The Role of Social Capital in the Management of Community Forest and Timber Trade in Giriwoyo District, Wonogiri Regency

(1)

PERAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DAN

PERDAGANGAN KAYU RAKYAT

(Kasus di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri)

MARWOTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Marwoto NRP E151100051


(4)

(5)

ABSTRACT

MARWOTO. The Role of Social Capital in the Management of Community Forest and Timber Trade in Giriwoyo District, Wonogiri Regency. Supervised by LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Currently various community-based forest resources are found to have been able to save forests from extinction. It's rationale necessitates the need to incorporate social capital in community forest management and timber trade. The research objectives were (1) to identify and assess individual characteristics, elements of social capital and community timber trade patterns, (2) to determine and analyze the relationship between individual characteristics and the elements of social capital as well as community timber trade patterns, (3) to obtain the most appropriate strategy in the management of community forests and timber trade. Data were analyzed descriptively, using Spearman rank correlation, SWOT and QSPM analyses. The individual characteristics of farmers, based on the assessments, were in the medium category. The social capital was at the high level, at which people are generally committed to joint efforts, effective collaboration, collective and institutionalized action, expressing ideas to increase productivity, maximize mutual benefit and positive interdependence. The elements of community timber trade observed were the pattern of sale time, marketing chain and the sale system in three channels. The individual characteristics that were significantly correlated with the elements of social capital were age, formal education, non-formal education, income, and social status. The individual characteristics correlated with the pattern of the timber trade were the levels of formal and non-formal education, income and social status. The social capital that was correlated with the trade pattern in the certified sites was proactive measure, while in the uncertified location, apart from the proactive measures, the network had a positive correlation with the pattern of community timber trade. The selected strategy to strengthen management of community forests and timber trade was by improving people's knowledge of forest management and timber trade, which includes good cultivation people and timber trade patterns by conducting extension, training and development.

Keywords: social capital, individual characteristics, community forest management, community timber trade


(6)

(7)

RINGKASAN

MARWOTO. Peran Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat terbukti dapat menyelamatkan hutan dari ancaman kepunahan di beberapa tempat. Hal ini menjadi dasar pemikiran perlunya memasukkan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu dan modal sosial pada masyarakat; mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur modal sosial, karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu rakyat, modal sosial dengan unsur pembentuknya dan antara modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat; serta untuk mendapatkan strategi yang paling tepat untuk pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

Karakteristik individu petani berdasarkan penilaian berada pada kategori sedang. Secara umum tingkat modal sosial masyarakat pada taraf sedang. Pada taraf ini umumnya petani memiliki komitmen terhadap upaya bersama, kerjasama secara efektif, tindakan kolektif, terlembaga, bersuara untuk meningkatkan produktifitas, memaksimalkan keuntungan bersama dan saling ketergantungan secara positif.

Berdasarkan korelasi Spearman karakteristik individu di lokasi penelitian yang berhubungan nyata dengan unsur modal sosial adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan, dan status sosial. Karakteristik individu yang berkorelasi dengan pola perdagangan kayu rakyat untuk adalah tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan dan status sosial. Modal sosial yang berkorelasi dengan pola perdagangan di lokasi yang tersertifikasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan untuk lokasi yang belum tersertifikasi selain tindakan proaktif, jaringan juga memiliki korelasi positif dengan pola perdagangan kayu rakyat.

Berdasarkan analisis SWOT terhadap evaluasi faktor internal dan eksternal, maka kecenderungan posisi petani di lokasi penelitian dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat berada pada pemanfaatan seluruh kekuatan petani untuk mengatasi ancaman-ancaman yang ada. Hasil matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi yang terpilih dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat adalah strategi peningkatan pengetahuan usaha pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat mencakup budidaya yang baik dan pola perdagangan kayu rakyat dengan melakukan penyuluhan, pelatihan dan pembinaan.

Kata kunci: modal sosial, karakteristik individu, pengelolaan hutan rakyat, perdagangan kayu rakyat.


(8)

(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PERAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

DAN

PERDAGANGAN KAYU RAKYAT

(Kasus di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri)

MARWOTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Tesis

Nama NIM

:

: :

Peran Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat (Kasus di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah) Marwoto

E.151100051

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 30 Agustus 2012 Tanggal Lulus :

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. F. Trop

Ketua Anggota


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan tesis yang berjudul “Peran Modal Sosial Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah“. Kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2012.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian studi, penelitian dan penyusunan tesis ini, Penulis banyak mendapatkan dukungan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 1. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,

M.Sc.F.Trop selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pimpinan sidang.

3. Kementerian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan atas ijin dan bantuan biaya pendidikan.

4. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)-LPPM IPB yang melibatkan saya dalam penelitian Policy and Regulatory Options to Recognise and Better Intergrate the Domestic Timber Sector in Tropical Countries (PRO-FORMAL).

5. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan rekan-rekan Tim Peneliti PRO-FORMAL, yang telah mengarahkan dan memberi masukan.

6. Instansi dan pihak terkait atas bantuan fasilitas, dana dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

7. Aparat dan seluruh masyarakat Desa Ngancar, Desa Platarejo, Desa Tirtosuworo dan Desa Sajati yang telah memberikan bantuan pada saat pengumpulan data di lapangan.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2010 untuk kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis karya tulis ini.

9. Istri tercinta Dhian Eko Prastiwi, anak-anakku tersayang Ahza Abrisam Akbar dan Ahmad Affan Annasai atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2012


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jatinom, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 18 Agustus 1978 dan merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara dari pasangan Bapak Pawiro Setomo dan Ibu Pariyem (Alm.). Penulis menikah dengan Dhian Eko Prastiwi pada tanggal 28 Mei 2006 dan telah dikarunia dua putra, Ahza Abrisam Akbar lahir di Pekanbaru, 08 Maret 2008 dan Ahmad Affan Annasai lahir di Bogor, 29 Juni 2012.

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di Klaten, yaitu di SDN 1 Krajan, Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di MTsN Jatinom dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di MAN Klaten pada tahun 1998. Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004.

Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan sebagai staf pada Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru sejak tahun 2005. Pada tahun 2010 penulis mendapat Beasiswa dari Kementerian Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(18)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Hutan Rakyat ... 8

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat ... 11

2.2.1 Aspek Ekologi ... 12

2.2.2 Aspek Ekonomi ... 12

2.2.3 Aspek Sosial ... 13

2.3 Perdagangan Kayu Rakyat ... 14

2.4 Modal Sosial ... 16

2.4.1 Konsep Modal Sosial ... 16

2.4.2 Dimensi dan Tipologi Modal Sosial ... 21

2.4.3 Unsur-Unsur Modal Sosial ... 22

2.5 Karakteristik Individu sebagai Modal Sosial ... 28

2.6 SWOT dan QSPM ... 31

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 32


(19)

xii

3.4 Populasi dan Sampel ... 37

3.5 Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional ... 38

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 41

3.6.1 Analisis Deskriptif Kualitatif... 41

3.6.2 Analisis Kuantitatif ... 42

3.6.3 Analisis Strategi dalam Pengelolaan Hutan rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 43

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 46

4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 46

4.1.1 Letak Administrasi ... 46

4.1.2 Iklim ... 46

4.1.3 Topografi ... 46

4.1.4 Penggunaan Lahan ... 47

4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi Petani ... 47

4.2.1 Penduduk ... 47

4.2.2 Pendidikan ... 48

4.2.3 Mata Pencaharian dan Pendapatan ... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 53

5.1.1 Penanaman ... 53

5.1.2 Pemeliharaan ... 59

5.1.3 Pemanenan ... 60

5.1.4 Pemasaran ... 63

5.2 Karakteristik Individu Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 70

5.2.1 Jenis Kelamin, Agama, Etnis dan mata Pencaharian ... 70

5.2.2 Jumlah Anggota Keluarga ... 71

5.2.3 Umur... 72

5.2.4 Tingkat Pendidikan ... 73

5.2.5 Tingkat Pendidikan Non Formal ... 73


(20)

xiii

5.2.7 Tingkat Kesehatan ... 75

5.2.8 Luas Lahan Garapan... 76

5.2.9 lama Tinggal ... 77

5.2.10 Status Sosial ... 77

5.3 Penilaian karakteristik Individu ... 78

5.4 Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial... 80

5.4.1 Kepercayaan ... 80

5.4.2 Jaringan Sosial... 84

5.4.3 Norma Sosial ... 88

5.4.4 Tindakan yang Proaktif ... 89

5.4.5 Kepedulian ... 91

5.5 Tingkat Modal Sosial Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat ... 93

5.5 Pola Perdagangan Kayu rakyat ... 95

5.6 Hubungan Karakteristik Individu dengan Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Petani ... 98

5.8 Hubungan Karakteristik Individu dengan Perdagangan Kayu Rakyat... 102

5.9 Hubungan Modal Sosial dengan Perdagangan Kayu Rakyat ... 105

5.10 Dukungan Infrastruktur ... 107

5.11 Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan kayu Rakyat... 108

5.11.1 Tahap Pengumpulan Data ... 109

5.11.2 Tahap Analisis atau Pemaduan ... 116

5.11.3 Tahap Pengambilan Keputusan ... 120

VI. SIMPUL DAN SARAN ... 123

6.1 Simpulan ... 123

6.2 Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(21)

(22)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Beberapa Pengertian Modal Sosial ... 20 2. Kategori Modal Sosial ... 23 3. Tingkat Modal Sosial ... 24 4. Pokok Penelitian, Jenis Data, Sumber dan Metode Pengumpulan

Data ... 36 5. Jumlah responden tiap-tiap desa ... 37 6. Variabel dan Definisi Operasional dari Modal Sosial ... 39 7. Variabel dan Definisi Operasional dari Karakteristik Individu .... 39 8. Variabel dan Definisi Operasional dari Perdagangan Kayu

Rakyat ... 41 9. Penggunaan Lahan di Kecamatan Giriwoyo ... 47 10. Jumlah Penduduk Tiap-tiap Desa di Lokasi Penelitian ... 48 11. Tingkat Pendidikan Petani di Lokasi Penelitian ... 49 12. Mata pencaharian Petani di lokasi penelitian ... 50 13. Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat per hektar ... 67 14. Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat ... 69 15. Analisis kelayakan finansial ... 70 16. Identifikasi individu responden berdasarkan jenis kelamin,

agama dan etnis ... 71 17. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga ... 71 18. Sebaran responden berdasarkan umur di lokasi penelitian ... 72 19. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di lokasi

penelitian ... 73 20. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan non formal

di lokasi penelitian ... 74 21. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendaparan responden


(23)

xvi

22. Sebaran responden berdasarkan tingkat kesehatan responden di lokasi penelitian ... 76 23. Sebaran responden berdasarkan luas lahan dan staus

kepemilikan di lokasi penelitian ... 76 24. Sebaran responden berdasarkan lama tinggal dalam komunitas

di lokasi penelitian ... 77 25. Sebaran responden berdasarlan status sosial di lokasi penelitian . 77 26. Penilaian karakteristik individu petani yang tersertifikasi dan

yang belum tersertifikasi ... 78 27. Penilaian karakteristik individu petani yang tersertifikasi dan

yang belum tersertifikasi berdasarkan kategori ... 80 28. Tingkat kepercayaan petani responden... 81 29. Penilaian kepercayaan petani responden ... 83 30. Tingkat jaringan sosial petani di lokasi penelitian ... 84 31. Tingkat jaringan petani responden ... 85 32. Tingkat norma sosial petani responden ... 88 33. Tingkat norma sosial petani responden ... 89 34. Kategorisasi tingkat tindakan yang proaktif petani responden .... 90 35. Tingkat tindakan proaktif petani responden ... 91 36. Kategorisasi tingkat kepedulian petani responden ... 92 37. Tingkat kepedulian petani responden ... 92 38. Tingkatan modal sosial petani responden ... 93 39. Sebaran tingkat modal sosial petani responden ... 94 40. Pola perdagangan kayu rakyat ditingkat petani di lokasi yang

tersertifikasi dan yang belum tersertifikasi ... 96 41. Pola perdagangan kayu rakyat di tingkat petani baik di lokasi

yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berdasarkan kelasnya ... 96 42. Hubungan antara komponen pada karakteristik individu petani

di lokasi yang telah tersertifikasi ... 99 43. Hubungan antara komponen pada karakteristik individu petani


(24)

xvii

44. Hubungan antara karakteristik individu dengan faktor

pembentuk modal sosial di lokasi penelitian yang tersertifikasi .. 100 45. Hubungan antara karakteristik individu dengan faktor

pembentuk modal sosial di lokasi penelitian yang belum tersertifikasi. ... 100 46. Hubungan antara karakteristik individu pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi penelitian yang tersertifikasi. ... 103 47. Hubungan antara karakteristik individu dengan pola

perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang belum tersertifikasi. ... 103 48. Hubungan antara unsure pembentuk modal sosial dengan pola

perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang tersertifikasi. 105 49. Hubungan antara faktor pembentuk modal sosial dengan pola

perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian yang belum

tersertifikasi ... 106 50. Ketersediaan dan pelayanan infrastruktur dalam pengeloaan

hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di tingkat petani baik di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berdasarkan kelasnya ... 107 51. Matriks IFE dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan

kayu rakyat ... 111 52. Matriks EFE dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan

kayu rakyat ... 114 53. Matriks SWOT Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat dan

Perdagangan Kayu Rakyat... 118 54. Rekapitulasi matrik pengambilan keputusan penguatan modal

sosial pada pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian ... 120


(25)

(26)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 7 2. Pola Pemasaran dan distribusi kayu rakyat ... 17 3. Modal Sosial sebagi Sumberdaya ... 19 4. Diagram SWOT ... 32 5. Hubungan antar Peubah ... 43 6. Pemanfaatan lahan berupa sawah dengan pola tumpangsari ... 55 7. Pemanfaatan lahan di lahan sawah dengan pola tumpangsari ... 55 8. Sketsa Pemanfaatan lahan di Tegal Gunung ... 56 9. Dominasi Tanah yang ada di Tegal Gunung ... 57 10. Pemanfaatan lahan Pekarangan ... 58 11. Pemanfaatan lahan Pekarangan ... 58 12. Bibit Tanaman yang Berasal dari Terubusan (Sulen) ... 60 13. Proses pemanenan yang dilakukan oleh petani untuk kebutuhan

pribadi ... 62 14. Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian ... 66 15. Posisi strategi penguatan modal sosial pada pengelolaan hutan

rakyat dan perdagangan kayu rakyat di lokasi penelitian ... 119 16. Perbandingan nilai skor ketertarikan stakeholders pada berbagai


(27)

(28)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Administrasi Lokasi Penelitian ... 133 2. Data karakteristik individu dan modal sosial petani di

Kecamatan Giriwoyo ... 134 3. Korelasi antara komponen karakteristik individu di lokasi yang

telah tersertifikasi ... 137 4. Korelasi antara komponen karakteristik di lokasi yang belum

tersertifikasi ... 138 5. Korelasi antara unsur pembentuk modal sosial di lokasi yang

telah tersertifikasi ... 139 6. Korelasi antara unsur pembentuk modal sosial di lokasi yang

belum tersertifikasi ... 140 7. Korelasi antara pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang

tersertifikasi ... 141 8. Korelasi antara pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang

belum tersertifikasi ... 142 9. Korelasi karakteristik individu dengan unsur pembentuk modal

sosial di lokasi yang telah tersertifikasi ... 143 10. Korelasi karakteristik individu dengan unsur pembentuk modal

sosial di lokasi yang telah tersertifikasi ... 144 11. Korelasi karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang tersertifikasi... 145 12. Korelasi karakteristik individu dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi ... 146 13. Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang telah tersertifikasi ... 147 14. Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu

rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi... 148 15. Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis pada

analisis SWOT ... 149 16. Prioritas strategi alternatif terpilih berdasarkan QSPM ... 151


(29)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi hutan dan lahan di Indonesia dewasa ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Proses degradasi sumberdaya lahan dan hutan berupa penurunan fungsi lahan di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) terus berlangsung secara cepat. Kondisi tersebut berpengaruh pada kerusakan ekosistem, kemiskinan, ketahanan pangan, perubahan iklim dan sebagainya. Secara umum meningkatnya luas kerusakan hutan karena belum optimalnya implementasi kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat, dimana masih terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat sekitar hutan dan pengambil kebijakan kehutanan (Suharjito et al 2000).

Di beberapa tempat berbagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis masyarakat terbukti dapat menyelamatkan hutan dari ancaman kepunahan. Hal ini karena pola hubungan antara masyarakat dengan hutan dilakukan berdasar pada kaidah keselarasan lingkungan yang lebih mengutamakan keseimbangan alami dibandingkan kepentingan ekonomi semata (Keraf 2002). Hubungan tersebut tercermin dalam pengaturan sumber daya pada praktek-praktek lokal berbasis masyarakat di berbagai daerah, seperti pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah hutan rakyat, hutan desa, hutan kebun, wanatani atau menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, limbo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat,

repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara (Suharjito et al 2000).

Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah melakukan reorientasi kebijakan pembangunan kehutanan yang ditandai dengan adanya kebijakan prioritas untuk melaksanakan program rehabilitasi serta pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Kebijakan ini dipandang dapat menjadi salah satu solusi sosial masyarakat lokal yang terjadi serta terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Disamping itu, kebijakan tersebut sangat terkait dengan besarnya peranan


(30)

2

hutan sebagai penyangga sistem kehidupan, nilai-nilai lingkungan dan pengembangan wilayah. Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka penyelenggaraan kehutanan berbasis masyarakat menjadi landasan pembangunan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam UU No.41/1999 pasal 70 dimana pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Salah satu peran masyarakat dalam kegiatan di bidang kehutanan yang didorong pemerintah adalah pengelolaan hutan rakyat. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu fokus kegiatan dalam Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi lahan kritis, mengurangi resiko bencana alam dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Kemenhut 2011).

Hutan rakyat berkontribusi secara ekonomi dan ekologis kepada masyarakat. Kontribusi ekonomi dapat dilihat dari potensi hutan rakyat itu sendiri baik potensi kayu maupun non kayu. Berdasarkan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI tahun 2009, hutan rakyat di Pulau Jawa dengan luasan kurang lebih 2,6 juta hektar mempunyai potensi kayu (indikasi) rerata 75,88 juta meter kubik, seandainya masyarakat menggunakan daur 20 tahun untuk hutan rakyatnya maka suatu saat etat hutan rakyat di Jawa akan dapat mencapai lebih dari 7,5 juta m3

Permintaan kayu dari hutan rakyat yang lazim dikenal dengan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu. Menurut Hardjanto (2003), permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga macam, yaitu: a) permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya untuk cakupan lebih luas dan berorientasi ekspor dan c) industri besar padat modal. Sedangkan dari segi pemasarannya menurut (Kemenhut 2011),

per tahun (rumus Von Mantel). Dengan demikian hutan rakyat akan menjadi sumber bahan baku potensial bagi industri kehutanan.


(31)

3

terdapat tiga pola perdagangan kayu rakyat yaitu: 1) tradisional atau pemasaran setempat, dimana petani menjual kayunya didasarkan kebutuhan yang harus dipenuhi pada saat itu sehingga tidak didasarkan pada perencanaan maupun kondisi pasar yang berlaku, 2) sistim ijon, dimana petani menjual kayunya jauh sebelum kayu tersebut siap ditebang dengan alasan tekanan ekonomi dan 3) sistem pengepul, dimana petani menjual kayunya kepada pihak pengepul yang akan menjualnya kembali kepada industri ataupun pedagang besar.

Menurut BPKH Wilayah XI, selain memberikan kontribusi secara ekonomi, hutan rakyat sebagaimana hutan negara juga memiliki peran dan fungsi secara ekologis. Sistem hutan rakyat juga ketahanan untuk survival dan bagian dari sistem livelihood; hutan rakyat merupakan bentuk manifestasi kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang terlihat dari sistem wanatani dan ternak. Kebutuhan jangka pendek biasanya dipenuhi melalui sistem tumpangsari tanaman semusim di lahan hutan rakyat (agroforestry), sementara untuk jangka menengah biasanya dipenuhi dari ternak dan hasil panen tanaman perkebunan seperti Kopi, Kapulaga, dan tanaman buah lainnya. Kayu merupakan tabungan dan investasi jangka panjang bagi petani, kayu hanya akan ditebang ketika ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat dipenuhi dari pendapatan yang lain.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dapat membuktikan kemampuannya dalam hal mengelola hutan secara lestari, namun kenyataan lain juga menunjukkan adanya proses-proses pemudaran kemampuan itu. Proses itu berlangsung sejalan dengan perubahan lingkungan, intervensi pasar dan politik yang tidak mampu dibendung oleh masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya menguatkan kembali kemampuan masyarakat (modal manusia, modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi) sangat diperlukan (Suharjito 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dengan pola perdagangan kayu rakyat di Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keefektifan modal sosial sebagai


(32)

4

salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan sebagai masukan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

1.2 Perumusan Masalah

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat terkadang dibatasi oleh berbagai faktor seperti kebijakan, ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses terhadap informasi, ketersediaan sumber daya serta aturan-aturan dan struktur sosial budaya. Semua faktor tersebut mempengaruhi apakah pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat layak untuk dikembangkan, menguntungkan baik secara ekonomi maupun dari segi biofisik, dapat diterima atau paling tidak sesuai dengan sosial budaya setempat dan terjamin kesinambungannya. Oleh karena itu untuk menjamin keberhasilan kegiatan program pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu tersebut perlu pemahaman karakteristik sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat lokal, karena berdasarkan hal tersebut kegagalan usaha pemerintah di masa lalu (program KUHR, HR-subsidi dan sebagainya) dapat diantisipasi oleh berbagai pihak secara lebih dini. Penyebab kegagalan program tersebut adalah adanya ketidaksesuaian harapan, keinginan dan kebutuhan dasar masyarakat serta tidak tersedianya unsur-unsur kapital yang memadai baik dalam bentuk sarana prasarana (infrastruktur) maupun modal sosial sebagai faktor kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam menerima, melaksanakan dan mengelola program tersebut secara profesional serta lemahnya struktur sosial dalam masyarakat lokal.

Dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat, modal sosial yang dibangun dalam komunitas pemilik/pengelola hutan rakyat dapat memberikan energi untuk memperkuat modal sosial dalam mencapai keberhasilan pengelolaannya. Lemahnya salah satu kategori modal sosial akan mengakibatkan menurunnya fungsi sistem yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa peran modal sosial sangat penting dalam pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat.


(33)

5

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1 Bagaimana mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, unsur-unsur modal sosial masyarakat dan pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

2 Faktor-faktor apa yang berhubungan antara karakteristik individu dengan modal sosial masyarakat serta pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

3 Strategi apakah yang paling sesuai dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi serta menilai karakteristik individu, unsur-unsur modal sosial masyarakat dan pola perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

2. Mengukur dan menganalisis hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial serta pola perdagangan kayu rakyat pada masyarakat di Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

3. Mendapatkan strategi yang paling sesuai dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

3.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, tingkatan modal sosial masyarakat dan pola perdagangan kayu rakyat sebagai bahan informasi kepada para pengambil keputusan untuk merumuskan bentuk kebijakan program pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.


(34)

6

1.4 Kerangka Pemikiran

Dalam menyukseskan program pengelolaan hutan rakyat yang baik diperlukan adanya aksi kolektif (collective action) yang positif dari masyarakat. Sedangkan untuk membangun aksi kolektif ini diperlukan tingkatan modal sosial yang cukup dari masyarakat. Selain itu, keberhasilan program pembangunan juga ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat diperlukan pengetahuan yang cukup tentang karakteristik ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, karakteristik individu dalam masyarakat dan unsur-unsur modal sosial yang ada dalam masyarakat.

Tingkatan modal sosial dalam masyarakat dapat ditentukan dengan melakukan penilaian terhadap unsur-unsur modal sosial yang terdapat dalam masyarakat. Setelah itu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara unsur-unsur modal sosial dalam masyarakat dengan karakteristik individu yang ada dalam masyarakat. Karakteristik individu yang diduga berhubungan dengan modal sosial adalah umur, pendidikan formal dan non-formal, pendapatan, luas lahan garapan, kesehatan, lama tinggal dan status sosial. Karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, serta bentuk-bentuk dukungan baik dari pemerintah desa, tokoh masyarakat/adat dan LSM pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Berdasarkan karakteristik masyarakat, karakteristik individu dan hasil analisis modal sosial kemudian dilakukan analisis strength, weakness; opportunity andthreat (SWOT) untuk mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh pada pembangunan hutan rakyat. Untuk menentukan strategi pilihan dalam pembangunan hutan rakyat digunakan metode Quantitave Strategic Planning

Matrix (QSPM). Skema kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar


(35)

7

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Tingkatan modal sosial:

• minimum,

• rendah,

• sedang,

• tinggi

(Uphoff 2000)

Karakteristik individu (X) (HR non sertifikasi dan HR

sertifikasi)

•Umur (X1)

•Pendidikan formal (X2)

•Pendidikan non-formal (X3)

•Pendapatan (X4)

•Kesehatan (X5)

•Luas lahan (X6)

•Lama tinggal (X7)

•Status sosial (X8)

Karakteristik Sosial

Modal sosial masyarakat Unsur modal sosial (Y1):

• Kepercayaan (Y1.1)

• Norma (Y1.2)

• Jaringan (Y1.3)

• Tindakan Proaktif (Y1.4)

• Kepedulian (Y1.5)

(Uphoff 2000; Hasbullah 2006)

Skenario prioritas & prioritas strategi kebijakan pengelolaan

hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat

Rekomendasi aspek sosial dalam kebijakan pengelolaan hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat di Kabupaten

Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah

Kebijakan pengelolaan hutan rakyat & perdagangan kayu rakyat Pola Perdagangan Kayu

Rakyat (Y2)

•Tata waktu penjualan (Y2.1)

•Rantai pemasaran (Y2.2)

•Sistem penjualan (Y2.3)

Analisis SWOT dan


(36)

9

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

Pengertian hutan rakyat berbeda-beda tergantung pada batasan yang diberikan terhadap hutan rakyat.

Menurut Hardjanto (2000) hutan rakyat merupakan hutan milik karena berupa hutan yang dimiliki oleh masyarakat dan dinyatakan oleh bukti kepemilikan lahan. Hutan rakyat ini selain penting karena berfungsi sebagai perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat, juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, juga mampu menghasilkan buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya.

Dalam Undang-undang Kehutanan No.41/1999 berdasarkan status kepemilikannya dikenal hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak, sedangkan hutan hak adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Selanjutnya di dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Alrasyid (1973) diacu dalam Awang et al. (2001) hutan rakyat adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohonan yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau badan hukum seperti koperasi dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah”.

Penanaman pepohonan di lahan milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Terbatasnya kepemilikan lahan, menyebabkan peran hutan rakyat semakin penting bagi kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang kondisi lahan dan faktor-faktor lingkungannya yang dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang


(37)

10

diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.

Hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah, baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Suharjito (2000) mengemukakan bahwa keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Pola tanam yang dikembangkan oleh petani pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua pola tanam, yaitu: murni (monokultur) dan campuran (polyculture).

1. Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat yang terdiri atas satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Harjanto (2000) menegaskan bahwa upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan rakyat monokultur, karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran (Polyculture)

a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Cara ini lebih baik dari segi silvikultur daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.

b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestry/wanatani. Pola ini merupakan kombinasi usaha tanaman kehutanan dengan cabang usaha lainnya, seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis.

Pola pengembangan hutan rakyat terdiri atas tiga pola, yaitu :

1. Pola Swadaya; hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini Petani didorong agar mau dan mampu untuk


(38)

11

melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.

2. Pola subsidi (model hutan rakyat); hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres penghijauan, padat karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.

3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat); hutan rakyat dibangun atas kerjasama petani dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan petani membutuhkan bantuan modal kerja.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dilakukan di beberapa daerah oleh Lembaga Penelitian IPB, Suharjito (2000) menyimpulkan beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut:

1. Pelaku. Pelaku dalam hutan rakyat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya. Sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu: buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan dan pihak yang bergerak dalam pemasaran.

2. Distribusi lokasi. Distribusi lokasi hutan rakyat menurut lokasi kepemilikan lahan pada umumnya berada pada lahan-lahan kering. Distribusi lokasinya ternyata terdapat pada seluruh tipe pemanfaatan lahan yaitu sawah, pekarangan, kebun, talun, ladang/tegakan.

3. Teknik budidaya. Budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya.

Maksud dan tujuan pengembangan hutan rakyat adalah :

1. Meningkatkan pendapatan petani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan.

2. Memenuhi kebutuhan petani pengguna bahan baku kayu untuk industri, kayu pertukangan dan kayu energi.


(39)

12

3. Terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik, khususnya lahan milik rakyat.

4. Memberdayakan masyarakat pedesaan.

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan dalam arti umum merupakan suatu usaha yang didalamnya meliputi beberapa aspek, seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi yang setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Jadi, pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persediaannya dimasa yang akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara ekologis dan ekonomis (Awang et al. 2001).

Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani secara turun-temurun. Hardjanto (2000) mengatakan bahwa teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai oleh para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, dilakukan secara sederhana.

Hardjanto (2000) menjelaskan sistem pengelolaan hutan rakyat dimulai dengan kegiatan pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil. Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahan. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Pola tanam campuran, terutama dengan sistem agroforestry/wanatani bermanfaat secara ganda, di samping meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya.


(40)

13

2.1.1 Aspek Ekologi

Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model

agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap

aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan. 2.2.2 Aspek Ekonomi

Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat


(41)

14

berperan dalam meningkatkan pendapatan petani dan perekonomian daerah (Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008).

Untuk struktur pendapatan petani, pendapatan dari hutan rakyat adalah pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan petani (Hardjanto 2000; Darusman dan Hardjanto 2006). Hardjanto (2001) menyebutkan bahwa pendapatan hutan rakyat pada Sub DAS Cimanuk Hulu berbeda pada zona atas, tengah dan bawah yaitu 31,5%, 5,6% dan 10,2%. Pendapatan masyarakat dibagian atas lebih besar karena hutan rakyat di bagian atas merupakan kegiatan yang menjadi sumber penghasilan andalan bagi masyarakat dan intensitas pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat cukup tinggi, sedangkan pendapatan masyarakat pada bagian tengah dan bawah adalah rendah karena masyarakat kurang mengelola secara intensif, tingkat kesuburan lahan yang rendah dan masyarakat lebih mengharapkan sumber pendapatan dari sektor lain.

Untuk memasarkan hasil produk hutan rakyat, Hardjanto (2000, 2003) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah jika dibandingkan dengan para tengkulak, industri kecil dan industri besar. Jumlah petani hutan rakyat yang banyak, memiliki sumberdaya yang terbatas, tidak membentuk usaha bersama dan tidak menguasai pasar maka berdampak pada posisi tawar yang lebih rendah. Sementara itu, para tengkulak dan pihak industri bersifat lebih solid, memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, menguasai informasi pasar sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perbedaan posisi ini menyebabkan pendapatan petani hutan rakyat selalu lebih kecil dan pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya.

2.2.3 Aspek Sosial

Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya. Beberapa lembaga yang


(42)

15

berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008). Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga.

Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito (2000) menyebutkan keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa.

2.3 Perdagangan Kayu Rakyat

Peran hutan rakyat terhadap penyediaan kayu sekarang ini sangat berpengaruh terhadap perdagangan kayu di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan kayu yang berasal dari hutan alam. Namun demikian pada saat ini perdagangan kayu rakyat belum memiliki manajemen yang baku, terkadang para petani menjual kayu rakyat pada waktu yang tidak ditentukan atau dengan kata lain tebang butuh, tidak merencanakan daur tebangnya.

Dalam menjual kayu rakyat, petani pada umumnya juga menjual dalam bentuk pohon. Pada tingkat pedagang lebih lanjut, selain bentuk kayu bulat, kayu


(43)

16

hutan rakyat dijual dalam bentuk kayu olahan seperti papan, usuk, kusen, dan balkon.

Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan (Kotler 1997). dalam hal ini kayu rakyat dari produsen/petani ke konsumen. Lembaga perantara pemasaran yang terlibat didalam pemasaran kayu rakyat diantaranya pedagang pengepul ditingkat desa/kecamatan (pengepul) dan pemasok (supplier).

Secara rinci lembaga pemasaran kayu rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut (Kemenhut 2011):

1. Pedagang kecil (bakul/first agent) adalah lembaga perantara pemasaran yang membeli kayu rakyat dari petani dan biasanya bertempat tinggal di desa yang sama dengan petani. Bakul membeli kayu milik petani dalam bentuk tegakan, sehingga sering disebut penebas.

2. Pedagang pengepul (pengepul/second agent) adalah lembaga pemasaran yang membeli kayu rakyat dari pedagang kecil/bakul dan juga sering disebut pangkalan atau depo. Pengepul ini memiliki penampungan dan biasanya menjual kayu kepada pemasok atau ke industri penggergajian, karena tidak dapat langsung menjual ke industri, tetapi harus melalui pemasok.

3. Pemasok (supplier) adalah lembaga perantara yang mendapatkan kontrak kerja penyediaan bahan baku kayu untuk industri.

4. Panjang pendek saluran pemasaran tergantung dari jumlah lembaga perantara pemasaran yang terlibat didalamnya.

Hardjanto (2003) menyebutkan ada beberapa pola distribusi kayu rakyat terjadi di beberapa daerah yang secara singkat dapat dilihat pada Gambar 2.


(44)

17

Pola 1

Pola 2

Sumber: Hardjanto (2003)

Gambar 2 Pola pemasaran dan distribusi kayu rakyat

2.4 Modal Sosial

2.4.1 Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan. konsep

Petani Penebas Pengepul Suplier Industri

Petani

Tengkulak Pohon

Industri Penggergajian

Industri Pengolahan Barang Jadi

Pengrajin

Pedagang/suplier


(45)

18

modal sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The

Rural School Community Centre pada tahun 1916, ia mengatakan bahwa modal

sosial, bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat (Hasbullah 2006)

Menurut Bourdieu dalam Winter (2000), modal sosial merupakan wujud nyata (sumberdaya) dari suatu institusi kelompok. Modal sosial merupakan jaringan kerja yang bersifat dinamis dan bukan alamiah. Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Bourdieu 1986). Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan tetangga, teman kerja (tempat kerja), maupun hubungan keluarga.

Bourdieu menggambarkan bahwa modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, ketersediaan jaringan sosial dalam masyarakat dapat membantu peningkatkan produksi dan ekonomi anggota melalui pemanfaatan koneksi sosial (pemasaran hasil). Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan sumberdaya dasar, namun modal sosial berperan besar dalam meningkatkan modal ekonomi seseorang (individu). Jika dibandingkan dengan Bourdieu, Coleman menggunakan terminologi berbeda dalam menggambarkan modal sosial. Coleman menggambarkan modal sosial bukan dari sesuatu yang terlihat hasilnya tetapi lebih kepada sesuatu yang dilakukan atau dengan kata lain fungsi dari modal sosial itu sendiri. Ia memandang bahwa modal sosial memiliki nilai yang terkandung di dalamnya terutama dalam struktur sosial. Oleh karena itu, Coleman (1988), menyebut modal sosial sebagai sumberdaya karena ia dapat memberi kontribusi terhadap kesejahterran individu dan masyarakat seperti halnya dengan sumberdaya lain (alam, ekonomi dan sumberdaya manusia) (Gambar 3).


(46)

19

Sumber: Edwad (2004) dalam Suandi (2007)

Gambar 3 Modal sosial sebagai sumberdaya

Lebih lanjut Coleman (1988) melihat bahwa struktur sosial memiliki berbagai bentuk tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan oleh individu dan masyarakat, yakni: kewajiban ( obligation) dan harapan, informasi, dan norma- norma yang dapat menghambat dan mendorong perilaku manusia.

Dampak Positif dan Negatif Modal Alam

- Cahaya matahari,

- Atmosfir,

- Air, tanah, mineral,

- Flora dan fauna,

- Sumber energi,

- Fungsi Ekosistem,

- Dan lain-lain

Modal Ekonomi

- Aset ekonomi: gedung, lembaga

pemerintah, perusahaan, - Infrastruktur: air, listrik,

transportasi dan komunikasi, - Fasilitas umum: kesehatan, dan

pendidikan,

- Teknologi.

Modal sosial

- Jaringan/hubungan,

- Kepercayaan,

- Asosiasi,

- Norma,

- Keimanan.

- Tipe hubungan:

Bonding, bridging, dan linking

Modal Manusia

Kapasitas Personal:

- Kesehatan,

- Pendidikan,

- Keterampilan dan

- Ilmu Pengetahuan

Kesejahteraan Individu dan Masyarakat

- Kesehatan - Kejahatan dan keadilan

- Pendidikan dan pelatihan - Kependudukan

- Lapangan Pekerjaan - Kebudayaan dan leisure

- Rumahtangga - Kualitas lingkungan

- Fungsi keluarga dan masyarakat - Pertumbuhan ekonomi


(47)

20

Putnam (1993) berpendapat bahwa konsep modal sosial dapat berupa: hubungan/jaringan, kepercayaan, dan norma-norma yang merupakan fasilitas bersama dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Operasionalisasi konsep modal sosial menurut Putnam berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu dan Coleman. Konsep modal sosial menurut Putnam, aplikasinya lebih menekankan pada tingkat wilayah (regional, democratic institutions, dan

economic development). Walaupun terminologi modal sosial menurut Putnam

agak berbeda dengan Bourdieu dan Coleman namun kepercayaan norma ( norms

of trust ) dan reciprocity dalam jaringan-jaringan atau hubungan sosial/ekonomi

merupakan unsur terpenting dalam modal sosial dan merupakan sumberdaya. Lebih lanjut Putnam mengukur modal sosial terfokus pada sistem perilaku perkembangan ekonomi dan politik pada tingkat regional dan negara. Kemudian, aspek yang dikaji tentang modal sosial menurut Putnam yaitu berkaitan dengan sistem norma yang berlaku pada bidang ekonomi dan politik. Pengukuran modal sosial menurut Putnam harus melibatkan beberapa asosiasi dan institusi formal yang diakui secara sah.

Fukuyama (2007), mendefinisikan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di

bagian-bagian tertentu darinya. Dalam konsep ini modal sosial adalah serangkaian nilai

dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. Hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma tersebut membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat, yaitu sebagai perekat sosial yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama.

Lawang (2005) menggambarkan perbedaan dari inti definisi modal sosial menurut Bourdeu, Colemen, Putman, Fukuyama, Bank Dunia, Turner dan Lawang sendiri tersaji pada Tabel 1.


(48)

21

Tabel 1 Beberapa pengertian modal sosial

Penulis Tertambat Pada Kapital Sosial (Independen)

Variabel Dependen Bourdieu Hubungan

secara kelembagaan

Seluruh sumberdaya baik aktual maupun materi

Keanggotaan individu dalamPetani Coleman Struktur sosial,

hubungan sosial, institusi

Fungsi kewajiban, harapan, layak percaya, saluran, norma, sangsi, jaringan organisasi

Tindakan aktor atau actor dalam badan hukum Putman Institusi Sosial Jaringan, Norma,

kepercayaan

Keberhasilan ekonomi, demokrasi Fukuyama Agama, filsafat Kepercayan, nilai Kerjasama

keberhasilan ekonomi

Bank Dunia Institusi, norma,

hubungan

Tindakan sosial Turner Hubungan sosial pola

organisasi yang diciptakan individu

Kekuatan Potensi

perkembangan ekonomi Lawang Struktur sosial

mikro, mezzo, makro

Kekuatan sosial komunikasi bersamakapital-kapital lainnya Efisiensi dan efektifitas dalam pengatasan masalah Sumber: Bourdieu (1986), Lawang (2005), Hasbullah (2006)

2.4.2 Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

Putnam (Winter 2000) mengidentifikasikan modal sosial menjadi enam dimensi, yakni: (1) kebiasaan (tipe perjanjian: formal dan informal), (2) tujuan bersama (antar institusi saling hormat menghormati), (3) hubungan dalam pergaulan “bridging” (trust dan reciprocity) saling membangun secara bersama- sama), (4) modal sosial sebagai perantara (kepercayaan dapat membangun sistem kedekatan antar individu), (5) intensitas hubungan (intensitas hubunga n antar individu merupakan kekayaan dan keuntungan ganda dalam Petani), dan (6) lokasi sosial (menjalin hubungan kekerabatan (tetangga) dengan baik dapat membangun sumberdaya modal sosial). Haddad (2000) membagi modal sosial kedalam tiga dimensi, yakni: (1) tingkat partisipasi rumahtangga dalam


(49)

22

kelompok, (2) fungsi kelompok bagi rumahtangga, dan (3) tingkat kepercayaan rumah tangga dalam kelompok.

Menurut Woolcock (1998) dalam Thomas dan Heres (2004), modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of

networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan

yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh seperti: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking

capital), yaitu ikatan hubungan yang lebih renggang lagi dibandingkan kedua

ikatan hubungan sebelumnya. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas. Berkenaan dengan itu, menurut Edward (2004) dalam Suandi (2007) bahwa modal sosial dapat berkontribusi dalam meningkatkan keakraban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi seorang individu atau kelompok masyarakat dalam menjalinkan interaksi sosial dapat mengembangkan nilai- nilai atau norma- norma yang mereka miliki di masyarakat baik antar sistem jaringan bonding, bridging maupun sistem jaringan linking dengan struktur yang terbuka dan komunikatif. Namun demikian, Edward menambahkan bahwa keefektifan proses komunikasi antar individu atau kelompok masyarakat harus didukung oleh kondisi politik yang kondusif, menegakkan supremasi hukum, adanya kelembagaan good

governance dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan.

Ketiga pandangan tersebut merupakan prinsip yang menjadikan dasar dalam pengelompokan modal sosial sebagai, social bonding (perekat sosial), merupakan modal sosial yang lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karena menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat makro komunal, maka hubungan yang terbangun didalamnya lebih bersifat eksklusif (nilai, kultur, presepsi, tradisi dan adat istiadat). Sedangkan social bridging

(jembatan sosial) timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompok yang lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang


(50)

23

melekat. Social linking merupakan hubungan sosial dari diantara beberapa level dari kekuatan sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut (Ramli 2007; LP UNPAD 2008).

Beberapa ahli telah menyebutkan berbagai unsur-unsur pembentuk modal sosial misalnya Putnam (1993) menyebutkan kepercayaan, norma-norma dan jaringan-jaringan, Flassy et al. (2009) menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan unsur utama dalam modal sosial, sedangkan unsur lainnya yaitu partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai sosial dan tindakan proaktif merupakan syarat kecukupan dari modal sosial.

2.4.3 Unsur-Unsur Modal Sosial

Uphoof (2000) menyebutkan bahwa unsur modal sosial terbagi dalam dua kategori yaitu modal sosial struktural yang merupakan hubungan sosial yang mengakibatkan tindakan bersama saling menguntungkan dan kategori modal sosial kognitif yang merupakan proses proses mental dan ide-ide yag berbasis pada ideologi dan budaya dengan unsur-unsur norma, nilai, sikap, keyakinan, kepercayaan solidaritas, kerjasama dan kedermawanan. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kategori modal sosial

Kategori Struktural Kognitif

Sumber dan manifestasi Peranan dan aturan jaringan dan hubungan interpersonal lainnya

Prosedur dan preseden

Norma, nilai, sikap dan keyakinan

Domain Organisasi sosial Budaya sipil

Faktor dinamis Hubungan/keterkaitan horizontal dan vertikal

Kepercayaan, solidaritas, kerjasama dan

kedermawanan

Unsur-unsur umum Ekspektasi yang mengarah pada perilaku kooperatif dan memberimanfaat untuk semuan

Sumber: Uphoff (2000)

Uphoff (2000) membagi modal sosial dalam empat tingkatan (kontinuum) yaitu minimum, rendah, sedang dan tinggi sebagaimana tersaji pada Tabel 3.


(51)

24

Tabel 3 Tingkatan modal sosial

Tingkatan modal social

Minimum Rendah Sedang Tinggi

Tidak mementingkan kesejahteraan orang lain; memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain

Hanya mengutamakan kesejahteraan sendiri; Kerjasama terjadi sejauh menguntungkan sendiri Komitmen terhadap upaya bersama; kerjasama terjadi bila memberi keuntungan kepada orang lain

Komitmen terhadap kesejahteraan oranglain;Kerjasama tidak terbatas pada kemanfaatan sendiri tetapi juga untuk kebaikan bersama

Nilai-nilai:

Hanya menghargai kebesaran diri sendiri

Nilai-nilai:

Efisiensi kerjasama

Nilai-nilai:

Efektifitas kerjasama

Nilai-nilai:

Altruism dipandang sebagai hal yang baik

Isu-isu pokok:

Selfisness:

Bagaimana sifat seperti ini bisa dicegah agar tidak merusak Petani secara keseluruhan

Isu-isu pokok:

Biaya transaksi: Bagaimana biaya ini bisa dikurangi untuk meningkatkan manfaat bersih bagi masing-masing orang Isu-isu pokok: Tindakan kolektif: Bagaimana kerjasama (penghimpunan sumberdaya)bisa berhasil berkelanjutan Isu-isu pokok: Pengorbanan diri: Sejauh mana hal-hal seperti patriotisme dan pengorbanan demi fanatisme agama perlu dilakukan Strategi: Jalan sendiri Strategi: Kerjasama teknis Strategi: Kerjasama Strategis Strategi: Bergabung atau melarutkan kepentingan individu Kepentingan bersama: Tidak jadi pertimbangan Kepentingan bersama: Instrumental Kepentingan bersama: Intitusional Kepentingan bersama: Transedental Pilihan:

Keluar: bila tidak puas

Pilihan: Bersuara: berusaha untuk memperbaiki syarat pertukaran Pilihan: Bersuara: mencoba memperbaiki keseluruhan produktifitas Pilihan: Setia: menerima apapunjika hal itu baik untuk kepentingan bersama secara keseluruhan

Teori permainan:

Zero-sum

Tapi apabila kompetisi tanpa adanya hambatan pilihan akan menghasilkan negative-sum Teori permainan: Zero-sum Pertukaran yang memaksimalkan keuntungan sendiri bisa menghasilkan positive-sum Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan sendiri dan kepentingan untuk mendapatkan manfaat bersama Teori permainan: Positive-sum Ditujukan untuk memaksimalkan kepentingan bersama dengan mengesampingkan kepentingan sendiri Fungsi utilitas: Independent Penekanan diberikan bagi utilitas sendiri

Fungsi utilitas:

Independent

Dengan utilitas bagi diri sendiri diperbesar melalui kerjasama Fungsi utilitas: Interdependent positive Dengan sebagaian penekanan diberiikan bagi kemanfaatan orang lain Fungsi utilitas: Interdependent positive

Dengan lebih banyak penekanan diberikan bagi kemanfaatan orang lain daripada

keuntungan diri sendir Sumber : Uphoff (2000)


(52)

25

Hasbullah (2006) membagi unsur modal sosial menjadi enam yaitu kepercayaan, partisipasi dalam jaringan, resiprocity, norma sosial, nilai-nilai dan tindakan yang proaktif.

a.

Kepercayaan atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Fukuyama (2007) berpendapat bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Kepercayaan merupakan warna dari suatu sistem kesejahteraan bangsa yang merupakan karakteristik yang menjadi prakondisi dari terciptanya kemampuan berkompetisi.

Kepercayaan (trust)

Fu (2004) dalam Hasbullah (2006) membagi kepercayaan dalam tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan individual yang merupakan kekayaan individu, variabel personal dan karakteristik individu, (2) tingkatan relasi sosial yang merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok dan (3) tingkatan sistem sosial yang merupakan nilai publik yang perkembangannya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada

Nahapit & Ghosal (1998) dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan pada tingkat individu berasal dari nilai-nilai yang yang bersumber pada kepercayaan dan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma-norma di dalam masyarakat, sedangkan pada tingkat komunitas kepercayaan bersumber dari norma sosial yang telah melekat pada struktur sosial yang ada. Putnam (1993) memandang kepercayaan terkait dengan perilaku dan ada atau tidaknya resiprocity dalam masyarakat. Pada tingkatan institusi sosial kepercayaan akan bersumber dari karakteristik sistem tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok.


(53)

26

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa kepercayaan memberikan nilai positif yang besar apabila memiliki rentang (the radius of trust) yang luas Sehingga kelompok yang hanya berorientasi inward looking akan sulit untuk mengembangkan modal sosialnya. Sedangkan kelompok yang lebih terbuka akan mempunyai potensi yang lebih baik untuk mengembangkan modal sosialnya. b. Partisipasi dalam jaringan Sosial (participant in social networking)

Jaringan kerjasama antar manusia merupakan wujud dari infrastruktur dinamis modal sosial (Putnam 1993). Wujud nyata dari jaringan adalah adanya interaksi sehingga jaringan itulah yang disebut modal sosial (Coleman 1988).

Modal sosial yang kuat sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan tidak dibangun oleh satu individu tetapi terletak pada jaringan sosial yang kuat yang dibangun dengan prinsip-prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Tipologi dari jaringan sosial yang terbentuk di dalam masyarakat tergantung dari karakteristik dan orientasi kelompok. Kelompok sosial yang membangun jaringan atas dasar keturunan, pengalaman sosial dan Kesamaan kepercayaan dan agama cenderung akan membentuk jaringan dengan kohesifitas yang tinggi namun rentang jaringan maupun kepercayaan yang sempit, sedangkan kelompok masyarakat yang membangun jaringan dengan dasar kesamaan orientasi dan tujuan dan ciri pengelolan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi dan rentang jaringan yang lebih luas. Tipologi jaringan yang kedua inilah yang akan memberikan dampak positif bagi kemajuan kelompoknya dan masyarakat secara luas (Hasbullah 2006).

c. Hubungan Timbal Balik (Resiprocity) dan kepedulian terhadap sesama

dan lingkungan

Hubungan timbal balik adalah terjadinya pertukaran sumber daya dengan menyediakan pelayanan pada orang lain (Lenggono 2004). Rudito dan Fabiola (2008) menambahkan bahwa modal sosial terbentuk dari adanya dua macam solidaritas yaitu solidaritas mekanik yang mengikat masyarakat karena adanya rasa kebersamaan dan aturan dalam kelompok serta solidaritas organik yang


(54)

27

mengikat masyarakat karena adanya perbedaan keahlian antar individu sehingga saling membutuhkan antara individu satu dengan yang lainnya.

Modal sosial senantiasa diwarnai dengan kecenderungan untuk saling tukar kebaikan antar individu dalam kelompok maupun antar kelompak dengan nuansa altruism. Namun masyarakat dengan tingkat resiprositas yang kuat belum tentu memberikan dampak positif yang cukup besar bagi kelompok lainnya tergantung dari derajad keterbukaan masyarakat tersebut (Hasbullah 2006).

d. Normasosial (social norm)

Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang (Suharto 2007). Norma sosial ini sangat berperan dalam mengontrol perilaku masyarakat. Norma-norma ini biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan tingkah laku dalam konteks hubungan sosial.

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa norma merupakan salah satu unsur modal sosial yang akan merangsang berlangsungnya kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Fukuyama (2007) menyatakan bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal yang medukung kerjasama antar individu. Lawang (2005) juga memandang bahwa norma merupakan bagian penting dari modal sosial.

e. Tindakan yang proaktif

Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari senantiasa jalan bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat (Hasbullah 2006). Anderson

et al. (2002) dalam Lawang (2005) menyatakan bahwa keberadaan modal sosial

baik yang bersifat proses, pelumas maupun perekat tidak akan terjadi tanpa ada tindakan dari masyarakat. Lenggono (2004) menyebutkan bahwa proaktif sebagai bagian dari modal sosial merupakan kerelaan warga sebagai subyek dalam suatu pembangunan.


(55)

28

f. Nilai-nilai (values)

Menurut Hasbullah (2006) nilai adalah “suatu ide yang telah turun menurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok”. Dalam kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai yang akan mendomisanai ide-ide yang berkembang. Ide-ide tersebut akan mempengaruhi aturan-atruan bertindak dalam Petani (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of

behavior) yang secara bersama-sama akan membentuk pola-pola kultural (cultural

pattern).

Kekuatan modal sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh konfigurasi nilai yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena sifat nilai yang memiliki konsekuensi ambivalen. Misalnya nilai harmoni yang dianggap menciptakan kerukunan akan menghalangi kompetisi. Padahal nilai-nilai kompetisi dalam Petani dapat memicu perkembangan dan kemajuan yang lebih cepat pada bidang-bidang tertentu (Hasbullah 2006).

2.5 Karakteristik individu sebagai modal sosial

Lawang (2005) menyatakan bahwa modal sosial tertambat pada modal manusia (human capital) yang menekankan pada keahlian yang dimiliki oleh individu, dimana semakin tinggi modal manusia yang dimiliki semakin besar peluang untuk membentuk modal sosialnya. dalam pengelolaan hutan rakyat sangat berhubungan dengan faktor internal masing-masing individu petani. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu. Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan. Karakteristik individu merupakan bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang.

Faktor-faktor modal manusia berupa karakteristik individu yang diduga akan diteliti hubungannya dengan modal sosial berdasarkan pernyataan tersebut di atas meliputi: umur, tingkat pendidikan formal/nonformal, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, luas lahan usahatani, lama tinggal dan status sosial.


(56)

29

a. Umur

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir.

Umur berkorelasi dengan tingkat penerimaan suatu inovasi atau teknologi baru. Umur juga berkolerasi dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan bertambahnya usia seseorang. Keterampilan individu menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan kordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan kurangnya rangsangan intelektual semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.

b. Pendikan Formal/Nonformal

Salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan dengan demikian merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani

Sastraatmaja (1986) mengemukakan pendidikan non formal merupakan perpaduan dari kegiatan mengunggah minat/keinginan, menyebarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan).


(1)

149

Lampiran 13 Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang telah tersertifikasi

TataWaktu RantaiPemasaran SistemPenjualan JumlahPKR

Spearman's rho Kepercayaan Correlation Coefficient .115 .059 .132 .080

Sig. (2-tailed) .396 .663 .327 .556

N 57 57 57 57

JaringanSosial Correlation Coefficient .171 .279* .167 .188

Sig. (2-tailed) .204 .035 .213 .160

N 57 57 57 57

NormaSosial Correlation Coefficient .085 .075 .037 .094

Sig. (2-tailed) .529 .577 .786 .487

N 57 57 57 57

T.Proaktif Correlation Coefficient .305* .358** .157 .345**

Sig. (2-tailed) .021 .006 .244 .009

N 57 57 57 57

Kepedulian Correlation Coefficient .059 .052 .025 .065

Sig. (2-tailed) .662 .699 .851 .629

N 57 57 57 57

JumlahMDOS Correlation Coefficient .288* .372** .188 .328*

Sig. (2-tailed) .030 .004 .161 .013

N 57 57 57 57

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(2)

150

Lampiran 14 Korelasi unsur modal sosial dengan pola perdagangan kayu rakyat di lokasi yang belum tersertifikasi

TataWaktu RantaiPemasaran SistemPenjualan JumlahPKR

Spearman's rho Kepercayaan Correlation Coefficient .047 .079 .079 .070

Sig. (2-tailed) .724 .556 .556 .602

N 58 58 58 58

Jaringan Correlation Coefficient .227 -.026 -.026 .211

Sig. (2-tailed) .086 .848 .848 .112

N 58 58 58 58

NormaSosial Correlation Coefficient .072 .044 .044 .079

Sig. (2-tailed) .593 .742 .742 .554

N 58 58 58 58

T.Proaktif Correlation Coefficient .439** .270* .270* .485**

Sig. (2-tailed) .001 .040 .040 .000

N 58 58 58 58

Kepedulian Correlation Coefficient .114 .070 .070 .126

Sig. (2-tailed) .395 .601 .601 .347

N 58 58 58 58

JumlahMDos Correlation Coefficient .387** .187 .187 .418**

Sig. (2-tailed) .003 .159 .159 .001

N 58 58 58 58

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(3)

151

Lampiran 15 Nilai rata-rata dan rata-rata rating faktor strategis pada analisis SWOT

a.

Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis internal

Faktor Strategis Internal Kekuatan Jumlah

Bobot

Rata-rata

bobot Jumlah Rating

Rata-rata rating 1 Karakteristik individu yang cukup baik (usia produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 0.575 0.082 28 4.000 2 Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat

pemerintahan dan instansi kehutanan 0.455 0.065 25 3.571

3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan sosial yang cukup baik 0.526 0.075 27 3.857 4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tinggi 0.409 0.058 25 3.571

5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0.510 0.073 28 4.000

6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik 0.515 0.074 27 3.857

7 Kebiasaan masyarakat secara turun temurun 0.440 0.063 24 3.429

8 Salah satu sumber penghasilan yang mudah diperoleh 0.445 0.064 28 4.000

9 Tidak membutuhkan budidaya intensif 0.265 0.038 24 3.429

10 Transportasi dan aksesbiltas yang cukup baik 0.140 0.020 17 2.429

Jumlah Kekuatan 4.280 0.611 253 36.143

Faktor Strategis Internal Kelemahan Jumlah

Bobot

Rata-rata

bobot Jumlah Rating

Rata-rata rating 1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah (formal maupun non formal) 0.395 0.056 25 3.571 2 Kelembagaan kelompok tani belum berfungsi secara optimal di Masyarakat 0.395 0.056 26 3.714

3 Keterbatasan informasi dan aksesnya 0.165 0.024 16 2.286

4 Minimnya pemahaman masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat yang baik 0.275 0.039 22 3.143

5 Belum adanya rencana yang bersifat stategis 0.180 0.026 18 2.571

6 Kurangnya tenaga kerja 0.095 0.014 11 1.571

7 Mayoritas petani subsisten 0.405 0.058 27 3.857

8 Proses pemanenan dilakukan sesuai dengan kebutuhan "tebang butuh" 0.565 0.081 28 4.000 9 Pemahaman masyarakat terhadap pengertian sertifikasi masih rendah 0.245 0.035 15 2.143

Jumlah Kelemahan 2.720 0.389 188.000 26.857


(4)

152

Lampiran 15 Nilai rata-rata dan rata-rata rating faktor strategis ………(lanjutan)

b.

Nilai rata-rata bobot dan rata-rata rating faktor strategis internal

Faktor StrategisEksternal Peluang Jumlah

Bobot

Rata-rata

bobot Jumlah Rating

Rata-rata rating 1 Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur dari instansi terkait 0.645 0.092 24 3.429

2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0.650 0.093 25 3.571

3 Permintaan kayu rakyat semakin meningkat 0.630 0.090 25 3.571

4 Adanya alih fungsi lahan 0.360 0.051 19 2.714

5 Adanya fasilitasi dari LSM PERSEPSI dalam pengelolaan hutan lestari 0.345 0.049 18 2.571

Jumlah Kekuatan 2.630 0.376 111 15.857

Faktor Strategis Eksternal Ancaman Jumlah

Bobot

Rata-rata

bobot Jumlah Rating

Rata-rata rating 1 Program pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan terbatas pada

tingkat keproyekan. 0.685 0.098 28 4.000

2 Kegiatan sosialisas, pendampingan dan penyuluhan tentang pengelolaan hutan rakyat

dan perdagangan belum maksimal 0.665 0.095 28 4.000

3 Kondisi lahan yang kritis umumnya batu bertanah 0.700 0.100 28 4.000

4 Ketergantungan yang besar terhadap pedagang/bakul 0.590 0.084 21 3.000

5 Adanya sumbangan yang di bebankan dalam pemanenan kayu oleh tingkat desa 0.220 0.031 14 2.000

6 Kebijakan retribusi/sumbangan terhadap pengankutan kayu 0.205 0.029 14 2.000

7 Tidak ada nya perbedaan harga antara kayu rakyat yang dihasilkan dari lahan yang telah

tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi 0.670 0.096 21 3.000

8 Minimnya pasar yang membeli kayu rakyat yang telah tersertifikasi 0.635 0.091 28 4.000

Jumlah Strategis Internal Ancaman 4.370 0.624 182 26.000


(5)

Lampiran 16 Prioritas strategi alternatif terpilih berdasarkan QSPM

Faktor Strategis Bobot

Skor Ketertarikan

Straregi I Strategi II

AS TAS AS TAS

Kekuatan 0.600 3.486 2.149 3.186 1.964

1 Karakteristik individu yang cukup baik (usia

produktif, tingkat kesehatan, penghasilan) 0.078 3.429 0.267 3.286 0.256

2

Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, agama, aparat pemerintahan dan instansi kehutanan

0.065 3.857 0.251 3.429 0.223

3 Tingkat partisipasi masyarakat dalam jaringan

sosial yang cukup baik 0.067 3.857 0.258 3.571 0.239

4 Kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat tinggi 0.055 3.286 0.181 2.857 0.157

5 Tingkat prokatif masyarakat yang tinggi 0.060 3.857 0.231 3.429 0.206

6 Tingkat kepedulian masyarakat yang cukup baik 0.065 3.857 0.251 3.714 0.241

7 Kebiasaan masyarakat secara turun temurun 0.070 4.000 0.280 3.571 0.250

8 Salah satu sumber penghasilan yang mudah

diperoleh 0.070 3.571 0.250 3.286 0.230

9 Tidak membutuhkan budidaya intensif 0.060 2.571 0.154 2.286 0.137

10 Transportasi dan aksesibilitas yang cukup baik 0.010 2.571 0.026 2.429 0.024

Kelemahan 0.400 2.921 1.336 2.635 1.214

1 Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah

(formal maupun non formal) 0.035 3.143 0.110 2.857 0.100

2 Kelembagaan kelompok tani belum berfungsi

secara optimal di Masyarakat 0.080 3.429 0.274 3.571 0.286

3 keterbatasan informasi dan aksesnya 0.025 2.571 0.064 2.143 0.054

4 minimnya pemahaman masyarakat tentang

pengelolaan hutan rakyat yang baik 0.050 3.714 0.186 3.000 0.150

5 belum adanya rencana yang bersifat stategis 0.040 3.000 0.120 2.000 0.080

6 Kurangnya tenaga kerja 0.020 1.143 0.023 1.429 0.029

7 mayoritas petani subsisten 0.060 4.000 0.240 3.429 0.206

8 proses pemanenan dilakukan sesuai dengan

kebutuhan "tebang butuh" 0.075 4.000 0.300 3.857 0.289

9 Pemahaman masyarakat terhadap pengertian


(6)

154

Lampiran 16 Prioritas strategi alternatif terpilih ………(Lanjutan)

Faktor Strategis Bobot

Skor Ketertarikan

Straregi I Strategi II

AS TAS AS TAS

Peluang 0.363 2.886 1.118 2.771 1.073

1 Dukungan kebijakan, dana dan infrastruktur dari

instansi terkait 0.088 3.429 0.302 3.286 0.289

2 Dukungan dari aparat pemerintahan lokal 0.090 3.286 0.296 3.143 0.283

3 Permintaan kayu rakyat semakin meningkat 0.100 3.429 0.343 3.286 0.329

4 Adanya alih fungsi lahan 0.035 2.429 0.085 2.286 0.080

5 Adanya fasilitasi dari LSM PERSEPSI dalam

pengelolaan hutan lestari 0.050 1.857 0.093 1.857 0.093

Ancaman 0.637 2.070 0.000 2.062

1

Program pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan terbatas pada tingkat keproyekan.

0.110 3.714 0.409 3.857 0.424

2

Kegiatan sosialisas, pendampingan dan

penyuluhan tentang pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan belum maksimal

0.100 3.714 0.371 3.571 0.357

3 Kondisi lahan yang kritis umumnya batu bertanah 0.092 3.571 0.329 3.714 0.342

4 ketergantungan yang besar terhadap

pedagang/bakul 0.090 2.429 0.219 2.429 0.219

5 Adanya sumbangan yang di bebankan dalam

pemanenan kayu oleh tingkat desa 0.035 1.714 0.060 1.571 0.055

6 Kebijakan retribusi/sumbangan terhadap

pengankutan kayu 0.025 2.000 0.050 1.857 0.046

7

tidak ada nya perbedaan harga antara kayu rakyat yang dihasilkan dari lahan yang telah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi

0.095 3.143 0.299 3.000 0.285

8 Minimnya pasar yang membeli kayu rakyat yang