal ini merupakan faktor
yang lebih penting dalam memperbesar jumlah oksigen yang ditranspor ke
jaringan fetus (Guyton, 1995).
Melalui membran plasenta, karbon dioksida secara terus menerus dibentuk
dalam jaringan-jaringan fetus dengan cara yang sama seperti pembentukan karbon
dioksida

dalam

jaringan-jaringan

induk.

mengekskresikan CO2 adalah melalui plasenta.

Satu-satunya

cara

untuk

pCO2 yang terkumpul dalam

darah fetus sedikit lebih besar dibandingkan pCO2 darah induk. Selisih tekanan
yang rendah ini memungkinkan difusi CO2 yang cukup dari darah fetus ke dalam
darah induk, karena kelarutan CO2 yang ekstrem dalam air membran plasenta
sehingga memungkinkan CO2 berdifusi melalui membran itu dengan cepat, sekitar
20 kali kecepatan membran O2 (Guyton, 1995).
Zat-zat metabolik lain yang dibutuhkan oleh fetus berdifusi ke dalam
darah fetus dengan cara yang sama seperti oksigen. Zat makanan seperti glukosa
memiliki tingkat konsentrasi dalam darah fetus sekitar 20 sampai 30 persen lebih
rendah dibandingkan dengan kadar glukosa darah induk, karena glukosa
dimetabolisme dengan cepat oleh fetus. Hal ini selanjutnya menyebabkan difusi
glukosa lebih banyak dari darah induk ke darah fetus. Transport glukosa dari
induk ke fetus tidak diperlukan energi, transport ini disebut transport fasilitatif.
Transport fasilitatif memerlukan keberadaan zat pembawa (carrier) untuk
mengangkut zat-zat melalui plasenta (Stefani, 2007). Zat-zat seperti ion kalium,
natrium, dan klorida juga berdifusi dari darah induk ke dalam darah fetus
(Guyton, 1995).

Sel-sel yang melapisi permukaan luar vili memungkinkan absorbsi secara
aktif zat-zat gizi tertentu dari darah induk selama kebuntingan.

Misalnya,

kandungan asam amino, kalsium, dan fosfat inorganik memiliki konsentrasi lebih
besar di darah fetus dibandingkan dengan darah induk. Efek ini menunjukan
bahwa membran plasenta mempunyai kemampuan mengabsorbsi secara aktif
(Guyton, 1995).
Ekskresi melalui membran plasenta memiliki kemiripan dengan difusi
karbon dioksida dari darah fetus ke darah induk, hasil-hasil ekskresi lain yang
dibentuk dalam fetus berdifusi ke dalam darah induk dan kemudian diekskresikan
lagi bersama dengan produk sekresi dari induk. Produk-produk sampah dapat
berupa urea, asam urat, dan kreatinin. Kadar urea dalam darah fetus hanya
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar urea dalam darah induk karena
urea berdifusi dengan sangat mudah melalui membran plasenta (Guyton, 1995).

Nutrisi embrio
Pembuahan sperma terhadap sel telur menghasilkan zigot.

Dalam

perkembangannya zigot membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi agar mampu
melakukan serangkaian pembelahan.

Pada awal pembelahan, embrio bisa

memakai piruvat, tetapi tidak bisa memakai laktat (Takahashi et al., 1992).
Glukosa dibutuhkan oleh embrio setelah tahap 4-8 sel dan kebutuhan glukosa
tergantung stadium serta bervariasi pada spesies hewan (Tabel 2) (Austin and
Short, 1985 ; Gardner et al., 1993). Rendahnya pemakaian glukosa pada awal
perkembangan dimaksudkan untuk mengatasi hambatan perkembangan sehingga
tidak akan mengganggu proses glikolisis (Gardner et al., 1993). Pada embrio sapi
kebutuhan glukosa rendah dan tetap rendah selama stadium pembelahan,
kemudian pemakaian glukosa meningkat memasuki tahap 8 sel.

Hal ini

berhubungan dengan waktu aktivitas dari genom embrio (Matsuyama et al.,
1993). Pola yang sama terjadi pada embrio domba serta spesies lain (Thompson
et al., 1992 ; Kim et al., 1993b).

Tabel 2. Sumber energi yang mampu mendorong pertumbuhan dan
perkembangan embrio tikus pada setiap tingkat pembelahan.

Tingkat Pembelahan
Substrat
Oosit
1-sel
Piruvat
+
+
Oxaloacetat
+
+
Fosfoenolpirufat
Laktat
Glukosa
Sumber : (Austin and Short, 1985)

2-sel
+
+
+
+
-

8-sel
+
+
+
+
+

Menurut Flood dan Wielbold (1988) pemakaian glukosa meningkat mulai
morula kompak. Hal ini berhubungan dengan pembentukan tropoblas pada saat
diferensiasi yaitu dibutuhkan energi tinggi sehingga metabolisme glukosa
meningkat (Hewitson et al., 1996). Selain itu meningkatnya metabolisme glukosa
pada tahap morula kompak disebabkan karena pada tahap ini kebutuhan energi
dan bahan-bahan lain hasil metabolisme glukosa lebih banyak dipergunakan untuk
proses kompaksi (Leese et al., 1993). Hal yang berbeda terjadi pada embrio
domba, glukosa bukan merupakan sumber energi utama pada saat diferensiasi sel
karena energi yang dihasilkan untuk metabolisme sel bisa berasal dari asam amino
(Thompson et al., 1992).
Glukosa berperan penting pada pertumbuhan blastosis dan proses hatcing
yang ditunjukan dengan peningkatan pemakaian glukosa dan metabolisme (Brison
dan Leese, 1994 ; Matsuyama et al., 1993). Adanya glukosa akan memperbaiki
tingkat perkembangan normal embrio dan merangsang proses blastulasi
berikutnya. Menurut Brison et al., (1994) peran glukosa pada tahap blastosis
sangat penting, karena glukosa sebagai energi substrat diperlukan untuk
pembentukan blastosul dan proses hacting.

Peningkatan pemakaian glukosa

menyebabkan perubahan sistem metabolisme dari metabolisme dasar piruvat ke
metabolisme dasar glukosa. Selain itu perubahan metabolisme ini juga diketahui
akibat adanya kontrol instrinsik dan kontrol ekstrinsik. Kontrol instrinsik embrio
berhubungan dengan aktivitas enzim mediator intraselluler dan sistem transport
membran plasma. Sedangkan kontrol ekstrinsik berhubungan dengan diferensiasi
dan persiapan implantasi (Leese, 1995).

Selain dibutuhkan sebagai sumber

energi, glukosa dapat menghambat proses perkembangan embrio terutama pada
stadium awal perkembangan. Glukosa menyebabkan efek crabtree yaitu efek

yang menekan proses fosforilisasi oksidasi dan respirasi di mitokondria, akibatnya
akan menghambat petumbuhan embrionik (Seshagrirl et al., 1991).

Nutrisi fetus
Sebagian energi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metabolisme berasal
dari glukosa, seperempat bagian berasal dari laktat yang dibentuk dari glukosa di
dalam plasenta, dan seperempat sisanya berasal dari asam amino. Fetus tidak
mensintesis glukosa dari lemak atau protein (glukoneogenesis).

Proses

glukoneogenesis akan terjadi dengan segera setelah kelahiran ketika pO2 naik
(Austin and Short, 1985).

Sebagai tambahan untuk energi, fetus harus

mempunyai persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangun organ
tetapi tidak dapat disintesis.

Bahan-bahan tersebut misalnya, asam amino

esensial, asam lemak esensial, vitamin, mineral, dan trace elemen. Banyak dari
zat-zat ini ditransfer secara selektif dari induk ke anak melalui mekanisme
pengangkutan aktif yang melindungi kebutuhan fetus (Austin and Short, 1985).
Nutrisi terutama glukosa disirkulasikan menuju fetus melalui aliran darah
induk. Dalam jumlah yang sedikit glukosa berasal dari makanan yang dikonsumsi
oleh induk, berasal dari glikogen hati, berasal dari depot lemak dan berasal dari
pemecahan protein. Jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus tergantung dari
besarnya konsentrasi glukosa yang dibawa melalui aliran darah induk.
Konsentrasi glukosa ini dipertahankan dengan menyertakan banyak organ
endokrin. Selanjutnya tingkat glukosa induk ditentukan oleh absorbsi glukosa di
usus dan kerja hormon kortikosteroid, katekolamin, glukagon dan somatotropin
dengan meningkatkan proses glukoneogenesis. Selain itu peningkatan konsentrasi
glukosa di atas level normal dicegah oleh insulin dengan meningkatkan
penyimpanan glukosa di otot dalam bentuk glikogen atau lemak.

Hormon

kebuntingan tertentu lebih lanjut mengontrol glukosa induk dalam meningkatkan
ketersediaan glukosa untuk fetus (Austin and Short, 1985).
Sebagian besar periode kebuntingan disertai dengan peningkatan bobot
badan karena terjadi peningkatan penyimpanan lemak di subkutan. Ini merupakan
efek dari hormon progesteron. Kemudian ketika kebutuhan metabolik dari fetus
mencapai puncaknya atau selama periode kelaparan, simpanan lemak inilah yang

digunakan untuk memelihara suplai glukosa ke fetus.

Pada primata terdapat

hormon tambahan yang disekresikan dalam jumlah yang besar ke dalam sirkulasi
induk untuk membantu proses kebuntingan yang dikenal dengan nama plasenta
laktogen.

Plasenta laktogen memiliki aktivitas biologis yang rendah, tetapi

bersama somatotropin ia mampu meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar
glukosa yang mencapai plasenta ditentukan oleh konsentrasi dan volume darah
yang melewati plasenta.

Jika konsentrasi glukosa atau volume darah yang

melewati plasenta kecil maka akan memperlambat pertumbuhan fetus (Austin and
Short, 1985).

Pertumbuhan embrio dan fetus
Fertilisasi adalah peristiwa bertemunya spermatozoa dan ovum di bagian
bawah ampula tuba Fallopii. Sebelum terjadi fertilisasi, spermatozoa mengalami
tahap seleksi dan komposisi dengan spermatozoa yang lain.

Dari jutaan

spematozoa yang diejakulasikan, tidak lebih dari 1000 spermatozoa yang
mencapai ampula tuba Fallopii.

Beberapa spermatozoa mencapai tempat

fertilisasi dalam waktu yang lebih singkat, kira-kia 15 menit setelah perkawinan.
Spermatozoa yang berhasil melalui vagina dan uterus dengan baik akan
mengalami reaksi akrosom pada membran plasmanya kemudian menembus massa
kumulus, zona pellusida, dan membran vitelin ovum (Toelihere, 1985). Proses
selanjutnya adalah fase cleavage, yaitu pembelahan sel tanpa pertumbuhan,
selanjutnya terjadi transport konseptus ke uterus, dan dilanjutkan dengan proses
implantasi. Pada tikus, implantasi terjadi pada hari ke-6 kebuntingan (Whimstatt,
1975).
Pembelahan zigot dari 1 sel menjadi 2 sel, 2 sel menjadi 4 sel, 8 sel,
hingga 16 sel berlangsung tanpa terjadi perubahan pada zigot.

Selama fase

cleavage sampai munculnya blastoecele, sel-sel embrional disebut blastomer.
Pada tingkatan 16 sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok
membentuk blastomer yang kemudian disebut morula.
berubah menjadi blastula (Tabel 3).

Kemudian morula

Proses pembentukan blastula disebut

blastulasi. Pada mamalia blastula disebut blastocyst. Pada blastocyst terdapat

suatu rongga berisi cairan yang disbut blastocoele, sedangkan pada morula tidak
terdapat blastoecoele (Sukra et al., 1989).
Pada hewan politokus, blastosis tersebar di kedua tanduk rahim. Sebaran
blastosis bisa sedemikian rupa sehingga masing-masing tanduk rahim berisi
embrio sama banyak. Letak implantasi ditentukan oleh hubungan antara blastosis
terhadap rahim, bukan oleh faktor gaya berat. Blastosis yang masuk ke dalam
rahim tidak selalu langsung mengadakan implantasi. Dengan demikian blastosis
mengalami hidup bebas sebelum implantasi. Jangka hidup bebas pada tikus 2 hari
(Partodihardjo dan Manggung, 1978).

Tabel 3.

Data perkembangan dan Pertumbuhan Tikus pada Masa
Embrional
Fase sel

Waktu kejadian setelah pembuahan (jam)

1 sel

0-29

2 sel

23-52

3-4 sel

42-59

5-8 sel

49-60

Morulla

68-77

Blastosis

74-82

Sumber : Whitten dan Dagg (1961)

Setelah mencapai tahap blastosis, proses selanjutnya adalah implantasi.
Implantasi merupakan proses bersarangnya blastosis di dalam selaput lendir rahim
sehingga terjadi hubungan erat antara selaput ekstra embrional dan selaput lendir
rahim. Ketika zigot berkembang dan menuju rahim, korona radiata dan zona
pelusida musnah, dengan demikian blastosis lebih leluasa berhubungan dengan
rahim. Sinkronisasi antara blastosis dan kesiapan endometrium merupakan faktor
penting kesempurnaan implantasi (Hafez, 1967).

Proses selanjutnya adalah

gastrulasi yang merupakan awal dari pembentukan organ-organ tubuh (Tabel 4).

Tabel 4. Data Diferensiasi dan Organogenesis Tikus
Hari

Ciri - ciri

Kebuntingan
6

Implantasi elastosis dengan tropoblas dan inner cell mass
delaminasi endoderm.

7

Vili

khorionik

sederhana

dan

tidak

bercabang

;

pembentukan cakram benih embrional ; diferensiasi bagianbagian embrional dan extra embrional.
8

Diferensiasi tropoblas secara cepat ; terlihat garis, legokan
dan kancing primitif ; awal pembentukan mesoderm ;
pemanjangan sepalo kaudal embrio ; pembentukan sumbu
longitudinal embrio.

9

Pembentukan somit ossipital ; tampak dataran neural dari
ektodermal dan awal pembentukan lipatan neural.

10 – 10.5

Penutupan parsial saluran neural, otak, primer terbentuk
somit servikalis dan torasik bagian atas muncul dua arkus
visceralis jelas ; pembentukan jantung, mata, dan telinga
primordial ; diferensiasi endoderm menjadi saluran
pencernaan bagian depan, tengah, belakang. Bakal hati
terdapat di bawah jantung.

11 – 11.5

Pembentukan somit torakis bagian bawah dan lumbal,
empat arkus visceralis, pucuk ekor dan pucuk kaki depan ;
tubulus mesonefrik mulai berkembang ; pembentukan
fleksura sepalika dan kaudal embrio berbentuk C ;
lambung, saluran empedu, dan kantong empedu jelas.

12 – 12.5

Pembentukan otak sekunder, somit sakral, kaudal atas,
mandibular, maxilar, dan frontonasal ; diferensiasi kaki
depan dan kaki belakang ; pembentukan telinga bagian
dalam.

13 -13.5

Kaudal bersomit ; proses pembentukan kaki depan dan kaki
belakang, wajah, dan celah utama.

14 -14.5

Kaudal bersomit ; gulungan tubuh terbuka ; bakal telinga

jelas ; pembentulan pinna ; prekartilago di mandibula, mata
berpindah ke anterior.
15 – 15.5

Kaudal bersomit ; celah di bagian wajah tertutup, diafragma
jelas, mata berada di anterior wajah.

16

Kaudal bersomit terakhir; bagian kepala terangkat dari dada
; ossifikasi dari skeleton mulai terbentuk.

Sumber : (Hafez, 1970)

Sirkulasi fetus
Aliran darah fetus melalui dua arteri umbilikalis akhirnya ke kapilerkapiler vili, dan kemudian kembali melalui vena umbilikalis ke fetus. Sebaliknya,
aliran darah induk dari arteri uterina masuk ke dalam sinus-sinus darah besar di
sekitar vili dan kemudian kembali masuk ke dalam vena uterina induk. Paru-paru
tidak berfungsi terutama selama kehidupan fetal, sehingga jantung fetus tidak
memompa banyak darah melalui paru. Sebaliknya, jantung fetus harus memompa
darah dalam jumlah besar melalui plasenta. Sebagian besar darah yang masuk ke
atrium kanan dari vena kava inferior langsung berjalan lurus melalui permukaan
posterior atrium kanan dan kemudian melalui foramen ovale langsung masuk ke
dalam atrium kiri. Jadi, darah yang dioksigenasi baik dari plasenta masuk ke sisi
kiri jantung bukan ke sisi kanan jantung dan dipompa oleh ventrikel kiri terutama
ke dalam pembuluh darah kepala dan anggota gerak bawah. Darah yang masuk
atrium kanan dari vena kava superior langsung berjalan turun melalui katub
trikuspidalis masuk ke dalam ventrikel kanan.

Darah ini terutama darah

deoksigenasi dari daerah kepala fetus, dan dipompa oleh ventrikel kanan masuk
ke dalam arteri pulmonalis