Pengaruh Kitosan Terhadap Biologi Aphis Craccivora Koch., Vektor Bean Common Mosaic Virus Pada Tanaman Kacang Panjang

i

PENGARUH KITOSAN TERHADAP BIOLOGI Aphis
craccivora Koch., VEKTOR Bean common mosaic
virus PADA TANAMAN KACANG PANJANG

DITA MEGASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kitosan
terhadap Biologi Aphis craccivora Koch., Vektor Bean common mosaic virus
pada Tanaman Kacang Panjang adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016
Dita Megasari
NIM A351130061

iv

v

RINGKASAN
DITA MEGASARI. Pengaruh Kitosan terhadap Biologi Aphis craccivora Koch.,
Vektor Bean common mosaic virus pada Tanaman Kacang Panjang. Dibimbing
oleh SUGENG SANTOSO dan TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Kacang panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk) adalah tanaman
hortikultura yang termasuk kedalam tanaman anggota famili Fabaceae. Produksi

kacang panjang di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Kutudaun dan Bean common mosaic virus strain Black-eye Cowpea (BCMV-BlC)
merupakan salah satu faktor penyebab penurunan produksi kacang panjang.
BCMV sukar dikendalikan karena bersifat patogen tular benih dan dapat
ditularkan oleh kutudaun sebagai vektornya. Kutudaun Aphis craccivora Koch.
(Hemiptera: Aphididae) adalah spesies kutudaun yang dapat menjadi vektor
BCMV penyebab penyakit mosaik. BCMV ditularkan oleh A. craccivora secara
non persisten. Salah satu cara untuk mengendalikan BCMV dan vektornya adalah
dengan penggunaan kitosan. Kitosan merupakan salah satu bahan yang diketahui
dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian. Kitosan dilaporkan dapat
menginduksi sistem ketahanan sistemik tanaman terhadap serangan hama dan
penyakit. Pada penelitian sebelumnya, kitosan komersial dengan konsentrasi 0.9%
dilaporkan mampu menekan infeksi BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora
dengan mekanisme yang belum diketahui. Penelitian ini bertujuan menguji
pengaruh antixenosis, antibiosis, dan aktivitas insektisidal kitosan terhadap A.
craccivora serta mekanismenya dalam menekan penularan BCMV yang
ditularkan oleh A. craccivora.
Kitosan yang diuji adalah kitosan murni dengan konsentrasi 0.1%, 0.3%,
0.5%, 0.7%, 0.9% 1.1% dan kitosan komersial dengan konsentrasi 0.9% sebagai
pembanding. Kitosan diaplikasikan dengan cara penyemprotan pada daun.

Pengujian antixenosis kitosan terhadap kutudaun dilakukan dengan cara
menginfestasikan 50 ekor imago kutudaun yang tidak bersayap pada bagian
tengah tanaman kacang panjang berumur 2 MST yang telah disemprot
menggunakan kitosan dan disusun melingkar. Pengaruh antixenosis dievaluasi
melalui jumlah kolonisasi kutudaun pada setiap tanaman perlakuan. Pengujian
antibiosis kitosan terhadap kutudaun dilakukan dengan cara menginfestasikan 1
ekor imago kutudaun yang tidak bersayap pada kacang panjang berumur 2 MST
yang telah disemprot menggunakan kitosan. Nimfa yang dilahirkan oleh imago
yang diinfestasikan tersebut diamati pada keturunan pertama, kedua dan ketiga.
Pengaruh antibiosis dievaluasi berdasarkan lama perkembangan nimfa, lama
hidup imago, periode pre-viviparitas, siklus hidup, periode reproduksi, dan jumlah
nimfa yang dilahirkan. Pengujian aktivitas insektisidal kitosan terhadap kutudaun
dilakukan dengan cara menginfestasikan 50 ekor nimfa instar-2 pada kacang
panjang berumur 2 MST. Pengujian dilakukan melalui metode semprot langsung
dan metode residu. Pengaruh aktivitas insektisidal kitosan dievaluasi berdasarkan
jumlah mortalitas kutudaun. Pengujian penularan BCMV oleh kutudaun dilakukan
dengan cara menginfestasikan 3 ekor imago kutudaun yang mengandung virus
pada tanaman perlakuan. Peubah yang diamati yaitu periode inkubasi, insidensi
penyakit, keparahan penyakit, akumulasi virus pada tanaman dan kutudaun yang


vi

dideteksi dengan metode I-ELISA, serta deteksi gen CP BCMV, PR1, dan PR3
yang dideteksi dengan metode RT-PCR.
Pengujian antixenosis kitosan terhadap kutudaun menunjukkan bahwa
perlakuan kitosan berpengaruh terhadap kolonisasi dan preferensi makan
kutudaun. Kolonisasi kutudaun nyata lebih rendah pada tanaman perlakuan jika
dibandingkan dengan kontrol. Rerata jumlah kutudaun pada tanaman perlakuan
berkisar antara 1 sampai 10 ekor per tanaman, sedangkan pada kontrol rerata
jumlah kutudaun yang berkolonisasi mencapai 19 ekor. Perlakuan kitosan
memiliki pengaruh antibiosis yang ditunjukkan dengan lama hidup kutudaun yang
singkat, keperidian yang rendah, serta laju multiplikasi dan laju pertumbuhan
intrinsik yang rendah. Perlakuan kitosan komersial dengan konsentrasi 0.9%
memiliki pengaruh antibiosis terbaik terhadap kutudaun. Hasil pengujian
pengaruh aktivitas insektisidal kitosan melalui metode semprot langsung dan
residu menunjukkan hasil yang berbeda dalam mematikan kutudaun. Mortalitas
kutudaun lebih banyak dan lebih cepat terdapat pada perlakuan metode semprot
langsung.
Pengaruh perlakuan kitosan terhadap inokulasi BCMV memiliki aktivitas
penekanan penularan yang baik, ditunjukkan dengan periode inkubasi yang lebih

panjang, insidensi dan keparahan penyakit yang rendah serta akumulasi virus pada
tanaman yang diukur menggunakan metode I-ELISA lebih rendah. Akumulasi
virus pada kutudaun setelah proses makan inokulasi pada tanaman menunjukkan
nilai absorbansi ELISA yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini menunjukkan bahwa kitosan memiliki pengaruh penghambat makan terhadap
kutudaun. Gen CP BCMV berhasil teramplifikasi pada seluruh tanaman perlakuan,
baik yang diberi perlakuan kitosan murni maupun yang diberi perlakuan kitosan
komersial. Ekspresi DNA gen PR3 pada tanaman perlakuan sebelum inokulasi
BCMV meningkatkan endokitinase tanaman yang menyebabkan kutudaun tidak
menularkan virus pada saat proses makan inokulasi. DNA gen PR1 tidak
teramplifikasi baik sebelum maupun sesudah inokulasi BCMV.
Kata kunci: antibiosis, antixenosis, DNA gen PR1, DNA gen PR3, insektisidal

vii

SUMMARY
DITA MEGASARI. Biological Effect of Chitosan against Aphis craccivora Koch.,
Vector of Bean common mosaic virus on Yard Long Bean. Supervised by
SUGENG SANTOSO and TRI ASMIRA DAMAYANTI.
Yard long bean (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk) is a horticultural plant

that belongs to family of Fabaceae. Production of yard long bean in Indonesia
continues to decrease from year to year. Aphid and Bean common mosaic virus
strain Black-eye Cowpea (BCMV-BlC) are factors that causing yield loss of yard
long bean. BCMV was difficult to be controlled because it is seed-borne pathogen
and it can be transmitted by its vectors, i.e. aphids. Aphis craccivora Koch.
(Hemiptera: Aphididae) is a species of aphids that can be a vector of BCMV that
causing mosaic disease. BCMV is transmitted by A. craccivora as non persistent.
One method to control BCMV and its vector is the use of chitosan. Chitosan is a
material that can be used as an alternative control of many pests. Chitosan is
reported as a plant systemic resistance inducer against pests and diseases. In
previous research, commercial chitosan with concentration 0.9% was reported to
be able to suppres BCMV infection transmitted by A. craccivora with unknown
mechanism. This study aimed to examine antixenosis, antibiosis, and insecticidal
effect of chitosan against A. craccivora and its mechanism in suppressing BCMV
transmission by A. craccivora.
Pure chitosan with concentration 0.1%, 0.3%, 0.5%, 0.7%, 0.9 %, 1.1% and
commercial chitosan with concentration 0.9% as a standard comparison were
tested. Chitosan was applied by leaf spraying. The antixenosis effect of chitosan
against aphids was tested by infesting 50 apterae aphids adults in the middle circle
of yard long bean plants that have been sprayed with chitosan at 2 weeks after

seedling. The antixenosis effect was evaluated based on the number of aphids
colonize on each treated plants. The antibiosis effect of chitosan against aphids
was tested by infesting 1 adult of apterae aphid on yard long bean plants that have
been sprayed with chitosan at 2 weeks after seedling. The nymphs offspring born
from an aphid adult of previous generation were observed at first, second and
third generations. The antibiosis effect was evaluated based on the development
time of the nymphs, the adult longevity, the pre-viviparity period, life cycle,
reproduction period, and fecundity. The insecticidal effect of chitosan against
aphids was tested by infesting 50 second instar nymphs on yard long bean plants
that have been sprayed with chitosan at 2 weeks after seedling. Chitosan was
applied with a direct spray and residual method. The insecticidal effect was
evaluated by measuring the aphids mortality. The effect of chitosan on BCMV
transmission by aphid was performed using 3 viruliferous aphids on treated plants.
The incubation period, disease incidence and severity, virus accumulation in
plants and aphids were detected by I-ELISA, accumulation of BCMV CP, PR1,
and PR3 gene were detected by RT-PCR.
The antixenosis effect of chitosan against aphids showed that chitosan
treatments affected the colonization and aphid feeding preferences. Aphids
colonization on the treated plants were significantly lower than control plants. The
average number of aphids on the treated plants ranged from 1 to 10 aphids per


viii

plant, while in the control plants were up to 19 aphids. The antibiosis effect of
chitosan was shown by short life cycle of aphids, lower fecundity, multiplication,
and intrinsic growth rate. Commercial chitosan treatment with concentration 0.9%
showed the best antibiosis effect on aphids. The insecticidal effect of chitosan
through direct and residual spray method showed different results on aphids
mortality. The direct spray treatment caused higher and faster aphids mortality.
The effect of chitosan treatment in suppressing the inoculation of BCMV
was shown by the longer incubation period, lower disease incidence and severity,
and lower viral accumulation by I-ELISA. Viral accumulation in aphids after
inoculation feeding on treated plants showed higher ELISA absorbance values
than those on control plants. This result indicated that chitosan might have
antifeedant effect on aphids. The BCMV CP gene was amplified in all plants
treated with pure chitosan but not on plants treated with commercial chitosan.
Expression of DNA R3 gene on treated plants before inoculation BCMV indicates
the chitosan treatment increase the endochitinase that may prevent aphids in
transmitting the virus during inoculation feeding period. The PR1 gene DNA was
not amplified before nor after inoculation BCMV in all treatments.

Key words: antibiosis, antixenosis, insecticidal, PR1 gene DNA, PR3 gene DNA

ix

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

x

xi

PENGARUH KITOSAN TERHADAP BIOLOGI Aphis
craccivora Koch., VEKTOR Bean common mosaic

virus PADA TANAMAN KACANG PANJANG

DITA MEGASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

xii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir I Wayan Winasa, MSi

xiii


Judul Tesis

Nama
NIM

: Pengaruh Kitosan terhadap Biologi Aphis craccivora Koch.,
Vektor Bean common mosaic virus pada Tanaman Kacang
Panjang
: Dita Megasari
: A351130061

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sugeng Santoso, MAgr
Ketua

Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Pudjianto, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Maret 2016

Tanggal Lulus:

xiv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Pengaruh Kitosan terhadap Biologi Aphis craccivora Koch., Vektor
Bean common mosaic virus pada Tanaman Kacang Panjang” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Entomologi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di
Rumah Kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan Darmaga, Laboratorium Virologi
Tumbuhan dan Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Maret hingga Agustus 2015.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Dr Ir Sugeng Santoso, MAgr dan Dr Ir Tri Asmira
Damayanti, MAgr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
arahan, dan saran yang sangat bermanfaat sejak awal penelitian hingga akhir
penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Dr Ir Pudjianto,
MSi selaku ketua program studi Entomologi, Dr Ir I Wayan Winasa, MSi selaku
dosen penguji tamu, Dr Ir Idham Sakti Harahap MSc selaku dosen moderator
dalam kolokium dan ujian tesis yang telah banyak memberikan saran dan
masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih penulis juga disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa kepada
penulis untuk menyelesaikan studi melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
Dalam Negeri (BPPDN) tahun 2013.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan khususnya kepada Ibunda
Dyah Wiyati dan Ayahanda Suprijanto yang telah memberikan dukungan moral
maupun materiil, kasih sayang dan doa restu kepada penulis. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada suami Syaiful Khoiri, anak Nayaka Amirul
Khoiri, bapak Yusuf, ibu Khuzaemah (Alm.), ibu Muslimah, dan adik Diyan
Maharani yang telah banyak memberikan bantuan, semangat, dukungan, motivasi
serta doa kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh
anggota laboratorium Virologi Tumbuhan, teman-teman Entomologi dan
Fitopatologi serta kepada seluruh civitas akademika Departemen Proteksi
Tanaman yang telah memberikan bantuan, dukungan dan motivasi dalam
penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi dalam
bidang pertanian dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis untuk perbaikan kegiatan selanjutnya.

Bogor, April 2016
Dita Megasari

xv

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Ruang Lingkup Penelitian
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kacang Panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk)
Kutudaun Aphis craccivora Koch. (Homoptera: Aphididae)
BCMV (Bean common mosaic virus)
Kitosan
Pathogenesis Related Protein (PR Protein)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Persiapan Penelitian
Pelaksanaan Penelitian
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Identifikasi Kutudaun
Pengaruh Antixenosis Kitosan terhadap Kutudaun
Pengaruh Antibiosis Kitosan terhadap Kutudaun
Aktivitas Insektisidal Kitosan terhadap Mortalitas Kutudaun
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Insidensi Penyakit, Periode
Inkubasi, dan Tipe Gejala
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Keparahan Penyakit dan
Akumulasi BCMV
Pengaruh Perlakuan Kitosan terhadap Amplifikasi Gen CP BCMV,
PR1 dan PR3
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xvi
xvi
xvi
1
1
2
3
4
4
4
5
5
5
7
8
9
10
10
10
10
11
16
17
17
18
19
23
25
27
30
34
34
34
35
42
51

xvi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Komposisi bahan reaksi RT-PCR BCMV
Komposisi bahan reaksi PCR
Biologi kutudaun keturunan pertama pada perlakuan kitosan
Biologi kutudaun keturunan kedua pada perlakuan kitosan
Keperidian total dan keperidian harian imago kutudaun keturunan
kedua
Rerata laju multiplikasi dan laju pertumbuhan intrinsik kutudaun
keturunan kedua
Toksisitas pengaruh aktivitas insektisidal kitosan terhadap kutudaun
Pengaruh perlakuan terhadap insidensi penyakit, periode inkubasi
virus, dan tipe gejala
Pengaruh perlakuan terhadap keparahan penyakit dan titer virus
Pengaruh perlakuan terhadap titer virus pada kutudaun

15
16
20
20
21
22
24
26
28
29

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10

Diagram alir penelitian pengaruh kitosan terhadap biologi Aphis
craccivora Koch., vektor Bean common mosaic virus pada tanaman
kacang panjang
Skala kategori serangan penyakit
Ciri morfologi A. craccivora.
Pengaruh perlakuan terhadap kolonisasi kutudaun
Mortalitas kutudaun pada perlakuan kitosan melalui metode semprot
langsung
Perkembangan mortalitas kutudaun pada perlakuan kitosan melalui
metode residu
Ciri fisik kutudaun akibat perlakuan kitosan
Variasi gejala pada tanaman perlakuan
Hasil amplifikasi dengan RT-PCR dan kuantifikasi DNA gen CP
BCMV. Intensitas DNA diukur dengan software ImageJ.
Hasil amplifikasi dengan RT-PCR DNA gen PR1
Hasil amplifikasi dengan RT-PCR DNA gen PR3

3
13
17
18
23
24
25
27
30
31
32

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Sidik ragam pengaruh antixenosis kitosan terhadap kutudaun 24 JSP
Sidik ragam pengaruh antixenosis kitosan terhadap kutudaun 48 JSP
Sidik ragam pengaruh antixenosis kitosan terhadap kutudaun 72 JSP
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap jumlah nimfa
pertama yang dilahirkan dari imago yang diinfestasikan

43
43
43
43

xvii

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 1 keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 2 keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 3 keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 4 keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap pre-viviparitas
kutudaun keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap siklus hidup
kutudaun keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap jumlah nimfa
pertama dari imago keturunan pertama
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 1 keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 2 keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 3 keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap nimfa kutudaun
instar 4 keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap pre-viviparitas
kutudaun keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap siklus hidup
kutudaun keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap lama hidup
kutudaun keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian total
imago kutudaun keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-1
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua padahari ke-2
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-3
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-4
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-5
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-6
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap keperidian harian
imago kutudaun keturunan kedua pada hari ke-7
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap laju multiplikasi
kutudaun keturunan kedua
Sidik ragam pengaruh antibiosis kitosan terhadap laju pertumbuhan
intrinsik keturunan kedua

43
44
44
44
44
44
45
45
45
45
45
46
46
46
46
46
47
47
47
47
47
48
48
48

xviii

29
30
31
32
33
34
35
36

Sidik ragam aktivitas insektisidal kitosan dengan metode semprot
langsung terhadap mortalitas kutudaun pada 24 JSP
Sidik aktivitas insektisidal kitosan dengan metode semprot langsung
terhadap mortalitas kutudaun pada 48 JSP
Sidik ragam aktivitas insektisidal kitosan dengan metode semprot
langsung terhadap mortalitas kutudaun pada 72 JSP
Sidik ragam aktivitas insektisidal kitosan dengan metode residu
terhadap mortalitas kutudaun pada 48 JSP
Sidik ragam aktivitas insektisidal kitosan dengan metode residu
terhadap mortalitas kutudaun pada 72 JSP
Sidik ragam pengaruh kitosan terhadap keparahan penyakit pada 4
MSI
Sidik ragam pengaruh kitosan terhadap nilai akumulasi ELISA daun
pada 4 MSI
Sidik ragam pengaruh kitosan terhadap nilai akumulasi ELISA
kutudaun

48
48
49
49
49
49
49
50

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kacang panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk) adalah tanaman
hortikultura yang termasuk ke dalam tanaman anggota famili Fabaceae. Kacang
panjang banyak dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia
untuk dipanen polong dan daun mudanya sebagai sayuran (Riyadi 2006). Kacang
panjang merupakan sumber protein nabati yang cukup potensial, karena banyak
mengandung zat gizi, diantaranya adalah vitamin A, vitamin B, vitamin C,
karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, dan zat besi (Singh dan Singh 1992).
Produksi kacang panjang di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2010 produksi kacang panjang mencapai 489 449 ton dan terus
menurun hingga pada tahun 2014 produksinya hanya mencapai 450 727 ton (BPS
2015).
Damayanti et al. (2009) melaporkan bahwa terjadi ledakan penyakit di
beberapa daerah di Jawa Barat (Bogor, Bekasi, Indramayu dan Cirebon) dengan
gejala mosaik kuning. Salah satu virus yang berasosisasi dengan gejala mosaik
kuning pada tanaman kacang panjang yang berasal dari Bubulak, Dramaga Bogor
dan Sidorejo, Karanganyar Pekalongan adalah Bean common mosaic virus strain
Black-eye Cowpea (BCMV-BlC). Insidensi penyakit BCMV di lapangan dapat
mencapai 100% dengan penurunan bobot polong berkisar antara 27.1%-85.2%
(Susetio dan Hidayat 2014). BCMV sukar dikendalikan karena bersifat tular benih
dan vektor (Hamdayanti dan Damayanti 2014).
Menurut Blackman dan Eastop (2000), kutudaun Aphis craccivora Koch.
(Hemiptera: Aphididae) adalah spesies kutudaun yang dapat menjadi vektor
BCMV penyebab penyakit mosaik. BCMV ditularkan oleh A. craccivora secara
non persisten. Kutudaun sebagai vektor berhubungan dengan konsentrasi virus
yang ditularkan, dengan asumsi setiap stilet mempunyai ukuran dan kapasitas
yang sama untuk menyimpan virus (Kusnadi 1991). Aktivitas makan kutudaun
pada populasi yang tinggi dapat menyebabkan malformasi pada daun, penurunan
produksi, tanaman menjadi kerdil, dan akar tidak dapat berkembang (Singh dan
Jackai 1985). Hal ini dikarenakan kutudaun dapat berkolonisasi dan menghisap
cairan tanaman baik pada bunga, tunas, polong, dan cabang sehingga menurunkan
kelangsungan hidup tanaman (Thaker et al. 1984).
Pengendalian kutudaun sebagai vektor virus telah banyak dilakukan melalui
berbagai cara, diantaranya adalah sanitasi, penggunaan varietas tahan,
peningkatan ketahanan tanaman inang, dan penggunaan bahan kimia sintetis
(Jackai 1983). Bahan kimia sintetis banyak digunakan dalam pengendalian hama
karena dapat membunuh dengan cepat. Efek samping dari penggunaan bahan
kimia sintetis seperti toksisitas pada mamalia, pengguna, konsumen, organisme
non sasaran, dan pencemaran lingkungan perlu diperhatikan secara serius (Alabi
et al. 2003). Penggunaan bahan kimia sintetis juga membutuhkan biaya yang
cukup tinggi (Afun et al. 1991).
Saat ini diperlukan suatu senyawa fisiologis aktif yang aman sebagai
alternatif pengendalian hama. Senyawa tersebut harus memiliki selektivitas tinggi
sehingga aman bagi organisme non-sasaran dan lingkungan. Selain itu, diperlukan

2
suatu senyawa yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman dengan memicu
aktivitas gen penginduksi ketahanan. Beberapa senyawa kimia yang telah diuji
sebagai agen penginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit adalah asam
salisilat (Zhu et al. 2004b), benzothiadiazole (Hersanti 2003), dan dikalium
hidrogen fosfat (Suganda et al. 2002). Senyawa-senyawa tersebut diketahui dapat
menginduksi peningkatan Pathogenesis Related Protein (PR protein) yaitu protein
yang mampu menghambat perkembangan penyakit tanaman (Hammond-Kosack
dan Jones 1996). PR protein berfungsi mencegah multiplikasi virus, penyebaran
virus, dan lokalisasi virus (Spiegel et al. 1989).
Kitosan diketahui dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian yang
potensial karena memiliki spektrum yang luas, tidak beracun bagi organime non
sasaran, dan mudah terurai (Badawy et al. 2005). Kitosan dilaporkan dapat
menginduksi sistem ketahanan sistemik tanaman terhadap serangan hama dan
penyakit (Boornlertnirun et al. 2008). Kitosan juga memiliki pengaruh terhadap
penghambatan makan kutudaun dan aktivitas insektisidal (Zhang et al. 2003),
serta memiliki pengaruh antixenosis dan antibiosis (Saguez et al. 2005). Kitosan
dilaporkan memiliki pengaruh aktivitas insektisidal yang mematikan A. nerii pada
tanaman oleander dan Spodoptera littoralis pada tanaman kapas di Mesir
(Badawy dan El-Aswad 2012). Pengaruh aktivitas insektisidal kitosan dilaporkan
mampu mematikan 70%-99% kutudaun Rhopalosiphum padi (L.),
Metopolophium dirhodum (Walker), A. gossypii (Glover), Sitobion avenae
(Fabricius), dan Myzus persicae (Sulzer) yang menyerang bunga Hyalopterus
pruni (Goffroy) (Zhang et al. 2003).
Kitosan dilaporkan mampu menghambat infeksi BCMV secara mekanis
sebesar 86.07% (Damayanti et al. 2013), Tobacco mosaic virus (TMV), Tobacco
necrosis virus (TNV) (Chirkov 2002), Cucumber mosaic virus (CMV)
(Struszczyk 2002), Peanut stunt virus (PSV) (Pospieszny 1997), Alfalfa mosaic
virus (AMV) (Pospieszny dan Atabekov 1989), dan Potato virus X (Pospieszny et
al. 1991). Damayanti et al. (2013) melaporkan bahwa kitosan mampu menekan
infeksi BCMV melalui aplikasi kitosan pada benih, dan penyemprotan pada daun
sebelum serta sesudah inokulasi mekanis BCMV. Penggunaan kitosan komersial
melalui penyemprotan pada daun sehari sebelum penularan virus melalui
kutudaun mampu menghambat infeksi BCMV sebesar 100% pada konsentrasi
0.9% dengan mekanisme yang belum jelas (Megasari et al. 2014).
Rumusan Masalah
Masalah utama dalam budidaya kacang panjang adalah serangan kutudaun
yang juga merupakan vektor BCMV. BCMV yang ditularkan oleh kutudaun
mampu menurunkan produksi kacang panjang hingga lebih dari 85%. Kutudaun
sebagai vektor BCMV di lapangan sukar dikendalikan, karena keperidian
kutudaun yang tinggi dan siklus hidupnya yang pendek. Untuk mengatasi
serangan kutudaun di lapangan, petani sering menggunakan pestisida sintetis.
Penggunaan bahan kimia sintetis dalam pengendalian kutudaun memiliki efek
samping yang merugikan, diantaranya adalah resistensi, resurjensi, dan
munculnya hama sekunder. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif
pengendalian yang dapat menurunkan populasi kutudaun dan meningkatkan
ketahanan tanaman.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi beberapa percobaan yaitu: (1) Uji
pengaruh antixenosis kitosan terhadap kutudaun, (2) Uji pengaruh antibiosis
kitosan terhadap kutudaun, (3) Uji aktivitas insektisidal kitosan terhadap kutudaun,
(4) Uji pengaruh penghambat makan kitosan terhadap kutudaun, dan (5) Uji
pengaruh kitosan terhadap penularan BCMV oleh A. craccivora.
Perbanyakan
inokulum BCMV

Identifikasi
kutudaun

Pembuatan
larutan kitosan

Perbanyakan
kutudaun

1

Uji pengaruh
antixenosis kitosan
terhadap kutudaun

4

2

Uji pengaruh
antibiosis kitosan
terhadap kutudaun

Uji pengaruh
penghambat makan
kitosan terhadap
kutudaun

I-ELISA

= Persiapan penelitian
=

5

3

Uji aktivitas
insektisidal kitosan
terhadap kutudaun

Uji pengaruh
kitosan terhadap
penularan BCMV
oleh A. craccivora

RT-PCR: Gen CP BCMV,
Gen PR1, Gen PR3

= Metode deteksi

= Metode penelitian
Gambar 1

Diagram alir penelitian pengaruh kitosan terhadap biologi Aphis
craccivora Koch., vektor Bean common mosaic virus pada tanaman
kacang panjang

4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh antixenosis, antibiosis, dan
aktivitas insektisidal kitosan terhadap A. craccivora serta mekanisme kitosan
dalam menekan penularan BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora.
Hipotesis
Kitosan memiliki pengaruh antixenosis, antibiosis, dan aktivitas insektisidal
terhadap A. craccivora serta dapat menginduksi ketahanan tanaman akibat infeksi
BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan
strategi pengendalian A. craccivora yang berperan sebagai vektor BCMV.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Kacang Panjang (Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk)
Tanaman kacang panjang diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta,
kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Leguminosae,
genus Vigna, spesies Vigna sinensis (L.) Savi ex Hassk. Kacang panjang berasal
dari India dan Afrika Tengah, kemudian menyebar ke daerah Asia Tropis dan
Indonesia. Daerah sebaran kacang panjang cukup luas dan oleh karena itu kacang
panjang memiliki banyak kultivar yang sesuai dengan agroekosistem di daerah
tempat tumbuhnya. Kacang panjang merupakan tanaman perdu semusim yang
memiliki periode vegetatif yang relatif pendek, yaitu berkisar 60 hari. Kacang
panjang biasanya dipanen polong mudanya saat berumur 45-50 hari setelah tanam
(HST). Kacang panjang tumbuh merambat dengan daun majemuk, tersusun atas 3
helai. Batangnya liat dan sedikit berbulu. Bunga kacang panjang berbentuk kupukupu. Akarnya mempunyai bintil yang dapat mengikat nitrogen bebas dan
bermanfaat untuk menyuburkan tanah (Ehlers dan Hall 1997).
Kandungan nutrisi polong muda kacang panjang dalam 100 g adalah 3.7 g
protein, 0.3 g lemak, 8.5 g karbohidrat, 2.8 g serat, 114 mg kalsium, 65 mg fosfor,
1.1 mg zat besi, 1 mg natrium, 216 mg kalium, 1 035 vitamin A, 0.17 mg vitamin
B1, 0.1 mg vitamin B2, 36 mg vitamin C, 1.1 mg niasin, dan menghasilkan 44
kalori (Singh dan Singh 1992).
Jenis tanah yang cocok bagi pertumbuhan kacang panjang adalah tanah
bertekstur liat berpasir. Derajat keasaman tanah (pH) yang dibutuhkan adalah 5.56.5. Kacang panjang dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian kurang dari 600
m dpl. Temperatur yang cocok berkisar antara 18-32 ºC dengan suhu optimal 25
ºC. Tanaman ini membutuhkan banyak sinar matahari. Curah hujan yang
dibutuhkan berkisar antara 600 sampai 2 000 mm/th. Waktu tanam yang baik
adalah pada awal atau akhir musim hujan (Haryanto et al. 2007).
Kutudaun Aphis craccivora Koch. (Homoptera: Aphididae)
A. craccivora Koch. termasuk dalam filum Arthropoda, sub filum
Mandibulata, kelas Insecta, Ordo Homoptera, famili Aphididae, genus Aphis,
spesies Aphis craccivora. A. craccivora adalah hama utama pada tanaman kacangkacangan dan telah dilaporkan di semua benua kecuali Antartika (Nayar et al.
1976). Serangga ini bersifat kosmopolit dan polifag yang mempunyai banyak
tanaman inang seperti jenis famili Leguminosae, Caricaceae, Solanaceae,
Amaranthaceae dan beberapa famili tanaman lainnya (Kranz et al. 1978). A.
craccivora mempunyai kemampuan hidup yang tinggi karena mampu
bereproduksi secara partenogenesis (Kalshoven 1981).
A. craccivora berbentuk seperti buah pir, panjang sekitar 1.5-2.5 mm.
Bagian mulut terdiri atas stilet yang berfungsi untuk menusuk dan menghisap
cairan tanaman. Kutudaun ini hidup secara bergerombol di bawah daun dan tunas
muda. Kutudaun dewasa dapat menghasilkan 2 sampai 20 anak setiap hari.
Kutudaun memiliki 4 instar nimfa dalam siklus hidupnya (Obopile dan Ositile

6
2010). Siklus hidup A. craccivora pada kondisi lingkungan yang sesuai berkisar
antara 5-6 hari dengan rata-rata 5.5 hari (Kranz et al. 1978).
Nimfa A. craccivora yang baru lahir berwarna hialin, kemudian secara
berangsur-angsur berubah menjadi coklat dan akhirnya berwarna hitam. Nimfa
yang baru lahir panjangnya 0.35 mm dan lebarnya 0.18 mm (Sutardjo 1978). Di
daerah tropis reproduksi A. craccivora terjadi tanpa perkawinan (partenogenesis).
Telur berkembang dalam tubuh induk dan dilahirkan dalam bentuk nimfa
(Schreiner 2000). Serangga dewasa A. craccivora yang partenogenesis terdiri dari
dua bentuk, yakni bentuk tidak bersayap (apterae) dan bentuk bersayap (alatae)
(Blackman dan Eastop 2000).
Imago yang tidak bersayap mempunyai panjang tubuh 1.5-2 mm, kepala dan
tubuhnya berwarna hitam dengan mata berwarna merah gelap hampir hitam, dan
sepasang antena yang panjangnya dua pertiga panjang tubuh dan terdiri dari enam
ruas. Antena tidak memiliki sensorial sekunder. Pada bagian dorsal yang berwarna
hitam mengkilat, terdapat retikulasi, kecuali pada bagian ujung-ujung ruas
abdomen yang memperlihatkan imbrikasi. Femur berwarna hialin sampai setengah
bagian ujungnya agak hitam sampai hitam. Biasanya femur tungkai belakang lebih
gelap daripada femur tungkai depan dan tengah. Tibia berwarna hampir hialin
sampai pucat agak kuning atau agak coklat dan bagian ujungnya berwarna hitam.
Tarsus berwarna hitam (Cottier 1953; Eastop 1961).
Bentuk kutudaun dewasa bersayap hampir sama dengan kutudaun yang
tidak bersayap. Rata-rata ukuran tubuh kutudaun yang bersayap lebih kecil
dibandingkan kutudaun yang tidak bersayap. Protoraks berwarna hitam dengan
pita hijau sampai hijau tua tepat di depan dan di belakangnya. Skutum dan
skutelum berwarna hitam. Pangkal sayap tidak berwarna sampai hijau pucat,
coklat atau merah. Pembuluh-pembuluh sayap berwarna coklat sampai coklat
agak hitam. Stigma berwarna kelabu coklat muda (Cottier 1953).
Kutudaun menyerang bagian pucuk-pucuk muda, batang, bunga, daun, dan
polong kacang panjang. Nimfa dan imago kutudaun memperoleh makanan dengan
cara menghisap cairan sel tanaman (Thaker et al. 1984). Kutudaun yang makan
pada tanaman dapat menyebabkan kerusakan. Meningkatnya populasi kutudaun
dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Kutudaun dapat menghindari
pertahanan tanaman saat stilet masuk dalam sel tanaman, serta memanipulasi
inang melalui sekresi air liur ke dalam floem dalam elemen penyaring. Kutudaun
menyebabkan tanaman tidak terpengaruh oleh aktivitas makan kutudaun dengan
cara memodifikasi metabolisme tanaman dan menelan nutrisi tanaman yang
secara tidak langsung dapat menularkan virus ke tanaman (Walling 2008; Will et
al. 2007). Selama kutudaun melakukan probing, kutudaun mengeluarkan dua jenis
air liur, yaitu air liur padat dan air liur berair. Air liur padat digunakan untuk
melindungi stilet selama kutudaun melakukan probing, sedangkan air liur berair
dikeluarkan saat stilet sudah masuk ke dalam floem (Cherqui dan Tjallingii 2000).
Selain menyebabkan kerusakan secara langsung, kutudaun juga berperan sebagai
vektor beberapa virus penyebab penyakit mosaik, sehingga kerusakan yang
diakibatkan oleh serangan kutudaun dan infeksi virus menjadi lebih tinggi lagi.
Masalah lainnya adalah kutudaun juga menghasilkan embun madu (honeydew)
dan dimanfaatkan oleh embun jelaga yang dapat menghambat fotosintesis (Singh
dan Jackai 1985).

7
BCMV (Bean common mosaic virus)
BCMV termasuk ke dalam famili Potyviridae, genus Potyvirus. Potyvirus
merupakan kelompok virus terbesar yang mempunyai lebih dari 100 spesies.
Partikel BCMV berbentuk filamen dengan panjang 750 nm dan lebar 12-15 nm.
Tipe asam nukleatnya single stranded RNA (ssRNA/RNA utas tunggal).
Kandungan asam nukleat dalam partikel virus sebesar 5%. Kandungan protein
dalam coat protein sebesar 95%. Badan inklusi Potyvirus berbentuk cakra atau
beberapa bentuk yang lain (Regenmortel et al. 2004). Virus ini memiliki suhu
inaktivasi 50-65 ºC tergantung dari sumber inokulum, strain virus, dan kondisi
lingkungan sekitar. Cairan perasan (sap) memiliki ketahanan in vitro 1-4 hari pada
suhu ruang dengan batas pengenceran 10-3-10-4 (Morales dan Bos 1988).
BCMV tersebar di seluruh dunia dengan bantuan vektor dan terbawa benih.
BCMV dilaporkan pertama kali di Rusia tahun 1894 kemudian di Amerika tahun
1917. Penyakit ini merupakan penyakit penting pada tanaman kacang-kacangan
yang dapat menyebabkan penurunan kualitas dan hasil panen hingga 80%
(Mercure 1998). Tipe gejala BCMV yang muncul tergantung dari strain virus,
temperatur, dan genotip inang. Gejala yang ditunjukkan berupa mosaik pada daun
utama kemudian diikuti gejala mosaik, pemucatan tulang daun (vein clearing),
dan penebalan tulang daun (vein banding) (Udayashankar et al. 2010). Menurut
Morales (1989) gejala BCMV dapat berupa daun menggulung ke bawah dan
melengkung ke dalam, malformasi daun, mosaik yang merupakan hasil interaksi
dari genotip tanaman, patogen, dan lingkungan yang ditunjukkan dengan warna
hijau terang dan gelap dengan pola mosaik pada lamina daun dimulai dari trifoliet
daun termuda dan menyebar dengan cepat pada seluruh sistem vaskular tanaman
serta akar yang menghitam. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil dan
menghasilkan sedikit polong yang masak lebih lambat dibandingkan dengan
polong sehat.
BCMV bersifat terbawa benih dan dapat ditularkan secara mekanis dengan
sap tanaman. Virus ini juga ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun termasuk A.
craccivora secara non persisten. Penularan virus secara non persisten
menunjukkan bahwa virus hanya terdapat di alat mulut dan tidak dapat
memperbanyak diri dalam tubuh vektor (Shukla et al. 1994). Virus diakuisisi oleh
kutudaun selama beberapa menit (kurang lebih 30 menit). Virus biasanya
disimpan dibagian stilet kurang dari satu jam dan tidak tertelan. Virus yang
diperoleh kutudaun setelah makan akuisisi dapat langsung ditularkan ke tanaman
sehat. Tidak ada periode laten di vektor dan virus dapat ditransmisikan segera
setelah periode makan akuisisi. Periode makan inokulasinya pendek (dari
beberapa detik hingga beberapa menit). Kutudaun yang dipuasakan sebelum
periode makan akuisisi dapat menularkan virus lebih efektif (Nurhayati 2012).
Keberhasilan kutudaun menularkan virus dipengaruhi oleh ketepatan kutudaun
menghisap cairan tanaman dari sel tanaman yang mengandung virus (Djikstra dan
De Jager 1998).

8
Kitosan
Kitosan merupakan biopolimer karbohidrat alami hasil dari deasetilasi kitin,
suatu komponen utama cangkang Crustaceae seperti kepiting, udang dan kerang.
Kitosan adalah biopolimer alami kedua yang paling berlimpah ditemukan di alam
setelah selulosa (Meyers dan Bligh 1981). Kitosan merupakan biopolimer yang
tidak beracun, mudah terdegradasi, dan biokompatibel (Knorr 1984). Kitosan
merupakan heteropolimer yang terdiri dari β (1-4) 2-acetamido-2-deoksi-β-Dglucopyranose dengan berat molekul 500 000 kDa (Shahidi dan Synowiecki 1991).
Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 56%-99% dengan rata-rata 80%,
tergantung pada spesies Crustaceae dan metode persiapan (Meyers 1995). Proses
deasetilasi melibatkan penghapusan kelompok asetil dari molekul rantai kitin,
meninggalkan suatu senyawa (kitosan) dengan reaktif kimia tingkat tinggi gugus
amino (NH2-) yang berpengaruh terhadap sifat fisiokimia, biodegradabilitas, dan
imunologi. Pigmen pada kulit Crustaceae membentuk kompleks dengan kitin (4keto dan tiga 4, 4’-diketo-β-karoten derivatif). Bubuk kitosan mempunyai 14
warna bervariasi dari kuning pucat hingga putih sedangkan pati dan bubuk
selulosa memiliki tekstur halus dan berwarna putih (Rout 2001).
Kitosan yang bersifat antimikroba dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik seperti jenis kitosan (misalnya polos atau turunan), derajat polimerisasi,
konstituen nutrisi, substrat kimia, dan kondisi lingkungan. Berat molekul kitosan
yang rendah memiliki pengaruh penghambatan yang lebih besar terhadap
fitopatogen dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang
tinggi (Hirano et al. 1989). Perbedaan berat molekul dan kandungan logam pada
kitosan dapat mempengaruhi aktivitas makan kutudaun. Kandungan logam yang
terdapat pada kitosan yaitu Ag, Cu, Hg, Ni, dan Zn. Semakin tinggi berat molekul
kitosan dan semakin banyak kandungan logam Ag, penghambatan makan
terhadap kutudaun semakin tinggi. Pengaruh aktivitas insektisidal kitosan diduga
karena kemampuan menghidrolisis dietil fosfat (Badawy dan El-Aswad 2012).
Kitosan berpengaruh terhadap resistensi tanaman dari fitopatogen. Dalam
beberapa penelitian, kitosan oligomer (pentamer dan heptamer) telah dilaporkan
menunjukkan aktivitas yang lebih baik sebagai anti cendawan yang dipengaruhi
oleh konsentrasi kitosan, pH dan suhu (Al-Hetar et al. 2011). Kitosan terbukti
mampu menghambat penyebaran sistemik virus dan viroid serta meningkatkan
respon hipersensitif inang terhadap infeksi patogen (Faoro et al. 2001). Kitosan
menginduksi sistem pertahanan secara luas pada tanaman, salah satunya dapat
menghambat penyebaran virus dan viroid pada tanaman dan meningkatkan
Systemic Acquired Resistance (SAR). Efisiensi penghambatan infeksi virus oleh
kitosan tergantung pada hubungan antara inang dan virus, konsentrasi virus, dan
cara aplikasi kitosan. Tingkat penekanan infeksi virus bervariasi sesuai dengan
berat molekul kitosan (Kulikov et al. 2006). Kitosan mampu menekan infeksi
Alternaria alternata, Botrytis cinerea, Colletotrichum gloeosporioides (El
Ghaouth et al. 1992), Erwinia amylovora, Agrobacterium tumefaciens (Helander
et al. 2001), dan Potato spindle tuber viroid (PSTVd) (Pospiezny et al. 1997).
Zeng et al. (2012) melaporkan bahwa konsentrasi kitosan 5% mampu mengurangi
serangan Agrotis ipsilon pada tanaman kedelai di Cina.

9
Pathogenesis Related Protein (PR Protein)
Sistem pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terdiri atas
pertahanan pasif dan pertahanan aktif. Mekanisme pertahanan pasif diantaranya
adalah kutikula yang berlilin dan senyawa antimikroba yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya kolonisasi jaringan oleh cendawan (Osbourn 1996).
Mekanisme pertahanan aktif adalah mekanisme seluler yang terinduksi oleh
elisitor yang dikeluarkan oleh patogen (Kim et al. 2002). Tanaman akan bereaksi
terhadap kehadiran suatu patogen dengan mengaktifkan suatu multi-komponen
sistem pertahanan. Diawali dengan sinyal transduksi yang mengubah stimulus
menjadi bentuk yang lain dengan melibatkan urutan reaksi biokimia di dalam sel
yang dilaksanakan oleh enzim dan berhubungan melalui second messenger.
Terdapat tiga mekanisme utama dalam proses penerimaan sinyal dan inisiasi
transduksi sel dalam merespon sinyal dari lingkungan yaitu penerimaan sinyal
oleh sel target, penguatan sinyal, dan respon seluler terhadap sinyal sehingga
mengaktifkan downstream seperti pada Pathogenesis Related (PR) (Voet dan
Donald 1995).
Proses interaksi pada tanaman meliputi tahapan seperti pengenalan oleh gen
R, aktivasi protein kinase, aktivasi kelompok gen Rac, fosforilasi bertingkat, dan
timbulnya respon pertahanan tanaman yang berupa diproduksinya senyawa
fitoaleksin dan PR protein. PR protein merupakan protein yang terakumulasi
sebagai respon terhadap serangan beberapa patogen. PR protein ini dapat
mendegradasi dinding sel yang tersusun oleh polisakarida, menghambat sintesis
atau mungkin dapat meningkatkan resistensi terhadap beberapa patogen dan juga
menunjukkan anti mikroba (Gee et al. 2001). Akumulasi PR protein pada tanaman
disebabkan karena adanya infeksi lokal atau sistemik pada tanaman (Edreva
2005).
Empat belas famili dari PR protein (PR1–PR14) telah diketahui dan
diidentifikasi berdasarkan fungsi atau karakteristik strukturnya. PR1 merupakan
gen yang pertama kali berhasil diidentifikasi dan merupakan kelompok yang
paling dominan dari PR protein (Loon dan Strein 1999). Gen PR1 pertama kali
ditemukan pada tahun 1970. Sejak saat itu gen PR1 telah diidentifikasi pada
tanaman Arabidopsis thaliana (kubis-kubisan), Hordeum vulgare (barley), Oryza
sativa (padi), Piper longrum (lada), Solanum lycopersicon (tomat), Triticum sp.
(gandum), dan Zea mays (jagung). Gen PR1 merupakan gen yang aktif sebagai
reaksi tanaman terhadap infeksi patogen (Liu dan Xue 2006). Gen PR1 tidak
berperan dalam menghambat patogenesitas patogen pada varietas rentan
(Kurnianingsih 2008).
Gen PR3 mengkode β-1, 3-glucanase dan kitinase (Edreva 2005). Gen PR3
telah diidentifikasi pada tanaman Cicer arietinum (kacang), Cucumis sativus
(mentimun), Hordeum vulgare (barley), Nicotiana tabacum (tembakau),
Phaseolus vulgaris (kacang hijau), Solanum lycopersicum (tomat), dan Vitis
vinifera (anggur) (Liu dan Xue 2006). Kitinase dibagi menjadi dua kategori, yaitu
exokitinase yang menunjukkan aktivitas untuk mengurangi rantai kitin dan
endokitinase yang menghidrolisis rantai glikogen. Modus aksi PR3 relatif
sederhana, yaitu kinase membelah dinding sel kitin, menghasilkan dinding sel
cendawan melemah akibat tekanan osmotik (Jach et al. 1995).

10

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan IPB
Cikabayan Darmaga, Laboratorium Taksonomi Serangga dan Laboratorium
Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Agustus 2015.
Metode Penelitian
Persiapan Penelitian
Identifikasi kutudaun. Kutudaun diperoleh dari pertanaman kacang
panjang di Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
Identifikasi dilakukan berdasarkan buku identifikasi Blackman dan Eastop (2000),
yaitu menggunakan kutudaun yang tidak bersayap (apterae). Karakter yang
diamati terdiri dari kepala, abdomen, sifunkuli, kauda, dan antena.
Identifikasi kutudaun dilakukan dengan membuat preparat kutudaun.
Pembuatan preparat kutudan mengacu pada Mound (2006). Kutudaun yang tidak
bersayap dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 mL alkohol 95% dan
dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit. Kutudaun selanjutnya
dimasukkan kembali ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10% dan
dipanaskan hingga terlihat transparan dan dicuci dengan akuades steril sebanyak
dua kali. Perlakuan selanjutnya adalah dehidrasi kutudaun, dengan cara merendam
kutudaun yang telah dibersihkan dalam alkohol bertingkat secara berurutan mulai
dari tingkat kepekatan 50%, 80%, 95%, dan absolut 100% selama 10 menit untuk
setiap perendaman. Isi tubuh kutudaun dikeluarkan dengan cara menekan tubuh
serangga tersebut menggunakan jarum dibawah mikroskop. Kutudaun yang sudah
bersih diletakkan di atas gelas obyek yang diberi larutan hoyer, ditata hingga
terlihat bagian-bagian tubuhnya dan ditutup dengan gelas penutup. Pembuatan
slide mikroskop kutudaun dilakukan di bawah mikroskop stereo. Bagian-bagian
tubuh kutudaun diamati dan diukur panjang masing-masing.
Perbanyakan
kutudaun.
Kutudaun yang telah diidentifikasi
dibebasviruskan pada daun talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) yang ujung
tangkai daunnya dibalut dengan kapas basah. Kutudaun imago yang tidak
bersayap dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi daun talas dan dipelihara
hingga imago kutudaun melahirkan nimfa. Nimfa tersebut dipindahkan ke
tanaman kacang panjang sehat varietas Parade hingga berkembangbiak untuk
digunakan sebagai serangga vektor dalam penularan BCMV. Nimfa yang baru
lahir tersebut bebas dari virus (Djikstra dan De Jager 1998).
Perbanyakan inokulum BCMV. Isolat BCMV strain Black-eye Cowpea
(BCMV-BlC) yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat asal Kampung
Cangkurawok, Desa Babakan, Kabupaten Bogor yang merupakan koleksi
laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman. Tanaman
kacang panjang varietas Parade yang berumur 7 HST diinokulasi dengan
inokulum BCMV secara mekanis. Daun kacang panjang yang terinfeksi BCMV
digerus menggunakan mortar steril dalam 0.01 M bufer fosfat pH 7 yang

11
mengandung 1% mercaptoethanol dengan perbandingan 1:5 (b/v) sehingga
didapatkan cairan perasan (sap). Sap dioleskan di atas permukaan daun yang telah
ditaburi carborundum 600 mesh. Pengolesan dilakukan dengan menggunakan jari
telunjuk, karena jari telunjuk ini sangat sensitif sehingga penekanan ke permukaan
daun dapat disesuaikan dan tidak menyebabkan luka yang terlalu dalam pada
permukaan daun (Djikstra dan De Jager 1998). Serbuk carborundum yang masih
menempel pada permukaan daun dibilas menggunakan akuades steril yang
mengalir.
Penanaman tanaman uji. Kacang panjang yang digunakan adalah kacang
panjang varietas Parade. Benih kacang panjang ditanam pada polibag berukuran
30x35 cm yang diisi dengan tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan
2:1. Setiap polibag ditanami dengan 3 benih kacang panjang. Pada umur 7 HST
dipilih satu tanaman dengan pertumbuhan terbaik yang akan digunakan sebagai
tanaman perlakuan.
Pembuatan larutan kitosan. Kitosan yang digunakan adalah kitosan murni
(Biobasic) yang berasal dari cangkang kepiting (C6H11NO4)n dengan tingkat
kemurnian 90% dan sebagai pembanding digunakan kitosan komersial Soft Guard
Chitosan Oligo Saccharin dengan kandungan kitosan 2%. Konsentrasi kitosan
murni yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0.1%, 0.3%, 0.5%, 0.7%, 0.9%,
1.1% (KM 0.1-1.1), dan konsentrasi kitosan komersial 0.9% (KK 0.9). Kitosan
murni diencerkan menggunakan asam asetat 1.5% dan aquades steril sedangkan
kitosan komersial hanya diencerkan menggunakan aquades steril. Tanaman
kontrol hanya disemprot menggunakan asam asetat 1.5%.
Pelaksanaan Penelitian
Uji pengaruh antixenosis kitosan terhadap kutudaun. Tanaman
perlakuan yang berumur 2 MST disemprot menggunakan larutan kitosan murni
dan larutan kitosan komersial sesuai dengan masing-masing perlakuan
menggunakan hand sprayer mini sebanyak 3 ml kitosan/tanaman. Setiap
perlakuan terdiri dari 10 ulangan. Tanaman yang telah diberi perlakuan kitosan,
dimasukkan ke dalam kurungan kasa dengan susunan melingkar secara acak. Di
bawah tajuk ta