Gambaran respon kebal terhadap newcastle disease (ND) pada ayam pedaging yang di vaksin IBD-Killed setenagh dosis

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP NEWCASTLE
DISEASE (ND) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAICSIN
IBD-KILLED SETENGAH DOSIS

SHINTA PUSPITASARI

FAKULTAS MEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

RINGKASAN
SHINTA PUSPITASARI. Gambaran respon lcebal terhadap Newcastle Disease
(ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah dosis. Dibimbing
ole11 RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO dan SRI MURTINI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon tanggap kebal
terhadap Newcastle Disease (ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-ln'lled
setengah dosis. Sebanyak 200 ekor ayam pedaging strain Cobb dibagi menjadi
empat kelompok masing-masing 50 ekor. Sebelum dibagi, sebanyak 25 ekor
diambil darahnya untuk mengetahui titer antibodi asal induk terhadap ND. Pada
hari ke-4 kelompok ayam PI dan P2 divaksinasi dengan vaksin ND aktif dan ITA

ND+IBD inaktif setengah dosis. Ayan kelompok P3 dan P4 divaksinasi dengan
vaksin ND aktif dan vaksin ND inaktif pada hari yang sama. Vaksinasi ulang ND
aktif diberikan kepada seluruh kelompok pada hari ke-28. Uji tantang terhadap
IBD dilakukan pada hari ke-14 pada kelompok PI dan P3. Sampel darah diambil
pada hari ke-14, 21, 28, dan 42. Pengarnatal titer antibodi terhadap ND dilakukan
dengan uji haemaglutinasi inhibisi terhadap seluruh sampel serum. Hasil
penelitian menunjukkaii bahwa terjadi efek imunosupresi pada kelompok yang
ditantang virus IBD pada lninggu ke-1 dan ke-2 post-infeksi. Empat minggu
setelah uji tantang titer antibodi pada kelompok yang divaksin ITA ND+IBD
inaktif setengah dosis mampu meningkat, sedangkan pada kelompok yang tidak
divaksin tetap rendah. Berdasarkan penelitian ini, inenunjukkan bahwa vaksinasi
IBD-killed setengah dosis tidak marnpu melindungi ayam terhadap efek
imunosupresi sampai dua minggu setelah infeksi.
Kata kunci : imunosupresi, virus IBD, titer ND

ABSTRACT
SHINTA PUSPITASARI. The Immune Response of Againts Newcastle Disease
(ND) on Broiler were Given Half Dose IBD-killed Vaccine. Under direction by
RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO and SRI MURTINI.
This research aimed at learning immune response of againts Newcastle

Disease (ND) on broiler were given half dose IBD-killed vaccine. Two hundred
day-old broiler chicks where randomly divided into four groups of 50 chicks each.
Before being divided, 25 chicks was taken their blood to know maternal
antibodies titer against ND. On the 4'" day chicken groups P1 and P2 was
vaccinated with ND active vaccine and ITA ND+IBD half dose inactive vaccine.
The P3 and P4 chicken groups were vaccinated with ND active vaccine and ND
inactive vaccine on the same day. The repeated ND active vaccination was given
to all group on the 2Sthday. The against IBD challenge test was can-ied out on the
14"' day in the group PI and P3. Sample of blood was taken on the 1411',21S', 2Sti',
and 42"d day. Titer antibodies against ND observation were done with
haemaglutination inhibition test against all the sample of senun. Results of the
research showed that effect of iinuilosupresion happened to the group that was
challenged by the IBD vims in the 1'' and 2"* week post infection. Four weeks
after test, titer antibodies of groups that vaccinated ITA ND+IBD half dose
inactive vaccine could increase, whereas the group that not vaccinated stayed low.
Based on this research, showed that the vaccination of IBD-killed half dose could
not protect the chicken towards effect immunosupresion up until two weeks after
infection.
Key word: immunosupresion, IBD virus, titer of ND


GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP NEWCASTLE
DISEASE (ND) PADA AYAM PEDAGING YANG
DIVAICSIN IBD-KILLED SETENGAH DOSIS

SHINTA PUSPITASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSi
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi gambaran respon kebal
terhadap Newcastle Disease (ND) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed

setengah dosis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pelnbimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Surnber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalaln telcs dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Shinta Puspitasari
B04051916

0Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau selurtllz lacarya tulis itzi tanpa mencaizttimlca~z
atau menyebutlan sunzbernya. Pengutipan lzanya untulc kepentingan pendidilan,
penelitian, penulisan kaiya ilnziah, penyusunan laporan, penulisan kitik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingatz
yang wajar IPB
Dilarang mengumumliatz dan memperbanyak sebagian atau selurulz Kaiya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Judul Skripsi


: Gambaran Respoil Kebal Terlladap Newcastle Disease

Nama Penulis
NIM

(ND) pada Ayam Pedagiilg yang Divaksill IBD-killed
Setengah Dosis
: Shi~ltaPuspitasari
: B04051916

Disetujui

Prof. Dr. Drh. Retno D. Soeioedoilo, MS
Pembimbing I

Dr. Drh. Sri Murtini. MSi
Pembimbing I1

Diketal~ui

a.n. Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

0 g SEP 7009

Tanggal Lulus : ... ....... ...................

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua
nikrnat yang telah diberilcan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi dail
skripsi dengan baik di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertailiaml Bogor (FKH
IPB).
Proses pemlyusunan skripsi ini merupakau sebuah perjalanail panjang yang
tidak lepas dari dulcungan banyak pihak yang telah memberikan saran, masukan,
bimbingan, bantuan baik secara langsung atau tidak langsung sejak awal penulisan
sampai skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Drh. Sri Murtini, MSi dan Ibu Prof. Dr. Drh. Retno D.
Soejoedono, MS selaku peinbimnbing sluipsi atas ilmu, keterampilan,
nasihat, saran, kritik, serta kesabarannya dalam melnbimbing penulis.


2. Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D sebagai doseu penilai dalam seminar
serta Dr. Drh. Hem Setijanto d m Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MS sebagai
penguji dalam sidang atas semua masukan untuk perbaikan tulisan ini.
3. Dr. drh. Nurhidayat, MS selaku pembimbing akademik:

4. Seluruh staf Laboratorium Imunologi Departemen IPHK FICH IPB (Pak
Lukrnan, Mas Ivan, d a l Mas Wahyu).
5 . Seluruh dosen yang telal~memberi ilmu kepada penulis dan kepada

seluruh staf yang telah membantu penulis dalam seminar dan sidang.

6. Rekan-rekan sepenelitian (Lia, Nisa, Acil, Deva, Charjo, serta Dilla) atas
kerjasama, semmgat, dan kebersamaan selama penelitian ini.

7. Iceluarga tercinta (Mama, Ade', Om, serta Nenek) atas segala dukungan,
doa, perhatian, dan kasih sayang yang sangat besar.
8. Sahabat-sahabat terbaik (Lia, Nizie, Tuty, Melda, Allent, dan Iga) atas
masa-masa terbaik selama 4 tahun terakhir dalain suka dan dulta yang
dijalani bersama.

9. Teinan-teman Satli atas semda pengalaman, petualangan, dan tantangan
yang dialami bersama.

10. Ternan-teman seperjuangan "Goblet" FKH 42 atas semangat dan
kebersa~naanyang dilalui bersama : Prista, Firda, Coro, Cipie, Mencit,
Cude, Lissa, Maryam, Reni, Uthe, Hage, Zeni, Ferdi, Jay, Dicky, Afu, 00,
Meka, Sari, Dine, Tiara, A s s , Meilan, Fatri, Pute, Fany, Nova, dan selnua
"Gobleters" FIW 42 lainnya.
11. Kakak-kakak Gynzlzolaemata dan Astervidea serta adik-adik Aesculapius
dan Gianuzzi.
12. Mba' Rina yang telah sabar dalam mengajar penulis dalain mengolah data.

13. Adik-adikku tercinta : Deny dan Wulan (yang selalu membe~isernangat)
seita Ila dm Tiara (yang rela menyisihkan waktunya demi terciptanya
karya ini).
14. Serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2009


Riwayat Hidup
Petlulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 April 1987. Pellulis
merupakan putri pertarna dari dua bersaudara, putri pasangan ayah (alm.) Suyono
dan ibu Sulastri.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di TI< Anggrek 2 Kuta Bumi
pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 13 Tangerang yang
kemudian berubah menjadi Sekolah Dasar Negeri 20 Tangerang. Pada tahun
1999, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertalna
Negeri 1 Tangerang dan ~nelanjutkanpendidikan di Sekolah Menengah Unlum
Negeri 4 Tangerang. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada program
studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) pada tahun berikutnya.
Selarna mengikuti perkulial~an,penulis aktif menjadi anggota serta badan
pengurus Himpunan Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar 2006-2007, Ketua Umum
Himpro Satwa Liar pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam kegiatan
adhoc dan pengabdian masyarakat.

DAFTAR IS1


................................................................. V
DAFTAR GAMBAR ............................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................... vii

DAFTAR TABEL

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................
Tujuan ....................................................................
Manfaat

..................................................................

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Broiler ............................................................
Sistem Kekebalan Ayam

..............................................

Infectious Bursa1 Disease (IBD) ......................................

Newcastle Disease (ND) ...............................................
Vaksin dan Vaksinasi

..................................................

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................
Hewan Percobaan ......................................................
Bahan dan Alat Penelitian .............................................
Rancangan Percobaan ..................................................
Evaluasi Titer Antibodi ................................................

HASIL DAN PEMBAHASAN

..................................................

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................

............................................................
LAMPIRAN ........................................................................
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL
1. Rancangan Percobaan ..................... ....... ................... ...... .. ..

18

2. Rataan titer antibodi terhadap ND ......................................................

23

DAFTAR GAMBAR
1. Skematis virus ND ............................... ..............................

10

2. Rataan titer antibodi terhadap ND ......................................................

25

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil olah data (ANOVA one-way dan DMRT) ..................... ......

33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Virus tetelo (Newcastle Disease) merupakan penyakit viral yang
disebabkan oleh Avian Pal-amyxovir~isdan tergolong kedalam virus RNA serta
memiliki set target berupa sel epitel mukosa saluran pemafasan atau pencemaan.
Berdasarkan virulensinya, virus ND dapat dibedakan menjadi galur velogenik,
mesogenik dan lentogenik. Newcastle Disease merupakan penyakit yalg bersifat
kompleks, sehingga menunjukkan adanya variasi dalam bentuk dan keparahan
penyakit. Penyakit ini me~npunyaidampak ekonomi yang penting dalam industri
perunggasan karena menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
penurunan produksi telur dalam kuantitas maupun kualitas, gangguan
pertumbuhan, biaya penanggulangan penyakit yang tinggi dan mendukung
timbulnya penyakit pernafasan lainnya. Di Indonesia, ND masih menjadi salah
satu penyakit yang paling merugkan petenlakan ayam walaupun telah dilakukan
berbagai usaha penanggulangan yang ketat (PoultryIndonesia2008).
Sampai saat ini, salah satu upaya pencegahan penyakit ND adalah dengan
vaksinasi. Vaksinasi adalah suatu tindakan dimana hewan dengan sengaja diberi
agen penyakit (antigen) yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang
pembentukan daya tahan atau tanggap kebal tubuh terhadap suatu penyakit
tertentu dan aman sehingga tidak menimbulkan penyakit (Akoso 1998). Namun
vaksinasi dapat mengalami kegagalan karena berbagai sebab, diantaranya adalah
unggas yang mengalami imunosupresi akibat terinfeksi penyakit Gumboro,
penyakit Marek, atau pakan yang mengandung mikotoksin (Gillinghan 2006).
Imunosupresi merupakan suatu keadaan tertekannya respon kekebalan tubuh
sehingga dapat mempengaruhi respon vaksinasi. Beberapa ahli melaporkan bahwa
penekanan respon antibodi terhadap virus ND bersifat sangat berat pada hari
pertama pasca-infeksi virus Infectious Bursal Disease (selanjutnya disebut IBD).
Penekanan respon antibodi terhadap virus ND bersifat moderat pada hari ke-7
pasca-infeksi dan tidak menimbulkan efek imunosupresif pada hari ke-14 atau ke21 pasca-infeksi virus IBD (Tabbu 2000).

Infectious Bursa1 Disease (IBD) atau dinamakan juga Gu~nboroadalah
suatu penyakit viral yang bersifat akut dan sangat mudah menular, menyerang
ayam muda terutama umur 4-6 minggu. Penyakit ini merusak berbagai organ
limfoid, yaitu limpa, timus, caeca toizsil, dan terutama bursa Fabricius sehingga
ayam yang terserang lebih peka terhadap berbagai penyakit. Penyakit ini
mempunyai arti ekonomis yang penting dalam industri perunggasan sehubungan
dengan adanya mortalitas yang dapat mencapai 20% atau lebih pada ayam muda
dan efek imunosupresif yang berkepanjangan jika ayam terinfeksi pada usia muda.
Ayam yang terserang Gumboro sering diikuti oleh infeksi sekunder seperti
Newcastle Disease, Chronic Respiratory Disease (CRD), Colibacillosis, snot
(infectious coryza), serta koksidiosis. Evaluasi lapangan menunjuldtan bahwa
fiekuensi kejadian penyakit ini pada ayam pedaging hampir mencapai 100%.
Disamping itu, IBD juga akan menyebabkan respon yang suboptimal terhadap
berbagai program vaksinasi (Tabbu 2000).
Vaksinasi merupakan salah satu cara pengendalian penyakit IBD.
Vaksinasi IBD maupun infeksi virus Gumboro dapat merangsang respon antibodi
yang bersifat aktif. Walaupun mortalitas akibat Gumboro sulit diramalkan,
evaluasi lapangan menunjukkan bahwa mortalitas dan kemgian lain yang
ditimbulkan oleh Gumboro pada ayam yang tidak divaksinasi lebih tinggi
dibandingkan dengan ayam yang divaksinasi. Vaksinasi haus mempertimbangkan
saat vaksinasi yang tepat (bervariasi menurut titer antibodi asal induk), per
vaksinasi, dan virulensi virus vaksin. Vaksinasi Gumboro dapat dilakukan dengan
pernbe~ianvaksin lived atau gabungan vaksin lived dan vaksin killed, selain itu
vaksin killed dapat pula dilakukan bersamaan dengan vaksin ND secara subkutan
menggunakan virus IBD galur tidak virulen (mild). Petemakan unggas secara
umum biasa memberikan vaksin lived dibanding vaksin killed. Vaksin killed
umumnya lebih mahal, walaupun memiliki kemampuan memproteksi lebih lama
daripada vaksin lived. Vaksin ini biasanya hanya diberikan pada unggas-unggas
yang hidup di daerah yang memiliki potensi terjadinya IBD cukup besar. Ayam
yang divaksinasi dengan vaksin lived mempunyai tingkat mortalitas yang lebih
tinggi dengan ayam yang divaksinasi gabungan vaksin lived dan killed, jika terjadi
kegagalan vaksinasi (Tabbu 2000).

Infeksi virus IBD mei~yebabkanayam dapat inembeutuk antibodi terhadap
IBD namun menyebabkan imunosupresi terhadap respon vaksinasi yailg lain
(Tabbu 2000). Berdasarkan penelitian Siregar (2009) penantangan virus IBD
terhadap kelompok ayam yang divaksinasi IBD-ln'lled setengah dosis mampu
mencegah kematian ayam namun tidak mencegah terjadinya infeksi IBD yang
ditandai dengan rendahnya titer aGibodi terhadap IBD. Pengaruh vaksinasi IBDkilled setengah dosis terhadap program vaksinasi lain belum diketahui, untuk itu
perlu dilakukan penelitian terhadap gambaran respon kebal terhadap ND
(Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah dosis
dan ditantang dengan virus IBD.
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran respon kebal terhadap
ND (Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang divaksin IBD-killed setengah
dosis.
Manfaat PeneLitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran
respon kebal terhadap ND (Newcastle Disease) pada ayam pedaging yang
divaksin IBD-killed setengah dosis.

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Broiler (Ayam Pedaging)
Salah satu komoditi usaha petemakan sebagai sumber daging yang dapat
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia adalah ayam
pedaging. Ayam pedaging baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an. Ayam
pedaging merupakan hasil

rekayasa

genetika, dihasilkan

dengan

cara

menyilangkan antar kerabatnya. Produk ayam ini memiliki segmen pasar yang
luas dan unit usaha yang hampir tersebar di seluruh pelosok Indonesia (FKHUGM 2008).
Bentuk tubuh ayam pedaging terlihat lebih geinuk dengan otot yang tebal
serta kompak terutarna dibagian paha dan dada. Usia produksinya singkat, hanya
4-5 minggu. Laju pertumbuhan ayan pedaging akan meningkat pada dua minggu
pertama setelah ayam menetas dan secara bertahap tubuh ayam akan tumbuh besar
sampai mencapai berat sekitar 1,7 kg. Di Indonesia umumnya ayam pedaging
sudah dipasarkan pada umur 5-6 minggu dengan berat 1,3-1,4 kg (Fadilah dan
Polana 2004).
Ayam pedaging meiupakan ayam yang mudah stress dan memerlukan
waktu yang lama untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga diperlukan
pemeliharaan yang khusus (Fadilah dan Polana 2004). Selain itu, ayam pedaging
sangat mudah terkena penyakit. Ayam pedaging yang dikembangkan dalam
berbagai petemakan di Indonesia dibedakan menjadi tiga strain, yaitu Strain
Cobb, Strain Hybro, dan Strain Ross. Namun strain yang biasa dibiakkan pada
berbagai petemakan Indonesia adalah strain Cobb. Strain ini memiliki berbagai
keunggulan antara lain titik tekan pada perbaikan FCR (Feed Comlersion Ratio),
pengembangan genetik diarahkan pada pembentukan daging dada, mudah
beradaptasi dengan lingkungan tropis (heat stress), serta produksi efisien dengan
bobot badan 1,8-2 kg dan FCR sebesar 1,65 (CJFeed 2009). Feed Convertion
Ratio atau angka konversi pakan adalah perbandingan (rasio) antara berat pakan
yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total
(biomass) produksi yang dihasilkan pada saat itu. Nilai FCR yang optimal dapat
diartikan sebagai FCR yang memiliki nilai keuntungan (profit value) yang optimal

baik secara teknis budidaya lnaupun financial yang diperoleh melalui pengelolaa~l
program pakan sesuai dellgall tingkat kebutuhan dalam satu siklus periode
produksi (Marindro 2009). Semakin rendah angka FCR dan senlakin baik kualitas
pakan akan lebih efisien karena dengan pakan sedikit aka11 menghasilka~lbobot
badan yang besar (Prabowo 2009).

Sistem ICeltebalan Ayam
Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada
vertebsata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan
kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang
secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker 2000).
Menurut Tizard (2004), tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat
menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Sistem kekebalan unggas
dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan sistem kekebalan spesifik
(Carpenter 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan
terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan
serasi (Fenner dan Fransk 1995).
Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara
alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu h a t . Semua
agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh siste~n
kekebalan tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap
penyakit tertentu (Butcher dan Miles 2003). Sistem ini berupa pertahanan fisik,
mekanik, dan kimiawi yang berespon pada awal paparan. Kekebalan fisikmekanik terdiri dari kulit dan selaput lendis yang ~ne~upakan
bagian pennukaan
tubuh paling luar untuk mencegah masuknya bahan asing. Faktor lain yang
berperan dalan sistem pertahanan non-spesifik adalah makrofag dan mikrofag
~nelalui proses

fagositosis

dengall

memnbunuh,

mengha~lcurkan, dan

mengeli~ninasiantigen dari tubuh. Sel makrofag ini lneliputi sel Langerha~~s
di
kulit, sel Kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan
astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinofil
(Wibawan et al. 2003).

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem beyerantara sel (Cell
Mediated Inzmzcnity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Aiztibody
Mediated Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral
(Butcher dan Miles 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan
illelewati sistem pertahanan tubuh non-spesifik aka1 berhadapan dengan
makrofag. Selain berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi
sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji
atau set penadah yang akan menghancurkan antigen sedemikian iupa sehingga
seluruh komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau
antibodi. Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan
mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak dipermukaan
makrofag (Wibawan et al. 2003).
Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi
menjadi dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum
matang dan berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas
sel B matang dan berdiferensiasi dalam bursa Fabricius. Sel T di dalam tubuh
mamalia dan unggas matang d a l berdiferensiasi pada kelenjw timus. Sel B
merupakan bagian dari antibody mediated immunity atau imunitas hunloral karena
sel B akan memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan
lirnfe. Antibodi tersebut akan menempel pada antigen asing yang memberi tanda
agar dapat dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono 2006).
Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah
terjadi rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel
memori. Sel plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin
dalanl setiap sel B adalah sekitar lo4 sampai 10' (Tizard 1982). Sel plasma akan
mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar immunoglobulin akan
menulull secara perlahan-lahan melalui katabolisme. Sel memori hidup berbulanbulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang pertatna kali. Jika terjadi
pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama, maka antigen akan
merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada pemaparan pertama.
Dengan adanya sel memori, maka sistem penlbentukan antibodi memiliki

kema~npuanuntuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya.
Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigeil yaug ada di pennukaan
sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi yang diproduksi
oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa Fabviciz~s. Bursa Fabricitls
merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan I~anya
ada pada unggas (Wibawan et al. 2003). Menurut Nunoya et al. (1992) dalam
Az~nijah(2005) bursa Fabricius mengalami perkembangan maksi~nurnketika
be~wnurtiga sampai enam minggu.
Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung
menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated
immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu

MHC nntuk mengenali fiagmen antigen (Dartnono 2006). Sel T terdiri dari
beberapa subpopulasi yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda.
Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan dipresentasikan
bersama-sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T C D ~ +
(sitotoksik). Sedangkan antigen ~nikrobaekstraseluler akan diendositosis oleh

APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas I1 dan akan mengaktivasi sel T
C D ~ '(helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas I1 dan sel T CD4+ akan
memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Putera 2001). Interaksi
antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin
yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi
pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin
sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat
komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi
inflamasi dengan cara ~nengaturpertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi
leukosit maupun sel lain.
Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon
terhadap antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan
seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler
adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami
kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta
ini adalah untuk mencegah
antigen yang ada di dalamnya. Tujuan pengha~~curan

penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya
(Wibawan et al. 2003).
Infectious Bursal Disease
Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 di
daerah Gumboro, Delaware, USA. Sejak pertengahan tahun 1991, penyakit ini
telah mewabah di berbagai daerah di Indonesia, terutama daerah yang mempunyai
populasi peternakan ayam tinggi serta skala usaha besar. Virus penyebab
Gumboro me~npunyaikecenderungan untuk mengalami modifikasi genetik secara
cepat sehingga dapat muncul virus yang bersifat antigenic variant ataupun
pathogenic variant. Sejauh ini berbagai kasus Gumboro yang meletup di
Indonesia ~nasih dihubungkan dengan virus Gumboro bentuk klasik yang
mengalami modifikasi dalam patogenitasnya yang lazim disebut sebagai bentuk
pathogenic variant. Efek dari virus ini sangat mirip dengan virus Gumboro yang
ditemukan di Eropa, Afrika dan Asia Tenggara yang digolongkan sebagai veiy
virulent IBD (WIBD) (Tabbu 2000). Menurut Cereno 2007, IBD digolongkan
menjadi tiga strain, yaitu Classic Strain IBD (CIBD), Variant Strain IBD (VIBD),
serta Veiy Virulent Strain IBD (WIBD).
Infectious Bursal Disease (IBD) disebabkan oleh virus yang tergolong
genus Birnavirus dan famili Birnaviridae. Virus tersebut tidak mempunyai
envelope, berbentuk icosahedral dan mempunyai diameter 55-65 nm. Virus ini
sangat stabil pada berbagai kondisi fisik dan agen kimiawi. Beberapa peneliti
melaporkan adanya variasi antigenic isolate virus IBD dan dikenal dengan dua
serotype, yaitu serotype 1 dan 2. Virus IBD serotype 1 yang diisolasi dari ayam
mempunyai virulensi yang bervariasi dari rendah sampai sangat patogenik, yang
dapat menyebabkan mortalitas 50% jika menginfeksi ayam yang peka. Virus IBD
serotype 2 dapat diisolasi dari ayam dan kalkun dan sejauh ini tidak menimbulkan
penyakit pada kedua jenis unggas tersebut (Tabbu 2000).
Kejadian Gumboro dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu infeksi dini
(umur 1-21 hari) dan infeksi tertunda (>3-10 minggu). Umur yang sensitif
terhadap Gumboro adalah 3-6 minggu. Pada infeksi dini, akan timbul Gumboro
bentuk subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresif dan menyebabkan

kegagalan berbagai program vaksinasi. Pada infeksi tertunda, akan timbul
Gu~nborobentuk klinis dengan efek imunosupresif yang bersifat sementara,
infeksi kantung udara, kegagalan vaksinasi dan penurunan daya tahan tubuh
(Tabbu 2000).
Rute infeksi alami virus IBD tidak diketal~uidengan pasti. Biasanya
infeksi melalui oral ataupun inhalasi udara. Ayam akan mengalami viremia dan
de~namsetelah masa inkubasi sekitar 18-36 jam. Lesi paling awal ditemukan
dalam bursa Fabricius yang selanjutnya akan diikuti diare encer keputihan, daerah
kloaka kotor, anoreksia, depresi, bulu berdiri, tremor, lemah dan berakhir dengan
ke~natian.Mortalitas akibat Gumboro sangat bervariasi, biasanya dimulai pada
hari ketiga pasca-infeksi serta mencapai puncaknya dalam waktu 2-3 hari dan
selanjutnya mortalitas akan cepat menurun (Tabbu 2000).
Virus IBD me~npunyai sasaran utama pada sel-sel yang aktif
berproliferasi, virus tersebut mengalami replikasi terutama di dalam sel B. Infeksi
virus ini akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan berperantara huinoral
dan kekebalan lokal. Efek infeksi virus terhadap kedua siste~ntersebut akan lebih
berat jika ayam terinfeksi pada usia awal. Reaksi kekebalan berperantara selular
jnga mengalami p.enurunan tetapi efeknya bersifat sementara dan ringan (Tabbu
2000).

Newcastle Disense
Newcastle Disease (ND) biasa disebut juga sebagai Pseudo-Fowl Pest,
Pseudovogel-Pest, Atypische Gefugelpest, Pseudo-Poultry Plague, Avian Pest,
Avian Distemper, Ranilchet Disease, Tetelo Disease, Korean Fowl Plague, dan
Avian Pneumoencephalitis (Alexander 2003). Penyakit ini terjadi di Jawa pada
1926 dan menyebar pada musim gugur tahun itu ke Newcastle, Inggris dan
pertama kali diamati di Newcastle sehingga dinamakan sesuai dengan nama
daerah terjadinya (Fenner dan Fransk 1993).
Ayam yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran
penyakit dan sebagai sumber infeksi. Pada mulanya virus bereplikasi pada epitel
mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan, segera setelah
infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang

menyebabkan viremia sekunder. Kesulitan bemafas dan sesak nafas timbul akibat
penyurnbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pemafasan di otak.
Perubahan pasca mati meliputi perdarahan ekimotik pada laring, trachea,
esophagus, dan di sepanjang usus (Fenner dan Fransk 1995). Lesi histologi yang
paling menonjol adalah adanya hemoragi dan nekrosis pada mukosa jaringan
limfoid di saluran pencemaan serta kongesti, edema dan hemoragi di banyak
organ (Alexander 2003).
Penyakit ini disebabkan oleh avian paranzyxovirus tipe-1 yang tergolong
kedalam genus Rubulavirus dan family pararnyxoviridae. Family ini tergolong
kedalam virus RNA yang memiliki envelope. Komponen envelope ini merupakan
bagian virus yang bersifat infeksius (Alexander 1991). Paramyxovirus berbentuk
pleomorfik. Secara umum, virus ini berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm
seperti terlihat pada Gambar 1, namun bentukan filament dapat terlihat dengan
panjang 100 nm (Alexander 2003). Virion terdiri dari susunan helix nukleokapsid
yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi envelope atau
membrane tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein dan glikoprotein
yang berbentuk paku menonjol pada permukaan partikel (Alexander 1991).

Gambar 1 Skematis virus ND
(sumber : wikipedia (2009) http://en.wikipedia.orn/wikiR\iewcastle disease)

Genom virus ND tnelnbawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protein L,
protein HN (Hemaglutinin Neuraminidase), protein F (protein Fusi), protein NP
(Protein Nukleokapsid), protein P (Fosfoprotein), dan protein M (Matik) (Beard
dan Hanson 1984). Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari dengan rata-rata 5-

6 hari. Kejadian infeksi oleh virus ini terutama terjadi secara inhalasi (Alexander
1991). Sifat-sifat fisik virus ini antara lain mempunyai kemampuan untuk
mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, vims ND juga
mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia (Beard dan
Hanson 1984). Virus ND bila dipanaskan pada suhu 56" C akan kehilangan
ke~nampuanuntuk mengaglutinasi eritrosit ayam karena hemaglutininnya rusak.
Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus.
Wabah penyakit ND beragam dalam ha1 keganasan klinis dan kemampuan
menyebarnya. Pada sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa gejala klinis
minimum. Virus yang menyebabkan bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Pada
wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka mortalitas sampai 25%,
seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini disebut
mesogenik. Pada wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangat tinggi
kadang-kadang mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik.
Kernampuan menyibak protein virus F merupakan faktor utama yang
mempengaruhi virulensi (Fenner dan Fransk 1995).
Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe menurut Beard dan Hanson
(1984),

yakni bentuk

Doyle, Beach, Baudette, Hitchner dan Enteric

Asimnptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk akut, menimbulkan kematian
pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Bentuk ini dicirikan dengan
adanya perdxahan pada saluran pencemaan. Bentuk ini disebut juga
Viscerotropic Velogenic Newcastle Disease (VVND). Penyakit ini terjadi secara
tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu,
respirasi meningkat, jaringan seltitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau
putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, serta paralisa kaki dan sayap
(Alexander 1991).
Bentuk Beach atau Neurotropic Velogenic Newcastle disease (NVND)
bersifat akut, menimbulkan gejala pemafasan dan syaraf, dan menimbulkan

kematian ayam segala umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan
90 % pada ayaln muda. Bentuk Beaudette kurang gallas dibandingkan dengall
bentuk Beach, hanya menyebabkan kematian pada ayaln muda. Bentuk ini
disebabkan oleh vilus galur mesogenik. Pada ayam dewasa ditandai dengall
pelnuman produksi telur yang terjadi selama 1-3 minggu (Beard dan Hanson
1984). Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala
klinisnya bersifat ringan atau tidak tarnpak jelas, tidak menimbulkan kematian
pada ayam dewasa dan biasanya dipakai sebagai vaksin. Bentuk enteric
asimptomatik merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan
gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur
lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander 1991).

Vaksin dan Vaksinasi
Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen
penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (atte~zuated).Vaksin secara

umum adalah ballan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat
merangsang kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole 1988).
Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke
dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat
dikenal oleh sistem imun (Kayne dan Jepson 2004) serta dapat merangsang
pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard 1988) dan
tindakan ini dikenal dengan istilah vaksinasi.
Vaksin terdiri atas vaksin lived dan vaksin killed. Agen penyakit dalam
vaksin lived atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah
dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin killed berada dalam keadaan mati dan
biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso 1988). Adjuvan merupakan bahan
kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta
merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi
sedikit (Malole 1988). Umumnya vaksin lived lebih baik daripada vaksin killed,
karena vaksin lived dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat
diberi tanpa penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon
(Tizard 1988). Namun vaksin lived sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi

.

yang kuraug baik seperti gangguan pemafasan yang ringan dan meilurunnya
produksi telur (Wetsbury et al. 1984).
Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal
hams mempunyai mutu yang baik, mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan
dengan baik setelah diterima oleh pengguna. ICondisi yang dapat merusak
keanlpuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran
yang berlebihan saat akan digunakan, serta air pencalnpur yang menganduilg
chloiin atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988) vaksin yang baik hams
meinenuhi beberapa persyaratan, yaitu kemuinian, keamanan, serta vaksin hams
dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat
dikatakan memenuhi ketiga persyaratan diatas jika dua minggu setelah vaksinasi
telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan
penantanga~dinfeksivirus ganas. Vaksin yang baik hams memberikan proteksi
lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang
terinfeksi atau sakit atau mati. Menurut Akoso (1998) selain mutu vaksin,
keberhasilan vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan
nutrisi unggas, sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program
vaksinasi yang baik.
Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun
velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan
mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strain La Sota, dan strain F (FA0
2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan
strain lain pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan
secara individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan
dengan strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau
penyemprotan. Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC (Day Old Chick)
kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan Polana
2004).
Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibanding
kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun pemberian vaksin tipe
mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat
menimbulkan reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho

1981). Tipe mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain
Rokain, strain Mukteshwar, strain ICominarov, dan strain Bankowski (Sudrarjat
1991). Strain Mukteshwar bersifat patogenik dan digunakan secara terbatas pada
ayam yang sebelumnya telah divaksin dengan salah satu jenis vaksin tipe
lentogenik. Vaksin ini telah diterima secara luas pada iklim tropis di Asia
Tenggara. Strain Kommarov memiliki tingkat virulensi lebih rendah dibandingkan
dengan strain Mukteshwar. Strain Rokain dan strain Bankowski (Tissue Cultuue

Vaccine) sering disebut dengan wing-web vaccine. Vaksin dengan strain ini tidak
bisa digunakan pada ayam inuda yang inasih memiliki maternal inzmunity
(Fadilah dan Polana 2004).
Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed
(Nugroho 1981). Karena tipe velogenik melupakan virus dengan tingkat virulensi
yang sangat tinggi (FA0 2004). Tipe asiinptomatik yang inempunyai kemampuan
menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister 2C. Strain ini
sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena merupakan
vaksin yang mengandung virus tahan panas (Darminto 2002).
Dewasa ini banyak dipasarkan vaksin lived yang mengandung virus IBD
dengan virulensi yang tergolong intermediate dan highly attenuated, selain itu
juga terdapat galur varian yang diadaptasikan pada kultur jaringan. Virus IBD
galur intermediate mempunyai virulensi yang bervariasi, meliputi rendah, sedang,
dan tinggi. Virus IBD galur intermediate yang mempunyai virulensi sedang dan
tinggi dapat menyebabkan atrofi dan imunosupresi pada DOC dan ayam spesiJic

pathogen free (SPF) umur tiga minggu. Vaksin killed dalam pelarut minyak
digunakan sebagai vaksinasi ulangilanjutan dan banyak digunakan pada parent

stock dan ayam petelur komersial. Vaksin lrilled paling efektif jika diberikan pada
ayain yang telah digertak dengan virus IBD hidup. Vaksin lrilled dalam pelarut
ininyak dapat mengandung virus IBD galur standar dan varian. Vaksinasi dengan
virus hidup yang dilemahkan dilakukan pada hari ke-7 sampai m i n g y ke-2 atau
ke-3 (Tabbu 2000).
Vaksinasi Gumboro pada DOC dapat dilakukan bersamaan dengan vaksin
ND secara subcutan menggunakan virus IBD galur tidak virulen (mild). Pada
berbagai petemakan di Indonesia vaksinasi pada ayam pedaging dilakukan ole11

halnpir 100% peteillak lnetlgyllakan vaksin lived dengall frekuensi 1-2 kali
(Tabbu 2000).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaknltan di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Laboratorium Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, serta Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2008
sampai bulan Juli 2009.

Hewan Percobaan

Ayam pedaging komersial strain Cobb sebanyak 200 ekor umur satu hari
digunakan dalam penelitian ini. Semua ayam tersebut dipelihara dalam kandang
hewan percobaan dan diberi pakan komersial serta minum ad libitum.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum darah ayarn,
NaCl fisiologis 0,85%, RBC I%, virus standar ND, antikoagulan n a t ~ u msitrat
3,8%, serta vaksin ND dan IBD. Vaksin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah vaksin ND lived per tetes matahidung untuk DOC dan per air minum
untuk booster, vaksin ITA ND+IBD-killed parenteral melalui subkutan, serta
vaksin ND killed parenteral melalui subkutan. Virus IBD yang digunakan sebagai
antigen untuk uji tantang adalah virus IBD Lukert dengan dosis lo6 TCID per
ekor ayam.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spuit dengan volume 1
ml, 3 ml dan 10 ml, nampan, tabung mikro, pipet mikro 10-100 p1, plat mikro U,
kertas tissue, refrigerator, alat sentrifugasi serta label.

Rancangan Percobaan

Sebanyak 25 ekor DOC dari 200 ekor ayam pedaging komersial strain
Cobb diambil darah untuk mengukur antibodi asal induk terhadap ND. Ayam
yang telah diarnbil darahnya dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok PI,

P2, P3, dan P4 dengan jumlah ayam pada masing-masing kelompok sebesar 50
ekor. Ayam divaksinasi ketika ayatn berumur 4 hari. Ayam keloinpok PI dan P2
divaksinasi dengan vaksin ND lived per tetes mataihidung dan vaksin ITA
ND+IBD killed setengah dosis. Ayam kelompok P3 dan P4 divaksinasi dengan
vaksin ND lived per tetes mataihidung dan vaksin ND In'Jled. Setelah berumur dua
minggu, sebanyak 25 ekor dari setiap kelompok diambil darah untuk mengukur
titer antibodi terhadap ND. Ayam pada kelompok PI dan P3 ditantang dengan
virus IBD Luckert, sedangkan ayam pada kelompok P2 dan P4 tidak diberikan
paparan virus. Sebanyak 25 ekor dari setiap kelompok diambil darah untuk
mengukur titer antibodi terhadap ND pada hari ke-7 dan 14 setelah penantangan.
Hari ke-14 setelah penantangan dilakukan vaksinasi ulang (booster) ND dengan
vaksin Jived per air minum terhadap seluruh kelompok. Dua minggu setelah

booster dilakukan pengambilan darah untuk melihat titer antibodi terhadap ND.
Uji Haemaglutinasi Inhibisi (HI) dilakukan kepada serum yang didapat dari setiap
sampel darah tersebut. Rancangan percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rancangan Percobaan
Perlakuan
Kelompok

(hari ke-)

Vaksinasi

P1

ND dan
IBD

--..

"Jl

tantang

Pengambila
n serum

darah

booster ND

darah

Tidak

Pengambil

Pengambilan

Pengambila

ND dan

uji

an serum

serum darah dan

n serum

IBD

tantang

darah

booster ND

darah

Pengambil

Pengambilan

Pengambila

an serum

serum darah dan

n serum

darah

booster ND

darah

divaksina
si IBD

P4

Pengambilan
serum darah dan

Vaksinasi

Tidak
P3

Pengambil
an serum

tantang

Tidak

Tidak

Pengambil

Pengambilan

Pengambila

divaksina

uji

an serum

serum darah dan

n serum

si IBD

tantang

darah

booster ND

darah

Evaluasi Titer Antibodi
Sampel darah yang telah diambil menggunakan spuit disimpan dalam posisi
miring kemudian didiamkan dalam lemari pendingin 4OC selama 24 jam. Setelah
itu serum yang didapat dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro. Kemudian
disiinpan dalam lemari es dengan suhu -20°C sampai siap dilakukan uji HI.
Suspensi sel darah merah dan virus standar disiapkan untuk pengujian HI.
Vilus standar 4 HAU/0,025 ml diperoleh dari pengenceran stok virus yang telah
dititrasi sehelumya. Darah dia~nbildari vena brachialis ayam, ke~nudianditambah
dengan antikoagulan Natrium Sitrat 3,8% dan disentrifugasi pada 1500 rpm
selama 10 menit. Supematan dibuang sedangkan endapan dibilas dengan NaCl
fisiologis kemudian disentrifugasi kembali. Pencucian dilakukan sebanyak tiga

kali. Aka11 didapatkan sel darah merah dengall konsentrasi 100%. Kemudian
dilakukan pengenceran dengan menambahkan NaCl fisiologis secara bertingkat
hingga didapatkan suspensi sel darah merah 1%.
Uji haemaglutinasi inhibisi dilakukan dengan metode

P

mikrotitrasi. NaCl

fisiologis steril sebanyak 25 p1 dimasukkan kedalam 8 sumur plat mikro

U

menggunakan pipet mikro kapasitas 200 p1. Pada sumur pertama ditambahkan 25
p1 serum yang akan diuji dan kemudian lakukan pencampuran serum dengan
NaCL fisiologis pada sumur

tersebut dengan mengambil dan mengeluarkan

cairan tersebut dengan pipet mikro. Sebanyak 25 p1 campuran dari sumur pertama
diambil kemudian dipindahka~ke sumur kedua dan dilakukan pencampuran
keinbali. Proses ini berlanjut sampai dengan sumur ke-8. Dari sumur ke-8 diambil
25 p1 dan dibuang. Suspensi virus standar (4 HAU) sebanyak 25 p1 ditambahkan
kedalam sumur. Plat mikro dikocok dengan menggoyang-goyangkannya
kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 30 menit. Suspensi sel darah
merah 1% sebanyak 25 pl ditambahkan ke dalam sumur. Plat rnikro dikocok
dengan menggoyangkan kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang
lebih 40 menit. Hasil dapat dibaca melalui perbandingan antara hasil dengan
kontrol positif dan negatif (OIE 2008).
Kontrol positif disiapkan dengan menambahkan 50 p1 NaCl fisiologis dan 25

p1 suspensi sel darah merah 1% kedalam sumur, kemudian plat mikro dikocok
dengan menggoyangkan kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang
lebih 40 menit. Kontrol negatif disiapkan dengan menambahkan 25 pl NaCl
fisiologis, 25 p1 suspensi virus standar (4 HAU) kedalam sumur. Plat mikro
dikocok dengan menggoyang-goyangkannya kemudian diinkubasikan pada suhu
ruang selama 30 menit. Suspensi sel darah merah

1%

sebanyak 25 pl

dita~nbahkan ke dalam surnur. Plat mikro dikocok dengan menggoyangkan
kemudia~ldiinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 40 menit (OIE
2008).

Rataan titer antibodi dihitung dengall mellggunakan rumus :
Log2 GMT = (log2 t I ) ( S L W Z ) f S 2 ] +...........+ (log2 t i $ & )

N
Dimana :

N = jumlah contoh s e w n yang diamati
t

= tinggi

titer antibodi pada pengenceran tertinggi

S = jumlah contoh serum yang bertiter t

n = titer antibodi yang keData yang diperoleh dianalisis inenggunakan uji one-way ANOVA untuk
melihat keragaman data dengal uji lanjut Duncan's Multiple Range Test (a : 0,05)
untuk membuktikan adanya perbedaan yang ilyata antar data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji dan analisis titer antibodi terhadap ND pada kelon~pokperlakuan
PI, P2, P3, dan P4 serta perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar

2. Berdasarkan data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa pada hari ke-4 titer
antibodi terhadap ND pada masing-masing kelompok tidak berbeda nyata
(p>0,05) yaitu sebesar 23,24d m bersifat protektif. Berdasarkan Wa~nburaet al.
(2000) dalam Nahamya et al. (2006), titer antibodi protektif terhadap kematian
akibat uji tantang ND berkisar

z3 atau lebih. Antibodi yang terukur rnerupakan

antibodi asal induk (maternal antibody). Menurut Putra (2005), antibodi asal
induk adalah antibodi yang diperoleh dari induk secara pasif lnelalui kuning telur.
Kuning telur mendapatkan antibodi dari sennn induk ayam ketika proses
pembentukan telur berlangsung di ovarium. Antibodi asal induk dapat melindungi
anak ayam selama beberapa minggu, tergantung pada tinggi rendahnya derajat
kebal induk. Antibodi asal induk ini akan menurun dengan cepat seiring
meningkatnya umur ayam (Allan et al. 1978) dan menjadi tidak berarti pada
umur 4-5 minggu (Ronohardjo 1980 dalam Putra 2005). Menurut Shorhige et al
(1982) dalam Putra (2005), titer antibodi asal induk akan berkurang setengahnya
setiap empat setengah hari sampai habis. Menurut Gillingham (2006) waktu paruh
untuk antibodi asal induk adalah sekitar 3-5 hari dengan level imunitas protektif
hingga 3 minggu. Vaksinasi diperlukan untuk meningkatkan titer antibodi melalui
induksi kekebalan aktif tubuh.
Empat belas hari setelah vaksinasi perta~naterlihat titer antibodi terhadap
ND pada masing-masing kelompok tidak berbeda nyata (pz0,05) serta tidak
mengalanli perubahan yang signifikan dibandingkan dengan hari ke-4 namun
masih bersifat protektif. Hal ini dikarenakan antibodi yang terukur merupakan
antibodi asal induk yang berada dalam sisteln kekebalan humoral, bukan
merupakan antibodi hasil vaksinasi. Vaksinasi ND lived per tetes mathidung
hanya akan menginduksi kekebalan di daerah masuknya vaksin atau disebut juga
kekebalan lokal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009), titer
antibodi terhadap IBD empat belas hari setelah vaksinasi pada mas'

kelompok juga tidak berbeda nyata (p>0,05) nalnun mengalami penurunan
dibandingkan hari ke-4. Ayam yang memiliki titer antibodi asal induk terhadap

IBD yang tinggi akan mampu mencegah infeksi dini virus IBD, tetapi tidak akan
memberi respon terhadap vaksinasi IBD karena adanya netralisasi virus vaksin
oleh antibodi asal induk. Vaksin IBD-killed yang diberikan belum manpu
merangsang tanggap kebal primer terhadap IBD pada dua ininggu pasca vaksinasi.
Menuut Putra (2005), antibodi asal induk akan menutup determinan antigen
sehingga reseptor sel limfosit B tidak dapat inengikat antigen pada vaksin yang
masuk, akibatnya sel B tidak dapat berproliferasi menjadi sel plasma untuk
me~nbentukantibodi.
Titer antibodi terhadap ND tertinggi terjadi pada kelompok P3 dan P4
yaitu kelo~npokyang diberi kombinasi vaksin ND lived-killed saja dibandingkan
dengan kelompok PI dan P2 yaitu kelompok yang diberikan vaksin ND+IBD

killed kombinas