Perangsangan Pertumbuhan dengan Penyuntikan Somatotropin pada Tikus Jantan Umur Prapubertas

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan protein hewani, seperti daging, susu, dan telur untuk makanan sehari- hari. Apabila bangsa Indonesia memenuhi asupan kecukupan nilai gizi tinggi, insya Allah Indonesia akan memiliki sumberdaya manusia sehat, cerdas, dan kuat.

Kenyataan yang terjadi saat ini, penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia belum mampu untuk dipenuhi. Sebagai gambaran, kebutuhan konsumsi daging di Indonesia baru terpenuhi 56% oleh daging ayam, daging sapi baru terpenuhi 23%. Khusus untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih mengimpor 50 ribu ton daging dan 400 ribu ekor sapi setiap tahunnya dari negara lain. Dalam hal ini yang diuntungkan kalau mengimpor adalah peternak negara lain. Kondisi ini akan menghambat program Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa. Untuk mengatasi belum mampunya sektor peternakan memenuhi kebutuhan daging, Departemen Pertanian telah mempersiapkan program kecukupan daging sapi tahun 2010. Program ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi para peternak, para pengusaha peternakan, dan Pemerintah dalam rangka mengembangkan sektor peternakan di Indonesia (Yudhoyono 2006).

Program kecukupan daging sapi tahun 2010 tentunya dapat dilaksanakan dengan berbagai upaya dan melibatkan semua pihak, Pemerintah perlu mendorong partisipasi seluruh elemen masyarakat. Namun perlu kiranya disadari bahwa dalam pelaksanaan program tersebut akan banyak faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Faktor-faktor tersebut antara lain politik, ekonomi, sosial, peternak, dan kondisi ternak.

Khusus masalah kondisi ternak, apabila dilihat secara umum tampak ternak-ternak yang berada di peternak-ternakan khususnya peternak-ternakan rakyat cenderung mempunyai tubuh yang kecil. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan


(2)

ternak-ternak di Indonesia bertubuh kecil, antara lain genetik dan lingkungan yang belum optimal untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan ternak.

Seperti diketahui kondisi tubuh akan berdampak terhadap produktivitas ternak. Artinya ternak yang mempunyai tubuh yang kecil akan menghasilkan produk daging sedikit atau dengan kata lain produktivitasnya rendah. Produktivitas ternak yang rendah ditinjau dari aspek fisiologis menggambarkan pertumbuhan yang belum optimal. Selanjutnya, pertumbuhan yang belum optimal erat kaitannya dengan proses regulasi komponen utama badan yang kompleks. Faktor ekspresi potensi genetik, lingkungan (manajemen, pakan, dan kondisi lingkungan habitat), dan aksi hormon yang belum optimal akan berpengaruh pada proses pencapaian regulasi pertumbuhan (Ohlsson et al. 1998; Veldhuis et al. 2005).

Periode pertumbuhan pascalahir dibagi menjadi tiga periode pertumbuhan, yaitu pertumbuhan prapubertas, pasca pubertas, dan dewasa (Veldhuis et al. 2005). Selama pertumbuhan tersebut akan terjadi perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi badan. Perubahan yang terjadi pada komposisi badan berlangsung pada komponen badan seperti otot, lemak, tulang, dan organ serta komponen-komponen kimiawi badan terutama air, lemak, protein, dan mineral. Kejadian ini berlangsung pada komponen badan yang berbeda-beda dengan kadar laju pertumbuhan yang berbeda pula sehingga perubahan ukuran komponen badan menghasilkan diferensiasi atau perbedaan karakteristik individual sel dan organ (Veldhuis et al. 2005). Selama pertumbuhan pascalahir, tulang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan lemak, dan rusuk merupakan tulang yang perkembangannya paling akhir. Selanjutnya komponen tubuh yang merupakan komponen utama penyusun tubuh secara kumulatif akan mengalami pertambahan bobot sampai mencapai kedewasaan (Burrin et al. 1992; Davis et al. 2000).

Selanjutnya apabila dikaitkan dengan kurva pertumbuhan, akan terjadi fase cepat (akselerasi) dan fase lambat (deselerasi) yang titik peralihannya disebut titik infleksi. Titik infleksi ini dicapai bersamaan dengan saat pubertas. Sebagai gambaran, pertumbuhan jaringan yang sangat besar terjadi pada masa


(3)

kanak-kanak sampai pubertas yang terjadi secara berangsur-angsur dan puncaknya dicapai pada masa pubertas, setelah itu terjadi pengurangan laju pertumbuhan jaringan hingga dewasa. Selain itu, pada saat prapubertas hingga pubertas terjadi peningkatan sekresi hormon- hormon, selanjutnya terjadi penurunan sekresi hormon-hormon hingga dewasa (Ohlsson et al. 1998).

Menyinggung peranan faktor hormon, aktivitasnya di dalam pertumbuhan bergantung pada beberapa faktor yang melibatkan suplai makanan, potensi genetik, dan lingkungan. Secara langsung maupun tidak langsung hormon-hormon tersebut dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anabolik antara lain somatotropin, testosteron, dan tiroksin dan kelompok katabolik antara lain estrogen. Hormon yang berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin, tiroksin, androge n, estrogen, dan glukokortikoid. Hormon- hormon tersebut me mpengaruhi pertumbuhan, termasuk pertumbuhan tulang dan metabolisme nitrogen (Robson et al. 2002; Leung et al. 2004).

Pada prinsipnya kerja hormon tidak berdiri sendiri-sendiri dan hormon yang terkenal dengan aktivitas pertumbuhan dikenal dengan nama somatotropin (growth hormone). Somatotropin disekresikan oleh pituitari anterior dengan kontrol hipotalamus (Coschigano et al. 2003). Hormon ini disintesis oleh sel-sel somatotrof dalam bentuk polipeptida tunggal dengan massa molekul 22 kDa. Secara umum target utama somatotropin adalah hati dan pengaruh utamanya adalah pada laju metabolisme, komposisi badan, dan sekresi IGF-I (Tollet-Egnell

et al. 2001). Somatotropin mengatur dan mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh dan bekerja pada sel-sel target melalui ik atan reseptor somatotropin yang spesifik yang berada dalam permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa (Hartman 2000). Selanjutnya, fungsi somatotropin dalam metabolisme tubuh adalah meningkatkan kecepatan sintesis protein di semua sel tubuh. Somatotropin mampu mempercepat pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma. Selain itu, somatotropin juga mampu meningkatkan pembentukan RNA dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi.


(4)

Keadaan ini akan memungkinkan terjadinya sintesis protein dan pertambahan jumlah sel yang lebih cepat sehingga mempercepat pertumbuhan jaringan (Davis

et al. 2004).

Dari gambaran di atas, tampak somatotropin yang disekresikan selama periode prapubertas hingga pubertas berperan penting pada pertumbuhan. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan kondisi belum optimalnya pertumbuhan, usaha meningkatkan peran dan aksi somatotropin pada masa prapubertas diharapkan akan mengoptimalkan pertumbuhan ternak. Artinya, suplementasi somatotropin yang dilakukan pada ternak umur prapubertas diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ternak, sehingga diharapkan untuk masa selanjutnya ternak berpenampilan tubuh yang baik dengan komposisi badan yang memadai.

Penelitian-penelitian tentang pengaruh somatotropin pada pertumbuhan sudah dimulai sejak tahun 1922 oleh Evans dan Long, pada saat itu ditemukan suatu zat yang disekresikan dari kelenjar pituitari anterior yang meningkatkan pertumbuhan bobot badan tikus, zat tersebut dinamakan hormon pertumbuhan (growth hormone), selanjutnya zat tersebut dinamakan somatotropin karena aktivitasnya pada sel-sel somatik. Li et al. pada tahun 1945 berhasil mengisolasi somatoropin dari kelenjar pituitari anterior sapi. Selanjutnya, dari hasil penelitian Li et al. pada tahun 1945, berkembang penelitianbioteknologi pada tahun 1970-an yang memungkinkan untuk menghasilkan somatotropin secara teknik DNA rekombinan (Etherton 2004). Bioteknologi telah dianggap sebagai ilmu yang akan mempunyai dampak revolusioner dalam bidang pertanian, termasuk peternakan. Salah satu hasil bioteknologi pertama yang sudah siap digunakan dalam industri peternakan adalah somatotropin (Manalu, 1994). Teknik bio logis baru yang dikenal dengan rekayasa gene tik telah dikembangkan. Prosedur ini memungkinkan isolasi gen somatotropin yang merupakan hormon protein dengan 191 residu asam amino, dan menggabungkannya ke dalam gen bakteri. Bakteri yang membawa gen somatotropin tadi kemudian akan menghasilkan somatotropin yang biasanya hanya dihasilkan oleh kelenjar pituitari. Dengan demikian, sejumlah besar somatotropin dapat dihasilkan oleh bakteri dalam bejana fermentasi dan kemudian dimurnikan dengan biaya yang relatif murah (Manalu 1994).


(5)

Pengaruh penyuntikan somatotropin pada pertumbuhan telah didokumentasikan. Penelitian penyuntikan somatotropin pada hewan maupun manusia dengan berbagai metode telah dilakukan, secara umum hasil penyuntikan somatotropin meningkatkan bobot badan dan efisiensi penggunaan pakan sapi (Rausch et al. 2002), meningkatkan bobot karkas dan mereduksi lemak karkas babi (Sillence et al. 2002), meningkatkan mineral karkas domba (Zainur et al. 2000), meningkatkan bobot organ dalam tikus (Azain et al. 2006), meningkatkan panjang dan kolagen tulang manusia (Longobardi et al. 2000; Wallace et al. 2000), dan meningkatkan kalsium tulang mencit (Kasukawa et al. 2003).

Melihat kondisi pertumbuhan ternak yang belum optimal, selanjutnya mengamati pentingnya peranan somatotropin pada periode pertumbuhan pra pubertas, dan tersedianya hasil bioteknologi somatotropin, serta didukung oleh studi-studi penelitian yang telah dilakukan pada berbagai obyek dan metode penyuntikan somatotropin selama ini, penelitian tentang perangsangan pertumbuhan dengan penyuntikan somatotropin pada umur prapubertas untuk melihat respons penampilan pertumbuhan hewan menarik untuk dilakukan. Dari penelitian ini dapat dikaji tentang bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, laju pertumbuhan relatif, bobot dan kandungan kimiawi karkas, bobot organ, panjang tulang, dan kandungan kimiawi tulang. Selanjutnya, diharapkan penelitian penyuntikan somatotropin ini dapat dijadikan alternatif dalam rangka memperoleh struktur eksternal dan wujud yang optimal pada hewan (ternak).

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi somatotropin pada pertumbuhan sebagai upaya untuk mengoptimalkan produktivitas hewan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penyuntikan somatotropin pada bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, laju pertumbuhan relatif, bobot karkas, kandungan (protein, lemak, mineral dan glikogen) karkas, bobot organ (hati, jantung, testis, dan saluran pencernaan), panjang tulang (kaki depan, kaki belakang, dan tulang punggung), dan kandungan (kalsium dan kolagen) tulang.


(6)

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi dalam penerapan hasil bioteknologi somatotropin yang selanjutnya dapat dijadikan informasi dasar bagi peternak, khalayak umum, maupun penentu kebijakan (Pemerintah), khususnya dalam upaya peningkatan penampilan pertumbuhan ternak, umumnya untuk kehidupan manusia.


(7)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

HIPOTALAMUS

PERTUMBUHAN KERJA SEL SOMATIK ATAU SEL TUBUH

SOMATOTROPIN

FUNGSI SEL PITUITARI ANTERIOR

PRODUKTIVITAS SOMATOTROPIN

STRUKTUR EKSTERNAL DAN


(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum, periode pertumbuhan dan perkembangan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu periode prenatal atau sebelum lahir dan periode postnatal atau sesudah lahir. Pertumbuhan dan perkembangan prenatal dibagi menjadi tiga periode, berupa proses yang berkesinambungan, yaitu periode ovum, embrio, dan fetus. Pertumbuhan postnatal dapat dibagi menjadi pertumbuhan prapubertas, pascapubertas, dan dewasa (Veldhuis et al. 2005). Selama periode pertumbuhan dan perkembangan akan mengalami tiga proses utama. Proses pertama adalah pertumbuhan selular meliputi hiperplasia (perbanyakan sel atau produksi sel-sel baru) dan hipertrofi (pembesaran sel dan akresi material struktural nonseluler). Mula- mula sel tumbuh secara hiperplasia, kemudian dilanjutkan secara hipertropi sampai mencapai ukuran karakteristik jaringan. Proses kedua adalah diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm, dan endoderm yang akan menghasilkan sel-sel khusus. Proses ketiga adalah kontrol terhadap pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan banyak proses (Woodhouse et al. 2006).

Kejadian selama proses pertumbuhan dan perkembangan pada gilirannya akan berpengaruh pada perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linear, dan komposisi tubuh. Adapun perubahan yang terjadi pada komposisi tubuh berlangsung pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tula ng, dan organ serta komponen-komponen kimia tubuh terutama air, lemak, protein, dan mineral. Kejadian ini berlangsung pada komponen tubuh yang berbeda-beda dengan laju pertumbuhan yang berbeda pula sehingga perubahan ukuran komponen tubuh menghasilkan diferensiasi atau perbedaan karakteristik individual sel dan organ (Veldhuis et al. 2005). Komponen tubuh secara kumulatif akan mengalami pertambahan bobot sampai mencapai kedewasaan. Selama proses ini akan mempengaruhi distribusi bobot dan komposisi kimia komponen-komponen tubuh yang merupakan komponen utama penyusun tubuh (Burrin et al. 1992; Davis et al. 2000).

Pertumbuhan yang dicerminkan dengan terjadinya perubahan dan peningkatan bobot badan tidak terlepas kaitannya dengan pakan yang dikonsumsi.


(9)

Hewan memerlukan pakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kebutuhan akan zat- zat makanan dimulai sejak awal terjadinya kehidupan di dalam tubuh induk. Anak hewan dan hewan yang belum dewasa memerlukan pakan untuk dapat bertumbuh terus dan untuk pemeliharaan jaringan-jaringan yang masih mengalami perubahan bentuk maupun ukuran (Burrin et al. 1992; Davis et al. 2000; Veldhuis et al. 2005). Untuk hewan dewasa, di samping untuk keperluan pembaruan atau penggantian sel-sel serta jaringan yang mati atau rusak, pakan dipergunakan juga sebagai sumber energi dan produksi (Gallagher et al. 1998; Even et al. 2001).

Untuk mengetahui terjadinya pertumbuhan pada hewan, umumnya dilakukan pengukuran pertumbuhan yang didasarkan pada peningkatan bobot badan per satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai pertambahan bobot badan. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan pertambahan bobot badan adalah pengurangan bobot badan akhir dengan bobot badan awal dibagi lama waktu pengamatan. Pengukuran pertumbuhan dengan cara ini mudah dilaksanakan dan menghasilkan nilai pertumbuhan yang mantap (Tulloh 1978; Edey 1983). Disamping pertambahan bobot badan sebagai ukuran terjadinya pertumbuhan, dapat pula diukur laju pertumbuha n relatifnya, yaitu dengan membagi pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan bobot badan pada waktu itu. Hasil pengukuran laju pertumbuhan relatif mencerminkan seberapa besar kecepatan pertumbuhan yang terjadi pada hewan tersebut. Laju pertumbuhan postnatal, mula- mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun atau melambat dan berhenti setelah mencapai kedewasaan. Kecepatan laju pertumbuhan mengalami akselerasi dari konsepsi sampai pubertas, kemudian mengalami deselerasi hingga menjadi nol bila bobot dewasa telah tercapai (Edey 1983; Veldhuis et al. 2005).

Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana pakan yang dikonsumsi digunakan untuk pertumbuhan (efisiensi penggunaan pakan), dapat diukur dengan membandingkan pertambahan bobot badan yang terjadi dengan pakan yang dikonsumsi oleh hewan tersebut. Besar atau kecil nilai yang dihasilkan dari perbandingan ini mencerminkan keefisiensian hewan dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan (Azain et al. 1995).


(10)

Selain dengan mengukur kenaikan bobot badan, kuantitas dan kualitas pertumbuhan hewan dapat pula diukur dari bobot dan kandungan kimiawi karkas yang dihasilkan. Bobot karkas seekor hewan adalah bobot bagian tubuh dikurangi kulit, kepala, kaki depan dan belakang, ekor, dan organ dalam (Soeparno 1992; Husni 1993). Adapun kandungan kimiawi karkas seperti protein, lemak, mineral, dan glikogen. Bobot dan kandungan kimiawi karkas yang dihasilkan mencerminkan aktivitas proses metabolisme yang terjadi selama pertumbuhan.

Disamping terjadi perubahan dan peningkatan bobot badan, selama pertumbuhan terjadi pula pertumbuhan organ. Organ-organ tumbuh sesuai dengan fungsinya, organ dalam yang berhubungan dengan pencernaan dan metabolisme menunj ukkan perubahan bobot yang sesuai dengan status nutrien dan fisiologis hewan. Kecepatan laju pertumbuhan relatif beberapa komponen nonkarkas hampir sama dengan kadar laju pertumbuhan , misalnya abomasum dan usus besar pertumbuhannya hampir bersamaan dengan tubuh. Usus kecil tumbuh lebih cepat daripada usus besar dan abomasum. Adapun bobot rumen, retikulum, dan omasum meningkat dengan cepat pada awal kehidupan pascalahir (Donovan

et al. 2004).

Seperti telah dikemukakan di atas, selama periode pertumbuhan pascalahir terjadi perubahan komponen tubuh, salah satunya adalah tulang kerangka. Tulang tumbuh lebih awal dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan lemak. Pertumbuhan kerangka akan me ngalami percepatan sampai pubertas, kemudian mengalami penurunan hingga dewasa (Riggs et al. 2002). Tulang tumbuh secara kontinu dengan kecepatan laju pertumbuhan yang relatif lambat. Berdasarkan laporan berbagai penelitian, pada hewan yang baru lahir, kerangka berkembang relatif lebih baik daripada otot yang menyusun bagian terbesar dari proporsi bobot hewan dewasa. Konsekuensinya, kehidupan hewan yang baru lahir dikarakterisasikan dengan laju pertumbuhan yang relatif lebih tinggi pada kepala dan kaki belakang. Secara rinci, perubahan pertumbuhan pada ternak disebabkan oleh gelombang pertumbuhan dari tengkorak menuju ke bagian wajah lalu menuju ke belakang ke bagian pinggang. Gelombang pertumbuhan kedua mulai dari kaki bagian bawah (metakarpal dan metatarsal) ke bagian kuku kemudian naik menyusuri kaki sampai ke pinggang, yang merupakan bagian tubuh terakhir yang


(11)

mencapai pertumbuhan maksimumnya dan konsekuensinya merupakan bagian tubuh hewan yang paling terakhir mencapai kedewasaan (Husni 1993). Variasi pola pertumbuhan tulang selain dipengaruhi oleh status gizi, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genotipe dan status fisiologis (Veldhuis et al. 2005).

Terjadinya proses pertumbuhan tulang akibat dari perkembangan sel-sel tulang. Terdapat 4 jenis sel tulang, yaitu jenis pertama sel osteoprogenitor yang merupakan populasi sel induk, yang berkembang dari mesenkim yang memiliki daya mitotik dan kemampuan untuk berkembang menjadi sel tulang dewasa. Ada 2 tipe sel osteoprogenitor, yaitu preosteoblas yang menghasilkan osteoblas, dan preosteoklas yang menghasilkan osteoklas. Jenis kedua adalah osteoblas yang berhubungan dengan pembentukan tulang yang ditemukan pada permukaan tulang, yaitu tempat matriks tulang ditambahkan. Jenis ketiga adalah osteosit atau sel tulang adalah osteoblas yang terpendam dalam matriks tulang. Jenis keempat adalah osteoklas, yaitu sel raksasa berinti banyak dan jumlah anak intinya sangat bervariasi yang terdapat dekat pada permukaan tulang (Leeson et al. 1996; Manolagas 2000).

Memperhatikan lokasinya, jaringan pembentuk tulang mengandung osteoblas yang dilepaskan oleh jaringan osteoid yang akan mengalami kalsifikasi di bawah pengaruh enzim fosfatase dan dinamakan pusat osifikasi. Lingkungan tempat tulang terbentuk menentukan tipe osifikasinya. Pembentukan tulang yang terjadi pada waktu fetus kebanyakan dikembangkan dengan tipe osifikasi endokondral dan pada saat itu kartilago mengalami mineralisasi, kemudian digantikan perlahan- lahan dengan jaringan tulang. Tulang panjang dapat melanjutkan pertumbuhan panjangnya jika kartilago antara epifisis dan diafisis melanjutkan pertumbuhannya. Jika semua kartilago ini telah berubah menjadi tulang, pertumbuhan panjangnya tidak mungkin terjadi. Tulang panjang bertambah diameternya dengan memproduksi tulang baru dari periosteum sekitar korteks tulang, sebagai tulang yang baru dilepaskan bagian tulang yang terdalam dirangsang untuk menambah ukuran rongga sumsum (Hunziker 1994; Abad et al. 2002).

Seperti diketahui, tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kolagen yang telah diresapi oleh garam- garam mineral, khususnya fosfat dan


(12)

kalsium. Protein dalam serabut-serabut kolagen yang membentuk matriks tulang sangat kompleks. Jumlah protein dan mineral harus tersedia dalam jumlah yang memadai untuk mempertahankan struktur tulang yang normal. Selama hidup, mineral di dalam kerangka secara aktif dipertukarkan, dan tulang secara konstan diresorpsi dan dibentuk kembali. Di dalam tulang hewan yang sedang tumbuh, material anorganik secara normal lebih rendah daripada material organik sedangk an kandungan airnya lebih besar. Adapun komposisi proksimat dari tulang adalah air, mineral, protein, dan lemak secara berturut-turut sebesar 45%, 25%, 20%, dan 10%. Mineral tulang mammalia diperkirakan terdiri atas kalsium, fosfor, magnesium secara berturut-turut 36%, 17%, dan 0.8%; dan sejumlah kecil mineral lainnya. Tulang mempunyai suatu kondisi metabolisme yang sangat aktif dalam hubungannya dengan fase penggantian mineral. Beberapa hasil perhitungan menunjukkan bahwa kira-kira 99% Ca dan 80% P pada tubuh sebagian besar terdapat di dalam tulang dan proporsi yang kecil ada di dalam gigi. Perbandingan Ca dengan P di dalam mineral tulang adalah sekitar 2 : 1 (Yakar dan Rosen 2003; Rosen 2003).

Menyinggung peranan faktor hormon, aktivitasnya di dalam pertumbuhan bergantung pada beberapa faktor yang melibatkan suplai makanan, potensi genetik, dan lingkungan. Secara langsung maupun tidak langsung hormon-hormon tersebut dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Hormon diproduksi oleh suatu kelenjar tertentu di dalam tubuh dan berpengaruh pada bagian tubuh lainnya secara terkoordinir. Penyebaran hormon dari tempat produksi sampai ke bagian anggota tubuh berlangsung tanpa melalui saluran khusus, tapi melalui aliran darah (Hartman 2000).

Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anabolik antara lain somatotropin, testosteron, dan tiroksin dan kelompok katabolik antara lain estrogen. Hormon yang berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen, dan glukokortikoid. Hormon-hormon tersebut mempengaruhi pertumbuhan, termasuk pertumbuhan tulang dan metabolisme nitrogen (Robson et al. 2002; Leung et al. 2004).


(13)

Pada prinsipnya kerja hormon tidak berdiri sendiri-sendiri dan hormon yang

terkenal dengan aktivitas pertumbuhan dikenal dengan nama somatotropin (growth hormone). Somatotropin merupakan hormon yang disekresikan oleh

pituitari anterior dengan kontrol hipotalamus (Coschigano et al. 2002). Hormon ini disintesis oleh sel-sel somatotrof, berupa polipeptida tunggal dengan massa molekul 22 kDa. Secara umum target utama somatotropin adalah hati dan pengaruh utamanya adalah pada laju metabolisme, komposisi tubuh, serta sekresi IGF-I (Tollet-Egnell et al. 2001; Rieusset et al. 2004). Somatotropin mengatur dan mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh dan bekerja pada sel-sel target melalui ikatan reseptor somatotropin yang spesifik yang berada dalam permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa (Hartman 2000). Somatotropin yang dihasilkan oleh pituitari sebelumnya telah dianggap atau diduga hanya mempunyai aktivitas pemacu pertumbuhan secara umum, sebagaimana tercermin dari namanya yang umum dikenal sebagai somatotropin. Somatotropin memainkan peranan fisiologis dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Akan tetapi, pengaruh hormon tersebut sangat rumit dan sangat bervariasi dengan keadaan tempat percobaan dilakukan dan sampai ke keadaan tertentu, dengan spesies yang digunakan (Manalu 1994).

Somatotropin yang disekresikan berada di bawah kontrol dua hormon hipotalamus, yaitu growth hormone-relasing factor (GHRF) atau dikenal juga dengan somatokrinin dan somatotropin releasing-inhibitory factor (SRIF) atau somatostatin. Fungsi GHRF adalah merangsang sekresi somatotropin, sedangkan somatostatin menghambat pelepasan somatotropin dari kelenjar pituitari. Kedua hormon ini disekresikan oleh neuron sekretoris dalam hipotalamus ke dalam pembuluh darah portal pituitari (Hartman 2000; Drake et al. 2001).

Neurotransmiter dan neuropeptida mengontrol sekresi somatotropin secara langsung pada somatotrof atau secara tidak langsung melalui jalur hipotalamik. Neurotransmiter ini meliputi adenylate cyclase activating polypeptide (PACAP),

galanin, pituitary-specific transcription factor-1 (Pit-1), prophet of Pit-1 (PROP-1), HESX-1, serotonin, histamine, norepinephrine, dopamine, acetylcholine, gamma-aminobutyric acid, thyrotropin-releasing hormone (TRH), vasoactive


(14)

intestinal peptide, gastrin, neurotensin, substance P, calcitonin, neuropeptide Y, vasopressin, dan corticotropin-releasing hormone (Franklin dan Ferry 2006).

Telah diketahui paling tidak ada tiga macam bentuk somatotropin yang dikenal selama ini. Bentuk ya ng pertama mempunyai 191 asam amino dengan bobot molekul 22 kDa dan bentuk ini yang paling banyak ditemukan dalam kelenjar pituitari. Bentuk ini mengandung dua jembatan disulfida dalam molekul somatotropin, yang satu menghubungkan asam amino (asam amino 53 dan 165 pada ma nusia) yang membentuk suatu lengkung besar dan yang lain dekat terminal atau ujung karboksil dari peptida (asam amino 182 dan 189) membentuk suatu lengkung yang kecil. Bentuk hormon yang kedua mempunyai urutan asam amino yang sama seperti asam amino yang pertama kecuali hilangnya 15 asam amino (nomor 32-46) dari terminus asam molekul tersebut. Bentuk ini mempunyai bobot molekul 20 kDa dan menempati sekitar 10-15% dari hormon yang ada di pituitari. Bentuk yang ketiga dibentuk dari dimerisasi 2 bentuk peptida 22 kDa yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antarrantai dan mempunyai bobot molekul 45 kDa dan banyaknya sekitar 1% dari jumlah hormon pituitari. Perbedaan bentuk struktur somatotropin ini menyebabkan perbedaan dalam fungsi biologis. Somatotropin dengan bentuk 20 kDa mempunyai ikatan yang kurang efektif dibandingkan dengan bentuk 22 kDa terhadap reseptor hati dan kelenjar mammae meskipun kedua bentuk somatotropin ini merangsang pertumb uhan (Sodhi dan Rajput 2001).

Somatotropin bekerja di permukaan membran sel karena merupakan molekul peptida dengan reseptornya yang disebut growth hormone receptor

(GHR). Ada dua macam reseptor somatotropin yang berafinitas tinggi dan rendah, namun ya ng berafinitas tinggi sangat penting karena dikaitkan dengan pertumbuhan. Reseptor somatotropin adalah suatu glikoprotein berantai tunggal yang mempunyai 620 asam amino dengan domain ekstraseluler yang luas (246 residu asam amino), domain transmembran tunggal (24 residu) dan domain sitoplasmik yang panjang (350 residu). Bagian ekstraseluler terdiri atas hormone binding site, yaitu suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor (Sodhi dan Rajput 2001).


(15)

Oleh karena somatotropin adalah hormon peptida, reseptornya ada di permukaan sel yang merupakan superfamili dari reseptor sitokinin. Pada prinsipnya, ikatan antara somatotropin dengan reseptornya mengakibatkan aktivasi ensim seperti fosforilasi yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara memindahkan atau menambahkan gugus fosfat. Hal ini mengakibatkan timbulnya reaksi intrasel sehingga berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner 2003). Pengikatan hormon somatotropin akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor somatotropin. Akibat pengikatan ini terjadi aktivasi enzim tirosin kinase JAK2 (janus-family tyrosine kinase 2) yang berikatan dengan reseptor somatotropin sehingga terjadi fosforilasi reseptor dengan JAK2 pada residu tirosil. Kejadian ini akan menimbulkan aktivasi sejumlah lintasan pembentukan sinyal yang mencakup: fosforilasi protein STAT (signal transducer and activator of transcription) dan transkripsi gen, aktivasi lintasan MAP kinase ( mitogen-activated protein kinase) yang berkaitan dengan SHC/Grb2, fosforilasi IRS (insulin receptor substrate) dengan aktivasi PI-3 kinase (phosphatidylinositol-3-kinase) serta aktivasi PLC (phospholipase C) dengan memproduksi DAG (diasilgliserol) serta aktivasi protein kinase C. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lintasan transduksi sinyal yang diaktifkan oleh somatotropin (Graner 2003)

Somatotropin yang beredar pada aliran darah diikat oleh suatu growth hormone binding protein (GHBP). Fungsi GHBP ini masih belum jelas tapi ada


(16)

yang berpendapat bahwa GHBP meningkatkan waktu paruh somatotropin, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis somatotropin pada preadiposit dan mengurangi efek biologis dari pulsatil sekresi somatotropin dengan mengurangi somatotropin bebas selama pulsa sekretori.

Selain somatotropin, ada istilah somatomedin yang ditujukan untuk mencerminkan kemampuan suatu unsur untuk memperantarai pengaruh somatotropin. Somatomedin terdiri atas beberapa subtipe, salah satunya adalah somatomedin C. Setelah dikenalkan dengan istilah somatomedin, kemudian berganti dan didalilkan menjadi IGF-I (insulin-like growth factor-I) dan IGF-II (insulin-like growth factor-II). Kedua unsur tersebut dimasukkan ke dalam golongan seperti insulin karena kemampuannya untuk merangsang pengambilan glukosa ke dalam otot dan sel lemak. Di dalam serum, sebagian besar IGF adalah kompleks molekul berbobot 150 kDa yang mencakup IGFBP-3 (insulin-like growth factor binding protein-3) dan ALS (acid labile subunit) (Yakar et al. 2002). Pada awalnya IGF ditemukan sebagai tiga aktivitas biologis terpisah dalam serum, yaitu sulfation factor activity (SFA) oleh Salmon dan Daughaday pada tahun 1957, non-suppressible insulin-like activity (NSILA) oleh Froesch et al pada tahun 1963, dan multiplication stimulating activity (MSA) oleh Pierson dan Temin pada tahun 1972. Somatomedin C dan IGF-1 adalah dua penamaan untuk peptida yang sama sedangkan somatomedin A adalah IGF-II. Penggantian istilah somatomedin menjadi IGF menyusul purifikasi dua polipeptida yang sama untuk somatomedin A dan C dengan NSILA dan aktivitasnya yang mempromosikan pertumbuhan dari serum manusia (Kamil et al. 2001).

Aktivitas biologis IGF bergantung pada reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Ada dua jenis reseptor IGF, reseptor tipe I merupakan suatu glikoprotein dengan bobot molekul antara 300 - 350 kDa. Reseptor ini terdiri atas dua subunit ekstrasellular dengan bobot molekul 130 kDa dan dua subunit B transmembran dengan bobot molekul 95 kDa. Reseptor IGF ini baik dalam struktur atau fungsinya sejenis dengan reseptor insulin. Sekalipun mempunyai persamaan dalam afinitas ikatan, keterikatannya berbeda, afinitas reseptor IGF-I kurang lebih 1 nM atau 2010 kali lebih rendah untuk IGF-II dan 100-500 kali lebih rendah untuk insulin. Kapasitas dan afinitas reseptor IGF-I berubah selama


(17)

perkembangan, berdasarkan informasi hasil penelitian ternyata sudah tampak pada fetus dan tetap tinggi selama pascalahir dan kemudian menurun ketika menuju ke tingkat dewasa. Tipe II atau reseptor IGF-II adalah polipeptida rantai tunggal dengan bobot molekul 250 kDa yang disebut dengan reseptor mannosa-6-fosfat. Tipe ini secara struktural tidak berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin. Reseptor ini mengikat IGF-II dengan afinitas yang lebih tinggi daripada IGF-I dan tidak dengan insulin (Hartman 2000).

IGF-I merupakan salah satu hormon yang berpotensi pada proses pertumbuhan. Hal ini dikarenakan IGF-I mempunyai peranan yang penting dalam pengaturan metabolisme sel mammalia, pertumbuhan, dan diferensiasi (Shen et al. 2002; Kiepe et al. 2005). Sintesis dan konsentrasi IGF-I dalam plasma sangat dipengaruhi oleh somatotropin. IGF-I yang ada di darah sekitar 55% diproduksi oleh hati, oleh karena itu, tempat ini dianggap sebagai tempat utama produksi IGF-I. Kondisi perawatan dengan penyuntikan somatotropin akan meningkatkan konsentrasi IGF-I di dalam darah (Vestergaard et al. 2003; Rausch et al. 2002). Lebih lanjut le vel IGF-I dalam jaringan berbagai organ seperti hati, ginjal, paru-paru, otot, dan testis bergantung pada somatotropin, dengan derajat ketergantungannya bervariasi antarorgan. Peningkatan level reseptor somatotropin berkaitan dengan peningkatan konsentrasi IGF-I dalam plasma dan peningkatan IGF-I ini diasosiasikan dengan peningkatan bobot badan (Shen et al. 2002). Selain itu, hormon kelamin juga mempengaruhi konsentrasi IGF-I dalam plasma. Hewan jantan mempunyai IGF-I lebih tinggi dibandingkan pada hewan betina. Pubertas pada hewan betina ditandai dengan permulaan estrus pertama yang diasosiasikan dengan peningkatan IGF-I dalam plasma. Kejadian pubertas yang diiringi dengan peningkatan IGF-I telah diteliti pada hewan lain. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan level IGF-I pada plasma hewan yang diberi perlakuan estrogen sewaktu mengalami pubertas. Hal ini terjadi karena peningkatan sirkulasi steroid seks (Hartman 2000).

Peningkatan bobot badan yang diakibatkan penyuntikan somatotropin secara eksogen juga disertai peningkatan deposisi protein. Hal ini terjadi karena terjadinya peningkatan sintesis protein (Davis et al. 2004). Adapun sintesis protein melibatkan beberapa proses antara lain inisiasi, elongasi, dan terminasi,


(18)

dan yang menjadi regulator utama proses sintesis protein adalah proses inisiasi. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa translasi inisiasi meregulasi dua langkah penting, yaitu pertama pengikatan met-tRNAi (initiator methionyl tRNA) pada 40 subunit ribosom yang dimediasi oleh eukaryotic initiation factor (eIF)2 sehinggga membentuk formasi 43 subunit ribosom preinisiasi kompleks. Pengikatan met-tRNAi pada 40 subunit ribosom yang dimediasi oleh (eIF)2 sebelumnya merupakan modulasi aktivitas eIF2B dengan melibatkan pertukaran GDP (Guanosine diphosphate) menjadi GTP (Guanosine triphosphate) dalam eIF2. Yang kedua adalah pengikatan me t-tRNAi pada 43 subunit ribosom prainisiasi kompleks yang melibatkan kumpulan kompleks protein eukaryotic initiation factor (eIF) 4E (Davis et al. 2004).

Selanjutnya regulasi eIF4E akan berasosiasi dengan 4E-BP1 (4E-Binding Protein 1) suatu represor protein, yang berkompeten dengan eIF4G untuk pengikatan fosforilasi kompleks 4E-BP1. Hasilnya akan menurunkan afinitas eIF4E terhadap 4E-BP1 dan kemudian melepaskan eIF4E ke dalam kompleks aktif eIF4E-eIF4G. Regulasi kejadian ini mungkin melalui jalan

phosphatydilinositol 3 kinase (PI-3-kinase) atau S6K1 (ribosomal protein S6 kinase 1) (Gingras et al. 2001; Davis et al. 2004).

Secara umum dijelaskan bahwa inisiasi sintesis protein mengharuskan dipilihnya suatu molekul mRNA oleh ribosom yang dibagi atas beberapa tahap, yaitu disosiasi ribosom menjadi subunit 40S dan 60S, pengikatan met-tRNA, GTP, dan eIF-2 pada ribosom 40S ya ng membentuk kompleks prainisiasi, pengikatan mRNA pada kompleks prainisiasi 40S, dan penggabungan kompleks inisiasi 40S dengan subunit ribosom 60S untuk membentuk kompleks inisiasi 80S (Granner 2003). Adapun gambaran tentang regulasi somatotropin dalam metabolisme protein yang melibatkan proses inisiasi, elongasi, dan terminasi disajikan pada Gambar 3.


(19)

Gambar 3. Regulasi somatotropin dalam metabolisme protein (Davis et al. 2004).

Selain hal di atas, fungsi somatotropin dalam metabolisme tubuh yang penting adalah meningkatkan kecepatan sintesis protein di semua sel tubuh. Peningkatan ini terjadi karena somatotropin mampu mempercepat pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino di dalam sel. Di lain pihak, somatotropin juga mampu meningkatkan pembentukan RNA dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel. Keadaan ini yang menyebabkan kemungkinan terjadinya sintesis protein yang lebih cepat dalam sel dan dorongan proses mitosis yang diikuti oleh pertambahan jumlah sel sehingga mempercepat pertumbuhan jaringan di berbagai bagian tubuh (Davis et al. 2004).

Peningkatan bobot badan yang disertai peningkatan deposisi protein akibat penyuntikan somatotropin ternyata berlawanan dengan kondisi pada jaringan lemak. Berbagai penelitian sampai saat ini dengan jelas menunjukkan bahwa somatotropin mempunyai pengaruh negatif yang kuat pada metabolisme yang mengkontrol pertumbuhan jaringan adiposa. Somatotropin memainkan peranan penting pada proses fisiologis yang berbeda-beda sehingga lebih banyak nutrien dari bahan makanan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan jaringan, dan di lain pihak sedikit nutrien terutama glukosa yang digunakan pada jaringan adiposa. Hal ini terjadi karena mayoritas lipid di dalam tubuh diperoleh dari sintesis de novo asam lemak, dan jaringan adiposa adalah lokasi utama dalam sintesis asam


(20)

lemak (Etherton 2000). Selain itu, somatotropin mempunyai efek yang spesifik pada asam lemak pada jaringan adiposa, yakni meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga dengan sendirinya menurunkan sintesis lemak yang pada gilirannya akan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas yang beredar dalam darah. Ditambahkan pula bahwa somatotropin meningkatkan perubahan asam lemak menjadi asetil KoA sehingga baik untuk keperluan energi. Pada penelitian invitro

dan in vivo, pemberian somatotropin secara dramatis mengurangi sintesis asam lemak di dalam jaringan adiposa. Pada babi yang sedang bertumbuh, tingkat sintesis de novo dapat dikurangi lebih dari 90%, sedangkan pengaruhnya pada tingkat lipolisis adalah kecil (Dunshea et al. 1992; Etherton dan Bauman 1998).

Pengaruh penyuntikan somatotropin pada lipogenesis tampak seperti aksi langsung. Hal ini terlihat pada penelitian in vivo yang mana pengaruh somatotropin terjadi secara berkesinambungan pada kultur jaringan adiposa (Etherton et al. 1993). Salah satunya adalah somatotropin mampu mengatur respons jaringan terhadap pengaruh insulin (Etherton dan Smith 1991; Etherton et al. 1993; Rhoads et al. 2004). Selanjutnya, pengurangan kepekaan insulin akibat mekanisme somatotropin berdampak pada penurunan pengangkutan glukosa, aktivitas enzim lipogenik, ekspresi gen enzim lipogenik, dan lipogenesis (Etherton dan Bauman 1998). Dampak ini hanya terjadi pada jaringan adiposa, sementara pada otot relatif tidak terpengaruh (Wray-Cahen et al. 1995; Etherton dan Bauman 1998). Konsekuensi pengendalian insulin merupakan proses yang luar bia sa di dalam pemanfaatan nutrien. Hal ini dikarenakan sebagian besar glukosa untuk sintesis lipid di dalam jaringan adiposa dapat dialihkan ke otot. Selanjutnya, glukosa yang dialihkan ke otot akan digunakan sebagai energi tambahan untuk mendukung peningkatan sintesis protein otot (Etherton 2000).

Penurunan kepekaan insulin yang disebabkan oleh somatotropin di dalam jaringan adiposa tidak dihubungkan dengan perubahan jumlah reseptor insulin atau aktivitas tirosin kinase reseptor insulin (Magri et al. 1990). Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi pada babi yang menunjukan pengaruh insulin di dalam adiposit tidak berkurang oleh pemberian somatotropin (Dunshea et al. 1992, Etherton dan Bauman 1998).


(21)

Penyuntikan somatotropin berakibat meningkatnya bobot badan, peningkatan bobot badan ini menggambarkan peningkatan massa tubuh. Adapun massa tubuh itu terdiri atas beberapa mineral (Azain et al. 1995). Mineral di dalam pertumbuhan bertindak sebagai komponen yang berhubungan dengan sistem enzim dalam metabolisme karbohidrat dan protein, antara lain dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, sintesis kolagen dan elastin, integritas jaringan epitel, perbaikan sel, dan mekanisme pengambilan dan pemanfaatan vitamin (Johnson dan Swenson 2000). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan diperlukan kerja sama sistem endokrin dan parakrin yang ditujukan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Pertumbuhan dan perkembangan yang meningkat akan disertai dengan peningkatan kandungan mineral tubuh.

Glikogen merupakan bentuk simpanan karbohidrat yang utama di dalam tubuh hewan. Unsur ini terutama terdapat di dalam hati (sampai 6%) dan otot yang jarang melampaui jumlah 1%. Namun karena massanya yang jauh lebih besar, jumlah simpanan glikogen dalam otot bisa mencapai 3 hingga 4 kali jumlahnya dalam hati (Mayes 2003). Somatotropin umumnya menekan pengaruh insulin. Hiperglikemia sesudah pemberian somatotropin merupakan kombinasi akibat penurunan pemakaian glukosa dalam jaringan perifer dengan peningkatan produksi glukosa dalam hati melalui proses glukoneogenesis. Dalam hati, somatotropin akan meningkatkan jumlah glikogen, dan peristiwa ini mungkin terjadi akibat aktivasi proses glukoneogenesis asam amino (Graner 2003; Ganong 2002). Pada hewan, penyuntikan somatotropin akan mengakibatkan pengambilan glukosa oleh sel meningkat dan konsentrasi glukosa darah sedikit berkurang. Akan tetapi, apabila sel menjadi jenuh oleh glikogen dan penggunaan glukosa untuk energi berkurang, pengambilan glukosa akan menurun (Guyton 1995).

Peningkatan bobot badan pada hewan yang disuntik somatotropin selalu disertai dengan peningkatan pertumbuhan tulang. Proses ini diatur oleh hormon sistemik dan faktor parakrin atau autokrin, dan somatotropin bertindak sebagai regulator utama proses selama perkembangan dan pertumbuhan tulang, disamping IGF-I, glukokortikoid, dan insulin (Robson et al. 2002).


(22)

Aksi somatotropin terhadap jaringan tulang dapat secara langsung atau melalui dua perantara, yaitu IGF-I dan IGF-II. Peran IGF-II setelah kelahiran kurang jelas, namun saat ini terbukti secara substansial IGF-I dan IGF-II berperan secara komplementer dan unik dalam mengatur pertumbuhan tulang (Reinecke et al. 2000; van der Eerden et al. 2003).

Penelitian yang terbaru tentang mekanisme selular dari kerja somatotropin dalam mengatur pertumbuhan tulang menyatakan bahwa somatotropin merangsang pertumbuhan tulang longitudinal secara langsung dengan cara merangsang prekondrosit di dalam lempeng pertumbuhan yang diikuti oleh perluasan klonal, dan proses itu dapat diakibatkan baik melalui produksi IGF-I lokal maupun oleh induksi somatotropin yang meningkatkan sirkulasi IGF-I (Ohlsson et al. 1998), selanjutnya sel-sel di dalam zona hipertrofi menjadi matang dan secepatnya disatukan ke dalam tulang. Selain itu, somatotropin dapat merangsang pertumbuhan tulang rawan dan jaringan lainnya dengan terus meningkatkan banyaknya sel dibandingkan meningkatkan ukuran sel (Ohlsson et al. 1998).

Menurut hipotesis somatomedin yang asli, somatotropin merangsang pertumbuhan tulang kerangka dengan merangsang hati untuk memproduksi somatomedin (IGF-I) yang pada gilirannya dengan cara endokrin akan merangsang pertumbuhan tulang longitudina l. Pada awal tahun 1980-an hipotesis somatomedin ditentang oleh penelitian yang mempertunjukkan suntikan somatotropin secara langsung ke dalam lempeng pertumbuhan tulang tibia tikus yang menyebabkan perangsangan pertumbuhan tulang longitudinal di area suntikan. Selanjutnya, dari hasil pengamatan ini ditetapkan bahwa somatotropin merangsang pertumbuhan berbagai jaringan yang berbeda secara langsung (Vikman et al. 1991; Kassem et al. 1993; Lewinson et al. 1993; Etherton 2004). Pada penelitian dengan menggunakan 3T3 preadiposit, tampak somatotropin dan IGF-I bekerja pada sel pada tahap-tahap pematangan yang berbeda. Somatotropin ditemukan merangsang preadiposit muda, sedangkan IGF-I merangsang sel pada langkah pengembangan berikutnya, selanjutnya dari hasil ini dihipotesiskan bahwa somatotropin bekerja pada sel progenitor dan selanjutnya IGF-I berperan dalam merangsang perluasan klonal, hipotesis ini dinamai dual effector theory.


(23)

Penemuan yang menyatakan somatotropin merangsang pertumbuhan tulang longitudinal secara langsung dan meningkatkan produksi IGF-I lokal dengan merangsang transkripsi gen IGF-I menghasilkan suatu pernyataan bahwa dual effector theory dari aksi somatotropin adalah valid pada regulasi pertumbuhan tulang longitudinal (Ohlsson et al. 1994).

Penyuntikan somatotropin mengakibatkan peningkatan panjang tulang yang disertai dengan peningkatan bobot tulang. Peningkatan bobot tulang kerangka dengan formasi tulang baru yang disebabkan oleh somatotropin pertama kali ditunjukkan pada anjing dewasa, setelah dilakukan penyuntikan dengan somatotropin selama 3 bulan yang menghasilkan peningkatan bobot tulang kortikal sebesar 2% (Ohlsson et al.1998). Selain itu, somatotropin mempengaruhi perubahan model tulang dengan cara mengatur keseimbangan antara resapan dan formasi tulang (Bouillon 1991; Eriksen et al. 1993; Eriksen et al. 1996).

Penyuntikan somatotropin meningkatkan sintesis protein pada sel somatik sehingga dengan sendirinya mempengaruhi pembentukan kolagen. Seperti kita ketahui, tulang adalah jaringan hidup dengan matriks protein kolagen yang telah diresapi oleh garam- garam mineral. Kolagen adalah protein yang paling berlimpah di dalam tulang. Beberapa elastin dan retikulin terdapat dalam jumlah yang lebih kecil. Lebih dari 90% kandungan yang terdapat pada bagian tulang organik adalah kolagen. Tulang rawan dan jaringan konektif membran, mengandung kolagen dan polisakarida, dan merupakan matriks organik yang mengalami proses diosifikasi menjadi tulang. Umur berkaitan dengan perubahan di dalam ukuran, kepadatan, dan mungkin jumlah serabut kolagen. Kolagen dari sumber yang berbeda memperlihatkan variasi yang luas dalam daya larutnya. Kolagen mammalia dan aves sebagian besar mengandung hidroksiprolin dan prolin lebih tinggi dan sedikit metionin, serin, dan treonin dibandingkan dengan kolagen ikan. Serabut kolagen tulang dikemas lebih rapat dibandingkan dengan jaringan lain yang ada di dalam tubuh. Unsur dasar serabut kolagen ditandai oleh kehadiran protein polisakarida yang mengandung heksosamin yang dihasilkan dari proses degradasi dan beberapa tipe komponen kondroitin sulfat yang terdiri dari glukoronik dan asam sulfat (Leeson et al. 1996).


(24)

Protein dalam serabut-serabut kolagen yang membentuk matriks tulang sangat kompleks. Kolagen adalah protein struktural yang secara alami berbentuk serat, yang tersusun atas 25 - 30% total protein tubuh hewan. Kolagen ini disintesis pada semua tipe sel dan didepositkan pada semua tipe jaringan. Jumlah dan kekuatan kolagen dapat meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Soeparno 1992). Susunan kimiawi kolagen menunjukan bahwa ada lima tipe kolagen yang secara genetik berbeda (Leeson et al. 1996), antara lain tipe I merupakan tipe kolagen yang paling banyak ditemui yang meliputi kurang lebih 90% kolagen tubuh. Kolagen ini berada pada dermis kulit, tendon, tulang, gigi, dan pada hakekatnya terdapat di semua jaringan penyambung. Sel-sel yang berperan dalam sintesis kolagen tipe I adalah fibroblas, osteoblas dan odontoblas. Selanjutnya tipe II, yaitu kolagen dibentuk oleh kondroblas yang merupakan unsur utama matriks tulang rawan. Kolagen lainnya adalah tipe III. Kolagen tipe ini ditemukan pada awal perkembangan beberapa jenis jaringan pembangun yang kemudian sebagian besar digantikan oleh kolagen tipe I. Pada keadaan dewasa, kolagen ini terdapat dalam jaring- jaring retikular yang berhubungan dengan kulit, pembuluh darah, uterus, dan saluran pencernaan. Pada jaringan kulit, kolagen ini dibentuk oleh fibroblas. Selanjutnya tipe IV yang terdapat dalam lamina basal. Tipe yang terakhir adalah tipe V. Pada tipe ini susunannya membentuk lamina tipis yang tidak bergurat di bawah membran fetus. Setiap tipe kolagen mengandung hidroksiprolin, hidroksilisin, glikosilasi hidroksilisin, dan komposisi molekul yang berbeda (Lawrie 1995).

Penyuntikan somatotropin akan memberikan nilai lebih dalam memodifikasi prokolagen tipe III, dalam perkembangannya prokalagen tipe III akan berubah menjadi tipe I (Longorbadi et al. 2000). Selanjutnya, penyuntikan somatotropin dalam waktu yang panjang pada usia lanjut akan mempengaruhi metabolisme tulang karena mempengaruhi kadar IGF-I dan IGF-I inilah yang memacu sel-sel prekursor osteoblast sebagai salah satu sel yang berperan dalam pembentukan kolagen tulang (Oxlund et al. 1998).


(25)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) berumur 2 minggu sebanyak 162 ekor yang pengaturan jumlah setiap perlakuan disesuaikan dengan protokol penelitian dan ditempatkan dalam kandang individu. Tikus galur Sprague-Dawley (SD) memiliki cir i-ciri antara lain: warna albino putih, ukuran kepala kecil, panjang ekor lebih panjang dibandingkan dengan badan. Adapun data fisiologisnya antara lain: bobot badan dewasa jantan 300 – 800 g dan betina 250 – 450 g, bobot lahir 5 – 6 g, bobot pubertas 150 – 200 g, dan umur pubertas 7 - 8 minggu (Pass dan Freeth 1993).

Tikus dibiasakan untuk hidup di kandang percobaan dengan pemberian pakan dan air serta pemeliharaan yang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Pakan yang disuguhkan adalah pakan komersil berupa butiran dengan kode 594 buatan dari PT Charoen Pokphand yang diberikan secara bertahap agar terbiasa hingga mencapai jumlah yang sesuai dengan kebutuhannya.

Hormon yang digunakan dalam penelitian ini adalah bovine somatotropin (bST) dan untuk penyuntikan tikus kontrol digunakan minyak wijen (sesame oil).

Alat-alat bantu yang digunakan pada penelitian ini antara lain: alat timbang, alat Rontgen dan Fluoroskopi Siremobile (Siemens), alat ukur panjang, dan alat-alat bantu lainnya yang dipergunakan sesuai dengan fungsinya.

Metode Penelitian

Penelitian penyuntikan somatotropin, analisis fisik, dan analisis kandungan kimiawi karkas dan tulang dimulai bulan Agustus 2005 sampai dengan Agustus 2006 yang dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, dan Laboratorium Kimia Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Tersarang dengan dua faktor. Faktor pertama terdiri atas tiga dosis penyuntikan


(26)

somatotropin: 0, 3, dan 9 mg/kg bobot badan/ekor/hari dan faktor kedua adalah periode penyuntikan yang tersarang di dalam faktor dosis yang terdiri atas tiga periode penyuntikan mulai hari penelitian ke 1 – 14, ke 1 – 28, dan ke 15 – 28. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan model persamaan matematika sebagai berikut:

Yijk = µ + α i + βj(i) + εijk

Keterangan: Yijk = respons ke-I, waktu ke-j, dan ulangan ke-k

µ = rataan populasi

α i = dosis ke- i

βj(i) = waktu ke-j dalam dosis ke- i

εijk = pengaruh galat

Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis dengan menggunakan program komputer Minitab (version 13.20).

Mula- mula tikus diadaptasikan dengan lingkungan selama 1 minggu. Pakan dan minum disediakan ad libitum. Penyuntikan somatotropin dilakukan pada saat tikus mulai berumur 3 minggu secara intramuskuler pada bagian paha belakang.

Seluruh tikus (sebanyak 162 ekor) dibagi ke dalam tiga kelompok dosis somatotropin, yaitu 0 (kontrol disuntik sesame oil sebanyak 1 mL/ekor/hari), 3 mg, dan 9 mg masing- masing sebanyak 54 ekor. Setiap kelompok dosis dibagi tiga sesuai dengan periode penyuntikan, yaitu hari ke 1 – 14, hari ke 1 – 28, dan hari ke 15 – 28 masing- masing sebanyak 18 ekor. Penyuntikan somatotopin sesuai dengan rancangan percobaan yang dilakukan selama periode 28 hari. Setelah periode penyuntikan, sebagian tikus percobaan dipelihara tanpa penyuntikan somatotropin selama 28 hari berikutnya. Protokol penelitian penyuntikan somatotropin disajikan pada Gambar 5.

Peubah yang Diamati dan Teknik Peng ukurannya Penampilan Tubuh

1. Bobot Badan

Penimbangan bobot badan dilakukan setiap minggu dengan cara memasukkan tikus ke dalam kandang khusus yang selanjutnya ditimbang. Pengukuran bobot badan tikus = bobot tikus dan kandang timbang – bobot kandang timbang yang diukur dalam satuan gram.


(27)

2. Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan didapat dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan sisa yang diukur dalam satuan gram per hari.

3. Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Tujuan pengamatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyuntikan somatotropin pada pertambahan bobot badan hewan percobaan dalam satuan waktu (hari). Cara pengamatannya adalah bobot badan tikus ditimbang pada hari ke a (Ba), selanjutnya ditimbang lagi pada hari ke b (Bb), pertambahan bobot badan didapat dari selisih antara Bb dengan Ba dibagi dengan lama waktu dari hari

penimbangan Ba ke hari penimbangan Bb yang diukur dalam satuan gram per hari.

4. Efisiensi Penggunaan Pakan

Efisiensi penggunaan pakan didapat dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan konsumsi pakan.

5. Laju Pertumbuhan Relatif

Tujuan pengamatan ini adalah untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan hewan percobaan akibat dari penyuntikan somatotropin. Hasilnya didapat dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan bobot badan pada waktu itu dikalikan 100% yang diukur dalam satuan persen.

Karkas dan Kandungan Kimiawi Karkas 1. Bobot Karkas

Tujuan pengamatan ini adalah untuk mengetahui bobot karkas akibat dari penyuntikan soma totropin. Hasilnya didapat dengan cara menguliti terlebih dahulu, selanjutnya memotong bagian kepala, kaki depan dan belakang, ekor, dan mengeluarkan organ dalamnya, kemudian bobot karkasnya ditimbang dalam satuan gram.

2. Kandungan Protein Karkas

Pengukuran kandungan protein karkas dilakukan dengan cara menimbang 0.5 g karkas yang sudah dihaluskan dan memasukkannya ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Kemudian ditambahkan 1 g campuran selenium dan 10 mL H2SO4 pekat dan labu Kjeldahl digoyang sampai semua terbasahi oleh H2SO4. Setelah itu, sampel didestruksi dalam lemari asam sampai jernih dan dibiarkan sampai dingin lalu dituang ke dalam labu ukur 100 mL, sambil dibilas dengan air suling.


(28)

Larutan didinginkan kemudian volumenya dipenuhi sampai tanda garis dengan air suling. Setelah itu, disiapkan penampung yang terdiri atas 10 mL H3BO3 2% dan 4 tetes larutan indikator campuran dalam Erlenmeyer 100 mL. Sebanyak 5 mL NaOH 30% dan 100 mL air suling dicampurkan dan disuling hingga volume penampung menjadi kurang lebih 50 mL. Ujung penyuling dibilas dengan air suling selanjutnya penampung beserta isinya dititrasi dengan larutan HCl atau H2SO4 0.0222 N.

3. Kandungan lemak karkas

Pengukuran kandungan lemak karkas dilakukan dengan cara menimbang 0.5 g karkas yang sudah dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala 10 mL. Kemudian ditambahkan khloroform mendekati skala, kemudian ditutup rapat lalu dikocok dan dibiarkan bermalam. Volume larutan disamakan pada tanda skala 10 mL dengan pelarut lemak yang sama kemudian dikocok hingga homogen, selanjutnya disaring dengan kertas tisu/kertas saring ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 5 mL larutan tersebut dipipet ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya (a g) dan dipanaskan dengan oven pada suhu 100oC selama 3 jam atau dibiarkan bermalam. Setelah itu, cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam eksikator kurang lebih 30 menit lalu ditimbang (b g)

Perhitungan : Perhitungan :

V1 x N x 0.014 x 6.25 x P

Kandungan protein = x 100% g contoh

Keterangan : V1 = volume titrasi contoh

N = normalitas larutan HCl atau H2SO4 0.0222 N P = faktor pengencer (100/S)

P (b – a)

Kandungan lemak = x 100% berat contoh

keterangan : P = pengenceran = 10/5 a = berat cawan


(29)

4. Kandungan Mineral Karkas

Pengukuran kandungan mineral karkas dilakukan dengan cara mencuci bersih cawan porselen dengan air kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan menimbang beratnya (X). Sebanyak 3 g karkas yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam porselen (Y). Cawan beserta isinya dipijarkan di atas nyala bunsen sampai tidak berasap lagi. Kemudian cawan ini dimasukkan ke dalam tanur listrik untuk dibakar atau diabukan pada suhu 400-800 oC. Sesudah abu menjadi putih, seluruhnya diangkat dan didinginkan dengan cara memasukkannya ke dalam dessikator. Setelah 1 jam cawan ditimbang kembali dengan berat (Z). Perhitungan :

5. Kandungan Glikogen Karkas

Pengukuran kandungan glikogen karkas dilakukan dengan cara mempersiapkan bahan yang digunakan antara lain asam sulfat 95% (95 mL asam sulfat + 5 mL H2O) yang dibuat dalam ruang asam, antrone 0.2% (0.2 g anthrone dalam 100 mL asam sulfat 95% yang dibuat dalam kondisi segar, KOH 30% (30 g KOH dalam 100 mL H20), ethanol 95%, glikogen standar [100mg/10mL H2O = 1 µg/ 1 µL (H2O)]. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut. Sampel karkas yang telah dihaluskan diekstraksi sebanyak 25 mg dalam 1 mL KOH 30%, selanjutnya campuran tersebut diinkubasi dalam penangas air mendidih selama 20 menit (disebut ekstrak sampel). Kemudian ditambahkan 1.5 mL etanol dan disent rifus dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit. Selanjutnya didekantasi yang hasilnya glikogen akan menempel di dinding tabung. Kemudian ditambahkan 1 mL H2O, selanjutnya ditambahkan 3 mL antrone. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm. (Z – X) x 100%

Kandungan mineral = Y

keterangan : Z = berat cawan dengan sampel karkas setelah proses X = berat cawan kosong


(30)

Bobot Organ

Organ yang diamati pada penelitian ini antara lain hati, jantung, testis, dan saluran pencernaan. Sebelum dilakukan penimbangan bobot organ, terlebih dahulu tikus dimatikan selanjutnya dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk mengamati beberapa bagian organ untuk mengetahui pertumbuhan atau pertambahan bobot dari organ-organ tikus yang disuntik somatotropin. Masing- masing organ dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan NaCl fisiologis dan selanjutnya ditimbang dengan menggunakan alat timbang elektronik yang diukur dalam satuan gram.

Panjang dan Kandungan Kimiawi Tulang 1. Panjang Tulang

Pengukuran pajang tulang dilakukan dengan cara terlebih dahulu tikus dipingsankan kemudian dirontgen dengan menggunakan alat Rontgen dan Fluoroskopi Siremobile (Siemens). Selanjutnya dilakukan pengukuran panjang tulang yang meliputi tulang kaki depan, tulang kaki belakang, dan tulang punggung dengan melihat dan mengukur hasil rontgen. Pengukuran tulang kaki depan maupun belakang diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang dan panjang tulang punggung dimulai dari pangkal batang leher sampai pangkal tulang ekor. Pengukuran panjang tulang menggunakan alat ukur dengan skala milimeter (mm).

2. Kandungan Kolagen Tulang

Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui besarnya konsentrasi kolagen atau kadar kolagen pada tulang tikus percobaan akibat penyuntikan somatotropin. Sampel yang digunakan adalah tulang bagian tibia tikus. Pengukuran kandungan kolagen tulang dilakukan setelah tulang yang sudah dikeringkan dan dihaluskan diekstraksi dengan cara menimbang 25 mg ke dalam tabung reaksi dan menambahkan sebanyak 5 mL HCl 6 N pada setiap sampel. Semua tabung diletakkan pada penangas air 130 oC selama 3 jam (air mendidih ± 5 jam) sampai larutan homogen kuning muda. Jika terjadi penguapan selama pemanasan ditambahkan lagi HCl 6 N sebanyak 5 mL. Isinya dituangkan dan dibaca pada pH 6 – 7 (seragam) dengan menambahkan NaOH 2 N jika keasaman atau HCl 6 N


(31)

jika kebasaan, dan tetap menghitung pelarutannya. Selanjutnya tabung reaksi disiapkan kemudian dilabel untuk blank, standar, dan sampel yang masing- masing dibuat duplo. Masing- masing tabung diisi reagen sehingga akan berwarna kuning, setelah itu pada setiap tabung ditambahkan 1 mL Chloramin- T dan dikocok dengan vorteks. Larutan dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar. Setiap tabung ditambahkan 1 mL asam perklorat (kocok dengan vorteks) dan dibiarkan selama 5 menit. Setiap tabung ditambahkan 1 mL p-dimetilaminobenzaldehide dan dikocok kemudian diletakkan pada penangas air 60 oC selama 20 menit. Larutan didinginkan pada kran air mengalir (tabung direndam dalam wadah berisi air dingin) selama 5 menit. Absorbans larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 557 nm, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 jam.

3. Kandungan Kalsium Tulang

Prinsip dari percobaan penentuan kandungan kalsium adalah asam etilenediamintetraasetat (EDTA) dalam larutan basa membentuk suatu senyawa yang dapat larut dan kompleks yang sedikit terionisasi oleh kalsium dan magnesium serta ion- ion logam lain. Bila ion magnesium ada, suatu titik akhir dapat terlihat dengan indikator Eriochrome Black T. Suatu larutan kalsium yang tidak diketahui berisi sejumlah magnesium dapat dititrasi dengan EDTA untuk menentukan adanya kalsium. Peralatan yang digunakan adalah mikro buret dan pereaksinya antara lain: larutan buffer (campuran 87.5 g ammonium khlorida dengan 570 mL ammonium hidroksida pekat dan diencerkan menjadi 1 liter), indikator (0.25 g Eriochrome Black T dilarutkan dalam 50 mL diethanolamin), larutan magnesium sulfat, larutan EDTA, ammonium oksalat jenuh, asam khlorida pekat, indikator merah metil, standar kalsium, dan ammonium hidroksida. Cara kerjanya adalah sebagai berikut. Aliquot dari larutan abu yang berisi 0.05 mg hingga 1.5 mg kalsium dipipet ke dalam tabung sentrifus berujung bulat 15 mL yang berisi 3 mL amonium oksalat jenuh. Setelah itu, ditambahkan 1 tetes indikator merah metil dan disesuaikan pH menjadi 5.0 – 5.5 (warna faint pink dari indikator) menggunakan larutan encer asam hidroklorida atau amonium hidroksida. Isinya dicampurkan sampai merata dan dibiarkan selama satu jam dan disentrifus selama 5 menit pada kecepatan 3000 rpm. Cairan supernatan dibuang dengan hati- hati, endapannya disuspensikan dan tabung dicuci dengan sekitar


(32)

3 mL amonium hidroksida 1%, disentrifus dan sekali lagi dibuat cairan supernatannya. Selanjutnya endapan dilarutkan dalam 0.5 mL asam hidroklorida pekat dengan air distilasi ke dalam gelas 100 mL dan diencerkan hingga 30 mL. Setelah itu, ditambahkan 5.0 mL larutan buffer dan beberapa tetes indikator Eriochrome Black T, selanjutnya ditambahkan 0.5 mL larutan magnesium sulfat dari buret sampai warnanya menjadi merah anggur. Kemudian ditambahkan larutan EDTA dari buret sampai terbentuk warna biru. Selanjutnya dititrasi ulang dengan larutan magnesium sulfat hingga tampak awal warna merah anggur dalam larutan biru tersebut. Perhitungannya :

Kandungan kalsium (%) =

titer Ca dari EDTA – (titer Mg dari EDTA x mL MgSO4) x 10 (mL EDTA)


(33)

Gambar 4. Protokol penelitian 0 mg

S T 54 ekor

Hari 1 - 14 18 ekor

Hari ke 7

Hari 1 - 28 18 ekor

Hari 15 - 28 18 ekor

3 mg S T 54 ekor

Hari 1 - 14 18 ekor

Hari 1 - 28 18 ekor

Hari 15 - 28 18 ekor

9 mg S T 54 ekor

Hari 1 - 14 18 ekor

Hari 1 - 28 18 ekor

Hari 15 - 28 18 ekor

162 EKOR TIKUS

Hari ke 14

Hari ke 21

Hari ke 28

Hari ke 35

Hari ke 42

Hari ke 49

Hari ke 56

* Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan bobot organ

(masing-masing perlakuan 3 ekor)

* Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan panjang tulang

dan bobot organ (masing-masing perlakuan 3 ekor)

* Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan bobot organ

(masing-masing perlakuan 3 ekor)

* Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan

* 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan panjang dan kandungan kimiawi tulang, bobot dan kandungan kimiawi karkas, dan bobot organ

(masing-masing perlakuan 3 ekor)

Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan

PENGAMATAN SELAMA PENYUNTIKAN SOMATOROPIN 28 HARI

PENGAMATAN 28 HARI SETELAH PENGHENTIAN PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN

* Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan panjang tulang

(masing-masing perlakuan 3 ekor)

Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * Penimbangan bobot badan seluruh tikus percobaan * 27 ekor tikus dikorbankan untuk pengamatan panjang tulang


(34)

H A S I L

Pengamatan selama Penyuntikan Somatotropin Penampilan Tubuh

Penampilan tub uh tikus percobaan pada penelitian ini menggambarkan seberapa besar perubahan atau peningkatan bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, dan laju pertumbuhan relatif yang terjadi akibat penyuntikan somatotropin. Hasil pengamatan penampilan tubuh dapat dilihat pada Tabel 1.

Rataan bobot badan tikus percobaan selama 28 hari untuk penyuntikan somatotropin dosis 3 dan 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 15 – 28 lebih besar masing-masing sebesar 10.4%, 16.3%, dan 9.4% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, periode penyuntikan somatotropin hari ke 1 – 28 bobot badannya lebih tinggi masing- masing sebesar 10.4% dan 6.3% dibandingkan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 bobot badannya lebih tinggi masing- masing sebesar 18.9% dan 12.9% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, apabila dibandingkan antar dosis penyuntikan somatotropin khususnya pada periode penyuntikan hari ke 1 – 28 tampak dosis 9 mg bobot badannya lebih tinggi 5.3%.

Untuk memperjelas pengamatan bobot badan tikus percobaan selama 28 hari, disajikan grafik pertumbuhan bobot badan tikus percobaan berbagai penyuntikan selama 28 hari pada Gambar 5. Tampak tikus yang disuntik somatotropin dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 tumbuh melebihi tikus yang lainnya.

Pertumbuhan yang dicerminkan dengan meningkatnya bobot badan disertai pula peningkatan konsumsi pakan. Rataan konsumsi pakan tikus yang disuntik somatotropin dosis 3 dan 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 - 28 dan hari ke 15 – 28, tampak mengkonsumsi pakan lebih tinggi masing- masing 6.2%, 6.2%, 6.9% dan 6.9% dibandingkan dengan kontrol. Konsumsi pakan tikus yang disuntik somatotropin dosis 3 mg dan 9 mg tidak terjadi perbedaan antar periode penyuntikan. Selanjutnya apabila dibandingkan antar dosis penyuntikan, tampak tidak ada perbedaan konsumsi pakannya.


(35)

60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210

0 7 14 21 28

Pengamatan hari ke

keterangan :

Bobot badan (g)

Dosis 0 mg (1-14) Dosis 0 mg (1-28) Dosis 0 mg (15-28)

Dosis 3 mg (1-14) Dosis 3 mg (1-28) Dosis 3 mg (15-28)

Dosis 9 mg (1-14) Dosis 9 mg (1-28) Dosis 9 mg (15-28)

Gambar 5. Grafik pertumbuhan tikus percobaan yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari penelitian.

Peningkatan bobot badan yang disertai peningkatan konsumsi pakan ini menghasilkan peningkatan pertambahan bobot badan, pada penyuntikan dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 lebih tinggi masing- masing 40.3% dan 22.6% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, tidak terjadi perbedaan pertambahan bobot badannya. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 lebih tinggi 32.1% dan 13.4% dibandingkan periode penyuntikan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28, periode penyuntikan hari ke 15 – 28 pertambahan bobot badannya lebih tinggi 16.5% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya apabila dibandingkan antar dosis penyuntikan, tampak dosis 9 mg pertambahan bobot badannya lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Penyuntikan somatotropin berdampak pula pada efisiensi penggunaan pakan. Efisiensi penggunaan pakan tikus pada penyuntikan somatotropin dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 lebih tinggi sebesar 34.8% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, antar periode penyuntikan tidak terjadi perbedaan. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 lebih


(36)

Tabel 1. Rataan bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, dan laju pertumbuhan relatif tikus yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari

Dosis somatotropin (mg/kg bobot badan/ekor/hari) 0 3 9

periode hari ke periode hari ke periode hari ke

Peubah (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28)

Bobot badan (g) 172.4±5.5a 173.6±6.0a 175.3±5.6a 176.9±10.1a 191.7±4.3b 180.8±13.9a 169.8±5.5a 201.9±2.3b 191.8±7.6b Konsumsi pakan 13.0±0.4a 13.0±0.5a 13.0±0.2a 13.4±0.1ab 13.8±0.1b 13.8±0.1b 13.4±0.1ab 13.9±0.1b 13.9±0.2b (g/hari)

Pertambahan 3.17±0.32a 3.2±0.32a 3.23±0.32a 3.48±0.13a 3.79±0.48a 3.80±0.29ab 3.4±0.29a 4.49±0.07c 3.96±0.14b bobot badan

(g/hari)

Efisiensi 0.24±0.02a 0.24±0.02a 0.25±0.02a 0.26±0.00a 0.27±0.04a 0.28±0.02a 0.25±0.01a 0.32±0.0b 0.29±0.01ab penggunaan pakan

Laju pertumbuhan 2.82±0.21a 2.82±0.23a 2.82±0.23a 3.15±0.02ab 3.22±0.32ab 3.33±0.09b 3.09±0.15a 3.61±0.02c 3.38±0.01b relatif (%)


(37)

tinggi 28% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan somatotropin tampak dosis 9 mg lebih tinggi efisiensi penggunaan pakannya dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Peningkatan bobot badan dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada penyuntikan somatotropin dosis 3 dan 9 mg pada periode penyuntikan hari ke 15 – 28 dan dosis 9 mg pada periode penyuntikan hari ke 1 - 28, menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi masing- masing 17.9%, 19.9%, dan 28.0% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, laju pertumbuhan relatifnya tidak berbeda antar periode penyuntikan. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 laju pertumbuhannya lebih tinggi 16.8% dan 6.8% dibandingkan dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan somatotropin tampak dosis 9 mg lebih tinggi laju pertumbuhan relatifnya dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Sebagaimana diketahui bahwa hormon secara umum mempunyai fungsi sebagai regulator fisiologis dalam tubuh, khususnya somatotropin yang berperan dalam pertumbuhan. Terjadinya peningkatan bobot badan pada tikus yang disuntik somatotropin mengindikasikan adanya respons yang baik dari tikus terhadap penyuntikan somatotropin. Selanjutnya peningkatan bobot badan ini tidak lepas dari keterlibatan faktor pakan yang dikonsumsi. Penggunaan pakan untuk meningkatkan bobot badan tampak pada hasil efisiensi penggunaan pakan yang meningkat pula. Selain itu, terjadinya peningkatan pertambahan bobot badan akibat dari peningkatan bobot badan pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan laju pertumbuhan relatif.

Bobot dan Kandungan Kimiawi Karkas

Peningkatan bobot badan akibat penyuntikan somatotropin disertai pula peningkatan bobot karkas. Selanjutnya, peningkatan bobot karkas ini disertai dengan peningkatan kandungan mineral dan glikogen karkas. Namun dilain pihak, terjadi penurunan kandungan lemak karkas, sedangkan kandungan protein karkas tidak terpengaruh. Rataan bobot dan komposisi karkas yang dihasilkan pada berbagai dosis penyuntikan somatotropin selama 28 hari disajikan pada Tabel 2.


(38)

Tabel 2. Rataan bobot dan kandungan kimiawi karkas tikus yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari

Dosis somatotropin (mg/kg bobot badan/ekor/hari)

0 3 9

periode hari ke periode hari ke periode hari ke

Peubah (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28)

Bobot 76.8±5.6a 77.1±5.7 a 77.5±5.7a 75.3±6.9a 89.1±2.4b 78.4±4.2a 75.7±7.8a 94.1±2.4b 88.4±4.5b (g)

Protein 55.4±2.8a 54.9±3.0a 55.6±2.8a 55.4±2.1a 55.8±1.4a 55.5±2.0a 54.6±3.6a 55.9±1.3a 55.7±1.9a (%)

Lemak 21.3±0.3a 21.6±0.6a 21.5±0.5a 21.4±0.7a 18.9±0.7b 20.3±0.7a 23.0±0.5a 13.7±0.9c 16.8±0.8bc (%)

Mineral 10.9±0.9a 11.6±0.3a 11.5±0.4a 11.4±0.4a 11.8±0.4a 11.8±0.4a 10.9±0.7a 13.0±0.3b 11.8±0.3a (%)

Glikogen 4.9±0.2a 4.7±0.5a 4.9±0.1a 6.2±0.2ab 7.8±0.2c 6.3±0.2ab 4.3±0.3a 8.0±0.2c 6.9±0.2b (µg/mg)


(39)

Bobot karkas tikus yang disuntik somatotropin dengan dosis 3 mg dan 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 15 – 28 menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi masing-masing 15.6%, 22.0%, dan 14.1% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 bobot karkasnya lebih tinggi 18.3% dan 13.6% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 bobot badannya lebih tinggi 24.3% dan 16.8% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan terlepas dari periode penyuntikan, tampak tidak terjadi perbedaan, namun dosis 9 mg lebih tinggi bobot karkasnya dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Peningkatan bobot karkas yang terjadi ternyata tidak disertai dengan peningkatan kandungan protein karkas. Penyuntikan somatotropin tidak berpengaruh pada kandungan protein karkas tikus. Walaupun demikian, tikus yang disuntik somatotropin dengan dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 menghasilkan kandungan protein karkas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, khususnya apabila dikaitkan dengan bobot karkas yang dihasilkan.

Peningkatan bobot karkas akibat penyuntikan somatotropin diikuti penurunan kandungan lemak karkas. Keadaan ini tampak pada penyuntikan somatotropin dosis 3 dan 9 mg dengan periode hari ke 1 – 28 dan dosis 9 mg hari ke 15 – 28 yang nyata lebih rendah masing- masing sebesar 12.3%, 36.4%, dan 21.9% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, tampak periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan lemak karkasnya lebih rendah 11.6% dan 6.9% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Untuk dosis 9 mg, tampak periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 kandungan lemak karkasnya lebih rendah 40.4% dan 26.8% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, antar dosis somatotropin tampak dosis 9 mg khususnya periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan lemak karkasnya lebih rendah dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Peningkatan bobot karkas akibat penyuntikan somatotropin disertai peningkatan kandungan mineral karkas. Karkas tikus yang disuntik somatotropin


(40)

dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan mineralnya lebih tinggi 11.9% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, antar periode penyuntikan tidak terjadi perbedaan kandungan mineral karkasnya. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan mineral karkasnya lebih tinggi 18.4% dan 9.7% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan tampak dosis 9 mg khususnya pada periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan mineral karkasnya lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Sama halnya dengan kandungan mineral karkas, kandungan glikogen pun mengalami peningkatan. Tikus yang disuntik somatotropin dosis 3 dan 9 mg dengan periode hari ke 1 – 28 dan dosis 9 mg periode hari ke 15 – 28 kandungan glikogen karkasnya lebih tinggi masing- masing 65.2%, 70.1%, dan 37.9% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan glikogen karkasnya lebih tinggi 25.8% dan 24.4% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan glikogen karkasnya lebih tinggi 88.5% dan 16.7% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28, dan periode penyuntikan hari ke 15 – 28 kandungan glikogen karkasnya lebih tinggi 61.5% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan tampak dosis 9 mg khususnya periode penyuntikan hari ke 1 – 28 kandungan glikogen karkasnya lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Penyuntikan somatotropin selain meningkatkan bobot badan juga berdampak pada peningkatan bobot karkas; kandungan mineral; dan kandungan glikogen karkas, menurunkan kandungan lemak karkas, dan tidak mempengaruhi kandungan protein karkas. Penyuntikan somatotropin meningkatkan bobot badan pada gilirannya bobot karkasnya meningkat pula. Tidak terjadinya perbedaan kandungan protein karkas erat kaitannya dengan struktur dan fungsi protein, selanjutnya terjadi penurunan kandungan lemak karkas diakibatkan aksi somatotropin terhadap penurunan lipogenesis. Peningkatan bobot karkas yang disertai peningkatan kandungan mineral karkas menggambarkan terjadinya peningkatan massa tubuh yang antara lain terdiri atas mineral. Selanjutnya, aksi somatotropin menekan pengaruh insulin menyebabkan terjadi peningkatan proses


(41)

glukoneogenesis, sehingga lebih banyak glukosa yang disimpan pada otot dalam bentuk glikogen.

Bobot Organ

Penyuntikan somatotropin mengakibatkan terjadi peningkatan bobot organ. Rataan hasil pengamatan bobot organ pada berbagai dosis penyuntikan somatotropin selama 28 hari disajikan pada Tabel 3.

Penyuntikan somatotropin pada tikus percobaan mengakibatkan terjadi peningkatan bobot hati. Tikus yang disuntik somatotropin dengan dosis 3 mg dan 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28, bobot hatinya lebih besar masing- masing 7.1%, 11.2%, 8.8%, dan 9.5% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 bobot hatinya lebih tinggi 5.4% dan 4.9% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 dan hari ke 15 – 28 bobot hatinya lebih tinggi 13.3% dan 9.28% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14. Selanjutnya, antar dosis tidak terjadi perbedaan kecuali dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 14.

Penyuntikan somatotropin juga menyebabkan terjadinya peningkatan bobot jantung. Tikus yang disuntik somatotropin dosis 9 mg dengan periode penyuntikan hari ke 1 – 28 bobot jantungnya lebih besar 6.3% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, tidak terjadi perbedaan bobot jantungnya. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan hari ke 1 – 28 bobot jantungnya lebih tinggi 9% dan 4.9% dibandingkan dengan hari ke 1 – 14 dan hari ke 15 – 28. Selanjutnya, antar dosis penyuntikan somatotropin tampak dosis 9 mg bobot jantungnya lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 3 mg.

Selain terjadi peningkatan bobot hati dan jantung, bobot testis juga terjadi peningkatan akibat penyuntikan somatotropin. Tikus yang disuntik somatotropin dosis 9 mg pada periode penyuntikan hari ke 1 – 28 bobot testisnya lebih besar 25.6% dibandingkan dengan kontrol. Untuk dosis 3 mg, tidak terjadi perbedaan bobot testis antar periode penyuntikan. Untuk dosis 9 mg, periode penyuntikan


(42)

Tabel 3. Rataan bobot organ tikus yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari

Dosis somatotropin (mg/kg bobot badan/ekor/hari) 0 3 9

periode hari ke periode hari ke periode hari ke

Peubah (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28) (1–14) (1–28) (15–28)

Hati (g) 6.5±0.2a 6.6±0.3a 6.5±0.3a 6.7±0.2a 7.0±0.2b 7.0±0.2b 6.5±0.2a 7.3±0.2b 7.0±0.2b Jantung (g) 0.77±0.05a 0.80±0.00a 0.77±0.03a 0.80±0.02a 0.81±0.03a 0.81±0.03a 0.78±0.03a 0.85±0.02b 0.81±0.02a Testis (g) 1.25±0.09a 1.25±0.19a 1.28±0.06a 1.34±0.04a 1.40±0.06a 1.45±0.04ab 1.29±0.06a 1.57±0.05b 1.44±0.09ab Saluran 12.4±0.1a 12.8±0.4a 12.8±0.3a 13.1±1.1a 14.5±0.3b 13.1±0.2a 12.8±1.4a 14.9±0.2b 14.2±0.2b pencernaan

(g)


(1)

Bogor serta Bapak Prof. Dr. Ir. Undang Santosa, MS Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung yang telah memberikan kritik dan saran dalam rangka memperkaya isi disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan khusus penulis sampaikan kepada almarhum Bapak Prof. Dr. Toni Ungerer Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Bapak Prof. Dr. Maman P. Rukmana Guru Besar Fakultas Peternakan Unpad Band ung, atas jasa beliau-beliaulah penulis dapat menempuh pendidikan program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan sepatutnya penulis sampaikan juga kepada rekan sejawat dan staf pegawai Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi dan Bagian Radiologi, Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan serta Laboratorium Kimia Pusat Ant ar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor, khususnya La Eddy S.Si M.Si, Ni Wayan Sudatri S.Si M.Si, Ir. Elvia Hernawan MS, Gatot Muslim S.Pt M.Pt, Drh. Nana, Drh. Huda, ibu Asmarida, ibu Sri, pak Edi, pak Wawan, pak Khoir. Serta rekan-rekan penulis dan semua pihak yang terlalu banyak untuk disebut satu per satu, yang telah membantu dan memberikan semangat hingga tersusunnya disertasi ini.

Tidak kecil pula saham do’a dan nasihat almarhum Apa dan Mamah, almarhum Bapa dan almarhumah Mamih, dan Akang K.H. Anasrullah Mustafa Kamil yang telah menggembleng penulis agar selalu tabah dalam menghadapi kesulitan. Untuk ini sembah sujud dan cinta kasih imbalan penulis sampaikan dengan penuh keterharuan dan hormat yang sedalam-dalamnya.

Selanjutnya kepada Intanku, Falahku, Shalihku, dan Utariku yang tercinta, yang telah banyak berkorban dan menderita selama penulis mengikuti program Doktor hingga penyusunan disertasi ini, terimalah karya ini sebagai rasa kasih sayang. Berkat bantuan dan dorongan kalian jualah disertasi ini dapat terselesaikan dan sudah sepantasnyalah disertasi ini dipersembahkan kepada kalian.

Besar harapan penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Maret 2007 Hudiana Hernawan


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA 8

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 25

Bahan dan Alat Penelitian ... 25

Metode Penelitian... 25

Peubah yang Diamati dan Teknik Pengukurannya ... 26

Penampilan Tubuh ... 26

Karkas dan Kandungan Kimiawi Karkas... 27

Bobot Organ ... 30

Panjang dan Kand ungan Kimiawi Tulang ... 30

HASIL 34

Pengamatan selama Penyunt ikan Somatotropin ... 34

Penampilan Tubuh ... 34

Bobot dan Kandungan Kimiawi Karkas ... 37

Bobot Organ ... 41

Panjang dan Kandungan Kimiawi Tulang ... 43

Pengamatan selama 28 hari setelah Penghentian Penyuntikan Somatotropin ... 46

Penampilan Tubuh dan Panjang Tulang ... 46

Intisari Hasil Pengamatan ... 48

PEMBAHASAN 49

SIMPULAN DAN SARAN 67

Simpulan ... 67

Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, dan laju pertumbuhan relatif tikus

yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari ... 36

2. Rataan bobot dan kandungan kimiawi karkas tikus yang disuntik

berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari... 38

3. Rataan bobot organ tikus yang disuntik berbagai dosis somatotropin

selama periode 28 hari... 42

4. Rataan panjang dan kandungan kimiawi tulang tikus yang disuntik

berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari... 44

5. Rataan bobot badan, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan,

efisiensi penggunaan pakan, laju pertumbuhan relatif, dan panjang tulang setelah penghentian penyuntikan somatotropin selama 28 hari ... 47


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian... 7

2. Lintasan transduksi sinyal yang diaktifkan oleh somatotropin ... 15

3. Regulasi somatotropin dalam metabolisme protein ... 19

4. Protokol penelitian ... 33

5. Grafik pertumbuhan tikus percobaan yang disuntik berbagai dosis somatotropin selama periode 28 hari penelitian ... 35

6. Grafik pertumbuhan tikus percobaan yang selama 56 hari penelitian ... 46

7. Proses aktivasi somatotropin dan IGF-I pada proses pertumbuhan... 51

8. Aksi somatotropin dan insulin ... 56

9. Diagram skematik aksis somatotropin-IGF-I pada pertumbuhan tulang ... 60


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis varians bobot badan selama penyuntikan somatotropin... 81

2. Analisis varians konsumsi pakan selama penyuntikan somatotropin ... 81

3. Analisis varians pertambahan bobot badan selama penyuntikan somatotropin... 81

4. Analisis varians efisiensi penggunaan pakan selama penyuntikan somatotropin ... 81

5. Analisis varians laju pertumbuhan relatif selama penyuntikan somatotropin... 81

6. Analisis varians bobot karkas selama penyuntikan somatotropin... 81

7. Analisis varians protein karkas selama penyuntikan somatotropin ... 81

8. Analisis varians lemak karkas selama penyuntikan somatotropin ... 82

9. Analisis varians mineral karkas selama penyuntikan somatotropin... 82

10. Analisis varians glikogen karkas selama penyuntikan somatotropin... 82

11. Analisis varians bobot hati selama penyuntikan somatotropin ... 82

12. Analisis varians bobot jantung selama penyuntikan somatotropin ... 82

13. Analisis varians bobot testis selama penyuntikan somatotropin... 82

14. Analisis varians bobot saluran pencernaan selama penyuntikan somatotropin... 83

15. Analisis varians panjang tulang kaki depan selama penyuntikan somatotropin... 83

16. Analisis varians panjang tulang kaki belakang selama penyuntikan somatotropin... 83

17. Analisis varians panjang tulang punggung selama penyuntikan somatotropin... 83

18. Analisis varians kandungan kalsium tulang selama penyuntikan somatotropin... 83

19. Analisis varians kandungan kolagen tulang selama penyuntikan somatotropin... 83

20. Analisis varians bobot badan setelah penghentian penyuntikan somatotropin... 83

21. Analisis varians konsumsi pakan setelah penghentian penyuntikan somatotropin... 84


(6)

22. Analisis varians pertambahan bobot badan setelah penghentian

penyuntikan somatotropin……... 84 23. Analisis varians efisiensi penggunaan pakan setelah penghentian

penyuntikan somatotropin ... 84 24. Analisis varians laju pertumbuhan rela tif setelah penghentian

penyuntikan somatotropin... 84 25. Analisis varians panjang tulang kaki depan setelah penghentian

penyuntikan somatotropin... 84 26. Analisis varians panjang tulang kaki belakang setelah penghentian

penyuntikan somatotropin... 84 27. Analisis varians panjang tulang punggung setelah penghentian