Gambaran Respon Vaksinasi IBD Menggunakan Vaksin IBD Inaktif Pada Ayam Pedaging Komersial

GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN
VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING
KOMERSIAL

DEVA PUTRI ATTIKASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “ Gambaran
Respon Vaksinasi IBD Menggunakan Vaksin IBD Inaktif pada Ayam Pedaging
Komersial” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Skripsi.


Bogor, September 2009

Deva Putri Attikasari
NIM B04051810

ABSTRACT

DEVA PUTRI ATTIKASARI. Response of IBD Killed Vaccination in
Commercial Broiler Chicken. Under direction of SRI MURTINI and OKTI
NADIA POETRI.
The aim of the study is to investigated the immune response of broiler
chicken against IBD killed vaccine. Fifteen hundred broilers strain Cobb were
divided into three groups. Group 1 vaccinated with IBD killed vaccine half dose,
group 2 vaccinated with IBD killed vaccine single dose, while the group 3 as a
positive control vaccinated with IBD live vaccine. IBD killed vaccine was given
at day 4 and IBD live vaccine for group three were given at day 12. Serum sample
was taken before vaccination, second, and fourth week post vaccination. All
samples tested using indirect ELISA test. The results showed that antibody titers
of vaccinated group higher than control group. The antibody titers on all groups in

the fourth week was showed significantly different (P 1000

umumnya positif untuk vaksin
primer

Keterangan : MDA = Maternally Derived Antibody

Pembacaan hasil berupa nilai titer antibodi dihitung rataannya dengan
menggunakan Geometric Mean Titer (GMT). Hasil yang diperoleh dibandingkan
menggunakan program T-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Infectious bursal disease (IBD) atau Gumboro ditemukan hampir di setiap
daerah peternakan ayam intensif di seluruh pelosok dunia. Angka morbiditas IBD
sangat tinggi yaitu bisa mencapai 100%, sedangkan angka kematian ayam
pedaging bisa mencapai 30%. Jaringan limfoid merupakan target utama virus IBD
dengan organ target utama bursa Fabricius yang bertanggung jawab dalam
pembentukan antibodi. Selain itu, virus IBD juga menyerang organ limpa, timus,
tonsil-sekum, dan kelenjar Harderian. Virus IBD bereplikasi di sel-sel yang

sedang berproliferasi aktif seperti sel limfosit muda atau sel prekursor sehingga
menyebabkan nekrosa pada bursa Fabricius dan lisisnya sel limfosit B (Wiryawan
2007).
Antibodi pasif terhadap IBD yang diperoleh anak ayam dari induknya
melalui kuning telur akan mengalami penurunan terus menerus sampai pada
kondisi tidak protektif. Penurunan titer terjadi pada saat umur ayam mencapai 2
atau 4 minggu. Oleh karena itu anak ayam perlu divaksinasi untuk meningkatkan
titer antibodi melalui induksi kekebalan aktif sehingga ayam akan terlindungi dari
infeksi virus. Immunoglobulin yang secara umum akan meningkat setelah paparan
antigen adalah IgM dan IgG. IgM akan terbentuk sebagai respon yang paling awal
dan selanjutnya akan turun dengan cepat. Sementara IgG akan terus-menerus
meningkat hingga level maksimum dalam periode yang relatif lama.
Pengukuran titer antibodi sebelum melakukan vaksinasi bertujuan untuk
melihat antibodi dalam tubuh ayam yang merupakan antibodi asal induk. Tabel 3
menunjukkan titer antibodi terhadap IBD di dalam serum ayam percobaan. Titer
antibodi pada minggu ke-0 adalah antibodi asal induk. Pada pengamatan ini, titer
antibodi tersebut positif yaitu lebih dari 1000. Penurunan titer antibodi terjadi
pada minggu ke-2 pasca vaksinasi pada ayam percobaan, yaitu kelompok 1, 2, dan
3. Titer antibodi baik pada kelompok 1 maupun kelompok 2 pada minggu ke-4


menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) terhadap kelompok kontrol
(kelompok 3).

Tabel 3 Rataan Titer Antibodi pada Serum dengan Uji ELISA
Waktu
Kelompok

Minggu ke-0

Minggu ke-2

Minggu ke-4

Kelompok 1

2876±1378.58

1255.28±1350.84

1648.16±3996.29


Kelompok 2

2876±1378.58

1278.16±777.67

2201.52±2804.95

Kelompok 3

2876±1378.58

1489.72±1258.73

141.02±449.93

Pada minggu ke-2, semua kelompok menunjukkan penurunan titer
antibodi karena titer antibodi yang terukur merupakan titer antibodi asal induk.
Pada minggu ke-2 kelompok 1 dan 2 belum menunjukkan peningkatan titer

antibodi karena vaksin yang diberikan merupakan vaksin inaktif. Vaksin inaktif
akan menunjukkan respon kekebalan pada 3-4 minggu setelah vaksinasi. Antibodi
asal induk pada minggu ke-2 menunjukkan penurunan karena antibodi asal induk
secara efektif akan mencegah keberhasilan vaksinasi sampai antibodinya habis
sekitar 10 sampai 20 hari setelah menetas (Tizard 2000). Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang menunjukkan penurunan pada minggu ke-2 karena antibodi
asal induk mulai menurun namun masih dalam kisaran nilai positif. Ayam yang
baru menetas akan terlindung dari virus tertentu jika IgG induk mengandung
antibodi spesifik dan perlindungan mungkin bertahan lebih lama jika titer awal
terhadap virus itu tinggi (Fenner et al. 1995).
Pada ayam broiler, imunitas pasif atau antibodi asal induk penting untuk
perlindungan anak ayam selama beberapa minggu dari mikroorganisme yang ada
di lingkungan dan mempengaruhi imunisasi aktif ayam yang baru menetas
sehingga harus diperhatikan saat vaksinasi (Fenner et al. 1995). Antibodi asal
induk ada sampai ayam berumur 2 minggu. Ini berarti kekebalan pasif tersebut
hanya bisa menimbulkan kekebalan dengan waktu yang sangat pendek yaitu 7-14
hari. Antibodi asal induk mulai turun pada hari ke-10, walau umumnya pada hari
ke-9 sudah tidak protektif (Anonim 2002).

Pada minggu keempat, kelompok 1 dan 2 menunjukkan nilai titer antibodi

positif, sementara pada kelompok 3 tidak menunjukkan adanya pembentukan
antibodi. Pada minggu ke-4 tersebut, antibodi yang muncul bukan antibodi asal
induk melainkan antibodi respon dari vaksinasi karena antibodi asal induk hanya
akan menimbulkan kekebalan sampai minggu ke-2. Titer antibodi pada kelompok
1 dan 2 merupakan respon vaksinasi inaktif yang baru akan menimbulkan respon
kekebalan pada minggu ke-4. Sementara respon antibodi yang timbul pada
kelompok 3 merupakan respon kekebalan dari vaksin aktif.
Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen berupa virus atau
agen penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh sehat dengan maksud
merangsang pembentukan kekebalan (Miller 1996). Saat terpapar suatu protein
asing, tubuh akan melakukan respon kekebalan seluler dan humoral. Limfosit T
memberikan respon kekebalan seluler dengan mengaktifkan berbagai macam
limfosit T dan menghasilkan serta melepaskan berbagai macam limfokin. Selain
itu, sel dari sistem imun humoral (limfosit B) memberikan respon terhadap
rangsangan antigenik dengan jalan mengeluarkan antibodi. Antibodi tersebut akan
dilepas ke dalam darah dan cairan tubuh lainnya (Fenner et al. 1995; Tizard
2000).
Kekurangan dari penggunaan vaksin inaktif adalah tidak munculnya
respon kekebalan seketika (memerlukan waktu lebih lama), namun respon
kekebalan yang timbul bersifat lebih lama dan mampu distimulasi ulang. Hewan

yang terpapar agen yang sama ataupun vaksinasi ulang akan membentuk respon
kekebalan sekunder. Namun pemberian vaksinasi ulang dengan pemberian dosis
berlipat ganda menambah resiko timbulnya reaksi hipersensitivitas maupun
tingginya biaya yang diperlukan. Selain itu vaksin inaktif lambat memasuki sel
inang dan memproduksi interferon sehingga memerlukan waktu lebih lama dalam
memberikan perlindungan terhadap ayam yang rentan (Tizard 2000). Vaksin
inaktif membutuhkan waktu 3-4 minggu untuk membentuk antibodi.
Respon antibodi pada empat minggu setelah vaksinasi menunjukkan titer
antibodi yang lebih tinggi dari kontrol dengan perbedaan yang nyata (P0,05) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan dosis untuk vaksinasi IBD inaktif baik untuk dosis setengah
maupun dosis tunggal mampu menginduksi kekebalan humoral dengan baik.
Penggunaan dosis yang berbeda tidak terlalu mempengaruhi perbedaan
pembentukan antibodi pada serum ayam.
Penggunaan vaksin IBD intermediet biasa diaplikasikan pada anak ayam
dengan titer antibodi asal induk yang tinggi karena vaksin ini mampu menjaga
titer dalam jumlah tinggi tanpa merusak bursa Fabricius (Mazariegos et al. 1990).
Vaksin ini membutuhkan waktu untuk merangsang kekebalan pada ayam lebih
cepat daripada vaksin inaktif yaitu sekitar satu minggu setelah vaksinasi sehingga
titer antibodi yang terbentuk lebih cepat turun.


KESIMPULAN

Pada penelitian ini, vaksinasi ayam menggunakan vaksin IBD inaktif baik
dosis setengah maupun dosis penuh mampu menginduksi respon kekebalan
humoral lebih tinggi dibandingkan vaksin aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Adi AAAM, Berata K. 1998. Gambaran Patologik bursa Fabricius Ayam Pasca
Inokulasi dengan IBDV Isolat Lapang. Bull Sains Vet. XIV;16: 6-13.
Anonim. 2001. Mampukah Broiler. http://www.ciptapangan.com/cupbuletin/. [28
Desember 2008].
. April 2002. Kunci Atasi Infeksi Dini. Poultry Indonesia. 4 : 36-38.
. 2004. Beternak Ayam Pedaging (Broiler) dengan “Vital”. Jakarta: Mitra
Tani Nusantara.
Baxendal W, (Sjaak) de Wit JJ. 2000. Vaccine Classification.
http://www.gumboro.com/control/vaccination/vaccine-classification.asp.
[17 Februari 2009].
Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya.
Didalam:Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA

dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta : UGM Press. Fakultas
Kedokteran Hewan.
Decker JM. 2000. Introduction to Immunology. Departement of Veterinary
Science and Microbilogy. University of Arizona Tucson. Arizona :
Blackwell Scientific.
Fenner FJ et al. 1995. Virologi Veteriner. Putra, Harya, dan Suryana KG,
penerjemah. Semarang : IKIP Semarang Press. Terjemahan dari :
Veterinary Virology.
Goldsby RA, Barbara AO, Kindt TJ. 2007. Kuby Immunology. 6th Ed. USA :
W.H. Freeman.
Hartati Y. 2005. Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam
Indukan Pedaging Strain Hubbard [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Lastiati A. 2008. Biosekuriti dan Sanitasi Kunci Pengendalian Penyakit
Gumboro. http://www.disnak-jatim.go.id/web/Biosekuriti dan Sanitasi
Kunci Pengendalian Penyakit Gumboro. [17 Desember 2008].

Lukert PD, Saif YM. 1997. IBD. Di dalam: MS Hofsttad, HJ Barnes, BW
Calnek, WM Reid, HW Yoder, editor. Disease of Poultry. Ed ke-9. Iowa :
Iowa University Press, Ames.

Mazariegos LA, Lukert PD, Brown J. 1990. Pathogenicity and Immunosuppresive
Properties of Infectious Bursal Disease “Intermediate” Strains. Avian
Diseases. 34: 203 – 208.
Miller G. 1996. Critical Periode of Chicken. Di dalam: NO Mark, DB Donald,
editor. Commercial Chicken Production. 4th Ed. Wilkesboro : Tyson Food
Inc.
Nurhidayah. 2003. Tanggap Kebal Ayam Pedaging yang Divaksinasi dengan
Vaksin IBD Aktif Ganda [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor.
Polana A, Roni F. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Jakarta : Agromedia Pustaka.
Soejoedono RD, Partadiredja HM, Malole MBM. 1996. Penyakit Gumboro dan
Akibat yang Ditimbulkan baik pada Ayam Pedaging maupun Petelur.
Hemera Zoa. 78 : 42-57.
Soejoedono RD. 2004. Pengaruh Vaksin Gumboro Aktif pada Ayam yang
Diinfeksi dengan Isolat Lapang. Jurnal Veteriner. 5 : 20-24.
Sudaryani T. 2003. Teknik Vaksinasi dan Pengendalian Penyakit Ayam. Edisi ke5. Jakarta : Penebar Swadaya.
Summers JD, Lesson S. 2000. Broiler Breeder Production. Kanada : Univ. Books.
Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta :
Kanisius.
Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. ED ke-6. USA :
W.B. Saunders.
Weiss E, Weiss IK. 1994. Pathology and Pathogenesis of Infectious Bursal
Disease. In Proc. International Symposium on Infectious Bursal Disease
and Chicken Infectious Anemia. Ravischholzhausen. Jerman. 21-24 Juni
1994.
Wiryawan W. 2007. Pengebalan terhadap Gumboro dengan Vaksin yang Tidak
Menimbulkan Dampak Immunosupresi. Infovet. 9 : 38-41.

LAMPIRAN

Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-2
Paired T-Test dan CI: kelompok 1, kelompok 2
Paired T for kelompok 1 - kelompok 2

kelompok 1
kelompok 2
Difference

N
Mean
StDev SE Mean
25 1255.28 1350.84 270.17
25 1278.16 1378.51 275.70
25 -22.8800 1439.3945 287.8789

90% CI for mean difference: (-515.4068, 469.6468)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.08 P-Value = 0.937
Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 3
Paired T for kelompok 1 - kelompok 3

kelompok 1
kelompok 3
Difference

N
Mean StDev SE Mean
25 1255.28 1350.84 270.17
25 1489.72 1258.73 251.75
25 -234.436 1465.941 293.188

95% CI for mean difference: (-839.547, 370.674)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.80 P-Value = 0.432
Paired T-Test and CI: kelompok 2, kelompok 3
Paired T for kelompok 2 - kelompok 3

kelompok 2
kelompok 3
Difference

N
Mean StDev SE Mean
25 1278.16 1378.51 275.70
25 1489.72 1258.73 251.75
25 -211.556 1539.797 307.959

95% CI for mean difference: (-847.154, 424.041)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.69 P-Value = 0.499

Perhitungan Titer Antibodi dengan T-Test untuk Perlakuan Minggu ke-4
Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 2
Paired T for kelompok 1 - kelompok 2

kelompok 1
kelompok 2
Difference

N
Mean StDev SE Mean
25 1648.16 3996.29 799.26
25 2201.52 2956.30 591.26
25 -553.356 5352.979 1070.596

90% CI for mean difference: (-2385.019, 1278.307)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -0.52 P-Value = 0.610
Paired T-Test and CI: kelompok 1, kelompok 3
Paired T for kelompok 1 - kelompok 3

kelompok 1
kelompok 3
Difference

N
25
25
25

Mean
1648.16
46.83
1601.33

StDev SE Mean
3996.29 799.26
83.65 16.73
4001.66 800.33

95% CI for mean difference: (-50.47, 3253.14)
T-