The Interplay Of Social Capital With Sub District Developmentin Sukabumi

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DENGAN
PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN
SUKABUMI

ADI GUMBARA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Modal Sosial
dengan Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Sukabumi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Adi Gumbara Putra
NRP A156140294

RINGKASAN
ADI GUMBARA PUTRA. Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan
Kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan
LALA M. KOLOPAKING.
Modal sosial merupakan salah satu modal yang dibutuhkan dalam
pembangunan. Keberadaannya dalam suatu wilayah dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat.
Namun penilaian modal sosial dalam perencanaan pembangunan daerah belum
banyak dilakukan, karena masih terbatasnya metode dan data yang tersedia setiap
tahun. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sebaran stok modal sosial di
Kabupaten Sukabumi yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan
wilayah.
Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa
instansi pemerintah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis faktor dengan metode Principal Component Analysis (PCA), analisis

indeks perkembangan kecamatan, analisis klaster berhierarki dengan metode
ward’s, dan analisis model regresi linier berganda. Hasil analisis analisis faktor
didapatkan tiga faktor utama yang mewakili subdimensi modal sosial, yaitu norma,
yang dominan di 24 kecamatan, rasa percaya yang dominan di 21 kecamatan, dan
subdimensi jaringan kerja yang dominan pada dua kecamatan. Tipologi
kecamatan yang didapatkan dari hasil analisis adalah tipologi wilayah
berkembang dengan 15 kecamatan, tipologi wilayah cukup berkembang dengan
11 kecamatan dan tipologi wilayah belum berkembang dengan 21 kecamatan.
Analisis reegresi linier berganda menunjukkan bahwa modal sosial yang telah
berinteraksi dengan modal manusia berpengaruh secara nyata terhadap
pendapatan perkapita pada taraf nyata 5%.
Kata kunci: Modal sosial, Perkembangan kecamatan, Tipologi kecamatan

SUMMARY
ADI GUMBARA PUTRA. The Interplay of Social Capital with Sub-District
Developmentin Sukabumi. Supervised by ERNAN RUSTIADI and LALA M.
KOLOPAKING.
Social capital is one of the required capitals for development. The presence
of social capital may improve economic growth, environmental sustainability and
social welfare. The objectives of the study were to analyze stocks and the

dominant sub-dimensions of social capital in Sukabumi district, to identify subdistricts typology based on the stock of social capital and sub-districts
development index in Sukabumi district, and to analyze the interplay of social
capital with regional development in Sukabumi district.
This study employed secondary data that obtained from several government
agencies. Principal Component Analysis (PCA) method, the sub-district
development index analysis, hierarchical cluster analysis, and multiple linear
regression models were used for factor analysis. The result shown that there were
three main factors represented sub-dimensions social capital. They were the social
networks (dominant in 24 sub-districts), trust (dominant in 21 sub-districts), and
networks (dominant in two sub-districts). The analysis of the sub-district typology
classifies three types of sub-districts, namely "developing areas" (15 sub-districts),
in human resources (11 sub-districts) and least developed area in infrastructure
(21 sub-districts). The multiple linear regression analysis shown that the social
capitals that had been interacted with human capitals significantly affected per
capita income at 5% level of significance.
Keywords: Social capital, Sub-district development, Sub-district typology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DENGAN
PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN
SUKABUMI

ADI GUMBARA PUTRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Manuwoto

Judul Tesis : Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan Kecamatan di
Kabupaten Sukabumi
Nama
: Adi Gumbara Putra
NIM
: A156140294

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr
Ketua

Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr

Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 16 Maret 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

tulis ilmiah ini yang berjudul Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan
Kecamatan di Kabupaten Sukabumi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah dan sekaligus sebagai ketua komisi pembimbing
dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk
mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS sebagai anggota komisi pembimbing
yang juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu
untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
3. Bapak Dr. Ir. Manuwoto selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan
sarannya.
4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti
studi.
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada penulis.
6. Bapak Bupati Sukabumi, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian

Daerah, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Sukabumi yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun
materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB.
7. Ibunda terkasih serta Istri dan Anak tercinta yang telah memberikan ridho,
ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar
kepada penulis.
8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang
juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik
moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan
penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan
manfaat.

Bogor, Mei 2016
Adi Gumbara Putra

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1

1
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Wilayah
Pengertian Modal Sosial
Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial
Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Modal Sosial di Indonesia dan Jawa Barat

6
6
8
10
11
17


3 METODE
Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

21
21
21
23
23

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah
Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah

27
27
30

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Modal Sosial di Kabupaten Sukabumi
Tipologi Kecamatan di Kabupaten Sukabumi
Keterkaitan Modal Sosial dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah di
Kabupaten Sukabumi

38
38
45

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

52
52
53

DAFTAR PUSTAKA

54

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

60

48

DAFTAR TABEL
Peneliti, definisi dan sumber modal sosial
Penelitian modal sosial terdahulu dan variabel yang digunakan
Stok modal sosial di Jawa Barat
Tujuan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan, sumber data, teknik
analisis data dan output penelitian
5 Luas Wilayah Kabupaten Sukabumi Menurut Ketinggian.
6 Data Klimatologi Kabupaten Sukabumi Tahun 2014
7 Pergeseran Pola Penggunaan Lahan Kabupaten Sukabumi (dalam hektar)
Tahun 2004 – 2008
8 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Kepadatan
Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2014
9 Gambaran PDRB Kabupaten Sukabumi dari Tahun 2011-2014
10 Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kategori Lapangan Usaha
Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2014
11 Struktur Ekonomi Menurut Kategori Lapangan Usaha Kebupaten
Sukabumi Tahun 2014
12 Variabel Penentu Modal Sosial pada Tingkat Makro di Kabupaten
Sukabumi
13 Nilai Communalities Variabel Penduga Modal Sosial di Kabupaten
Sukabumi
14 Nilai Eigenvalues dan Variance Kumulatif Faktor Penentu Modal Sosial
di Kabupaten Sukabumi
15 Nilai Loadings Factor Variabel Penentu Modal Sosial di Kabupaten
Sukabumi
16 Nilai Component Transformation Matrix Indeks Komposit Modal Sosial
di Kabupaten Sukabumi
17 Kategori Variabel Penciri pada Subdimensi Modal Sosial
18 Total Stok dan Kontribusi Subdimensi Modal Sosial di Kabupaten
Sukabumi
19 Tipologi kecamatan di Kabupaten Sukabumi
20 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
1
2
3
4

13
14
19
22
28
29
29
31
33
34
35
39
39
40
40
40
41
42
46
50

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran
2 Bagan Alir Penelitian
3 Grafik Stok Modal Sosial di Jawa Barat Tahun 2009
4 Lokasi Penelitian
5 Jumlah Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014
6 Piramida Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2014
7 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014
8 Struktur Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2014
9 PDRB Per Kapita Kabupaten Sukabumi Tahun 2014
10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014
11 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014

5
6
20
21
31
32
33
35
36
37
38

12 Peta sebaran stok modal sosial Kabupaten Sukabumi
13 Peta sebaran subdimensi modal sosial dominan di Kabupaten Sukabumi
14 Diagram pohon analisis klaster berhierarki dengan metode ward’s

berdasarkan IPM, IPK dan stok modal sosial
15 Peta tipologi kecamatan di Kabupaten Sukabumi
16 Peta subdimensi modal sosial dominan dan tipologi kecamatan di

Kabupaten Sukabumi
17 Histogram uji normalitas
18 Grafik p p-plot uji normalitas
19 Scatter Plot Uji Heterokedastisitas

44
44
46
47
47
49
50
51

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis komponen utama variabel modal sosial
2 Hasil analisis statistik tipologi kecamatan
3 Hasil analisis statistik keterkaitan modal sosial dengan pembangunan
ekonomi wilayah

57
58
59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Rustiadi et al.
(2011) menjelaskan bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat
diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. UNDP mendefinisikan
pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk
memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s
choices). Senada dengan itu, Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan
pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upayaupaya secara sadar dan terrencana.
Di Indonesia, pembangunan sebelumnya lebih ditekankan pada pola yang
terpusat dan sedikit pembagian kewenangan pada level yang lebih rendah. Hal ini
menyebabkan tersisihnya kepentingan-kepentingan masyarakat yang dikalahkan
oleh tujuan efisiensi dan skala keekonomian untuk menghasilkan produk dan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Paradigma pembangunan seperti ini sering
disebut dengan "Production Centered Development" atau pembangunan yang
berpusat pada hasil atau produk (Korten dan Sjahrir, 1988). BPS (2010) yang
menjelaskan bahwa perspektif pembangunan yang berkembang selama ini,
keluaran dan hasil pembangunannya sangat ditentukan oleh ketersediaan faktor
produksi yang diproses secara sistematis. Dalam konteks ini, pembangunan lebih
banyak dipahami sebagai pembangunan ekonomi, karena indikator yang sering
digunakan untuk menilai keberhasilan ataupun kegagalan pembangunan lebih
banyak bernuansa ekonomi. Pembangunan yang dilaksanakan menjadi terlalu
terfokus pada bidang ekonomi dengan penekanan pada pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, nuansa sosial seperti sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring
antar anggota masyarakat cenderung masih diabaikan dalam pembangunan.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten dengan
pembangunan yang cukup tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa
Barat. Fakta ini diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001/Kep/M-PDT/1/2005 tentang Strategi
Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, yang memasukkan Kabupaten
Sukabumi bersama Kabupaten Garut sebagai daerah tertinggal di Jawa Barat.
Pada tahun 2012 BPMPD Kabupaten Sukabumi menerbitkan hasil survei
desa tertinggal di Kabupaten Sukabumi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
121 desa atau sekitar 32% desa di Kabupaten Sukabumi yang cenderung berada
dalam kondisi maju, 184 desa atau 48% desa berada dalam kategori desa
menengah atas, sementara desa tertinggal dan transisi masih cukup banyak, yaitu
berjumlah 76 desa atau mencapai 20 %.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal, daerah tertinggal sendiri diartikan sebagai
daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang
dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional, sedangkan pembangunan
daerah tertinggal diartikan sebagai suatu proses, upaya, dan tindakan secara

2

terencana untuk meningkatkan kualitas masyarakat dan wilayah yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional. Dari definisi tersebut terlihat bahwa
ketertinggalan suatu daerah diukur berdasarkan kriteria tertentu dan dibandingkan
posisinya dengan daerah lain. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan
juga ukuran ketertinggalan sebagaimana dimaksud di atas. Ukuran-ukaran itu
ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu perekonomian masyarakat, sumber
daya manusia, prasarana-sarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal,
aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Sebagai upaya untuk menanggulangi daerah tertinggal, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi telah meluncurkan beberapa program pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2010 – 2015. Programprogram tersebut meliputi program di bidang pendidikan, bidang kesehatan,
bidang ekonomi, program peningkatan infrastruktur, serta peningkatan
keberdayaan masyarakat perdesaan. Namun demikian, faktanya mayoritas yang
menjadi fokus Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dalam penanggulangan
daerah tertinggal adalah bidang infrastruktur dan pendidikan, sehingga efektivitas
dari program-program yang diluncurkan tersebut masih belum terlihat signifikan.
Hal ini dikarenakan hingga saat ini status daerah tertinggal yang melekat pada
Kabupaten Sukabumi belum bisa dihilangkan.
Melihat kondisi di atas, sudah saatnya Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukabumi menyadari bahwa investasi dalam peningkatan sumber daya manusia
dan infrastruktur akan lebih efektif jika disertai dengan investasi pada modal
sosial. Modal sosial dan modal manusia merupakan bahan baku pembangunan
yang harus dioptimalkan. Keduanya harus diinvestasikan secara beriringan,
sehingga akan meningkatkan efektivitas pembangunan. Modal sosial yang tinggi
namun tidak diimbangi dengan modal manusia akan mengarahkan pada ikatan
solidaritas yang menciptakan kohesi kelompok namun dalam situasi yang
merugikan dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Begitupun sebaliknya,
modal manusia yang tinggi tanpa diimbangi oleh modal sosial yang mumpuni
akan meningkatkan biaya dalam setiap proses pembangunan serta berpeluang
meningkatkan perilaku-perilaku oportunistik pada suatu komunitas. Coleman
(1999) menjelaskan bahwa modal sosial telah terbukti secara nyata memberikan
pengaruh yang besar terhadap pembentukan modal manusia baik dalam
lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Modal sosial yang ada di lingkungan
ternyata lebih penting dari pada etnisitas, keragaman etnis, atau informasi
demografis lainnya dalam memahami kontribusi barang publik di masyarakat
(Leonard et al. 2010). Colleta dan Cullen (2000) juga menjelaskan bahwa modal
sosial dapat memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi,
dan pembangunan, dimana modal sosial itu sendiri didefinisikan sebagai suatu
sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi,
seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal
balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and
economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and
informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya
(fisik, manusia, budaya).
Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992), modal sosial didefinisikan sebagai
sejumlah sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan
jaringan yang awet, sehingga melembagakan hubungan yang saling
menguntungkan. Kuncoro (2010) menjelaskan bahwa Bourdieu berkeyakinan
jaringan sosial tidaklah alami, melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi

3

yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan-hubungan kelompok, yang
dapat dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan. Oleh karena
itu, investasi modal sosial yang kurang baik akan mengakibatkan menurunnya
stok modal sosial yang ada di masyarakat dan mempengaruhi kehidupan
perekonomian masyarakat, sebaliknya program-program pembangunan yang
memelihara serta berintegrasi dengan keberadaan modal sosial masyarakat akan
semakin memupuk dan menumbuhkan modal sosia tersebut.

Perumusan Masalah
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah yang
cukup luas, yaitu 416 200 Ha atau sekitar 3.01 % (persen) dari luas Pulau Jawa.
Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Sukabumi cukup besar, dari
mulai potensi pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga pariwisata.
Namun demikian, kondisi ini tidak serta merta menjadikan pembangunan di
Kabupaten Sukabumi menjadi sangat pesat, bahkan hingga saat ini Kabupaten
Sukabumi masih menjadi salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia.
Sebagai kabupaten yang masih termasuk dalam kategori daerah tertinggal,
anggaran-anggaran percepatan pembangunan di Kabupaten Sukabumi masih
selalu difokuskan pada bidang peningkatan infrastruktur. Pada tahun 2015,
sebanyak Rp 3 600 000 000 (tiga milyar enam ratus juta rupiah) telah dialokasikan
untuk peningkatan infrastruktur di daerah tertinggal. Selain itu dana-dana yang
dialokasikan oleh pemerintahan desa pun mayoritas digunakan dalam
pembangunan infrastruktur wilayah. Kondisi ini sepintas sangat baik dalam
pembangunan daerah-daerah tertinggal, namun pembangunan infrastruktur yang
tidak disertai dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan modal sosial
dikhawatirkan akan mempercepat arus pengurasan sumber daya dari daerahdaerah tertinggal ke daerah maju atau sering disebut dengan istilah backwash
effect (Rustiadi et al. 2011).
Selain dalam bidang infrastruktur, anggaran pembangunan banyak pula
dialokasikan pada bidang pendidikan. Setiap tahunnya lebih dari 20% APBD
Kabupaten Sukabumi telah dialokasikan untuk pendidikan. Namun demikian,
alokasi anggaran tersebut dirasakan belum cukup efektif. Hal ini terbukti dengan
rata-rata lama sekolah masyarakat Kabupaten Sukabumi yang hanya 7.05 tahun.
Program-program lain yang berkaitan dengan pemupukkan modal sosial di
masyarakat dalam upaya penanggulangan daerah tertinggal selama ini masih
sangat kurang. Hal ini menyebabkan masih rendahnya stok modal sosial yang ada
di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data BPS tahun 2009, stok modal sosial
Kabupaten Sukabumi adalah sebesar 56.2 yang merupakan salah satu stok modal
sosial terendah di Jawa Barat, padahal modal sosial merupakan salah satu modal
yang dibutuhkan dalam pembangunan. Serageldin et al. (1994) menyatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan peningkatan stok modal yang
terdiri dari 4 (empat) kategori, yaitu modal buatan, modal alam, modal manusia,
dan modal sosial. Modal sosial menjadi sangat penting, karena jika modal sosial
tidak memadai maka tidak mungkin dapat tercapainya pertumbuhan ekonomi,
kelestarian lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Rustiadi et
al. (2011) menyatakan bahwa dalam suatu proses perencanaan pembangunan

4

harus mempertimbangkan modal sosial dan sumber daya bersama yang harus
dikelola secara berkelanjutan.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, untuk melakukan analisis mengenai
keterkaitan modal sosial dengan perkembangan kecamatan di Kabupaten
Sukabumi timbul pertanyaan-pertanyaan penelitian terkait (1) bagaimana
keberadaan modal sosial pada tingkat kecamatan di Kabupaten Sukabumi, (2)
bagaimana karakteristik dan tipologi wilayah kecamatan-kecamatan yang ada,
serta (3) bagaimana modal sosial berperan dalam pembangunan kecamatan di
Kabupaten Sukabumi. Pengetahuan terhadap hal-hal terkait modal sosial ini
diharapkan dapat menjadi landasan penyusunan kebijakan pembangunan
Kabupaten Sukabumi.

Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan di atas,
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menganalisis stok dan subdimensi modal sosial yang dominan pada tingkat
kecamatan di Kabupaten Sukabumi;
2. Mengidentifikasi tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten
Sukabumi berdasarkan stok modal sosial, indeks pembangunan manusia, dan
indeks perkembangan kecamatan;
3. Menganalisis keterkaitan modal sosial dengan pembangunan wilayah di
Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan
pembangunan yang partisipatif;
2. Sebagai alternatif dalam menganalisis peranan modal sosial terhadap
pembangunan ekonomi wilayah;
3. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pembangunan wilayah
dan modal sosial.

Kerangka Pemikiran
Pembangunan di Kabupaten Sukabumi terutama di tingkat kecamatan tidak
hanya memerlukan program-program dalam bidang infrastruktur dan pendidikan.
Program yang memanfaatkan modal sosial masyarakat dapat lebih ditingkatkan
agar efektivitas pembangunan di Kabupaten Sukabumi dapat ditingkatkan.
Modal sosial yang terbangun dari rasa saling percaya, jaringan kerja dan
jaringan sosial yang kondusif akan mengurangi biaya kontak, kontrak dan kontrol
sehingga dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Terbangunnya rasa
saling percaya juga akan memudahkan adanya jaringan kerja yang efisien
dimana jaringan kerja sosial memberi manfaat pada proses produktif dalam
pembangunan wilayah. Modal sosial juga berperan dalam peningkatan

5

pertumbuhan dan percepatan pembangunan melalui peningkatan penyediaan akses
masyarakat terhadap modal usaha, pendidikan,kesehatan dan keamanan. Stok
modal sosial yang besar akan memfasilitasi terjadinya transaksi antar individu,
rumah tangga dan kelompok melalui tiga bentuk, yaitu: a). tersedianya informasi
dengan biaya rendah; b). terdapat kemudahan bagi semua pihak untuk mencapai
keputusan kolektif; c) berkurangnya perilaku oportunistik dari anggota
masyarakat. Disamping itu interaksi sosial dalam suatu struktur sosial yang kuat
dapat menjadi alat untukmeredam konflik yang mungkin terjadi di masyarakat
yang dapat menghambatproses pembangunan (Narayan 1999). Senada dengan
tersebut, Sabatini (2005) menyatakan bahwa modal sosial mengikat (bonding
social capital) berperan negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja
ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu
menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi
informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan.
Modal sosial yang ada di masyarakat tentu akan berbeda kaitannya dengan
pembangunan wilayah untuk setiap tipologi wilayah. Masyarakat yang berada
diwilayah pesisir memiliki struktur sosial yang berbeda dengan masyarakat yang
berada di pegunungan dengan ciri khas agraris. Hal ini akan berimplikasi pada
modal sosial yang berbeda kaitannya dengan pembangunan di masing-masing
wilayah, begitupun masyarakat di perdesaan akan memiliki modal sosial yang
berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Namun demikian, pada dasarnya stok
modal sosial masyarakat dapat memfasilitasi aksi kolektif masyarakat yang
kemudian memberikan pengaruh terhadap akses individu terhadap pendidikan,
kesehatan maupun tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan
kesehatan masyarakat yang lebih baik serta tingkat pendapatan yang lebih tinggi
akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM). Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1
dan bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

6

Gambar 2 Bagan Alir Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Wilayah
Pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Menurut
Siagian (1994), pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation building). Senada dengan hal tersebut, Rustiadi et al. (2011)
menjelaskan bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan
sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan
yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi
setiap warga yang paling humanistik. UNDP mendefinisikan pembangunan dan
khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas
pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Dalam
pengertian lain, Kartasasmita (1994) menjelaskan bahwa pembangunan adalah
suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan
secara terencana.
Menurut BPS (2010), Pembangunan merupakan proses transformasi jangka
panjang yang melibatkan berbagai faktor produksi sebagai input untuk
menghasilkan keluaran (output) dan hasil (outcome) yaitu berupa kemakmuran
dan kesejahteraan. Faktor produksi dalam arti luas meliputi sumber daya alam
(natural capital), sumber daya manusia (human capital), dan sumber daya
teknologi (technology capital). Ketiga faktor produksi tersebut dikenal dengan
modal tradisional pembangunan.
Terdapat perbedaan antara makna pembangunan dan perkembangan.
Pembangunan yang diartikan sebagai suatu proses perubahan yang dilakukan
melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana, berbeda dengan perkembangan
yang diastikan sebagai proses perubahan yang terjadi secara alamiah sebagai

7

dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Dengan
demikian, perkembangan merupakan salah satu hasil yang diakibatkan oleh
pembangunan.
Pembangunan sendiri dapat memiliki makna perubahan dan pertumbuhan.
Menurut Siagian (1983) dalam Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan
sebagai suatu perubahan diartikan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan
bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan
pembangunan sebagai suatu prtumbuhan menunjukkan kemampuan suatu
kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif dan merupakan sesuatu
yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan,
dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan pertumbuhan dan
pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan.
Menurut Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2011), paling tidak
pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling
hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan
rasa harga diri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
Menurut Rustiadi et al. (2011) konsep “wilayah”, “kawasan”, “daerah”,
“regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan
saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki
bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Istilah wilayah mengacu pada
pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya wilayah didefinisikan sebagai
suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di
dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu sama lain. Dengan
demikian, wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas
spesifik (tertentu) dimana komponen-komponenya memiliki arti didalam
pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Dilihat
dari konotasi maknanya, "daerah" lebih berkonotasi pada satuan administrasi
tertentu seperti provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan hingga ke desa.
Berbeda dengan itu, wilayah lebih sering dimaknai sebagai area fungsional,
seperti perkotaan, perdesaan, dan lain-lain.
Pembagunan daerah tidak terlepas dari proses perencanaan pembangunan
daerah. Riyadi dan Bratakusumah (2003) menjelaskan bahwa perencanaan
pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang
dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih
baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam
wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai
sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh,
lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Dari pengertian tersebut terlihat
bahwa perencanaan pembangunan daerah menyangkut pada tiga hal pokok , yaitu
perencanaan komunitas, menyangkut area/daerah, dan sumber daya yang ada di
dalamnya.
Selain hal di atas perencanaan pembangunan daerah dapat pula diartikan
sebagai suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan
berbagai nsur di dalamnya, guna memenfaatkan dan mengalokasikan berbagai
sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam
suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Riyadi dan

8

Bratakusumah, 2003). Senada dengan hal tersebut Anwar dan Hadi (1996)
menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau
tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang
melibatkan interaksi antara sumber daya manusia dengan sumber daya lain,
termasuk sumber daya alam dan lingkungan melalui investasi.
Perencanaan pembangunan daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Menghasilkan program-program yang bersifat umum.
2) Analisis perencanaan bersifat makro/luas.
3) Lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka menengah
dan panjang.
4) Memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal,
namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.
Fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan
pembangunan jangka pendek.

Pengertian Modal Sosial
Teori modal sosial awal sebenarnya dipicu oleh tulisan Pierre Bourdieu pada
akhir tahun 1970-an. Meskipun demikian, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa
Coleman merupakan ilmuan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial
(social capital) sebagaimana tulisannya dalam jurnal American Journal of
Sociology American Journal of Sociology berjudul "Social Capital in the Creation
of Human Capital" pada tahun 1988 (Kuncoro, 2010).
Menurut Coleman (1988), jika kita mulai dengan teori tindakan rasional, di
mana masing-masing individu memiliki kontrol atas sumber daya tertentu dan
kepentingan sumber daya dan peristiwa tertentu, maka modal sosial merupakan
jenis sumber daya tertentu yang tersedia untuk seorang individu. Modal sosial
juga didefinisikan oleh fungsinya yang bukan merupakan satu entitas tersendiri,
namun terdiri atas berbagai entitas yang berbeda, dengan dua elemen yang sama.
Elemen-elemen ini terdiri dari modal sosial yang mencakup beberapa aspek
struktur sosial dan modal sosial yang memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku,
baik pelaku individu maupun perusahaan di dalam struktur tersebut. Seperti
bentuk-bentuk lain dari modal, modal sosial bersifat produktif, yang
memungkinkan pencapaian tujuan tertentu. Di samping itu, Putnam (1993)
mendefinisikan modal sosial sebagai bentuk (feature) dari organisasi sosial seperti
rasa percaya, norma dan jaringan kerja yang dapat meningkatkan efisiensi pada
masyarakat dengan memfasilitasi aksi yang terkoordinasi.
Fukuyama (1995), menjelaskan modal sosial secara sederhana bisa
didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang
dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika anggota-anggota
kelompok itu mengharapkan para anggota yang lain akan berperilaku jujur dan
terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) modal sosial didefinisikan sebagai
sejumlah sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan
jaringan yang awet (durable) sehingga melembagakan hubungan persahabatan
(aquintance) yang saling menguntungkan. Menurut Kuncoro (2010) Bourdieu

9

berkeyakinan bahwa jaringan sosial tidaklah alami, melainkan dikonstruksi
melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubunganhubungan kelompok, yang dapat dipakai sebagai sumber terepercaya untuk
meraih keuntungan. Definisi tersebut mengandaikan bahwa modal sosial
memisahkan dua elemen, yaitu: (1) hubungan sosial itu sendiri yang mengijinkan
individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi
mereka; dan (2) jumlah dan kualitas sumber daya tersebut.
Modal sosial juga dapat dilihat sebagai sekumpulan asosiasi diantara
orang-orang yang mempengaruhi produktivitas komunitas yang mencakup
jaringan dan norma sosial. Jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan
dan memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Modal sosial berperan di dalam
menfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk manfaat bersama bagi anggotaanggota asosiasi (Putnam, 1993)
Narayan (1999), memberikan definisi modal sosial sebagai norma dan
hubungan sosial yang tertambat di dalam struktur sosial masyarakat yang
memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan tindakan dan mencapai
tujuan bersama. Sedangkan Portes (1998), mendefinisikan modal sosial sebagai
kemampuan dari para pelaku untuk mendapatkan manfaat melalui keanggotaan di
dalam jaringan sosial atau struktur sosial lainnya.
Menurut Teilmann (2012), modal sosial merupakan sebuah konsep yang
memiliki berbagai aspek, sehingga dalam menganalisis maupun mengukurnya
perlu pendekatan yang mencakup seluruh aspek tersebut. Fukuyama (2002)
menjelaskan tentang konsep modal sosial yang lebih luas. Menurutnya modal
sosial termasuk pada organisasi masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota
yang berusaha untuk mencapai tujuan bersama yang berbasis pada norma dan nilai
informal bersama. Disamping itu, banyak yang sekarang berpendapat bahwa
modal sosial menjadi bahan pokok dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas
demokrasi.Modal sosial memungkinkan individu untuk bersatu dalam membela
kepentingan mereka dan mengatur untuk mendukung kebutuhan bersama, dalam
pemerintahan yang otoriter.
Modal sosial masyarakat termasuk juga lembaga, hubungan, sikap dan nilainilai yang mengatur interaksi antara orang-orang yang berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosialtidak hanya jumlah dari lembaga
yang mendukung masyarakat, namun juga sebagai lem yang memegang mereka
secara bersama-sama. Modal sosial ini termasuk nilai-nilai bersama dan aturan
untuk perilaku sosial yang diungkapkan dalam hubungan pribadi, kepercayaan,
dan rasa umum dari tanggung jawab masyarakat, yang membuat masyarakat lebih
dari kumpulan individu. Tanpa adanya pemerintahan, norma-norma budaya, dan
aturan-aturan sosial, sulit untuk membayangkan sebuah masyarakat dapat
berfungsi (Serageldin, 1998).Dalam berbagai literatur ilmu politik, sosiologi, dan
antropologi, modal sosial secara umum merujuk pada norma, jaringan kerja dan
organisasi yang memberikan keuntungan akses terhadap kekuasaan dan sumber
daya, serta formulasi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan (Grootaert, 1999).
Berkaitan dengan hal tersebut, Ibrahim (2002) menjelaskan bahwa individu
hanya memiliki modal manusia, bukan sosial, apabila individu tidak menjalin
hubungan dengan individu lainnya di dalam masyarakat. Hubungan sosial adalah
cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan
sosial yang aktif dan bersifat respirokal. Kualitas hidup rumah tangga (household)

10

adalah unit penting, jembatan dalam meneropong kegiatan ekonomi di tingkat
komunitas atau masyarakat.Lebih lanjut Ibrahim (2002) menjelaskan behwa bila
dibandingkan dengan modal budaya, modal manusia yang dimiliki oleh individu,
maka modal sosial bukan milik individual, tetapi sebagai hasil dari hubungan
sosial antar individu. Modal sosial juga dapat didefinisiskan sebagai norma dan
hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat yang membuat orang
dapat bekerjasama (connectedness) dalam bertindak untuk mencapai tujuan.
Modal sosial terjadi melalui perubahan dalam hubungan antara orang-orang
yang memfasilitasi tindakan. Jika modal fisik sepenuhnya nyata, yang diwujudkan
dalam bentuk materi yang dapat diamati, sedangkan modal manusia bersifat
kurang nyata, yang diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang
diperoleh oleh seorang individu. Seperti halnya modal manusia, modal sosial
memiliki sifat yang kurang nyata, dan ada dalam hubungan antar individu. Sama
seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial juga dapat memfasilitasi
kegiatan produktif (Ibrahim, 2002).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan
dalam mendefinisikan modal sosial. Namun demikian, secara umum hampir
semua ahli sepakat bahwa modal sosial memiliki tiga unsur utama, yaitu; (1) Rasa
percaya (trust), (2) Norma (norm) dan (3) Jaringan kerja (network). Ketiga unsur
utama tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur tingkat
modal sosial di dalam suatu wilayah.

Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial
Meskipun ada banyak definisi dan interpretasi dari konsep modal sosial, ada
konsensus yang berkembang bahwa modal sosial merupakan kemampuan pelaku
untuk mengamankan keuntungan berdasarkan keanggotaan dalam jaringan sosial
atau struktur sosial lainnya (Portes, 1998). Jika seseorang mengambil pandangan
yang luas dari apa yang terdiri oleh ini struktur sosial lainnya, modal sosial maka
adalah sebuah konsep yang relevan di tingkat mikro, meso, dan makro (Grootaert,
1999).
Pada level mikro, modal sosial dapat terlihat dalam bentuk jaringan
horisontal antara individu dan rumah tangga serta norma-norma yang mengatur
hubungan itu dan nilai-nilai yang melandasi jaringan horisontal ini. Pengamatan
modal sosial pada level meso mencakup hubungan horisontal dan vertikal di
antara kelompok, diilustrasikan dengan pengelompokan asosiasi lokal menurut
wilayah. Sedangkan pada level makro, modal sosial dapat diamati di dalam bentuk
lingkungan kelembagaan dan politik yang mempengaruhi seluruh kegiatan
ekonomi dan sosial, serta kualitas dari pengaturan pemerintah. Pada level makro,
modal sosial berkaitan dengan ekonomi kelembagaan yaitu kualitas insentif dan
kelembagaan yang merupakan faktor penentu yang utama dari pertumbuhan
ekonomi (Grootaert dan van Bastelaer, 2002).
Selain berdasarkan levelnya, modal sosial dapat juga dibagi ke dalam dua
dimensi, yaitu dimensi struktural dan dimensi kognitif. Menurut Uphoff (1999)
Dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan suatu
organisasi sosial dan hubungan interpersonal, serta prosedur-prosedur dan
presenden-presenden, yang didorong oleh faktor dinamis baik vertikal maupun

11

horizontal. Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap
dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan kepercayaan,
solidaritas, kerjasama dan persahabatan. Unsur modal sosial kognitif
mempengaruhi/mengarahkan orang pada aksi kolektif yang menghasilkan manfaat
bersama,
sedangkan
unsur-unsur
struktural
berperan
di
dalam
memperlancar/memfasilitasi aksi kolektif itu. Dimensi-dimensi dari modal sosial
struktural dan kognitif harus dikombinasikan untuk mewakili potensi agregat dari
aksi kolektif yang mendatangkan manfaat bersama yang telah ada di dalam suatu
komunitas.

Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Menurut Grootaert (1999) terdapat pandangan yang berkembang bahwa
perbedaan hasil ekonomi, baik pada tingkat individu, rumah tangga ataupun di
tingkat negara, tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh perbedaan dalam
inputtradisional seperti tenaga kerja, lahan, dan modal fisik. Oleh karena itu,
tumbuh perhatian kepada peran modal sosial dalam mempengaruhi kesejahteraan
rumah tangga dan tingkat perkembangan masyarakat dan bangsa.
Modal sosial dapat berpengaruh terhadap hasil-hasil pembangunan, yaitu
pertumbuhan, pemerataan, dan pengentasan kemiskinan. Asosiasi dan
kelembagaan menyediakan sebuah kerangka kerja informal untuk mengelola
penyebaran informasi, koordinasi kegiatan, dan pengambilan keputusan bersama
(Grootaert, 1999). Woodhouse (2006) juga menyatakan bahwa modal sosial dapat
berpengaruh secara positif terhadap pembangunan ekonomi. Modal sosial ini baik
berupa bonding social capital maupun bridging social capital sangat penting
dalam keberhasilan pembangunan ekonomi masyarakat.
Adanya modal sosial mungkin bisa membantu menjelaskan kemajuan
ekonomi daerah tertentu, karena penggunaan sumber daya daerah endogen adalah
faktor kunci pembangunan di bidang sosial-ekonomi. Kadang-kadang modal
sosial dapat cukup untuk menetapkan pembangunan berkelanjutan endogen dan
kemakmuran ekonomi, tapi setidaknya itu meningkatkan modal ekonomi dan
pembangunan (Bronisz et al. 2010).
Woolcock dan Narayan dalam Vipriyanti (2007), menyatakan bahwa ada
empat perspektif modal sosial dalam pembangunan ekonomi, yaitu; (1) pandangan
komunitarian (the communitiarian view), pandangan ini menyamakan modal
sosial dengan organisasi pada level lokal (seperti asosiasi, klub, dan kelompokkelompok warga). Modal sosial diukur secara sangat sederhana yaitu melalui
jumlah dan kepadatan suatu organisasi dalam komunitas tertentu, semakin banyak
akan lebih baik dan selalu memberikan dampak yang posistif terhadap
kesejahteraan masyarakat, (2) pandangan jaringan (the networks view),
menekankan pentingnya asosiasi vertikal dan horisontal antar individu, dan
hubungan di dalam organisasi dan antar organisasi seperti kelompok-kelompok
komunitas dan perusahaan. Dalam pandangan ini terdapat dua dimensi dasar dari
modal sosial pada level komunitas, yaitu yang dikenal dengan bonding social
capital (strong intra community ties) dan bridging social capital (weak
extracommunity network). Perspektif ini menganggap bahwa masyarakat dapat
dicirikan oleh bawaan (endowment) mereka akan kedua dimensi modal sosial
tersebut. Perbedaan kombinasi antar kedua dimensi akan mempengaruhi hasil
yang diperoleh dari modal sosial, (3) pandangan kelembagaan (the institutions

12

view), berpendapat bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat sipil, secara
luas adalah hasil dari keadaan politik, hukum, dan lingkungan kelembagaan.
Pandangan ini telah menghasilkan sejumlah metodologi dan fakta empiris yang
kuat namun hanya untuk kebijakan makro, (4) pandangan sinergi (the synergy
view), menggabungkan pandangan jaringan dan kelembagaan atas dasar asumsi
bahwa tidak satupun pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat)
akan dapat berjalan sendiri di dalam mengakses sumberdaya yang dibutuhkan
untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Modal
sosial digunakan sebagai variabel penghubung.
Pengaruh modal sosial terhadap pembangunan ekonomi suatu wilayah
dijelaskan pula oleh Pretty (2003). Dalam hal ini, ia lebih mengkaitkannya dengan
pengelolaan sumber daya bersama. Menurutnya telah banyak komunitas yang
menunjukkan sejak dahulu hingga kini dalam berkolaborasi guna melakukan
pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Modal sosial menggambarkan ide
bahwa ikatan sosial dan norma sangat penting dalam keberlanjutan suatu
pengelolaan sumberdaya, dimana modal sosial diwujudkan dalam tingginya
intensitas kelompok formal, tingginya keinginan masyarakat dalam melakukan
kegiatan bersama, dan kepedulian masyarakat terhadap kegiatan bersama tersebut.
Sekitar 0.4 sampai 0.5 juta kelompok telah membuktikannya dalam pengelolaan
sumber daya air, hutan, perikanan, irigasi, pemberantasan hama, dan pengelolaan
keuangan mikro. Semua itu merupakan bukti dalam pengelolaan sumber daya
bersama secara berkelanjutan (Pretty, 2003).
Pengakuan bahwa modal sosial merupakan masukan dalam rumah tangga
atau fungsi produksi suatu negara memiliki implikasi besar bagi kebijakan
pengembangan dan desain program. Hal ini menunjukkan bahwa akuisisi modal
manusia dan pembentukan infrastruktur fisik harus dilengkapi dengan
pengembangan kelembagaan dalam rangka untuk menuai keuntungan penuh dari
investasi tersebut. Promosi interaksi sosial antara petani miskin mungkin perlu
untuk melengkapi penyediaan benih dan pupuk. Sebuah asosiasi orang tua-guru
yang berfungsi dengan baik dapat menjadi pelengkap yang diperlukan untuk
membangun sekolah-sekolah dan pelatihan guru (Grootaert, 1999). Penelitianpenelitian sebelumnya mengenai modal sosial dengan variabel-variabel yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

13

Tabel 1 Peneliti, definisi dan sumber modal sosial
Sumber Modal Sosial
Peneliti
Portes,
Sensenbrenner
(1993)
Coleman (1988;
1990)
Putnam (1993)
Ostrom (1994)

Knack & Keefer
(1997)
Woolcock (1998,
2000)
Francis
Fukuyama (1999)

Definisi Modal Sosial

Rasa Percaya
(Trust)

Kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan dengan
cara menjadi anggota dalam jaringan kerja sosial atau
struktur sosial lainnya.
Modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan
merupakan satu sifat tertentu tetapi terdiri atas berbagai sifat
yang berbeda.
Karakteristik organisasi sosial yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama untuk keuntungan bersama.
Modal sosial adalah pengetahuan bersama, pengertian,
norma, aturan dan ekspektasi mengenai pola interaksi dimana
kelompok individual membangun aktivitas bersama
(Coleman 1998; E.Ostrom 1990, 1992; Putnam, Ieonardi, dan
Nanetti 1993)

Jaringan Kerja
(Network)

Norma Nilai-nilai
sisipan; norma
resiprositas

Aturan dan Institusi
Formal

Bounded
solidarity

Networks
Networs

Modal Sosial adalah informasi, kepercayaan dan norma
resiprositas yang melekat pada jaringan kerja sosial.

Grootaert (2001)
Beugelsdijk, Van
Schaik (2003)
Svendsen (2004)
Sumber : Vipriyanti, 2007

Beliefs

Closure; ikatan
multiple

Trust

Modal sosial adalah norma informal yang bersifat instant
yang mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih
individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat
dibentuk dari norma yang bersifat resiprokal antar teman,
atau yang lainnya.
Sesuai dengan definisi Portes (1998)

Norma

General trust
(sicial capital in
the form of nonfamily)

Efisiensi Pemerintah
Norma

Social
belieft

Aturan

Norma kerjasama
Integritas
masyarakat dan
keterkaitan
Globalisasi

Integritas pemerintah dan
sinergi antar masyarakat
dan pemerintah
agama

Networks
Rasa saling
percaya
Rasa percaya

Entrepreneurship

13

14

14

Tabel 2 Penelitian modal sosial terdahulu dan variabel yang digunakan
Penulis
Knack &
Keefer
(1997)

Variabel Bebas
Indikator
Pertumbuhan
Ekonomi

Grootaert
(1999)

 Tingkat pendapatan
 Kepemilikan aset
fisik dan tabungan

Identifikasi Variabel Terikat
 Trust, Civic norm
 Student enrollment pada tingkat primer dan
sekunder
 Harga barang investasi
 Membership : rata-rata anggota yang aktif per RT
 Indeks Heterogenitas: Skala heterogenitas internal
(0-100) berdasarkan 8 kriteria
 Kehadiran: rata-rata jumlah kehadiran anggota
keluarga pada pertemuan kelompok selama 3
bulan terakhir, dinormalisasi dengan jumlah
anggota.
 Indeks partisipasi dalam pengambilan keputusan:
Skala partisipasi aktif dalam pengambilan
keputusan.
 Cash contribution: jumlah fee yang dibayarkan
sebagai anggota pada tiga kelompok terpenting
 Work contribution: jumlah hari kerja per tahun
 Community orientation: persentase anggota dalam
suatu organisasi dalam komunitas berasal.

Hasil
Trust dan civic cooperation memiliki
dampak yang kuat pada aktivitas ekonomi

Kekuatan pengaruh modal sosial hampir
sama dengan human capital
Rumah tangga dengan modal sosial yang
lebih tinggi memiliki kemampuan
mengakumulasi aset fisik dan tabungan

15

Tabel 2. Lanjutan
Penulis
Glaeser, Laibson,
Sacerdote (2001)

Variabel Bebas
Modal
sosial
diukur
berdasarkan keanggotaan
dalam organisasi

Lyberaki dan
Paraskevopoulos
(2002)

Indikator
ekonomi

Christoforou (2003)

Identifikasi Variabel Terikat
 Umur
 Tingkat mobilitas
 Tingkat return to social skill
 Kepemilikan rumah
 Jarak

 Aktivitas dan keanggotaan suatu
organisasi
 Rasa kebangsaan
 Variabel komunikasi (televisi,
koran, radio)
 Kepercayaan terhadap lembaga
yang ada (politik, pengadilan,
militer, polisi) dan korup